• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000

TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN KOMNAS HAM DAN

KEJAKSAAN AGUNG

(VI)

J A K A R T A

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015 PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia [Pasal 20 ayat (3) beserta Penjelasan] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Paian Siahaan 2. Yati Ruyati

ACARA

Mendengarkan Keterangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (VI)

Selasa, 8 September 2015 Pukul 11.09 – 13.38 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Anwar Usman (Ketua)

2) Maria Farida Indrati (Anggota)

3) Aswanto (Anggota)

4) I Dewa Gede Palguna (Anggota)

5) Wahiduddin Adams (Anggota)

6) Patrialis Akbar (Anggota)

7) Suhartoyo (Anggota)

8) Manahan MP Sitompul (Anggota)

(3)

Pihak yang Hadir:

A. Kuasa Hukum Pemohon:

1. Chrisbiantoro 2. Muhammad Burhanuddin 3. Tioria Pretty 4. Ruyati Darwin 5. Haris Azhar 6. Feri Kusuma B. Pemerintah:

1. Heni Susila Wardoyo

C. Komnas HAM:

1. Siti Noor Laila

D. Kejaksaan Agung: 1. Abdul Kadirun 2. Maruli Hutagalung 3. Muhammad Sunarto 4. Muhammad Fadil 5. Sugeng Purnomo 6. Toto

(4)

1. KETUA: ANWAR USMAN

Sidang Perkara Nomor 75/PUU-XIII/2015 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.

Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Agenda Persidangan hari ini adalah Mendengarkan Keterangan dari Komnas HAM dan Kejaksaan. Namun sebelumnya, dipersilakan kepada Pemohon, siapa saja yang hadir?

2. KUASA HUKUM PEMOHON: HARIS AZHAR

Assalamualaikum wr. wb. Terima kasih, Pimpinan Majelis. Hari ini kami dari Para Pemohon yang hadir, sebelah kiri saya Chrisbiantoro. Saya sendiri Haris Azhar. Sebelah kanan saya Burha … Muhammad Burhanuddin. Berikutnya, Penggugat Ibu Ruyati Darwin. Sampingnya ada Tioria Pretty. Dan di paling ujung, Feri Kusuma. Terima kasih.

3. KETUA: ANWAR USMAN

Terima kasih, dari Pemohon, ya, benar.

Dari DPR ada surat pemberitahuan bahwa mereka telah mengajukan keterangan tertulis. Dari Kuasa Presiden, silakan siapa saja?

4. PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO

Baik, Yang Mulia. Kebetulan kami sendiri, Heni Susila Wardoyo. Terima kasih.

5. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, dari Kejaksaan masih dalam perjalanan, ada pemberitahuan. Dari Komnas HAM, silakan siapa saja yang hadir?

6. KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA

Siti Noor Laila.

SIDANG DIBUKA PUKUL 11.09WIB

(5)

7. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, baik. Ada mik (…)

8. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR

Pakai mik biar direkam.

9. KETUA: ANWAR USMAN

Biar terekam.

10. KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA

Saya Siti Noor Laila, Wakil Ketua Komnas HAM.

11. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, baik, terima kasih.

Sambil menunggu kehadiran dari Pihak Kejaksaan, dipersilakan kepada Komnas HAM untuk memberikan keterangan. Silakan, Bu, di mimbar.

12. KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA

Baik, terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Kami dari Komnas HAM memberikan keterangan ad informandum tindak lanjut penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat, disampaikan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, 8 September 2015.

Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Atas surat panggilan sidang yang disampaikan oleh Panitera Mahkamah Konstitusi kepada Ketua Komnas HAM untuk diminta keterangannya sebagai ad informandum dalam Sidang Pleno Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berkenaan dengan materi muatan Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Bersama ini disampaikan keterangan tertulis Komnas HAM.

I. Kewenangan Komnas HAM Melakukan Penyelidikan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat.

Yang Mulia, Kewenangan Komnas HAM melakukan penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan HAM.

(6)

“Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.”

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia telah melakukan penyelidikan terhadap 10 peristiwa pelanggaran HAM yang berat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM menjadi satu-satunya Komisi Negara yang mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan untuk menentukan ada atau tidaknya peristiwa pelanggaran HAM yang berat.

Seperti diketahui bersama, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM merupakan perubahan dari Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Sejak dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 1999 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, Komnas HAM telah menyelidiki 10 kasus dengan perincian sebagai berikut. 1. Kasus Timor Timur 1999. Laporan hasil penyelidikan telah

diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada 31 Januari 2000. Kasus ini telah disidik oleh Kejaksaan Agung dan diperiksa pengadilan dan telah sampai tingkat kasasi. Satu terdakwa dinyatakan bersalah.

2. Kasus Tanjung Priok 1984. Laporan hasil penyelidikan telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung pada 7 Juli 2000. Telah dilakukan penyidikan dan diperiksa pengadilan dan telah sampai tingkat kasasi. Semua terdakwa dinyatakan bebas. 3. Kasus Peristiwa Abepura Tahun 2000. Laporan dikirimkan ke

Kejaksaan Agung pada 17 Mei 2001. Kasus telah disidik dan ditetapkan 2 terdakwa, yaitu Drs. Daud Sihombing dan Brigjen. Johny Wainal Usman. Dua terdakwa telah diperiksa oleh Pengadilan HAM, keduanya dibebaskan.

4. Kasus Trisakti Semanggi I dan Semanggi II. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 29 April 2002. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan.

5. Kasus Mei 1998. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 19 September 2003. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan.

6. Kasus Wasior (Juni 2001, Oktober 2002) dan Wamena (2003). Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 3 September 2004. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan.

7. Kasus Penghilangan Paksa 1997-1998. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 3 September 2006. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan.

(7)

8. Kasus Talangsari 1989. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 16 September 2008. Kejaksaan Agung belum melakukan penyelidikan dan penuntutan.

9. Kasus Penembakan Misterius 1982-1985. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 20 Juli, September 2012. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan.

10. Kasus Tragedi 1965-1966. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 20 Juli 2012. Kejaksaan Agung belum melakukan penyelidikan dan penuntutan.

Selama 13 tahun terjadi bolak-balik, 7 berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat antara Komnas HAM dengan Jaksa Agung tanpa ada titik temu lengkap terkait … lengkap atau tidak lengkapnya hasil penyelidikan tersebut.

Pengembalian 7 berkas penyelidikan disampaikan oleh Jaksa Agung terakhir kali pada 6 Juni 2014 disertai dengan petunjuk-petunjuk formil dan materiil untuk dipenuhi oleh Komnas HAM. Berkas perkara tersebut posisinya saat ini berada di Jaksa Agung, Komnas HAM telah mengembalikannya disertai dengan jawaban atas petunjuk dari Jaksa Agung pada 17 Juli 2014.

