• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sensitivitas Konflik

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 113-119)

MERANGK AI K ATA DAMAI

100

proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan di Aceh.

Memang benar bahwa sudah banyak program-program yang dibuat baik berupa program mengelola konflik secara langsung, program mengelola akibat konflik, dan program yang terkait mempengaruhi struktur sosial. Melalui program mengelola konflik secara langsung pandangan dan pendekatan pihak-pihak utama yang terlibat konflik dapat diubah yang dengan perubahan itulah ditemukan jendela kesempatan untuk mengakhiri konflik Aceh yang sudah berlangsung 30 tahun lebih. Kedua pihak sadar bahwa pendekatan perang tidak mungkin dapat mencapai maksud utama kedua pihak. Setelah gagal menemukan jalan pengakhiran konflik melalui negosiasi akhirnya konflik Aceh dapat diselesaikan melalui dialog yang melibatkan peran pihak ketiga, yang umum disebut dengan mediasi.

Proses pendekatan mengelola konflik secara langsung itulah yang kemudian memungkinkan para pihak untuk melakukan dan melaksanakan program mengelola akibat konflik baik berupa rekontruksi pascaperang, rekontruksi psikologis, dan program rekontruksi sosial. Jika untuk program yang pertama sudah berhasil dilalui dengan baik, apakah untuk program kedua juga sudah dilaksanakan dengan konprehensif? Pertanyaan berikutnya adalah apakah kegiatan-kegiatan pendidikan damai, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan reformasi pemerintahan menuju tata kelola pemerintahan yang baik serta program pembangunan masyarakat madani sebagai salah berapa dari program perubahan sosial juga sudah dilaksanakan dengan maksimal?

Jika belum maka perdamaian Aceh sesungguhnya masih berada pada level perdamaian negatif. Artinya, damai atau tidaknya Aceh hanya akan sangat tergantung pada sejauhmana efektif tidaknya intervensi kekuasaan para pihak terhadap dinamika sosial-budaya-ekonomi-polkam di Aceh. Jika secara kekuasaan para pihak sudah tidak efektif maka dengan sendirinya jalan kembali menuju konflik akan terbuka. Dalam analisis siklus konflik, tidak ada yang disebut dengan katup pengunci yang bisa menjamin bahwa setelah konflik diselesaikan jalan kembali menuju konflik sudah diputuskan secara otomatis. Selalu saja terbuka setiap saat jalan kembali menuju konflik manakala proses-proses penangganan program pascakonflik tidak mempertimbangkan pendekatan sensitivitas konflik

101 terhadap seluruh program baik yang dikhususkan pada program konflik maupun

pada program non-konflik (program pembangunan).

Sebaliknya, perdamaian Aceh akan berada pada level perdamaian positif manakala seluruh program konflik dan non-konflik dikelola dengan pendekatan sensitivitas konflik. Artinya, harus ada jaminan bahwa program yang direncanakan sudah dibangun atas pertimbangan mengurangi faktor-faktor pemicu konflik dan pada saat yang sama juga mempertimbangkan penguatan faktor-faktor pendorong perdamaian.

Untuk bisa menjamin adanya sensitivitas konflik maka segenap pemangku kepentingan pada program pembangunan misalnya penting untuk membekali kemampuan dasar terkait; (1) analisis konflik untuk kepentingan memvisualisasikan siapa, apa, dan bagaimana konflik, potensi dan sumberdaya konflik, tahapan konflik, urutan kejadian konflik, dan kekuatan konflik; (2) visioning untuk kepentingan meletakkan landasan cita-cita dari segenap perencanaan program yang akan disusun dan dijalankan; serta (3) kepemimpinan yang transformatif untuk memastikan tidak hanya tindakan konflik yang akan diprioritaskan pada program pembangunan melainkan juga perubahan pada sikap dan konteks konflik.

Analisis Konflik: Memahami hal yang sama dengan cara berbeda dan lebih

mendalam

Orang yang tidak memahami medan tidak bisa menggapai kemenangan. Kalimat ini sudah umum diketahui oleh segenap perencana dan bahkan juga oleh sebahagian masyarakat umum. Meski begitu, filosofi kemenangan perang itu belum sepenuhnya diterapkan dalam tindakan perencanaan pembangunan. Umumnya para perencana lebih mendasarkan pada listing kepentingan atau kebutuhan pada pihak yang memiliki pengaruh dan atau mereka yang memiliki kemampuan dalam menyampaikan usulan. Sikap praktis yang kadangkala kerap dihadapkan pada tuntutan waktu menyebabkan para penyusun program tidak berangkat dari pengenalan terhadap medan yang akan diintervensi dengan program.

