• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effendi Hasan

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 141-147)

Mahasiswa program doktor bidang falsafah politik dan ideologi, Universiti Kebangsaan Malaysia

MERANGK AI K ATA DAMAI

128

satu lagi sejarah besar di dunia, setelah sejarah penyambutan terhadap Ayatullah Imam Khomeini di Iran. Kepulangan Ayatullah Khomeini tahun 1979 disambut oleh ribuan rakyat Iran. Rakyat Iran menyambut kepulangan Imam Khomeini sama seperti rakyat Aceh menyambut kepulangan Wali setelah 30 tahun beliau tinggalkan Aceh.

Sebelum Wali menginjak kakinya di Aceh pada 11  Oktober yang lalu, beliau telah pernah beberapa kali pulang ke Aceh, dan terakhir tahun 1976. Akan tetapi kepulangan tersebut dilakukan secara rahasia. Dalam catatan hariannya yang berjudul The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan Tiro (1981), beliau menceritakan dirinya pulang ke Aceh pada 30 Oktober 1976. Dengan melakukan perjalanan melalui rute Seattle Amerika Serikat, Tokyo, Hongkong, dan Thailand. Beliau masuk ke perairan Aceh melalui jalur laut menggunakan perahu motor sewa. Dalam pelayaran tersebut beliau mendarat di desa nelayan Pasie Lhok, Pidie. Beliau disambut oleh sejumlah pasukan bersenjata lengkap di bawah pimpinan M. Daud Husin (Daud Paneuk) sebelum pendaratan di Kuala Tari. Beliau pulang ke Aceh tahun 1976  adalah untuk memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan pemerintah Indonesia. Sehingga pada 4 Disember 1976 beliau memproklamirkan perjuangan Aceh Merdeka (GAM) di bukit Cokan pedalaman Kecamatan Tiro. Wali  memimpin perjuangan Aceh setelah kegagalan Darul Islam Aceh di bawah pimpinan Teungku Daud Beureu-eh, salah seorang Ulama kharismatik sekaligus guru Wali. Kepulangan Wali untuk melanjutkan perjuangan Aceh sebagaimana telah pernah digerakkan oleh gurunya dengan nama yang berbeda.      

Mengapa Wali memberi nama perjuangan Aceh dengan nama GAM atau dalam bahasa Inggris disebut Acheh Sumatra National Liberation Front  (ASNLF), dan tidak mengikuti jejak langkah gurunya? Menurutnya, perjuangan GAM merupakan perjuangan lanjutan dari pada perjuangan rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda sejak tahun 1873. Perjuangan rakyat Aceh telah berlangsung selama 125 tahun dan Aceh tidak pernah menyerah kalah kepada Belanda. Kalaupun Aceh sekarang berada di bawah Indonesia, itu karena kesalahan Belanda yang telah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Indonesia tahun 1949. Jadi Aceh merupakan sebuah wilayah yang lepas dari Indonesia dan memiliki

129 identitas serta pemerintahaan sendiri (Lukman Thaib 1997:46). Alasan-alasan inilah

yang kemudian menimbukan konflik politik yang berkepanjangan antara Aceh dengan Jakarta selama 32 tahun sebelum ditandatangani perjanjian Helsinki. Pemerintah Indonesia juga mengklaim Aceh adalah sebuah wilayah yang sah dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. Konflik tersebut telah mengorbankan beribu nyawa rakyat Aceh yang tidak berdosa, sehingga  telah menjadi catatan sejarah pahit bagi rakyat Aceh mudah-mudahan tidak akan terulang kembali.  

