• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merill) TERHADAP BERBAGAI SUMBER HARA K SKRIPSI OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merill) TERHADAP BERBAGAI SUMBER HARA K SKRIPSI OLEH :"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merill) TERHADAP

BERBAGAI SUMBER HARA K

SKRIPSI

OLEH :

ATIQAH ASH ASHADIQAH 120301057

BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merill) TERHADAP

BERBAGAI SUMBER HARA K

SKRIPSI

OLEH :

ATIQAH ASH ASHADIQAH 120301057

BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Penelitian : Respons Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap Berbagai Sumber Hara K

Nama : Atiqah Ash Ashadiqah

NIM : 120301057

Program Studi : Agroekoteknologi

Minat : Budiaya Pertanian dan Perkebunan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

( Ir. Jonis Ginting, M.S. ) ( Dr. Ir. Yaya Hasanah, M.Si. )

Ketua Anggota

Mengetahui,

(Prof. Dr. Ir. T. Sabrina, M.Sc.) Ketua Program Studi Agroekoteknologi

(4)

ABSTRAK

ATIQAH ASH ASHADIQAH. Respons pertumbuhan dan produksi beberapa varietas kedelai terhadap pemberian berbagai sumber hara K dibimbing oleh

JONIS GINTING dan YAYA HASANAH.

Kedelai merupakan salah satu komoditi pangan yang penting di Indonesia karena dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri pengolahan namun angka produksinya masih tergolong sangat rendah yaitu sebesar 1.57 ton/ha. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respons pertumbuhan dan produksi beberapa varietas kedelai terhadap pemberian berbagai sumber hara K. Penelitian ini dilaksanakan di Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Medan mulai bulan Juni sampai dengan September 2016. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 2 faktor perlakuan. Faktor pertama adalah varietas yang terdiri dari 3 varietas yaitu varietas Dering-1, Anjasmoro, dan Grobogan. Perlakuan kedua adalah pemberian berbagai sumber hara K yang terdiri dari 4 taraf perlakuan yaitu tanpa hara K (kontrol), KCl 75 kg/ha, Abu Janjang Kelapa Sawit 150 kg/ha, dan Abu Sabut Kelapa 450 kg/ha.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan varietas nyata meningkatkan tinggi tanaman pada umur 2-6 MST, luas daun, umur berbunga, umur panen, jumlah cabang produktif, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, bobot kering biji/ plot, dan bobot kering 100 biji. Pemberian sumber hara K nyata meningkatkan bobot kering tajuk. Interaksi antara varietas dengan pemberian sumber hara K berpengaruh tidak nyata terhadap seluruh peubah amatan yang diamati.

Kata Kunci : kalium, kedelai, varietas

(5)

ABSTRACT

ATIQAH ASH ASHADIQAH. The respons of growth and production of some soybean varieties toward giving of Potassium sources guided by JONIS GINTING and YAYA HASANAH.

Soybean is one of the important food commodity in Indonesia because it can be used as food, feed, and raw material processing industry, but the numbers are still relatively very low production that was 1.57 ton/ha. The objective of this research was to know the respons of growth and production of soybean varieties on application of Potassium sources. The research was conducted in Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Medan on June to September 2016. The research was using a factorial Randomized Block Design with two factors. The first factor was soybean varieties consisted of Dering-1, Anjasmoro, and Grobogan. The second one was Potassium sources consisted of without potassium (control), KCl 75 kg/ha, Oil Palm Bunch Ash 150 kg/ha, and Coconut Fiber Ash 450 kg/ha. The research result showed that soybean varieties treatment had significant effect on plant height at 2-6 weeks after planting, leaf area, flowering dates, harvest dates, number of productive branches, number of contain pod, number of empty pods, dry weight of seed per plot, and dry weight of 100 seeds.

The application of Potassium sources had significant effect on shoot dry weight.

Interaction between soybean varieties and application of Potassium sources did not give the significant effect for all parameters.

Keywords: potassium, soybean, variety

(6)

RIWAYAT HIDUP

Atiqah Ash Ashadiqah, dilahirkan di Perlanaan pada tanggal 20 Januari 1995 dari ayahanda Hendrato dan ibunda (Alm.) Yusnidar. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah SD Negeri 091650 Perlanaan lulus pada tahun 2006, SMP Negeri 1 Bandar lulus tahun 2009 dan tahun 2012 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bandar dan pada tahun yang sama lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru melalui jalur SNMPTN pada program studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten di Laboratorium Teknologi Benih, Laboratorium Teknologi Budidaya Tanaman Pangan dan Laboratorium Teknologi Budidaya Tanaman Obat dan Rempah.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. Wilmar Kebun Sei Daun, Aek Batu dari Juli sampai Agustus 2015.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Respons Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap Berbagai Sumber Hara K” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Ir. Jonis Ginting, MS. dan ibu Dr. Ir. Yaya Hasanah, Si. selaku dosen

pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran, petunjuk, bimbingan serta kepercayaan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapakan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan.

Medan, Desember 2017

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman ... 6

Syarat Tumbuh ... 7

Iklim ... 7

Tanah ... 8

Varietas ... 9

Sumber Hara K ... 9

KCl ... 10

Abu Janjang Kosong Kelapa Sawit ... 12

Abu Sabut Kelapa ... 12

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Metode Penelitian ... 14

PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Lahan ... 19

Persiapan Benih ... 19

Aplikasi Pupuk Dasar ... 19

Aplikasi Sumber K ... 19

Penanaman ... 19

Pemeliharaan ... 20

Penyiraman ... 20

(9)

Penyulaman ... 20

Penjarangan ... 20

Penyiangan ... 20

Pengendalian Hama dan Penyakit ... 20

Panen ... 20

Peubah Amatan ... 20

Tinggi Tanaman ... 20

Diameter Batang ... 20

Luas Daun ... 20

Kehijauan Daun ... 21

Bobot Kering Tajuk ... 21

Bobot Kering Akar ... 21

Umur Berbunga ... 22

Jumlah Cabang Produktif ... 22

Umur Panen ... 22

Jumlah polong Berisi ... 22

Jumlah Polong Hampa ... 22

Bobot Kering Biji/Tanaman ... 22

Bobot Kering Biji/Plot ... 22

Bobot Kering 100 Biji ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 24

Pembahsan ... 38

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 42

Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 45

(10)

DAFTAR TABEL Nomor

1. Tinggi Tanaman 2-6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 23

2. Diameter Batang 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 23

3. Umur berbunga pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 23

4. Luas daun 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 23

5. Bobot Kering Tajuk 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 24

6. Bobot Kering Akar 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 24

7. Klorofil a, b & Total Klorofil pada Perlakuan Varietas dan Sumber K... 24

8. Jumlah Cabang Produktif pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 29

9. Umur Panen pada Perlakuan Varietas dan Sumber K... 30

10. Jumlah Polong Berisi pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 32

11. Jumlah Polong Hampa pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 33

12. Bobot Kering Biji/Tan pada Perlakuan Varietas dan Sumber K... 35

13. Bobot Kering Biji/Plot pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 36

14. Bobot Kering 100 Biji pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 38

Halaman

(11)