Terkait dengan analisis konflik bukanlah bearti bahwa perencanaan program pembangunan Aceh harus bertolak dari sejarah konflik Aceh. Analisis konflik

MERANGK AI K ATA DAMAI

102

dimaksudkan untuk memvisualisasikan siapa, apa, bagaimana, peta potensi, tahapan, urutan waktu, dan kekuatan konflik dari sikap, tindakan, dan konteks suatu tempat atau wilayah. Bagaimana pun, faktor kependudukan, perkembangan ekonomi, dan perubahan lingkungan akibat dari dinamika kemanusiaan kita akan menyebabkan satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok yang lain, dan satu komunitas dengan komunitas yang lain akan senantisa mengalami perbedaan kepentingan dan kebutuhan. Di sinilah konflik senantiasa mengikuti dinamika kemanusiaan kita dan karena itu konflik tidak untuk dihindari melainkan untuk disikapi sebagai faktor pengingat bahwa sedang ada sesuatu yang dengannya kita dituntut untuk selalu proaktif , kreatif dan inovatif. Tanpa konflik sesungguhnya kita akan menjadi diri yang diam.

Visioning: Kita bangun istana di langit tapi pondasinya kita bangun di bumi

Meski ada pihak yang mengatakan tidak ada bedanya antara proyek dan program namun jika dilihat dari filosofi program maka bisa dikatakan program adalah implementasi dari usaha mencapai visi atau cita-cita yang sudah ditetapkan. Sayangnya, selama ini pembangunan Aceh lebih banyak diletakkan atas dasar pikiran seseorang atau satu kelompok saja. Akibatnya, bukan hanya akses dan sumberdaya terbatas pada pihak-pihak tertentu saja melainkan juga tidak terbangunnya partisipasi dari masyarakat luas. Masyarakat umum pun tidak mengetahui secara jelas akan visi ke-Aceh-an sehingga sama sekali tidak membuat masyarakat untuk berlomba-lomba dalam kebajikan untuk meraih masa depan yang sudah dipahami. Justru yang terlihat adalah sebuah masyarakat yang gamang dan senantiasa memilih tindakan pragmatis dalam mensikapi hari-hari mereka. Jadilah suatu masyarakat yang senantiasa menghalalkan segala cara dan akhirnya terbangunlah siklus KKN yang dari waktu ke waktu semakin menguat dalam prakteknya yang tersembunyi.

Kepemimpinan Transformatif: Orang akan segera mandeg kala konflik

dianggap tindakan negatif.

103 namun belum menjamin proses-proses pembangunan akan menjadi sangat

visioner dan memiliki sensitivitas konflik manakala secara pribadi para pemimpin di Aceh belum menjadi pribadi yang terbuka yang siap dan sigap menerima masukan, kritik, dan bahkan juga hujatan. Jika setiap masukan dipandang sebagai angin lalu karena latarbelakang pemberi masukan, atau menganggap kritik sebagai ancaman serta hujatan sebagai serangan maka usaha untuk menjadikan konflik sebagai media transformasi tatanan akan menjadi sia-sia. Selebihnya, legitimasi rakyat yang didapat dari hasil pemilu hanya dilihat sebagai faktor kemenangan politik akibat dari suatu keadaan sebelumnya.

Sebaliknya, kepemimpinan transformatif adalah sikap dan tindakan serta konteks yang menempatkan segenap potensi perbedaan, keragaman, dan keunikan serta konflik sebagai faktor pemicu perubahan sehingga mendorong pemimpinan untuk tampil sebatas motivator, fasilitator, dinamisator, dan katalisator pembangunan karena sepenuhnya menyadari bahwa segenap potensi anak negeri adalah diri yang potensial dan berkontribusi bagi pemajuan negeri.