Menurut Moch Nurhasim (2008: 67) sebenarnya sebelum Wali memproklamirkan GAM 1976, beliau  telah pernah terlibat dalam peristiwa DI/TII, khusunya di luar negeri-Amerika Serikat. Tulisan-tulisan tentang Indonesia, mengisyaratkan pemikiran beliau dan gagasan yang dipikirkan tentang gerakan Aceh Merdeka atau tentang Negara Aceh. Negara Aceh yang ingin dibentuk adalah negara Aceh pada zaman Iskandar Muda, di mana Aceh mengalami kejayaan dan kemakmuran. Konsepsi negara Aceh seperti itu, sesungguhnya sudah lama ada dalam benak beliau. Itu tercermin dalam beberapa tulisan beliau ketika menjadi mahasiswa fakultas hukum pada Columbia Universiti dan sebagai Staf Perwakilan Indonesia di New York. Pada September 1954 nama Wali tiba-tiba dikenal oleh kalangan Indonesia dan dunia International ketika beliau memproklamirkan dirinya sebagai "Duta Besar Republik Islam Indonesia" di Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan sebuah surat terbuka yang dkirim kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Efek dari Surat tersebut paspor diplomatik beliau sempat dibekukan atas perintah Perdana Menteri, sehingga Wali sempat ditahan oleh pihak Imigrasi dan terkatung-katung di Amerika untuk beberapa bulan. Keberanian serta kecerdasan beliau memang sudah sangat teruji sebelum bergelimang dalam kancah politik peperangan serta diplomasi untuk memperjuangkan nasib rakyat Aceh era selanjutnya.

Apa maksud di balik kepulangan Wali pada 11 Oktobber 2008 yang lalu? Yang pasti rentetan kepulangan Wali dari dulu sampai sekarang mempunyai hubungan dengan perjuangan Aceh. Tapi kepulangan Wali kali ini tidak sama seperti kepulangan Wali tahun 1976, kepulangan Wali pada waktu itu untuk memimpin serta memproklamirkan perjuangan Aceh. Tapi kepulangan tahun

MERANGK AI K ATA DAMAI

130

2008 adalah  untuk mengalang misi perdamaian serta perjuangan damai rakyat Aceh. Perjuangan rakyat Aceh telah berubah dari perjuangan bersenjata menjadi perjuangan politik setelah ditandatangani perjanjian damai di Helsinki pada 2005 yang lalu. Misi inilah yang selalu disampaikan oleh beliau dalam setiap pertemuan maupun ceramah politik yang dibacakan oleh Malik Mahmud di Masjid Raya Baiturrahman di depan ribuan massa rakyat Aceh yang menjemput kepulangan beliau. Seperti ungkapan beliau  "Di dalam perang kita telah banyak pengorbanan,

akan tetapi dalam kedamaian kita harus bersedia berkorban lebih banyak lagi. Memang, biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah perdamaian ini untuk kesejahteraan kita semua". Lebih lanjut

beliau menjelaskan "perundingan perdamaian yang panjang seru dan alot antara

pihak GAM dan pihak Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia. Telah menghasilkan kesepakatan yang dinamakan memorandum of Understanding ataupun yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki. Yang ditandatangani oleh pihak GAM dan RI pada 15 Agustus 2005 adalah merupakan dasar pijakan hukum bagi terciptanya kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan serta bermartabat bagi semua pihak". Ungkapan serta nasehat Wali ini mengandung makna yang sangat jauh ke

depan sebagai pandangan kepada rakyat Aceh untuk membina perdamaian serta perjuangan Aceh ke depan.

Pidato Wali  mengandung makna yang tersirat kepada seluruh rakyat Aceh untuk membangun perdamaian serta perjuangan politik dalam lunas-lunas demokrasi. Demi tercipta self goverment  bagi rakyat Aceh sesuai dengan ketetapan yang telah digariskan dalam perjanjian Helsinki. Wali mengajak seluruh rakyat Aceh untuk dapat membaca arah serta perjuangan Aceh yang telah beliau gariskan. Perjuangan bersenjata telah beliau tinggalkan seiring penandatanganan perjanjian Helsinki. Kini perjuangan rakyat Aceh memasuki perjuangan politik untuk menentukan masa depan Aceh yang lebih bermartabat. Ceramah Wali juga seirama dengan nasehat beliau di Hotel Concorde Syah Alam Selangor, beliau mengajak rakyat Aceh agar tidak lupa sejarah. Dalam konteks ini adalah berkaitan dengan sejarah perjuangan politik rakyat Aceh serta sejarah kejayaan Aceh ketika masih berdiri teguh sebagai satu wilayah yang bermartabat.