DAFTAR LAMPIRAN Nomor

1. Bagan dan Plot Penelitian ... 46

2. Plot Penelitian ... 47

3. Lampiran Jadwal Kegiatan ... 48

4. Deskripsi Varietas Dering-1 ... 49

5. Deskripsi Varietas Anjasmoro ... 50

6. Deskripsi Varietas Grobogan ... 51

7. Data Tinggi Tanaman Kedelai 2 MST pada Perlakuan Varietas & Sumber K ... 52

8. Data Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kedelai 2 MST ... 53

9. Data Tinggi Tanaman Kedelai 3 MST pada Perlakuan Varietas & Sumber K ... 54

10. Data Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kedelai 3 MST ... 56

11. Data Tinggi Tanaman Kedelai 4 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 57

12. Data Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kedelai 4 MST ... 58

13. Data Tinggi Tanaman Kedelai 5 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 59

14. Data Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kedelai 5 MST ... 60

15. Data Tinggi Tanaman Kedelai 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 61

16. Data Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kedelai 6 MST ... 62

17. Data Diameter Batang pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 63

18. Data Sidik Ragam Diameter Batang Kedelai 6 MST... 64

19. Data Umur berbunga pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 65

20. Data Sidik Ragam Umur berbunga Kedelai 6 MST... 66 Halaman

(12)

21. Data Luas daun 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 67

22. Data Sidik Ragam Luas daun Kedelai 6 MST ... 67

23. Data Bobot Kering Tajuk pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 68

24. Data Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk Kedelai 6 MST ... 68

25. Data Bobot Kering Akar pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 69

26. Data Sidik Ragam Bobot Kering Akar Kedelai 6 MST ... 69

27. Data Klorofil a, b&Total Klorofil pada Varietas dan Sumber K ... 70

28. Data Sidik Ragam Klorofil a, b&Total Klorofil Kedelai 6 MST ... 70

29. Data Jumlah Cabang Produktif pada Varietas dan Sumber K ... 71

30. Data Sidik Ragam Jumlah Cabang Produktif Kedelai 6 MST ... 71

31. Data Umur Panen pada Perlakuan Varietas dan Sumber K ... 72

32. Data Sidik Ragam Umur Panen Kedelai 6 MST ... 73

33. Data Jumlah Polong Berisi pada Varietas dan Sumber K ... 74

34. Data Sidik Ragam Jumlah Polong Berisi Kedelai 6 MST ... 74

35. Data Jumlah Polong Hampa pada Varietas dan Sumber K ... 75

36. Data Sidik Ragam Jumlah Polong Hampa Kedelai 6 MST ... 75

37. Data Bobot Kering Biji/Tan pada Varietas dan Sumber K ... 76

38. Data Sidik Ragam Bobot Kering Biji/Tan Kedelai 6 MST... 76

39. Data Bobot Kering Biji/Plot pada Varietas dan Sumber K ... 77

40. Data Sidik Ragam Bobot Kering Biji/Plot Kedelai 6 MST ... 77

41. Data Bobot Kering 100 Biji pada Varietas dan Sumber K ... 78

42. Data Sidik Ragam Bobot Kering 100 Biji Kedelai 6 MST ... 78

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kedelai (Glycine max (L.) Merill) merupakan salah satu komoditi pangan yang penting di Indonesia karena dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri pengolahan. Upaya menuju swasembada kedelai terus dilakukan karena kebutuhan kedelai dalam negeri cukup besar. Selama ini kekurangan kedelai masih dicukupi dengan mengimpor. Sampai dengan tahun 2012 Indonesia masih mengimpor kedelai (Syaiful et al., 2012).

Produksi kedelai pada tahun 2015 tercatat sebesar 963 ribu ton untuk luas lahan pertanaman kedelai di Indonesia yaitu sebesar 614 ribu ha. Perolehan angka produksi kedelai ini meningkat sebesar 0.85% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 955 ribu ton sedangkan luas lahan produksi kedelai tahun 2015 mengalami penurunan sebesar 0.26% dari luas lahan produksi tahun lalu dimana luas lahan produksi kedelai pada tahun 2014 adalah sebesar 616 ribu ha (Badan Pusat Statistik, 2016).

Peningkatan produktivitas dalam rangka upaya terobosan untuk mencapai swasembada kedelai tahun 2014 dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu perbaikan sistem perbenihan dan penyediaan benih varietas unggul melalui pengembangan sistem perbenihan lokal antara lain jaringan benih antar lapang dan musim (jabalsim), memperbaiki penerapan teknologi budidaya kedelai yang efisien melalui pengelolaan tanaman terpadu (PTT), serta percepatan kegiatan penelitian untuk menghasilkan varietas benih unggul dan teknologi budidaya yang efisien (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2012).

(14)

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian melepas varietas unggul kacang-kacangan sebagai salah satu komponen teknologi untuk mendukung pembangunan pertanian. Dibanding komponen teknologi lainnya, varietas unggul berperan paling menonjol dalam peningkatan produksi.

Digunakannya varietas unggul berdaya hasil tinggi dan berumur pendek mampu meningkatkan hasil per satuan luas maupun per satuan waktu. Berbagai varietas yang memiliki toleransi dan ketahanan yang tinggi terhadap cekaman hama dan penyakit, mampu mengurangi kehilangan hasil dan menurunkan pencemaran pestisida dan biaya pengendalian (Suhartina, 2005).

Sejalan dengan peningkatan produksi per satuan luas maka akan terjadi peningkatan pengangkutan unsur hara dari dalam tanah terutama pada waktu panen. Dengan demikian pemupukan mutlak diperlukan guna menghindari pemiskinan unsur hara pada lahan tersebut (Rukmi, 2009).

Berdasarkan tingkat kebutuhan tanaman, nutrisi dapat dibagi menjadi dua yaitu hara makro (macronutrients) dan hara mikro (micronutrients). Hara makro dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hara primer dan sekunder. Hara primer meliputi: nitrogen (N), fosfor (P), dan potassium (K). Hara ini digunakan dalam jumlah yang besar untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga ketersediannya di dalam tanah semakin berkurang (Basyuni, 2009).

Kalium adalah unsur hara makro yang banyak dibutuhkan oleh tanaman dan diserap tanaman dalam bentuk ion K+ (Selian, 2008). Kalium mempunyai fungsi sangat penting dalam sel tanaman dan diperlukan untuk memindahkan produk fotosintesis dalam tanaman. Selain memperkuat dinding sel, kalium juga mendukung fotosintesis dan pertumbuhan tanaman. Tidak seperti N dan P, K

(15)

tidak mempunyai pengaruh yang jelas pada pembentukan anakan, tetapi K meningkatkan jumlah bulir per malai, persentase gabah isi, dan bobot 1.000 gabah (Basyuni, 2009).

Di dalam tubuh tanaman, kalium bukanlah sebagai penyusun jaringan tanaman, tetapi lebih banyak berperan dalam proses metabolisme tanaman seperti mengaktifkan kerja enzim, membuka dan menutup stomata (dalam pengaturan penguapan dan pernafasan), transportasi hasil-hasil fotosintesis (karbohidrat), menjadikan tanaman lebih toleran pada penyakit tanaman serta meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan (Selian, 2008).

Sumber utama kalium di dalam tanah berasal dari pelapukan mineral- mineral primer seperti feldspar, mika, biotit dan lain-lain (Selian, 2008). Selain dari pelapukan mineral, menurut Ekawati dan Purwanto (2012) mengatakan bahwa abu hasil pembakaran limbah pertanian juga berpotensi sebagai sumber hara K alternatif yang murah, sehingga dapat mengurangi biaya produksi. Abu hasil pembakaran limbah pertanian yang memiliki kandungan K cukup tinggi adalah abu janjang kelapa sawit dan abu sabut kelapa.

Dalam pencapaian swasembada kedelai dibutuhkan peningkatan produksi per satuan luas dan waktu. Penggunaan varietas unggul disertai dengan pemupukan yang tepat dan berimbang merupakan pilihan yang tepat untuk mewujudkan swasembada kedelai di Indonesia. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang respons pertumbuhan dan produksi beberapa varietas kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap berbagai umber hara K.