Prasangka dan Komunikasi: Orang yang curiga sudah kalah sebelum ia

menyatakan maksudnya

Hal yang sangat penting untuk dipastikan juga adalah mendorong perubahan pada pola pandang terhadap diri dan orang lain sehingga terbangun suatu perspektif kedirian dan sosial yang mampu menempatkan keunikan setiap diri sebagai potensi bagi penggerak perubahan, dan sekaligus melihat keragaman setiap orang sebagai faktor pelengkap, pendukung, dan penguat satu sama lain dalam satu bingkai keutuhan ke-Aceh-an. Seluruh keragaman dan perbedaan yang dulunya menjadi faktor pemicu konflik sudah saatnya untuk ditinggalkan. Tidak adalagi pikiran bahwa si A jauh lebih mulia derajatnya dari pada si B atau kelompok A lebih utama daripada kelompok B. Semua orang adalah sosok kehambaan yang memiliki kesempatan yang sama dan memiliki peran yang bisa dimaksimalkan sekaligus dapat berguna untuk menggapai visi keacehan.

Hal terakhir yang juga sangat penting adalah memperbaiki pola komunikasi sesama dan juga antarrelasi dari pola komunikasi menekan, jaga jarak, curiga,

MERANGK AI K ATA DAMAI

104

perang menjadi pola komunikasi yang seimbang, setara, dan terbuka, jujur dan santun. Dengan perubahan pada pola komunikasi maka dapat memperbaiki pola hubungan antarsesama bahkan pada tingkatan yang lebih praktis dapat menjadi faktor peretas bagi terbukanya sumbatan-sumbatan politik dan kerjasama bisnis yang memang akan sangat memainkan perannya di era pembangunan. Pada tingkatan sosial, perubahan pola komunikasi sekaligus akan mengikis sikap kita yang selalu saja curiga dan penuh prasangka kepada pihak lain, bahkan pada kadar yang cukup juga dapat mengikis prasangka pada diri sendiri. Semoga

Penutup

Apakah pembangunan Aceh saat ini sudah direncanakan di atas sensitivitas konflik? Jika belum maka masih punya kesempatan untuk memastikan agar perencanaan program pembangunan gampong, kecamatan, kabupaten, dan Aceh dibangun dengan pendekatan sensitivitas konflik. Untuk itu, segenap pemangku kepentingan disarankan untuk mendalami pemahaman dan kemampuan dalam hal analisis konflik, visioning, dan kepemimpinan transformatif sehingga dalam menyusun program tidak lagi terjebab pada sekedar pendekatan proyek, apalagi jika hanya didasarkan pada kepentingan satu orang atau satu pihak atau satu kelompok saja. Sebuah program yang dibangun diatas kajian visioning akan lebih menjamin usaha-usaha membangun menjadi rangkaian berkelanjutan untuk meraih masa depan yang dicita-citakan. Tentu saja dengan mengembangkan sikap kepemimpinan yang transformative usaha untuk menjadikan konflik sebagai generator perubahan akan lebih bermakna. Sungguh, dengan menyadari potensi diri dan melihat perbedaan dalam ranah sosial-politik-budaya dan ekonomi akan semakin memacu adrenalin kita semua untuk berlomba-lomba dalam kebajikan bagi negeri Aceh, Aceh kita semua.***

“Empat tahun damai Aceh pascapenandatanganan kesepahaman damai (MoUHelsinki), namun rakyat Aceh secara keseluruhan belum merasakan arti damai yang sesungguhnya. Belum ada perhatian yang serius dari pemerintah kepada kaum perempuan Aceh, ibu-ibu yang kehilangan suami dan anaknya, wanita muda belia yang diperkosa, bahkan melahirkan seorang anak dari hasil perkosaan tersebut (di antaranya sumiati) ketika konflik mendera Aceh. Perempuan Aceh sangat mengerti, apa yang telah hilang tak mungkin kembali, namun sampai detik ini ketika empat tahun MoU Helsinki diperingati dengan sukacita: masih ada perempuan Aceh yang amat berduka dan berharap agar suami mereka yang masih dipenjara sebagai tapol/napol Aceh di Jakarta, dipulangkan ke rumah mereka”,  demikian bunyi penggalan surat Ismuhadi pada tanggal 12 agustus 2009. Ismuhadi adalah tahanan politik yang masih ditahan di LP Cipinang, Jakarta.

Pada tanggal 15 agustus 2005, tepatnya empat tahun silam perwakilan Aceh Merdeka yang dipimpin Malik Mahmud dan perwakilan RI diwakili oleh menteri hukum dan HAM, Hamid Awaluddin bertemu di Helsinki, Finlandia untuk menandatangani perjanjian damai antara kedua belah pihak yang selama lebih

Raihal Fajri

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 113-119)