ABSTRAK
PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA
(DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU Rahmawati Suharno
Universitas Sanata Dharma 2017
Penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang dilakukan di SD N Mertelu. Hasil analisis kebutuhan menyatakan bahwa materi pembagian dirasa paling sulit untuk dipelajari. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak S, sekolah mengalami keterbatasan dalam menyediakan alat peraga untuk membantu anak dalam memahami suatu konsep Matematika. Misalnya, alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 dapat membantu anak berkesulitan belajar Matematika (Diskalkulia) dalam memahami konsep pembagian. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa papan pembagian tanpa sisa 1-30 dan mendeskripsikan kualitas produk yang telah dikembangkan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research &
Development). Prosedur pengembangan penelitian ini menggunakan prosedur
pengembangan yang diungkapkan oleh Sugiyono. Peneliti hanya menggunakan tujuh dari sepuluh langkah Sugiyono. Karena untuk sampai pada langkah kesepuluh memerlukan keahlian khusus pada bidangnya. Subyek penelitian ini yaitu tiga anak Diskalkulia di kelas IV SD N Mertelu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner, pedoman wawancara, dan pedoman observasi.
Prosedur pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi 7 langkah yaitu: (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji coba produk, dan (7) revisi produk akhir sampai menghasilkan produk akhir berupa prototipe papan pembagian tanpa sisa 1-30. Hasil validasi oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu dikategorikan sangat baik. Dari hasil validasi alat peraga
diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Sedangkan dari hasil validasi
album alat peraga diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Hasil akhir penelitian berupa prototipe alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 beserta albumnya.
ABSTRACT
DEVELOPING MEDIA OF MATHEMATICS DIVISION MATERIAL FOR CHILDREN WITH MATH DISABILITY (DYSCALCULIA) IN
SD NEGERI MERTELU was the most difficult material to learn. Based on the result of interview, Bapak S stated that school did not have enough media to help children to learn mathematics concept. For instance, division board 1-30 without remains could help dyscalculia children in understanding division concept. This study aimed to produce a media in a form of division board 1-30 without remains and describe the quality of the media developed.
This study is a research and development study. The procedures developed of this study used procedure development by Sugiyono. The researcher only used
seven of ten Sugiyono’s steps. To get into step tenth, need special skills in the
field. The subjects of this study were three dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu. The instruments used were questionnaire, interview guideline, and observation guideline.
There were seven steps of procedure development that had been conducted in this study. They were (1) potential and problem, (2) data gathered, (3) product design, (4) design validation, (5) design revision, (6) product testing, (7) the last product revision in a form of division board prototype 1-30 without remains. The result of validation showed that the quality of Mathematics division board 1-30 without remains media for dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu was categorized very good by the experts. The result of media validation got mean 3,6 which was categorized very good. Besides, the result of media album validation got mean 3,6 which was categorized very good. The finishing result of the study was in a form media of Mathematics division board 1-30 without remains along with the album.
i
PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN
BELAJAR MATEMATIKA (DISKALKULIA)
DI SD NEGERI MERTELU
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh:
Rahmawati Suharno NIM 131134055
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii
iv
Karya ini kupersembahkan untuk:
Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, hidayah, dan anugerahNya
sehingga skripsi ini selesai dengan lancar dan tepat waktu.
Kedua orang tuaku, Bapak Suharno dan Ibu Tugi yang selalu memberikan
dukungan, doa, dan semangat.
Adik-adikku tercinta, Taufik Sanjaya dan Nayla Rizky Rahmadani yang selalu
menghiburku dikala bosan dengan proses pengerjaan skripsi.
Ibu Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd. dan Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S.
Psi., M. Psi. yang membimbingku dalam proses pengerjaan skripsi.
Seluruh dosen PGSD USD yang telah memberikan pengalaman belajar yang luar
biasa.
Teman-temanku satu payung, Witanti Wiyantari dan Mariyah yang selalu
memberikan bantuan dan motivasi dalam pengerjaan skripsi.
Teman-teman terdekatku, Marta, Galuh, Windha, Itri, Voo, Rajiv, Adel, Adiktia,
dan Dessy Riska yang selalu memberikan bantuan dan semangat.
Teman-teman PGSD angkatan 2013, terimakasih atas kebersamaan, dukungan,
bantuan, dan saling berbagi selama belajar di PGSD USD.
v
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu akan ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan)
yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
(Terjemahan Q.S Al-Insyirah: 6-8)
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
vi
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 13 Juni 2017
Penulis
vii
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Rahmawati Suharno
Nomor Mahasiswa : 131134055
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:
PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR
MATEMATIKA (DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU
beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk keperluan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 13 Juni 2017 Yang menyatakan
viii
PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA
(DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU Rahmawati Suharno
Universitas Sanata Dharma 2017
Penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang dilakukan di SD N Mertelu. Hasil analisis kebutuhan menyatakan bahwa materi pembagian dirasa paling sulit untuk dipelajari. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak S, sekolah mengalami keterbatasan dalam menyediakan alat peraga untuk membantu anak dalam memahami suatu konsep Matematika. Misalnya, alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 dapat membantu anak berkesulitan belajar Matematika (Diskalkulia) dalam memahami konsep pembagian. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa papan pembagian tanpa sisa 1-30 dan mendeskripsikan kualitas produk yang telah dikembangkan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research &
Development). Prosedur pengembangan penelitian ini menggunakan prosedur
pengembangan yang diungkapkan oleh Sugiyono. Peneliti hanya menggunakan tujuh dari sepuluh langkah Sugiyono. Karena untuk sampai pada langkah kesepuluh memerlukan keahlian khusus pada bidangnya. Subyek penelitian ini yaitu tiga anak Diskalkulia di kelas IV SD N Mertelu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner, pedoman wawancara, dan pedoman observasi.
Prosedur pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi 7 langkah yaitu: (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji coba produk, dan (7) revisi produk akhir sampai menghasilkan produk akhir berupa prototipe papan pembagian tanpa sisa 1-30. Hasil validasi oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu dikategorikan sangat baik. Dari hasil validasi alat peraga
diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Sedangkan dari hasil validasi
album alat peraga diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Hasil akhir penelitian berupa prototipe alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 beserta albumnya.
ix
DEVELOPING MEDIA OF MATHEMATICS DIVISION MATERIAL FOR CHILDREN WITH MATH DISABILITY (DYSCALCULIA) IN
SD NEGERI MERTELU was the most difficult material to learn. Based on the result of interview, Bapak S stated that school did not have enough media to help children to learn mathematics concept. For instance, division board 1-30 without remains could help dyscalculia children in understanding division concept. This study aimed to produce a media in a form of division board 1-30 without remains and describe the quality of the media developed.
This study is a research and development study. The procedures developed of this study used procedure development by Sugiyono. The researcher only used
seven of ten Sugiyono’s steps. To get into step tenth, need special skills in the
field. The subjects of this study were three dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu. The instruments used were questionnaire, interview guideline, and observation guideline.
There were seven steps of procedure development that had been conducted in this study. They were (1) potential and problem, (2) data gathered, (3) product design, (4) design validation, (5) design revision, (6) product testing, (7) the last product revision in a form of division board prototype 1-30 without remains. The result of validation showed that the quality of Mathematics division board 1-30 without remains media for dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu was categorized very good by the experts. The result of media validation got mean 3,6 which was categorized very good. Besides, the result of media album validation got mean 3,6 which was categorized very good. The finishing result of the study was in a form media of Mathematics division board 1-30 without remains along with the album.