131 Kini Wali telah meninggalkan Aceh untuk sementara waktu setelah berada

di Aceh selama 14 hari, beliau telah kembali ke negara Swedia sebagai tempat perjuangan beliau selanjutnya. Kepulangan serta kepergian Wali bukan berarti beliau meninggalkan rakyat Aceh untuk selama-lamanya, hati beliau selalu dekat dengan rakyat Aceh. Walaupun beliau berada jauh di negara Swedia, akan tetapi arah serta pandangannya selalu memantau perjuangan politik rakyat Aceh. Apakah rakyat Aceh dapat menangkap pesan-pesan yang telah pernah beliau sampaikan.  Apakah perjuangan politik akan memihak rakyat Aceh, dengan kemenangan wadah politik yang telah Wali perjuangkan serta wariskan ataupun sebaliknya. Inilah beberapa pertayaan dan pemikiran yang akan selalu menjadi wacana bagi Wali untuk terus memantau perjuangan politik Aceh walaupun dari jauh.     

Dengan demikian perjuangan politik Aceh ada di tangan rakyat , tiada siapapun bisa memaksa kehendak rakyat, suara rakyat adalah suara perubahan. Kalau rakyat Aceh menghendaki perubahan, tiada siapapun bisa menghalang kehedak tersebut, begitu juga sebaliknya. Kita hanya bisa berharap mudah-mudahan rakyat Aceh bisa menentukan masa depan Aceh yang lebih bermartabat dalam arena perjuangan politik ke depan. Bukankah lunas-lunas perjuangan demokrasi untuk Aceh telah digariskan dalam perjanjian Helsinki, sehingga kesempatan itu tidak menjadi sia-sia tetapi sebaliknya dapat dimanfaatkan oleh seluruh rakyat Aceh untuk kemenangan perjuangan  Aceh sesuai dengan perjuangan yang telah digariskan oleh Wali. Kita tidak mau nasib serta perjuangan rakyat Aceh selalu berada di pinggir jalan tanpa ada suatu perubahan, Seumpama ungkapan dalam syair sebuah lagu Aceh "Aceh

ibarat intan meusambong, seulingka hasee bumoe punoh deungon gas, tapi peuseubab hina tatanggong, luka Aceh lon  sayang  leupah that parah" Wallahu a’lam.***

Sebuah dinamika berlangsung di masa transisi yang sedang kita lalui ini, praktik perdamaian terus diupayakan untuk dipertahankan, namun dicabik dengan pernak pernik yang berwarna-warni. Pernak pernik ini tidak akan luntur dengan siraman rintik hujan saja, terutama permasalahan kesatuan dan persatuan bangsa serta agama yang mengarah kepada suatu perpecahan, dan sebagainya.

Hal ini telah membuktikan bahwa, proses perdamaian di Aceh belum mampu dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat yang berdomisili di tanah warisan Sultan Iskandar Muda. Kesadaran “penghuni wilayah barat Sumatra” belum bisa diandalkan, malah degradasi moral menurun secara signifikan pascapenandatangan MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Merespon suasana yang demikian, para pihak harus memikirkan solusi terbaik untuk Aceh, supaya selamat dari konflik lanjutan.

Semua stakeholders yang bertanggungjawab atas proses damai Aceh, harus menjaga agar tidak muncul persoalan-persoalan semula, tamsilan pepatah Aceh “lam hudép tameu-saré, lam glé tameu-bila, lam lampôh tameu-tulóng

alang, lam blang tameu-sjèëdara.” Artinya, persaudaraan itu lebih baik dari saling

tuding menuding, kita semua harus kompak dan sepakat dalam menjaga proses

Suadi (Adi Laweuëng) Sulaiman

Mantan jurubicara GAM Wilayah Pidie, Anggota DPRK Pidie 2009-2014 dari Partai Aceh dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur Sigli

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 141-147)