• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan alat peraga matematika materi pembagian untuk anak dengan berkesulitan belajar matematika (diskalkulia) di SD Negeri Mertelu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan alat peraga matematika materi pembagian untuk anak dengan berkesulitan belajar matematika (diskalkulia) di SD Negeri Mertelu."

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA

(DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU Rahmawati Suharno

Universitas Sanata Dharma 2017

Penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang dilakukan di SD N Mertelu. Hasil analisis kebutuhan menyatakan bahwa materi pembagian dirasa paling sulit untuk dipelajari. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak S, sekolah mengalami keterbatasan dalam menyediakan alat peraga untuk membantu anak dalam memahami suatu konsep Matematika. Misalnya, alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 dapat membantu anak berkesulitan belajar Matematika (Diskalkulia) dalam memahami konsep pembagian. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa papan pembagian tanpa sisa 1-30 dan mendeskripsikan kualitas produk yang telah dikembangkan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research &

Development). Prosedur pengembangan penelitian ini menggunakan prosedur

pengembangan yang diungkapkan oleh Sugiyono. Peneliti hanya menggunakan tujuh dari sepuluh langkah Sugiyono. Karena untuk sampai pada langkah kesepuluh memerlukan keahlian khusus pada bidangnya. Subyek penelitian ini yaitu tiga anak Diskalkulia di kelas IV SD N Mertelu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner, pedoman wawancara, dan pedoman observasi.

Prosedur pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi 7 langkah yaitu: (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji coba produk, dan (7) revisi produk akhir sampai menghasilkan produk akhir berupa prototipe papan pembagian tanpa sisa 1-30. Hasil validasi oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu dikategorikan sangat baik. Dari hasil validasi alat peraga

diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Sedangkan dari hasil validasi

album alat peraga diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Hasil akhir penelitian berupa prototipe alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 beserta albumnya.

(2)

ABSTRACT

DEVELOPING MEDIA OF MATHEMATICS DIVISION MATERIAL FOR CHILDREN WITH MATH DISABILITY (DYSCALCULIA) IN

SD NEGERI MERTELU was the most difficult material to learn. Based on the result of interview, Bapak S stated that school did not have enough media to help children to learn mathematics concept. For instance, division board 1-30 without remains could help dyscalculia children in understanding division concept. This study aimed to produce a media in a form of division board 1-30 without remains and describe the quality of the media developed.

This study is a research and development study. The procedures developed of this study used procedure development by Sugiyono. The researcher only used

seven of ten Sugiyono’s steps. To get into step tenth, need special skills in the

field. The subjects of this study were three dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu. The instruments used were questionnaire, interview guideline, and observation guideline.

There were seven steps of procedure development that had been conducted in this study. They were (1) potential and problem, (2) data gathered, (3) product design, (4) design validation, (5) design revision, (6) product testing, (7) the last product revision in a form of division board prototype 1-30 without remains. The result of validation showed that the quality of Mathematics division board 1-30 without remains media for dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu was categorized very good by the experts. The result of media validation got mean 3,6 which was categorized very good. Besides, the result of media album validation got mean 3,6 which was categorized very good. The finishing result of the study was in a form media of Mathematics division board 1-30 without remains along with the album.

(3)

i

PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN

BELAJAR MATEMATIKA (DISKALKULIA)

DI SD NEGERI MERTELU

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh:

Rahmawati Suharno NIM 131134055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

ii

(5)
(6)

iv

Karya ini kupersembahkan untuk:

Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, hidayah, dan anugerahNya

sehingga skripsi ini selesai dengan lancar dan tepat waktu.

Kedua orang tuaku, Bapak Suharno dan Ibu Tugi yang selalu memberikan

dukungan, doa, dan semangat.

Adik-adikku tercinta, Taufik Sanjaya dan Nayla Rizky Rahmadani yang selalu

menghiburku dikala bosan dengan proses pengerjaan skripsi.

Ibu Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd. dan Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S.

Psi., M. Psi. yang membimbingku dalam proses pengerjaan skripsi.

Seluruh dosen PGSD USD yang telah memberikan pengalaman belajar yang luar

biasa.

Teman-temanku satu payung, Witanti Wiyantari dan Mariyah yang selalu

memberikan bantuan dan motivasi dalam pengerjaan skripsi.

Teman-teman terdekatku, Marta, Galuh, Windha, Itri, Voo, Rajiv, Adel, Adiktia,

dan Dessy Riska yang selalu memberikan bantuan dan semangat.

Teman-teman PGSD angkatan 2013, terimakasih atas kebersamaan, dukungan,

bantuan, dan saling berbagi selama belajar di PGSD USD.

(7)

v

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu akan ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan)

yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

(Terjemahan Q.S Al-Insyirah: 6-8)

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

(8)

vi

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 13 Juni 2017

Penulis

(9)

vii

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Rahmawati Suharno

Nomor Mahasiswa : 131134055

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR

MATEMATIKA (DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU

beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk keperluan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 13 Juni 2017 Yang menyatakan

(10)

viii

PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA

(DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU Rahmawati Suharno

Universitas Sanata Dharma 2017

Penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang dilakukan di SD N Mertelu. Hasil analisis kebutuhan menyatakan bahwa materi pembagian dirasa paling sulit untuk dipelajari. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak S, sekolah mengalami keterbatasan dalam menyediakan alat peraga untuk membantu anak dalam memahami suatu konsep Matematika. Misalnya, alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 dapat membantu anak berkesulitan belajar Matematika (Diskalkulia) dalam memahami konsep pembagian. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa papan pembagian tanpa sisa 1-30 dan mendeskripsikan kualitas produk yang telah dikembangkan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research &

Development). Prosedur pengembangan penelitian ini menggunakan prosedur

pengembangan yang diungkapkan oleh Sugiyono. Peneliti hanya menggunakan tujuh dari sepuluh langkah Sugiyono. Karena untuk sampai pada langkah kesepuluh memerlukan keahlian khusus pada bidangnya. Subyek penelitian ini yaitu tiga anak Diskalkulia di kelas IV SD N Mertelu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner, pedoman wawancara, dan pedoman observasi.

Prosedur pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi 7 langkah yaitu: (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji coba produk, dan (7) revisi produk akhir sampai menghasilkan produk akhir berupa prototipe papan pembagian tanpa sisa 1-30. Hasil validasi oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu dikategorikan sangat baik. Dari hasil validasi alat peraga

diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Sedangkan dari hasil validasi

album alat peraga diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Hasil akhir penelitian berupa prototipe alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 beserta albumnya.

(11)

ix

DEVELOPING MEDIA OF MATHEMATICS DIVISION MATERIAL FOR CHILDREN WITH MATH DISABILITY (DYSCALCULIA) IN

SD NEGERI MERTELU was the most difficult material to learn. Based on the result of interview, Bapak S stated that school did not have enough media to help children to learn mathematics concept. For instance, division board 1-30 without remains could help dyscalculia children in understanding division concept. This study aimed to produce a media in a form of division board 1-30 without remains and describe the quality of the media developed.

This study is a research and development study. The procedures developed of this study used procedure development by Sugiyono. The researcher only used

seven of ten Sugiyono’s steps. To get into step tenth, need special skills in the

field. The subjects of this study were three dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu. The instruments used were questionnaire, interview guideline, and observation guideline.

There were seven steps of procedure development that had been conducted in this study. They were (1) potential and problem, (2) data gathered, (3) product design, (4) design validation, (5) design revision, (6) product testing, (7) the last product revision in a form of division board prototype 1-30 without remains. The result of validation showed that the quality of Mathematics division board 1-30 without remains media for dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu was categorized very good by the experts. The result of media validation got mean 3,6 which was categorized very good. Besides, the result of media album validation got mean 3,6 which was categorized very good. The finishing result of the study was in a form media of Mathematics division board 1-30 without remains along with the album.

