• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANIFESTO Aceh BARU

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 126-135)

113 dan barat-selatan menjadi dua provinsi yang terpisah dari Aceh, (akan dibahas di

bawah).

Implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh

Salah satu pekerjaan rumah terbesar bagi Aceh saat ini adalah mempercepat dan mengoptimalkan implementasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau sering disingkat dengan UUPA. UUPA adalah titik kulminasi, puncak pencapaian dari seluruh rangkaian upaya dan proses perdamaian di Aceh. Inilah vocal point sesunggunya yang menjadi modal untuk mewujudkan kemandirian politik dan ekonomi Aceh setelah berpuluh tahun terpinggirkan akibat politik sentralistik Jakarta. Namun sayangnya sampai saat ini ada beberapa pasal penting dalam UUPA yang belum ditindaklanjuti melalui pembentukan peraturan pelaksana yang lebih operasional. Amrizal J. Prang dalam Quo Vadis UUPA (Refleksi Tiga Tahun UUPA), (Aceh Institute, 10 Agustus 2009) mencatat ada delapan pasal yang terkait dengan kebijakan hukum kekhususan yang belum memiliki peraturan pelaksana, yaitu pertama, Peraturan Pemerintah (PP) kawasan khusus perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas (Pasal 4); kedua, Peraturan Presiden (Perpres) kerjasama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri (Pasal 9); Ketiga, PP pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi Aceh (Pasal 160); keempat, Perpres peralihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Aceh dan kabupaten/kota menjadi perangkat Aceh dan kabupaten/kota (Pasal 253); dan kelima, PP kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh (Pasal 270). Sementara lembaga yang belum dibentuk pengadilan HAM dan KKR (Pasal 259 dan Pasal 260). Selanjutnya, belum terealisasinya secara menyeluruh penghapusan kelurahan menjadi gampong (Pasal 267).

Padahal, sebagaimana termaktub dalam pasal 271 UUPA, ketentuan pelaksanaan UUPA yang menjadi kewajiban pemerintah pusat dibentuk paling lambat dua tahun sejak UUPA disahkan. Artinya paling lambat tanggal 1 Agustus 2008, dua tahun setelah UU ini disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006, ketentuan pelaksanaan UUPA sudah harus diselesaikan oleh pemerintah pusat. Namun nyatanya sampai saat ini, Aceh masih harus menunggu konsistensi pemerintah pusat.

MERANGK AI K ATA DAMAI

114

Ekspektasi Aceh sangat beralasan. Setidaknya ada tiga pasal yang disebutkan di atas yang memiliki nilai sangat strategis bagi daerah ini, yaitu Pasal 4 tentang kawasan khusus perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas, Pasal 9 tentang kerjasama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri, serta Pasal 160 tentang pengelolaan bersama sumberdaya alam minyak dan gas bumi Aceh. Ketiga pasal ini memberikan insentif yang sangat berharga bagi Aceh, baik secara politik maupun ekonomis; Aceh memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk melakukan kontak-kontak ekonomi dan budaya yang memungkinkannya mempromosikan berbagai potensi dan sumberdaya yang dimiliki ke luar negeri. Aceh juga memiliki akses dan daya tawar yang lebih besar dalam hal pengelolaan kawasan ekonomi strategis dan sumber-sumber minyak dan gas bumi, yang memungkinkannya memacu pertumbuhan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru.

Akselarasi Pembangunan Ekonomi

Konflik dalam banyak kasus, termasuk konflik Aceh, terjadi tidak hanya dipicu oleh motif-motif ideologis, tetapi juga dapat berkelindan dengan alasan-alasan ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi. Pengangguran, kemiskinan, dan berbagai bentuk tekanan ekonomi lainnya, yang kemudian diperparah dengan praktek-praktek diskrimasi dan tertutupnya akses terhadap berbagai sumber daya, dapat menimbulkan kekecewaan akut dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, hingga mewujud dalam berbagai gerakan resistensi bahkan seperasi yang ujung-ujungnya menimbulkan konflik bersenjata antara pemerintah dengan “pemberontak”.

Penyelesaian damai konflik Aceh yang dibarengi dengan peningkatan status dan daya tawar politik Aceh, sudah semestinya dibarengi secara simultan dengan kemandirian ekonomi. Untuk itu, akselarasi program-program pemberdayaan ekonomi seperti pemberdayaan ekonomi sektor riil, penyediaan lapangan kerja, pengembangan iklim usaha yang sehat dan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru yang berbasis sumberdaya, adalah agenda penting yang mesti dijalankan seefektif mungkin oleh Pemerintah Aceh. Langkah-langkah ini adalah bagian dari

115 program pengentasan kemiskinan dan pemenuhan atas kualitas kehidupan yang

lebih baik yang sudah sepatutnya dinikmati rakyat Aceh.

