• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 7 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 7 Universitas Kristen Petra"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1. Retail

Retail adalah serangkaian kegiatan usaha yang memberikan nilai tambah pada produk dan jasa yang dijual kepada konsumen untuk penggunaan pribadi atau keluarga (Levy & Weitz, 2007). Retail sering kali dianggap sebagai penjualan barang-barang fisik secara eceran di dalam sebuah toko saja, tetapi sebenarnya retail tidak hanya dianggap sebagai penjualan barang fisik tetapi juga bisa meliputi penjualan jasa seperti penginapan di hotel, jasa potong rambut.

Berman dan Evans (2001) menambahkan bahwa retail adalah suatu aktifitas bisnis yang meliputi penjualan produk dan jasa kepada konsumen untuk keperluan pribadi, keluarga, dan untuk persediaan keperluan rumah tangga. Bisa dilihat bahwa aktifitas retail ini tidak hanya terdiri dari satu kegiatan saja melainkan dari minimal dua kegiatan yang saling mempengaruhi dan berhubungan sehingga dapat menciptakan kegiatan perdagangan tersebut. Berman dan Evans (2001) juga mengatakan bahwa bisnis retail ini adalah penjualan produk dan jasa kepada konsumen akhir, tetapi jika melihat kondisi sekarang tidak jarang ditemukan konsumen yang menjual kembali barang yang telah dibeli.

2.1.1. Jenis Retail

Menurut Levy dan Weitz dalam bukunya “Retailing Management” (2007) retail dapat dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu:

a. Food retailers Supermarket

Supermarket atau yang biasa disebut dengan pasar swalayan adalah toko yang menjual kebutuhan sehari-hari dimulai dari bahan makanan, minuman, keperluan dan peralatan rumah tangga, toiletries. Supermarket modern kini juga telah menganut konsep

(2)

dimana konsumen bisa mecari dan mengambil barang keperluannya sendiri atau yang biasa disebut self service.

Contoh: Hero Supermarket, Superindo, Ranch Market  Hypermarket

Hypermarket hamper sama dengan supermarket tetapi disini varian produk yang dijual lebih banyak dikarenakan ukurannya yang lebih besar dengan luas mencapai 100.000-300.000 m2.

Contoh: Hypermart, Giant.  Convenience store

Minimarket adalah semacam toko kelontong yang juga menjual kebutuhan sehari-hari namun terbatas tidak seperti supermarket dan lokasi yang dipilih biasanya terletak di daerah pemukiman guna untuk menjangkau konsumen di pemukiman tersebut. Jam operasional dari kebanyakan minimarket adalah 24 jam.

Contoh: Alfamart, Alfamidi, Indomart b. General merchandise retailers

Department store

Menangani beberapa bagian penjualan produk di bawah satu atap, sebuah department store menyediakan variasi produk belanja dan produk-produk khusus secara luas termasuk pakaian, kosmetik, peralatan rumah tangga, dan alat-alat elektronik. Pembelian dan pembayaran biasanya dilakukan di setiap bagian masing-masing agar lebih efisien dalam pelayanan, pembelian, dan pengawasan. Contoh: Ramayana, Matahari, Sogo

Speciality store

Speciality store adalah toko yang khusus menjual suatu barang dagangan tertentu saja. Format ini memungkinkan pengecer memperhalus strategi segmentasi mereka dan menempatkan produknya di target pasar yang spesifik.

(3)

Drugstore

Drugstore adalah toko yang menjual produk berkaitan dengan farmasi seperti obat-obatan. Tetapi dalam prakteknya tidak sedikit drugstore yang juga menjual barang miscellaneous seperti permen, kosmetik, toiletries, majalah.

Contoh: Guardian, Apotik Kimia Farma, Century  Full-Line Discount Store

Tipe retail ini menjual variasi merchandise yang luas dengan harga yang rendah dan merk yang terdapat di dalamnya adalah merk pribadi dan merk umum. Tetapi merk yang terdapat disini biasanya tidak sebagus seperti yang ada di Department store.

Contoh: Wal-Mart.  Category specialist

Category specialist adalah toko diskon dengan ukuran yang besar dan menawarkan berbagai macam jenis produk dengan harga yang murah.

Contoh: Toy”R”

Extreme Value Retailers

Extreme Value Retailers adalah sebuah toko kecil dan termasuk toko diskon dengan lini penuh yang menawarkan produk yang terbatas dengan harga yang sangat murah.

Contoh: Toko serba lima ribu c. Nonstore Retailers

Electronic Retailers

Electronic retaiers atau yang biasa disebut dengan e-tailling, online retailing, dan internet tailing adalah format retail di mana peretail berkomunikasi dengan konsumen dan menawarkan barang dan jasa yang dijual melalui internet.

(4)

Catalog and Direct-Mail Retailers

Catalog retailing adalah format retail bukan toko dimana mereka menawarkan produknya menggunakan catalog atau brosur.

