• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KADAR HOMOSISTEIN SERUM DENGAN SKOR VITILIGO AREA SCORING INDEX PADA PASIEN VITILIGO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KADAR HOMOSISTEIN SERUM DENGAN SKOR VITILIGO AREA SCORING INDEX PADA PASIEN VITILIGO"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KADAR HOMOSISTEIN SERUM DENGAN SKOR VITILIGO AREA SCORING INDEX

PADA PASIEN VITILIGO

Tesis

DINA RIZKI UTAMI HASIBUAN NIM. 117105006

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN ANTARA KADAR HOMOSISTEIN SERUM DENGAN SKOR VITILIGO AREA SCORING INDEX PADA PASIEN VITILIGO

T E S I S

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Konsentrasi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin pada

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

DINA RIZKI UTAMI HASIBUAN NIM. 117105006

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

Universitas Sumatera Utara

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Tesis : Hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor Vitiligo Area Scoring Index pada pasien vitiligo

Nama : dr. Dina Rizki Utami Hasibuan Nomor Induk : 117105006

Program Studi : Kedokteran / Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. dr. Nelva Karmila Jusuf, Sp.KK(K), FINSDV Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, Sp.KK NIP: 196709151997022001 NIP: 196507252005011001

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof. Dr. dr. Irma D Roesyanto, Sp.KK(K) dr. Chairiyah Tanjung , Sp.KK(K) NIP: 194712241976032001 NIP: 195012111978112001

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar

Nama : dr. Dina Rizki Utami Hasibuan NIM : 117105006

Tanda tangan :

Universitas Sumatera Utara

(5)

Hubungan antara Kadar Homosistein Serum dengan Skor Vitiligo Area Scoring Index

Dina Rizki Utami Hasibuan, Imam Budi Putra, Nelva Karmila Jusuf Program Pendidikan Dokter Spesialis

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan-Indonesia ABSTRAK

Latar belakang: Vitiligo adalah kelainan depigmentasi kulit didapat dengan karakteristik bercak putih yang disebabkan oleh destruksi melanosit. Vitiligo bersifat kronik dan mengganggu secara kosmetik sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hingga saat ini, belum diketahui penyebab vitiligo yang sesungguhnya. Homosistein diduga berperan dalam terjadinya vitiligo dan dapat menjadi biomarker untuk menilai keparahan vitiligo.

Tujuan : Menganalisis hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI pada pasien vitiligo

Subjek dan metode: Penelitian ini merupakan suatu studi analitik observasional dengan rancangan potong lintang yang melibatkan 30 pasien vitiligo yang didiagnosis melalui pemeriksaan klinis dan pemeriksaan lampu Wood serta pengukuran skor vitiligo area scoring index (VASI) dengan kontrol dalam jumlah yang sama. Terhadap subjek tersebut dilakukan pengambilan darah dan dilakukan pengukuran kadar homosistein serum.

Hasil: Dalam penelitian ini didapatkan tidak dijumpai hubungan signifikan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI (p= 0,133, r= 0,281), riwayat

keluarga (p=0,706) dan lama mengalami (p= 0,993, r= 0,002) pada pasien vitiligo.

Tidak terdapat perbedaan signifikan antara kadar homosistein serum antara pasien vitiligo dengan kontrol (p= 0,905). Terdapat hubungan signifikan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin (p= 0,001) dan usia kelompok vitiligo (p= 0,036;r= 0,385) .

Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan signifikan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI, riwayat keluarga dan lama mengalami pada pasien vitiligo dan tidak ada perbedaan signifikan antara kadar homosistein serum pasien vitiligo dengan kontrol. Terdapat hubungan signifikan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin dan usia pada pasien.

Kata kunci : vitiligo, homosistein serum, patogenesis

(6)

Correlation between Serum Homocysteine and Vitiligo Area Scoring Index Dina Rizki Utami Hasibuan, Imam Budi Putra, Nelva Karmila Jusuf

Dermatovenereology Department

Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital-Indonesia

Abstract

Background: Vitiligo is an acquired depigmenting skin disorder which characteristic is white patch caused by melanocyte destruction. Vitiligo is a chronic and cosmetically disturbing disease therefore affecting patient’s quality of life. Until now, the underlying pathogenesis of vitiligo is still unclear.

Homocysteine is thought to be involved in the pathogenesis and could be a biomarker to determine vitiligo severity.

Aim : To determine correlation between serum homocysteine and vitiligo area scoring index (VASI)

Subject and method: This was a cross-sectional analytic study which involved 30 vitiligo patients that were diagnosed by clinical and Wood’s lamp

examinations then VASI score was determined and same numbers of control. We conducted blood sampling and measurement of serum homocysteine level to the patients.

Results: There is no significant correlation between serum homocysteine and VASI score (p= 0,133, r= 0,281), family history (p=0,706), and duration of vitiligo (p= 0,993, r= 0,002). There is no significant difference between serum homocysteine in vitiligo patients and controls (p= 0,905). There is a correlation between serum homocysteine with gender (p= 0,001) and age (p= 0,036;r= 0,385) in vitiligo patient.

Conclusion: There is no significant correlation between serum homocysteine and VASI score, family history, and duration of vitiligo. There is no significant difference between serum homocysteine in vitiligo patients and controls. There is a correlation between serum homocysteine with gender and age in vitiligo patient Keywords : vitiligo, serum homocysteine, pathogenesis.

Universitas Sumatera Utara

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang tak terhingga saya panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam menjalani pendidikan spesialis ini, berbagai pihak telah turut berperan serta sehingga seluruh rangkaian kegiatan pendidikan ini dapat terlaksana dengan baik. Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Yang terhormat Dr.dr. Nelva Karmila Jusuf, Sp.KK(K),FINSDV selaku pembimbing pertama tesis ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta dengan penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan masukan dan koreksi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.

2. Yang terhormat Dr.dr. Imam Budi Putra, MHA, SpKK selaku pembimbing kedua tesis ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta dengan penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasehat, masukan dan koreksi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.

3. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto Mahadi, Sp.KK(K), FINS.DV, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, sebagai Guru Besar, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4. Yang terhormat dr. Chairiyah Tanjung, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV, selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing, memberikan nasehat, masukan dan motivasi kepada saya selama menjalani

(8)

5. Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr.

Runtung Sitepu, SH, M.Hum yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada universitas yang Bapak pimpin.

6. Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr.dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

7. Yang terhormat dr.Lukmanul Hakim Nasution, Sp.KK,M.Kes,FINSDV, dr. Isma Aprita Lubis, Sp.KK, FINSDV serta dr.Mila Darmi, Sp.KK sebagai guru dan penguji tesis saya, yang telah memberikan banyak bimbingan serta koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

8. Yang terhormat Para Guru Besar serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD dr. Pirngadi Medan, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

9. Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan spesialis ini.

10. Yang terhormat seluruh staf, pegawai dan perawat di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD dr. Pirngadi Medan atas bantuan, dukungan dan kerjasama yang baik selama ini.

11. Yang terhormat seluruh subjek yang terlibat dalam penelitian saya ini, serta seluruh pasien yang telah membantu saya memperoleh ilmu dan kesempatan belajar di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin sejak awal hingga akhir pendidikan.

12. Yang tercinta dan tersayang kedua orang tua saya Mama Hj Sri Kurnia Ningsih dan Papa H. Ir. Umar Zunaidi Hasibuan,MM. Doa dan dukungan tiada henti dari papa dan mama merupakan sumber semangat bagi dina.Terima kasih atas segalanya ma, pa. Merupakan suatu rahmat dan

Universitas Sumatera Utara

(9)

karunia dari Allah SWT terlahir sebagai anak dari orang tua yang begitu luar biasa baik. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan membahagiakan papa dan mama.

13. Yang saya sayangi dan hormati kedua mertua saya, Abah H. Abdillah, SE,Ak, MBA dan Umi Hj. Dra. Nanan Farach Rahduna yang turut memberikan doa dan dukungan kepada saya. Kiranya hanya Allah SWT yang dapat membalas semua kebaikan Abah dan Umi.