(16)

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui respons pertumbuhan dan produksi beberapa varietas kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap perlakuan sumber K.

Hipotesis Penelitian

Ada perbedaan perlakuan berbagai varietas, sumber K dan interaksi antara keduanya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini juga diharapkan berguna untuk pihak yang berkepentingan dalam budidaya tanaman kedelai serta sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedelai

Menurut Steenis (2003) klasifikasi Tanaman kedelai adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rosales Famili : Papilionaceae Genus : Glycine

Species : Glycine max (L.) Merill.

Susunan akar kedelai pada umumnya sangat baik. Pertumbuhan akar tunggang lurus masuk ke dalam tanah dan mempunyai banyak akar cabang. Pada akar – akar cabang terdapat bintil – bintil akar berisi bakteri Rhizobium jafonicum, yang mempunyai kemampuan mengikat zat lemas bebas (N2) dari udara yang kemudian dipergunakan untuk menyuburkan tanah (Andrianto dan Indarto, 2004).

Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai

(18)

berbunga. Di samping itu, ada varietas hasil persilangan yang mempunyai tipe batang mirip keduanya sehingga dikategorikan sebagai semi-determinate atau semi-indeterminate (Irwan, 2006).

Daun kedelai merupakan daun mejemuk yang terdiri dari tiga helai anak daun umumnya berwarna hijau muda atau hijau kekuning – kuningan. Bentuk daun ada yang oval, juga ada yang segi tiga. Warna dan bentuk kedelai ini tergantung pada varietas masing – masing (Andrianto dan Indarto, 2004).

Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik, seperti di Indonesia.

Jumlah bunga pada tipe batang determinate umumnya lebih sedikit dibandingkan pada batang tipe indeterminate. Warna bunga yang umum pada berbagai varietas kedelai hanya dua, yaitu putih dan ungu (Irwan, 2006).

Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak (Hidayat, 1985).

Biji kedelai terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit biji dan janin (embrio). Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut pusar (hilum) yang berwarna coklat, hitam, atau putih. Pada ujung hilum terdapat mikrofil, berupa

(19)

lubang kecil yang terbentuk pada saat proses pembentukan biji. Warna kulit biji bervariasi, mulai dari kuning, hijau, coklat, hitam, atau kombinasi campuran dari warna-warna tersebut. Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai dapat langsung ditanam. Namun demikian, biji tersebut harus mempunyai kadar air berkisar 12-13% (Irwan, 2006).

Syarat Tumbuh Iklim

Kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30o C, bila tumbuh pada suhu yang rendah (< 15o C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat bisa mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada kondisi kelembapan tanah tinggi, banyaknya biji yang mati akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21-34o C, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 23-27o C (Hardi, 2010).

Apabila tanah cukup lembab dan suhunya ada di atas 210C biji berkecambah lebih cepat. Biasanya pada suhu ini tanaman akan muncul di atas permukaan tanah sekitar 5 hari setelah waktu tanam. Suhu yang rendah dan kelembaban tanah yang sangat tinggi menghambat perkecambahan dan menyebabkan busuknya biji (Irwan, 2006).

Air merupakan faktor yang penting bagi tanaman, karena berfungisi sebagai pelarut hara, berperan dalam translokasi hara dan fotosintesis, karena kekurangan suplai air di daerah perakaran dan atau laju transpirasi melebihi laju absorbs air oleh tanaman. Cekaman kekeringan yang terjadi pada saat

(20)

pertumbuhan generatif, akan menurunkan produksi. Kekeringan juga menurunkan bobot biji, sebab bobot biji sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang diberikan pada musim tanam (Agung dan Rahayu, 2004).

Kedelai dapat tumbuh baik di tempat yang bercurah hujan 100–400 mm3 per bulan. Oleh karena itu, kedelai kebanyakan ditanam di daerah yang terletak kurang dari 400 m di atas permukaan laut. Jadi tanaman kedelai akan tumbuh baik, jika ditanam di daerah beriklim kering (Andrianto dan Indarto, 2004).

Tanah

Untuk dapat tumbuh baik kedelai menghendaki tanah yang subur, gembur dan kaya akan humus atau bahan organik. Bahan organik yang cukup dalam tanah akan memperbaiki daya olah dan juga merupakan sumber makanan bagi jasad renik yang akhirnya akan membebaskan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman (Irwan, 2006).

Kedelai sebenarnya bisa ditanam pada berbagai macam jenis tanah. Tetapi yang paling baik adalah tanah yang cukup mengandung kapur dan memiliki sistem drainase yang baik. Perlu diperhatikan, kedelai tidak tahan terhadap genangan air. Kedelai bisa tumbuh baik pada tanah yang struktur keasamannya (pH) antara 5,8 – 7. Tanah yang baru pertama kali ditanam kedelai sebaiknya diberi bakteri Rhizobium. Kedelai akan tumbuh dengan subur dan memuaskan jika ditanam pada tanah yang mengandung kapur dan tanah bekas ditanami padi.

Kedelai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah asal drainase dan aerasi tanahnya cukup baik. Tanah – tanah yang cocok yaitu, alluvial, regosol, gumusol, latotosol, dan andosol (Suhaeni, 2007).

(21)

Toleransi pH yang baik sebagai syarat tumbuh yaitu antara 5,8–7, namun pada tanah dengan pH 4,5 pun kedelai masih dapat tumbuh baik. Tanah – tanah yang cocok yaitu alluvial, regosol, gumosol, latosol dan andosol.Pada tanah – tanah podzolik merah kuning dan tanah yang mengandung banyak pasir kwarsa, pertumbuhan kedelai kurang baik, kecuali bila diberi tambahan pupuk organik atau kompos dalam jumlah yang cukup (Andrianto dan Indarto, 2004).

Varietas

Varietas adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji dan ekspresi karakteristik genotype atau kombinasi genotype yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama dan sekurang-kurangnya terdapat satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan. Varietas unggul berasal dari varietas local, varietas liar, varietas introduksi, galur homozigot, mutan atau genus-genus yang sama, yang mempunyai potensi hasil tinggi dan sesuai dengan target pemuliaan yang diinginkan. Varietas tersebut dinyatakan sebagai varietas unggul apabila telah melalui kegiatan seleksi dan uji daya hasil. Untuk menghasilkan varietas unggul dengan sifat-sifat yang diinginkan (misalnya: umur pendek, hasil tinggi, tahan terhadap hama penyakit tertentu) ditempuh prosedur pemuliaan yang sistematik (Suhartina, 2005).

Beberapa varietas pada tanaman kedelai yang mempunyai biji besar, toleran terhadap lahan kering masam serta mempunyai produksi tinggi 2,0-3,9 t/ha seperti Rajabasa (Balitkabi Malang, 2007). Sejak tahun 2003 sampai 2008, Balitkabi Malang telah menghasilkan beberapa varietas unggul baru kedelai umur genjah (70 hari – 85 hari) dan produksi tinggi (2,21 – 3,40 t/ha) seperti Gepak Ijo,

(22)

Gepak Kuning, Gobogan, Arjasari, Gumitir, Argopuro, Baluran, dan Kipas Merah (Balitkabi, 2008). Varietas Panderman yang mempunyai umur 85 hari yang bijinya besar dan tahan terhadap ulat gayak (Puslitbangtan, 2007). Beberapa varietas yang tahan kering dan masam serta mempunyai produksi yang tinggi (2,5 t/ha) seperti varietas Tanggamus, Sibayak, Nanti, Rata, dan Seulawan (Balitkabi, 2004).