Contoh: Oriflame, Sophie Martin  Direct Selling

Direct selling atau penjualan secara langsung adalah format retail yang menggunakan sales people yang secara langsung mendatangi konsumen di satu lokasi.

Contoh: Tianshi

Television Home Shopping

Television home shopping atau yang biasa disebut dengan T-commerce atau teleshopping adalah format retail di mana konsumen menonton suatu program TV yang mendemonstrasikan produk yang mereka tawarkan dan kemudian biasanya melakukan pemesanan akan produk tersebut melalui telepon.

Contoh: Inovation store Vending Machine Retailing

Vending machine retailing adalah format retail bukan toko di mana produk yang dijual tersimpan di dalam vending machine. Produk tersebut akan keluar jika konsumen telah membayar menggunakan uang. Vending machine ini biasanya terletak di minimarket dan produk yang ditawarkan berupa snack dan minuman.

Contoh: Get & Go Express  Services Retailing

Services retailing adalah jenis retail yang lebih banyak menyediakan pelayanan daripada barang yang dijual.

(5)

2.1.2. Services Retailing

Services retailer pada masa kini mengalami pertumbuhan yang cepat dan terus bertumbuh setiap waktunya. Telah banyak jenis usaha yang termasuk ke dalam service retailer, sebagai contoh seperti berikut:

Tabel 2.1 Contoh-contoh Services Retailers

Type of Service Service Retail Firms

Restaurants TGI Friday’s, Wendy’s

Banks Citibank, Bank of America

Fitness Gold’s Gym

Airlines Singapore Airlines

Insurance Allstate

Sumber: Levy & Weitz (1998)

Beberapa contoh yang dikemukakan oleh Levy & Weitz tersebut dulunya hanya menganggap diri mereka sebagai penjual jasa kepada konsumen, tetapi dengan persaingan yang semakin ketat, maka beebrapa usaha tersebut mulai mengadopsi retailing principles yaitu untuk menarik konsumen dan memuaskan kebutuhan mereka. Sebagai contoh suatu bank yang mengadopsi retailing principle yaitu dengan melayani nasabah dengan pelayanan yang baik dan sesuai dengan keinginan pelanggan, kemudian menempatan tempat bank tersebut di dalam sebuah mall demi kenyamanan.

Semua retailer layaknya menyediakan dan menjual barang dan jasa kepada konsumen yang membutuhkan, tetapi ada perbedaan tersendiri antara services retailer dengan merchandise retailer. Berikut adalah gambar yang menjelaskan tentang merchandise/service continuum

(6)

All Goods/No Services All Services/No Goods

Gambar 2.1 Merchandise/Service Continuum Sumber: Levy & Weitz (1998)

Jika dilihat berdasarkan continuum yang dikemukakan oleh Levy & Weitz (1998), dapat dilihat di sisi sebelah kiri terdapat category specialist yang juga menganut konsep self-service shop dan berorientasi kepada penjualan barang, tetapi juga ada sisi pelayanan yang diberikan seperti karyawan yang dapat menjawab pertanyaan konsumen jika dibutuhkan, membantu mendemonstrasikan produk, dan membuat rekomendasi. Setelah itu bergeser ke kanan yaitu speciality store yang menyediakan pelayanan lebih banyak lagi seperti layanan bungkus kado. Ditengah-tengah dapat dilihat yaitu optical center dan restoran yang bisa dianggap hampir sama, ini disebabkan karena optical center selain menjual kacamata, dan soflens, mereka juga memberikan pelayanan seperti pemeriksaan mata, dan pembuatan kacamata. Sama halnya dengan restoran yang menyediakan makanan dengan tempat yang disediakan, latar belakang music, suasana yang menyenangkan. Bergeser ke kanan dapat ditemukan bahwa retailer semakin banyak menjual pelayanan saja seperti airline yang menjual pelayanan penerbangan tetapi juga masih menjual makanan untuk dikonsumsi di pesawat dan berbagai souvenir.

2.2. Restaurant

Salah satu industri yang termasuk dalam service retailing dan bergerak dalam bidang jasa adalah industri restoran. Kata restoran sendiri berasal dari bahasa Prancis restaurant yang berarti “restorer of energy” atau bisa disebut untuk mengembalikan tenaga lagi. Istilah tersebut pada pertengahan tahun 1700 juga digunakan untuk

Category specialist Speciality store Optical center

Restaurant Airline Banks/ University

(7)

menjelaskan sebagai tempat yang menyediakan sup dan roti. Restoran juga merupakan sebuah industri layanan jasa yang menuntut sebuah service quality yang baik agar dapat memuaskan konsumen.

Definisi restoran menurut Powers (2003) adalah setiap tempat umum yang khusus menjual makanan untuk di konsumsi di suatu tempat atau tanpa tempat. Walker (2004) berpendapat bahwa restoran adalah salah satu tempat dimana pengunjung dapat menggunakan alat indra untuk menikmati pelayanan tertentu. Di lain sisi menurut Ninemeier dan Hayes (2006) restoran adalah suatu operasi layanan makanan yang mendatangkan keuntungan yang mana basis utamanya termasuk di dalamnya adalah penjualan makanan/minuman kepada setiap individu atau para tamu dalam kelompok kecil.

