MoU antara pemerintah RI dan GAM merupakan pintu gerbang bagi perdamaian Aceh setelah konflik berkepanjangan selama 32 tahun. Kita semua mungkin sudah mengetahui, bahwa lahirnya MoU Helsinki merupakan sebuah resolusi secara politik mencapai titik kesepakatan untuk mengakhir perang berkepanjangan. Tidak hanya di situ saja tafsir dari MoU Helsinki itu sendiri, ada sebagaian orang mengartikan sebagai wujud rekonsiliasi antara dua pihak yang berkonflik.
Hadirnya MoU telah menghentikan dampak berkepanjangan, di mana ketika konflik berkecamuk menghancurnya struktur sosial Aceh yang secara fundamental. Momentum perdamaian tersebut seharusnya membawa rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh dan korban konflik khususnya. Namun sejauh ini, realitas proses perdamaian mengalami beberapa titik kelemahan yang bisa berdampak pada munculnya titik jenuh yang berujung terulangnya kembali konflik tersebut. Tentunya, situasi ini tidak seorangpun mau mengharapkannya.
Bisa diumpamakan empat tahun perdamaian di Aceh (15 Agustus 2009) ibarat seorang anak kecil menuju proses perkembangan secara fisik dan emosionalnya. Biasanya secara psikologis usia 4 tahun memiliki ledakan kemarahan yang sering
Mandeknya Implementasi MoU dan UU PA,
Kesalahan Siapa?
Perdamaian di Aceh sudah memasuki usia 4 tahun sejak perjanjian damai MoU Helsinki dan 3 tahun implementasi UUPA. Lalu mengapa perubahan belum dirasakan hampir di seluruh aspek tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Benar adanya bila dikatakan ini sebuah proses, mengapa proses itu berjalan lambat dalam mengimplementasikan MOU dan UUPA. Dimana letak kendalanya? Sedangkan keduanya sebagai modal kuat dalam menata kembali Aceh dalam konflik berkepanjangan menuju pembangunan berkeadilan dan sejahtera.
MERANGK AI K ATA DAMAI
84
dialami anak usia tersebut. Itu terjadi, dikarenakan permintaannya tidak dikabulkan, lalu menangis keras. Tapi proses anak yang masih kecil itu akan tumbuh menjadi anak dewasa, di mana sampai pada titik kestabilan secara emosional.
Seorang psikolog berkebangsaan Jerman Dr. Herman Scheuerer – Englisch menjelaskan, anak usia empat tahun justru mulai memiliki daya persaingan, karena dalam proses pertumbuhan akan menemukan hal-hal baru bagi seorang anak berusia balita. Bahkan orang tua si anak akan memikirkan perencanaan, tujuan, dan harapan.
Tadi penulis sudah mengulas dari gambaran permukaan saja, sekarang mari sama-sama kita bedah isi di dalam MoU apa saja yang belum terlaksana selama rentang waktu 4 tahun perdamaian ini. Perinciannya sebagai berikut: Pertama; Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne. Kedua, Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Sudah diakomodasi dalam UUPA tentang Lembaga Wali Nanggroe pasal 96 dan 97, tentang Lembaga Adat pasal 98 dan 99. Dasar hukum masih kabur. Dalam UUPA, Wali Nanggroe hanya sebatas pemangku adat, padahal dalam sejarah Aceh, Wali Nanggroe mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam pemerintahan daripada hanya sekedar pemangku adat. Ketiga, Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia. sudah 4 tahun perdamaian belum ada dasar hukum tetap dan Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh. Ini tidak terealisasi, karena peraturan pelaksananya atau ketentuan hukumnya tak kunjung dibuat oleh pemerintah pusat
Keempat, Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua
pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh. Anehnya hingga 4 tahun perdamaian Pelabuhan Laut dan Udara yang ada di Aceh masih dikelola oleh badan nasional yang tunjuk langsung ke pemerintah pusat yaitu PT. Pelindo dan PT. Angkasa Pura. Kelima, Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh. Semua kasus kejahatan sipil
85 yang melibatkan aparat militer di Aceh masih menggunakan peradilan militer, dan belum semua kasus pelanggaran disidangkan terutama kasus-kasus selama masa DOM (1989-1998) dan Darurat Militer (2003-2005). Keenam, Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Ditambah lagi Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.