Tingkat hasil yang dicantumkan dalam deskripsi varietas ini umumnya berupa rata-rata dari seluruh multilokasi. Tingkat hasil pada pengujian lainnya dapat saja lebih rendah atau lebih tinggi. Misalnya hasil kedelai varietas Wilis dilaporkan mencapai 2-3 ton/ha di lokasi tertentu dengan penggunaan masukan yang tertentu pula. Untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi dan pengelolaan yang lebih intensif pada kondisi iklim dan kesuburan tanah yang optimal (Suhartina, 2005).

Berbagai Sumber K Pupuk KCl

Kalium (K) merupakan hara utama ketiga setelah N dan P. Kalium mempunyai valensi satu dan diserap dalam bentuk ion K+. Kalium tergolong unsur yang mobil dalam tanaman, baik dalam sel, dalam jaringan tanaman, maupun dalam xylem dan floem. Kalium banyak terdapat dalam sitoplasma, garam kalium berperan dalam tekanan osmosis sel (Selian, 2008).

Pupuk tunggal yang mengandung unsur hara kalium, berbentuk serbuk, butiran dengan rumus kimia KCl, yang disebut juga sebagai pupuk MOP (Muriate of Potash) dimana syarat mutu pupuk kalium klorida (KCl) yaitu mengandung kalium dalam bentuk K2O minimal 60% (K2O dihitung atas dasar

(23)

bahan kering) dan kandungan kadar air maksimal yaitu 1%

(Badan Standardisasi Nasional, 2005).

KCl adalah pupuk K yang paling banyak digunakan karena biayanya yang relatif rendah dan karena mengandung lebih banyak K dibanding kebanyakan sumber K lain yaitu 50-52% K (60- 63% K2O) dan 45 sampai 47% Cl. Lebih dari 90% dari produksi kalium secara global digunakan sebagai nutrisi untuk tanaman.

Kalium klorida sering menyebar ke permukaan tanah sebelum pengolahan tanah dan penanaman. Hal ini juga memungkinkan pengaplikasian KCl dalam butiran pekat di sekitar benih. Dengan diberikannya larutan pupuk maka akan dapat meningkatkan konsentrasi garam terlarut kemudian butiran KCl ditempatkan di sisi benih untuk menghindari kerusakan benih yang berkecambah (International Plant Nutrition Institute, 2003).

Pupuk KCl (Muriate of Potash) dianggap memiliki kadar hara K tinggi.

Namun muriate berasal dari asam murit, sama dengan asam klorida. Secara teoritis, pupuk ini memiliki kadar K2O dapat mencapai 60% - 62%, tetapi dalam kenyataan pupuk muriate yang diperdagangkan hanya memiliki kadar K2O sekitar 50%. Pupuk ini berupa butiran kecil-kecil atau berupa tepung dengan warna putih sampai kemerah-merahan. Dalam praktek, pupuk ini lebih banyak digunakan daripada pupuk-pupuk K yang lain karena harganya relatif murah (Selian, 2008).

Pada penelitian Tambunan (2015) menyatakan bahwa pemberian pupuk kalium (Muriate of Potash) berpengaruh sangat nyata meningkatkan Kdd, tetapi tidak mempengaruhi pH tanah, C-organik, serapan K tanaman, pertumbuhan dan produksi pada tanaman kedelai.

Abu Janjang Kelapa Sawit

(24)

Abu janjang kelapa sawit menurut Sari (2011) bisa berasal dari hasil limbah padat janjang kosong kelapa sawit yang telah mengalami pembakaran di dalam incenerator di pabrik kelapa sawit dan bisa juga dengan melakukan pembakaran secara manual. Limbah janjang kosong merupakan limbah dengan volume yang paling banyak dari proses pengolahan tandan buah segar (TBS) pada pabrik kelapa sawit mencapai 21% dari TBS yang diolah.

Menurut Loekito (2002) alasan awal dilakukannya pembakaran janjang kelapa sawit adalah karena di areal gambut, penggunaan janjang kosong dan kompos sebagai sumber pupuk tidak dimungkinkan karena terkendala transportasi. Sarana transportasi di areal gambut, khususnya gambut pasang surut sangat khas dengan system kanal (water way). Salah satu upaya yang dilakukan adalah merubah janjang kosong menjadi abu janjang melalui pembakaran dengan incenerator. Keuntungan produk abu janjang dibandingkan dengan janjang kosong adalah volume lebih kecil, mudah penyimpanan (penggudangan), mudah diaplikasikan dan biaya relatif lebih murah. Nutrisi terbesar yang terdapat dalam abu janjang adalah Potassium/Kalium dalam bentuk K2O. Rerata kandungaan K dalam abu janjang masing-masing 46-50% K2O (Total) dan 36-39% K2O (Soluble water).

Hasil penelitian Ginting (1990) pada pembibitan kelapa sawit diketahui bahwa pengaruh abu janjang kelapa sawit maupun kalium klorida dan dolomit adalah nyata (α = 0,05) terhadap tinggi tanaman, jumlah pelepah daun, bobot basah dan bobot kering tanaman, pH tanah, K-dd, Ca-dd, Mg-dd, kandungan Mg daun, kandungan Mn daun, tetapi tidak berpengaruh terhadap kandungan nitrogen

(25)

tanah, fosfor tersedia, kapasitas tukar kation, kandungan nitrogen daun, fosfor daun, kalium daun dan kalsium daun.

Penggunaan abu janjang sawit dalam penelitian Lahuddin (1990) sebagai pupuk dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai. Dosis maksimum untuk pertumbuhan dan produksi kedelai berkisar antara 4,5–5,25 ton setiap hektar. Penggunaan pupuk 90 kg urea, 100 kg TSP, dan 70 kg KCl setiap hektar memberikan produksi lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan abu janjang dengan dosis hanya 3 ton per hektar. Peningkatan pertumbuhan dan produksi kedelai yang disebabkan oleh pemberian abu janjang melalui perbaikan pH dan peningkatan unsur-unsur terlarut dalam tanah.

Abu Sabut Kelapa

Sabut kelapa merupakan salah satu hasil samping dari pengolahan buah kelapa yang sebagian besar lebih banyak terbuang percuma dan sangat kurang dimanfaatkan secara komersial. Sabut kelapa selama ini hanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada pengeringan kopra secara tradisional dan digunakan dalam rumah tangga, dan sebagian kecil digunakan dalam proses industri (Nurmas, 2008).

Dalam jurnal Ekawati dan Purwanto (2012) di seminar nasional mengenai kedaulatan pangan dan energi menyebutkan bahwa abu sabut kelapa mengandung 10,25% K yang digunakan sebagai pembanding maupun referensi atas beberapa jenis abu hasil pembakaran limbah pertanian yaitu abu dapur, abu industri genteng, abu sekam padi, abu industry gamping dan abu serasah dedaunan. Hal ini juga didukung oleh Oktavia (2015) yang menyatakan bahwa salah satu limbah pertanian yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pembuatan pupuk

(26)

organik adalah sabut kelapa. Sabut kelapa mengandung unsur karbon (C) sehingga dapat dijadikan bahan karbon aktif. Sedangkan kandungan unsur K2O di dalam abu sabut kelapa adalah sebesar 10,25%.