Key words: Research and Development, media, dyscalculia.

(12)

x

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat, dan karuniaNya yang berlimpah peneliti dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA

MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA (DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan program S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma dan persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini dapat dibuat dengan baik karena doa dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dan memberikan doa serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si, M.Pd., Ketua Program Studi Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah membimbing sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Apri Damai Sagita Krissandi, S.S., M.Pd., Wakil Program Studi Prodi

Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

4. Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S. Psi., M. Psi., Dosen Pembimbing II yang selalu memberi pengarahan, kritik dan saran sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Sekretariat PGSD Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan bantuan dan pelayanan peneliti dengan baik.

6. Para validator yang telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini. 7. Kepala Sekolah SD Negeri Mertelu yang dengan tangan terbuka telah

bekerja sama dan memberikan izin penelitian di sekolah.

(13)

xi

IV SD Negeri Mertelu yang dengan berbaik hati mau berpartisipasi dan memberikan waktu kepada peneliti.

10. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan berbagai pengalaman belajar. 11. Kedua orang tuaku, Bapak Suharno dan Ibu Tugi yang selalu

memberikan dukungan, doa, dan semangat.

12. Adik-adikku tercinta, Taufik Sanjaya dan Nayla Rizky Rahmadani yang selalu menghiburku dikala bosan dengan proses pengerjaan skripsi. 13. Teman-teman terdekatku yang telah memberikan bantuan, semangat, dan

dukungan.

14. Teman-teman satu payung yang telah memberikan bantuan dan dukungan.

15. Semua pihak yang telah mendukung dan tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penelitian selanjutnya dan mohon maaf jika ada kesalahan dalam penyusunan skripsi.

Yogyakarta, 13 Juni 2017 Penulis

(14)

xii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

(15)

xiii

2.1.1 Alat Peraga ... 14

2.1.2 Matematika ... 17

2.1.3 Kesulitan Belajar ... 27

2.1.4 Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) ... 35

2.1.5 Materi Pembagian ... 43

2.2 Penelitian yang Relevan ... 45

2.3 Kerangka Berpikir ... 48

2.4 Pertanyaan Penelitian ... 50

BAB III METODE PENELITIAN ... 52

3.1 Jenis Penelitian ... 52

3.4 Teknik Pengumpulan data ... 62

3.5 Instrumen Penelitian... 66

3.6 Teknik Analisis Data ... 69

3.6.1 Data Kualitatif ... 69

3.6.2 Data Kuantitatif ... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73

4.1 Hasil Penelitian ... 73

4.1.1 Potensi dan Masalah ... 73

(16)

xiv

4.1.4 Validasi Desain ... 83

4.1.5 Revisi Desain ... 84

4.1.6 Uji Coba Produk ... 100

4.1.7 Revisi Produk ... 102

4.2 Pembahasan ... 103

BAB V PENUTUP ... 107

5.1 Kesimpulan ... 107

5.2 Keterbatasan Penelitian ... 108

5.3 Saran ... 109

DAFTAR REFERENSI ... 110

DAFTAR LAMPIRAN...114

(17)

xv

(18)

xvi

Tabel 3.1 Garis Besar Pertanyaan untuk Kepala Sekolah ... 66

Tabel 3.2 Garis Besar Pertanyaan untuk Guru Kelas IV ... 66

Tabel 3.3 Garis Besar Pertanyaan untuk Anak Diskalkulia kelas IV ... 66

Tabel 3.4 Garis Besar Pertanyaan untuk Guru Kelas IV ... 67

Tabel 3.5 Rambu-Rambu Pengamatan terhadap Anak Diskalkulia ... 67

Tabel 3.6 Pengukuran Skala Likert ... 68

Tabel 3.7 Kisi-Kisi Instrumen Validasi Alat Peraga ... 68

Tabel 3.8 Kisi-Kisi Instrumen Validasi Album Alat Peraga... 68

Tabel 3.9 Klasifikasi Hasil Penilaian ... 70

Tabel 4.1 Komentar dan Saran Terhadap Alat Peraga oleh Dosen Ahli ... 84

Tabel 4.2 Komentar dan Saran Terhadap Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli... 84

Tabel 4.3 Rekapitulasi Data Validasi Alat Peraga Sebelum Revisi dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Matematika ... 87

Tabel 4.4 Komentar dan Saran Terhadap Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 88

Tabel 4.5 Rekapitulasi Data Validasi Album Alat Peraga Sebelum Revisi dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Matematika ... 89

Tabel 4.6 Rekapitulasi Data Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 91

Tabel 4.7 Rekapitulasi Data Validasi Album Alat Peraga Sebelum dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 93

Tabel 4.8 Komentar dan Saran Album Alat Peraga Sebelum dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 93

(19)

xvii

(20)

xviii

Gambar 1.1 Desain Produk ... 8

Gambar 1.2 Bagian-Bagian Papan Pembagian ... 9

Gambar 1.3 Kartu Soal ... 11

Gambar 1.4 Kartu Bilangan yang Dibagi ... 11

Gambar 1.5 Kartu Bilangan Pembagi ... 11

Gambar 1.6 Kartu Bilangan Hasil Bagi ... 11

Gambar 1.7 Tabung Kecil (Tab) ... 12

Gambar 1.8 Kotak Penyimpanan ... 12

Gambar 4.1 Desain Alat Peraga Papan Pembagian Tanpa Sisa 1-30 ... 82

(21)

xix

Lampiran 1. Surat Izin Melakukan Penelitian... 115

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 116

Lampiran 3. Surat Pengantar Validasi Dosen Ahli Matematika ... 117

Lampiran 4. Surat Pengantar Validasi Dosen Ahli Psikologi Anak ... 118

Lampiran 5. Surat Pengantar Validasi Kepala Sekolah ... 119

Lampiran 6. Surat Pengantar Validasi Guru Kelas IV ... 120

Lampiran 7. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Matematika ... 121

Lampiran 8. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 123

Lampiran 9. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Kepala Sekolah... 125

Lampiran 10. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Guru Kelas IV ... 127

Lampiran 11. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli Matematika 129 Lampiran 12. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak………131

Lampiran 13. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Kepala Sekolah ... 133

Lampiran 14. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Guru Kelas IV ... 135

Lampiran 15. Garis Besar Pertanyaan Wawancara Potensi dan Masalah ... 137

Lampiran 16. Garis Besar Pertanyaan Wawancara Pengumpulan Data ... 138

Lampiran 17. Pedoman Observasi ... 139

Lampiran 18. Album Petunjuk Penggunaan Alat Peraga Papan Pembagian untuk Anak Berkesulitan Belajar Matematika ... 140

(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

Uraian dalam bab ini berisi (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3)

tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) spesifikasi produk yang dikembangkan,

dan (6) definisi operasional.

1.1Latar Belakang Penelitian

Matematika merupakan salah satu pelajaran wajib yang ditempuh oleh

peserta didik mulai usia sekolah dasar hingga tingkat menengah. Matematika

memiliki objek kajian yang abstrak. Hal inilah yang mengakibatkan banyak peserta

didik kesulitan memahami pelajaran Matematika. Hasil wawancara dengan guru kelas

IV menyatakan bahwa dari mata pelajaran yang terdapat di Sekolah, pelajaran

Matematika dirasa paling sulit untuk dipahami. Pengertian Matematika sendiri pun

tidak didefinisikan secara mudah dan tepat mengingat ada banyak fungsi dan peranan

Matematika terhadap bidang studi yang lain. Kalau ada definisi tentang Matematika

maka itu bersifat tentatif, tergantung kepada orang yang mendefinisikannya. Bila

seorang tertarik dengan bilangan maka ia akan mendefinisikan Matematika adalah

kumpulan bilangan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan hitungan

dalam perdagangan (Ali & Muhlisrarini, 2014: 47). Matematika sudah tidak asing

lagi bagi kehidupan manusia, karena secara tidak langsung dalam kehidupan

sehari-hari manusia selalu menggunakan konsep dasar Matematika. Misalnya sewaktu

(23)

karena itu, pembelajaran Matematika hendaknya diajarkan pada anak mulai dari usia

dini dengan mengenalkan konsep dasar Matematika mulai dari tahap yang konkrit,

semi konkrit, dan abstrak. Hal tersebut dapat membantu anak berpikir logis dalam

kehidupan sehari-hari.