2.2.1. Jenis-jenis Restoran

Menurut Powers dan Barrows (1994), restoran dapat memenuhi kebutuhan sosial dan biologis. Maka dari itu restoran dapat terbagi menjadi dua yaitu dining market dan eating market.

a. Dining Market

Restoran ini mengutamakan pemenuhan kebutuhan social dan di sini menuntut kualitas pelayanan yang terbaik. Macam-macam jenisnya antara lain:

Fine-Dining Restaurant

Restoran fine-dining pada umumnya kecil dan hanya bisa mengakomodasi kurang dari 100 tamu. Meskipun kapasitas restoran ini kecil tetapi restoran ini tetap bisa hidup dikarenakan kualitas makanan dan layanan mereka yang terbaik.

Casual Upscale Dining

Restoran ini menganut tema dan konsep agar tamu dapat bersantai dan dapat menikmati suasana tenang. Jenis menu yang dihidangkan, dekorasi interior dan eksterior restoran ini juga disesuaikan dengan tema yang dianut.

(8)

b. Eating Market

Restoran ini lebih mementingkan pemenuhan akan kebutuhan biologis saja. Macam-macam jenisnya antara lain:

Take-Out

Jenis ini biasanya diadopsi oleh restoran cepat saji dimana mereka menyajikan makanan yang umumnya di bawa pulang (take-out). Maka konsumen disini cenderung membeli makanan lalu dibawa pulang.

Drive-Through

Disini konsumen dapat memesan makanan langsung dari dalam kendaraan mereka masing-masing tanpa harus masuk ke dalam restoran. Menu yang disajikan biasanya merupakan menu makanan cepat saji.

Delivery

Jenis ini hampir sama dengan take-out hanya perbedaannya dalam memesan makanan konsumen hanya perlu memesan melalui telepon, internet, dan kemudian pesanan akan diantar ke tempat yang dituju.

2.3. Customer Value

Customer value menurut Kotler dan Keller (2012) adalah selisih antara evaluasi calon pelanggan atas semua manfaat serta semua biaya tawaran tertentu dan alternatif-alternatif lain yang dipikirkan. Nilai pelanggan total (total customer value) adalah nilai moneter yang dipikirkan atas sekumpulan manfaat ekonomis, fungsional, dan psikologis, yang diharapkan oleh pelanggan atas tawaran pasar tertentu. Biaya pelanggan total (total customer cost) adalah sekumpulan biaya yang harus dikeluarkan pelanggan untuk mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan, dan membuang tawaran pasar tertentu, termasuk biaya moneter, waktu, energi, dan psikis (Kotler & Keller, 2012).

(9)

Sedangkan menurut Schiffman dan Kanuk (2004) customer value adalah rasio antara manfaat yang didapat oleh konsumen baik secara ekonomi, fungsional, maupun psikologis terhadap sumber-sumber (uang, waktu, tenaga, psikologis) yang digunakan untuk memperoleh manfaat-manfaat tersebut, yaitu manfaat produk yang berhubungan dengan keandalan, daya tahan, kinerja, nilai jual kembali dari produk dan jasa yang ditawarkan.

Albrecht (1994) mengungkapkan terdapat tujuh elemen yang dapat membentuk infrastruktur dalam customer value, yaitu:

a. Environmental, the physical setting in which the customer experiences the products. Elemen ini adalah lingkungan fisik di mana konsumen alami atau rasakan berhubungan dengan produk tersebut.

b. Sensory, the direct sensory experience, if any, that the consumer encounters. Elemen ini meliputi apa yang terlihat, terdengar, rasa, sensasi fisik, sakit, tidak menyenangkan, reaksi emosi, ciri-ciri estetik dari item barang dagangan, dan perasaan yang berkaitan dengan psikologis dari lingkunagn konsumen. c. Interpersonal, the interaction the customer has with employees or, in some

cases, with other customers, as part of the loyal experience. Elemen interpersonal adalah interaksi yang terjadi antara konsumen dengan staf atau konsumen lain, di mana hal ini merupakan bagian dari keseluruhan pengalaman yang meliputi keramahan, rasa bersahabat, penampilan fisik, membantu, dan kompetensi staf dalam bertugas.

d. Procedural, the procedures you ask the customer to go through in doing business with you. Elemen ini merupakan prosedur yang diterapkan oleh badan usaha pada saat melayani konsumen secara langsung.

e. Deliverable, anything the customer physically takes custody of during the service experience, even if only temporarily. Elemen ini dimaksudkan pada segala sesuatu yang dialami konsumen pada saat mendapatkan pelayanan, bahkan pada hal-hal yang bersifat sementara, seperti kecepatan pengiriman produk.