Sesuai dengan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM, penyelidik mempunyai waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya untuk melengkapi kekurangan yang disampaikan oleh penyidik.

Yang Mulia, proses pengembalian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat tidak terlepas dari adanya ketidaksepahaman antara penyelidik dan penyidik dalam menafsirkan tugas dan wewenang masing-masing sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pengadilan HAM. a. Petunjuk Formil tentang Kewajiban Penyelidik atau Penyelidik

ad hoc untuk Disumpah.

Salah satu petunjuk formil yang disampaikan penyidik untuk dapat dipenuhi oleh penyelidik adalah melakukan sumpah terhadap penyelidik atau penyelidik hoc. Jika belum mengucapkan sumpah, petunjuk ini ada di semua berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat yang dikembalikan oleh penyidik.

Komnas HAM berpendapat bahwa sumpah bagi penyelidik atau penyelidik ad hoc tidak dilakukan karena undang-undang tidak mewajibkan diambilnya sumpah bagi penyelidik atau penyelidik ad hoc. Kewajiban pengambilan sumpah sebelum menjalankan tugas hanya diberlakukan bagi

(8)

penyidik ad hoc sesuai Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, selanjutnya sumpah bagi penuntut umum sesuai Pasal 23 ayat (3) dan bagi hakim sesuai Pasal 30. Undang-Undang tersebut juga mengatur soal lafal sumpah atau janjinya, baik bagi penyidik, penuntut umum, dan Hakim. Semua tim ad hoc yang pernah dibentuk Komnas HAM antara lain Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Timor-Timur, Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok, Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Abepura, Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998, Tim Ad Hoc Trisakti Semanggi I-Semanggi II, Tim Ad Hoc Penghilangan Orang Secara Paksa, Tim Ad Hoc Talangsari berjalan tanpa proses pengambilan sumpah bagi penyelidik atau penyelidik ad hoc. Bahkan Jaksa Agung tidak pernah mempersoalkan sumpah jabatan dalam beberapa penyelidikan, antara lain dalam peristiwa Timor-Timur, peristiwa Tanjung Priok, dan peristiwa Abepura yang sudah diperiksa di Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta dan Pengadilan HAM Makassar.

Kewajiban membuat Berita Acara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 75 KUHAP merupakan tugas dan kewajiban penyidik. Hal ini secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 8 KUHAP yang berbunyi, “Penyidik membuat Berita Acara tentang pelaksanaan tindakan, sebagaimana telah dimaksud dalam Pasal 75 dan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.”

Kewajiban penyidik akan hal ini juga dapat dilihat pada Pasal 121 KUHAP yang menyatakan, “Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat Berita Acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat tinggal tersangka, dan/atau saksi keterangan mereka, catatan mengenai akta dan/atau benda, serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.”

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dalam Pasal mengatur … dalam Pasal 10 mengatur, “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.”

Dari ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa baik penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan harus berdasarkan KUHAP. Dalam KUHAP hanya didapati satu pasal, yakni Pasal 121 yang mewajibkan penyidik dalam membuat Berita Acara harus atas kekuatan sumpah jabatan, seperti telah dijelaskan di atas. Penyidik dalam hal ini

(9)

adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan untuk perkara pidana tertentu adalah jaksa.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk menemukan tersangkanya dan hasilnya dirumuskan dalam Berita Acara. Penyidik harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu karena Berita Acara hasil penyidikan, penyelidikan akan menjadi satu-satunya dasar bagi jaksa untuk melakukan penuntutan dan merupakan dasar penting bagi pemeriksaan di pengadilan. Oleh karena itu, benar bahwa penyidik harus mengucapkan sumpah lebih dulu. Sehingga hasil penyelidikan tersebut merupakan Berita Acara yang mempunyai kekuatan yustisiabilitas dan hal ini terjamin dengan disumpahnya lebih dahulu petugas penyidik, lain dengan tugas penyelidikan.

b. Petunjuk Materiil untuk Melakukan Pemeriksaan terhadap Pelaku.

Petunjuk materiil yang dilakukan oleh penyidik salah satunya adalah agar penyelidik atau penyelidik ad hoc memeriksa dan melampirkan Berita Acara pemeriksaan pelaku atau orang yang diadukan. Petunjuk tersebut merujuk pada Penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan HAM yang mengatur mengenai penyelidikan pelanggaran HAM yang berat.

Pasal 1 ayat (5) KUHAP menentukan, “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”

Berdasarkan pasal … pada Pasal tersebut di atas, jelas bahwa tugas penyelidikan adalah sebatas mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Hasil penyelidikan tidak dirumuskan bagian dari

penyidikan. Konsentrasi kegiatan diarahkan kepada

peristiwanya, bukan siapa pelakunya. Hasil penyelidikan tidak dapat menjadi dasar penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, tidak mempunyai nilai hukum yang menentukan yustisiabilitas, lain dengan penyidikan. Oleh karenanya, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memuat ketentuan perlunya penyelidik ad hoc untuk disumpah. Hal ini berbeda dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang memuat ketentuan penyidik ad hoc harus mengucap … harus mengucapkan sumpah. Dan dari pasal itu, menjadi lebih tegas karena menyebutkan hasil penyidik dan jaksa penuntut umum ad hoc yang harus mengucapkan sumpah. Seperti diketahui, penyidik dan jaksa

(10)

penuntut umum karier telah mengucapkan sumpah saat pengangkatannya. Sementara Pasal 18 ayat (2) yang mengatur hasil penyelidik ad hoc tidak diwajibkan kepadanya untuk mengucapkan atau disumpah lebih dahulu karena memang demikian yang berlaku bagi penyelidik. Apabila dalam Berita Acara pemeriksaan oleh polisi dilakukan berdasarkan sumpah jabatan, dalam hal ini polisi dalam kapasitas sebagai seorang penyidik, bukan penyelidik, sekalipun kedua tugas tersebut berada di tangan polisi.

c. Petugas … Petunjuk Materiil untuk Melakukan Pemeriksaan Ahli.

Penyidik menyampaikan petunjuk materiil untuk dapat dipenuhi oleh Komnas HAM sebagai penyelidik. Salah satunya adalah … maaf, salah satunya adalah melakukan pemeriksaan ahli untuk didengar keterangannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf g menyebutkan bahwa untuk mendatangkan ahli dalam hubungannya dengan penyelidikan, maka dilakukan atas perintah penyidik. Perlu kami beritahukan kepada Saudara Jaksa Agung bahwa tindakan mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan hanyalah merupakan salah satu dari beberapa tindakan lain yang juga harus atas perintah penyidik.

Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam Ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf f yang berbunyi, “Dalam melaksanakan penyelidikan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik berwenang: (f) memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.”

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, KPP HAM telah mengirimkan surat sebanyak dua kali kepada Kejaksaan Agung berkenaan dengan permintaan resmi dari penyelidik kepada penyidik untuk membuat surat perintah kepada penyelidik guna melakukan tindakan penyelidikan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 ayat (1) huruf g, untuk lebih jelasnya, hal ini dapat dilihat dalam Bab I Sub Bab I.9 butir 38, halaman 13 dari Laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti Semanggi I dan Semanggi II, tertanggal 20 Maret 2002. Namun hingga akhir pelaporan, surat yang disampaikan oleh penyelidik tidak memperoleh tanggapan resmi dari pihak Kejaksaan Agung.

Dua hal tersebut di atas merupakan salah satu petunjuk yang disampaikan oleh penyidik untuk dipenuhi, dan petunjuk tersebut selalu berisi petunjuk yang sama sejak pertama kali

(11)

berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat dikembalikan kepada Komnas HAM untuk dilengkapi.

II. Dua, frasa kurang lengkap hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat.

Yang Mulia, mendasarkan pada penjelasan sebelumnya, mengenai definisi penyelidikan berdasarkan KUHAP Pasal 1 ayat (5), maka tugas Komnas HAM sebagai penyelidik pelanggaran HAM yang berat sudah selesai dilaksanakan terhitung ketika berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat diserahkan kepada Jaksa Agung seperti yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan HAM.

Komnas HAM sebagai penyelidik hanya berwenang untuk mencari dan menemukan satu peristiwa yang diduga sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat agar ditindaklanjuti kepada tahap penyidikan.

Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM, yang menyebutkan bahwa dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.

Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menyatakan bahwa dalam ketentuan ini dimaksud kurang lengkap adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk ditindaklanjuti untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.

Seluruh petunjuk Jaksa Agung dalam semua berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat, tidak menyatakan bahwa temuan Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu, pengembalian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat tidak mendasar.

Mendasarkan pada penjelasan tersebut, petunjuk yang diberikan oleh jaksa agung selaku penyelidik … selaku penyidik pelanggaran HAM yang berat, seharusnya lebih menitikberatkan pada pemenuhan unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat.

Dalam hal kekurangan yang bersifat administratif dan tidak menyeluruh vide petunjuk Jaksa Agung dalam Perkara Peristiwa Talangsari, Surat Nomor R056/A/F.6/06/2014, tanggal 6 Juni 2014

(12)

dapat ditindaklanjuti atau dilengkapi pada tahap penyidikan, tidak harus mengembalikan berkas penyelidikan kepada penyidik.

Yang Terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, demikianlah keterangan yang dapat kami berikan. Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih.

13. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, terima kasih. Silakan kembali dulu ke tempat duduk.

Ya, sambil menunggu dari Kejaksaan Agung sampai saat ini belum hadir, dipersilakan dari meja Hakim, mungkin ada yang ingin mengajukan pertanyaan? Ya, Yang Mulia Pak Palguna.

14. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Terima kasih, Yang Mulia.

Baik, saya kira, Komnas HAM sudah mengetahui ya apa yang dimintakan oleh ... atau peristiwa yang dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, saya tidak perlu mengulang lagi bagaimana peristiwa bolak-balik antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM.

Saya cuma ingin menggarisbawahi satu hal saja dari pernyataan atau dari keterangan dari Komnas HAM ini. Yang di halaman 2 saya kasih halaman karena di aslinya tidak ada halaman, di lembar kedua pada bagian terakhir.

Selama 13 tahun terjadi bolak-balik, 7 ... 7 berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat antara Komnas HAM dengan Jaksa Agung, tanpa ada titik temu terkait lengkap atau tidak lengkapnya hasil penyelidikan tersebut.

Saya ingin mendalami pernyataan ini begini, Ibu Siti ya. Tidak ada titik temu itu dalam kaitannya dengan persoalan sampai di mana batas Kewenangan Komnas HAM, di mana batas kewenangan Komnas HAM berakhir, dan di mana batas kewenangan Kejaksaan Agung dimulai? Ataukah tidak ada titik temu mengenai pengertian atau ruang lingkup penyelidikan itu sendiri yang menjadi persoalan? Misalnya konkretnya begini. Kalau memang itu tidak lengkap, itu menyangkut bukti, apakah itu memang tugas penyelidik atau tugas penyidik? Misalnya begitu ya. Ataukah misalnya tidak lengkap dalam pengertian untuk menyatakan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran HAM yang berat, titik temu pada yang ... bagian yang mana ini yang dimaksud yang tidak pernah ada antara Komnas HAM dan kejaksaan itu, sehingga bolak-balik tujuh berkas itu, ya? Itu ... itu pertanyaan saya.

Dengan demikian, kiranya akan menjadi terang apabila dari Pihak Komnas HAM sekarang ini memberikan keterangan mengenai soal itu dan mungkin nanti juga dari pihak Kejaksaan, kami akan menanyakan soal yang sama mengenai soal ini, sehingga akan menjadi lebih jelas

(13)

sesungguhnya di mana letak persoalan ini berada. Karena ini yang kemudian lalu “dipersalahkan” oleh Pemohon itu adalah ketentuan dari undang-undangnya yang mengatur soal ini. Kami khawatir kalau ini adalah persoalan perbedaan penafsiran. Nah, itu yang kami mau sampaikan kepada Ibu Siti.

Terima kasih, Yang Mulia.

15. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, terima kasih. Yang Mulia Pak Patrialis, silakan.

16. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR

Ya. Saya juga ingin mendapatkan satu gambaran dari Komnas HAM. Jadi, dengan bolak-baliknya penanganan kasus pelanggaran ... yang dugaan pelanggaran HAM Berat tadi, itu kan menunjukan bahwa penyelesaian masalah dugaan pelanggaran HAM Berat itu tidak mudah, kan begitu, faktanya demikian.

Apakah juga pernah Komnas HAM memikirkan, ya, memikirkan satu alternatif lain dengan rekomendasi-rekomendasi dari Komnas HAM dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM ini, apakah peradilan HAM itu satu-satunya yang diharapkan ataukah juga ada keinginan untuk mencoba semacam menyelesaikanlah, ya, menyelesaikan pelanggaran HAM. Jadi tidak hanya peradilan, ultimum remedium, ya, the last resort itu, lembaga peradilan. Apalagi kan ternyata di beberapa negara-negara selain dari Indonesia yang tidak pakai Pancasila, mereka bisa menyelesaikan. Nah, saya ingin tahu dari Komnas HAM ini bagaimana? Apa satu-satunya hanya dituju harus pengadilan, harus pengadilan, ternyata ini kan enggak selesai?

Nah, sehingga isu terhadap masalah pelanggaran HAM ini tidak pernah berhenti di negara kita ini. Kita juga pernah mendengar konsep rekonsiliasi, ya kan, jadi bukan ansicht judicial.

Saya hanya ingin mendapat gambaran dari pikiran Komnas HAM bagaimana? Terima kasih.

17. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, masih ada, Yang Mulia Prof. Aswanto.

18. HAKIM ANGGOTA: ASWANTO

Terima kasih, Yang Mulia.

Ibu yang mewakili Komnas HAM, ya. Saya ingin … apa ... yang mungkin bisa konkret gitu, ya, ini soal bolak-balik.

(14)

Dalam soal bolak-balik perkara antara penyelidik dan penyidik. Komnas HAM sebagai penyelidik, lalu Kejaksaan ... Jaksa Agung sebagai penyidik, apakah bolak-baliknya itu disebabkan karena memang tidak bisa dipenuhi petunjuknya? Kan ketika Komnas menyerahkan ke penyidik kan ada petunjuk situ, ini lengkapi ini, gitu. Dan kalau misalnya itu tidak apa ... katakanlah itu sudah dilengkapi oleh Komnas HAM. Lalu kemudian, tidak ... kenapa tidak bisa jalan kalau misalnya Komnas HAM sudah memenuhi petunjuknya penyidik, dalam hal ini Jaksa Agung? Atau mungkin makna titik temu tadi adalah apakah petunjuknya yang berubah dan bertambah? Misalnya pada pengembalian pertama misalnya, Jaksa Agung memberikan petunjuk, tolong dilengkapi ini. Mungkin Komnas HAM sudah melengkapi, lalu kemudian dikembalikan, lalu berubah lagi yang diminta untuk dilengkapi? Apakah seperti itu atau memang yang pertama tadi, petunjuk pertama enggak bisa dilengkapi? Dan kalau bisa ada contoh gitu dari tujuh kasus itu, ya.

Terima kasih, Yang Mulia.

19. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, masih ada tambahan dari Yang Mulia.

20. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR

Saya juga ingin menambahkan, dengan berlarut-larut seperti dikatakan tadi, apakah ini juga merupakan satu indikasi sangat sulit memenuhi atau mencari bukti-bukti, dokumen-dokumen yang sudah begitu lama, ya. Apalagi kalau kita lihat dalam Undang-Undang HAM kita, terutama dalam peradilan HAM Berat itu, kalau pelanggaran HAM Berat masa lalu itu kan harus ada rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat. Kita tahu beberapa kali DPR juga pernah membuat pansus-pansus, ya, terhadap dugaan pelanggaran-pelanggaran HAM. Itu bagaimana di Komnas HAM menanggapi hasil-hasil pansus itu? Apakah yang sudah direkomendasikan, yang sudah diputuskan dalam pansus-pansus DPR, terus tetap Komnas HAM mengatakan ya ini harus tetap jalan? Atau memang ya sudah, gitu? Bagaimana coba?

21. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, dipersilakan untuk menanggapi tiga pertanyaan. Oh, masih ada? Masih ada satu lagi dari Yang Mulia Pak Suhartoyo.

22. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

(15)

Ibu Siti, sedikit lagi dari saya tambahan. Kalau saya cermati, barangkali pencermatan saya ini tidak pas, tapi bisa juga perlu dipertimbangkan untuk apakah hal itu benar adanya, ya.

Karena begini, kalau saya cermati bahwa ketika Komnas HAM mempunyai argumen bahwa kewenangannya pada titik atau pada batas penyelidikan, sehingga ketika dikaitkan dengan ruang lingkupnya hanya sebatas menemukan peristiwanya, sehingga di situ ada sebenarnya yang ada sesuatu yang sangat esensial yang menurut saya ditinggalkan. Kalau dari penyelidikan pihak Komnas HAM, misalnya menemukan peristiwa, saya kira tidak hanya pada sampai pada titik menemukan peristiwa dan korbannya, sebenarnya kalau memang bisa menemukan pelakunya, dari Komnas HAM sebenarnya juga harus ditegaskan dan tidak perlu ragu-ragu. Karena barangkali itu yang kemudian menjadi persoalan yang mendasar di bagian penyidik sana di Kejaksaan Agung, memang sebenarnya kami juga pengin sangat mendengar, pengin mendengar sekali dari pihak Kejaksaan Agung ini. Apakah masing-masing kedua lembaga ini kemudian ada ... sangat ada kendala psikologis untuk menentukan siapa sih sebenarnya pelaku ini? Sebenarnya masing-masing barangkali sebenarnya punya gambaran.

Kalau memang dari penyidik dalam hal ini Komnas HAM punya gambaran bahwa a, b, c, sebutkan saja, kemudian toh nanti ditindaklanjuti oleh bagian atau di tingkat kewenangan penyidik, itulah yang menentukan, apakah ditemukan adanya tersangka apa tidak, kan di sana nanti, berdasarkan bukti-bukti yang cukup, sehingga .... tapi kalau masih, istilahnya sesuatu yang dalam karung yang tidak tampak siapa pelakunya, ya pasti itu akan mungkin tidak cukup tujuh kali, mungkin akan seterusnya seperti itu. Terlebih sekarang apa yang dimohonkan Pemohon barangkali ketika dicukupkan pun, misalnya ini ada pertimbangan dari Mahkamah bahwa disertai dengan petunjuk yang jelas misalnya. Petunjuk yang jelas itu kalau sampai pada titik pelakunya siapa, sementara Komnas HAM apalah daya tangan tak sampai atau memang ada keragu-raguan di sana, juga enggak bakal ketemu sampai kapan pun. Memang harus ada keberanian, Ibu, dari penyelidik itu.

Tidak mungkin kan menemukan peristiwa menemukan korban-korban ada beberapa korban-korban sudah kita ketahui, salah satu orang tuanya kemarin jadi saksi. Yang pelakunya itu, mestinya paling tidak kalau tidak bisa menyebutkan secara konkret personalnya, kan paling tidak yang mendekati, apakah lembaganya apakah ... apakah itu juga sudah disampaikan Komnas HAM ketika menyampaikan hasil penyelidikan ke penyidik? Barangkali bisa dijelaskan, Ibu, di sini supaya nanti sebenarnya kalau ada Kejaksaan Agung, bisa … jangan saling lempar kalau di depan ada dua pihak yang ... ada kan saling bisa memberikan pertanggungjawaban sebenarnya.

(16)

23. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, baik. Dipersilakan untuk menanggapi dari empat Yang Mulia tadi, silakan.

24. KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA

Baik, terima kasih, Yang Mulia.

Dari pertanyaan yang pertama, terkait dengan bolak-baliknya berkas yang terus-menerus hingga pada terakhir bulan Juni 2014. Ada beberapa hal yang memang menjadi perbedaan persepsi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung terkait dengan pertama adalah soal hukum formil yang disampaikan bahwa penyelidik harus di bawah sumpah.

Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, tidak ada yang mengatur … sama sekali tidak ada yang mengatur terkait dengan penyelidik harus melakukan sumpah. Nah, petunjuk itulah yang kemudian kami sampaikan kepada Jaksa Agung bahwa proses 3 kasus sebelumnya juga tidak ada … tidak dilakukan sumpah, tidak menjadi persoalan. Kemudian, 7 berkas yang … apa … yang masih sekarang dalam proses di Kejaksaan Agung, tentu kami juga menolak untuk melakukan sumpah karena memang tidak ada yang mengatur terkait dengan bahwa Komnas HAM atau penyelidik atau penyelidik ad hoc untuk dilakukan sumpah. Nah, itu yang … apa … selalu petunjuk itu selalu ada, berkali-kali itu selalu itu yang disampaikan petunjuknya.

Kemudian yang kedua, terkait dengan … apa … yang ditanyakan juga soal pelaku. Nah, tentu Komnas HAM karena kewenangannya melihat pada persoalan … apa … peristiwanya. Tapi sesungguhnya kalau kemudian dibaca berkas yang hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM, maka beberapa keterangan saksi sesungguhnya menyebutkan nama. Tapi kan di Komnas HAM tidak bisa menyebutkan sebagai pelaku karena baru diduga terjadinya pelanggaran HAM yang berat.

Nah, tapi kalau dibaca, mungkin kalau diperlukan, nanti kami bisa memberikan beberapa … apa … hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Komnas HAM yang secara lengkap. Di situ sebenarnya beberapa keterangan dari saksi menyebutkan nama yang diduga sebagai pelaku. Tapi, tentu kami Komnas HAM tidak bisa menyatakan bahwa mereka adalah tersangka atau … apa … pelakunya, begitu. Nah, ini … apa … yang itu karena masuk kemudian pada kewenangan penyidik.

Kemudian, terkait dengan … terkait dengan soal belum pernah ada petunjuk yang disampaikan oleh Jaksa Agung untuk melakukan melengkapi atas … apa … kurang lengkapnya dari sebuah peristiwa itu, yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat. Jadi, justru itu yang malah tidak pernah ada. Dan mungkin nanti kalau Majelis Yang Mulia memerlukan beberapa surat-menyurat antara Kejaksaan Agung dan

(17)

Komnas HAM, kami juga bisa susulkan kepada Majelis untuk dipelajari sebagai berikut.

Kemudian, penyelesaian pelanggaran HAM memang di dalam undang-undang sendiri, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006 juga membuka peluang untuk dilakukan tidak hanya pada proses yudisial, tapi juga KKN yang harus diatur di dalam undang-undang.

Nah, kalau kita mau perbandingkan juga, di negara-negara hampir semua penyelesaiannya berbeda-beda. Jadi, tidak ada penyelesaian yang tunggal dalam persoalan pelanggaran … penyelesaian pelanggaran HAM Berat. Di beberapa negara terjadi perbedaan juga.

Nah, kemudian di Indonesia, di Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sesungguhnya juga membuka peluang untuk dilakukan dengan cara rekonsiliasi yang harus dibuat di dalam bentuk undang-undang, yang sampai sekarang setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang KKR, sampai sekarang belum ada Undang-Undang KKR yang baru.

Nah, sehingga di dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang pada saat itu membatalkan Undang-Undang KKR, sebenarnya juga ada peluang Pemerintah bahwa Presiden boleh melakukan langkah politik untuk penyelesaian pelanggaran HAM Berat. Nah, tentu inisiatif ini kemudian juga harus datang dari Pemerintah karena Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menyelesaikan melalui langkah politik.

Jadi, tentu Komnas HAM tidak semata-mata hanya berpikir pada jalan judicial, tapi juga nonjudicial. Nah, tapi jalan nonjudicial yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah melalui Undang-Undang KKR. Putusan MK melalui kebijakan politik Presiden, tidak ada mandat kepada Komnas HAM untuk melakukan langkah-langkah di luar judicial. Sehingga tentu kemudian … apa … kami tidak bisa mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian di luar nonjudicial.

Kemudian, terkait dengan petunjuk … tadi kami sampaikan dari petunjuk … apa ... Jaksa Agung bahwa terkait dengan … apa ... formilnya di bawah sumpah, itu yang kami … apa ... memang tidak bersedia untuk melaksanakan karena tidak ada landasan undang-undang yang mengharuskan Komnas HAM, penyelidik, atau penyelidik ad hoc dilakukan di bawah sumpah. Karena di dalam Undang-Undang Nomor 26, yang harus di bawah sumpah adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim.

Jadi itu yang bisa kami sampaikan (...)

25. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR

(18)

26. KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA

Yang apa?

27. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR

DPR, rekomendasi DPR.

28. KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA

Yang rekomendasi DPR. DPR RI merekomendasi pada satu kasus penghilangan orang secara paksa yang berkirim surat kepada Presiden Republik Indonesia, pada waktu itu masih periode Pak Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera membentuk pengadilan ad hoc, yang sampai sekarang telah terjadi pergantian presiden, tapi itu belum dilaksanakan.

Kemudian, juga ada persoalan dalam konteks … apa ... proses politik yang dilakukan, Mahkamah Konstitusi juga … apa ... tidak menyarankan untuk DPR tidak masuk pada materinya, tapi sebenarnya lebih pada dorongan politik untuk mendorong Pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM-nya. Karena yang lalu, dalam rekomendasi DPR RI, itu disampaikan bahwa kasus ini masuk pada pelanggaran HAM, kasus itu tidak masuk pelanggaran HAM. Nah, ini yang kemudian di … apa ... mintakan ke MK dan kemudian sudah di … apa ... sudah diperjelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Maaf saya nomornya lupa, tapi bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak … apa ... meminta kepada DPR RI untuk tidak masuk pada materinya, tetapi lebih kepada memberikan dukungan politik untuk penyelesaian pelanggaran HAM-nya.

Jadi, itu yang bisa kami sampaikan dan hanya satu rekomendasi dari DPR RI, yakni kasus penghilangan orang secara paksa. Terima kasih.

29. KETUA: ANWAR USMAN

Baik, terima kasih.

Kebetulan dari Kejaksaan Agung sudah hadir, dipersilakan untuk menyampaikan keterangannya. Siapa yang mewakili? Oh, kenalkan diri dulu sebelum memberikan keterangan siapa saja yang hadir, Pak? Disampaikan dulu, diperkenalkan di situ ya, siapa saja yang hadir?

30. KEJAKSAAN AGUNG: ABDUL KADIRUN

Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, mohon izin, dan mohon maaf tadi agak terlambat karena ada suatu hal di kantor juga.

(19)

Perlu kami kenalkan, saya Abdul Kadirun, Pak, selaku Dir. Tata Usaha Negara. Di sebelah saya, Pak Maruli Hutagalung, Direktur Penyidikan. Bapak Sugeng Purnomo, Koordinator di Dinsus. Bapak Muhammad Sunarto, di Datun. Pak Toto di Dinsus, Kasubdit. Dan JPN yang paling sebelah kiri Muhammad Fadil.

31. KETUA: ANWAR USMAN

Baik, terima kasih. Langsung di podium.

32. KEJAKSAAN AGUNG: ABDUL KADIRUN

Keterangan Jaksa Agung Republik Indonesia selaku Pihak Terkait atas Permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kepada Yang Terhormat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama: H. M. Prasetyo, S.H., selaku Jaksa Agung Republik Indonesia.

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Jaksa Agung Republik Indonesia, berdasarkan Surat Perintah tanggal 8 September 2015 Nomor: Sprint 062/A/JA/09/2015, dengan hormat kami menyampaikan keterangan sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia selaku Pihak Terkait atas Permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia yang dimohonkan oleh:

1. Paian Siahaan. Lahir di Balige, tanggal 18 Maret 1947. Agama Kristen. Pensiunan. Kewarganegaraan Indonesia. Beralamat di RT 003/RW 001 Kelurahan Beji Timur, Kecamatan Beji, Depok, Jawa Barat, untuk selanjutnya disebut Pemohon Pertama.

2. Yati Ruyati. Lahir di Bandung, tanggal 3 Maret 1946. Pekerjaan pengurus rumah tangga. Warga Negara Indonesia. Beralamat Kampung Jembaran RT 001/RW 002 Kelurahan Penggilingan, Kecamatan Cakung, Jakarta, untuk selanjutnya disebut Pemohon Kedua.

Yang dalam permohonan ini memberikan kuasa kepada Haris, S.H., Sarjana Hukum, Magister Hukum, Chrisbiantoro, S.H., L.LM., Yati Andriyani, S.H., Muhammad Burhanuddin, S.H., M.H., Feri Kusuma, S.H., dan Tioria Pretty adalah Tim Kuasa Hukum korban pelanggaran HAM Berat yang berdomisili di Komisi untuk orang hilang dan tindak kekerasan, Jalan Borobudur No. 14 Menteng, Jakarta.

(20)

Masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Mei 2015 bertindak untuk dan atas nama Pemohon untuk mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM terhadap Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya, disebut sebagai Pemohon sesuai dengan Register di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 75/PUU-XIiI/2015, tanggal 6 Juli Tahun 2015.

Selanjutnya, perkenankan Jaksa Agung menyampaikan

keterangan tertulis atas permohonan pengujian a quo sebagai berikut. Sebelum membahas materi pokok perkara yang dimintakan untuk uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terkait Permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ke hadapan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk selanjutnya disebut dengan Mahkamah, terlebih dahulu perlu dibahas beberapa hal sebagai berikut.

a. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk mengadili dan memutus Permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi. Apakah Para Pemohon memiliki hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang tersebut? In casu Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah Konstitusi.

Adapun alasan uji materi Para Pemohon sebagai berikut.

1. Bahwa objek permohonan pengujian ini adalah muatan dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Peradilan HAM sepanjang frasa kurang lengkap dan seterusnya yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut, “Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.”

2. Bahwa Jaksa Agung terus memberikan berkas hasil penyelidikan kepada Komnas HAM sehingga 6 kali, yakni berkas perkara:

1) Peristiwa Trisakti, Semanggi I Tahun 1998 dan Semanggi II Tahun 1999,

(21)

2) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,

3) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, 4) Peristiwa Talangsari,

5) Peristiwa 1965-1966,

6) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, dan 7) Peristiwa Wasior dan Wamena Papua (nonretroaktif).

3. Berdasarkan jawaban Jaksa Agung dalam setiap pernyataan di atas, terlihat Jaksa Agung menafsirkan frasa kurang lengkap, mencakup syarat materiil dan syarat formil mulai dari belum cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat, sehingga belum terbentuknya peradilan HAM ad hoc, sementara Komnas HAM terus menyerahkan kembali hasil penyelidikan mereka kepada Kejaksaan Agung karena merasa tugas mereka sebagai penyelidik telah selesai, yakni menentukan ada atau tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM Berat.

4. Bahwa frasa kurang lengkap Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM, sebagai berikut, “Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap. Penyelidik … ulangi, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk yang jelas, sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9 untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan … penyidikan wajib melengkapi kekurangan tersebut.

5. Bahwa Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Pengadilan HAM beserta penjelasan kedua pasal tersebut, mendefinisikan unsur-unsur tindak pidana kejahatan genosia dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang maka keduanya dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Pengadilan HAM.

6. Oleh karena secara tersirat frasa kurang lengkap dibatasi secara limitatif, yaitu memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat, sebagaimana Pasal 8 … Pasal 8 dan Pasal 9 beserta penjelasan kedua pasal tersebut, namun Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM tidak memberikan penjelasan dan penekanan yang tegas bahwasanya frasa kurang lengkap harus mengacu kepada unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat dalam Pasal 8 dan Pasal 9 undang-undang tersebut, yakni syarat materiil. Multitafsir yang berujung pada perbedaan penafsiran antara para penegak hukum ini telah mengakibatkan Para Pemohon dirugikan hak konstitusional selama 13 tahun.

7. Menurut Para Pemohon, Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM dan penjelasan pasalnya telah merugikan hak konstitusional Para Pemohon yang diberikan dalam Pasal 20D ayat

(22)

(1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

8. Bahwa multitafsir frasa kurang lengkap dalam pasal dan penjelasan pasal tersebut berujung bolak-balik selama kurun waktu 13 tahun telah mengakibatkan kerugian konstitusional berupa hak untuk mendapatkan kepastian hukum sesuai Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, termasuk kepastian hukum untuk mendapatkan hak-hak selaku korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Berat, yakni hak restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi.

9. Bahwa frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena:

a) Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 deklarasi prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan Resolusi Majelis Umum PBB 40/34, 29 November 1985 untuk dijamin dan dilindungi oleh negara.

b) Bahwa selama 13 tahun telah dilakukan upaya-upaya untuk mendorong Kejaksaan Agung, Komisi DPR RI untuk melindungi hasil penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan.

c) Akibat ketidakjelasan penafsiran, menyebabkan perbedaan tafsir mengakibatkan tidak mendapat kemudahan dalam memperoleh keadilan.

10. Frasa kurang lengkap dalam Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Peradilan HAM bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena ketentuan nondiskriminasi dalam Pasal 28I ayat (2) Undang Dasar Tahun 1945, sebagaimana Undang-Undang Nomor 39, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 99 tentang HAM. b. Para Pemohon mengalami perbedaan terkait dengan tidak kunjung

selesainya proses peradilan atas pelanggaran HAM karena bolak-balik (…)

33. KETUA: ANWAR USMAN

Itu dan seterusnya itu sampai ke angka III ya … itu dilewati saja. Jadi, langsung ke … III ya, Penjelasan Jaksa Agung atas Permohonan Pengujian. Nah, langsung ke situ. Tadi hanya pengulangan saja dari … apa … isi petitum permohonan Pemohon. Nah, dilewati saja, Pak. Halamannya tidak ada ini. Oh, ya, halaman 10 kalau sudah ditulis ini, III.

(23)

34. KEJAKSAAN AGUNG: ABDUL KADIRUN

III. Penjelasan Jaksa Agung atas Permohonan Pengujian.

35. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, silakan.

36. KEJAKSAAN AGUNG: ABDUL KADIRUN

Permohonan Pengujian Pasal … Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asas terhadap Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa sebelum Jaksa Agung memberikan keterangan atas materi yang dimohonkan untuk diuji, perkenankanlah Jaksa Agung RI menyampaikan hal-hal sebagai berikut.

1. Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR-I Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak … tentang Hak Asasi Manusia harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam pasal … Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan asas-asas hukum internasional.

2. Bahwa dalam melaksanakan Ketetapan MPR-RI Nomor

XVIII/MPR/1998 dilakukan dengan cara pemberian perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Untuk melaksanakan ketetapan tersebut perlu dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan perwujudan tanggung jawab Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi pengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur Hak Asasi Manusia yang telah disahkan dan/atau diterima oleh Negara Republik Indonesia.

3. Bahwa bertolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian Indonesia,

(24)

perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Dengan merealisasikan terwujudnya Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam bentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 4. Pembentukan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut.

1) Peraturan perundang-undangan yang berlaku, belum dapat menjangkau setiap pelanggaran HAM Berat. Karena rumusan pelanggaran HAM Berat tidak sama dengan perumusan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2) Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat merupakan extraordinary crime dan berdampak pada secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana, serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil.

3) Terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah: (a) diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc, (b) diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan dari pengaduan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (c) diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, (d) diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi, (e) diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kedaluwarsa bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

4) Mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat seperti genosida dan kejahatan terhadap pemeriksaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif sebagai perlindungan Hak Asasi Manusia itu sendiri, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan keabsahannya … kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral

(25)

nilai-nilai agama, keamanan, dan ketentuan umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Oleh karena itu, undang-undang ini juga mengatur pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan peradilan umum.

5) Bahwa sehubungan dengan anggapan Pemohon dalam permohonannya yang mendalilkan Ketentuan Pasal 20 ayat (3) dan penjelasannya yang menyatakan 20 ayat (3), “Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari sejak diterimanya hasil penyidik … penyelidikan, penyidik wajib melengkapi kekurangan tersebut. Penjelasan ayat (3), “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan kurang lengkap adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilanjutkan ke tahap untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.”

Ketentuan di atas oleh para Pemohon bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28D ayat (1), 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Terhadap dalil dari Para Pemohon tersebut, Jaksa Agung memberikan keterangan sebagai berikut.

Bahwa perlu dijelaskan pengertian dari penyelidikan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

Adapun pelaksanaan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia diatur di dalam Pasal 18, yaitu ayat (1), penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, (2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat. Alasan penyelidikan harus dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat independen.

Bahwa berdasarkan penjelasan sebelumnya, dijabarkan bahwa terhadap perkara pelanggaran HAM Berat penanganannya berbeda dengan perkara pidana pada umumnya, yang antara lain dalam hal acara

(26)

penyelidikan menurut KUHAP diintrodusir dengan motivasi perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan ketat terhadap penggunaan upaya paksa, di mana upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan terpaksa dilakukan penyelidikan mendahului tindakan lain, yaitu untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga tindak pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, penyidikan itu dapat dimulai, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 yang menyatakan dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup, telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik.

Adapun untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia harus didasarkan pada hasil penilaian terhadap informasi atau data-data yang diperoleh oleh Komisi Nasional.

Bahwa dengan mengadakan penyelidikan, maka penyelidik harus mempunyai pengetahuan tentang unsur-unsur atau ketentuan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang berat, seperti tercantum dalam Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Pengadilan HAM, hal itu diperlukan untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan siapa pelakunya. Bila penyelidik kurang menguasainya, maka arah penyelidikan menjadi kurang terarah dan tidak menentu, yang memungkinkan untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang keliru. Dengan hasil penyelidikan yang baik dan telah disusun secara rinci, sehingga penyelidik berkesimpulan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia, maka penyelidik melaporkan hasil penyelidikan itu kepada penyidik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) undang-undang a quo, yaitu dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan pada penyidik.

Bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan tetap dihormati asas praduga tidak bersalah, sehingga hasil penyelidikan bersifat tertutup, tidak disebarluaskan sepanjang menyangkut nama-nama yang diduga melanggar hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Bahwa setelah penyelidik membertahukan tentang akan dilakukan penyelidikan berdasarkan kesimpulan yang telah disampaikan kepada penyidik, maka dalam tempo paling lama 7 hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik.

(27)

Tentang Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan undang-undang … dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Bahwa ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta diperlakukan yang sama di hadapan hukum.”

Bahwa dalam penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia apabila penyidik berpendapat hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh penyelidik masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut pada penyidik … penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterima hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.

Bahwa frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM dipertegas dalam Ketentuan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan kurang lengkap adalah belum cukup mengenai unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.

Bahwa Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Peradilan Hak Asasi Manusia sudah cukup memberikan batasan yang secara limitatif yang dimaksud dengan kurang lengkap adalah belum cukup mengenai unsur pelanggaran hak asasi manusia. Dengan demikian, frasa kurang lengkap pada Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak bersifat multitafsir. Oleh karena itu, anggapan para Pemohon yang menyatakan frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah multitafsir merupakan dalil yang tidak benar. Karena walaupun tidak menambah dan memasukkan frasa yang jelas, sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9 pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia hal tersebut tidak akan mengurangi makna bahwa frasa kurang lengkap memiliki pengertian yang sama, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Justru dengan menambah dan memasukkan frasa yang jelas sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9 pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia seperti yang dimohonkan Para Pemohon, maka bunyi pasal menjadi berlebihan yang maknanya sama sekali tidak mengubah esensi dari bunyi Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang telah ada.

Demikian pula jika Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dilakukan perubahan dan ditambah

(28)

redaksinya dengan frasa sebagaimana unsur-unsur tindak pidana yang dijelaskan pada pasal dan penjelasan Pasal 8 dan Pasal 9 justru berbunyi pasal menjadi berlebihan, sementara maknanya sama sekali tidak mengubah esensi dari bunyi Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang telah ada.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia justru memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan sama di hadapan hukum dengan adanya frasa kurang lengkap dan pengembalian hasil penyelidikan kepada penyidik karena faktor kurang lengkap, justru supaya penyelidikan pelanggaran HAM benar-benar memenuhi persyaratan untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan.

Dengan demikian, Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Tentang Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Ketentuan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Bahwa frasa kurang lengkap pada Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan frasa kurang lengkap pada Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, justru membuktikan agar penyelidikan yang dilakukan Komisi Penyelidik dituntut untuk benar-benar menentukan perbuatan pelanggaran hak asasi manusia.

Adanya frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan frasa kurang lengkap pada Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan sarana agar hasil penyelidikan pelanggaran HAM secara yuridis dapat mengungkap dan menemukan siapa pelaku perbuatan pelanggaran HAM, sehingga kelengkapan berkas perkara sebagai syarat formil dan pemenuhan alat bukti, sebagaimana dimaksud dalam Pasal

(29)

184 KUHAP sebagai syarat formil … ulangi sebagai syarat materiil harus terpenuhi secara lengkap.

Dengan demikian, adanya frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan frasa kurang lengkap pada Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia membuktikan pasal dan penjelasannya menjunjung tinggi persamaan dan keadilan, baik pada pelaku-pelaku pelanggaran hak asasi manusia maupun korban dan keluarganya.

Oleh karena itu, maka Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Tentang Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Ketentuan Pasal 28I ayat (2) 1945 menyebutkan, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Sebagaimana telah diuraikan dan dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa frasa kurang lengkap atau Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan frasa kurang lengkap, pada Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah memberikan jaminan dan kepastian hukum, serta perlakuan sama di hadapan hukum. Bahwa frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) Undang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan mengembalikan hasil penyelidikan HAM kepada penyelidik, supaya penyelidikan pelanggaran HAM Berat tersebut dilengkapi, hal ini menandakan bahwa Undang-Undang Pengadilan HAM menerapkan perlakuan hukum yang tidak bersifat diskriminatif terhadap siapa saja. Bahwa frasa kurang lengkap, pada penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM membuktikan Undang-Undang-Undang-Undang Pengadilan HAM, tersebut menjunjung tinggi persamaan hak dan kedudukan dan tidak bersifat diskriminatif setiap orang dalam hukum.

Dengan mengingat perkara pelanggaran HAM Berat dapat

dilakukan oleh sebuah organisasi atau perorangan yang memiliki kekuasaan, sehingga kejaksaan dan Komnas HAM harus betul-betul

(30)

serius dan bekerja keras dalam menentukan dan ... dalam menemukan dan menentukan pelaku sebenarnya dalam proses penyelidikan pelanggaran HAM karena sifatnya sebagai tindak pidana kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime).

Dengan demikian, maka Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Berdasarkan uraian di atas, terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap ketentuan a quo telah merugikan hak konstitusionalnya karena frasa kurang lengkap bersifat diskriminatif ... bersifat limitatif dan multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian adalah dalil yang tidak benar.

Kesimpulan. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Kejaksaaan Agung Republik Indonesia memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, memutus permohonan Pengujian Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut. 1. Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk

memeriksa dan memutus perkara a quo.

2. Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). 3. Menolak permohonan pengajuan ... pengujian yang diajukan Para

Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan Para Pemohon ... pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima.

4. Menerima keterangan Kejaksaan Agung untuk seluruhnya.

5. Menyatakan Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya.

Atas perhatian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diucapkan terima kasih. Jakarta, 8 September 2015. Jaksa Agung Republik Indonesia H. M. Prasetyo. Terima kasih.

(31)

37. KETUA: ANWAR USMAN

Ya, terima kasih. Mohon kembali ke tempat dulu. Dari meja Hakim mungkin ada pertanyaan? Ya, mulai dari ujung dulu, Yang Mulia Pak Suhartoyo, silakan.

38. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia.

Memang tadi kami menunggu-nunggu kehadiran Bapak-Bapak ini. Jadi ketika pertanyaan dari Majelis tadi sudah diajukan, sebenarnya cukup satu pertanyaan, tapi seperti yang disampaikan oleh Bapak-Bapak tadi karena ada persoalan-persoalan yang harus diselesaikan, sehingga kehadirannya menjadi terlambat. Saya ingin tahu dulu, yang hadir ini ada tidak di bagian atau direktorat yang khusus mengenai masalah HAM ini? Ada, di bagian apa itu, Pak?

Pencet, Pak! Pencet! Biar kami dengar semua.

39. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Kasubdit HAM Berat pada Jampidsus.

40. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Ada, Pak, siapa? Siapa, Pak, namanya, Pak?

41. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Pak Toto.

42. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Pak Toto?

43. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Ya.

44. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Ketika ada persoalan yang kemudian berkas bolak-balik, Bapak sudah dinas di situ? Belum?

(32)

45. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Kami baru satu tahun, ya.

46. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Baru satu tahun?

47. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Ya.

48. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Tapi Bapak tahu persis persoalan-persoalan yang dipersoalkan sekarang ini?

49. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Tahu persis (...)

50. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Tahu (...)

51. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Untuk pengembalian P-19, baru yang terakhir.

52. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

P-19?

53. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Ya.

54. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Jadi kalau dari penyidik ke penyidik, juga ada P-19?

55. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

(33)

56. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Ada. Ada, Pak?

57. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Ada karena belum memenuhi unsur formil materiil.

58. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Ya. Itu kan biasa dari penuntut ke penyidik.

59. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Ya.

60. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Yang selama ini Anda praktikkan.

61. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Ya.

62. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Kalau dari penyidik ke penyidik juga menggunakan P-19 juga?

63. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Tentu, Pak.

64. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Tentu?

65. KEJAKSAAN AGUNG: TOTO

Ya.

66. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Baik. Kalau demikian, kalau kita kaitkan dengan persoalan yang sekarang kita buka di persidangan ini, ada persoalan di Pasal 20 ayat (3) yang sebenarnya secara norma, sebenarnya persoalannya bahwa ketika

Referensi

Dokumen terkait

Setelah kalian berdiskusi dengan teman kelompok tentang menentukan nama sudut, jenis sudut, dan cara mengukur sudut menggunakan busur derajat, maka kesimpulan dari

Berdasarkan kesimpulan di atas word of mounth marketing dapat mempengaruhi keputusan pembelian maka coffe Tamiang harus selalu memperhatikan kepercayaan konsumen

[r]

Pelapisan hot dipped galvanizing adalah suatu proses pelapisan dimana logam pelapisnya yaitu zinc dileburkan terlebih dahulu didalam bak galvanis ataupun dapur peleburan

Pengaruh Fee Based Income Terhadap Profitabilitas Bank Umum Swasta Nasional Devisa Yang Terdaftar Di Bei Periode 2010-2013.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Helmia Farida, M.Kes, Sp.A, sebagai penguji laporan hasil penelitian yang telah menyediakan waktu untuk menguji hasil penelitian Karya Tulis Ilmiah ini.. Dharminto,

Begitu pula dengan instrumen wakaf yang merupakan instrumen amal kebajikan individu untuk masyarakat, apa bila dikelola dengan baik akan menjadi jaminan sosial bagi

Dengan menggunakan alat bongkar muat kapal dan unitisasi muatan yang terpilih, dapat meningkatkan kinerja operasional kapal.. Peningkatan kinerja operasional kapal