Dalam proses pembelajaran konsep dasar Matematika pada anak-anak

tidak selalu berkembang sebagaimana mestinya, karena masing-masing anak

mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda-beda. Ada anak yang

cepat dan ada juga yang lamban atau kesulitan dalam memahami konsep dasar

Matematika. Dari hasil wawancara dengan dugaan anak Diskalkulia, pelajaran

Matematika memang dirasa sebagai pelajaran yang paling sulit bagi sebagian besar

anak. Bagi anak dengan Diskalkulia, butuh waktu yang lebih lama untuk memahami

konsep Matematika dibanding dengan anak biasa pada umumnya. Pembagian sering

kali dianggap sebagai salah satu materi yang paling sulit dimengerti oleh anak dan

pengajarannya jarang menggunakan alat peraga. Alat peraga sangat diperlukan untuk

menunjang proses belajar anak Diskalkulia. Alat peraga dapat membantu anak

menangkap pesan/materi yang terkandung dalam suatu pembelajaran, khususnya

Matematika. Alat peraga yang menarik juga dapat membangkitkan semangat dan

minat belajar anak.

Marilyn & Bursuck (2015: 53) menjelaskan bahwa teknologi dapat digunakan

untuk membantu para siswa penyandang disabilitas baik yang ringan ataupun berat

dalam banyak hal, misalnya untuk berkomunikasi, mengakses pembelajaran,

(24)

masyarakat. Teknologi bantu merujuk pada perangkat apa pun, baik itu suatu alat,

produk, atau barang lainnya yang dapat digunakan untuk menaikkan,

mempertahankan, atau meningkatkan kemampuan fungsional individu penyandang

disabilitas. Tingkatan teknologi bantu yang dapat digunakan siswa disabilitas yaitu

(1) tanpa teknologi atau teknologi rendah, (2) teknologi menengah, dan (3) teknologi

tinggi. Alat peraga yang dikembangkan dalam penelitian ini tergolong dalam

tingkatan pertama, yaitu tanpa teknologi atau teknologi rendah. Tanpa teknologi atau

teknologi rendah merujuk pada alat dan barang yang tidak termasuk dalam tipe

elektronik apa pun.

Analisis kebutuhan pada penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri

Mertelu, Piji, Mertelu, Gedangsari, Gunung Kidul pada tanggal 23, 26, dan 28

November 2016 pada tahun ajaran 2016/2017. Peneliti menggunakan 3 anak

Diskalkulia di kelas IV. Dari ketiga anak tersebut, masing-masing menampakkan

karakteristik anak Diskalkulia. Karakteristik yang paling ditampakkan adalah asosiasi

visual-motor, dimana anak sering tidak dapat menghitung benda secara berurutan

sambil menyebutkan bilangannya. Anak mungkin baru memegang benda yang

ketujuh namun telah mengucapkan “9”, atau sebaliknya. Anak semacam ini dapat

memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya.

Hal tersebut terlihat ketika peneliti mendikte sebuah bilangan kemudian anak diminta

untuk menuliskan simbol bilangannya. Misalnya, peneliti mendikte “lima puluh

(25)

Hasil wawancara dengan guru kelas IV di SD N Mertelu diperoleh hasil

bahwa beliau belum pernah menggunakan alat peraga apapun untuk mengajarkan

anak Diskalkulia tentang konsep pembagian. Beliau juga mengatakan bahwa di

sekolah tersebut belum tersedia alat peraga Matematika tentang pembagian. Alat

peraga yang disediakan oleh sekolah hanya terbatas pada materi tertentu saja. Beliau

hanya menjelaskan berulang kali untuk mengatasi masalah yang ada pada anak

tersebut, namun hal itu dirasa tidak membuat anak menjadi paham. Guru meminta

peneliti mendesain alat peraga untuk mengajarkan konsep pembagian pada anak

Diskalkulia. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Dewi (2015) yang berjudul

“Pengembangan Alat Peraga Pembelajaran Matematika SD Materi Perkalian dan

Pembagian Berbasis Metode Montessori” dijelaskan bahwa alat peraga dapat

membantu dalam memahami konsep perkalian dan pembagian. Selain itu, alat peraga

dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dari hasil pretest ke posttest menunjukkan

perbedaan sebesar 90,4%. Hal tersebut menegaskan bahwa alat peraga Matematika

tentang pembagian sangat dibutuhkan untuk membantu anak Diskalkulia dalam

memahami konsep pembagian.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai “Pengembangan Alat Peraga Matematika Materi

Pembagian untuk Anak dengan Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) di SD

Negeri Mertelu”. Materi pembelajaran Matematika dibatasi pada standar kompetensi

1 “memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan

(26)

khususnya materi pembagian. Peneliti kemudian mempersempit materi kajiannya

menjadi pembagian tanpa sisa 1 sampai dengan 30 dimana bilangan pembaginya 1

sampai dengan 10. Hal tersebut dimaksudkan agar anak Diskalkulia terlebih dahulu

memahami konsep pembagian dan berhitung.

1.2Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana pengembangan alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk

anak dengan Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu?

1.2.2 Bagaimana kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30

untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengembangkan alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak

Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu.

1.3.2 Mengetahui kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30

untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan yang baru dan bermanfaat

bagi pembaca, sehingga banyak orang tertarik untuk mempraktikkan apa yang

telah dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi

(27)

“Pengembangan Alat Peraga Matematika Materi Pembagian untuk Anak

dengan Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) di SD Negeri Mertelu”

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1Bagi Peneliti

Penelitian ini mampu memberikan pengalaman langsung kepada peneliti

tentang mengembangkan alat peraga Matematika sesuai dengan karakteristik

anak Diskalkulia di Sekolah Dasar.

1.4.2.2Bagi Siswa

Siswa kelas IV yang mengalami gangguan Diskalkulia dapat mempelajari

materi pembagian dengan alat peraga yang telah melalui serangkaian uji coba

ilmiah. Siswa juga dapat merasakan suasana belajar yang aktif, kreatif, dan

menyenangkan.

1.4.2.3Bagi Guru

Menambah wawasan guru mengenai cara mengajar dan mengembangkan alat

peraga untuk anak berkebutuhan khusus yang mengadopsi ciri-ciri alat peraga

yang terdapat dalam pendidikan Montessori.

1.4.2.4Bagi Sekolah

Penelitian ini menambah referensi untuk mengembangkan alat peraga untuk

(28)

1.5Spesifikasi Produk yang Dikembangkan

Alat peraga yang akan dikembangkan peneliti berupa papan pembagian tanpa

sisa 1-30 dimana bilangan pembaginya 1-10. Kelengkapan alat peraga tersebut

meliputi kartu soal, kartu bilangan, kartu bilangan yang dibagi, kartu bilangan

pembagi, kartu bilangan hasil pembagian, tab (tabung), album petunjuk, dan kotak

penyimpanan beserta tutup. Papan pembagian dibuat dengan bentuk persegi panjang

dengan panjang 53 cm dan lebar 68 cm, serta ketebalan papan 1 cm. Papan tersebut

dibuat dengan bahan kayu jenis teak wood. Pada papan terdapat 600 lubang yang

berbentuk lingkaran untuk meletakkan tabung kecil (Tab) yang mempunyai diameter

1,6 cm dan tinggi 4,5 cm dengan diameter lubang 1,7 cm serta dalamnya lubang

sebesar 1 cm. Selain itu terdapat juga 4 lubang berbentuk persegi panjang berukuran

5 cm x 9 cm dengan dalamnya lubang sebesar 0.5 cm. Lubang berbentuk persegi

panjang ini digunakan untuk meletakkan kartu yang berukuran 5 cm x 7 cm.

Kotak penyimpanan alat peraga terbuat dari kayu dengan panjang, lebar, dan

tingginya masing-masing berukuran 21,5 cm x 12,5 cm x 5 cm. Bagian dalam kotak

penyimpanan dibuat bersekat-sekat untuk membedakan jenis kartu dan untuk

meletakkan tabung kecil (Tab). Sebagai kontrol dari latihan soal, kartu soal

dilengkapi kunci jawaban yang tertulis di bagian belakang dari muka kartu soal.

Album pembelajaran merupakan buku panduan penggunaan media papan pembagian.

Dalam album ini berisi tentang pengenalan alat peraga, tujuan pembelajaran, dan cara

(29)

aktivitas pembelajaran menggunakan papan pembagian. Desain produk dapat dilihat

pada gambar berikut ini.

Gambar 1.1 Desain Produk

Alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 terdiri dari empat bagian, yaitu

papan pembagian, kartu, tabung kecil (Tab), dan kotak penyimpanan. Pertama, papan

pembagian merupakan sebuah papan yang digunakan untuk mejelaskan konsep

(30)

Gambar 1.2 Bagian-bagian papan pembagian

Keterangan:

1. Judul alat peraga. Judul alat peraga ini adalah “Papan Pembagian Tanpa Sisa

1-30”. Judul ini berfungsi untuk memudahkan anak mengetahui fungsi alat

peraga yang akan digunakan.

2. Lubang kartu soal. Lubang persegi panjang berwarna putih digunakan untuk

meletakkan kartu soal.

1

5

4 3

2 7

6

8

9

(31)

3. Lubang kartu bilangan yang dibagi. Lubang persegi panjang berwarna biru

untuk meletakkan kartu bilangan yang dibagi.

4. Lubang kartu bilangan pembagi. Lubang persegi panjang berwarna hijau

untuk meletakkan kartu bilangan pembagi.

5. Lubang kartu bilangan hasil bagi. Lubang persegi panjang berwarna merah

untuk meletakkan kartu bilangan hasil bagi.

6. Lubang tabung kecil (Tab). Lubang berbentuk lingkaran digunakan untuk

meletakkan tabung kecil (Tab).

7. Bilangan yang dibagi. Bilangan berwarna biru menunjukkan jumlah lubang

tabung kecil (Tab) yang harus digunakan untuk meletakkan tabung kecil

(Tab).

8. Bilangan pembagi. Bilangan berwarna hijau menunjukkan jumlah lubang

tabung kecil (Tab) yang harus digunakan untuk meletakkan tabung kecil (Tab)

setiap barisnya.

9. Bilangan hasil bagi. Bilangan berwarna merah menunjukkan jumlah bilangan

hasil bagi.

10.Kayu pengendali. Pada bilangan berwarna merah terdapat kayu penutup yang

dapat ditarik ke bawah. Kayu penutup berfungsi sebagai pengendali kesalahan

(32)

Bagian kedua dari alat peraga papan pembagian adalah kartu. Terdapat 4 jenis

kartu yang berbeda, yaitu kartu soal, kartu bilangan yang dibagi, kartu bilangan

pembagi, dan kartu bilangan hasil bagi.

Tampak depan Tampak belakang

Gambar 1.3 Kartu soal

Gambar 1.5 Kartu bilangan pembagi

Gambar 1.4 Kartu bilangan yang dibagi

Gambar 1.6 Kartu bilangan hasil bagi

Tulisan pada bagian muka (depan) kartu soal mempunyai tiga warna, yaitu biru,

hitam, dan hijau. Tulisan berwarna biru menunjukkan bilangan yang dibagi, hitam

menunjukkan simbol pembagian, dan hijau menunjukkan bilangan pembagi. Pada

kartu soal dilengkapi dengan pengendali kesalahan yang terdapat di bagian belakang

kartu soal.

Bagian ketiga dari alat peraga ini adalah tabung kecil (Tab). Tabung kecil

pada papan pembagian ini disebut “Tab” untuk memudahkan dalam pengucapan. Tab

melambangkan jumlah bilangan yang sesuai dengan kartu soal.

Delapan Belas

Dibagi

Enam 18: 6 = 3

18

(33)

Gambar 1.7 Tabung kecil (Tab)

Bagian terakhir dari alat peraga ini adalah kotak penyimpanan. Kotak

penyimpanan berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan kartu dan tabung kecil

(Tab).

Gambar 1.8 Kotak penyimpanan

1.6Definisi Operasional

1.6.1 Alat Peraga

Alat peraga adalah benda-benda yang digunakan dalam pembelajaran untuk

(34)

1.6.2 Matematika

Matematika adalah pengetahuan yang mengkaji pola dan hubungan suatu

gagasan yang terstruktur dengan menggunakan berbagai simbol dan bilangan

untuk memecahkan suatu masalah.

1.6.3 Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar adalah ketidakmampuan belajar yang disebabkan oleh

berbagai faktor, baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar yang dapat

menyebabkan anak mengalami gangguan berbicara, mengeja, menulis,

membaca, ataupun berhitung.

1.6.4 Kesulitan Belajar Matematika

Kesulitan belajar Matematika adalah ketidakmampuan anak dalam belajar

Matematika, disebut juga Diskalkulia.

1.6.5 Alat Peraga Montessori

Terdapat lima ciri-ciri alat peraga berbasis metode Montessori. Ciri-ciri

tersebut adalah menarik, bergradasi, auto-correction, auto-education, dan

(35)

14

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II ini akan membahas (1) kajian pustaka, (2) penelitian yang relevan, (3)

kerangka berpikir, dan (4) pertanyaan penelitian.

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Alat Peraga

2.1.1.1 Hakikat Alat Peraga

Alat peraga adalah alat bantu pembelajaran dan segala macam benda

yang digunakan untuk memperagakan materi pembelajaran (Arsyad, 2014: 9).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 37) dijelaskan bahwa alat peraga

adalah alat bantu dalam pengajaran untuk memperagakan sesuatu supaya apa

yang diajarkan mudah dimengerti oleh anak didik. Senada dengan pengertian

tersebut, Prastowo (2015: 297) memberikan pengertian alat peraga sebagai media

yang menggambarkan atau mengilustrasikan konsep atau materi yang diajarkan

sehingga anak lebih mudah dalam mempelajari materi yang diajarkan. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa alat peraga adalah benda-benda yang

digunakan dalam pembelajaran untuk membantu anak memahami suatu materi

yang diajarkan.

Alat peraga memiliki fungsi untuk menerangkan atau memperagakan

(36)

peraga memudahkan dalam memberi pengertian kepada siswa dari perbuatan

yang abstrak sampai ke yang sangat konkret (Sanaky, 2013: 24). Segala sesuatu

yang masih bersifat abstrak dikonkretkan dengan menggunakan alat agar dapat

dijangkau dengan pemikiran yang sederhana dan dapat dilihat, dipandang, dan

dirasakan (Arsyad, 2014: 13).

Penggunaan alat peraga dalam pembelajaran dimaksudkan untuk

mengoptimalkan keseluruhan fungsi panca indra siswa (Widiyatmoko &

Pamelasari, 2012: 52). Melibatkan indra penglihatan, pendengaran, perasaan,

penciuman, dan peraba dalam pembelajaran dapat memberikan kesan paling utuh

dan paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang terkandung dalam

pengalaman itu (Arsyad, 2014: 13). Berdasarkan teori di atas, alat peraga dapat

membantu siswa dalam mempelajari suatu materi. Dengan alat peraga, siswa juga

dapat mengembangkan seluruh panca indranya. Materi yang diajarkan kepada

anak menjadi lebih mudah diterima apabila menggunakan alat peraga karena

melibatkan seluruh panca indra yang dimiliki. Salah satu metode yang memiliki

kekhasan penggunaan alat peraga dalam pembelajarannya adalah metode

Montessori.

2.1.1.2 Alat Peraga Berbasis Metode Montessori

Terdapat lima ciri-ciri alat peraga berbasis metode Montessori.

Ciri-ciri tersebut adalah menarik, bergradasi, auto-correction, auto-education, dan

kontekstual. Ciri yang pertama adalah menarik. pembelajaran bagi anak diarahkan

(37)

memperhatikan warna, kontur permukaan yang lembut, dan beratnya, sehingga

anak tertarik untuk menyentuh, meraba, dan memegangnya. Anak normal akan

mengulangi kegiatan yang mereka lakukan karena ketertarikan. Mereka

melakukan modifikasi dalam menggunakan alat peraga (Motessori, 2002:

170-174).

Ciri yang kedua adalah bergradasi. Gradasi alat peraga terkait dengan

warna, bentuk, dan usia anak. Alat peraga bergradasi ini memungkinkan

digunakan dengan melibatkan panca indra anak dan bisa digunakan untuk

anak-anak dari beragam usia dalam hal pembentukan konsep belajar anak-anak (Montessori:

2002: 174). Ciri yang ketiga adalah auto-correction. Alat peraga yang dibuat

memiliki pengendali kesalahan. Dengan adanya pengendali kesalahan, anak bisa

mengetahui jika mereka melakukan kesalahan dalam menggunakan alat peraga

tanpa diberi tahu oleh orang lain (Montessori, 2002: 171).

Ciri keempat adalah auto-education. Alat peraga yang digunakan

dapat mengembangkan kemampuan anak untuk belajar secara mandiri. Anak kan

fokus pada apa yang dikerjakannya walaupun terdapat gangguan di sekitarnya.

Anak memperoleh pengalaman dari aktivitas dengan panca indranya

menggunakan alat peraga secara berulang. Hal tersebut merupakan cara mendidik

dirinya sendiri. Dalam belajar, guru hanya sedikit campur tangan dan lebih

banyak mengamati dan mengarahkan. Karena itu, guru di sekolah Montessori

disebut sebagai direktris (Montessori, 2002: 172-173). Ciri yang kelima adalah

(38)

disesuaikan dengan konteks (Lillard, 2005: 32). Kontekstual yang dimaksud

adalah sesuai dengan lingkungan yang ada di sekitar anak. Selain itu, alat peraga

dibuat dengan menggunakan material yang ada di alam sekitar.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti mengembangkan alat peraga

dengan memperhatikan ciri-ciri alat peraga Montessori. Alat peraga yang

dikembangkan menarik, dengan memberikan warna dan cara penggunaan yang

menyenangkan. Alat peraga yang dikembangkan juga bergradasi karena dapat

terdiri dari berbagai warna dan tekstur. Memiliki auto-correction sehingga siswa

dapat mengetahui kesalahannya sendiri ketika belajar. Melalui alat peraga ini,

siswa juga dapat belajar secara mandiri tanpa didampingi oleh guru

(auto-education). Alat peraga yang dikembangkan juga dibuat dengan menggunakan

bahan-bahan yng dapat ditemukan dengan mudah di lingkungan sekitar.

2.1.2 Matematika

2.1.2.1 Pengertian Matematika

Matematika berasal dari kata mathema artinya pengetahuan,

mathanein artinya berpikir atau belajar. Dalam kamus Bahasa Indonesia

diartikan Matematika adalah ilmu tentang bilangan hubungan antara bilangan

dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah

mengenai bilangan (Depdiknas). Pengertian Matematika tidak didefinisikan

secara mudah dan tepat mengingat ada banyak fungsi dan peranan

(39)

Matematika maka itu bersifat tentatif, tergantung kepada orang yang

mendefinisikannya. Bila seorang tertarik dengan bilangan maka ia akan

mendefinisikan Matematika adalah kumpulan bilangan yang dapat digunakan

untuk menyelesaikan persoalan hitungan dalam perdagangan. Beberapa orang

mendefinisikan Matematika berdasarkan struktur Matematika, pola pikir

Matematika, pemanfaatannya bagi bidang lain, dan sebagainya.

Atas dasar itu, Anitah (dalam Hamzah & Muhlisrarini, 2014: 47-48)

menjelaskan beberapa definisi tentang Matematika yaitu:

a) Matematika adalah cabang pengetahuan eksak dan terorganisasi.

b) Matematika adalah ilmu tentang keluasan atau pengukuran dan letak.

c) Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan dan

hubungan-hubungannya.

d) Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungannya

yang diatur menurut urutan yang logis.

e) Matematika adalah ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang

didasarkan pada observasi (induktif) tetapi diterima generalisasi yang

didasarkan kepada pembuktian secara deduktif.

f) Matematika adalah ilmu tentang struktur yang terorganisasi mulai dari

unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma

(40)

g) Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan

besaran, dan konsep-konsep hubungan lainnya yang jumlahnya banyak

dan terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.

Selain itu John & Rising (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 28)

mendefiniskan Matematika sebagai berikut:

a) Matematika adalah pengetahuan terstruktur, dimana sifat dan teori dibuat

secara deduktif berdasarkan unsur-unsur yang didefinisikan atau tidak

didefinisikan dan berdasarkan aksioma, sifat, atau teori yang telah

dibuktikan kebenarannya.

b) Matematika ialah bahasa simbol tentang berbagai gagasan dengan

menggunakan istilah-istilah yang didefinisikan secara cermat, jelas, dan

akurat.

c) Matematika adalah seni, dimana keindahannya terdapat dalam keterurutan

dan keharmonisan.

Beth & Piaget (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 28) mengatakan

bahwa yang dimaksud dengan Matematika adalah pengetahuan yang berkaitan

dengan berbagai struktur abstrak dan hubungan antar-struktur tersebut

sehingga terorganisasi dengan baik. Sementara Kline (dalam Runtukahu &

Kandou, 2014: 28) lebih cenderung mengatakan bahwa Matematika adalah

pengetahuan yang tidak berdiri sendiri, tetapi dapat membantu manusia untuk

memahami dan memecahkan permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Di

(41)

bahwa Matematika adalah studi tentang pola dan hubungan, cara berpikir

dengan strategi organisasi, analisis dan sintesis, seni, bahasa, dan alat untuk

memecahkan masalah-masalah abstrak dan praktis. Dari pendapat beberapa

tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa Matematika adalah pengetahuan yang

mengkaji pola dan hubungan suatu gagasan yang terstruktur dengan

menggunakan berbagai simbol dan bilangan untuk memecahkan suatu

masalah.

2.1.2.2 Prinsip-Prinsip Praktis

Reys (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 30-32) mengemukakan

prinsip-prinsip praktis pendekatan belajar kognitif dalam pembelajaran

Matematika yang menurut pendapat penulis dapat diaplikasikan secara umum

pada anak Diskalkulia. Prinsip-prinsip praktis yang dianjurkan tidak berdiri

sendiri, tetapi berhubungan satu dengan yang lainnya.

a. Belajar Matematika harus berarti (meaningful)

Belajar dengan penuh pengertian meliputi semua materi Matematika yang

diajarkan di SD.

b. Belajar Matematika adalah proses perkembangan

Belajar Matematika yang efektif dan efisien tidak dengan sendirinya terjadi

karena membutuhkan cukup waktu dan perencanaan yang baik. Guru

memegang peranan penting dalam menyediakan lingkungan belajar yang kaya

(42)

c. Matematika adalah pengetahuan yang sangat terstruktur

Keterampilan Matematika harus dibangun dari keterampilan sebelumnya.

Keterampilan prasyarat harus dipenuhi sebelum berpindah pada materi belajar

berikutnya. Oleh sebab itu, pendekatan spiral dalam belajar Matematika

sangat cocok.

d. Anak aktif terlibat dalam belajar Matematika

Belajar aktif merupakan inti belajar Matematika yang memungkinkan anak

berkesulitan belajar membentuk pengetahuan mereka. Keterlibatan secara

aktif dapat berupa keterlibatan fisik, tetapi jangan lupa setiap kegiatan fisik

tidak terlepas dari kegiatan mental.

e. Anak harus mengetahui apa yang akan dipelajari dalam kelas Matematika

Anak biasanya mau bekerja keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang nyata,

jelas dan dimengerti. Sebagai tambahan, nilai-nilai yang ada pada anak sangat

dipengaruhi oleh guru. Jika guru hanya menekankan pada pengajaran

keterampilan berhitung, mereka akan menganggap berhitung sangat penting.

Jika guru memberi penekanan pada pemecahan masalah Matematika, anak

akan memandang pemecahan masalah Matematika penting. Keterampilan

Matematika akan sangat bermanfaat bagi dirinya dan kelanjutan hidupnya

setelah selesai sekolah.

f. Komunikasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan belajar

Anak dari semua tingkatan belajar harus belajar bagaimana menggunakan

(43)

tanda simbol. Anak berkesulitan belajar Matematika dianjurkan untuk

“berbicara” apa yang dipikirkannya (Garnett, 2004).

g. Menggunakan berbagai bentuk atau model Matematika (multiembodied)

dalam belajar Matematika

Matematika dibandingkan degan mata pelajaran lain yang diajarkan di sekolah

adalah abstrak. Oleh sebab itu, materi, model, dan strategi Matematika akan

sangat membantu mereka belajar Matematika. Alat bantu yang digunakan

harus menyangkut banyak model dan mendorong anak berpikir abstrak.

Model Matematika konkret dan terstruktur yang digunakan tergantung dari

anak dan isi Matematika.

h. Variasi Matematika membantu siswa belajar Matematika

Belajar Matematika sangat tergantung pada kemampuan membuat abstraksi

dan generalisasi. Prinsip, bentuk, dan model Matematika tergantung pada

pengalaman anak dengan berbagai bentuk fisik yang dikaitkan dengan

konsep-konsep Matematika.

i. Metakognisi mempengaruhi anak belajar

Metakognisi adalah kemampuan mengamati diri sendiri tentang apa yang

diketahui dan merefleksikan apa yang diamati.

j. Pemberian bantuan pada kemampuan yang terbentuk atau retension

Retension adalah jumlah pengetahuan yang tahan lama dan terpelihara.

Retension Matematika menyangkut pengetahuan Matematika yang dapat

(44)

Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip praktis dalam

Matematika adalah (1) meaningful, (2) belajar sesuai dengan tahap perkembangan

anak, (3) membangun keterampilan Matematika, (4) anak aktif dalam

pembelajaran, (5) mengetahui tujuan pembelajaran Matematika, (6) komunikasi,

(7) model Matematika, (8) variasi mempelajari Matematika, (9) metakognisi, dan

(10) retension.

2.1.2.3 Fungsi Matematika

Dalam masyarakat pendidikan dan umum kata Matematika sering

dipakai dalam pergaulan. Ketika sekelompok orang membicarakan tentang

perkembangan ekonomi, maka beredar pembicaraan perhitungan Matematika

yang mendorong dan membantu persoalannya. Hamzah & Muhlisrarini (2014:

49-52) mengungkapkan ada beberapa macam fungsi Matematika yaitu:

a. Sebagai suatu struktur

Banyak dijumpai simbol yang satu berkaitan dengan simbol lainnya

dalam Matematika, misalnya dalam konsep matrik di mana terdapat baris dan

kolom, keduanya dihubungkan satu sama lain. Dalam diferensial dikenal

adanya simbol variabel x dan y, keduanya saling berkaitan membentuk

turunan. Matematika sebagai suatu struktur atau bentuk jelas dengan contoh di

atas. Matematika disusun atau dibentuk dari hasil pemikiran manusia seperti

ide, proses, dan penalaran. Kita sering mendengar seorang anak menghafal

perkalian dengan bilangan-bilangan tertentu. Hafalan itu merupakan bentuk

(45)

kebenaran. Kalau tidak ada simbol-simbol, barangkali kita tidak dapat

berkomunikasi Matematika. Simbol-simbol itu dibentuk dari ide, misalkan

bilangan satu maka ide kata satu diberi simbol ‘1’.

Komunikasi secara efektif dan efisien dapat dilakukan dengan adanya

simbol Matematika yang dibentuk dari suatu hal yang abstrak. Berawal dari

ide-ide lalu disimbolisasi, kemudian dari simbol-simbol dikomunikasikan.

Dari komunikasi diperoleh informasi dan dari informasi-informasi itu dapat

dibentuk konsep-konsep baru. Pengembangan produk berbentuk konsep baru

melahirkan Matematika, yaitu suatu ilmu yang tersusun secara hierarkis, logis,

dan sistematis dari konsep yang sederhana sampai kepada konsep yang

kompleks. Dalam prosesnya, ide yang menjadi simbol harus dipahami lebih

dahulu sebelum ide tersebut disimbolkan, sehingga penggunaan simbol tidak

mengalami kekeliruan. Kekeliruan penggunaan simbol dalam Matematika

sangat berbahaya karena akan mengalami kekeliruan dalam menipulasi

aturan-aturan atau rumus-rumus pada tahap berikutnya.

b. Kumpulan Sistem

Matematika sebagai kumpulan sistem mengandung arti bahwa dalam

satu formula Matematika terdapat beberapa sistem di dalamnya. Misalkan

pembicaraan sistem persamaan kuadrat, maka ada di dalamnya

variabel-variabel, faktor-faktor, sistem linier yang menyatu dalam persamaan kuadrat

tersebut. Persamaan linier merupakan bagian dari sistem kuadrat. Di samping

(46)

aljabar, analisis, dan dasar Matematika. Aritmatika membahas teori bilangan,

dasar Matematika membicarakan tentang logika dasar. Matematika dapat

digambarkan sebagai pohon dengan semua cabang-cabangnya dan logika

dasar sebagai akar pohon tersebut. Walaupun berurai menjadi beberapa

macam, Matematika tetap bersifat konsisten dalam arti bebas dari kontradiksi

yang di dalamnya di samping mempunyai sistem deduktif.

c. Sebagai Sistem Deduktif

Kita mengenal pengertian pangkal atau primitif pada bidang

Matematika. Definisi-definisi dasar ini memuat beberapa definisi, sekumpulan

asumsi, banyak postulat dan aksioma serta sekumpulan teorema atau dalil.

Ada hal-hal semacam di atas sebagai tidak dapat didefinisikan, akan tetapi

diterima sebagai suatu kebenaran, konkretnya yakni tentang titik, garis,

elemen atau unsur dalam Matematika tidak didefinisikan, akan menjadi

konsep yang bersifat deduktif.

d. Ratunya Ilmu dan Pelayan Ilmu

Kalau melihat Matematika sebagai bahasa dalam arti bahasa simbol

dan sebagai alat yakni perangkat yang diperlukan dalam suatu aktivitas maka

akan banyak yang menggunakannya terutama bidang sains dan sosial.

Matematika dapat melayani ilmu-ilmu karena rumus, aksioma dan model

pembuktian yang dipunyainya dapat membantu ilmu-ilmu tersebut. Peran

sebagai ratunya ilmu tergantung pada bagaimana seseorang dapat

(47)

mengatakan bahwa Matematika memberikan dampak yang cukup berarti

terhadap perkembangan ilmu dan Matematika itu sendiri, sehingga ke depan

akan senantiasa melakukan penemuan-penemuan baru. Inilah umpan balik

dalam bentuk dorongan perkembangan iptek kepada Matematika.

Dapat disimpulkan bahwa Matematika merupakan alat untuk

menyelesaikan masalah menerjemahkan masalah-masalah ke dalam

simbol-simbol Matematika. Di samping itu, penerjemahan ke dalam Matematika

berbentuk model yang dikatakan model Matematika. Masalah yang

diterjemahkan dalam model Matematika kemudian dianalisis, disintesis, dan

dihitung dalam ruang Matematika sampai selesai. Hasil yang diperoleh

dikembalikan lagi ke dalam bidang permasalahan semula, bidang keilmuan

yang memerlukan Matematika itu untuk lebih jauh dianalisis. Dalam hal ini

Matematika tidak campur tangan lagi.

Dalam menyelesaikan masalah di luar Matematika diperlukan tiga

tahapan yaitu tahap pembentukan model, tahap penanganan model, dan tahap

penerjemahan hasil. Matematika sebagai alat, lebih banyak berperan dalam

tahap penanganan model yang prosesnya memperlihatkan adanya unsur

penterjemahan bahan dari bahasa ilmu di mana permasalahan berada ke dalam

(48)

2.1.3 Kesulitan Belajar

2.1.3.1 Pengertian Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris

learning disability. Terjemahan tersebut sesungguhnya kurang tepat karena

learning artinya belajar dan disability artinya ketidakmampuan; sehingga

terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar (Mulyono,

2012: 1). Runtukahu & Kandou (2014: 19) juga mempunyai pendapat bahwa

berkesulitan belajar atau learning disabilities artinya ketidakmampuan belajar.

Arti yang tepat sukar ditetapkan karena digunakan dalam berbagai disiplin

ilmu pendidikan, antara lain psikologi dan ilmu kedokteran. Anak-anak

berkesulitan belajar agak sukar dibedakan dari anak-anak yang berprestasi

akademik kurang, tunagrahita ringan, atau tunalaras ringan (Heward &

Orlansky dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 19)

Mulyono (2012: 2) menjelaskan bahwa definisi kesulitan belajar

pertama kali dikemukakan oleh The United States Office of Education

(USOE) pada tahun 1977 yang dikenal dengan Public Law (PL) 94-142, yang

hampir identik dengan dengan definisi yang dikemukakan oleh The National

Advisory Committee on Handicapped Children pada tahun 1967. Definisi

tersebut seperti dikutip oleh Hallahan, Kauffman, dan Lloyd (1985: 14)

seperti berikut ini.

(49)

menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tuna grahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan lingkungan,

budaya, atau ekonomi.”

Meskipun definisi USOE merupakan definisi resmi yang digunakan

oleh pemerintah Amerika Serikat, tetapi banyak kritik yang diarahkan pada

definisi tersebut. Sebagai konsekuensi dari adanya berbagai kritik terhadap

definisi PL 94-142 tersebut, maka The National Joint Committee for Learning

Disabilities (NJCLD) mengemukakan definisi sebagai berikut Mulyono

(2012: 3).

“Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang

dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi Matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tuna grahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung (Hammil, et al., 1981: 336).”

Mulyono (2012: 3-4) mengungkapkan bahwa meskipun definisi yang

dikemukakan oleh NJCLD memiliki kelebihan bila dibanding dengan definisi

yang dikemukakan dalam PL 94-142, the Board of the Association for

(50)

definisi tersebut, dan karena itu mereka mengemukakan definisi seperti

dikutip oleh Lovitt (1989: 7) sebagai berikut ini:

“Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga

bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau non

verbal.”

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kesulitan

belajar adalah ketidakmampuan belajar yang disebabkan oleh berbagai faktor,

baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar yang dapat menyebabkan anak

mengalami gangguan berbicara, mengeja, menulis, membaca, ataupun

berhitung.

2.1.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Berbagai faktor dapat menyebabkan kesulitan belajar. Faktor

penyebab kesulitan belajar sebenarnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi

dapat dikemukakan beberapa penyebab sebagai berikut.

a. Keturunan

Keturunan dapat menyebabkan kesulitan belajar, tetapi tidak semua pakar

PLB menyetujuinya. Hal ini karena laporan-laporan hasil penelitian yang

berbeda-beda.

b. Otak tidak berfungsi

Tidak berfungsinya otak dapat menyebabkan anak-anak berkesulitan

belajar karena terdapat kelainan pada otaknya sehingga tidak berfungsi

(51)

karena itu, anak-anak berkesulitan belajar sering disebut anak-anak yang

mengalami kerusakan otak ringan. Tidak semua anak berkesulitan belajar

mengalami kerusakan otak, tetapi sampai sekarang istilah ini masih sering

digunakan, khususnya dalam bidang kedokteran.

c. Lingkungan dan malnutrisi (kurang gizi)

Tekanan lingkungan dan malnutrisi dapat menyebabkan kesulitan belajar.

Tekanan lingkungan antara lain sikap negatif masyarakat terhadap anak

penyandang cacat dan keluarganya. Malnutrisi pada umur dini dapat

mempengaruhi pusat saraf yang selanjutnya akan mempengaruhi belajar

dan perkembangan anak.

d. Ketidakseimbangan biokimia

Banyak anak berkesulitan belajar yang tidak mempunyai masalah kelainan

fungsi otak, tekanan lingkungan atau malnutrisi. Salah satu dugaan

penyebab selain yang disebutkan ialah ketidakseimbangan biokimia dalam

tubuh anak. Ketidakseimbangan biokimia lebih dikhususkan pada darah

anak yang tidak dapat mempertahankan jumlah vitamin dalam tubuhnya.

Pemberian vitamin dan diet telah diupayakan untuk mengatasi kesulitan

belajar, namun ada yang berhasil dan ada yang tidak (Lerner dalam

Runtukahu & Kandou, 2014: 21-22).

Dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab kesulitan belajar berasal

(52)

keturunan dan kondisi fisik seseorang. Sedangkan faktor dari luar adalah

pengaruh keluarga maupun lingkungan sekitar.

2.1.3.3 Jenis dan Komponen Kesulitan Belajar

Dikutip dari Kirk dan Galagher, 2008; Hamill dan Bavel, 1990 dalam

Runtukahu & Kandou (2014: 23), menjelaskan bahwa secara umum kesulitan

belajar dapat dibedakan atas kesulitan belajar dalam perkembangan

(developmental learning disabilities) dan kesulitan belajar akademik.

Kesulitan belajar berhubungan dengan perkembangan psikologis anak

menyimpang dari linguistik yang normal. Ketidakmampuan yang

berhubungan dengan perkembangan biasanya mengalami kesulitan belajar,

sedangkann kesulitan belajar tidak semuanya diasosiasikan dengan masalah

kemampuan akademik. Misalnya, ada anak berkesulitan belajar dengan

kelainan persepsi motorik tidak dapat membaca. Kesulitan belajar akademik

merupakan kondisi-kondisi yang secara signifikan terdapat pada proses

belajar (1) membaca; (2) menulis; (3) Matematika. Ketidakmampuan tersebut

terdapat pada anak-anak yang belajar di sekolah dengan pencapaian hasil

belajar di bawah kemampuan akademik yang sebenarnya. Kesulitan belajar

akademik dalam membaca dikenal dengan istilah disleksia, menulis adalah

disgrafia, dan berhitung adalah Diskalkulia.

Hubungan apa yang terdapat antara ketiga jenis kesulitan belajar ini

belum dapat ditentukan secara pasti karena masalah kesulitan belajar dalam

(53)

Walaupun kita tidak tahu hubungannya, perbedaan antara ketiga jenis

kesulitan belajar ini akan membantu kita dalam menentukan penyebab

kesulitan belajar (Kirk dan Galagher dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 23)

sebagai contoh, seorang anak menunjukkan ketidakmampuan akademik. Ia

kurang dalam Matematika, membaca, dan menulis. Ia sulit belajar Matematika

dengan metode yang digunakan pada anak-anak yang bersekolah di sekolah

umum atau sekolah inklusi. Setelah kesulitan belajar akademik diketahui,

perlu dicari faktor-faktor penyebab lain yang berhubungan dengan

perkembangan anak tersebut. Jika kesulitan belajar bukan karena faktor dalam

diri anak (tunagrahita atau kelainan perilaku yang cukup berat) maka perlu

dicari penyebab lain.