Seperti diketahui dari hasil penelitian Nurmas (2008) perlakuan abu sabut kelapa dengan dosis 1,0 sampai 2,5 t/ha memacu pertumbuhan dan produksi mentimun lebih tinggi di bandingkan dengan kontrol. Namun pada peningkatan dosis 2,5 t/ha sudah mulai terjadi penurunan produksi mentimun walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan dosis 2,0 ton/ha. Dari hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa abu sabut kelapa dapat mensubsitusi kebutuhan pH tanah sampai netral dan kebutuhan hara essensial tanaman mentimun baik makro maupum mikro, sehingga abu sabut kelapa dapat direkomendasikan untuk digunakan pada tanah-tanah PMK di sekitar lokasi penelitian .

Abu sabut kelapa terdiri dari unsur organik seperti serat celloluse, dan lignin. Disamping itu, limbah ini juga mengandung mineral yang terdiri dari silika, aluminia dan oksida oksida besi. SiO2 dalam abu sabut kelapa merupakan hal yang paling penting karena dapat bereaksi dengan kapur dan air. Pengolahan abu sabut kelapa sangat mudah. Cukup dibakar dengan panas tertentu hingga membantuk abu – abu lalu disaring hingga mendapatkan abu yang benar - benar halus (Maulidah et al., 2013)

(27)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan percobaan di Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Medan, dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut serta dilakukan mulai bulan Juni hingga September 2016.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas Dering-1, Anjasmoro, Gobogan sebagai objek pengamatan, pupuk KCl, Abu Janjang Kelapa Sawit, Abu Sabut Kelapa sebagai perlakuan, pupuk Urea, SP 36 sebagai pupuk dasar dan air untuk merendam benih serta untuk menyiram tanaman kedelai.

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan analitik untuk menimbang bobot basah dan bobot kering tanaman, cangkul untuk mengolah tanah, selang untuk menyiram tanaman, meteran untuk mengukur tinggi tanaman, jangka sorong untuk mengukur diameter batang, oven untuk mendapatkan bobot kering tajuk dan akar, spektrofotometer untuk menghitung jumlah klorofil daun, pacak untuk menandai sampel dan parang untuk memotong pacak.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor perlakuan yaitu:

Faktor I : Varietas (V) dengan 3 jenis perlakuan:

V1 : Dering-1 V2 : Anjasmoro

(28)

V3 : Gobogan

Faktor II : Sumber K (K) dengan 4 jenis perlakuan:

K0 : Kontrol

K1 : KCl (30 g/plot)

K2 : Abu janjang kelapa sawit (60 g/plot) K3 : Abu sabut kelapa (180 g/plot)

Sehingga diperoleh 12 kombinasi perlakuan yaitu:

V1K0 V2K0 V3K0 V1K1 V2K1 V3K1 V1K2 V2K2 V3K2

V1K3 V2K3 V3K3

Jumlah ulangan : 3

Jumlah plot : 36

Jumlah tanaman per plot : 50 Jumlah sampel per plot : 5 Jumlah sampel destruktif per plot : 1 Jumlah sampel destruktif seluruhnya : 36 Jumlah sampel seluruhnya : 180 Jumlah tanaman seluruhnya : 1800

Panjang plot : 200 cm

Lebar plot : 200 cm

Jarak antar blok : 50 cm

Jarak antar plot : 30 cm

(29)

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam berdasarkan model linier sebagai berikut:

Yijk = μ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + εijk

i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1, 2, 3,4

Yijk : Hasil pengamatan dari blok ke-i dengan perlakuan varietas ke-j dan perlakuan sumber k taraf ke-k

μ : Nilai tengah ρi : Efek blok ke-i

αj : Efek perlakuan varietas taraf ke-j βk : Efek perlakuan mulsa organik taraf ke-k

(αβ)jk : Efek interaksi perlakuan varietas taraf ke-j dan perlakuan sumber k taraf ke-k

εijk : Efek galat yang mendapat perlakuan varietas taraf ke-i dan perlakuan sumber k taraf ke-j dan interaksi perlakuan varietas dan sumber k taraf ke-k

Jika hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata maka analisis dilanjutkan dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 5 %.

(30)

PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Lahan

Lahan penelitian dibersihkan terlebih dahulu dari gulma dan lain sebagainya yang bersifat mengganggu. Dilakukan pembuatan plot percobaan dengan ukuran panjang 200 cm, lebar 200 cm, tinggi 30 cm, dengan jarak antar blok 50 cm, jarak antar plot 30 cm, serta pembuatan parit drainase di sekeliling areal percobaan sedalam 30 cm untuk menghindari terjadinya genangan air.

Kemudian dilakukan pengolahan tanah dengan cara mencangkul tanah sedalam 20 cm hingga tanah menjadi gembur. Dilakukan pengapuran apabila derajat keasaman tanah kurang dari 5,5.

Persiapan Benih

Benih yang digunakan adalah benih varietas Dering-1, Anjasmoro, Gobogan. Sebelum dilakukan penanaman direndam terlebih dahulu benih untuk melihat viabilitas benih yaitu benih yang mengapung harus dibuang.

Aplikasi Pupuk N dan P

Aplikasi pupuk N dan P menggunakan pupuk Urea dan TSP, dilakukan sesuai dosis anjuran masing-masing yaitu 50 kg/ha (20 g/plot) dan 100 kg/ha (40 g/plot). Aplikasi pupuk Urea dilakukan 2 kali yaitu pada 0 HST dan 28 HST dimana masing-masing aplikasi adalah setengah dosis anjuran yaitu 25 kg/ha (10 g/plot). Untuk pupuk TSP hanya sekali aplikasi yaitu pada 0 HST sebnyak 40 g/plot. Pemupukan dilakukan dengan menggunakan metode larikan.

Aplikasi Sumber K

Aplikasi sumber K yaitu KCl, abu janjang kelapa sawit, dan abu sabut kelapa. Untuk pemberian KCl diberikan sesuai dosis anjuran yaitu 75 kg/ha

(31)

(30 g/plot) diaplikasikan sesaat setelah benih ditanam (0 HST) dengan metode larikan. Untuk aplikasi abu janjang kelapa sawit dan abu sabut kelapa dilakukan 2 minggu sebelum tanam dengan cara dicampurkan ke tanah menggunakan cangkul, dengan dosis masing-masing 150 kg/ha (60 g/plot) dan 450 kg/ha (180 g/plot).

Penanaman

Cara tanam yang terbaik untuk memperoleh produktivitas tinggi yaitu dengan membuat lubang tanam memakai tugal dengan kedalaman 2 cm. Setiap lubang tanam diisi sebanyak 2 benih kedelai.

Pemeliharaan Penyiraman

Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu pagi dan sore hari tergantung kondisi cuaca. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor dengan cara menyiram tepat pada tanaman dan diusahakan jangan sampai tergenang.

Penjarangan

Penjarangan dilakukan pada dua tanaman yang tumbuh dari satu lubang tanam, dipilih salah satu dengan kriteria pertumbuhan yang lebih baik kemudian menggunting satu tanaman lainnya yang kurang baik pertumbuhannya.

Penyulaman

Penyulaman dilakukan apabila ada tanaman yang rusak atau tidak tumbuh pada saat 1 MST.

Penyiangan

(32)

Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan cara mencabut gulma yang ada dalam plot tanaman. Penyiangan dilakukan setiap minggu untuk menghindari persaingan unsur hara.

Panen

Pemanenan dilakukan dengan cara disabit pada pangkal batang dengan kriteria panen ditandai dengan terlihatnya kulit polong yang telah berwarna kuning kecoklatan dan daun menguning.

Peubah Amatan Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai dengan titik tumbuh tanaman dengan menggunakan meteran. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada interval waktu 2 MST sampai dengan 6 MST.