Bila dianalisis mengapa semua butir-butir kesepakatan yang tertuang dalam MoU tak terlaksana. Penulis menilai ada beberapa variabel penghambatnya seperti politik kepentingan pusat terhadap daerah sangat tinggi, kurang dibangunnya nilai tawar Pemerintah Aceh terhadap Pemerintah pusat (sedangkan UU 11/2006 memiliki khusus tersendiri di beberapa pasal didalamnya), tidak adanya perhatian khusus dari komponen masyarakat sipil di Aceh (karena dibutakan dengan kondisi yang sudah damai), kurang masifnya dorongan dari pihak GAM sendiri dalam menuntut hak-hak bagi masyarakat Aceh, terakhir sosialisasi terhadap isi MoU kepada masyarakat Aceh sendiri masih lemah.
Penajaman Analisis
Ada hal mengapa pembentukan qanun wali nanggroe tidak terbentuk, kurangnya komunikasi pihak DPRA kepada komponen masyarakat sipil lainnya, termasuk dengan pihak GAM. Sehingga kesiapan belum maksimal untuk mewujudkan hadir qanun wali nanggroe. Ini menunjukan lemahnya relasi DPRA kepada pihak lain. Belum lagi keberangkat anggota dewan waktu lalu ke Swedia untuk bertemu dengan Hasan Tiro tidak membuahkan hasil, walhasil hanya mengambur-amburkan uang saja sambil bertamasya gratis dibiaya negara. Seharusnya dana miliyaran untuk ongkos keberangkatan itu bisa digunakan untuk pembanguan di daerah tertinggal di Aceh.
Nah, bagaimana dengan pembentukan KKR di Aceh. Sedangkan itu dimandatkan dalam kesepakatan MoU serta berkekuatan hukum melalui UUPA. Masalahnya terletak akibat putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 006/PUU-IV/2006 yang
MERANGK AI K ATA DAMAI
86
membatalkan UU No 27 tentang KKR. Kalau melihat kemajuan dari pembentukan KKR di Aceh sudah hadirnya draf qanun KKR versi masyarakat sipil yang disusun melibatkan sejumlah ahli hukum dan HAM, akademisi, ulama, tokoh adat, korban, dan tokoh perempuan. Sehingga rancangan Qanun ini sudah mengakomodir pendapat dan pemikiran seluruh unsur. Tapi semua itu berjalan lambat, ketika dukungan politik dari Pemerintah Aceh kurang. Di sisi lain issue KKR tergulung dengan isu ALA dan ABAS, Pilkada 2006, hingga pemilu dan Pilpres 2009. Tidak hanya di situ saja, Civil Society Organitation di Aceh sudah terparsialkan dengan agenda masing-masing, di mana mengakibatkan isu KKR bukan menjadi isu prioritas yang harus diperjuangkan bersama. Efeknya seakan-akan CSO berlandasan HAM saja yang wajib memperjuangkan. Ini juga akan mengarah kepada keesklusifan dari sebuah pergerakan CSO.
Masalah pembagian hasil migas pun tak kunjung usai diselesaikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Aceh, tarik-ulur kepentingan politik masih terus dimainkan oleh Pemerintah pusat. Bisa dikatakan Pemerintah Aceh dijadikan boneka mainan dari kepentingan pusat, khususnya masalah pembagian hasil migas tersebut. Bertujuan untuk mengeruk hasil kekayaan Aceh bagi kepentingan elit berkuasa di pusat.
Relasi MoU dengan UUPA
Menelaah sejauhmana hubungan antara MoU dan UUPA, kalau penulis menganalogikan seperti sepeda motor dengan bensin, sepeda motornya MoU dan bensinnya UUPA. Intinya lahirnya UUPA, karena adanya sebuah kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan GAM. Kalau menilik ke belakang, tentunya lahirnya MoU bukan buah dari Pemerintah Indonesia, tetapi berkat bantuan seluruh komponen masyarakat sipil di Aceh dan dunia internasional.
Lalu apa yang menarik untuk membicarakan UUPA, bukannya sudah terbentuk di Aceh. Kalau berbicara dalam tataran itu benar adanya. Hal yang harus diperhatikan bukanlah dari sudah terbentuknya UUPA, tetapi bagaimana mandat di dalamnya diimplementasikan semaksimal mungkin. UUPA sebuah landasan Pemerintah Aceh dalam menata kembali pembangunan Aceh secara holistik dengan pendekatan
87 hak-hak dasar rakyat. Secara tegas penulis menilai kemajuan implementasi UU No11 tahun 2006 ini belum memberikan dampak yang konstruktif untuk menjawab keberlanjutan perdamaian dan pembangunan kesejahteraan masyarakat Aceh. walaupun kita akui sudah berjalan dalam tataran implementasinya. Terbersit di benak penulis apakah butir-butir kesepakatan dalam MoU sudah terakomodir sepenuhnya dalam UUPA?