(10)

f. Informational, aspects of the customer experience that involves getting the information needed to function as customer. Elemen ini dapat berupa semua informasi yang dibutuhkan oleh konsumen sampai dengan hal yang sederhana seperti suatu benda atau fasilitas yang membuat konsumen harus tahu kemana.

g. Financial, what customers pay for the total experience. In most cases it’s obvious: it’s price. In others, it may be less obvious. Hal ini berkaitan dengan segala sesuatu yang konsumen bayar atau korbankan demi mendapatkan pengalaman dari produk tersebut.

Sweeney & Soutar (2001) mengembangkan skala PERVAL (Perceived Value) yang dimaksudkan untuk menilai persepsi pelanggan terhadap nilai suatu produk konsumen. Menurut Sweeney & Soutar (2001) dimensi nilai terdiri dari empat aspek utama, yaitu:

a. Emotional value, utilitas yang berasal dari perasaan atau afektif atau emosi positif yang ditimbulkan dari mengkonsumsi produk.

b. Social value, utilitas yang didapat dari kemampuan produk untuk meningkatkan konsep diri-sosial konsumen.

c. Quality/performance value, utilitas yang didapat dari produk karena reduksi biaya jangka pendek dan biaya jangka panjang.

d. Price/value of money, utilitas yang diperoleh dari persepsi terhadap kinerja yang diharapkan dari suatu produk atau jasa.

2.4. Experiential Value

Experiential value mengacu pada persepsi konsumen atas produk dan layanan melalui pemakaian langsung atau observasi secara tidak langsung (Mathwick, Malhotra, & Rigdon, 2001). Menurut Schmitt (1999) dengan tren konsumsi yang telah bergeser dari produk ke pengalaman, maka pengalaman yang dapat diciptakan ke konsumen bisa menjadi keberhasilan tersendiri bagi perusahaan. Schmitt (1999) juga mengartikan experiential value sebagai utilitarian dan hedonic value yang

(11)

konsumen rasakan melalui lima dimensi yaitu melalui sensing, feeling, thinking, acting, dan relating.

a. Sense experience

Sense experience didefinisikan sebagai usaha penciptaan pengalaman yang berkaitan dengan panca indra melalui pengelihatan, suara, sentuhan, rasa, dan bau. Hal tersebut digunakan untuk mendiferensiasikan badan usaha dan produknya di pasar, dan untuk memotivasi konsumen agar mau membeli produk tersebut dan menyampaikan value kepada konsumen.

b. Feel experience

Feel experience adalah strategi dan implementasi untuk memberikan pengaruh merek kepada konsumen melalui komunikasi (iklan), produk (kemasan dan isinya), identitas produk (co-branding), lingkungan, website, dan orang yang menawarkan produk. Feel experience timbul sebagai hasil kontak dan interaksi yang berkembang sepanjang waktu, di mana dapat dilakukan melalui perasaan dan emosi yang ditimbulkan. Tujuan dari feel experience ini adalah untuk menggerakan stimulus emosional (events, agents, objects) sebagai bagian dari feel strategies sehingga dapat mempengaruhi emosi dan suasana hati konsumen.

c. Think experience

Tujuan dari experience ini adalah mendorong konsumen sehingga tertarik dan berpikir secara kreatif sehingga dapat menghasilkan evaluasi kembali mengenai perusahaan dan merek tersebut. Think experience lebih mengacu pada future, focused, value, quality, growth dan dapat ditampilkan melalui inspirasional, high technology, surprise.

Ada beberapa prinsip yang terkandung dalam think experience yaitu: Surprise

Surprise merupakan dasar penting dalam memikat konsumen untuk berpikir kreatif, di mana surprise timbul sebagai akibat jika konsumen merasa mendapatkan sesuatu melebihi dari apa yang diinginkan atau diharapkan sehingga memunculkan satisfaction.

(12)

Intrigu

Intrigu merupakan pemikiran yang tergantung tingkat pengetahuan, hal yang menarik konsumen, atau pengalaman yang sebelumnya pernah di alami oleh masing-masing individu.

Rovocation

Sifat dari rovocation adalah menciptakan suatu kontroversi atau kejutan baik yang menyenangkan maupun yang kurang menyenangkan.

d. Act experience

Act experience merupakan teknik pemasaran untuk menciptakan pengalaman konsumen yang berhubungan dengan tubuh secara fisik, pola perilaku, dan gaya hidup jangka panjang serta pengalaman yang terjadi dari interaksi dengan orang lain, di mana gaya hidup sendiri merupakan pola perilaku individu dalam hidup yang direfleksikan dalam tindakan, minat, dan pendapat. Tujuan dari act experience adalah untuk memberikan kesan terhadap pola perilaku dan gaya hidup, seta memperkaya pola interaksi social melalui strategi yang dilakukan.

e. Relate experience

Relate experience merupakan gabungan dari sense, feel, think, dan act. Pada umumnya relate experience menunjukan hubungan dengan orang lain, kelompok lain, atau komunitas sosial yang lebih luas dan abstrak. Tujuan dari relate experience adalah menghubungkan konsumen tersebut dengan budaya dan lingkungan sosial yang dicerminkan oleh merek suatu produk.