Diameter Batang

Diameter batang diukur dengan menggunakan jangka sorong digital pada bagian batang bawah dengan ketinggian 1 cm dari permukaan tanah. Pengukuran diameter batang dilakukan pada akhir fase vegetatif (6 MST).

Luas Daun (cm2)

Luas semua daun tanaman sampel destruktif diukur pada 6 MST.

Luas daun di ukur dengan menggunakan timbangan dan alat pengering daun. Prinsipnya luas daun ditaksir melalui perbandingan berat (gravimetri). Ini dapat dilakukan dengan menggambar daun yang ditaksir luasnya pada sehelai kertas yang menghasilkan replika daun yang kemudian di digunting. Luas daun kemudian ditaksir

(33)

berdasarkan perbandingan berat replika daun dengan berat total kertas (Sitompul dan Guritno, 1995).

Kehijauan Daun (mg/l)

Pengukuran kehijauan daun dilakukan pada akhir penelitian yaitu 6 MST, Klorofil diekstraksi dengan cara menggerus 1 gram daun lalu hasil gerusan di masukkan kedalam botol cuvet dan di tambahkan menggunakan ethanol 96%.

Dibiarkan selama 2 hari lalu di saring dan di ambil hasil saringannya di masukkan ke cuvet lain. Lalu di ukur nilai klorofilnya menggunakan spektro- fotometer dengan panjang gelombang 649 nm untuk klorofil a dan 665 untuk klorofil b. Lalu hasilnya di masukkan ke rumus perhitungan untuk mendapatkan nilai klorofil.

Rumus menghitung klorofil : klorofil a = (13,7 D-665) – (5,67 D-649) (mg/l) Klorofil b = (25,8 D-649) – 7,60 D-665 (mg/l) (Sumber: Winstermans &

Mots, 1995)

Bobot Kering Tajuk

Tajuk yang diukur adalah tajuk yang sudah dipisahkan dari akar dan dibersihkan dari kotoran kemudian dioven dengan suhu 800C hingga bobotnya konstan,lalu ditimbang menggunakan timbangan analitik. Pengukuran dilakukan dengan cara destruksi tajuk pada 6 MST.

Bobot Kering Akar

Akar yang diukur adalah akar yang sudah dipisahkan dari tajuk dan dibersihkan dari kotoran kemudian dioven dengan suhu 800 C hingga bobotnya konstan,lalu ditimbang menggunakan timbangan analitik. Pengukuran dilakukan dengan cara destruksi tajuk pada 6 MST.

(34)

Umur Berbunga

Umur berbunga adalah kondisi dimana tanaman mulai mengalami fase generatif. Umur berbunga diamati setelah tanaman mengeluarkan bunga sekitar 75%.

Jumlah Cabang Produktif

Jumlah cabang produktif yang dihitung adalah cabang yang berasal dari batang utama setiap tanaman sampel. Pengamatan dilakukan pada akhir masa generatif (panen).

Umur Panen

Pengamatan umur panen dihitung ketika tanaman memasuki R8 yaitu polong telah mencapai warna polong matang ± 95% yang ditandai dengan warna kecokelatan pada polong.

Jumlah Polong Berisi

Jumlah polong berisi dihitung pada setiap tanaman sampel pada saat tanaman dipanen.

Jumlah Polong Hampa

Jumlah polong hampa dihitung pada setiap tanaman sampel pada saat tanaman dipanen.

Bobot Kering Biji / Tanaman

Pengamatan ini dilakukan setelah biji tanaman dikeringkan dengan kadar air 14%. Pengeringan dilakukan dengan cara menjemur dibawah terik matahari selama 2-3 hari, kemudian biji per tanaman ditimbang.

Bobot Kering Biji/Plot

Biji kedelai dipisahkan dari polongnya dan dijemur selama 2-3 hari kemudian ditimbang bobot kering biji tiap plotnya.

(35)

Bobot Kering 100 Biji

Dilakukan penimbangan 100 biji kedelai yang telah dijemur di bawah sinar matahari selama 2-3 hari dari seluruh tanaman sampel.

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap peubah amatan tinggi tanaman pada umur 2-6 MST, luas daun, umur berbunga, umur panen, jumlah cabang produktif, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, bobot kering biji/ plot, serta bobot kering 100 biji.

Perlakuan sumber K berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk. Interaksi antara varietas dan sumber K diketahui berpengaruh tidak nyata terhadap seluruh peubah amatan.

Tinggi Tanaman

Data pengamatan tinggi tanaman pada umur 2, 3, 4, 5, dan 6 MST disajikan pada Lampiran 7, 9, 11, 13, dan 15 sedangkan sidik ragam disajikan pada Lampiran 8, 10, 12, 14, dan 16 diketahui bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap peubah amatan tinggi tanaman pada umur 2-6 MST, sedangkan perlakuan sumber K dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan tinggi tanaman pada umur 2-6 MST.

Berdasarkan sidik ragam diketahui tinggi tanaman kedelai pada umur 6 MST (Lampiran 16) menunjukkan bahwa varietas berpengaruh nyata terhadap peubah amatan tinggi tanaman pada umur 6 MST, sedangkan perlakuan sumber K dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan tinggi tanaman pada umur 6 MST.

(37)

Tabel 1. Tinggi Tanaman Umur 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K MST Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol) K1 (KCl) K2 (AJKS) K3 (ASK) ---cm--- 6

V1 (Dering) 45.59 53.94 48.41 53.87 50.45b

V2 (Anjasmoro) 61.48 60.51 58.87 59.93 60.20a V3 (Gobogan) 42.34 41.17 40.10 41.20 41.20b

Rataan 49.80 51.87 49.12 51.67

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kelompok kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan Varietas Anjasmoro (V2) nyata menghasilkan tinggi tanaman tertinggi dibanding dengan Varietas Dering (V1) dan Varietas Gobogan (V3).

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan K1 (KCl) menghasilkan tinggi tanaman tertinggi namun berbeda tidak nyata dengan Kontrol (K0), Abu Janjang Kelapa Sawit (K2), dan Abu Sabut Kelapa (K3).

Diameter Batang

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 17) dan hasil sidik ragam (Lampiran 18) diketahui bahwa perlakuan varietas dan sumber K serta interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan diameter batang yang diambil pada umur 6 MST.

(38)

Tabel 2. Diameter Batang 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol)

K1 (KCl)

K2 (AJKS)

K3 (ASK) ---mm---

V1 (Dering) 5.03 5.68 5.78 6.04 5.64

V2 (Anjasmoro) 5.57 5.55 5.30 5.62 5.51

V3 (Gobogan) 5.61 5.55 5.44 5.53 5.53

Rataan 5.40 5.60 5.51 5.73

Keterangan: AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa varietas dering (V1) menghasilkan diameter batang tertinggi yaitu 5.64 namun berbeda tidak nyata dengan varietas Anjasmoro (V2) dan varietas Gobogan (V3).

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa pada perlakuan Abu Sabut Kelapa (K3) menghasilkan diameter batang tertinggi yaitu 5.73 namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan Kontrol (K0), KCl (K1), dan Abu Janjang Kelapa Sawit (K2).

Umur Berbunga

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 19) dan hasil sidik ragam (Lampiran 20) diketahui bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap peubah amatan umur berbunga serta sumber K dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan umur berbunga yang diambil pada umur 6 MST.