Arah pembangunan ekonomi Aceh juga harus mempertimbangkan aspek kemanfaatan maksimal. Geliat ekonomi yang cenderung terpusat di kota-kota, sudah saatnya difokuskan sampai ke daerah-daerah, termasuk daerah terpencil dan tertinggal sehingga dapat memperkecil kesenjangan antara kota dan desa, pusat dan pinggiran. Pembangunan infrastruktur harus dipacu untuk menunjang aktifitas ekonomi daerah. Infrastruktur yang telah dibangun BRR semasa program rehab-rekon, juga mesti dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong ekonomi yang berorientasi ekspor sehingga dapat diharapkan pertumbuhan ekonomi Aceh dapat bergerak dalam trend yang positif di masa-masa yang akan datang.

Agenda ekonomi ini adalah variabel yang sangat penting dalam membangun Aceh ke depan. UUPA, sebagaimana dibahas di atas telah menyediakan Aceh pondasi legal dengan lingkup dan kewenangan yang lebih luas, untuk mengelola perekonomiannya baik pada skala makro maupun mikro. Makanya, agenda ini dengan sendirinya akan sangat tergantung pada sejauh mana ketentuan pelaksana UUPA tersebut dapat segera dibentuk dan disahkan sebagaimana disebut di atas. Dua agenda ini adalah saling terkait satu sama lain.

Efektifitas kinerja Pemerintahan Aceh

Dari berbagai laporan media tentang rendahnya realisasi APBA menunjukkan bahwa kinerja Pemerintahan Aceh masih jauh dari harapan. Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan realisasi APBA 2008 kurang dari 40 persen dan berada di peringkat dua terburuk di seluruh Indonesia, setelah Provinsi Sumatera Utara, (dikutip Serambi Indonesia tanggal 17 Januari 2009). Sedangkan pada tanggal 21 Juli 2009 Serambi Indonesia merilis berita tentang realisasi APBA 2009. Disebutkan bahwa dalam waktu tujuh bulan dari total pagu sebesar 9,7 triliun, realisasi fisik yang dicapai baru 9,29 persen, sedangkan realisasi keuangan sebesar 8,03 persen (per 30 Juli 2009).

Sementara itu Serambi Indonesia tanggal 2 September 2009, dalam kolom

headlinenya merilis berita demontrasi mahasiwa dengan tajuk “Dinilai Berkinerja

MERANGK AI K ATA DAMAI

116

Lemah, Irwandi-Nazar Dihadiahi Ayam Sayur”. Gabungan Mahasiswa yang menamakan diri Gerakan Mahasiswa Penyelamat Uang Rakyat (Gempur) mendemo kantor Gubernur Aceh dan “menghadiahi” Gubernur Irwandi dengan ayam sayur sebagai simbol atas lemahnya kinerja Pemerintah Aceh. Mereka juga menuntut Gubernur untuk mencopot kepala dinas yang berkinerja lemah dan korupsi. Masih pada halaman depan harian tersebut, juga di-update realisasi fisik APBA yang disebutkan sebesar 22.24 persen, dan realisasi keuangan mencapai 13,34 persen.

Rendahnya capaian realisasi anggaran pembangunan sebagaimana disebutkan media tersebut mengindikasikan kelemahan Pemerintah Aceh dalam memobilisasi sumberdaya manusia dan finansial yang sebenarnya lebih dari cukup untuk menghasilkan perubahan yang signifikan bagi Aceh. Walaupun memang kelemahan ini tidak sepenuhnya dapat ditimpakan kepada Pemerintah Aceh sebagai eksekutif, karena legislatif dalam hal ini DPRA, juga memiliki “sero” atas kondisi ini akibat keterlambatan mereka dalam pembahasan anggaran di lembaga perwakilan rakyat tersebut, namun ini tidak menutupi fakta inkompetensi Pemerintah Aceh selaku eksekutor dalam menggerakkan roda pembangunan di Aceh.

Pendekatan yang sektoral, manajemen yang tidak terintegrasi, lemahnya visi dan kemampuan manjerial di tingkat dinas dan instansi terkait, diperparah oleh orientasi dan prilaku KKN aparatur, mengakibatkan tidak ada capaian yang dapat dikatakan betul-betul berarti selama tiga tahun (tepatnya 2,6 tahun) kekuasaan Pemerintahan Aceh. Parahnya lagi, kondisi ini tidak hanya terjadi di pemerintahan level provinsi namun juga di level kabupaten/kota. Kelemahan ini terpola dan terstruktur pada hampir semua level dan jenjang pemerintahan di Aceh. Porsi pemberitaan di media lokal yang cukup banyak menyorot berbagai kasus inefisensi dan inefektivitas pemerintahan di daerah ini adalah sebuah indikasi sekaligus sinyal kuat bagi pemerintah lokal di Aceh untuk segera membenahi kinerjanya.

Evaluasi kinerja secara ketat dan reguler, reformasi struktur birokrasi, dan manajemen sumber daya dengan berpijak pada prinsip the right man on the right

place, dan mengembangkan sebuah pendekatan kerja yang lebih integratif, adalah

beberapa langkah pembenahan internal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh.

117 Pemerintah Aceh juga dapat mengadopsi model kerja rehab-rekon yang telah

diterapkan oleh BRR NAD-Nias. Terlepas dari kelemahan-kelemahannya yang sering dikritik berbagai pihak, BRR NAD-Nias telah menyelesaikan mandat besar program rehab-rekon dengan cukup baik dan mewariskan sebuah lesson-learn yang dapat diambil hikmahnya oleh Pemerintah Aceh. BRR juga, setelah lembaga ini dibekukan pada April 2009 yang lalu, telah menghibahkan bebarapa perangkat lunak dan keras untuk diadopsi dan diaplikasikan oleh Pemerintah Aceh. Sistem database, teknologi informasi, sistem manajemen aset, ditambah model perencanaan dan pengawasan proyek pembangunan serta pengelolaan sumberdaya manusia yang handal, plus dengan keberadaan sebagian karyawan BRR NAD-Nias yang adalah pegawai Pemda Aceh, maka akan menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi Pemerintah Aceh untuk melakukan transfer-knowledge sehingga dapat menjadi bagian dari capacity building mereka dalam mengemban mandat pemerintahan dalam mengelola kerja-kerja pembangunan di Aceh.

Penanganan Isu ALA-ABAS

Selama ini pemahaman mainstream atas konflik Aceh lebih mengarah pada konteks konflik vertikal antara RI-GAM. Namun sebenarnya, baik pada masa konflik bahkan terlebih di masa transisi ini, ancaman yang tak kalah potensialnya adalah konflik horizontal di tingkat lokal. Dan menjadi semakin serius jika sampai disusupi oleh external conditioners. Timbulnya wacana pemekaran provinsi ALA-ABAS di Aceh beberapa tahun belakangan dapat ditunjuk salah satu indikasi yang paling relevan terkait dengan potensi perubahan aras konflik tersebut.

Kenapa tuntutan pemekaran wilayah ini bisa timbul? Oleh para pendukungnya, ketimpangan pembangunan dan alasan untuk mempercepat pembangunan daerah, sering dijadikan basis argumen untuk menggolkan aspirasi pemekaran ini. Memang tak bisa dipungkiri bahwa pembangunan di dua wilayah ini (ALA dan ABAS) masih belum optimal, namun juga tidak terbantahkan bahwa motif politik juga sangat kental berada di balik manuver-manuver untuk mewujudkan terbentuknya kedua provinsi ini. Jadi walaupun ketimpangan pembangunan ini seringkali dijadikan “senjata” oleh para pendukungnya, namun insentif politik dan

MERANGK AI K ATA DAMAI

118

ekonomi sebagai implikasi yang lazim dari sebuah proses pemekaran wilayah, hampir dapat dipastikan juga turut mendorong menguatnya wacana pemekaran wilayah ini.

Jika dilihat dalam konteks dan praktek desentralisasi di Indonesia, persoalan ALA-ABAS ini, sebagaiama persoalan yang sama di daerah-daerah lainnya, sebenarnya adalah turunan dari warisan saja dari kultur politik sentralistik Indonesia, terutama pada masa Orde Baru berkuasa, yaitu apa yang dapat disebut dengan hirarki ketimpangan/ketidakadilan. Pusat (Jakarta) tidak adil pada provinsi. Provinsi diskriminatif terhadap kabupaten/kota. Lalu kabupaten/kota juga menerapkan pola yang sama terhadap kecamatan-kecamatan di bawahnya, sampai terakhir kecamatan terhadap desa-desa di bawahnya. Pola ini telah terstruktur dengan akut dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.

Desentralisasi yang kemudian diterapkan oleh pemerintah sesungguhnya hanyalah salah satu alternatif solusi terhadap masalah ini. Dengan segala kelemahan dan petensi kegagalannya, desentralisasi ini mau tidak mau harus didukung dengan pendekatan lain yang lebih berbasis pada aspek budaya.

Kembali ke persoalan ALA-ABAS, kemunculan isu ini sesungguhnya juga tidak terlepas dengan fakta Aceh adalah multikultural. Terdiri dari delapan etnis yang mendiami seluruh wilayahnya, yaitu Aceh, Aneuk Jamee, Gayo, Alas, Kluet, Tamiang, Singkil, dan Simeulue. Secara kultural Aceh termanifestasi dalam keragaman budaya ke-delapan etnis tersebut. Oleh karena itu, dalam konteks pendekatan budaya, klaim identitas ke-Acehan haruslah dilihat dalam kerangka relasi etnis-etnis tersebut, bukan dominasi etnis-etnis Aceh yang mayoritas yang mendiami wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, sepanjang pantai Utara-Timur, dan sebagian pantai Barat-Selatan Aceh, terhadap minoritas etnis-etnis lainnya.

Untuk itu, sudah saatnya Aceh menjadikan multikulturalisme ini sebagai prinsip dasar atau semacam falsafah dan nilai bersama dalam relasi-relasi sosial rakyatnya. Multikulturalisme ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengembalikan kebanggaan kultural beberapa etnis di Aceh yang selama ini merasa dipinggirkan sampai menuntut pemekaran provinsi, sehingga relasi yang timbul kemudian adalah relasi-relasi kesejajaran yang saling respek dan mengakui satu sama lain

119 dalam sebuah bingkai semangat ke-Acehan.

Epilog

Dengan merujuk pada agenda-agenda di atas, maka konteks post-conflict

recovery dan visi Aceh Baru semestinya tidak lagi berkutat pada pembahasan

mengenai “bagaimana menjaga atau melanggengkan perdamaian”, tetapi mesti lebih progresif diarahkan pada pertanyaan yang lebih operasional : “apa yang harus dilakukan” untuk mengeleminir potensi konflik terulang kembali. Dalam sudut pandang ini keberlanjutan perdamaian sesungguhnya tidak lagi dilihat sebagai tujuan, tetapi auto-impact yang teralisir ketika program-program transformasi pascakonflik tersebut di atas, berjalan mulus dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Aceh, terutama oleh kalangan grass-root, korban konflik dan bencana tsunami. Pertanyaan “apa yang harus dilakukan” adalah sebuah kekuatan transformasi yang membuat kita fokus pada pertanyaan “what”, bukannya “how”. Fokus ini memberikan semacam “obat kuat” yang kemudian memungkinkan kita lebih progresif dalam mencapai target-target ideal sebagaimana yang diimpikan oleh seluruh rakyat Aceh.

Agenda-agenda ini sendiri tidak berada dalam posisi yang saling terpisah dan berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terkait dan sinergis satu sama lain. Agenda-agenda tersebut bergerak secara simultan dalam sebuah pendekatan yang komprehensif sehingga dapat memberikan dampak positif yang riil dan betul-betul efektif, dalam konteks sustainable peace and development di Aceh.

Capaian-capaian konkrit ini adalah faktor yang sangat menentukan takdir Aceh ke depan. Untuk itu para pihak, pemangku kepentingan, berbagai elemen rakyat Aceh, kiranya bisa saling terbuka dan memiliki komitmen untuk bersama-sama membangun dan meletakan sebuah pondasi demokrasi di daerah ini, sehingga kita dapat berharap Aceh Baru yang damai, sejahtera dan demokratis bukanlah sebuah utopia, melainkan sebuah mimpi yang akan menjadi kenyataan. Semoga.***

Perundingan Helsinki telah membawa perubahan wajah Aceh, Aceh yang dikenal sebagai wilayah perang telah berubah menjadi wilayah damai setelah ditandatangani MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Walaupun perdamaian telah berjalan selama 4 tahun seiring dengan umur MoU Helsinki, akan tetapi banyak lagi tantangan yang harus kita hadapi terutama dari pihak-pihak yang tidak menginginkan Aceh damai. Kenyataan tersebut telah terbukti dari beberapa kejadian selama ini yang ingin membangkitkan dendam lama. Kejadian-kejadian tersebut jelas sekali ada indikasi untuk membawa Aceh kembali ke dalam konflik. Mudah-mudahan rakyat Aceh tidak terjebak dalam kehidupan gemerlapan yang telah memusnahkan peradaban Aceh sebelum ini. Di sinilah perlu kearifan dari semua pihak terutama dari elit politik Jakarta dan Aceh untuk selalu membangun saling kepercayaan bukan sikap saling curiga terhadap satu sama lain. Cukuplah konsensi–konsensi perjuangan yang telah digugurkan oleh pihak GAM di Helsinki sudah sewajarnya segala sikap kecurigaan terhadap Aceh dilenyapkan. GAM telah memutuskan untuk berjuang dalam lunas-lunas demokrasi dalam bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia, bukankah itu sesuatu pilihan bijaksana yang harus

Effendi Hasan

Mahasiswa program doktor bidang falsafah politik dan ideologi, Universiti Kebangsaan Malaysia

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 126-135)