Key words: Research and Development, media, dyscalculia.
x
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat, dan karuniaNya yang berlimpah peneliti dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA
MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA (DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan program S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma dan persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini dapat dibuat dengan baik karena doa dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dan memberikan doa serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si, M.Pd., Ketua Program Studi Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah membimbing sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Apri Damai Sagita Krissandi, S.S., M.Pd., Wakil Program Studi Prodi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
4. Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S. Psi., M. Psi., Dosen Pembimbing II yang selalu memberi pengarahan, kritik dan saran sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Sekretariat PGSD Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan bantuan dan pelayanan peneliti dengan baik.
6. Para validator yang telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini. 7. Kepala Sekolah SD Negeri Mertelu yang dengan tangan terbuka telah
bekerja sama dan memberikan izin penelitian di sekolah.
xi
IV SD Negeri Mertelu yang dengan berbaik hati mau berpartisipasi dan memberikan waktu kepada peneliti.
10. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan berbagai pengalaman belajar. 11. Kedua orang tuaku, Bapak Suharno dan Ibu Tugi yang selalu
memberikan dukungan, doa, dan semangat.
12. Adik-adikku tercinta, Taufik Sanjaya dan Nayla Rizky Rahmadani yang selalu menghiburku dikala bosan dengan proses pengerjaan skripsi. 13. Teman-teman terdekatku yang telah memberikan bantuan, semangat, dan
dukungan.
14. Teman-teman satu payung yang telah memberikan bantuan dan dukungan.
15. Semua pihak yang telah mendukung dan tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penelitian selanjutnya dan mohon maaf jika ada kesalahan dalam penyusunan skripsi.
Yogyakarta, 13 Juni 2017 Penulis
xii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
xiii
2.1.1 Alat Peraga ... 14
2.1.2 Matematika ... 17
2.1.3 Kesulitan Belajar ... 27
2.1.4 Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) ... 35
2.1.5 Materi Pembagian ... 43
2.2 Penelitian yang Relevan ... 45
2.3 Kerangka Berpikir ... 48
2.4 Pertanyaan Penelitian ... 50
BAB III METODE PENELITIAN ... 52
3.1 Jenis Penelitian ... 52
3.4 Teknik Pengumpulan data ... 62
3.5 Instrumen Penelitian... 66
3.6 Teknik Analisis Data ... 69
3.6.1 Data Kualitatif ... 69
3.6.2 Data Kuantitatif ... 70
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73
4.1 Hasil Penelitian ... 73
4.1.1 Potensi dan Masalah ... 73
xiv
4.1.4 Validasi Desain ... 83
4.1.5 Revisi Desain ... 84
4.1.6 Uji Coba Produk ... 100
4.1.7 Revisi Produk ... 102
4.2 Pembahasan ... 103
BAB V PENUTUP ... 107
5.1 Kesimpulan ... 107
5.2 Keterbatasan Penelitian ... 108
5.3 Saran ... 109
DAFTAR REFERENSI ... 110
DAFTAR LAMPIRAN...114
xv
xvi
Tabel 3.1 Garis Besar Pertanyaan untuk Kepala Sekolah ... 66
Tabel 3.2 Garis Besar Pertanyaan untuk Guru Kelas IV ... 66
Tabel 3.3 Garis Besar Pertanyaan untuk Anak Diskalkulia kelas IV ... 66
Tabel 3.4 Garis Besar Pertanyaan untuk Guru Kelas IV ... 67
Tabel 3.5 Rambu-Rambu Pengamatan terhadap Anak Diskalkulia ... 67
Tabel 3.6 Pengukuran Skala Likert ... 68
Tabel 3.7 Kisi-Kisi Instrumen Validasi Alat Peraga ... 68
Tabel 3.8 Kisi-Kisi Instrumen Validasi Album Alat Peraga... 68
Tabel 3.9 Klasifikasi Hasil Penilaian ... 70
Tabel 4.1 Komentar dan Saran Terhadap Alat Peraga oleh Dosen Ahli ... 84
Tabel 4.2 Komentar dan Saran Terhadap Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli... 84
Tabel 4.3 Rekapitulasi Data Validasi Alat Peraga Sebelum Revisi dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Matematika ... 87
Tabel 4.4 Komentar dan Saran Terhadap Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 88
Tabel 4.5 Rekapitulasi Data Validasi Album Alat Peraga Sebelum Revisi dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Matematika ... 89
Tabel 4.6 Rekapitulasi Data Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 91
Tabel 4.7 Rekapitulasi Data Validasi Album Alat Peraga Sebelum dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 93
Tabel 4.8 Komentar dan Saran Album Alat Peraga Sebelum dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 93
xvii
xviii
Gambar 1.1 Desain Produk ... 8
Gambar 1.2 Bagian-Bagian Papan Pembagian ... 9
Gambar 1.3 Kartu Soal ... 11
Gambar 1.4 Kartu Bilangan yang Dibagi ... 11
Gambar 1.5 Kartu Bilangan Pembagi ... 11
Gambar 1.6 Kartu Bilangan Hasil Bagi ... 11
Gambar 1.7 Tabung Kecil (Tab) ... 12
Gambar 1.8 Kotak Penyimpanan ... 12
Gambar 4.1 Desain Alat Peraga Papan Pembagian Tanpa Sisa 1-30 ... 82
xix
Lampiran 1. Surat Izin Melakukan Penelitian... 115
Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 116
Lampiran 3. Surat Pengantar Validasi Dosen Ahli Matematika ... 117
Lampiran 4. Surat Pengantar Validasi Dosen Ahli Psikologi Anak ... 118
Lampiran 5. Surat Pengantar Validasi Kepala Sekolah ... 119
Lampiran 6. Surat Pengantar Validasi Guru Kelas IV ... 120
Lampiran 7. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Matematika ... 121
Lampiran 8. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 123
Lampiran 9. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Kepala Sekolah... 125
Lampiran 10. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Guru Kelas IV ... 127
Lampiran 11. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli Matematika 129 Lampiran 12. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak………131
Lampiran 13. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Kepala Sekolah ... 133
Lampiran 14. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Guru Kelas IV ... 135
Lampiran 15. Garis Besar Pertanyaan Wawancara Potensi dan Masalah ... 137
Lampiran 16. Garis Besar Pertanyaan Wawancara Pengumpulan Data ... 138
Lampiran 17. Pedoman Observasi ... 139
Lampiran 18. Album Petunjuk Penggunaan Alat Peraga Papan Pembagian untuk Anak Berkesulitan Belajar Matematika ... 140
1
BAB I PENDAHULUAN
Uraian dalam bab ini berisi (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3)
tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) spesifikasi produk yang dikembangkan,
dan (6) definisi operasional.