Experiential value dapat memberikan manfaat extrinsic dan intrinsic (Babin & Darden, 1995; Batra & Ahtola, 1991; Crowley, Spangenberg & Hughes, 1992; Mano & Oliver, 1993). Extrinsic benefit dapat diartikan seperti perjalanan belanja yang utilitarian atau bisa disebut belanja yang sesuai dengan kegunaan, ini juga bisa disebut seperti keharusan atau tugas yang harus dilakukan (Batra & Ahtola, 1991; Holbrook & Hirschman, 1982). Sedangkan di lain sisi intrinsic benefit dapat diartikan

(13)

bersumber dari penghargaan atas pengalaman yang di dapatkan sendiri , terlepas dari segala konsekuensi yang akan terjadi (Holbrook, 1994).

Holbrook (1994) juga menambahkan dimensi active/reactive di dalam experiential value. Active value muncul dari kolaborasi yang terus meningkat dari konsumen dengan lingkungan bisnis, sedangkan reactive value bersumber dari evaluasi konsumen, respons, dan kepahaman dari layanan atau produk yang ingin mereka beli.

2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Experiential Value di Restoran

Menurut Lin & Chiang (2010), dalam usaha untuk menciptakan experiential value di sebuah restoran dapat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu service quality, food quality, price, dan emotion.

2.5.1. Service Quality

Dalam setiap pelaksanaan sebuah jasa pasti memiliki sebuah kualitas yang dapat memberikan sebuah nilai apakah jasa tersebut memuaskan atau tidak bagi para konsumen yang menggunakan layanan jasa tersebut. Selain itu dalam pembentukan sebuah nilai experiential pada konsumen di restoran, kualitas jasa juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting. Berikut adalah beberapa definisi dari service quality.

Zeithaml, Parasuraman & Leonardo (1998) mendefinisikan service quality sebagai penilaian pelanggan atas keunggulan atau keistimewaan suatu produk atau layanan secara menyeluruh. Sedangkan Boone & Kurtz (1995) mengungkapkan bahwa kualitas layanan mengacu pada kualitas yang diharapkan dalam penawaran jasa. Berdasarkan teori tersebut bisa dikatakan bahwa kualitas layanan dapat mempengaruhi experiential value seorang konsumen. Salah satu industri yang bergerak di bidang jasa adalah restoran.

Service quality dibagi menjadi lima dimensi menurut Parasuraman (2000) yaitu reliability, responsiveness, assurance, empathy, tangibles yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

(14)

a. Reliability (keandalan)

Reliability merupakan kemampuan memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan yang dapat diandalkan dan secara akurat.

b. Responsiveness (daya tanggap)

Responsiveness adalah kesediaan untuk membantu pelanggan dan menyediakan jasa yang sesuai. Ini dimaksud dengan tanggap terhadap konsumen dan memberikan pelayanan sesuai yang dibutuhkan dengan cepat. c. Assurance (keyakinan)

Assurance adalah jaminan pemberian rasa aman kepada konsumen yang memerlukan dukungan pengetahuan yang memadai mengenaik produk, kesopanan (courtesy).

d. Empathy (kepedulian)

Empathy adalah kepedulian dan perhatian yang setiap karyawan berikan kepada semua konsumen.

e. Tangibles (bukti fisik)

Tangibles adalah tampilan fisik dari fasilitas yang disediakan, peralatan dan perlengkapan, penampilan dari karyawan itu sendiri, dan material-material yang dimiliki oleh badan usaha.

2.5.2. Food Quality

Kualitas makanan mengarah pada penilaian konsumen terhadap keunggulan dari makanan itu sendiri (Wang, 2013). Makanan adalah produk utama suatu restoran dan sebagai karateristik kualitas dari makanan yang dapat diterima oleh konsumen yang termasuk dalam faktor eksternal seperti ukuran, bentuk, warna, konsistensi, tekstur, dan rasa (Potter & Hotchkiss, 1995). Kualitas makanan juga penting dalam menciptakan sebuah nilai pengalaman yang menyenangkan bagi konsumen. Seperti apa yang dikatakan oleh Walker (2007), bahwa produk restoran bersifat pengalaman yang berarti kesatuan antara makanan, minuman, jasa, suasana, dan kemudahan yang baik akan memenuhi kebutuhan dan keinginan tamu serta memberikan pengalaman yang mengesankan sehingga tamu ingin mengulangi pengalaman itu lagi.