Sejauh ini, UU No11 tahun 2006 telah berjalan hampir tiga tahun lebih, dan 15 Agustus 2009 ini merupakan momen paling penting perdamaian Aceh yaitu empat tahun MoU Helsinki. Tentunya, momentum tersebut harus menjadi masa yang tepat bagi kita untuk melakukan refleksi sejauhmana implementasi MoU Helsinki dan UU No.11 2006 memiliki implikasi politik pada keberlanjutan perdamaian dan pembangunan Aceh ke depan.
Qanun sebagai aturan daerah yang dijabarkan dari UU No11 tahun 2006 merupakan regulasi penting yang seharusnya bisa mengatur berbagai kebutuhan pembangunan dalam segala sektor, tetapi sejauh ini substansi politik dalam kandungan aturan/qanun tersebut belum memberikan nuansa perubahan bagi tata pemerintahan dan pembangunan Aceh. Selama ini yang selalu keluar dari berbagai statement pemangku kepentingan di badan legislatif dan eksekutif tentang kesulitan dan masalah yang dihadapi oleh mereka dalam berkomunikasi dengan Pemerintah Pusat, selalu saja Pemerintah Pusat menjadi sasaran justifikasi tentang keterlambatan pembangunan Aceh. Menurut penilaian penulis lahirnya qanun yang seharusnya prioritas tidak diprioritaskan, karena qanun yang dihasilkan rata-rata untuk kepentingan promodal.
Jika kita lihat dinamika ini, maka sangat kita sayangkan keberadaan mereka belum mampu melakukan negosiasi dan komunikasi politik dengan berbagai pihak dalam memuluskan implementasi UU No 11 tahun 2006 sehingga bisa melahirkan rel bagi pembangunan Aceh yang berkelanjutan untuk masa 50 – 100 tahun ke depan.
Menurut pandangan penulis yang terpenting harus dilakukan secara serius oleh para pejabat pemerintah sebagai pelaksananya, bukan dijadikan sebuah kita suci saja UUPA tersebut. Hadirnya UUPA harus bisa memberikan manfaat secara politik
MERANGK AI K ATA DAMAI
88
dan ekonomi bagi masyarakat Aceh. Selanjutnya agar seirama dan mendapatkan dukungan dari rakyat, Pemerintah Aceh harus melakukan sosialisasi benar ke
grass root. Mengapa itu penting? Jujur saja, ketika penulis melakukan peninjauan
ke daerah masih banyak masyarakat yang kurang paham akan isi MoU dan UUPA. Dampak besarnya saat ini terjadi polarisasi (multitafsir) akan kedua barang tersebut.
Tantangan terbesar adalah bagaimana agar pembiasan-pembiasan yang ada dalam UU PA ditindaklanjuti pembuatan melalui peraturan pelaksana maupun qanun tujuannya untuk menghindari stagnasi dalam proses pembangunan. Saat ini baru dua peraturan pelaksana yang terbentuk pertama tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan dan kedua pendirian partai politik lokal. Sedangkan enam lagi belum dikeluarkan, yaitu PP tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Pusat yang Bersifat Nasional ke Aceh, PP Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang (DKS), PP tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Kabupaten/Kota, PP tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi, PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah, di samping PP tentang Standar, Norma, dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan PNS Aceh dan Kabupaten/Kota.
Semuanya tentunya bermuara dalam rangka menuju Aceh Baru, maka disarankan ada perhatian khusus terhadap penyusunan perencanaan pembangunan ke depannya, dengan sepenuhnya mendasarkan pada prinsip-prinsip tatakelola yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean governance).
Revisi UUPA
Kalau berbicara ke depannya UUPA, banyak kalangan mendorong untuk melakukan revisi untuk mengevaluasi serta kelayakan substansinya. Benar bila terdapat pasal yang tidak perlu, maka dihapuskan dan bila belum terakomondir kesepakatan dalam MoU, harus dimasukkan, sekaligus diperjelas mekanismenya. Pengertian revisi adalah menghilangkan hal-hal yang bertentangan dengan aturan umum dan bersifat duplikasi. Seharusnya pihak yang ingin mendorong itu menimbang akan melakukan revisi, karena konstelasi perpolitikan di tingkat
89 nasional sangat sulit bila UUPA akan direvisi. Jelasnya, akan hadirnya poros politik penentang. Intinya dalam melakukan revisi juga harus dilihat momen atau menciptakan momen itu sendiri.
Momen berupa menganalisis dan melakukan monitoring dalam rentang waktu satu dekade (10 tahun ke depannya) UUPA jangan direvisi. Tujuannya agar diberikan ruang dan kesempatan Pemerintah Aceh melaksanakan apa yang tertuang (termandat) dalam UUPA. Bila terdapat keganjalan (ketidaksesuaian), maka harus dibuat daftar inventaris masalah (DIM). Kalau tetap melakukan revisi, dampak yang akan terjadi, yaitu pertama: marwah dari UUPA tidak ada lagi, kedua: akan muncul masalah-masalah lagi. Jadi harus sekalian, sehingga tidak dua kali kerja. Yang terakhir, ketiga: akan memakan anggaran serta konsentrasi hanya tertuju pada revisi, sehingga masyarakat dilupakan.
Kalau berbicara kelemahan mendasar dari implementasi dari UUPA adalah kurangnya dukungan dari komponen masyarakat sipil. Hal ini ditunjukan dengan kurangnya diskusi membahas sejauhmana implementasinya bagi rakyat Aceh. Semuanya disibukkan dengan agenda masing-masing pascaperdamaian. Idealnya, UUPA dibangun menjadi kepemilikan seluruh rakyat Aceh, bukan berpandangan hanya untuk sekelompok orang tertentu. Ketidakjelasan itu makin terjadi ketika pandangan sebagian dari masyarakat Aceh menilai UUPA hanya mengatur sebuah teritorial.
Reintegrasi Politik Agenda Dominan
Reintegrasi Politik merupakan agenda dominan di tahun keempat perdamaian Aceh, di mana proses ini sesungguhnya melengkapi agenda politik sebelumnya pada tahun 2006. Apabila pada tahun 2006, Aceh menyelenggarakan agenda Pilkada 2006, maka di tahun 2009 ini, Aceh menyelenggarakan Pileg dan Pilpres. Sehingga banyak pendapat yang menyatakan bahwa usainya pesta demokrasi pada tahun 2009 ini, maka sekaligus menandakan usainya proses reintegrasi politik bagi Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apa sesungguhnya peran penting dari proses reintegrasi politik yang baru saja usai bagi proses perdamaian Aceh? Pertanyaan ini sangat penting untuk diuraikan
MERANGK AI K ATA DAMAI
90
secara lebih lanjut karena menurut kami (ACSTF), wujud penyelesaian reintegrasi politik adalah sekaligus pemicu terhadap baik-buruknya perjalanan reintegrasi ke depan dan sekaligus bermakna sebagai cerminan daripada sikap dan perilaku elit dari kedua kubu yang sebelumnya bertikai, yakni pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pihak Pemerintah Republik Indonesia (RI).
Sebagai catatan penting atas pendapat di atas, yaitu pandangan tentang pentingnya reintegrasi politik dari kami adalah tanpa sedikitpun bermaksud mensubordinasikan proses reintegrasi di bidang lain, baik reintegrasi sosial maupun reintegrasi ekonomi, yang juga menjadi bagian utuh daripada perwujudan damai Aceh. Karena kami sangat meyakini bahwa reintegrasi politik, sosial dan ekonomi harus berjalan bersama-sama sebagai prasyarat mutlak terciptanya wujud perdamaian yang hakiki di Aceh.
Kembali pada pembahasan tentang pentingnya menguraikan reintegrasi politik di atas, maka asumsi kami ini sungguh tidak berlebihan, mengingat dua hal pokok yang menjadi latar belakangnya. Pertama, perjuangan bersenjata yang pada awalnya menjadi fokus pilihan perjuangan GAM, maka pascapenandatanganan MoU Perdamaian Aceh telah tergantikan dengan perjuangan politik melalui pendirian partai politik lokal yang pendiriannya diamini oleh pemerintah pusat bagi masyarakat Aceh. Kedua, mengingat pada pilkada 2006 lalu, Aceh menjadi daerah pertama di Indonesia yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Artinya, perjalanan reintegrasi politik di Aceh menjadi unik dalam implementasinya, karena Aceh adalah sebagai daerah yang pertama kali menyelenggarakan Pilkada Langsung pada tahun 2006 dan Aceh sebagai satu-satunya daerah yang memiliki partai politik lokal sebagai peserta Pemilu 2009. Maka diasumsikan kembali bahwa Aceh sebagai daerah pascakonflik yang sekaligus dijadikan prototype pertama pilkada langsung di Indonesia serta memasukkan kepesertaan Parpol lokal untuk pertama kalinya dalam penyelenggaraan Pemilu di tahun 2009 ini, tentu akan membuka peluang besar terjadinya gesekan politik, baik di level elit daerah, pusat, maupun masyarakat Aceh secara umum.