14. Yang tercinta sahabat seumur hidup, suamiku tersayang Afif Abdillah, SE.

Terima kasih atas segala doa, dukungan, semangat dan pengorbanan yang telah dicurahkan kepada dina khususnya di masa penyusunan tesis ini. I’m lucky and forever grateful to be your wife sweetheart. Semoga Allah SWT senantiasa menjadikan keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Aamiiin

15. Yang tercinta abang dan kakak serta adik saya H. Arief Abdillah Hasibuan, ST, Kiky Andriani, dan Abdul Hadi Abdillah, SE serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dorongan, doa dan cinta kasih serta persaudaraan yang erat selama ini. Semoga kita dapat terus membina kerukunan keluarga dan rasa saling mengasihi hingga masa mendatang.

16. Yang tersayang dan sangat saya hormati kakak saya, Mbak Dewi dan keluarga besar Alm. H.Saeran. Terima kasih atas segala dukungan, dorongan, doa, semangat dan bimbingan yang diberikan. Sungguh saya tak mampu membalas kebaikan yang diberikan. Terima kasih banyak mbak.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada mbak sekeluarga.

17. Sahabat seperjuangan saya dr. Johan Kartayana, dr. Gustina Putri, dr. Lia Septina, dr.Wantisya Muhaira serta teman-teman PPDS IKKK dan senior- senior, dr. Tri Nanda Syahfitri, M.Ked (DV),Sp.DV, dr. Christia Iskandar, M.Ked(DV),Sp.DV, dr. Sulistya Dwi Rahasti, M.Ked (Dv),Sp.DV, dr.

Evita Lourdes Pinem, dr. E Heriawati Sitepu, dr. Dewi Lastya Sari, dr. Lia Yutrishia, M.Ked(DV),Sp.DV, dr. Wisyanti Mian Uli Siahaan,

(10)

Ivan S. Tarigan, dr. Farica Amanda, dr. Mimbar Topik, dan teman-teman PPDS yang tidak dapat saya ucapkan satu per satu terima kasih untuk bantuan, motivasi, kebersamaan, waktu dan kenangan yang tidak terlupakan selama menjalani pendidikan ini.

18. Yang tersayang sahabat saya yang senantiasa memberikan doa, semangat, dukungan dan pertolongan khususnya dalam penyusunan tesis ini, dr.

Tissy Liskawini Putri, Sp.PK, dr. Kharina Yufin Putri, dr. Nadia Inasya MD, Deliza Syaifhas, S.Psi, dan Siti Masyithah, S.Psi. Thank you for having my back.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, perkenankanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan, kekhilafan, dan kekurangan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama menjalani masa pendidikan ini. Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang telah diberikan kepada saya selama menjalani pendidikan, kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Medan, 18 Januari 2017 Penulis

dr. Dina Rizki Utami Hasibuan

Universitas Sumatera Utara

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK. ... i

ABSTRACT. ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ...5

1.3.1 Tujuan umum ...5

1.3.2 Tujuan khusus ... ……5

1.4 Manfaat Penelitian ... .6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vitiligo ... 7

2.1.1 Sejarah dan definisi ...7

2.1.2 Epidemiologi ... ……7

2.1.3 Etiologi dan patogenesis ... ……8

2.1.4 Gambaran klinis ...12

2.5 Kerangka Konsep ... 26

2.6 Hipotesis penelitian.... ... 26

2.6.1 Hipotesis mayor...26

2.6.2 Hipotesis minor...26

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian...28

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian...28

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian...28

3.3.1 Populasi target...28

3.3.2 Populasi terjangkau...28

3.3.3 Sampel penelitian...28

3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi...29

3.4.1 Kelompok pasien vitiligo...29

3.3.2 Kelompok kontrol...29

3.5 Besar Sampel...29

3.6 Cara Pengambilan Sampel Penelitian...30

(12)

3.9.1 Alat...33

3.9.2 Bahan...33

3.9.3 Cara kerja penelitian...33

3.10 Kerangka Operasional...38

3.11 Pengolahan Data...39

3.12 Etika Penelitian...40

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Demografi Subjek Penelitian ...41

4.1.1 Karakteristik berdasarkan jenis kelamin ...41

4.1.2 Karakteristik berdasarkan usia ...43

4.1.3 Karakteristik berdasarkan pendidikan ...45

4.1.4 Karakteristik berdasarkan pekerjaan ...45

4.2 Karakteristik Penyakit pada Subjek Vitiligo ... 46

4.2.1 Karakteristik berdasarkan riwayat keluarga ...46

4.2.2 Karakteristik berdasarkan lama mengalami vitiligo ... 48

4.2.3 Karakteristik berdasarkan tipe vitiligo ...49

4.3 Kadar Homosistein Serum ...50

4.3.1 Hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI ...50

4.3.2 Perbandingan kadar homosistein serum antara pasien vitiligo dengan kontrol ... 52

4.3.3 Hubungan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin Pada pasien vitiligo ... 54

4.3.4 Hubungan antara kadar homosistein serum dengan usia pada pasien vitiligo... 56

4.3.5 Hubungan antara kadar homosistein serum dengan riwayat keluarga...56

4.3.6 Hubungan antara kadar homosistein serum dengan lama mengalami vitiligo ... 58

BAB 5 5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

Universitas Sumatera Utara

(13)

DAFTAR SINGKATAN

C1QTNF6 : Complement C1q tumor necrosis factor-related protein 6

CAT : Catalase

CBS : Cystathionine β synthase DNA : Deoxyribonucleic acid EDTA : Ethylene diamine tetra acid

GZMB : Granzyme B

H2O2 : Hydogen peroxide

HLA : Human leucocyte antigen

ICAM-1 : Interceluller adhesion molecule-1

IL : Interleukin

IL2RA : Interleukin-2 receptor, alpha methyllTHF : Methyltetrahydrofolate MS : Methionine synthase

MTHFR : Methyl-enetetrahydrofolate reductase NF-KB : Nuclear factor- kappa B

LPP : Lipoma-preferred partner PASI : Psoriasis Area Severity Index PLP : Proteolipid protein

PRI : Potential Repigmentation Index

PTPN22 : Protein tyrosine phosphatase, non-receptor type 22 ROS : Reactive oxygen species

RERE : Arginine-glutamic acid dipeptide repeats encoding RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

RPM : Rotation per minute SAM : S-adenosylmethionine SAH : S-adenosyl-l-homocysteine SMF : Satuan medis fungsional

TYR : Tyrosinase

Th-1 : T helper-1

UBASH3A : Ubiquitin associated an SH 3 domain containing A

UV : Ultraviolet

VASI : Vitiligo Area Scoring Index VETF : Vitiligo European Task Force

VETFa : Vitiligo European Task Force assessment VETI : Vitiligo Extent Tensity Index

VIDA : Vitiligo Disease Activity Score

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar 2.1. Derajat depigmentasi VASI...16

Gambar 2.2 Metabolisme homosistein ... 20

Gambar 2.3 Kerangka teori ... 25

Gambar 2.4.Kerangka konsep ... 26

Gambar 3.1 Kerangka operasional ... 39

Universitas Sumatera Utara

(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin……….42

Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan usia………....44

Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan……...46

Tabel 4.4 Distribusi subjek penelitian berdasarkan pekerjaan………...47

Tabel 4.5 Distribusi subjek penelitian berdasarkan riwayat keluarga………....48

Tabel 4.6 Distribusi subjek penelitian berdasarkan lama mengalami vitiligo....49

Tabel 4.7 Distribusi subjek penelitian berdasarkan tipe vitiligo………...50

Tabel 4.8 Hubungan antara kadar homosistein serum pasien vitiligo dengan skor VASI………....…………....51

Tabel 4.9 Perbandingan kadar homosistein serum antara pasien vitiligo dengan kontrol……….54

Tabel 4.10 Hubungan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin pada pasien vitiligo……….……….………...56

Tabel 4.11 Hubungan antara kadar homosistein serum dengan usia pada pasien vitiligo………...57

Tabel 4.12 Hubungan antara kadar homosistein serum dengan jenis riwayat keluarga………...…...58

Tabel 4.13 Hubungan antara kadar homosistein serum dengan lama mengalami vitiligo ………...…………...60

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman

Lampiran 1. Naskah penjelasan kepada subjek penelitian 69

Lampiran 2. Persetujuan setelah penjelasan 71

Lampiran 3. Status penelitian 72

Lampiran 4. Penilaian skor VASI 76

Lampiran 5. Data Subjek Vitiligo 78

Lampiran 6. Data Kontrol 79

Lampiran 7. Hasil Uji Statistik 80

Lampiran 8. Ethical Clearance 86

Lampiran 9. Foto 87

Lampiran 10. Daftar riwayat hidup 88

Universitas Sumatera Utara

(17)

Hubungan antara Kadar Homosistein Serum dengan Skor Vitiligo Area Scoring Index

Dina Rizki Utami Hasibuan, Imam Budi Putra, Nelva Karmila Jusuf Program Pendidikan Dokter Spesialis

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan-Indonesia ABSTRAK

Latar belakang: Vitiligo adalah kelainan depigmentasi kulit didapat dengan karakteristik bercak putih yang disebabkan oleh destruksi melanosit. Vitiligo bersifat kronik dan mengganggu secara kosmetik sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hingga saat ini, belum diketahui penyebab vitiligo yang sesungguhnya. Homosistein diduga berperan dalam terjadinya vitiligo dan dapat menjadi biomarker untuk menilai keparahan vitiligo.

Tujuan : Menganalisis hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI pada pasien vitiligo

Subjek dan metode: Penelitian ini merupakan suatu studi analitik observasional dengan rancangan potong lintang yang melibatkan 30 pasien vitiligo yang didiagnosis melalui pemeriksaan klinis dan pemeriksaan lampu Wood serta pengukuran skor vitiligo area scoring index (VASI) dengan kontrol dalam jumlah yang sama. Terhadap subjek tersebut dilakukan pengambilan darah dan dilakukan pengukuran kadar homosistein serum.

Hasil: Dalam penelitian ini didapatkan tidak dijumpai hubungan signifikan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI (p= 0,133, r= 0,281), riwayat

keluarga (p=0,706) dan lama mengalami (p= 0,993, r= 0,002) pada pasien vitiligo.

Tidak terdapat perbedaan signifikan antara kadar homosistein serum antara pasien vitiligo dengan kontrol (p= 0,905). Terdapat hubungan signifikan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin (p= 0,001) dan usia kelompok vitiligo (p= 0,036;r= 0,385) .

Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan signifikan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI, riwayat keluarga dan lama mengalami pada pasien vitiligo dan tidak ada perbedaan signifikan antara kadar homosistein serum pasien vitiligo dengan kontrol. Terdapat hubungan signifikan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin dan usia pada pasien.

Kata kunci : vitiligo, homosistein serum, patogenesis

(18)

Correlation between Serum Homocysteine and Vitiligo Area Scoring Index Dina Rizki Utami Hasibuan, Imam Budi Putra, Nelva Karmila Jusuf

Dermatovenereology Department

Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital-Indonesia

Abstract

Background: Vitiligo is an acquired depigmenting skin disorder which characteristic is white patch caused by melanocyte destruction. Vitiligo is a chronic and cosmetically disturbing disease therefore affecting patient’s quality of life. Until now, the underlying pathogenesis of vitiligo is still unclear.

Homocysteine is thought to be involved in the pathogenesis and could be a biomarker to determine vitiligo severity.

Aim : To determine correlation between serum homocysteine and vitiligo area scoring index (VASI)

Subject and method: This was a cross-sectional analytic study which involved 30 vitiligo patients that were diagnosed by clinical and Wood’s lamp

examinations then VASI score was determined and same numbers of control. We conducted blood sampling and measurement of serum homocysteine level to the patients.

Results: There is no significant correlation between serum homocysteine and VASI score (p= 0,133, r= 0,281), family history (p=0,706), and duration of vitiligo (p= 0,993, r= 0,002). There is no significant difference between serum homocysteine in vitiligo patients and controls (p= 0,905). There is a correlation between serum homocysteine with gender (p= 0,001) and age (p= 0,036;r= 0,385) in vitiligo patient.

Conclusion: There is no significant correlation between serum homocysteine and VASI score, family history, and duration of vitiligo. There is no significant difference between serum homocysteine in vitiligo patients and controls. There is a correlation between serum homocysteine with gender and age in vitiligo patient Keywords : vitiligo, serum homocysteine, pathogenesis.

Universitas Sumatera Utara

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Vitiligo adalah kelainan depigmentasi kulit didapat dengan karakteristik bercak putih yang disebabkan oleh destruksi melanosit. Vitiligo bersifat kronik dan mengganggu secara kosmetik sehingga pasien vitiligo memiliki kepercayaan diri yang rendah dan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hingga saat ini, belum diketahui penyebab vitiligo yang sesungguhnya. 1,2

Angka prevalensi vitiligo di seluruh dunia yaitu 0,5-1%.

Penelitian menemukan angka prevalensi di Cina yaitu 0,093%, di Denmark yaitu 0,38%. Prevalensi tertinggi dijumpai di Gujarat yaitu 8,8%.3 Di Indonesia penelitian mengenai penyakit ini masih sangat terbatas. Jusuf dan Meher menemukan bahwa berdasarkan data rekam medis, pada tahun 2012 persentase kunjungan pasien vitiligo yaitu 18,09%, tahun 2013 sebesar 9,21%, tahun 2014 sebesar 8,53%, dan tahun 2015 sebesar 8,45% dari jumlah keseluruhan kunjungan pasien ke divisi kosmetik Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik oleh pada tahun tersebut.4 Di RSUP Dr. M Djamil Padang insidensi vitiligo pada tahun 2001-2006 sebesar 0,46%.5 Sebagian besar bersifat sporadis namun sekitar 16-46%

penderita memiliki riwayat keluarga dan pola pewarisannya sesuai trait poligenik. Vitiligo bisa dijumpai pada semua usia.6 Namun hampir separuh

(20)

2

30 tahun.7 Hal ini sesuai dengan yang ditemukan oleh Rizal yaitu vitiligo paling banyak ditemukan pada kelompok usia 21-30 tahun.5 Baik wanita maupun pria dapat terkena vitiligo.6,7

Etiologi dari vitiligo masih belum diketahui pasti. Namun terdapat beberapa hipotesis yang telah dikemukakan, yaitu: hipotesis genetik, autoimun, dan biokimia.3,6,8 Hipotesis ini diduga secara sinergis menyebabkan terjadinya vitiligo. Adanya kerentanan genetik yang dapat memicu suatu proses autoimun ditambah dengan adanya peningkatan stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya destruksi melanosit yang berakibat munculnya lesi depigmentasi.9

Suatu senyawa yang diduga terlibat dalam ketiga hipotesis tersebut adalah homosistein.10 Homosistein adalah asam amino yang memiliki gugus sulfur yang terlibat dalam siklus metionin yaitu pada jalur remetilasi dan jalur transulfurasi. Fungsi dari siklus ini adalah untuk mendonorkan gugus metil yang diperlukan berbagai molekul tubuh dan sintesis glutation.11-13

Homosistein dapat memediasi destruksi melanosit dengan cara memproduksi interleukin-6 (IL-6), mengaktivasi nuclear factor-kappa B (NF- ĸB) dan meningkatkan kerusakan oksidatif. Oksidasi homosistein akan memproduksi reactive oxygen species (ROS) yang toksik seperti superoxide anion, hidrogen peroksida, dan gugus hidroksil radikal bebas yang

bersamaan dengan kelainan metabolisme biopterin dapat menyebabkan stres oksidatif, akumulasi bahan melanositotoksik serta inhibisi proses detoksifikasi alamiah yang berperan dalam terjadinya destruksi melanosit pada lesi vitiligo.

Universitas Sumatera Utara

(21)

3

Homosistein juga menginhibisi enzim tirosinase yang berperan dalam biosintesis melanin dengan cara berinteraksi dengan tembaga pada lokasi aktif enzim.

Homosistein bebas bereaksi secara non enzimatik dengan residu sulfur-hidril dari protein tubuh dan mengalami tiolasi. Tiolasi yang berlebihan akan berpengaruh pada fungsi protein dan enzim pada tubuh.13

Nilai rentang normal kadar homosistein adalah 5 -15 µmol/L. Berbagai hal yang dapat mempengaruhi kadar homosistein yaitu polimorfisme genetik, usia, jenis kelamin, kehamilan, penyakit, obat - obatan, gaya hidup dan defisiensi vitamin.10 Kekurangan vitamin B6, B12 dan asam folat dapat meningkatkan kadar homosistein dalam darah oleh karena vitamin-vitamin ini berfungsi sebagai kofaktor enzim-enzim dalam metabolisme homosistein.11-13 Hal ini menjadi landasan penelitian Juhlin & Olsson yang menemukan manfaat pemberian vitamin B12 dan asam folat pada pasien vitiligo yang hanya diedukasi untuk berjemur di sinar matahari.14 Don et al juga mendapatkan hasil yang baik dengan terapi broadband UVB yang dikombinasikan dengan vitamin B12, asam folat dan vitamin C untuk pengobatan vitiligo.15

Berdasarkan gambaran klinis, vitiligo dapat di bagi menjadi tipe segmental dan nonsegmental. Luas daerah yang terkena bervariasi, mulai dari fokal hingga ke generalisata dan onset dapat secara tiba-tiba atau muncul secara perlahan.6

Ada beberapa sistem penilaian vitiligo yang dikenal. Beberapa di

(22)

4

Task Force assessment (VETFa), Vitiligo Disease Activity Score (VIDA), Vitiligo Extent Tensity Index (VETI) dan Potential Repigmentation Index (PRI).16

VASI adalah skor yang paling umum digunakan.16 Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi et al yang diadaptasi dari skor Psoriasis Area and Severity Index. VASI merupakan metode penilaian secara semi-objektif yang sudah terstandarisasi yang dapat mengukur luas dan derajat depigmentasi / repigmentasi pada pasien vitiligo.16-18

Sabry et al, Singh et al, Karadag et al, Shaker & El-Tahlawi menemukan rata-rata kadar homosistein serum pasien vitiligo yang secara signifikan lebih tinggi dibanding kontrol.12,19,20,21

Hal ini berlainan dengan yang dijumpai oleh Zaki et al dan Yasar et al yang menemukan tidak ada perbedaan signifikan antara kadar homosistein serum pasien vitiligo dengan kontrol.22,23

Sabry et al, Ghalamkarpour et al, dan Zaki et al tidak menemukan adanya hubungan durasi penyakit dengan kadar homosistein serum.19,22,24,25

Agarwal et al menemukan hal yang sebaliknya yaitu dijumpai korelasi positif antara homosistein dengan durasi penyakit (r=0,416). Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan antara homosistein dengan tipe vitiligo. Kadar homosistein serum pada vitiligo universal dijumpai secara signifikan lebih tinggi.13

Penelitian Sabry dan Silverberg menemukan adanya hubungan antara peningkatan kadar homosistein dan luas vitiligo.19,25 Sedangkan Ghalamkarpour menjumpai hal sebaliknya. Ghalamkarpour et al meneliti kadar homosistein serum pada 50 orang subjek vitiligo dan 53 orang kontrol sehat. Pada studi ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kadar homosistein serum

Universitas Sumatera Utara

(23)

5

dan skor VASI (r=0,25; p= 0,08).24 Berbeda dengan Agarwal et al yang menemukan adanya korelasi positif antara kadar homosistein serum dengan skor VASI (r=0,567; p=0,000), yaitu kadar serum pada kelompok skor VASI di atas 30 adalah 24,14±8,91µmol/L dan skor VASI di bawah 30 adalah 14,20± 6,14µmol/L.13 Perbedaan inilah yang mendorong peneliti untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan kadar homosistein serum pada pasien vitiligo dengan skor VASI pada pasien vitiligo.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI pada pasien vitiligo?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Menganalisis hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI pada pasien vitiligo.

1.3.2 Tujuan khusus

l. Menganalisis perbandingan kadar homosistein serum pasien vitiligo dengan kontrol sehat.

2. Menganalisis hubungan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin pada pasien vitiligo.

3. Menganalisis hubungan antara kadar homosistein serum dengan usia pada pasien vitiligo.

4. Menganalisis hubungan antara kadar homosistein serum dengan

(24)

6

5. Menganalisis hubungan kadar homosistein serum dengan lama mengalami vitiligo.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Institusi pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI pada pasien vitiligo.

1.4.2 Institusi kesehatan

Bertambahnya pemahaman mengenai peranan homosistein sebagai biomarker untuk penyakit vitiligo

1.4.3 Masyarakat

Dapat memberikan edukasi bagi masyarakat tentang hal-hal yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan tambahan yang berkaitan dengan peran kadar homosistein pada vitiligo.

1.4.4 Pengembangan penelitian

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data untuk penelitian di masa mendatang.

Universitas Sumatera Utara

(25)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Vitiligo

2.1.1. Sejarah dan definisi

Vitiligo telah dikenal dari zaman dahulu kala. Tulisan pertama tentang vitiligo berasal dari periode Aushooryan (2200 sebelum masehi) dalam bahasa Iran klasik. Pada tahun 1550 sebelum masehi Ebers Papyrus menjabarkan dua jenis penyakit yang mempengaruhi warna kulit. Satu penyakit disertai dengan tumor, kemungkinan adalah kusta dan satu lagi hanya mengalami perubahan warna yang diduga vitiligo. Vitiligo berasal dari Bahasa latin vitium yang berarti cacat. Kata vitiligo pertama kali dijumpai pada buku De-Mediccina karya dokter Roma Celsus.7

Vitiligo merupakan kelainan didapat dengan gambaran bercak depigmentasi asimtomatik pada kulit, membran mukosa atau rambut yang melibatkan faktor genetik dan non genetik dengan karakteristik berupa destruksi melanosit epidermis yang dimediasi oleh proses autoimun progresif.3,6,11

2.1.2. Epidemiologi

Angka persentase prevalensi vitiligo adalah 0,l%-8% dari penduduk dunia.3 Prevalensi vitiligo terlihat konsisten di antara beberapa populasi yang berbeda, yaitu : 0,38% pada ras Kaukasia, 0,34% pada ras Afrokaribia, 0,46% pada ras India, dan walaupun jarang juga dijumpai pada suku Han Tiongkok berkisar 0,093%.6 Prevalensi dan insidensi vitiligo sendiri belum banyak diteliti di Indonesia. Rizal menemukan angka insidensi vitiligo pada tahun 2001-2006 di RSUP Dr. M. Djamil Padang yaitu 0,46%.5 Pada Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan

(26)

8

terbanyak adalah hipomelanosis dengan diagnosis vitiligo.4 Vitiligo dapat muncul pada berbagai usia, dengan usia rata-rata pada pasien kaukasia adalah 24 tahun.5 Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, vitiligo paling banyak dijumpai pada kelompok usia 21-30 tahun.4 Rahman et al menemukan bahwa rata-rata usia pasien vitiligo di Bangladesh adalah 23 tahun.26

Vitiligo dapat terjadi baik pada pria maupun wanita.3,6,11,26 Perbedaan insidensi di beberapa penelitian mungkin lebih disebabkan karena perempuan tampak lebih banyak mencari pengobatan.3,6

Vitiligo dihubungkan dengan adanya riwayat keluarga pada lini pertama.6 Biasanya vitiligo diwariskan bukan dengan pola Mendel namun merupakan suatu kelainan poligenik. Saudara kembar monozigot dari pasien vitiligo sekitar 23% akan mengalami hal yang sama.6