1.1Latar Belakang Penelitian
Matematika merupakan salah satu pelajaran wajib yang ditempuh oleh
peserta didik mulai usia sekolah dasar hingga tingkat menengah. Matematika
memiliki objek kajian yang abstrak. Hal inilah yang mengakibatkan banyak peserta
didik kesulitan memahami pelajaran Matematika. Hasil wawancara dengan guru kelas
IV menyatakan bahwa dari mata pelajaran yang terdapat di Sekolah, pelajaran
Matematika dirasa paling sulit untuk dipahami. Pengertian Matematika sendiri pun
tidak didefinisikan secara mudah dan tepat mengingat ada banyak fungsi dan peranan
Matematika terhadap bidang studi yang lain. Kalau ada definisi tentang Matematika
maka itu bersifat tentatif, tergantung kepada orang yang mendefinisikannya. Bila
seorang tertarik dengan bilangan maka ia akan mendefinisikan Matematika adalah
kumpulan bilangan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan hitungan
dalam perdagangan (Ali & Muhlisrarini, 2014: 47). Matematika sudah tidak asing
lagi bagi kehidupan manusia, karena secara tidak langsung dalam kehidupan
sehari-hari manusia selalu menggunakan konsep dasar Matematika. Misalnya sewaktu
karena itu, pembelajaran Matematika hendaknya diajarkan pada anak mulai dari usia
dini dengan mengenalkan konsep dasar Matematika mulai dari tahap yang konkrit,
semi konkrit, dan abstrak. Hal tersebut dapat membantu anak berpikir logis dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam proses pembelajaran konsep dasar Matematika pada anak-anak
tidak selalu berkembang sebagaimana mestinya, karena masing-masing anak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda-beda. Ada anak yang
cepat dan ada juga yang lamban atau kesulitan dalam memahami konsep dasar
Matematika. Dari hasil wawancara dengan dugaan anak Diskalkulia, pelajaran
Matematika memang dirasa sebagai pelajaran yang paling sulit bagi sebagian besar
anak. Bagi anak dengan Diskalkulia, butuh waktu yang lebih lama untuk memahami
konsep Matematika dibanding dengan anak biasa pada umumnya. Pembagian sering
kali dianggap sebagai salah satu materi yang paling sulit dimengerti oleh anak dan
pengajarannya jarang menggunakan alat peraga. Alat peraga sangat diperlukan untuk
menunjang proses belajar anak Diskalkulia. Alat peraga dapat membantu anak
menangkap pesan/materi yang terkandung dalam suatu pembelajaran, khususnya
Matematika. Alat peraga yang menarik juga dapat membangkitkan semangat dan
minat belajar anak.
Marilyn & Bursuck (2015: 53) menjelaskan bahwa teknologi dapat digunakan
untuk membantu para siswa penyandang disabilitas baik yang ringan ataupun berat
dalam banyak hal, misalnya untuk berkomunikasi, mengakses pembelajaran,
masyarakat. Teknologi bantu merujuk pada perangkat apa pun, baik itu suatu alat,
produk, atau barang lainnya yang dapat digunakan untuk menaikkan,
mempertahankan, atau meningkatkan kemampuan fungsional individu penyandang
disabilitas. Tingkatan teknologi bantu yang dapat digunakan siswa disabilitas yaitu
(1) tanpa teknologi atau teknologi rendah, (2) teknologi menengah, dan (3) teknologi
tinggi. Alat peraga yang dikembangkan dalam penelitian ini tergolong dalam
tingkatan pertama, yaitu tanpa teknologi atau teknologi rendah. Tanpa teknologi atau
teknologi rendah merujuk pada alat dan barang yang tidak termasuk dalam tipe
elektronik apa pun.
Analisis kebutuhan pada penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri
Mertelu, Piji, Mertelu, Gedangsari, Gunung Kidul pada tanggal 23, 26, dan 28
November 2016 pada tahun ajaran 2016/2017. Peneliti menggunakan 3 anak
Diskalkulia di kelas IV. Dari ketiga anak tersebut, masing-masing menampakkan
karakteristik anak Diskalkulia. Karakteristik yang paling ditampakkan adalah asosiasi
visual-motor, dimana anak sering tidak dapat menghitung benda secara berurutan
sambil menyebutkan bilangannya. Anak mungkin baru memegang benda yang
ketujuh namun telah mengucapkan “9”, atau sebaliknya. Anak semacam ini dapat
memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya.
Hal tersebut terlihat ketika peneliti mendikte sebuah bilangan kemudian anak diminta
untuk menuliskan simbol bilangannya. Misalnya, peneliti mendikte “lima puluh
Hasil wawancara dengan guru kelas IV di SD N Mertelu diperoleh hasil
bahwa beliau belum pernah menggunakan alat peraga apapun untuk mengajarkan
anak Diskalkulia tentang konsep pembagian. Beliau juga mengatakan bahwa di
sekolah tersebut belum tersedia alat peraga Matematika tentang pembagian. Alat
peraga yang disediakan oleh sekolah hanya terbatas pada materi tertentu saja. Beliau
hanya menjelaskan berulang kali untuk mengatasi masalah yang ada pada anak
tersebut, namun hal itu dirasa tidak membuat anak menjadi paham. Guru meminta
peneliti mendesain alat peraga untuk mengajarkan konsep pembagian pada anak
Diskalkulia. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Dewi (2015) yang berjudul
“Pengembangan Alat Peraga Pembelajaran Matematika SD Materi Perkalian dan
Pembagian Berbasis Metode Montessori” dijelaskan bahwa alat peraga dapat
membantu dalam memahami konsep perkalian dan pembagian. Selain itu, alat peraga
dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dari hasil pretest ke posttest menunjukkan
perbedaan sebesar 90,4%. Hal tersebut menegaskan bahwa alat peraga Matematika
tentang pembagian sangat dibutuhkan untuk membantu anak Diskalkulia dalam
memahami konsep pembagian.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai “Pengembangan Alat Peraga Matematika Materi
Pembagian untuk Anak dengan Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) di SD
Negeri Mertelu”. Materi pembelajaran Matematika dibatasi pada standar kompetensi
1 “memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan
khususnya materi pembagian. Peneliti kemudian mempersempit materi kajiannya
menjadi pembagian tanpa sisa 1 sampai dengan 30 dimana bilangan pembaginya 1
sampai dengan 10. Hal tersebut dimaksudkan agar anak Diskalkulia terlebih dahulu
memahami konsep pembagian dan berhitung.
1.2Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pengembangan alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk
anak dengan Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu?
1.2.2 Bagaimana kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30
untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu?
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Mengembangkan alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak
Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu.
1.3.2 Mengetahui kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30
untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu.
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan yang baru dan bermanfaat
bagi pembaca, sehingga banyak orang tertarik untuk mempraktikkan apa yang
telah dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
“Pengembangan Alat Peraga Matematika Materi Pembagian untuk Anak
dengan Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) di SD Negeri Mertelu”
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1Bagi Peneliti
Penelitian ini mampu memberikan pengalaman langsung kepada peneliti
tentang mengembangkan alat peraga Matematika sesuai dengan karakteristik
anak Diskalkulia di Sekolah Dasar.
1.4.2.2Bagi Siswa
Siswa kelas IV yang mengalami gangguan Diskalkulia dapat mempelajari
materi pembagian dengan alat peraga yang telah melalui serangkaian uji coba
ilmiah. Siswa juga dapat merasakan suasana belajar yang aktif, kreatif, dan
menyenangkan.
1.4.2.3Bagi Guru
Menambah wawasan guru mengenai cara mengajar dan mengembangkan alat
peraga untuk anak berkebutuhan khusus yang mengadopsi ciri-ciri alat peraga
yang terdapat dalam pendidikan Montessori.
1.4.2.4Bagi Sekolah
Penelitian ini menambah referensi untuk mengembangkan alat peraga untuk
1.5Spesifikasi Produk yang Dikembangkan
Alat peraga yang akan dikembangkan peneliti berupa papan pembagian tanpa
sisa 1-30 dimana bilangan pembaginya 1-10. Kelengkapan alat peraga tersebut
meliputi kartu soal, kartu bilangan, kartu bilangan yang dibagi, kartu bilangan
pembagi, kartu bilangan hasil pembagian, tab (tabung), album petunjuk, dan kotak
penyimpanan beserta tutup. Papan pembagian dibuat dengan bentuk persegi panjang
dengan panjang 53 cm dan lebar 68 cm, serta ketebalan papan 1 cm. Papan tersebut
dibuat dengan bahan kayu jenis teak wood. Pada papan terdapat 600 lubang yang
berbentuk lingkaran untuk meletakkan tabung kecil (Tab) yang mempunyai diameter
1,6 cm dan tinggi 4,5 cm dengan diameter lubang 1,7 cm serta dalamnya lubang
sebesar 1 cm. Selain itu terdapat juga 4 lubang berbentuk persegi panjang berukuran
5 cm x 9 cm dengan dalamnya lubang sebesar 0.5 cm. Lubang berbentuk persegi
panjang ini digunakan untuk meletakkan kartu yang berukuran 5 cm x 7 cm.