91 pikiran masyarakat Aceh pada tahun keempat perdamaian Aceh menjadi tertuju pada Pemilu 2009, sebagaimana mengulang situasi yang sama pada tahun 2006 pada pilkada langsung untuk meredam segala potensi konflik yang diprediksikan terjadi.
Alhasil, perjalanan reintegrasi politik di Aceh akhirnya dapat berjalan dengan baik dan lancar. Apabila dalam pilkada langsung pada tahun 2006 sebelumnya pasangan Irwandi-Nazar memperoleh kemenangannya sebagai representatif pasangan calon independen, maka di tahun 2009 ini pada pemilihan legislatif di Daerah Aceh, kemenangan DPRA/ DPRK didominasi oleh partai lokal (Partai Aceh), sedangkan Partai Demokrat relatif mendominasi perolehan kursi DPR-RI. Selain itu, untuk agenda Pilpres 2009, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Budiono-lah yang memenangkan kompetisi, baik di tingkat Nasional maupun Aceh. Kemenangan Pasangan SBY-Boediono ini khususnya dari Daerah Aceh, sungguh sangat fantastis prosentasenya, yakni mencapai 93 persen suara dari total keseluruhan jumlah pemilihnya.
Inilah yang menjadi titik usainya proses reintegrasi politik Aceh dalam bingkai NKRI. Tentunya dari hasil titik-titik kemenangan ini dapat kita peroleh sebuah kesimpulan awal terhadap bagaimana sikap dan perilaku elit dari kedua kubu yang sebelumnya bertikai, yakni pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pihak Pemerintah Republik Indonesia (RI), beserta masyarakat Aceh secara umum pada perjalanan masa transisi di tahun keempat Perdamaian Aceh. Sesungguhnya, telah terdapat itikad baik dari kedua pihak beserta masyarakat Aceh secara umum, untuk menerima Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut lagi dapat juga disimpulkan bahwa, berbagai pihak tetap berkomitmen dalam upaya menjaga proses perdamaian Aceh.
Dari uraian di atas tentang usainya perjalanan reintegrasi politik di Aceh, maka telah diperoleh secercah harapan bagi keberlangsungan proses perdamaian di Aceh. Kendatipun, harus disinergikan juga oleh keberhasilan-keberhasilan pemerintah pusat dan daerah dalam menyelenggarakan reintegrasi di bidang sosial dan ekonomi Aceh guna memperoleh kepastian terciptanya wujud perdamaian yang hakiki di tanah Serambi Mekkah.
MERANGK AI K ATA DAMAI
92
Sebagai penutup dari akhir tulisan ini penulis ingin mengatakan, saat ini Aceh telah memasuki dimensi baru dalam artian Aceh Baru bukan lagi Aceh lama, dimana usianya sudah beranjak 4 tahun perdamaian. Dalam mewujudkan Aceh baru telah memiliki dua pondasi sekaligus modal penting yang dimiliki oleh rakyat Aceh pertama MoU dan kedua UUPA. Bila bertanya apa itu Aceh baru, berdasarkan kesepakatan masyarakat sipil mendefinisikan formulasi dari sejarah Aceh yang gemilang, hikmah dari pengalaman pahit di masa lalu dan cita-cita masa depan yang berperadaban tinggi. Mari jaga terus perdamaian, demi masa depan generasi
Damai adalah suatu kata yang sangat mudah diucapkan, akan tetapi sangat sulit untuk dirasakan. Fakta berbicara telah sekian lama darah masyarakat Aceh terus tumpah mengalir akibat terjebak dalam persoalan yang diciptakan oleh segolongan orang untuk kepentingan tertentu. Yang paling merasa dirugikan dari pertikaian ini adalah masyarakat sipil Aceh karena mereka harus merasakan imbas dari semua ini kendati tidak persis tahu apa, siapa, bagaimana dan mengapa bisa terjadinya masalah dan kapan berakhirnya yang sepertinya tidak berpangkal dan berujung. Pada akhirnya, masyarakat Aceh merasa ‘gerah’ karenanya lalu muncullah semacam gelora untuk bangkit dan berjuang mencari perdamaian demi memperoleh suatu ketenangan dalam hidup yang telah diidam-idamkan selama ini hingga sampailah pada pengakuan dunia di atas nota kesepakatan damai antara kedua belah pihak yang bertikai.
Tugas utama sekarang adalah bagaimana menjaga perdamaian tersebut agar dapat berlangsung lama dan abadi. Salah satu komponen masyarakat yang diharapkan mampu mengawal dan mempertahankan perdamaian adalah ulama.
Martabat ulama dalam masyarakat Aceh amat tinggi nilainya. Hal ini dapat