(39)

Tabel 3. Umur berbunga pada Perlakuan Varietas dan Sumber K Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol) K1 (KCl) K2 (AJKS)

K3 (ASK) ---Hari Setelah Tanam---

V1 (Dering) 37.07 35.60 36.80 36.60 36.52a

V2 (Anjasmoro) 35.27 37.20 35.87 37.07 36.35a

V3 (Gobogan) 30.27 30.20 30.87 30.44 30.44b

Rataan 34.20 34.33 34.51 34.70

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kelompok kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa varietas gobogan (V3) memiliki umur berbunga tercepat yaitu 30,44 HST yang berbeda nyata dengan varietas Dering (V1) dan varietas Anjasmoro (V2) sedangkan varietas Dering (V1) berbeda tidak nyata dengan varietas Anjasmoro (V2).

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa umur berbunga tercepat yaitu pada perlakuan Kontrol (K0) yaitu 34.20 HST namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan KCl (K1), Abu Janjang Kelapa Sawit (K2), dan Abu Sabut Kelapa (K3).

Luas Daun

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 21) dan hasil sidik ragam (Lampiran 22) diketahui bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap peubah amatan luas daun serta sumber K dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan luas daun yang diambil pada umur 6 MST.

(40)

Tabel 4. Luas daun 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol) K1 (KCl) K2 (AJKS)

K3 (ASK) ---cm2---

V1 (Dering) 78.84 115.34 80.42 86.24 90.21b

V2 (Anjasmoro) 114.81 112.17 154.50 134.92 129.10ab V3 (Gobogan) 135.98 139.15 129.10 134.74 134.74a

Rataan 109.88 122.22 121.34 118.64

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kelompok kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa varietas Gobogan (V3) nyata meningkatkan luas daun tertinggi yaitu 134.74 cm2 yang diketahui berbeda nyata dengan varietas Dering (V1) namun berbeda tidak nyata dengan varietas Anjasmoro (V2).

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa perlakuan KCl (K1) menghasilkan luas daun tertinggi yaitu 122.22 cm2 namun berbeda tidak nyata dengan Kontrol (K0), Abu Janjang Kelapa Sawit (K2), dan Abu Sabut Kelapa (K3).

Bobot Kering Tajuk

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 23) dan hasil sidik ragam (Lampiran 24) diketahui bahwa perlakuan sumber K berpengaruh nyata terhadap peubah amatan bobot kering tajuk serta varietas dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan bobot kering tajuk yang diambil pada umur 6 MST.

(41)

Tabel 5. Bobot Kering Tajuk 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol)

K1 (KCl)

K2 (AJKS)

K3 (ASK) ---g---

V1 (Dering) 8.01 7.54 8.91 6.14 7.65

V2 (Anjasmoro) 8.75 8.35 10.23 8.52 8.96

V3 (Gobogan) 13.49 8.37 12.44 11.43 11.43

Rataan 10.08a 8.09a 10.53a 8.70a

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kelompok kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan varietas Gobogan (V3) cenderung meningkatkan bobot kering tajuk tertinggi yaitu 11.43 g namun berbeda tidak nyata dengan varietas Dering (V1) dan varietas Anjasmoro (V2).

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa perlakuan Abu Janjang Kelapa Sawit (K2) nyata menghasilkan bobot kering tajuk tertinggi yaitu 10.53 g namun berbeda tidak nyata dengan Kontrol (K0), KCl (K1), dan Abu Sabut Kelapa (K3).

Bobot Kering Akar

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 25) dan hasil sidik ragam (Lampiran 26) diketahui bahwa perlakuan varietas dan sumber K serta interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan bobot kering akar yang diambil pada umur 6 MST.

(42)

Tabel 6. Bobot Kering Akar 6 MST pada Perlakuan Varietas dan Sumber K Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol)

K1 (KCl)

K2 (AJKS)

K3 (ASK) ---g---

V1 (Dering) 0.71 0.79 0.94 0.63 0.77

V2 (Anjasmoro) 0.86 0.76 1.21 1.13 0.99

V3 (Gobogan) 1.17 0.79 1.02 0.99 0.99

Rataan 0.92 0.78 1.05 0.92

Keterangan: AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa varietas Anjasmoro (V2) dan varietas Gobogan (V3) menghasilkan bobot kering akar tertinggi yaitu sebesar 0.99 g dan terendah pada varietas Dering (V1) yaitu 0.77 g namun ketiganya berbeda tidak nyata satu sama lain.

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa perlakuan abu janjang kelapa sawit (K2) menghasilkan bobot kering akar tertinggi yaitu 1.05 g namun berbeda tidak nyata dengan Kontrol (K0), KCl (K1), dan Abu Sabut Kelapa (K3).

Klorofil Daun a, b, dan Total Klorofil

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 27-31) dan hasil sidik ragam (Lampiran 28-32) diketahui bahwa perlakuan varietas dan sumber K serta interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap terhadap jumlah klorofil a, klorofil b dan total klorofil.

(43)

Tabel 7. Jumlah Klorofil a, Klorofil b dan Total Klorofil pada Perlakuan Varietas dan Sumber K

Klorofil Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol) K1 (KCl) K2 (AJKS)

K3 (ASK) ---mg/l--- A

V1 (Dering) 2.59 2.59 2.50 2.66 2.59

V2 (Anjasmoro) 2.40 2.57 2.42 2.45 2.46

V3 (Gobogan) 2.41 2.56 2.43 2.46 2.46

Rataan 2.47 2.57 2.45 2.52

B

V1 (Dering) 4.47 4.55 4.91 4.09 4.51

V2 (Anjasmoro) 5.22 4.59 5.29 5.13 5.06

V3 (Gobogan) 5.22 4.66 5.19 5.03 5.03

Rataan 4.97 4.60 5.13 4.75

Total Klorofil

V1 (Dering) 7.06 7.13 7.40 6.74 7.08

V2 (Anjasmoro) 7.61 7.15 7.70 7.56 7.51

V3 (Gobogan) 7.62 7.20 7.61 7.48 7.48

Rataan 7.43 7.16 7.57 7.26

Keterangan: AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa perlakuan varietas Dering (V1) cenderung meningkatkan jumlah klorofil a lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Anjasmoro (V2) dan varietas Gobogan (V3) yaitu sebesar 2.59 (mg/l).

Perlakuan KCl (K1) menghasilkan klorofil a tertinggi yaitu 2.57 (mg/l) namun berbeda tidak nyata dengan Kontrol (K0), Abu Janjang Kelapa Sawit (K2), dan Abu Sabut Kelapa (K3).

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa perlakuan varietas Anjasmoro (V2) menghasilkan jumlah klorofil b tertinggi yaitu sebesar 5.06 (mg/l) namun berbeda tidak nyata dibandingkan dengan varietas Dering (V1) dan varietas Gobogan (V3). Perlakuan Abu Janjang Kelapa Sawit (K2) menghasilkan klorofil b lebih tinggi dibandingkan dengan Kontrol (K0), KCl (K1), dan Abu Sabut Kelapa (K3) yaitu sebesar 5.13 (mg/l).

(44)

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa perlakuan varietas Anjasmoro (V2) menghasilkan total klorofil tertinggi yaitu sebesar 7.51 (mg/l) dibandingkan dengan varietas Dering (V1) dan varietas Anjasmoro (V2). Pada perlakuan Abu Janjang Kelapa Sawit (K2) cenderung menghasilkan total klorofil tertinggi dibanding dengan perlakuan Kontrol (K0), KCl (K1) dan Abu Sabut Kelapa (K0) yaitu sebesar 7.57 (mg/l).

Jumlah Cabang Produktif

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 33) dan hasil sidik ragam (Lampiran 34) diketahui bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap peubah amatan jumlah cabang produktif serta sumber K dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan jumlah cabang produktif yang diamati.

Tabel 8. Jumlah Cabang Produktif pada Perlakuan Varietas dan Sumber K Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol)

K1 (KCl)

K2 (AJKS)

K3 (ASK) ---cabang---

V1 (Dering) 4.33 4.80 4.93 5.27 4.83a

V2 (Anjasmoro) 3.20 3.80 3.40 3.00 3.35ab

V3 (Gobogan) 2.53 3.47 2.60 2.87 2.87b

Rataan 3.36 4.02 3.64 3.71

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kelompok kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa varietas Dering (V1) nyata meningkatkan jumlah cabang produktif tertinggi dibandingkan dengan varietas Gobogan (V3) namun berbeda tidak nyata varietas Anjasmoro (V2). Pada Perlakuan KCl (K1) menghasilkan jumlah cabang produktif tertinggi yaitu 4.02

(45)

(cabang) dibandingkan dengan Kontrol (K0), Abu Janjang Kelapa Sawit (K2), dan Abu Sabut Kelapa (K3).

Umur Panen

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 35) dan hasil sidik ragam (Lampiran 36) diketahui bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap peubah amatan umur panen serta sumber K dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan umur panen.

Tabel 9. Umur Panen pada Perlakuan Varietas dan Sumber K Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol)

K1 (KCl)

K2 (AJKS)

K3 (ASK) ---Hari Setelah Tanam---

V1 (Dering) 84.93 85.13 85.00 85.27 85.08b

V2 (Anjasmoro) 89.80 89.93 89.87 89.87 89.87a

V3 (Gobogan) 79.80 79.87 79.93 79.87 79.87c

Rataan 84.84 84.98 84.93 85.00

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kelompok kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa varietas Gobogan (V3) nyata mempercepat umur panen dibandingkan dengan varietas Dering (V1) dan varietas anjasmoro (V2) yaitu 79.87 HST. Pada perlakuan Kontrol (K0) cenderung menghasilkan umur panen tercepat 84.84 HST dibandingkan KCl (K1), Abu Janjang Kelapa Sawit (K2) dan Abu Sabut Kelapa (K3).

Jumlah Polong Berisi

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 37) dan hasil sidik ragam (Lampiran 38), diketahui bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap

(46)

peubah amatan jumlah polong berisi serta sumber K dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan jumlah polong berisi yang yang diamati.

Tabel 10. Jumlah Polong Berisi pada Perlakuan Varietas dan Sumber K Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol)

K1 (KCl)

K2 (AJKS)

K3 (ASK) ---polong---

V1 (Dering) 50.27 80.40 74.93 81.47 71.77a

V2 (Anjasmoro) 63.07 72.60 57.47 79.53 68.17ab

V3 (Gobogan) 35.67 35.47 40.87 37.33 37.33b

Rataan 49.67 62.82 57.76 66.11

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kelompok kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa varietas Dering (V1) nyata meningkatkan jumlah polong berisi tertinggi dibandingkan dengan varietas Gobogan (V3) namun berbeda tidak nyata dengan varietas Anjasmoro (V2). Pada perlakuan abu sabut kelapa (K3) cenderung meningkatkan jumlah polong berisi tertinggi dibandingkan dengan perlakuan Kontrol (K0), KCl (K1) dan Abu Janjang Kelapa Sawit (K2) yaitu 66.11 (polong).

Jumlah Polong Hampa

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 39) dan hasil sidik ragam (Lampiran 40) diketahui bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap peubah amatan jumlah polong hampa serta sumber K dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan jumlah polong hampa yang yang diamati.

(47)

Tabel 11. Jumlah Polong Hampa pada Perlakuan Varietas dan Sumber K Varietas

Sumber K

Rataan K0

(Kontrol)

K1 (KCl)

K2 (AJKS)

K3 (ASK) ---polong---

V1 (Dering) 1.33 1.55 1.38 1.48 1.43b

V2 (Anjasmoro) 2.30 2.14 1.67 2.31 2.11a

V3 (Gobogan) 1.76 2.42 2.05 2.08 2.08a

Rataan 1.80 2.03 1.70 1.96

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kelompok kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa varietas Anjasmoro (V2) nyata meningkatkan jumlah polong hampa tertinggi dibandingkan dengan varietas Dering (V1) namun berbeda tidak nyata dengan varietas Gobogan (V3) yaitu 2.11 (cabang). Pada perlakuan KCl (K1) diketahui cenderung meningkatkan jumlah polong hampa tertinggi dibandingkan dibandingkan dengan Kontrol (K0), Abu Janjang Kelapa Sawit (K2), dan Abu Sabut Kelapa (K3) yaitu 2.03 (cabang).

Bobot Kering Biji/ Tanaman

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 41) dan hasil sidik ragam (Lampiran 42) diketahui bahwa perlakuan varietas dan sumber K serta interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan bobot biji/tanaman yang diamati.

(48)

Tabel 12. Bobot Kering Biji/Tanaman pada Perlakuan Varietas dan Sumber K Varietas

Sumber Kalium (K)

Rataan K0

(Kontrol) K1 (KCl) K2 (AJKS)

K3 (ASK)

V1 (Dering) 14.50 16.62 13.51 17.40 15.51

V2 (Anjasmoro) 10.27 16.33 14.51 20.73 15.46

V3 (Grobogan) 13.07 13.67 17.19 14.64 14.64

Rataan 12.61 15.54 15.07 17.59

Keterangan: AJKS = Abu Janjang Kelapa Sawit ASK = Abu Sabut Kelapa

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa perlakuan varietas dering (V1) menghasilkan bobot kering biji/tanaman tertinggi yaitu 15.51 (g) dibandingn dengan varietas anjasmoro (V2) dan varietas gobogan (V3). Pada perlakuan abu sabut kelapa (K3) menghasilkan bobot biji kering/tanaman tertinggi yaitu 17.59 (g) dibanding kontrol (K0), KCl (K1), dan Abu Janjang Kelapa Sawit (K2).

Bobot Kering Biji/Plot

Berdasarkan data pengamatan (Lampiran 43) dan hasil sidik ragam (Lampiran 44) diketahui bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap peubah amatan bobot kering biji/plot serta sumber K dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan bobot kering biji/plot yan diamati.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa varietas berpengaruh nyata terhadap Tinggi Tanaman, Luas Daun, Tebal Kutikula, Bobot Kering Akar, Bobot Kering Tajuk, Bobot Kering 10 Biji,

Dari hasil sidik ragam pada Lampiran 24 dapat diketahui bahwa perlakuan pemberian vermikompos belum berpengaruh nyata terhadap jumlah polong persampel, varietas berbeda

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam (lampiran 36 dan 37), diketahui bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata terhadap terhadap bobot umbi per plot, pemberian

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas (V) dan konsentrasi pupuk organik cair NASA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah polong total per

Sidik Ragam Bobot Kering Biji Per Tanaman (gr) Dengan Perlakuan Jenis Elisitor dan Waktu Aplikasi Elisitor ... Data Bobot Kering 100 Biji (gr) Dengan Perlakuan Jenis Elisitor dan

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas (V) dan konsentrasi pupuk organik cair NASA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah polong total per

Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah cabang produktif tertinggi terdapat pada perlakuan Sinabung (5.22 cabang) berbeda nyata terhadap Anjasmoro (3.67 cabang) dan

Berdasarkan hasil penelitian bahwa pemberian sumber hara N dengan perlakuan pemberian Urea berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk pada 3 varietas yaitu varietas