2.1.3. Etiologi dan patogenesis

Vitiligo adalah kelainan multifaktorial, poligenik dengan patogenesis kompleks yang belum dipahami dengan baik. Dari beberapa patogenesis penyakit, yang paling diterima adalah faktor genetik dan non genetik saling berinteraksi untuk mempengaruhi fungsi dan kelangsungan hidup melanosit, yang akhirnya menyebabkan destruksi melanosit. Beberapa penulis lain mengemukakan penjelasan-penjelasan termasuk di antaranya defek adhesi melanosit, kerusakan neurogenik, kerusakan biokimia, autositotoksisitas dan lainnya.6,8,27

2.1.3.1 Hipotesis genetik

Studi epidemiologis menunjukan bahwa kebanyakan kasus vitiligo terjadi secara sporadik, walaupun sekitar 15-25% pasien memiliki satu atau lebih keluarga lini pertama yang juga terkena. Sebagian besar kasus agregasi familial menunjukan pola non-Mendelian yang memberi kesan adanya penurunan multifaktorial dan poligenik yang berperan penting dalam semua aspek patogenesis vitiligo.6,11Universitas Sumatera Utara

(27)

9

Peranan faktor genetik cukup penting pada vitiligo. Hal ini telah dihubungkan sebagai bagian dari teori tentang pewarisan genetik, autoimun dan autoinflamasi. Tipe Human leukocyte antigen (HLA) terkait vitiligo meliputi A2, DR4, DR7 dan CW6 pada kelompok keluarga Kaukasia dengan vitiligo generalisata dan penyakit autoimun, disamping itu ditemukan pula hubungan dengan kromosom 1,7 dan 17. Selain itu HLA, PTPN22, NALPI dan CTLA4 jug dihubungkan dengan kerentanan proses autoimun pada penderita vitiligo.6,28

Shaker & El-Tahlawi mengemukakan bahwa mutasi genetik padampasien vitiligo dapat menyebabkan gangguan metabolisme homosistein. Hal ini menyebabkan hiperhomosisteinemia yang diduga berhubungan dengan patogenesis vitiligo.21 Polimorfisme gen methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR) yang terletak pada kromosom 1p36.3 dan gen catalase (CAT) yaitu pada kromosom 11p13 dikaitkan dengan hiperhomosisteinemia.13

2.1.3.2 Hipotesis autoimun

Vitiligo khususnya tipe generalisata secara luas dianggap sebagai penyakit autoimun, dengan keterlibatan komponen humoral dan seluler dari sistem imun bawaan dan adaptif.29 Hal ini didukung oleh hasil penelitian epidemiologi dan klinis.

Kemampuan untuk dapat relaps dan remisi yang biasanya dijumpai pada penyakit autoimun, dapat membaik setelah terapi imunosupresif, adanya pola sitokin proinflamasi tipe T helper-1 (Th-1), dijumpainya infiltrat sel T pada daerah perilesi, dan terdapat sel T sitotoksik antimelanosit pada kulit dan sirkulasi serta antibodi antimelanosit dalam sirkulasi merupakan karakteristik yang mendukung hipotesis ini.30-

33

(28)

10

Autoantibodi anti melanosit adalah autoantibodi yang dijumpai dengan target antigen sistem melanogenik. Beberapa antigen target yaitu tirosinase, tyrosinase-related protein-1, dopachrome tautomerase dan lainnya.29 Autoantibodi ini toksik terhadap melanosit dan menghambat pembentukan melanin.29,31

Sistem kekebalan seluler juga diduga memiliki peranan pada vitiligo. Hal ini dibuktikan dengan dijumpai infiltrat inflamasi yang terdiri dari limfosit T sitotoksik pada tepi lesi vitiligo yang aktif. Sel-sel ini mengekspresikan pola sitokin tipe 1 yang memiliki aktivitas sitolisis terhadap sisa melanosit yang ada, melalui jalur granzyme / perforin.6 Homosistein sendiri diduga dapat mengaktivasi NF-ĸB dan memproduksi IL-6 pada sistem imunitas.21

2.1.3.3 Hipotesis biokimia

Kulit manusia berperan untuk menjadi melindungi tubuh dari lingkungan sekitar.

Kulit senantiasa terpapar berbagai zat-zat fisik, kimiawi dan biologik yang dapat memproduksi ROS. ROS dapat mendenaturasi protein, mengubah jalur apoptosis, merusak nukleus dan mitokondria DNA dan memediasi pelepasan sitokin proinflamasi.34

Beberapa penelitian menunjukan bukti adanya stress oksidatif di sepanjang epidermis pasien vitiligo yang disebabkan H2O2 dalam jumlah besar.34 Peningkatan kadar hydrogen peroxide (H2O2) pada epidermis daerah yang

Universitas Sumatera Utara

(29)

11

terkena, mungkin sebagian disebabkan oleh berkurangnya kapasitas antioksidan enzimatik pada keratinosit dan melanosit. Pertahanan antioksidan yang defektif membuat peningkatan kerentanan melanosit baik terhadap sitotoksitas imunologik dan terhadap sitotoksitas yang diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS ).6,34-38

Ketidakseimbangan antara produksi ROS dan kemampuan sistem biologik untuk dapat mendetoksifikasi zat reaktif atau untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif.34,35,37,39,40 Stres oksidatif diperkirakan merupakan awal peristiwa patogenik dalam terjadinya destruksi melanosit.

Pada stres oksidatif, tidak adanya aktivitas antioksidan yang memadai menyebabkan terjadinya akumulasi berlebihan dari radikal bebas, yang akan merusak zat seluler seperti protein, karbohidrat, deoxyribonucleic acid (DNA) dan lipid.40

ROS diproduksi sebagai produk sampingan proses melanogenesis di dalam melanosit dan dikendalikan oleh beberapa enzim antioksidan di epidermis seperti katalase dan glutation peroksidase. Pada vitiligo terjadi produksi berlebihan dari H2O2 yang bersifat sitotoksik terhadap melanosit melalui berbagai mekanisme.33,37,40 Oksidasi homosistein dan abnormalitas biopterin berperan dalam pembentukan ROS. Hal ini akan mengakibatkan destruksi melanosit yang berdampak perubahan pigmentasi kulit.21

(30)

12

2.1.4 Gambaran klinis

Gambaran klinis utama vitiligo adalah dijumpainya makula berwarna putih susu dengan depigmentasi yang relatif homogen dan berbatas tegas. Berdasarkan gambaran klinis khas dan riwayat alamiah vitiligo dapat diklasiflkasikan menjadi tipe segmental dan nonsegmental.6 Berdasarkan konsensus yang dibuat oleh Vitiligo European Taskforce (VETF) pada saat konferensi International Pigment Cell Conference tahun 2011, vitiligo nonsegmental memiliki karakteristik berupa makula depigmentasi dengan berbagai ukuran yang sering melibatkan kedua sisi tubuh dan cenderung simetris.41 Vitiligo universalis, vulgaris, akrofasial, campuran, fokal, dan mukosal termasuk dalam kelompok ini. Sedangkan vitiligo segmental memiliki karakteristik berupa makula depigmentasi dengan distribusi dermatom unilateral yang tidak melewati garis tengah tubuh.6 Umumnya vitiligo segmental sering mengenai anak-anak dan bercak depigmentasi menetap selama bertahun-tahun namun tetap terlokalisir. Selain itu pada vitiligo segmental sering melibatan sistem pigmentasi folikel rambut.6,41 Perbedaan antara vitiligo segmental dan nonsegmental dapat mempengaruhi prognosis dalam hal resistensi untuk repigmentasi kembali.6,8,41-46

2.1.5 Diagnosis banding

Beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan vitiligo yaitu kelainan bawaan antara lain nevus depigmentosus, tuberous sclerosis, piebaldism, Vogt- Koyanagi’s syndrome, Wardeenburg’s syndrome dan Ziprkowski-Margolis’s syndrome dan kelainan didapat seperti pityriasis versicolor, pityriasis alba, post-inflammatory hypopigmentation, lichen sclerosus et atrophicus, morphea, sarcoidosis dan leprosy.6,,11

Universitas Sumatera Utara

(31)

13

2.1.6 Diagnosis

Pemeriksaan klinis yaitu berdasarkan temuan berupa lesi kulit akuisita, bercak berwarna putih berbatas tegas pada kulit dan tidak ada berhubungan dengan inflamasi serta umumnya meluas secara sentrifugal cukup untuk menegakkan diagnosis vitiligo.3,6,11,41 Pemeriksaan lampu Wood juga dapat membantu dalam mendiagnosis yaitu tampak adanya aksentuasi lesi, khususnya pada pasien dengan tipe kulit Fitzpatrick I dan II untuk melihat area yang terlibat. Pada tipe kulit yang lebih gelap, lampu Wood dapat digunakan untuk melihat derajat depigmentasi pada masing-masing individu.6,11

2.1.7 Histopatologi

Dalam menegakkan vitiligo jarang membutuhkan biopsi kulit.6 Gambaran hasil pemeriksaan histopatologi secara umum menunjukan pada lapisan epidermis lesi kulit tampak tidak memiliki. melanosit, dijumpai infiltrat limfosit perivaskular dan perifolikular pada batas lesi awal vitiligo dan lesi aktif yang konsisten dengan adanya proses imunitas seluler yang menghancurkan melanosit secara in situ. Beberapa laporan menyatakan bahwa melanosit mungkin tidak hilang sepenuhnya dari epidermis yang mengalami depigmentasi dan melanosit residual menjaga kemampuan untuk mengembalikan fungsi.6,31

2.1.8 Sistem penilaian (skor) vitiligo

Saat ini terdapat beberapa skala penilaian yang dapat dilakukan untuk menilai vitiligo misalnya VASI, VETFa, VIDA, dan PRI.17,18,47,49

Skor ini dilakukan menilai luas daerah lesi, aktivitas penyakit, dan residu pigmentasi.9 ,4 7 -4 9

(32)

14

Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi et al dan merupakan metode yang telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan persentase dari depigmentasi dan repigmentasi. Skor VASI ini secara konseptual analog dengan skor psoriasis area severity index (PASI) yang digunakan pada psoriasis.18

Menurut Alghamdi et al, skor VASI bersama penggunaan lampu wood dan rule of nine merupakan metode yang paling baik dan mudah dilakukan yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi dan mengukur luas serta derajat vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian dan uji klinis.17,49 VASI merupakan metode pengukuran semi-objektif yang membutuhkan keahlian dari klinisi untuk mengevaluasi hasil. Hal ini membutuhkan perhatian penuh dari klinisi untuk mengamati derajat pigmentasi dan luas lesi. Dengan menggunakan skor ini hasil pengobatan vitiligo dapat dievaluasi.17

Dalam penghitungan skor VASI tubuh penderita dibagi menjadi enam bagian yaitu tangan, anggota gerak atas (tidak termasuk tangan), badan, tungkai (tidak termasuk kaki), kaki, leher dan kepala. Daerah lipatan ketiak dimasukkan dalam anggota gerak atas sedangkan daerah sela paha dan bokong dimasukan dalam tungkai . Satu hand unit, yang mencakup telapak tangan dan permukaan volar dari jari tangan diperkirakan sebanyak 1% dan digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat di setiap bagian. Derajat depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai dengan skor 0%,10%, 25%, 50%, 75%, 90%, 100%. Pa d a derajat 100% depigmentasi berarti tidak ada pigmen yang tampak, pada derajat 90%

berarti terdapat sedikit bercak pigmen yang tampak, pada derajat 75% berarti area pigmentasi masih tampak jelas namun area depigmentasi lebih luas, pada derajat 50% berarti area yang mengalami depigmentasi dan yang mengalami pigmentasi adalah sama banyak, pada derajat 25% berarti area pigmentasi melebihi area depigmentasi, pada derajat 10% berarti hanya terdapat sedikit bercak depigmentasi, dan 0% tidak terdapat bercak depigmentasi.17,49,50

Universitas Sumatera Utara

(33)

15

Panduan penilaian gambaran depigemntasi/repigmentasi dapat dilihat pada gambar 2.1. Untuk setiap bagian tubuh skor VASI ditentukan dengan menjumlahkan area vitiligo dalam hand units dan derajat depigmentasi dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan skor minimal 0 sampai dengan skor maksimal 100 menggunakan rumus berikut.17,49,50

VASI = Ʃ Hands Unit x Depigmentasi

Gambar 2.1 Derajat depigmentasi VASI. Panduan yang telah distandarisasi untuk memperkirakan derajat pigmentasi pada vitiligo (dikutip dari kepustakaan no.50)

(34)

16

2.1.9. Penatalaksanaan

Prinsip dasar penanganan vitiligo adalah memfasilitasi agar melanosit aktif yang mampu bermigrasi dapat bertahan pada lesi depigmentasi untuk selanjutnya mensintesis melanin. Berbagai strategi penatalaksanaan telah dirancang untuk mengurangi terjadinya destruksi melanosit dan meningkatkan repopulasi melanosit.

Mekanisme kerjanya dengan cara menstimulasi penyembuhan melanosit dan dengan mereaktivasi melanosit residual atau menstimulasi migrasi melanosit dari kulit atau folikel rambut yang berdekatan. Repigmentasi ini sendiri dapat terjadi secara spontan maupun oleh karena pengobatan.6

Terapi vitiligo yang tersedia saat ini antara lain berupa pengobatan secara topikal, sistemik, terapi fisik dan pembedahan. Terapi lini pertama untuk vitiligo adalah kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin topikal serta penyinaran baik dengan narrowband UVB atau sinar UVA yang dikombinasi dengan psoralen sistemik merupakan. Adapun terapi lini kedua dari vitiligo antara lain kalsipotriol topikal, kombinasi penyinaran UVA dengan psoralen topikal, penyinaran dengan laser excimer, kortikosteroid sistemik dan pembedahan dengan graft atau transplantasi melanosit.6,11,42,51-54

Beberapa penelitian mencoba melihat manfaat pemberian suplementasi vitamin dalam penatalakasanaan vitiligo. Juhlin & Olsson melakukan penelitian dengan menggabungkan 1 mg vitamin Bl2 dan 5 mg asam folat yang diminum dua kali sehari ditambah edukasi untuk berjemur di sinar matahari dan mendapatkan hasil yang baik.17

Penelitian lain oleh Don et al dengan broadband UVB dengan penambahan 500 mg vitamin C, 1 mg vitamin B12 dan 5 mg asam folat yang diberikan dua kali sehari juga tampak menjanjikan.18 Perbaikan yang diperoleh dengan penambahan vitamin B12 dan asam folat pada vitiligo ini diduga berhubungan dengan peranan keduanya dalam

Universitas Sumatera Utara

(35)

17

menurunkan kadar homosistein, dimana kadar homosistein yang berlebihan dikaitkan dengan etiopatogenesis vitiligo.17,18,55

2.2 Homosistein

Pada tahun 1932, Butz dan du Vigneaud pertama kali menjabarkan mengenai homosistein. Homosistein adalah asam amino bersulfur yang tidak membentuk protein.13 Metabolisme homosistein berada di persimpangan antara dua jalur metabolik, yaitu: jalur remetilasi dan jalur transulfurasi.10-12

Jalur remetilasi terlibat dalam siklus sintesis metionin. Metionin sendiri dapat diperoleh dari diet makanan atau dibentuk dari daur ulang homosistein. Pada jalur remetilasi, homosistein mendapat gugus metil dari N-5-methyltetrahydrofolate atau dari betaine untuk membentuk metionin. Reaksi dari N-5- methyltetrahydrofolate terjadi pada semua jaringan dan sangat bergantung pada vitamin B12, sedangkan reaksi dengan betaine yang terutama terjadi pada liver tidak bergantung pada vitamin B12. Sejumlah metionin yang terbentuk lalu diaktivasi oleh adenosine triphosphate untuk membentuk S-adenosylmethionine (SAM).10-12

SAM yang mengandung kelompok metil yang sangat reaktif kemudian ditransferkan ke berbagai substrat akseptor, termasuk asam nukleat DNA dan asam ribonukleat, protein, fosfolipid, myelin, polisakarida, choline, katekolamin dan sejumlah besar molekul-molekul kecil. Reaksi metilasi ini akan menghasilkan S-adenosyl-l- homocysteine (SAH) yang selanjutnya dihidrolisis dengan reaksi reversibel menjadi homosistein yang kemudian didaur ulang menjadi metionin dan SAM atau diarahkan ke jalur transulfur.10-12

(36)

18

Secara normal, sekitar 50% dari homosistein yang terbentuk akan diremetilasi.

Sisa homosistein akan diubah melalui jalur transulfur menjadi sistein dalam dua reaksi yang membutuhkan vitamin B6 sebagai kofaktor. Jalur ini penting untuk sintesis glutation. Glutation melindungi banyak komponen seluler dari kerusakan oksidatif. 10,11

Pada jalur transulfurasi, homosistein berkondensasi dengan serine untuk membentuk sistationin melalui reaksi reversibel yang dikatalisis oleh enzim yang mengandung pyridoxal-50-phosphate (PLP) , yaitu cystathionine synthase. Sistationin yang terbentuk lalu dihidrolisis oleh enzim sistationase untuk membentuk sistein dan ketobutirat. Sistein yang berlebihan lalu dioksidasi menjadi taurine atau menjadi sulfat inorganik atau diekskresikan melalui urin. Dengan demikian selain untuk membentuk sistein, jalur transulfurasi secara efektif mengkatabolisis homosistein berlebihan yang tidak dibutuhkan untuk transfer gugus metil.10,11

Tiga enzim yang terlibat secara langsung dalam metabolisme homosistein ini, yaitu: methionin synthase (MS), betaine homocysteine methyltransferase dan cysthationine-β-synthase (CBS). Vitamin B12 adalah kofaktor MS sedangkan B6 merupakan kofaktor CBS. Methyltetrahydrofolate (methylTHF) adalah substrat dalam reaksi yang diperantarai MS. Reaksi ini juga penting bagi pembentukan folat aktif yang dibutuhkan untuk sintesis purin dan timidin, maka dari itu penting juga bagi sintesis dan perbaikan.10,11

Universitas Sumatera Utara

(37)

19

Kebanyakan jaringan bergantung pada gugus metil yang diturunkan dari daur ulang homosistein yang diperantarai oleh MS. Reaksi ini secara tidak langsung diregulasi oleh aktivitas MTHFR dimana enzim ini memediasi pembentukan methylTHF. Enzim ini memiliki pengaruh yang besar secara tidak langsung terhadap remetilasi homosistein.10,11 Metabolisme homosistein secara skematis dijabarkan pada gambar 2.2.

Gambar 2. 2 Metabolisme homosistein (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan nomor 9)

Nilai normal kadar homosistein adalah 5-15 µmol/L.10 Kadarnya dapat dipengaruhi genetik, kadar vitamin dalam darah, jenis kelamin, usia, gaya hidup, obat- obatan, penyakit-penyakit hiperproliferasi, gagal ginjal dan gagal jantung, serta diabetes mellitus. Pengaruh faktor-faktor tersebut dalam kelainan yang berhubungan dengan homosistein telah menjadi lahan penelitian yang sangat aktif.10,11

Semakin banyaknya jumlah variasi gen yang meregulasi enzim yang terlibat

(38)

20

yang mengakibatkan bentuk thermolabile dari MTHFR menyebabkan berkurangnya aktivitas enzim.10,23 Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar homosistein rata-rata sekitar 25%.13

Seiring bertambahnya usia terjadi peningkatan kadar homosistein. Hal ini mungkin terjadi karena faktor gaya hidup ditambah dengan adanya malabsorpsi yang disebabkan gastritis, berkurangnya metabolisme, menurunnya fungsi ginjal dan keadaan fisiologis lainnya.56

Kadar homosistein pada wanita lebih rendah dibandingkan pada pria.5 5 - 5 9

Perbedaan di antara jenis kelamin ini dapat dijelaskan oleh status hormonal, massa otot yang lebih besar pada laki-laki dan perbedaan gaya hidup di antara wanita dan pria.

Setelah menopause, perbedaan ini tidak dijumpai, namun konsentrasi tetap lebih rendah pada wanita. Wanita hamil memiliki kadar homosistein yang lebih rendah dibandingkan wanita yang tidak hamil, diduga karena volume plasma yang lebih besar pada wanita hamil, peningkatan tingkat metabolisme, dan filtrasi glomerulus.10

Merokok memiliki hubungan yang kuat dengan peningkatan kadar homosistein. Efek merokok pada kadar homosistein juga semakin diperkuat oleh adanya asupan alkohol yang tinggi, konsumsi kopi dan nutrisi yang tidak memadai.

Olahraga yang kurang, obesitas dan bahkan stres berhubungan dengan peningkatan kadar homosistein. Maka dari itu faktor gaya hidup yang tidak seha t mungkin menjadi penjelasan utama terjadinya peningkatan homosistein.10

Selain itu ada beberapa obat yang berinteraksi dengan metabolisme homosistein yang menyebabkan reduksi absorbsi kofaktor atau peningkatan tingkat katabolisme vitamin.13

Universitas Sumatera Utara

(39)

21

2.3 Hubungan Kadar Homosistein dengan Skor VASI

Dikemukakan bahwa pasien vitiligo lebih cenderung rnengalami anemia pernisiosa dan defisiensi vitamin B12. Asam folat dan vitamin B12 merupakan kofaktor enzim homosistein metil transferase yang berfungsi dalam regenerasi metionin dari homosistein pada siklus remetilasi. Defisiensi kedua vitamin ini dapat menyebabkan keadaan hiperhomosisteinemia.20,60

Zaki et al membandingkan kadar homosistein serum pada 30 subjek vitiligo dan kontrol dalam jumlahnya yang sama. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan antara kelompok vitiligo (11,35± 3,14 µmol/L) dan kontrol (10,49 ± 1,68 µmol/L) dan tidak ada hubungan antara kadar homosistein serum dengan durasi penyakit dan aktivitas penyakit. Namun dijumpai hubungan positif dengan usia pasien.22

Singh et al melakukan penelitian pada 200 pasien vitiligo dan 75 kontrol.

Homosistein serum pada pria (31,0±7,8 µmol/L) lebih tinggi dibandingkan pada wanita (22,0 ± 4,2 µmol/L) dengan kadar pada kelompok vitiligo aktif (30,2 ± 6,5µmol/L) lebih tinggi daripada kontrol (23,1 ± 1,9µmol/L).20

Yasar et al meneliti 40 pasien vitiligo dan 40 kontrol dan tidak menemukan perbedaan signifikan kadar homosistein. Tidak dijumpai hubungan signifikan antara kadar homosistein dengan aktivitas penyakit dan polimorfisme gen MTHFR.23

Sabry et al menemukan perbedaan signifikan antara kadar homosistein kelompok vitiligo (17,77 ± 7,72 µmol/L) dan kelompok kontrol (11,81 ± 3,41 µmol/L). Kadar homosistein pada lelaki (21,84 ± 10,76 µmol/L) lebih tinggi secara

(40)

22

menemukan terdapat hubungan antara kadar homosistein dengan luas vitiligo (r=0,559), namun tidak dijumpai hubungan antara kadar homosistein dengan usia pasien, tipe klinis dan durasi penyakit.19

Ghalamkarpour et al menemukan terdapat perbedaan signifikan antara kadar homosistein pasien vitiligo dengan kelompok kontrol. Pada pria (15 -22 µmol/L) kadarnya dijumpai lebih tinggi dibandingkan pada wanita (10-16,5 µmol/L). Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara kadar homosistein dengan skor VASI (r=o,25 ; p=0,08), luas permukaan tubuh (r=0,22; p=0,12), dan durasi penyakit (r=0,08; p=0,56).24

Hasil yang berbeda dijumpai oleh Agarwal et al. Penelitian ini membandingkan kadar homosistein serum pada 50 pasien vitiligo dengan 35 kontrol sehat. Pada studi ini ditemukan perbedaan signifikan antara kadar homosistein serum pasien vitiligo (15,39 ± 7,2 µmol/L) dan kontrol (11,88 ± 4,81µmol/L), dan dijumpai adanya hubungan antara kadar homosistein serum dengan durasi penyakit (r=0,416; p=0,003), skor VASI (r=0,567; p=0,000) dan tipe vitiligo. Namun penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan antara kadar homosistein dengan usia (r=0,020;

p=0,893).13

Hasil ini merupakan hal yang logis karena metabolism homosistein bergantung pada asam folat dan vitamin B12, dimana keduanya rendah pada pasien vitiligo. Kenaikan kadar homosistein dijumpai baik pada penyakit yang aktif maupun stabil namun tidak pada pasien yang regresif, yang menunjukan kemungkinan hubungan dengan vitiligo, setelah seluruh faktor yang mungkin memepengaruhi telah dieksklusikan.19-21,25

Universitas Sumatera Utara

(41)

23

Beberapa teori mungkin dapat menjelaskan kemungkinan pengaruh peningkatan homosistein terhadap melanosit pada pasien vitiligo. Peningkatan kadar homosistein menyebabkan produksi ROS yang terbentuk akibat oksidasi homosistein bersamaan dengan abnormalitas biokimia lainnya pada vitiligo seperti metabolisme biopterin.

Hal ini mengakibatkan terjadinya stres oksidatif pada melanosit, akumulasi bahan melanositotoksik dan inhibisi proses detoksifikasi alamiah yang akhirnya berkontribusi dalam menghancurkan melanosit pada kulit vitiligo. Fakta bahwa asam folat memiliki efek antioksidan pada vitiligo mendukung hipotesis ini.19-21,25

Homosistein juga dapat menghambat enzim histidase dan tirosinase kulit.

Inhibisi ini terjadi kemungkinan melalui interaksi dengan tembaga pada lokasi aktif enzim. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang mungkin bahwa peningkatan homosistein lokal dapat mengganggu melanogenesis normal dan memiliki peranan dalam patogenesis vitiligo.12,21,23,24,60

Terdapat kemungkinan hubungan antara gen yang meregulasi metabolisme homosistein plasma dengan kerentanan terjadinya vitiligo. Salah satu gen yang diduga berhubungan adalah gen CAT. Mutasi pada gen ini dapat menyebabkan aktivitas katalase yang rendah yang dapat terdeteksi pada pasien vitiligo.39 Gen lainnya yang disebut berperan adalah gen MTHFR yaitu gen untuk enzim yang berperan dalam siklus remetilasi homosistein untuk menjadi metionin. Adanya polimorfisme pada gen ini menyebabkan kegagalan sintesis metionin yang mengakibatkan peningkatan kadar homosistein dalam darah. Penelitian lebih lanjut mengenai pola mutasi gen masih perlu dilakukan.21,23

(42)

24

Efek yang berbahaya dari hiperhomosisteinemia juga mungkin dikarenakan akibat reaksi homosistein dengan protein membentuk disulfide. Hal ini mungkin karena konversi homosistein menjadi tiolakton yang sangat reaktif yang dapat bereaksi dengan protein membentuk suatu tambahan gugus nitro hydroxyl carbon monoxide, yang mempengaruhi protein dan enzim tubuh.21

Homosistein dikatakan memperantarai destruksi melanosit melalui produksi IL-6 yang dapat meningkatkan ekspresi intercellular adhesion molecule-1 yang merangsang melekatnya melanosit ke leukosit, menginduksi aktivasi sel- B poliklonal, meningkatkan produksi autoantibodi.61 Selain itu homosistein dapat merangsang aktivitas NF-KB yang diteliti dapat memodulasi ekspresi pro- appoptosis p53 pada lesi vitiligo.62 Hal ini dapat menyebabkan kerusakan melanosit pada vitiligo.61,62

Universitas Sumatera Utara

(43)

25

2.4 Kerangka Teori

HOMOSISTEIN

Hipotesis biokimia Inhibisi

detoksifikasi alamiah Akumulasi bahan

melanositotoksik Stres oksidatif

Produksi ROS

↑ oksidasi

Hipotesis autoimun

Merangsang melekatnya melanosit ke leukosit, menginduksi aktivitas sel B poliklonal,

↑ produksi autoantibodi

Produksi IL-6

Destruksi melanosit

↑pro apoptosis p53 Aktivasi NF-ĸB

Hipotesis genetik Polimorfisme genetik

- Gen MTHFR kromosom 1p36.3 - Gen CAT kromosom 11p13

Usia, jenis kelamin,kadar vitamin dalam darah, gaya hidup, obat-obatan, penyakit-penyakit hiperproliferasi, gagal ginjal, gagal jantung, diabetes mellitus.

Interaksi dengan tembaga pada lokasi aktif enzim tirosinase

Mempengaruhi protein dan enzim tirosinase

Membentuk disulfide Bereaksi dengan protein

Konversi menjadi tiolakton

Inhibisi tirosinase

Destruksi melanosit

(44)

26

2.5. Kerangka Konsep

Gambar 2.4. Kerangka konsep 2.6. Hipotesis Penelitian

2.6.1. Hipotesis mayor

Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor Vitiligo Area Scoring Index.

2.6.2. Hipotesis minor

1. Terdapat perbedaan antara kadar homosistein serum pasien vitiligo dengan kontrol sehat.

2. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin pada pasien vitiligo.

3. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan usia pada pasien vitiligo.

4. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan riwayat keluarga pada pasien vitiligo.

Kelompok Vitiligo

Kelompok kontrol Vitiligo Area

Scoring Index

Jenis kelamin Usia

Riwayat keluarga

Lama mengalami Kadar homosistein

serum

Universitas Sumatera Utara

(45)

27

5. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan lama mengalami vitiligo.

Gambar

Gambar    2.1    Derajat  depigmentasi  VASI.  Panduan  yang    telah      distandarisasi    untuk  memperkirakan  derajat  pigmentasi  pada  vitiligo (dikutip dari kepustakaan no.50)
Gambar 2. 2 Metabolisme homosistein (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan     nomor 9)
Gambar 2.4. Kerangka konsep  2.6.      Hipotesis Penelitian
Gambar  1. Derajat depigmentasi VASI

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui hubungan antara kadar asam urat serum pada penderita psoriasis vugaris dengan skor Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity

Dalam meta-analisis ini, satu penelitian menunjukkan kadar seng darah lebih rendah pada vitiligo generalisata dan pasien yang lebih muda, namun tiga penelitian menunjukkan

FINS.DV, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, sebagai Guru Besar, yang telah memberikan

Pada penelitian ini dapat disimpulkan terdapat hubungan antara derajat keparahan penyakit vitiligo (VASI) dengan kualitas hidup (DLQI) yang bermakna

Simpulan pada penelitian ini adalah kadar seng plasma subyek vitiligo lebih rendah dibandingkan subyek bukan vitiligo serta terdapat korelasi lemah namun

penelitiaan ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh kadar nitric oxide dalam serum terhadap skor Psoriasis Area and Severity Index , sehingga bermanfaat dalam tujuan

saya melakukan penelitian dengan judul “Hubungan kadar asam urat serum penderita psoriasis vulgaris dengan skor Psoriasis Area And Severity Index ”.. Tujuan penelitian saya

jalani, saya melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara Kadar Prolaktin dalam Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index ”..