(15)

Menurut Jones (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas makanan adalah:

a. Warna

Warna dari makanan sangat membantu dalam mendorong selera makan konsumen. Warna dari makanan harus dikombinasikan sedemikian rupa agar tidak terlihat pucat dan terlihat serasi.

b. Penampilan

Ungkapan “looks good enough to eat” bukanlah suatu ungkapan yang berlebihan. Makanan harus baik dilihat saat berada di piring, di mana hal tersebut adalah salah satu faktor terpenting. Kesegaran dan kebersihan dari makanan yang disajikan adalah contoh penting yang akan mempengaruhi penampilan makanan.

c. Porsi

Dalam setiap penyajian makanan sudah ditentukan porsi standarnya yang bisa disebut dengan standard portion size. Standard portion size adalah kuantitas item yang harus disajikan setiap kali item tersebut dipesan. Pihak manajemen harus membuat standard portion size secara jelas, misalnya harus terdapat berapa potong sosis yang harus ada dalam satu porsi.

d. Bentuk

Bentuk makanan memainkan peran penting dalam daya tarik mata. Bentuk makanan yang menarik bisa diperoleh melalui cara pemotongan bahan makanan yang bervariasi, misalnya tomat yang dipotong dan dibentuk seperti bunga.

e. Temperatur

Temperatur mengarah pada suhu makanan yang disajikan. Selayaknya suhu makanan yang baru dimasak kemudian disajikan haruslah hangat.

f. Tekstur

Tekstur dari makanan sangat beragam antara lain: halus atau kasar, keras atau lembut, cair atau padat, kering atau lembab, empuk atau tidak.

(16)

g. Aroma

Aroma adalah reaksi dari makanan yang dapat mempengaruhi konsumen di mana sebelum konsumen menikmati makanan mereka dapat mencium aroma tersebut.

h. Tingkat kematangan

Tingkat kematangan memiliki pengaruh pada tekstur dari suatu makanan. Misalnya wortel yang direbus terlalu lama akan menjadi lunak daripada wortel yang direbus lebih cepat. Contoh yang lain adalah steak di mana setiap orang memiliki preferensi masing-masing dalam tingkat kematangan steak. i. Rasa

Titik-titik perasa pada lidah memiliki kemampuan untuk mendeteksi empat dasar rasa, yaitu manis, asin, asam, pahit. Pada makanan tertentu empat rasa ini bisa digabungkan menjadi satu rasa yang unik dan menarik untuk dinikmati, misalnya saos asam manis.

2.5.3. Price

Harga adalah salah satu faktor penting dalam mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu produk atau jasa. Harga didefinisikan sebagai sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk dan jasa, atau sejumlah nilai yang ditukar untuk memperoleh manfaat dari penggunaan suatu produk dan jasa (Kotler & Armstrong, 2006). Kotler (1999) juga mengatakan “Price is the amount of money charged for good or service”. Penjelasan tersebut memiliki maksud dimana harga merupakan sejumlah uang sebagai ganti atas sebuah produk atau layanan. Maka bisa dikatakan bahwa harga adalah sesuatu yang konsumen harus korbankan atau bayar agar konsumen dapat mendapatkan nilai dan manfaat dari produk atau layanan yang telah di bayar tersebut.

Pengertian harga terhadap nilai dari sudut pandang konsumen seperti yang diungkapkan oleh Zeithaml & Bitner (2003), yaitu:

(17)

a. Value is low price

Merupakan kelompok konsumen yang memiliki anggapan bahwa harga murah merupakan value yang paling penting sedangkan kualitas merupakan value dengan tingkat kepentingan lebih rendah.

b. Value is whatever I want in a product or services

Konsumen dalam kelompok ini tidak hanya mengartikan value sebagai manfaat atau kualitas yang dapat diterima saja, melainkan juga sesuatu yang dapat memuaskan keinginan

c. Value is the quality I get for the price I pay

Konsumen dalam kelompok ini memiliki pemikiran bahwa value adalah suatu manfaat atau kualitas yang diterima sesuai dengan harga yang dibayarkan d. Value is what I get for what I give

Konsumen menentukan value berdasarkan besarnya manfaat yang diterima dibandingkan dengan pengorbanan yang dikeluarkan baik dalam bentuk besarnya uang yang dikeluarkan, waktu, dan usaha.

Essinger & Wylie (2003) juga menambahkan bahwa harga menjadi sangat berpengaruh terhadap langkah awal untuk menjadikan seorang konsumen menjadi puas, dan hal tersebut adalah keterjangkauan dari harga itu sendiri.

2.5.4. Emotion

Emosi meliputi kesenangan dan suasana hati yang merupakan faktor penting dalam pembuatan keputusan konsumen. Bagozzi et al., (1999, p. 184) menjelaskan emosi sebagai “a mental state of readiness that arises from cognitive appraisals of events or thoughts” atau yang bisa diartikan sebagai kondisi mental kesiapan yang timbul dari penilaian kognitif akan suatu peristiwa. Menurut Watson dan Tellegen (1985) secara umum setiap bagian emosi terdiri dari gabungan antara pleasantness (pleasant atau unpleasant) dan activation (high atau low). Watson, Clark & Tellegen (1988) secara khusus juga membagi emosi menjadi dua dimensi yaitu emosi positif dan emosi afektif. Emosi positif dapat diterangkan sebagai kecenderungan seseorang

(18)

untuk menjadi cheerful dan energetic, dan yang selalu merasakan mood positif disetiap situasi. Disisi lain emosi negatif dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk menjadi stress dan marah, dan yang selalu merasa buruk atau negatif pada segala situasi.