Penyebab lain ialah perhatian, ingatan, dan bahasa. Jika didapati anak

kurang dalam ingatan visual, guru dapat menggunakan kemampuan

mendengar untuk mengajarkan Matematika atau bahasa. Sebaliknya jika anak

kurang dalam kemampuan mendengar, guru dapat menggunakan kemampuan

visual. Akan tetapi, bila anak mengalami kesulitan, baik pada kemampuan

visual dan mendengar maka anak mengalami kesulitan belajar yang cukup

berat. Kesulitan belajar biasanya berhubungan dengan perkembangan ganda

(misalnya persepsi dan bahasa), dan kesemuanya akan menyebabkan kesulitan

belajar akademik.

Selain jenis-jenis kesulitan belajar, guru perlu mengetahui tentang

(54)

perkembangan anak. Beberapa komponen kesulitan belajar yang utama telah

dikemukakan oleh Lovit dalam Runtukahu & Kandou (2014: 24-25) sebagai

berikut.

a. Perhatian

Anak dikerumuni oleh banyak stimulus jika sedang belajar. Perhatian

adalah kemampuannya untuk memilih stimulus (rasangan) dari sekian

banyak stimulus ia dapat belajar. Kesulitan belajar terkait respons pada

stimuli apa saja yang dihadapinya. Jika siswa tidak mampu memilih

stimulus yang menunjang belajar, ia tidak tahan belajar dan tidak dapat

memusatkan perhatian pada belajar.

b. Mengingat (memory)

Mengingat adalah kemampuan untuk meningkatkan apa yang telah

didengar, dilihat, dan dialami waktu belajar. Kesulitan belajar biasanya

kurang atau tidak mampu dalam mengingat kembali apa yang telah

dipelajarinya.

c. Persepsi

Kemampuan persepsi visual mungkin tidak meliputi kata-kata yang ditulis

atau simbol-simbol visual seperti angka yang ditulis dan tidak ada

kesadaran akan objek-objek yang dilihatnya. Ketidakmampuan untuk

mengerti melalui terjemahan simbol menyebabkan gangguan orientasi

kiri-kanan, orientasi spasial, dan belajar motorik serta melihat satu objek

(55)

d. Berpikir

Kesulitan utama dalam operasi kognitif ialah adanya kelainan dalam

berpikir, seperti pemecahan masalah, pembentukan konsep, dan asosiasi.

Pemecahan masalah Matematika membutuhkan kemampuan membuat

analisis dan sintesis, yaitu perilaku yang dapat membantu anak

mengadakan respons atau beradaptasi dengan situasi baru. Pembentukan

suatu konsep sangat tergantung pada kemampuan mangklasifikasikan

objekdan peristiwa. Kelainan dalam berpikir juga berhubungan dengan

kemampuan bahasa lisan.

e. Bahasa

Kelainan jenis ini sangat banyak ditemukan pada anak berkesulitan belajar

yang tidak dapat berbicara dan tidak dapat mengadakan respons terhadap

suatu perintah atau pernyataan verbal seperti yang dilakukan anak-anak

normal.

2.1.4 Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) 2.1.4.1 Pengertian Kesulitan Belajar Matematika

Kesulitan belajar Matematika disebut juga Diskalkulia (dyscalculis)

(Lerner dalam Mulyono, 2012: 210). Istilah Diskalkulia memiliki konotasi

medis, yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf

pusat. Kesulitan belajar Matematika yang berat oleh Kirk (dalam Mulyono,

(56)

dalam Runtukahu & Kandou (2014: 23) juga menjelaskan bahwa kesulitan

belajar akademik dalam berhitung disebut Diskalkulia. Dari pendapat

beberapa ahli tersebut maka dapat disimpulkan kesulitan belajar Matematika

adalah ketidakmampuan anak dalam belajar Matematika, disebut juga

Diskalkulia.

2.1.4.2 Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika

Menurut Lerner dalam Mulyono (2012: 210-213) ada beberapa

karakteristik anak berkesulitan belajar Matematika, yaitu (1) adanya gangguan

dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi visual, (3) asosiasi

visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol,

(6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca,

(8) Perfomance IQ jauh lebih rendah daripada skor Verbal IQ.

a. Gangguan Hubungan Keruangan

Konsep hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar,

jauh-dekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir umumnya

telah dikuasai oleh anak pada saat mereka belum masuk SD. Anak-anak

memperoleh pemahaman tentang berbagai konsep hubungan keruangan

tersebut dari pengalaman mereka dalam berkomunikasi dengan

lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai permainan.

Tetapi sayangnya, anak berkesulitan belajar sering mengalami

kesulitan dalam berkomunikasi dan lingkungan sosial juga sering tidak

(57)

komunikasi antar mereka. Adanya kondisi intrinsik yang diduga karena

disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa lingkungan sosial yang tidak

menunjang terselenggaranya komunikasi dapat menyebabkan anak

mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan

keruangan. Adanya gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan

keruangan dapat mengganggu pemahaman anak tentang sistem bilangan

secara keseluruhan. Karena adanya gangguan tersebut, anak mungkin

tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan

atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih

dekat ke angka 4 daripada ke angka 6.

Untuk mempelajari Matematika, anak tidak cukup hanya

menguasai konsep hubungan keruangan, tetapi juga berbagai konsep dasar

yang lain. Ada empat macam konsep dasar yang harus dikuasai oleh anak

pada saat masuk SD. Keempat konsep dasar tersebut adalah (1) konsep

keruangan, (2) konsep waktu, (3) konsep kuantitas, dan (4) konsep

serbaneka (miscallaneous) (Boehm dalam Mulyono, 2012: 211).

b. Abnormalitas Persepsi Visual

Anak berkesulitan belajar Matematika sering mengalami kesulitan

untuk melihat berbagai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau

set. Kesulitan semacam itu merupakan salah satu gejala adanya

abnormalitas persepsi visual. Kemampuan melihat berbagai objek dalam

Gambar

Gambar 1.2 Bagian-bagian papan pembagian
Gambar 1.3 Kartu soal
Gambar 1.7 Tabung kecil (Tab)
Tabel 3.3 Garis besar pertanyaan untuk anak Diskalkulia di kelas IV.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian dan pengembangan ini berupa prototype alat peraga papan perkalian berbasis Metode Montessori1. Produk yang dikembangkan telah divalidasi oleh ahli di

Widyaningrum, Elfrida Fetra. Pengembangan Alat Peraga Pembelajaran Matematika SD Materi Penjumlahan dan Pengurangan Berbasis Metode Montessori .Skripsi. Yogyakarta: Program

Pemakaian metode pembelajaran matematika dengan alat peraga dapat membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang ada pada pelajaran matematika sehingga dengan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar matematika setelah menggunakan meteran sebagai alat peraga

Penelitian ini memberikan pemikiran baru bagi mahasiswa bahwa alat peraga pembelajaran matematika untuk siswa sekolah dasar berbasis metode Montessori dapat dibuat dan dikembangkan

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya ,memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul: “IMPLEMENTASI ALAT PERAGA PEMBAGIAN BERBASIS

Alat peraga yang dibutuhkan merupakan alat peraga yang dikembangkan oleh peneliti yang merupakan pengembangkan dari alat peraga Montessori yang bertujuan untuk membantu

SIMPULAN Berdasarkan analisis dan pembahasan mengenai peningkatan prestasi belajar mata pelajaran Matematika materi pembagian menggunakan papan pembagian pada siswa kelas IV SDN