Kotak penyimpanan alat peraga terbuat dari kayu dengan panjang, lebar, dan
tingginya masing-masing berukuran 21,5 cm x 12,5 cm x 5 cm. Bagian dalam kotak
penyimpanan dibuat bersekat-sekat untuk membedakan jenis kartu dan untuk
meletakkan tabung kecil (Tab). Sebagai kontrol dari latihan soal, kartu soal
dilengkapi kunci jawaban yang tertulis di bagian belakang dari muka kartu soal.
Album pembelajaran merupakan buku panduan penggunaan media papan pembagian.
Dalam album ini berisi tentang pengenalan alat peraga, tujuan pembelajaran, dan cara
aktivitas pembelajaran menggunakan papan pembagian. Desain produk dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
Gambar 1.1 Desain Produk
Alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 terdiri dari empat bagian, yaitu
papan pembagian, kartu, tabung kecil (Tab), dan kotak penyimpanan. Pertama, papan
pembagian merupakan sebuah papan yang digunakan untuk mejelaskan konsep
Gambar 1.2 Bagian-bagian papan pembagian
Keterangan:
1. Judul alat peraga. Judul alat peraga ini adalah “Papan Pembagian Tanpa Sisa
1-30”. Judul ini berfungsi untuk memudahkan anak mengetahui fungsi alat
peraga yang akan digunakan.
2. Lubang kartu soal. Lubang persegi panjang berwarna putih digunakan untuk
meletakkan kartu soal.
1
5
4 3
2 7
6
8
9
3. Lubang kartu bilangan yang dibagi. Lubang persegi panjang berwarna biru
untuk meletakkan kartu bilangan yang dibagi.
4. Lubang kartu bilangan pembagi. Lubang persegi panjang berwarna hijau
untuk meletakkan kartu bilangan pembagi.
5. Lubang kartu bilangan hasil bagi. Lubang persegi panjang berwarna merah
untuk meletakkan kartu bilangan hasil bagi.
6. Lubang tabung kecil (Tab). Lubang berbentuk lingkaran digunakan untuk
meletakkan tabung kecil (Tab).
7. Bilangan yang dibagi. Bilangan berwarna biru menunjukkan jumlah lubang
tabung kecil (Tab) yang harus digunakan untuk meletakkan tabung kecil
(Tab).
8. Bilangan pembagi. Bilangan berwarna hijau menunjukkan jumlah lubang
tabung kecil (Tab) yang harus digunakan untuk meletakkan tabung kecil (Tab)
setiap barisnya.
9. Bilangan hasil bagi. Bilangan berwarna merah menunjukkan jumlah bilangan
hasil bagi.
10.Kayu pengendali. Pada bilangan berwarna merah terdapat kayu penutup yang
dapat ditarik ke bawah. Kayu penutup berfungsi sebagai pengendali kesalahan
Bagian kedua dari alat peraga papan pembagian adalah kartu. Terdapat 4 jenis
kartu yang berbeda, yaitu kartu soal, kartu bilangan yang dibagi, kartu bilangan
pembagi, dan kartu bilangan hasil bagi.
Tampak depan Tampak belakang
Gambar 1.3 Kartu soal
Gambar 1.5 Kartu bilangan pembagi
Gambar 1.4 Kartu bilangan yang dibagi
Gambar 1.6 Kartu bilangan hasil bagi
Tulisan pada bagian muka (depan) kartu soal mempunyai tiga warna, yaitu biru,
hitam, dan hijau. Tulisan berwarna biru menunjukkan bilangan yang dibagi, hitam
menunjukkan simbol pembagian, dan hijau menunjukkan bilangan pembagi. Pada
kartu soal dilengkapi dengan pengendali kesalahan yang terdapat di bagian belakang
kartu soal.
Bagian ketiga dari alat peraga ini adalah tabung kecil (Tab). Tabung kecil
pada papan pembagian ini disebut “Tab” untuk memudahkan dalam pengucapan. Tab
melambangkan jumlah bilangan yang sesuai dengan kartu soal.
Delapan Belas
Dibagi
Enam 18: 6 = 3
18
Gambar 1.7 Tabung kecil (Tab)
Bagian terakhir dari alat peraga ini adalah kotak penyimpanan. Kotak
penyimpanan berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan kartu dan tabung kecil
(Tab).
Gambar 1.8 Kotak penyimpanan
1.6Definisi Operasional
1.6.1 Alat Peraga
Alat peraga adalah benda-benda yang digunakan dalam pembelajaran untuk
1.6.2 Matematika
Matematika adalah pengetahuan yang mengkaji pola dan hubungan suatu
gagasan yang terstruktur dengan menggunakan berbagai simbol dan bilangan
untuk memecahkan suatu masalah.
1.6.3 Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar adalah ketidakmampuan belajar yang disebabkan oleh
berbagai faktor, baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar yang dapat
menyebabkan anak mengalami gangguan berbicara, mengeja, menulis,
membaca, ataupun berhitung.
1.6.4 Kesulitan Belajar Matematika
Kesulitan belajar Matematika adalah ketidakmampuan anak dalam belajar
Matematika, disebut juga Diskalkulia.
1.6.5 Alat Peraga Montessori
Terdapat lima ciri-ciri alat peraga berbasis metode Montessori. Ciri-ciri
tersebut adalah menarik, bergradasi, auto-correction, auto-education, dan
14
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab II ini akan membahas (1) kajian pustaka, (2) penelitian yang relevan, (3)
kerangka berpikir, dan (4) pertanyaan penelitian.
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Alat Peraga
2.1.1.1 Hakikat Alat Peraga
Alat peraga adalah alat bantu pembelajaran dan segala macam benda
yang digunakan untuk memperagakan materi pembelajaran (Arsyad, 2014: 9).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 37) dijelaskan bahwa alat peraga
adalah alat bantu dalam pengajaran untuk memperagakan sesuatu supaya apa
yang diajarkan mudah dimengerti oleh anak didik. Senada dengan pengertian
tersebut, Prastowo (2015: 297) memberikan pengertian alat peraga sebagai media
yang menggambarkan atau mengilustrasikan konsep atau materi yang diajarkan
sehingga anak lebih mudah dalam mempelajari materi yang diajarkan. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa alat peraga adalah benda-benda yang
digunakan dalam pembelajaran untuk membantu anak memahami suatu materi
yang diajarkan.
Alat peraga memiliki fungsi untuk menerangkan atau memperagakan
peraga memudahkan dalam memberi pengertian kepada siswa dari perbuatan
yang abstrak sampai ke yang sangat konkret (Sanaky, 2013: 24). Segala sesuatu
yang masih bersifat abstrak dikonkretkan dengan menggunakan alat agar dapat
dijangkau dengan pemikiran yang sederhana dan dapat dilihat, dipandang, dan
dirasakan (Arsyad, 2014: 13).
Penggunaan alat peraga dalam pembelajaran dimaksudkan untuk
mengoptimalkan keseluruhan fungsi panca indra siswa (Widiyatmoko &
Pamelasari, 2012: 52). Melibatkan indra penglihatan, pendengaran, perasaan,
penciuman, dan peraba dalam pembelajaran dapat memberikan kesan paling utuh
dan paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang terkandung dalam
pengalaman itu (Arsyad, 2014: 13). Berdasarkan teori di atas, alat peraga dapat
membantu siswa dalam mempelajari suatu materi. Dengan alat peraga, siswa juga
dapat mengembangkan seluruh panca indranya. Materi yang diajarkan kepada
anak menjadi lebih mudah diterima apabila menggunakan alat peraga karena
melibatkan seluruh panca indra yang dimiliki. Salah satu metode yang memiliki
kekhasan penggunaan alat peraga dalam pembelajarannya adalah metode
Montessori.
2.1.1.2 Alat Peraga Berbasis Metode Montessori
Terdapat lima ciri-ciri alat peraga berbasis metode Montessori.
Ciri-ciri tersebut adalah menarik, bergradasi, auto-correction, auto-education, dan
kontekstual. Ciri yang pertama adalah menarik. pembelajaran bagi anak diarahkan
memperhatikan warna, kontur permukaan yang lembut, dan beratnya, sehingga
anak tertarik untuk menyentuh, meraba, dan memegangnya. Anak normal akan
mengulangi kegiatan yang mereka lakukan karena ketertarikan. Mereka
melakukan modifikasi dalam menggunakan alat peraga (Motessori, 2002:
170-174).
Ciri yang kedua adalah bergradasi. Gradasi alat peraga terkait dengan
warna, bentuk, dan usia anak. Alat peraga bergradasi ini memungkinkan
digunakan dengan melibatkan panca indra anak dan bisa digunakan untuk
anak-anak dari beragam usia dalam hal pembentukan konsep belajar anak-anak (Montessori:
2002: 174). Ciri yang ketiga adalah auto-correction. Alat peraga yang dibuat
memiliki pengendali kesalahan. Dengan adanya pengendali kesalahan, anak bisa
mengetahui jika mereka melakukan kesalahan dalam menggunakan alat peraga
tanpa diberi tahu oleh orang lain (Montessori, 2002: 171).
Ciri keempat adalah auto-education. Alat peraga yang digunakan
dapat mengembangkan kemampuan anak untuk belajar secara mandiri. Anak kan
fokus pada apa yang dikerjakannya walaupun terdapat gangguan di sekitarnya.
Anak memperoleh pengalaman dari aktivitas dengan panca indranya
menggunakan alat peraga secara berulang. Hal tersebut merupakan cara mendidik
dirinya sendiri. Dalam belajar, guru hanya sedikit campur tangan dan lebih
banyak mengamati dan mengarahkan. Karena itu, guru di sekolah Montessori
disebut sebagai direktris (Montessori, 2002: 172-173). Ciri yang kelima adalah
disesuaikan dengan konteks (Lillard, 2005: 32). Kontekstual yang dimaksud
adalah sesuai dengan lingkungan yang ada di sekitar anak. Selain itu, alat peraga
dibuat dengan menggunakan material yang ada di alam sekitar.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti mengembangkan alat peraga
dengan memperhatikan ciri-ciri alat peraga Montessori. Alat peraga yang
dikembangkan menarik, dengan memberikan warna dan cara penggunaan yang
menyenangkan. Alat peraga yang dikembangkan juga bergradasi karena dapat
terdiri dari berbagai warna dan tekstur. Memiliki auto-correction sehingga siswa
dapat mengetahui kesalahannya sendiri ketika belajar. Melalui alat peraga ini,
siswa juga dapat belajar secara mandiri tanpa didampingi oleh guru
(auto-education). Alat peraga yang dikembangkan juga dibuat dengan menggunakan
bahan-bahan yng dapat ditemukan dengan mudah di lingkungan sekitar.
2.1.2 Matematika
2.1.2.1 Pengertian Matematika
Matematika berasal dari kata mathema artinya pengetahuan,
mathanein artinya berpikir atau belajar. Dalam kamus Bahasa Indonesia
diartikan Matematika adalah ilmu tentang bilangan hubungan antara bilangan
dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah
mengenai bilangan (Depdiknas). Pengertian Matematika tidak didefinisikan
secara mudah dan tepat mengingat ada banyak fungsi dan peranan
Matematika maka itu bersifat tentatif, tergantung kepada orang yang
mendefinisikannya. Bila seorang tertarik dengan bilangan maka ia akan
mendefinisikan Matematika adalah kumpulan bilangan yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan persoalan hitungan dalam perdagangan. Beberapa orang
mendefinisikan Matematika berdasarkan struktur Matematika, pola pikir
Matematika, pemanfaatannya bagi bidang lain, dan sebagainya.
Atas dasar itu, Anitah (dalam Hamzah & Muhlisrarini, 2014: 47-48)
menjelaskan beberapa definisi tentang Matematika yaitu:
a) Matematika adalah cabang pengetahuan eksak dan terorganisasi.
b) Matematika adalah ilmu tentang keluasan atau pengukuran dan letak.
c) Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan dan
hubungan-hubungannya.
d) Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungannya
yang diatur menurut urutan yang logis.
e) Matematika adalah ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang
didasarkan pada observasi (induktif) tetapi diterima generalisasi yang
didasarkan kepada pembuktian secara deduktif.
f) Matematika adalah ilmu tentang struktur yang terorganisasi mulai dari
unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma
g) Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan
besaran, dan konsep-konsep hubungan lainnya yang jumlahnya banyak
dan terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.
Selain itu John & Rising (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 28)
mendefiniskan Matematika sebagai berikut:
a) Matematika adalah pengetahuan terstruktur, dimana sifat dan teori dibuat
secara deduktif berdasarkan unsur-unsur yang didefinisikan atau tidak
didefinisikan dan berdasarkan aksioma, sifat, atau teori yang telah
dibuktikan kebenarannya.
b) Matematika ialah bahasa simbol tentang berbagai gagasan dengan
menggunakan istilah-istilah yang didefinisikan secara cermat, jelas, dan
akurat.
c) Matematika adalah seni, dimana keindahannya terdapat dalam keterurutan
dan keharmonisan.
Beth & Piaget (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 28) mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan Matematika adalah pengetahuan yang berkaitan
dengan berbagai struktur abstrak dan hubungan antar-struktur tersebut
sehingga terorganisasi dengan baik. Sementara Kline (dalam Runtukahu &
Kandou, 2014: 28) lebih cenderung mengatakan bahwa Matematika adalah
pengetahuan yang tidak berdiri sendiri, tetapi dapat membantu manusia untuk
memahami dan memecahkan permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Di
bahwa Matematika adalah studi tentang pola dan hubungan, cara berpikir
dengan strategi organisasi, analisis dan sintesis, seni, bahasa, dan alat untuk
memecahkan masalah-masalah abstrak dan praktis. Dari pendapat beberapa
tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa Matematika adalah pengetahuan yang
mengkaji pola dan hubungan suatu gagasan yang terstruktur dengan
menggunakan berbagai simbol dan bilangan untuk memecahkan suatu
masalah.
2.1.2.2 Prinsip-Prinsip Praktis
Reys (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 30-32) mengemukakan
prinsip-prinsip praktis pendekatan belajar kognitif dalam pembelajaran
Matematika yang menurut pendapat penulis dapat diaplikasikan secara umum
pada anak Diskalkulia. Prinsip-prinsip praktis yang dianjurkan tidak berdiri
sendiri, tetapi berhubungan satu dengan yang lainnya.
a. Belajar Matematika harus berarti (meaningful)
Belajar dengan penuh pengertian meliputi semua materi Matematika yang
diajarkan di SD.
b. Belajar Matematika adalah proses perkembangan
Belajar Matematika yang efektif dan efisien tidak dengan sendirinya terjadi
karena membutuhkan cukup waktu dan perencanaan yang baik. Guru
memegang peranan penting dalam menyediakan lingkungan belajar yang kaya
c. Matematika adalah pengetahuan yang sangat terstruktur
Keterampilan Matematika harus dibangun dari keterampilan sebelumnya.
Keterampilan prasyarat harus dipenuhi sebelum berpindah pada materi belajar
berikutnya. Oleh sebab itu, pendekatan spiral dalam belajar Matematika
sangat cocok.
d. Anak aktif terlibat dalam belajar Matematika
Belajar aktif merupakan inti belajar Matematika yang memungkinkan anak
berkesulitan belajar membentuk pengetahuan mereka. Keterlibatan secara
aktif dapat berupa keterlibatan fisik, tetapi jangan lupa setiap kegiatan fisik
tidak terlepas dari kegiatan mental.
e. Anak harus mengetahui apa yang akan dipelajari dalam kelas Matematika
Anak biasanya mau bekerja keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang nyata,
jelas dan dimengerti. Sebagai tambahan, nilai-nilai yang ada pada anak sangat
dipengaruhi oleh guru. Jika guru hanya menekankan pada pengajaran
keterampilan berhitung, mereka akan menganggap berhitung sangat penting.
Jika guru memberi penekanan pada pemecahan masalah Matematika, anak
akan memandang pemecahan masalah Matematika penting. Keterampilan
Matematika akan sangat bermanfaat bagi dirinya dan kelanjutan hidupnya
setelah selesai sekolah.
f. Komunikasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan belajar
Anak dari semua tingkatan belajar harus belajar bagaimana menggunakan
tanda simbol. Anak berkesulitan belajar Matematika dianjurkan untuk
“berbicara” apa yang dipikirkannya (Garnett, 2004).
g. Menggunakan berbagai bentuk atau model Matematika (multiembodied)
dalam belajar Matematika
Matematika dibandingkan degan mata pelajaran lain yang diajarkan di sekolah
adalah abstrak. Oleh sebab itu, materi, model, dan strategi Matematika akan
sangat membantu mereka belajar Matematika. Alat bantu yang digunakan
harus menyangkut banyak model dan mendorong anak berpikir abstrak.
Model Matematika konkret dan terstruktur yang digunakan tergantung dari
anak dan isi Matematika.
h. Variasi Matematika membantu siswa belajar Matematika
Belajar Matematika sangat tergantung pada kemampuan membuat abstraksi
dan generalisasi. Prinsip, bentuk, dan model Matematika tergantung pada
pengalaman anak dengan berbagai bentuk fisik yang dikaitkan dengan
konsep-konsep Matematika.
i. Metakognisi mempengaruhi anak belajar
Metakognisi adalah kemampuan mengamati diri sendiri tentang apa yang
diketahui dan merefleksikan apa yang diamati.
j. Pemberian bantuan pada kemampuan yang terbentuk atau retension
Retension adalah jumlah pengetahuan yang tahan lama dan terpelihara.
Retension Matematika menyangkut pengetahuan Matematika yang dapat
Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip praktis dalam
Matematika adalah (1) meaningful, (2) belajar sesuai dengan tahap perkembangan
anak, (3) membangun keterampilan Matematika, (4) anak aktif dalam
pembelajaran, (5) mengetahui tujuan pembelajaran Matematika, (6) komunikasi,
(7) model Matematika, (8) variasi mempelajari Matematika, (9) metakognisi, dan
(10) retension.
2.1.2.3 Fungsi Matematika
Dalam masyarakat pendidikan dan umum kata Matematika sering
dipakai dalam pergaulan. Ketika sekelompok orang membicarakan tentang
perkembangan ekonomi, maka beredar pembicaraan perhitungan Matematika
yang mendorong dan membantu persoalannya. Hamzah & Muhlisrarini (2014:
49-52) mengungkapkan ada beberapa macam fungsi Matematika yaitu:
a. Sebagai suatu struktur
Banyak dijumpai simbol yang satu berkaitan dengan simbol lainnya
dalam Matematika, misalnya dalam konsep matrik di mana terdapat baris dan
kolom, keduanya dihubungkan satu sama lain. Dalam diferensial dikenal
adanya simbol variabel x dan y, keduanya saling berkaitan membentuk
turunan. Matematika sebagai suatu struktur atau bentuk jelas dengan contoh di
atas. Matematika disusun atau dibentuk dari hasil pemikiran manusia seperti
ide, proses, dan penalaran. Kita sering mendengar seorang anak menghafal
perkalian dengan bilangan-bilangan tertentu. Hafalan itu merupakan bentuk
kebenaran. Kalau tidak ada simbol-simbol, barangkali kita tidak dapat
berkomunikasi Matematika. Simbol-simbol itu dibentuk dari ide, misalkan
bilangan satu maka ide kata satu diberi simbol ‘1’.
Komunikasi secara efektif dan efisien dapat dilakukan dengan adanya
simbol Matematika yang dibentuk dari suatu hal yang abstrak. Berawal dari
ide-ide lalu disimbolisasi, kemudian dari simbol-simbol dikomunikasikan.
Dari komunikasi diperoleh informasi dan dari informasi-informasi itu dapat
dibentuk konsep-konsep baru. Pengembangan produk berbentuk konsep baru
melahirkan Matematika, yaitu suatu ilmu yang tersusun secara hierarkis, logis,
dan sistematis dari konsep yang sederhana sampai kepada konsep yang
kompleks. Dalam prosesnya, ide yang menjadi simbol harus dipahami lebih
dahulu sebelum ide tersebut disimbolkan, sehingga penggunaan simbol tidak
mengalami kekeliruan. Kekeliruan penggunaan simbol dalam Matematika
sangat berbahaya karena akan mengalami kekeliruan dalam menipulasi
aturan-aturan atau rumus-rumus pada tahap berikutnya.
b. Kumpulan Sistem
Matematika sebagai kumpulan sistem mengandung arti bahwa dalam
satu formula Matematika terdapat beberapa sistem di dalamnya. Misalkan
pembicaraan sistem persamaan kuadrat, maka ada di dalamnya
variabel-variabel, faktor-faktor, sistem linier yang menyatu dalam persamaan kuadrat
tersebut. Persamaan linier merupakan bagian dari sistem kuadrat. Di samping
aljabar, analisis, dan dasar Matematika. Aritmatika membahas teori bilangan,
dasar Matematika membicarakan tentang logika dasar. Matematika dapat
digambarkan sebagai pohon dengan semua cabang-cabangnya dan logika
dasar sebagai akar pohon tersebut. Walaupun berurai menjadi beberapa
macam, Matematika tetap bersifat konsisten dalam arti bebas dari kontradiksi
yang di dalamnya di samping mempunyai sistem deduktif.
c. Sebagai Sistem Deduktif
Kita mengenal pengertian pangkal atau primitif pada bidang
Matematika. Definisi-definisi dasar ini memuat beberapa definisi, sekumpulan
asumsi, banyak postulat dan aksioma serta sekumpulan teorema atau dalil.
Ada hal-hal semacam di atas sebagai tidak dapat didefinisikan, akan tetapi
diterima sebagai suatu kebenaran, konkretnya yakni tentang titik, garis,
elemen atau unsur dalam Matematika tidak didefinisikan, akan menjadi
konsep yang bersifat deduktif.
d. Ratunya Ilmu dan Pelayan Ilmu
Kalau melihat Matematika sebagai bahasa dalam arti bahasa simbol
dan sebagai alat yakni perangkat yang diperlukan dalam suatu aktivitas maka
akan banyak yang menggunakannya terutama bidang sains dan sosial.
Matematika dapat melayani ilmu-ilmu karena rumus, aksioma dan model
pembuktian yang dipunyainya dapat membantu ilmu-ilmu tersebut. Peran
sebagai ratunya ilmu tergantung pada bagaimana seseorang dapat
mengatakan bahwa Matematika memberikan dampak yang cukup berarti
terhadap perkembangan ilmu dan Matematika itu sendiri, sehingga ke depan
akan senantiasa melakukan penemuan-penemuan baru. Inilah umpan balik
dalam bentuk dorongan perkembangan iptek kepada Matematika.
Dapat disimpulkan bahwa Matematika merupakan alat untuk
menyelesaikan masalah menerjemahkan masalah-masalah ke dalam
simbol-simbol Matematika. Di samping itu, penerjemahan ke dalam Matematika
berbentuk model yang dikatakan model Matematika. Masalah yang
diterjemahkan dalam model Matematika kemudian dianalisis, disintesis, dan
dihitung dalam ruang Matematika sampai selesai. Hasil yang diperoleh
dikembalikan lagi ke dalam bidang permasalahan semula, bidang keilmuan
yang memerlukan Matematika itu untuk lebih jauh dianalisis. Dalam hal ini
Matematika tidak campur tangan lagi.
Dalam menyelesaikan masalah di luar Matematika diperlukan tiga
tahapan yaitu tahap pembentukan model, tahap penanganan model, dan tahap
penerjemahan hasil. Matematika sebagai alat, lebih banyak berperan dalam
tahap penanganan model yang prosesnya memperlihatkan adanya unsur
penterjemahan bahan dari bahasa ilmu di mana permasalahan berada ke dalam
2.1.3 Kesulitan Belajar
2.1.3.1 Pengertian Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris
learning disability. Terjemahan tersebut sesungguhnya kurang tepat karena
learning artinya belajar dan disability artinya ketidakmampuan; sehingga
terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar (Mulyono,
2012: 1). Runtukahu & Kandou (2014: 19) juga mempunyai pendapat bahwa
berkesulitan belajar atau learning disabilities artinya ketidakmampuan belajar.
Arti yang tepat sukar ditetapkan karena digunakan dalam berbagai disiplin
ilmu pendidikan, antara lain psikologi dan ilmu kedokteran. Anak-anak
berkesulitan belajar agak sukar dibedakan dari anak-anak yang berprestasi
akademik kurang, tunagrahita ringan, atau tunalaras ringan (Heward &
Orlansky dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 19)
Mulyono (2012: 2) menjelaskan bahwa definisi kesulitan belajar
pertama kali dikemukakan oleh The United States Office of Education
(USOE) pada tahun 1977 yang dikenal dengan Public Law (PL) 94-142, yang
hampir identik dengan dengan definisi yang dikemukakan oleh The National
Advisory Committee on Handicapped Children pada tahun 1967. Definisi
tersebut seperti dikutip oleh Hallahan, Kauffman, dan Lloyd (1985: 14)
seperti berikut ini.
menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tuna grahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan lingkungan,
budaya, atau ekonomi.”
Meskipun definisi USOE merupakan definisi resmi yang digunakan
oleh pemerintah Amerika Serikat, tetapi banyak kritik yang diarahkan pada
definisi tersebut. Sebagai konsekuensi dari adanya berbagai kritik terhadap
definisi PL 94-142 tersebut, maka The National Joint Committee for Learning
Disabilities (NJCLD) mengemukakan definisi sebagai berikut Mulyono
(2012: 3).
“Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang
dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi Matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tuna grahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung (Hammil, et al., 1981: 336).”
Mulyono (2012: 3-4) mengungkapkan bahwa meskipun definisi yang
dikemukakan oleh NJCLD memiliki kelebihan bila dibanding dengan definisi
yang dikemukakan dalam PL 94-142, the Board of the Association for
definisi tersebut, dan karena itu mereka mengemukakan definisi seperti
dikutip oleh Lovitt (1989: 7) sebagai berikut ini:
“Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga
bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau non
verbal.”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kesulitan
belajar adalah ketidakmampuan belajar yang disebabkan oleh berbagai faktor,
baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar yang dapat menyebabkan anak
mengalami gangguan berbicara, mengeja, menulis, membaca, ataupun
berhitung.
2.1.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Berbagai faktor dapat menyebabkan kesulitan belajar. Faktor
penyebab kesulitan belajar sebenarnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi
dapat dikemukakan beberapa penyebab sebagai berikut.
a. Keturunan
Keturunan dapat menyebabkan kesulitan belajar, tetapi tidak semua pakar
PLB menyetujuinya. Hal ini karena laporan-laporan hasil penelitian yang
berbeda-beda.
b. Otak tidak berfungsi
Tidak berfungsinya otak dapat menyebabkan anak-anak berkesulitan
belajar karena terdapat kelainan pada otaknya sehingga tidak berfungsi
karena itu, anak-anak berkesulitan belajar sering disebut anak-anak yang
mengalami kerusakan otak ringan. Tidak semua anak berkesulitan belajar
mengalami kerusakan otak, tetapi sampai sekarang istilah ini masih sering
digunakan, khususnya dalam bidang kedokteran.
c. Lingkungan dan malnutrisi (kurang gizi)
Tekanan lingkungan dan malnutrisi dapat menyebabkan kesulitan belajar.
Tekanan lingkungan antara lain sikap negatif masyarakat terhadap anak
penyandang cacat dan keluarganya. Malnutrisi pada umur dini dapat
mempengaruhi pusat saraf yang selanjutnya akan mempengaruhi belajar
dan perkembangan anak.
d. Ketidakseimbangan biokimia
Banyak anak berkesulitan belajar yang tidak mempunyai masalah kelainan
fungsi otak, tekanan lingkungan atau malnutrisi. Salah satu dugaan
penyebab selain yang disebutkan ialah ketidakseimbangan biokimia dalam
tubuh anak. Ketidakseimbangan biokimia lebih dikhususkan pada darah
anak yang tidak dapat mempertahankan jumlah vitamin dalam tubuhnya.
Pemberian vitamin dan diet telah diupayakan untuk mengatasi kesulitan
belajar, namun ada yang berhasil dan ada yang tidak (Lerner dalam
Runtukahu & Kandou, 2014: 21-22).
Dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab kesulitan belajar berasal
keturunan dan kondisi fisik seseorang. Sedangkan faktor dari luar adalah
pengaruh keluarga maupun lingkungan sekitar.
2.1.3.3 Jenis dan Komponen Kesulitan Belajar
Dikutip dari Kirk dan Galagher, 2008; Hamill dan Bavel, 1990 dalam
Runtukahu & Kandou (2014: 23), menjelaskan bahwa secara umum kesulitan
belajar dapat dibedakan atas kesulitan belajar dalam perkembangan
(developmental learning disabilities) dan kesulitan belajar akademik.
Kesulitan belajar berhubungan dengan perkembangan psikologis anak
menyimpang dari linguistik yang normal. Ketidakmampuan yang
berhubungan dengan perkembangan biasanya mengalami kesulitan belajar,
sedangkann kesulitan belajar tidak semuanya diasosiasikan dengan masalah
kemampuan akademik. Misalnya, ada anak berkesulitan belajar dengan
kelainan persepsi motorik tidak dapat membaca. Kesulitan belajar akademik
merupakan kondisi-kondisi yang secara signifikan terdapat pada proses
belajar (1) membaca; (2) menulis; (3) Matematika. Ketidakmampuan tersebut
terdapat pada anak-anak yang belajar di sekolah dengan pencapaian hasil
belajar di bawah kemampuan akademik yang sebenarnya. Kesulitan belajar
akademik dalam membaca dikenal dengan istilah disleksia, menulis adalah
disgrafia, dan berhitung adalah Diskalkulia.
Hubungan apa yang terdapat antara ketiga jenis kesulitan belajar ini
belum dapat ditentukan secara pasti karena masalah kesulitan belajar dalam
Walaupun kita tidak tahu hubungannya, perbedaan antara ketiga jenis
kesulitan belajar ini akan membantu kita dalam menentukan penyebab
kesulitan belajar (Kirk dan Galagher dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 23)
sebagai contoh, seorang anak menunjukkan ketidakmampuan akademik. Ia
kurang dalam Matematika, membaca, dan menulis. Ia sulit belajar Matematika
dengan metode yang digunakan pada anak-anak yang bersekolah di sekolah
umum atau sekolah inklusi. Setelah kesulitan belajar akademik diketahui,
perlu dicari faktor-faktor penyebab lain yang berhubungan dengan
perkembangan anak tersebut. Jika kesulitan belajar bukan karena faktor dalam
diri anak (tunagrahita atau kelainan perilaku yang cukup berat) maka perlu
dicari penyebab lain.
Penyebab lain ialah perhatian, ingatan, dan bahasa. Jika didapati anak
kurang dalam ingatan visual, guru dapat menggunakan kemampuan
mendengar untuk mengajarkan Matematika atau bahasa. Sebaliknya jika anak
kurang dalam kemampuan mendengar, guru dapat menggunakan kemampuan
visual. Akan tetapi, bila anak mengalami kesulitan, baik pada kemampuan
visual dan mendengar maka anak mengalami kesulitan belajar yang cukup
berat. Kesulitan belajar biasanya berhubungan dengan perkembangan ganda
(misalnya persepsi dan bahasa), dan kesemuanya akan menyebabkan kesulitan
belajar akademik.
Selain jenis-jenis kesulitan belajar, guru perlu mengetahui tentang
perkembangan anak. Beberapa komponen kesulitan belajar yang utama telah
dikemukakan oleh Lovit dalam Runtukahu & Kandou (2014: 24-25) sebagai
berikut.
a. Perhatian
Anak dikerumuni oleh banyak stimulus jika sedang belajar. Perhatian
adalah kemampuannya untuk memilih stimulus (rasangan) dari sekian
banyak stimulus ia dapat belajar. Kesulitan belajar terkait respons pada
stimuli apa saja yang dihadapinya. Jika siswa tidak mampu memilih
stimulus yang menunjang belajar, ia tidak tahan belajar dan tidak dapat
memusatkan perhatian pada belajar.
b. Mengingat (memory)
Mengingat adalah kemampuan untuk meningkatkan apa yang telah
didengar, dilihat, dan dialami waktu belajar. Kesulitan belajar biasanya
kurang atau tidak mampu dalam mengingat kembali apa yang telah
dipelajarinya.
c. Persepsi
Kemampuan persepsi visual mungkin tidak meliputi kata-kata yang ditulis
atau simbol-simbol visual seperti angka yang ditulis dan tidak ada
kesadaran akan objek-objek yang dilihatnya. Ketidakmampuan untuk
mengerti melalui terjemahan simbol menyebabkan gangguan orientasi
kiri-kanan, orientasi spasial, dan belajar motorik serta melihat satu objek
d. Berpikir
Kesulitan utama dalam operasi kognitif ialah adanya kelainan dalam
berpikir, seperti pemecahan masalah, pembentukan konsep, dan asosiasi.
Pemecahan masalah Matematika membutuhkan kemampuan membuat
analisis dan sintesis, yaitu perilaku yang dapat membantu anak
mengadakan respons atau beradaptasi dengan situasi baru. Pembentukan
suatu konsep sangat tergantung pada kemampuan mangklasifikasikan
objekdan peristiwa. Kelainan dalam berpikir juga berhubungan dengan
kemampuan bahasa lisan.
e. Bahasa
Kelainan jenis ini sangat banyak ditemukan pada anak berkesulitan belajar
yang tidak dapat berbicara dan tidak dapat mengadakan respons terhadap
suatu perintah atau pernyataan verbal seperti yang dilakukan anak-anak
normal.
2.1.4 Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) 2.1.4.1 Pengertian Kesulitan Belajar Matematika
Kesulitan belajar Matematika disebut juga Diskalkulia (dyscalculis)
(Lerner dalam Mulyono, 2012: 210). Istilah Diskalkulia memiliki konotasi
medis, yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf
pusat. Kesulitan belajar Matematika yang berat oleh Kirk (dalam Mulyono,
dalam Runtukahu & Kandou (2014: 23) juga menjelaskan bahwa kesulitan
belajar akademik dalam berhitung disebut Diskalkulia. Dari pendapat
beberapa ahli tersebut maka dapat disimpulkan kesulitan belajar Matematika
adalah ketidakmampuan anak dalam belajar Matematika, disebut juga
Diskalkulia.
2.1.4.2 Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika
Menurut Lerner dalam Mulyono (2012: 210-213) ada beberapa
karakteristik anak berkesulitan belajar Matematika, yaitu (1) adanya gangguan
dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi visual, (3) asosiasi
visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol,
(6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca,
(8) Perfomance IQ jauh lebih rendah daripada skor Verbal IQ.
a. Gangguan Hubungan Keruangan
Konsep hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar,
jauh-dekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir umumnya
telah dikuasai oleh anak pada saat mereka belum masuk SD. Anak-anak
memperoleh pemahaman tentang berbagai konsep hubungan keruangan
tersebut dari pengalaman mereka dalam berkomunikasi dengan
lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai permainan.
Tetapi sayangnya, anak berkesulitan belajar sering mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi dan lingkungan sosial juga sering tidak
komunikasi antar mereka. Adanya kondisi intrinsik yang diduga karena
disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa lingkungan sosial yang tidak
menunjang terselenggaranya komunikasi dapat menyebabkan anak
mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan
keruangan. Adanya gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan
keruangan dapat mengganggu pemahaman anak tentang sistem bilangan
secara keseluruhan. Karena adanya gangguan tersebut, anak mungkin
tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan
atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih
dekat ke angka 4 daripada ke angka 6.
Untuk mempelajari Matematika, anak tidak cukup hanya
menguasai konsep hubungan keruangan, tetapi juga berbagai konsep dasar
yang lain. Ada empat macam konsep dasar yang harus dikuasai oleh anak
pada saat masuk SD. Keempat konsep dasar tersebut adalah (1) konsep
keruangan, (2) konsep waktu, (3) konsep kuantitas, dan (4) konsep
serbaneka (miscallaneous) (Boehm dalam Mulyono, 2012: 211).
b. Abnormalitas Persepsi Visual
Anak berkesulitan belajar Matematika sering mengalami kesulitan
untuk melihat berbagai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau
set. Kesulitan semacam itu merupakan salah satu gejala adanya
abnormalitas persepsi visual. Kemampuan melihat berbagai objek dalam