Mehrabian dan Russell (1974) mengemukakan model SOR yaitu Stimulus, Organism, dan Response. Ini bisa dijelaskan dimana organism di model tersebut adalah para konsumen yang kemudian dipengaruhi oleh environmental stimuli (segala sesuatu yang dirasakan oleh konsumen), dan kemudian akan memproses stimuli tersebut dan meresponnya. Model tersebut menyatakan bahwa setiap konsumen memiliki tiga tingkat emotional terhadap respons dari environmental stimuli, yaitu: pleasure, arousal, dominance.

a. Pleasure

Pleasure mengacu pada tingkat dimana individu merasakan kegembiraan, kesenangan, positif, dan kebahagiaan yang berkaitan dengan situasi tersebut. Pleasure juga dapat mempengaruhi pendekatan yang diharapkan dengan perilaku pendekatan yang sebenarnya.

b. Arousal

Arousal mengacu pada tingkatan dimana seseorang merasakan gairah karena sesuatu yang menggembirakan atau situasi yang positif. Arousal berhubungan dengan perasaan senang dimana kondisi ini bisa meningkatkan approach bevavior di suasana yang menyenangkan. Seperti contoh seorang konsumen yang merasa puas akan pelayanan dan makanan dari suatu restoran, maka dia akan semakin tertarik untuk membeli lebih banyak makanan dan mengunjungi restoran itu lagi kedepannya.

c. Dominance

Dominance adalah situasi dimana seseorang merasa dikendalikan atau overpowered oleh lingkungannya sendiri. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata dominance tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku konsumen (Donovan & Rossiter, 1982; Donovan et al., 1994; Russell & Pratt, 1980).

(19)

Dari tiga tingkat emotional terhadap respons dari environmental stimuli tersebut dapat menghasilkan dua perilaku yaitu approach dan avoidance. Approach behavior meliputi keinginan untuk tinggal lebih lama, menjelajahi, dan bercengkrama bersama konsumen lainnya di dalam suatu environment tersebut (Booms & Bitner, 1980). Di lain sisi avoidance behavior adalah perilaku yang meliputi mengindar dari environment tersebut dan tidak ingin bercengkrama bersama konsumen lainnya (Donovan & Rossiter, 1982).

2.6. Hubungan Antar Konsep

2.6.1. Hubungan Antara Service Quality dengan Experiential Value

Zeithaml, Parasuraman & Leonardo (1998) mendefinisikan service quality sebagai penilaian pelanggan atas keunggulan atau keistimewaan suatu produk atau layanan secara menyeluruh. Restoran sebagai suatu bidang usaha yang lebih mengarah pada bidang jasa, maka kualitas layanan yang diberikan restoran itu sendiri haruslah yang terbaik.

Dalam pembentukan sebuah experiential value pada konsumen di sebuah restoran, maka pengaruh service quality mempunyai peranan yang penting. Ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lin & Chiang (2010), bahwa service quality bisa berpengaruh secara positif terhadap experiential value konsumen di sebuah restoran.

Selain itu menurut Ching et al., (2007) diungkapkan bahwa experiential value bisa menjadi penengah dalam pengaruh service quality dan behavior intention, maka juga bisa dikatakan bahwa service quality memiliki pengaruh terhadap experitnetial value. Dengan uraian tersebut maka bisa ditarik hipotesis sebagai berikut:

H1 : Service quality dapat mempengaruhi experiential value.

2.6.2. Hubungan Antara Food Quality dengan Experiential Value

Perceived product quality dapat dijelaskan seperti bagaimana konsumen melihat brand equity dari produk tersebut dan semua keunggulannya dibandingkan dengan alternatif produk lainnya (Aaker, 1991; de Chernatony, 2009; Richardson,

(20)

1997). Perceived product quality menurut Hsu (2003) juga mengarah pada persepsi subyektif konsumen berdasarkan pengalaman dan aspek kognitif yang lampau tentang produk tersebut.

Dalam sebuah restoran maka produk utama yang dijual adalah makanan. Kualitas makanan sendiri juga dapat menciptakan nilai pengalaman tersendiri bagi konsumen, seperti apa yang diungkapkan oleh Lin & Chang (2010) bahwa kualitas produk di dalam sebuah restoran dapat berpengaruh secara positif tehadap experiential value konsumen.

Baker et al., (2002) dan Snoj et al., (2004) juga mengungkapkan dalam penelitian mereka bahwa product quality merupakan faktor yang signifikan dalam perceived value. Perceived value merupakan penilaian konsumen atas kegunaan suatu produk dan persepsi dari apa yang diterima dan apa yang dikorbankan (Zeithaml, 1988). Perceived value lebih mengarah ke pemikiran kognitif konsumen, sedangkan untuk sisi afektif konsumen maka Lin & Chiang (2010) memilih istilah experiential value yang digunakan oleh Schmitt (1999), sehingga memberikan penjelasan lebih lengkap tentang value yang diraskan konsumen pada saat experiential consumption.

Kualitas produk yang dimaksud disini adalah kualitas makanan, maka dengan uraian yang telah dijabarkan diatas dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:

H2 : Food quality dapat mempengaruhi experiential value.

2.6.3. Hubungan Antara Price dengan Experiential Value

Harga menurut Kotler & Armstrong (2006) didefinisikan sebagai sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk dan jasa, atau sejumlah nilai yang ditukar untuk memperoleh manfaat dari penggunaan suatu produk dan jasa. Dari sisi konsumen, harga seringkali dianggap dengan kesamaan ketika konsumen menilai keuntungan dan kerugian dalam pembelanjaan (Oliver, 1997).

Di lain sisi bisa dikatakan bahwa perceived price hampir sama dengan perceived sacrifice dan nilai tersebut akan berkurang ketika konsumen hendak membayar (Bei & Chiao, 2001), tetapi semakin rendah perceived price maka

(21)

perceived sacrifice yang dirasakan konsumen juga semakin menurun (Zeithmal, 1988).

Lin & Chiang (2010) dalam jurnalnya menyatakan bahwa di dalam sebuah restoran persepsi konsumen mengenai harga berhubungan terbalik dengan experiential value. Maka berdasarkan penemuan-penemuan tersebut bisa ditarik hipotesis sebagai berikut:

H3 : Price dapat mempengaruhi experiential value.

2.6.4. Hubungan Antara Emotion dengan Experiential Value

Tingkat emosi dinilai memiliki pengaruh yang positif terhadap experiential value, sesuai dengan apa yang dikatakan Wakefield & Blodgett (1999) bahwa konsumen yang menginginkan konsumsi secara hedonis kebanyakan akan mencari emotional arousal dan pleasure untuk meningkatkan value itu sendiri di dalam proses konsumsi.

Dalam sebuah restoran yang mengusung tema unik, maka emosi seorang konsumen akan berperan penting dalam penciptaan suatu pengalaman yang bagus. Lin & Chiang (2010) menemukan bahwa tingkat emosi berpengaruh secara positif terhadap experiential value konsumen di sebuah restoran. Maka berdasarkan uraian tersebut bisa ditarik hipotesis sebagai berikut:

(22)

2.7. Kerangka Konseptual

Restoran Crab ‘n Chef

Food Quality (Jones, 2000)  Penampilan  Porsi  Temperatur  Rasa Service Quality (Parasuraman, 2000)  Reliability Responsiveness Assurance Empathy Tangibles Emotion (Mehrabian & Russell, 1974)  Pleasure Arousal Price

(Zeithaml & Bitner, 2003; Essinger &

Wylie, 2003 )

Value is the quality I get for the price I pay

 Keterjangkauan harga makanan di Crab ‘n Chef Experiential Value (Schmitt, 1999)  Sense experience Feel experience Think experience Act experience Relate experience

Gambar

Tabel 2.1 Contoh-contoh Services Retailers
Gambar 2.1 Merchandise/Service Continuum  Sumber: Levy & Weitz (1998)

Referensi

Dokumen terkait

Kotler (2003) menyatakan kepuasan pelanggan adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh seseorang yang merupakan hasil dari perbandingan antara hasil yang diharapkan atas layanan

Penemuan tersebut sesuai dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Darwis (2012) yang juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara earnings management

Sehingga salah satu tujuan dari SIA dalam siklus pendapatan adalah untuk mendukung performance dari aktivitas bisnis perusahaan dengan memproses data transaksi secara efisien,

Job-relevant information membantu manajer untuk memahami dengan jelas apa yang penting dalam menyelesaikan pekerjaan dengan lebih baik (Kren, 1992), dan untuk

Di dalam metode harga pokok proses, biaya overhead pabrik terdiri dari biaya produksi selain biaya bahan baku, bahan penolong, dan biaya tenaga kerja (baik yang

Metode Simplified Sequential Search Algorithm-Modified atau SSSA-Mod (Angkasaputra, K. & Sebastiano, F., 2018) adalah suatu metode dari modifikasi metode Simplified

XAMPP adalah perangkat lunak gratis, yang mendukung banyak sistem operasi, merupakan kompilasi dari beberapa program untuk menjalankan fungsinya sebagai server yang

Konsep-konsep tersebut mempunyai kaitan yaitu bahwa kepuasan dan kepercayaan yang terbentuk dari kualitas jasa yang dirasakan akan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan