PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI
Skripsi ini tidak dipublikasikan, namun tersedia di perpustakaan dalam lingkungan Universitas Airlangga, diperkenankan untuk dipakai sebagai referensi kepustakaan, tetapi pengutipan harus seizin penyusun dan harus menyebutkan sumbernya sesuai kebiasaan ilmiah. Dokumen skripsi ini merupakan hak milik Universitas Airlangga.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa’Taala, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Hubungan Kekerabatan Curcuma spp. berdasarkan Karakter Morfologi dan Metabolit Sekunder”. Skripsi ini disusun guna memenuhi syarat kelulusan program studi S1-Biologi Universitas Airlangga.
Penyusun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penyusun menyampaikan permohonan maaf apabila ada kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Penyusun juga menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa bimbingan, saran, bantuan dan dorongan dari semua pihak yang bersangkutan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun maupun pembaca. Akhir kata, penyusun memohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan, sekian dan terima kasih.
Surabaya, 5 Juni 2016 Penyusun,
Nindia Fairuzi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan naskah skripsi ini dengan baik. Naskah skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Dr. Hamidah, M.Kes., selaku pembimbing I, terimakasih atas waktu, tenaga, ilmu, arahan, perhatian dan bimbingannya.
2. Bapak Prof. H. Hery Purnobasuki, Ph.D., selaku pembimbing II, terimakasih atas waktu, arahan dan bimbinganya.
3. Ibu Dra. Thin Soedarti, CESA, selaku penguji III, terimakasih untuk ilmu, saran dan perhatiannya.
4. Ibu Dr. Alfiah Hayati, selaku penguji IV, terimakasih untuk ilmu, saran dan perhatiannya.
5. Bapak Drs. Salamun, M.Kes, selaku dosen wali untuk saran, bimbingan dan perhatiannya.
6. Bapak Prof. Win Darmanto, M.Si., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Unair, untuk ilmu dan saran yang diberikan.
7. Bapak Dr. Sucipto Hariyanto, DEA., selaku Ketua Departemen Biologi dan Ketua Progam Studi Biologi FST Unair, untuk ilmu, saran dan perhatian yang diberikan.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Departemen Biologi untuk ilmu, motivasi dan saran yang diberikan selama menempuh pendidikan di progam studi Biologi.
9. Staff dan Karyawan Departemen Biologi, Mbak Arie, Mbak Yatminah, Mas Catur Sasongko, Mas Eko Suyanto, Mas Setyanto, Mas M. Sudjoko, Bapak Sunarto, Bapak Sukadji, Bapak Suwarni, terimakasih karena membantu penulis dalam perihal administrasi maupun kemudahan meminjam alat dan laboratorium selama masa studi hingga penelitian.
10. Ibu Dwi Kusuma Wahyuni, S.Si., M.Kes, selaku dosen pembina Taman Husada Graha Family, atas izin yang diberikan kepada penulis sejak praktek kerja lapangan hingga penelitian skripsi di Taman Husada Graha Family Surabaya.
11. PT. Intiland Grande Surabaya sebagai developer perumahan Graha Famili Surabaya, General Manager dan Staff Management Property Graha Famili Surabaya atas izin yang diberikan kepada penulis sejak praktek kerja lapangan hingga penelitian skripsi di Taman Husada Graha Family Surabaya.
12. Kepada Dosen Pengampu mata kuliah Metode Fitokimia semester gasal 2015/2016, Ibu Dr. Nanik Siti Aminah, M.Si. (Wadek III), Ibu Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA., Ibu Dr. Pratiwi Pudjiastuti,M.Si., Bapak Dr. Mulyadi Tanjung, M.S., untuk ilmu, saran, dan perhatiannya selama penulis mengikuti perkuliahan metode fitokimia.
13. Ibu Prof. Dr. Afaf Baktir, MS. selaku dosen mata kuliah Agama Islam 2 semester genap 2015/2016, untuk saran, bimbingan dan perhatiannya.
14. Keluarga tercinta, Papa Ir. Edirosa, Mama Dra. Yuvita Swandayani, Adek tersayang Nabila Dhea Shafira, Eyang kakung H. Soedaryanto, S.H. dan Eyang putri Hj. Yoeliawati, Keluarga Tante Andari Priantina, S.Psi., untuk do’a, kasih sayang, perhatian, dukungan, dan motivasinya.
15. Sahabat-sahabatku, BMC (Biology Manga Club): Yulia Rahmawati (Yura), Lia Anggraeni M (Honami), Elisabeth K.P (Beth), Nina Novianti (Nee- chan), Sarah Pramithasari (Sei). Sahabatku: Rizky Noor Adha (Eki), Muhammad Nadhif (Nadhif), Muhammad Bachruddin (Rudi), Fairuz Nabil Izdihar (Iruz) dan Sri Lestari Ningsih (Tama), Radityo Dharmawan (Kakak Oben) dan Risna Febrianti (Risna), Aulia Puspita S (Uli), Ahmad Rafdi W (Rafdi), dan seluruh teman satu angkatan di Biologi Unair 2012, terimakasih untuk persahabatan, waktu kebersamaan yang menyenangkan selama menempuh pendidikan.
16. Kak Hebert Adrianto (Biologi Unair 2008) dan teman-teman dari kelas Metode Fitokimia semester gasal 2015-2016, Dina, Rani, Citra, Okky, Isma, Salma, Wiwik, Balqis, Atul, Erika, Nike, Fajar, Mas Ferries untuk ilmu dan motivasi yang diberikan.
17. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung, memberi saran, bantuan, motivasi, dan semangat selama melaksanakan penelitian dan studi yang tidak dapat penulis sebutkan satu- persatu. Terimakasih atas do’a dan harapan baiknya untuk penulis.
Surabaya.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi karakter morfologi dan metabolit sekunder pada lima Curcuma spp., hubungan kekerabatan lima Curcuma spp.
berdasarkan karakter morfologi dan metabolit sekunder, juga karakter dan karakteristik apa saja yang membedakan dan mempengaruhi pengelompokan lima Curcuma spp.
Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan di zona Zingiberaceae, Taman Husada Graha Famili, Surabaya. Pengamatan morfologi meliputi karakter perawakan, daun, batang/pseudostem, rimpang dan bunga. Kandungan metabolit sekunder diuji dengan skrining fitokimia (senyawa alkaloid, flavonoid, terpenoid, steroid, tannin, dan minyak atsiri). Data dianalisis dengan metode fenetik (menggunakan SPSS 21) dan deskriptif (deskriptif analitik dan deskriptif diagnostik-diferensial). Hasil analisis deskriptif menunjukkan terdapat variasi karakter morfologi dan metabolit sekunder pada Curcuma spp. Hasil analisis fenetik, menunjukkan hubungan kekerabatan antar Curcuma spp. ditinjau dari karakter morfologi, metabolit sekunder dan dendogram menghasilkan 2 kelompok utama, yaitu kelompok a yang beranggotakan C. heyneanae, C. mangga, C. aeruginosa, C. xanthorrhiza dan Z. amaricans, pada nilai similaritas 62,8% dan memisah dengan kelompok b yang beranggotakan Curcuma domestica pada nilai similaritas 51,6%. Hal ini membuktikan bahwa Z. amaricans (outgroup) mempunyai hubungan kekerabatan yang jauh dengan 5 spesies dari genus Curcuma dengan nilai similaritas 99,4 %. Sedangkan karakter dan karakteristik yang membedakan dan mempengaruhi pengelompokan antar Curcuma spp. berdasarkan analisis PCA (Principal Component Analysis) ada 3 komponen. Komponen 1: tinggi;
habitus pseudostem; daun: sudut letak daun, ujung, pangkal, lebar, panjang, venasi, pola venasi, warna permukaan atas dan bawah daun; rimpang: habitus, warna daging, warna permukaan; warna korola, dan kandungan flavonoid. Komponen 2: intensitas warna hijau pada batang; pewarnaan anthocyanin di pseudostem; bangun daun;
keberadaan warna ibu tangkai daun; warna ibu tangkai daun; rimpang: bentuk, pola internodus, permukaan; warna ujung bractea, warna korola, warna labellum, warna pistilum, dan kandungan steroid. Komponen 3: habitus pseudostem; daun: sudut letak daun, ujung, pangkal, tepi, venasi; rimpang: jumlah induk, warna inner core, dan warna permukaan.
Kata Kunci : Kekerabatan, Curcuma, morfologi, skrining fitokimia, dendogram
Surabaya.
ABSTRACT
This study aims to determine variations of morphological characters and secondary metabolites in five Curcuma spp., phylogenetic relationship of five Curcuma spp. based on morphological characters and secondary metabolites, character and characteristics that could differentiate and affect grouping of five Curcuma spp.
Observations and sampling were carried out in Zingiberaceae zone, Taman Husada Graha Famili, Surabaya. Morphological observation included plant habit, leaf, stem/pseudostem, rhizomes and flowers. The content of secondary metabolites were tested with phytochemical screening (alkaloids, flavonoids, terpenoids, steroids, tannins, and essential oils). Data were analyzed with phenetic method (using SPSS 21) and descriptive (analytic and diagnostic-differential description). Variations in morphological characters and secondary metabolites in Curcuma spp. shown by Descriptive analysis result. Phenetic analysis results, showed phylogenetic relationship between Curcuma spp. based on morphological characters, secondary metabolites and dendogram produce two main groups, group ‘a‘ consist of C. heyneanae, C. mango, C.
aeruginosa, C. xanthorrhiza and Z. americana, with similarity value of 62,8% and splitting with group ‘b’ consisti of C. domestica with similarity value of 51,6%. This result proves that Z. americana (outgroup) had distant phylogenetic relationship with other five species of genus Curcuma with similarity value of 99,4%. While the character and characteristics that differentiate and affect grouping between Curcuma spp. based on Principal Component Analysis are divided into 3 components. 1st component: height; pseudostem habit; Leaf: leaf disposition, tip, base, width, length, venation, venation pattern, upper and lower surfaces color; Rhizome: habit, flesh color, surface color; corolla color, and flavonoid. 2nd component: intensity of green color and anthocyanin coloration in pseudostem; leaf shape; midrib color presence; midrib color;
Rhizome: shape, internodus pattern, surface; bractea tip color, corolla color, labellum color, pistillum color, and steroids. 3rd component: pseudostem habit; Leaf: leaf disposition, tip, base, margin, venation; Rhizome: mother rhizome number, inner core color, and surface color.
Key Words : Phylogenetic relationship, Curcuma, morphology, phytochemical screening, dendogram
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL …... i
LEMBAR PERNYATAAN …... ii
LEMBAR PENGESAHAN …... iii
PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI …... iv
KATA PENGANTAR …... v
UCAPAN TERIMA KASIH …... vi
ABSTRAK …... x
ABSTRACT …... xi
DAFTAR ISI …... xi
DAFTAR GAMBAR …... xiv
DAFTAR TABEL …... xv
DAFTAR LAMPIRAN …... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang …... 1
1.2 Rumusan Masalah …... 6
1.3 Asumsi Penelitian …... 7
1.4 Hipotesis Penelitian …... 7
1.5 Batasan Penelitian…... 7
1.6 Tujuan Penelitian ... ... 8
1.7 Manfaat Penelitian …... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Keanekaragaman Hayati …... 10
2.2 Tinjauan Tentang Biosistematika …... 11
2.3 Tinjauan Tentang Metode Fenetik …... 13
2.4 Karakter Morfologi Sebagai Bukti Taksonomi …... 15
2.5 Tinjauan Kemotaksonomi …... 15
2.6 Tinjauan Kemotaksonomi Genus Curcuma …... 16
2.7 Tinjauan Metabolit Sekunder ... 17
2.8 Pengambilan Sampel Tumbuhan …... 23
2.9 Pengeringan Sampel Tumbuhan …... 24
2.10 Penghalusan Sampel Tumbuhan …... 25
2.11 Prinsip Ekstraksi Tumbuhan …... 25
2.12 Pemurnian Ekstrak …... 27
2.13 Tinjauan Skrining Fitokimia …... 29
2.14 Tinjauan Tentang Famili Zingiberaceae …... 29
2.14.1 Klasifikasi... 29
2.14.2 Morfologi ... 30
2.15 Tinjauan Tentang Genus Curcuma ... 30
2.15.1 Klasifikasi ... 30
2.15.2 Morfologi ... 32
2.16 Tinjauan Curcuma xanthorrhiza ... 33
2.16.1 Klasifikasi ... 33
2.16.2 Morfologi ... 33
2.17 Tinjauan Curcuma domestica ... 36
2.17.1 Klasifikasi ... 36
2.17.2 Morfologi ... 37
2.18 Tinjauan Curcuma heyneana ... 38
2.18.1 Klasifikasi ... 38
2.18.2 Morfologi ... 39
2.19 Tinjauan Curcuma aeruginosa ... 40
2.19.1 Klasifikasi ... 40
2.19.2 Morfologi ... 41
2.20 Tinjauan Curcuma mangga ... 42
2.20.1 Klasifikasi ... 42
2.20.2 Morfologi ... 43
2.21 Tinjauan Zingiber americana... 44
2.21.1 Klasifikasi ... 44
2.21.2 Morfologi ... 44
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian …... 46
3.2 Bahan dan Alat Penelitian …... 46
3.2.1 Bahan penelitian …... 46
3.2.2 Alat Penelitian …... 47
3.3 Prosedur Penelitian …... 47
3.3.1 Definisi Operasional …... 47
3.3.2 Tahap-tahap Prosedur Penelitian …... 48
3.3.2.1 Persiapan Penelitian…... 48
3.3.2.2 Pengumpulan Spesimen …... 49
3.3.2.3 Pendataan Karakter ... 49
3.3.2.4 Skrining Fitokimia ... 49
3.3.2.5 Analisis Data ... 49
3.4 Parameter yang Diamati ... 51
3.4.1 Karakter Morfologi ... 51
3.4.2 Skrining Fitokimia ... 52
3.4.3 Penghitungan Parameter Fisikokimia ... 54
3.5 Cara Kerja Pengambilan Sampel ... 55
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 57
4.1.1 Pengamatan Faktor Lingkungan ... 57
4.1.2 Analisis Hubungan Kekerabatan Curcuma spp Berdasarkan Karakter Morfologi dan Metabolit Sekunder dengan Deskripsi ... 57 4.1.2.1 Deskripsi Analitik ... 61
4.1.2.2 Deskripsi Diagnostik Differensial ... 73
4.1.4Kajian Hubungan Kesamaan Karakteristik Spesies Curcuma menggunakan fenogram ...
92
4.1.5 Hasil Skrining Fitokimia ... 101
4.1.5.1Hasil Pembuatan Ekstrak ... 102
4.1.5.2Evaporasi ... 105
4.1.5.3 Pemeriksaan Fitokimia ... 105
4.2 Pembahasan ... 107
4.2.1 Keanekaragaman morfologi dan metabolit sekunder spesies pada Curcuma spp. ... ... 107 4.2.2 Hubungan kekerabatan antar spesies pada Curcuma spp... 111
4.2.3 Karakter morfologi dan metabolit sekunder yang mempengaruhi pengelompokan spesies pada Curcuma spp. ... 113 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 117
5.2 Saran . ... 118
DAFTAR PUSTAKA 119
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Contoh senyawa alkaloid berdasarkan penyusun asam aminonya 18
2.2 Contoh senyawa golongan flavonoid 19
2.3 Contoh senyawa golongan tannin 20
2.4 Contoh senyawa terpenoid 21
2.5 Curcuma xanthorrhiza 33
2.6 Curcuma domestica 37
2.7 Curcuma heyneanae 39
2.8 Curcuma aeruginosa 41
4.1 Morfologi temulawak 63
4.2 Morfologi kunyit 65
4.3 Morfologi temu giring 67
4.4 Morfologi temu ireng 69
4.5 Morfologi temu mangga 71
4.6 Morfologi lempuyang emprit 73
4.7 Dendogram hubungan fenetik antara lima spesies dari genus Curcuma dan satu spesies sebagai outgroup dari family Zingiberaceae yang diteliti dengan analisis karakteristik morfologi dan metabolit sekunder
95
4.8 Proses pengeringan rimpang 103
4.9 Contoh hasil penghalusan serbuk rimpang yang siap dimaserasi 104 4.10 Perbandingan daun 5 spesies dari genus Curcuma dan 1 outgrup 109 4.11 Perbandingan bunga 5 spesies dari genus Curcuma dan 1 outgrup 110 4.12 Perbandingan rimpang 5 spesies dari genus Curcuma dan 1 outgrup 110
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1 Data pengamatan faktor lingkungan 57
4.2 Daftar Karakter morfologi dan metabolit sekunder 59 4.3 Hasil penghitungan indeks similaritas dengan koefisien
simple matching 93
4.4 Pengelompokan karakteristik morfologi berdasarkan
average linkage 94
4.5 Nilai komponen utama karakter morfologi dan metabolit
sekunder Curcuma spp. dan outgrup 98
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
1 Tabel Karakter
2 Tabel hasil pengamatan karakter morfologi dan metabolit sekunder Curcuma spp. dan outgrup
3 Tabel skoring hasil pengamatan karakter morfologi dan metabolit sekunder genus Curcuma
4 Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian 5 Tabel Warna
6 Proses maserasi
7 Hasil maserasi sebelum dievaporasi 8 Hasil ekstrak kental metanol
9 Hasil ekstrak kental n-heksana 10 Alat rotary evaporator
11 Ringkasan
12 Analisis Data Menggunakan IBM SPSS 21
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Biodiversitas adalah kelimpahan berbagai jenis sumberdaya alam hayati (tumbuhan dan hewan) yang terdapat di muka bumi (Nagy dan Mardiastuti, 1999).
Secara geografis ada perbedaan persebaran biodiversitas di seluruh dunia.
Sehingga hanya ada beberapa daerah atau Negara yang menjadi Centre of Diversity. Negara yang termasuk dalam Centre of Biodiversity dikenal tidak hanya karena kekayaan spesiesnya, tetapi juga karena tingkat biodiversitasnya seperti jumlah garis filogenetik yang beragam dan jumlah spesies endemik dan lain lain (Khrisnamurty, 2003).
Indonesia termasuk dalam 12 negara megabiodiversitas dengan keanekaragaman yang tinggi (McNeely et al., 1990), terutama keanekaragaman tumbuhannya. 12 Negara Megabiodiversitas tersebut (Brazil, Columbia, China, Mexico, Indonesia, Ecuador, Australia, India, Peru, Malaysia, Zaire dan Madagascar) memiliki lebih dari 70% tanaman berpembuluh yang ada di dunia.
Sehingga strategi konservasinya dipengaruhi oleh perbedaan geografisnya. Selain itu ada beberapa kriteria sebuah negara dikategorikan sebagai Centre of Plant Diversity, yaitu karena banyaknya jumlah spesies endemik yang tersebar di berbagai tipe habitat dan juga berbagai spesies yang memiliki nilai guna bagi manusia.
Indonesia memiliki sekitar lebih dari 6.000 tumbuhan dari 28.000 jenis tumbuhan di dunia yang telah diketahui potensinya (Rifai, 1994). Wilayah yang luas, keadaan geografis berupa negara kepulauan yang mendukung terjadinya proses spesiasi, letak biogeografis di antara dua pusat keanekaragaman tumbuhan dunia yaitu Indo Malaya dan Australia, serta keanekaragaman ekosistem yang tinggi menjadi faktor utama tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia (Djamaludin, 1997; Primarck et al., 1998).
Di dalam mempelajari biodiversitas, sering dibicarakan istilah gen, spesies dan ekosistem terkait dengan tiga dasar tingkat hierarki dari organisasi biologis;
keanekaragaman gen, spesies dan ekosistem (Khrisnamurty, 2003). Menurut Harper dan Hawksworth (1994), Norse et al. (1986) adalah yang pertama kali menggunakan istilah biological diversity untuk tiga level organisasi biologis.
Keanekaragaman dalam satu spesies atau intra-spesies disebut keanekaragaman genetik, keanekaragaman antar spesies disebut keanekaragaman spesies, sementara keanekaragaman pada tingkat habitat atau secara ekologi disebut keanekaragaman ekosistem. Keanekaragaman genetik adalah sumber untuk kelangsungan hidup spesies tersebut dan evolusi masa depan; selain itu juga mendukung selective breeding (Groombridge, 1992). Dengan tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan yang tinggi sehingga keanekaragaman genetiknya juga tinggi (Rifai, 1994).
Kekayaan jenis rempah-rempah merupakan bukti dari tingginya keanekaragaman hayati di Kawasan Nusantara yang pernah dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah karena banyaknya tumbuhan atsiri di kawasan ini
(Setyawan, 2003). Menurut Verma (1982) rempah-rempah sendiri adalah bagian dari tumbuhan yang bisa dikonsumsi (edible) dan dimanfaatkan aromanya maupun sebagai penyedap rasa. Rasa dan aromanya yang khas berasal dari kandungan minyak atsiri, berupa senyawa yang terdiri dari berbagai macam molekul. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai rempah-rempah umumnya adalah rimpang, kulit kayu, bunga dan kuncup bunga, dan buah. Bagian tanaman tersebut umumnya berasal dari famili Zingiberaceae, termasuk dari genus Curcuma.
Namun kualitas dan kuantitas penggunaan Curcuma kini menurun akibat substitusi bahan-bahan lain, baik alami maupun sintetis. Saat ini nampaknya hanya kunyit (Curcuma domestica Val) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) yang lebih banyak diminati di pasaran. Oleh karena itu, untuk meningkatkan peluang pemanfaatannya dipasaran, perlu dilakukan penelitian mendalam terhadap anggota genus Curcuma agar peluang pemanfaatannya terbuka luas. Selama ini penelitian taksonomi dari genus Curcuma umumnya terbatas dan belum sebanyak penelitian taksonomi Zingiberaceae meskipun ruang lingkupnya hanya dilakukan terhadap morfologi bunga dan sebagian kecil anatomi rimpang, sehingga data yang terkumpul relatif terbatas (Setyawan, 2003; Marsusi et al., 2001).
Curcuma adalah salah satu genus dari family Zingiberaceae. Terdapat sekitar 70 spesies yang menjadi anggota dari genus Curcuma, yang terdiri dari herba berimpang dan banyak ditemukan di kawasan Indo-Malaysia. (Purseglove, 1972). Menurut Islam (2004), nama Curcuma pertama kali disebutkan oleh
Linnaeus dalam bukunya Spesies Plantarum pada tahun 1753. Kemungkinan mengambil dari Bahasa Arab ‘Kurkum’ yang artinya warna kuning. Karena bagian tumbuhan terpenting yang sering digunakan manusia untuk berbagai kebutuhan adalah rimpangnya yang berwarna kuning (Salvi et al., 2000; Shirgurkar et al., 2001). Menurut Purseglove (1972), dari sekian banyak spesies dalam genus Curcuma, ada beberapa spesies yang sering dimanfaatkan sebagai pewarna, bumbu masak dan obat-obatan, sehingga dianggap penting dari segi ekonomi, yaitu C. domestica; C. amada; C. angustifolia; C. aromatica; C. caesia; C.
mangga; C. xanthorrhiza; C. zedoaria; C. heyneana; dan C. aeruginosa. Lima diantaranya (C. domestica; C. mangga; C. xanthorrhiza; C. zedoaria; dan C.
heyneana) dan C. purpuescens Bl. menurut Sudarnadi (1996) adalah contoh beberapa spesies yang ada di Indonesia.
Penelitian yang telah dilakukan selama ini pada Curcuma masih terfokus pada pengolahannya dan pemanfaatannya sebagai tanaman obat dan umumnya hanya meneliti satu spesies tertentu bukan secara keseluruhan dalam satu genus.
Sukardi et al., (2009) melakukan Analisis Kelayakan Industri Tablet Effervescent dari Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Selain itu Yee Ching et al., (2014) berhasil mengekstraksi minyak atsiri dari Curcuma longa dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) pada temperature yang berbeda sehingga dihasilkan tingkat antioksidan yang berbeda- beda. Chaveerach et al., (2008), menemukan spesies baru dari Curcuma yang ternyata bisa digunakan sebagai obat penawar racun ular Cobra. Aktivitas zat anti bakteri pada rimpang kunyit juga telah diteliti oleh Marwati et al., (1995). Tidak
hanya di bidang medis, Curcuma juga dimanfaatkan di bidang peternakan.
Nataamijaya et al., (1999) telah berhasil meneliti Pengaruh pemberian kunyit (Curcuma domestica Val dan lempuyang (Zingiber aromaticium Val) terhadap bobot badan, konversi pakan dan IOFCC broiler. Adapun penelitian terhadap genus Curcuma yang terkait dengan ilmu taksonomi maupun biosistematika jumlahnya masih terbatas, dan umumnya hanya meneliti spesies tertentu. Seperti yang dilakukan oleh Setiadi et al., (2014) yang meneliti karakterisasi dan uji kekerabatan aksesi temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.). Keeratinijakal et al., (2010) melakukan penelitian Identifikasi dan karakterisasi Curcuma comosa Roxb., tanaman produsen phytoestrogens, menggunakan penanda AFLP dan karakter morfologi. Meskipun demikian ada beberapa penelitian yang mencakup genus Curcuma maupun family Zingiberaceae. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Setyawan (2003) yang meneliti keanekaragaman kandungan minyak atsiri rimpang Temu-temuan (Curcuma). Selain melalui pendekatan kemotaksonomi, juga melakukan penelitian melalui pendekatan anatomi pada anggota family Zingiberaceae. Sedangkan penelitian mengenai hubungan kekerabatan dengan pendekatan morfologi maupun kandungan metabolit sekunder belum banyak dilakukan terutama di Indonesia.
Dalam hubungan kekerabatan, taksa digolongkan berdasarkan keseluruhan persamaan atau ketidaksamaan yang dimiliki antar dua taksa atau lebih (Saupe, 2005). Maka tidak menutup kemungkinan bahwa tanaman yang masih dalam satu taksa akan mempunyai persamaan morfologi maupun kandungan biokimianya.
Hal ini membuktikan semakin dekat kekerabatan antar dua individu maka
semakin besar derajat kesamaan antar kedua individu tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang mengkaji diversitas karakteristik morfologi dan hubungan kekerabatan spesies pada genus Curcuma melalui pendekatan morfologi dan kandungan metabolit sekunder dan dianalisis hubungannya secara fenetik. Pada penelitian ini digunakan outgroup yaitu Zingiber americana.
Menururt Simpson (2006), outgroup adalah takson yang dinilai dekat tetapi bukan termasuk dari anggota ingrup (kelompok yang dianalisis, dalam penelitian ini adalah spesies). Pengggunaan outgroup bertujuan sebagai pembanding dalam pembuatan dendogram.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini dirancang untuk menjawab permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah terdapat variasi karakter morfologi dan metabolit sekunder pada spesies C. xanthorrhiza, C. domestica, C. heyneana, C. aeruginosa, dan C.
mangga ?
2. Bagaimana hubungan kekerabatan C. xanthorrhiza, C. domestica, C.
heyneana, C. aeruginosa, dan C. mangga. berdasarkan pendekatan morfologi dan analisis kandungan metabolit sekunder?
3. Karakter dan karakteristik apa saja yang dapat membedakan dan dapat mempengaruhi pengelompokan C. xanthorrhiza, C. domestica, C.
heyneana, C. aeruginosa, dan C. mangga. ?
1.3 Asumsi Penelitian
Hubungan kekerabatan antara 2 individu atau populasi dapat diukur berdasarkan kesamaan sejumlah karakter (Martasari et al., 2009). Semakin banyak dua taksa berbagi penampakan yang sama, semakin cenderung keduanya akan ditempatkan pada kelompok yang sama (Saupe, 2005). Berdasarkan landasan teori tersebut maka dapat diamsusikan bahwa semakin banyak kesamaan karakter antara C. xanthorrhiza, C. domestica, C. heyneana, C. aeruginosa, dan C. mangga.
maka hubungan kekerabatannya semakin dekat dan dapat ditempatkan pada kelompok yang sama.
1.4 Hipotesis Penelitian
1. Semakin banyak karakter yang berbeda antara C. xanthorrhiza, C.
domestica, C. heyneana, C. aeruginosa, dan C. mangga, tingkat keanekaragamannya juga semakin tinggi.
2. Banyaknya kesamaan karakter dan karakteristik antara C. xanthorrhiza, C.
domestica, C. heyneana, C. aeruginosa, dan C. mangga, menunjukkan kedekatan hubungan kekerabatan diantara varietas tanaman tersebut.
1.5 Batasan Penelitian
Penulis membatasi ruang lingkup skripsi ini, antara lain sebagai berikut:
1. Metode analisis kekerabatan yang digunakan adalah metode fenetik.
2. Karakter yang diamati adalah karakter morfologi dan keberadaan metabolit sekunder. Keduanya menjadi bukti taksonomi yang digunakan sebagai sebagai alat untuk menguji kekerabatan.
3. Metabolit sekunder yang diuji keberadaannya adalah alkaloid, flavonoid, terpenoid, steroid, tanin dan minyak atsiri menggunakan uji skrining fitokimia.
4. Sampel yang digunakan pada penelitian ini berada di zona Zingiberaceae, Taman Husada Graha Famili, Wiyung, Surabaya.
1.6 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui keanekaragaman morfologi dan kandungan metabolit sekunder antara C. xanthorrhiza, C. domestica, C. heyneana, C.
aeruginosa, dan C. mangga.
2. Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara C. xanthorrhiza, C.
domestica, C. heyneana, C. aeruginosa, dan C. mangga berdasarkan pendekatan morfologi dan kandungan metabolit sekunder.
3. Untuk mengetahui karakter dan karakteristik apa saja yang dapat membedakan dan dapat mempengaruhi pengelompokan antara C.
xanthorrhiza, C. domestica, C. heyneana, C. aeruginosa, dan C. mangga.
1.7 Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan hasil penelitian dapat digunakan untuk :
1. menjelaskan variasi karakter fenotip (morfologi) dan kandungan metabolit sekunder yang menyebabkan keanekaragaman spesies pada C.
xanthorrhiza, C. domestica, C. heyneana, C. aeruginosa, dan C. mangga..
2. menjelaskan hubungan kekerabatan antara C. xanthorrhiza, C. domestica, C. heyneana, C. aeruginosa, dan C. mangga ditinjau dari karakter morfologi, kandungan metabolit sekunder dan karakter-karakter yang mempengaruhi pengelompokkan spesies pada C. xanthorrhiza, C.
domestica, C. heyneana, C. aeruginosa, dan C. mangga.
3. referensi dan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya di bidang taksonomi dan konservasi.
4. referensi ilmiah bagi pembaca dari berbagai kalangan untuk keperluan inventarisasi dalam pemanfaatan hasil tanaman dari berbagai genus Curcuma dalam bidang industri, farmakologi maupun pangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati atau biological diversity (Biodiversity) adalah istilah yang merujuk kepada keanekaragaman jumlah, varietas dan sebagainya dari mahluk hidup yang ada di bumi. Biodiversity mencakup hubungan gen, spesies, dan ekosistem dengan level hierarki dari organisasi biologis; ketiga level ini adalah keanekaragaman genetis, keanekaragaman spesies dan keanekaragam ekosistem, (Khrisnamurty, 2003). Menurut, Harper dan Hawksworth (1994), penggunaan istilah biological diversity pada tiga level organisasi biologi pertama kali dikemukakan oleh Norse et al., (1986). Menurut Khrisnamurty (2003) Keanekaragaman yang terdapat dalam spesies disebut keanekaragaman genetik, sementara keanekaragaman antar spesies disebut keanekaragaman spesies, sedangkan keanekaragaman ekologi atau tingkat habitat disebut keanekaragaman ekosistem.
Keanekaragaman spesies mencakup seluruh spesies yang ditemukan di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan, yang bersel banyak atau multiseluler). Spesies dapat diartikan sebagai sekelompok individu yang menunjukkan beberapa karakteristik penting berbeda dari kelompok-kelompok lain baik secara morfologi, fisiologi atau biokimia. Definisi spesies secara morfologis ini yang paling banyak digunakan oleh para taksonomis yang mengkhususkan diri untuk
mengklasifikasikan spesies dan mengidentifikasi spesimen yang belum diketahui (Indrawan et al., 2007).
Pada susunan taksonomi, spesies sangat umum digunakan dan telah diterima sebagai unit dasar dari kategori hierarki dalam penyusunan struktrur taksonomi. Spesies juga dinilai sangat penting untuk menentukan prioritas konservasi terhadap suatu spesies. Sampai saat ini pengertian spesies masih sulit untuk didefinisikan dan masih menjadi perdebatan mengenai definisi dari spesies yang belum disepakati secara universal (Khrisnamurty, 2003). Selain itu Jenkins (1992) menjelaskan bahwa sampai saat ini keanekaragaman spesies adalah satu- satunya informasi yang tersedia di sebagian besar ekosistem di dunia.
2.2 Tinjauan Tentang Biosistematika
Keanekaragaman hayati menunjukkan bahwa ada berbagai macam variasi mahluk hidup baik ditinjau dari sifat morfologi, anatomi, fisiologi dan sebagainya.
Diantara keanekaragaman tersebut pastilah terdapat beberapa kesamaan sifat.
Menurut Arrijani (2003), pola hubungan atau total kesamaan antara kelompok tumbuhan berdasarkan sifat atau ciri tertentu dari masing-masing kelompok tumbuhan disebut kekerabatan dalam biosistematika tumbuhan. Sistematika khususnya biosistematika adalah ilmu yang di dalamnya terdapat taksonomi, deskripsi, identifikasi, tata nama (nomenklatur), dan klasifikasi organisme dimana tujuan akhirnya adalah penyusunan pohon filogeni (Simpson, 2006).
Biosistematika digunakan dengan tujuan untuk memperoleh, menganalisis dan mengumpulkan informasi mengenai tumbuhan dan bagian-bagiannya,
kandungannya, dan metodenya. Biosistematika mempunyai empat komponen untuk mempelajari keanekaragaman, yaitu deskripsi, identifikasi, tata nama dan klasifikasi. Deskripsi adalah penjabaran karakter organisme ke dalam suatu takson.
Identifikasi adalah penemuan takson yang identik atau serupa kepada organisme lain yang sudah dikenal. Tata nama adalah penerapan teknik penamaan tumbuhan sesuai dengan peraturan berdasarkan Kode Internasional Tata nama Tumbuhan.
Klasifikasi adalah proses dan hasil penggolongan organism ke dalam takson berdasarkan kemiripan atau perbedaan karakter.
Menurut Lawrence (1964), karakter morfologi dan beberapa ilmu lain yang berhubungan sebagai pendukung merupakan dasar fundamental yang digunakan dalam mengenali obyek biologisnya sebagai syarat dalam proses penyusunan biosistematika. Keanekaragaman tumbuhan tidak hanya menyangkut bentuk luarnya saja tetap juga sifat-sifat yang lain. Secara genetik tidak ada dua individu dalam satu spesies yang sama. Faktor lingkungan juga ikut berpengaruh dalam timbulnya ciri-ciri yang muncul sebagai fenotip (Prabawanti, 2012).
Menurut Bhattacharyya (2009), sumber data taksonomi dapat berasal dari berbagai bidang ilmu – morfologi, anatomi, palinologi, embriologi, sitologi, genetika, kimia, dan ultrastuktur. Semua bagian tumbuhan memberikan karakter atau data taknonomis pada berbagai tahap perkembangannya dan karena itu, data harus dikumpulkan dari sebanyak mungkin bidang ilmu yang berbeda. Sneath dan Sokal (1973) menyatakan bahwa biosistematika telah mengalami perkembangan yang menakjubkan seiring dengan metode kimiawi, biologi molekuler serta
aplikasi komputer dalam sistem yang menggunakan data untuk merevisi dan mengembangkan sistem klasifikasi dan identifikasi.
Umumnya terdapat bias dalam penggunaan istilah biosistematik dan taksonomi. Padahal pengertian biosistematika berbeda dengan klasifikasi dan taksonomi (Lestari, 2015). Taksonomi sendiri merupakan salah satu komponen dasar biosistematika (Pasagi, 2015). Menurut Simpson (2006), Taksonomi adalah salah satu bidang ilmu (dan merupakan komponen utama dari sistematika) yang meliputi deskripsi, identifikasi, tata nama dan klasifikasi. Ada dua cara yang digunakan dalam klasifikasi, yaitu fenetik dan filogenetik. Klasifikasi fenetik didasarkan pada kesamaan sifat (overall similarities). Sementara klasifikasi filogenetik didasarkan pada asal usul evolusi atau sifat nenek moyang yang bisa jadi dapat berpengaruh pada kesamaan sifat. Menurut Martasari et al., (2009), kekerabatan antara dua individu atau populasi dapat diukur berdasarkan kesamaan sejumlah karakter. Sehingga Ashary (2010) mendefinisikan bahwa semakin banyak persamaan ciri-ciri yang dimiliki semakin dekat kekerabatannya.
Sebaliknya, semakin sedikit persamaan dalam ciri-ciri yang dimiliki semakin jauh kekerabatannya. Hasil analisis hubungan kekerabatan dapat divisualisasikan dengan suatu dendrogram yang disebut fenogram (Simpson, 2006).
2.3 Tinjauan tentang Metode Fenetik
Seperti yang dijelaskan di poin sebelumnya bahwa klasifikasi fenetik adalah klasifikasi yang didasarkan pada seluruh kesamaan sifat (overall similarities). Menurut Jones & Luchsinger (1986) saat ini klasifikasi filogenik
paling banyak digunakan dalam ilmu taksonomi. Studi filogeni paling banyak digunakan dalam ilmu taksonomi. Studi filogeni dimulai dengan menyeleksi taksa atau kelompok taksonomi yang akan dianalisis termasuk baik dalam satu kelompok maupun bukan kelompok dan tiap individu dalam taksa yang biasa disebut Satuan Taksonomi Operasional (STO) (Simpson, 2006).
Pengamatan morfologi dilakukan secara visual sedangkan pengamatan terhadap anatomi menyangkut struktur penyusun dilakukan dibawah mikroskop cahaya binokuler (Martasari et al., 2009). Semua data pengamatan yang diperoleh dikumpulan untuk dianalisis kekerabatannya dengan metode Sokal & Michener dalam Stuessy (1990) dengan tahapan sebagai berikut.
1. Penyusunan tabel data berdasarkan ciri-ciri yang diperoleh dari hasil pengamatan.
2. Setelah memperoleh ciri-ciri morfologi, kemudian diseleksi untuk menentukan karakter yang mantap utuk klasifikasi dan disusun dalam tabel satuan taksonomi operasional (STO). Ada 2 jenis karakter, yaitu karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kuantitatif adalah karakter yang dapat dihitung, sedangkan karakter kualitatif adalah karakter yang tidak dapat dihitung (Martasari et al, 2009).
3. Berdasarkan tabel STO dibuat matriks jumlah ciri-ciri taksonomi. Dalam penelitian ini adalah beberapa spesies dari genus Curcuma yang diamati.
4. Hasil perhitungan koefisien asosiasi spesies-spesies Curcuma berdasarkan karakter morfologi dan skrining fitokimia selanjutnya dianalisis dengan analisis pengelompokan (clustering analysis).
Pengelompokkan didasarkan pada tingkat kesamaan tertinggi. Hasil hubungan kekerabatan ditunjukkan dalam fenogram.
Menurut Sokal dan Michener (1958), secara umum metode kerja fenetik adalah memilih taksa (STO), memilih karakter yang sesuai, menghitung similaritas, membuat fenogram dan menginterpretasikan hasilnya.
2.4 Karakter Morfologi Sebagai Bukti Taksonomi
Bhattacharyya (2009) menyatakan bahwa karakter morfologi telah lama digunakan untuk tujuan klasifikasi dan karakter tersebut masih tetap diperlukan.
Secara khusus, ciri morfologi flora menyediakan banyak karakter penting untuk sistem klasifikasi Linnaeus, Bentham dan Hooker, Bessey, Engler dan Prantl, Hutchinson dan lainnya. Karena karakter morfologi dapat diamati dengan mudah, sehingga ciri-ciri ini teah digunakan dalam sistem klasifikasi, kunci idetifikasi, dan deskripsi umum. Karakter sendiri dapat didefinisikan segala kenampakan atau atribut yang ada pada tiap organisme yang dapat diukur, dibandingkan, dihitung, dideskripsikan atau mungkin juga dapat diperkirakan (Simpson, 2006). Jeffrey (1982) menyatakan bahwa karakter adalah ciri-ciri pembeda yang disusun berdasarkan kemunculannya pada tiap kelompok organisme dan digunakan dalam mengklasifikasikan organisme.
2.5 Tinjauan Kemotaksonomi
Kemotaksonomi yaitu telaah kimia dalam kelompok tumbuhan yang terbatas, terutama kandungan sekundernya dan juga makromolekul serta
penggunaan data yang diperoleh untuk menggolongkan tumbuhan, sering juga disebut sistematika biokimia. Tumbuh-tumbuhan yang mempunyai zat kandungan yang sejenis. Pada penelitian fitokimia mengenai suatu tumbuhan, informasi kemotaksonominya sangat penting untuk dijadikan pedoman karena dapat diperkirakan atau diharapkan zat-zat kandungan apa saja yang mungkin dapat ditemukan pada jenis tumbuhan yang sedang diteliti tersebut (Harbourne, 1973).
Meskipun karakter morfologis adalah hal penting yang berguna untuk menentukan spesies, karakter kimiawi dapat digunakan untuk menentukan hubungan antarspesies, genus dan famili. Pengetahuan kimia dapat menyediakan informasi sistematika penting yang tidak tersedia dari pendekatan lain dan sering kali dapat memecahkan masalah sistematika yang belum terpecahkan oleh teknik sitologi, anatomi, ataupun morfologi (Bhattacharyya, 2009).
2.6 Tinjauan Kemotaksonomi Genus Curcuma
Pada genus Curcuma, senyawa utamanya ialah kurkuminoid yang merupakan struktur bifenil dengan rantai alkil tak jenuh yang bertanggung jawab terhadap efek farmakologis (Itokawa et al., 2008). Tetapi pada penelitian ini, hanya diuji kekerabatannya melalui uji skrining fitokimia dari metabolit sekunder yang disinyalir terkandung dalam rimpang tanaman genus Curcuma. Menurut Murwani (2007) metabolit sekunder sendiri adalah senyawa yang dihasilkan oleh suatu spesies atau genus tertentu yang mungkin hanya diproduksi pada tingkat pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Selain itu dalam beberapa kasus tertentu metabolit sekunder dapat diproduksi pada saat tanaman mengalami stress yang
disebabkan oleh adanya perlukaan atau serangan mikroorganisme. Kemungkinan lain metabolit sekunder dibentuk pada saat stress karena kekurangan air. Senyawa yang terbentuk pada saat stress di antaranya sesquiterpena bisiklik, steroida, resin dan lain-lain. Minyak atsiri juga merupakan salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman. Dengan demikian, apabila tanaman yang diuji tidak dilukai, perlu dilakukan uji skrining fitokimia untuk mengetahui apa saja metabolit sekunder yang terkandung dalam genus Curcuma, kemudian dapat dianalisis kekerabatannya.
2.7 Tinjauan Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder adalah produk sampingan metabolisme. Metabolisme sekunder biasanya menjalankan fungsi nonvital atau fungsi yang tidak universal, dan karenanya kurang tersebar luas di antara tumbuhan. Namun, sifat ini membuat metabolit sekunder memiliki arti taksonomis. Senyawa yang termasuk dalam kelompok ini adalah terpenoid, pigmen flavonoid, dan kompponen fenolik yang lain, asam amino, alkaloid, minyak dan lilin, asam lemak, senyawa sianogenik, dan glukosinolat. Produk sekunder ini sering disimpang, kadang dalam jumlah besar di dalam sel hidup atau mungkin terdeposisi dalam kelenjar, saluran resin, atau dalam jaringan, seperti kulit batang atau heartwood (Bhattacharyya, 2009).
A. Alkaloid
Alkaloid merupakan jenis metabolit sekunder terbesar dan terdapat sekitar 6.000 struktur berbeda yang telah dikarakterisasi (Harbourne dan Turner, 1984).
Alkaloid dari tanaman kebanyakan merupakan senyawa amina tersier dari yang
lainnya terdiri dari nitrogen primer, sekunder dan quartener (Poither, 2000) Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan sebagian besar atom nitrogen ini merupakan cincin aromatis (Achmad, 1986). Berdasarkan asam amino penyusunnya, alkaloid dibedakan menjadi alkaloid asiklis, alkaloid aromatis dan alkaloid indol. Alkaloid asiklis berasal dari asam amino ornitin dan lisin. Alkaloid aromatis jenis fenilalanin berasal dari fenilalanin, tirosin, dan 3,4-dihidrosifenilalanin. Sementara alkaloid indol berasal dari tritophan. Gambar 2.1, memperlihatkan contoh senyawa alkaloid berdasarkan penyusun asam aminonya.
Sebenarnya ada banyak prosedur yang bisa digunakan untuk mendeteksi alkaloid di jaringan tumbuhan. Salah satu metode yang bisa digunakan adalah menggunakan reagen Wagner (Mustarichie et al., 2011).
.
Gambar 2.1 Contoh senyawa alkaloid berdasarkan penyusun asam aminonya.
(Sumber : Mustarichie et al., 2011).
B. Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam (Kristanti et al., 2008). Sebagai suatu kelompok flavonoid
Gambar 2.2 Contoh senyawa golongan flavonoid. (Sumber: Mustarichie et al., 2011).
dikarakterisasi dan digolongkan berdasarkan struktur kimianya (Bylka dan Plewski, 2004). Flavonoid menyusun hampir sebagian pigmen warna dari tumbuhan berpembuluh (Harbourne dan turner, 1984). Flavonoid memliki pengaruh fisiologis tertentu, sehingga tumbuhan yang mengandung senyawa flavonoid banyak digunakan sebagai pengobatan tradisional (Kristanti et al., 2008). Flavonoid adalah senyawa fenolat yang terhidroksilasi dan merupakan senyawa C6-C3-C6 dimana C6 diganti dengan cincin benzene dan C3 adalah rantai alifatik yang terdiri dari cincin piran. Ada 7 tipe flavonoid, yaitu flavon, flavonol, khalkon, xanton, isoflavon, dan biflavon seperti pada gambar 2.2. Uji flavonoid dilakukan dengan penambahan HCl untuk mendeteksi senyawa yang mengandung inti benzopiranon. Warna merah atau ungu yang terbentuk merupakan garam benzopirilium, yang disebut juga garam flavilium (Mustarichie et al., 2011;
Achmad 1986).
C. Tannin
Tannin merupakan gambaran umum untuk senyawa golongan polimer fenolik (Cowan, 1999). Tannin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh,
dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Di dalam tumbuhan letak tannin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma. Secara kimia terdapat dua jenis tannin yang tersebar tidak merata di dunia tumbuhan, yaitu tannin terkondensasi dan tannin terhidrolisiskan. Tannin terkondesasi tersebar luas di dalam angiospermae, paku-pakuan dan gymnospermae. (Harbone, 1996).
Senyawa-senyawa tannin ditemukan pada banyak jenis tumbuhan; berbagai senyawa ini berperan penting untuk melindungi tumbuhan dari pemangsaan oleh herbivora dan hama, serta dalam pengaturan pertumbuhan (Ferrel dan Thorington, 2006). Untuk menguji tannin dapat digunakan FeCl3 (Saxena dan Patil, 2012).
Contoh senyawa tannin dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Contoh senyawa golongan tannin. (Sumber: Mustarichie et al., 2011).
D. Terpenoid
Menururt Harborne (1998), kelompok senyawa ini tersebar luas di antara tumbuhan. Semua substansinya memiliki asal-usul biosistematik yang sama dan berbasis molekul isoprena –CH2=C(CH3)-CH=CH2. Gabungan dua atau lebih unit
Terpenoid mengandung karbon dan hydrogen, atau karbon, hydrogen dan oksigen yang tidak bersifat aromatis. Terpenoid merupakan senyawa yang mudah menguap dan terdiri dari 10 atom C dan merupakan senyawa penyusun minyak atsiri (Mustarichie et al., 2011). Terpenoid tumbuhan dimanfaatkan dalam bentuk minyak atsiri dan dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional. Terpenoid berperan sebagai aroma Eucalyptus, rasa khas dari kayu manis, semanggi, dan jahe, warna kuning pada bunga matahari, dan warna merah pada tomat. Beberapa terpenoid lainnya seperti citral, menthol, camphor, salvinorin A pada tanaman Salvia divinorum, cannabinoids yang ditemukan di cannabis, ginkgolide dan bilobalide di Ginkgo biloba, dan kurkuminoid dalam kunyit dan mustard seed (Firn, 2010;
Specter, 2009). Pengujian terpenoid dilakukan dengan peraksi Liebermann- Burchard (Kristanti et al., 2008).
Gambar 2.4 Contoh senyawa terpenoid. (Sumber : Mustarichie et al., 2011).
E. Steroid
Steroid adalah kelompok senyawa bahan alam yang kebanyakan strukturnya terdiri atas 17 atom karbon dengan membentuk struktur dasar 1,2-
siklopentenoperhidrofenantren (Kristanti et al., 2008). Lemak sterol adalah bentuk khusus dari steroid dengan rumus bangun diturunkan dari kolestana dilengkapi gugus hidroksil pada atom C-3, banyak ditemukan pada tanaman, hewan dan fungi. Semua steroid dibuat di dalam sel dengan bahan baku berupa lemak sterol, baik berupa lanosterol pada hewan atau fungsi, maupun berupa sikloartenol pada tumbuhan (Moss, 1989). Fitosterol, yang meliputi sterols dan stanols, adalah senyawa steroid yang mirip kolesterol pada tumbuhan dan bervariasi pada sisi rantai karbon ada atau tidaknya ikatan rangkap ganda. Stanol adalah sterol jenuh, tidak memiliki ikatan rangkap ganda di struktur cincin sterol. Lebih dari 200 sterol dan senyawa terkait telah diidentifikasi. Fitosterol diekstraksi dari minyak yang tidak larut dalam air, cenderung larut pada minyak dan larut dalam alkohol (Akhisa dan Kokke, 1991). Sama seperti terpenoid, pengujian steroid menggunakan peraksi Liebermann-Burchard (Kristanti et al., 2008).
F. Minyak Atsiri
Minyak atsiri pada dasarnya mengandung campuran senyawa kimia dan biasanya campuran tersebut sangat kompleks, tetapi biasanya tidak melebih 300 senyawa. Beberapa tipe senyawa organik mungkin terkandung dalam minyak atsiri, seperti hidrokarbon, alkohol, oksida, ester, aldehida, dan eter. Aoma minyak atsiri biasanya ditentukan oleh komponen yang persentasenya tinggi. Beberapa jenis minyak atsiri memiliki kandungan senyawa terpena dalam porsi sangat besar.
Minyak atsiri sebagai substansi mudah menguap dapat dijadikan sidik jari atau ciri khas dari suatu jenis tumbuhan karena setiap jenis tumbuhan menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang berbeda (Agusta, 2000).
2.8 Pengambilan sampel tumbuhan
Kristanti et al., (2008) menyatakan bahwa di dalam analisis fitokimia, terutama skrining fitokimia digunakan jaringan tumbuhan yang telah kering.
Metode pengeringan harus diawasi untuk mencegah terjadinya perubahan kimia akibat pertumbuhan organisme lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan kimia pada bahan. Bahan harus dikeringkan dengan cepat, tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih baik dengan menggunakan aliran udara yang baik.
Setelah benar-benar kering, sampel kering tumbuhan (simplisia) atau jaringan tumbuhan yang dikeringkan (herbarium) dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu sebelum digunakan untuk analisis.
Kemungkinan pencemaran oleh tumbuhan lain juga harus diperhatikan.
Hal paling penting adalah tumbuhan yang digunakan adalah yang bebas penyakit, tidak terinfeksi virus, bakteri dan jamur. Jika ditemukan adanya infeksi, hal tersebut akan mengubah hasil analisis tumbuhan, karena selain hasil metabolisme mikroba tersebut yang terdeteksi bisa jadi infeksi mikroba akan mengubah metabolisme tumbuhan dan metabolit sekunder yang dihasilkan juga berbeda.
Analisis ulangan pada bahan yang dibersihkan dengan hati-hati menunjukkan kalau senyawa itu tidak ada. Jadi dapat dipastikan bahwa telah terjadi pencemaran pada analisis pertama. Perlakuan yang hati-hati juga diperlukan pada analisis lumut. Lumut sering tumbuh bersekutu erat dengan tumbuhan tingkat tinggi dan kadang-kadang sukar membebaskannya dari pencemar. Pada tumbuhan tingkat tinggi, pencemaran mungkin terjadi pada saat pengumpulan bahan akibat kesalahan pengambilan karena kemiripan morfologi. Pencemaran juga bisa terjadi
jika suatu tumbuhan dikumpulkan tanpa disadari mengandung parasit (benalu) tercampur dengannya.
2.9 Pengeringan sampel tumbuhan
Pengeringan diartikan sebagai hilangnya air atau hilangnya pelarut organik.
Sebagai bahan pengering dapat udara yang mampu menyerap lembap sampai tercapai kondisi jenuhnya. Jumlah yang dapat diserap tergantung dari lembap udara relatif. Tergantung pada situasinya, lembap dapat terserap pada bahan pengering ataukah bersama uap air yang terdapat di udara. Dengan meningkatnya suhu, kemampuan penyerapan air dari udara dan kecepatan penguapan tampak meningkat, sehingga di dalam proses pengeringan dibutuhkan panas. Ini berlaku juga untuk mengkompensasi dingin akibat penguapan. Agar hasil pengeringan maksimal, sampel sebaiknya berada pada kondisi sedemikian sehingga memiliki luas permukaan yang tinggi, jadi sampel dikondisikan dalam bentuk lapisan tipis.
Tujuannya agar panas yang diberikan dapat merubah lembap menjadi uap yang kemudian berdifusi melalui bahan yang dikeringkan dan akhirnya bergerak menuju udara bebas. Sirkulasi udara yang baik dan menyebarnya panas yang diberikan memungkinkan tercapainya tingkat pengeringan yang tinggi.
Pengering sinar matahari dan teduh adalah cara pengeringan yang paling sederhana yaitu menggunakan pengering udara. Untuk tujuan kefarmasian tertentu memang digunakan cara pengeringan dimana bahan ditempatkan langsung di bawah sinar matahari. Tetapi mengingat bahan sampel analisis kimia, tanaman obat, mengandung senyawa metabolit yang dikhawatirkan tidak tahan panas,
sebaiknya digunakan cara pengering teduh dimana bahan disebarkan mendatar di atas nampan, lemari atau dalam kotak (Voigt, 1994).
2.10 Penghalusan sampel tumbuhan
Salah satu prosedur untuk mendapatkan ekstrak tumbuhan yang akan digunakan untuk analisis skrining fitokimia adalah menghaluskan sampel tumbuhan (simplisia) sebelum dimaserasi. Dengan meningkatnya kehalusan maka permukaan semakin besar dan bidang serbuan untuk cairan ekstraksi juga meningkat. Sejumlah sel-sel yang rusak dari proses penghalusan tersebut, membantu mempermudah kandungan tumbuhan untuk diambil langsung oleh pelarut. Tetapi penyerbukan yang terlalu halus, juga mengakibatkan larutan pengekstraksi sulit dipisahkan dari sisa yang tinggal setelah proses ekstraksi, karena bahan aktif benar-benar diikat secara sorptif (Voigt, 1994).
2.11 Prinsip Ekstraksi tumbuhan
Metode ektraksi yang digunakan dalam penelitian fitokimia tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang akan diisolasi. Umumnya yang perlu dilakukan dalam ekstraksi adalah ‘membunuh’ jaringan tumbuhan untuk mencegah terjadinya oksidasi atau hidrolisis oleh enzim. Metode ekstraksi juga bertujuan untuk melarutkan senyawa yang ada pada jaringan tanaman ke dalam pelarut dalam proses ekstraksi tersebut.
Alkohol merupakan pelarut universal yang baik untuk ekstraksi semua senyawa golongan metabolit sekunder. Untuk mengisolasi suatu senyawa dari bahan
tanaman segar, keberhasilan ekstraksi dengan alkohol tergantung seberapa kuat klorofil tertarik oleh pelarut tersebut. Selain menggunakan alkohol ekstraksi dapat dilakukan dengan pelarut metanol ataupun n-heksana. Ekstraksi sendiri adalah suatu proses pemisahan substansi dari campurannya menggunakan pelarut yang sesuai (Kristanti et al., 2008).
Menurut Kristanti et al., (2008) Berdasarkan bentuk campurannya, ekstraksi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1. Ekstraksi Padat-Cair
Substansi yang diekstrak terdapat di dalam campurannya yang berbentuk padat.
2. Ekstraksi Cair-Cair
Substansi yang diekstrak terdapat di dalam campurannya yang berbentuk cair.
Berdasarkan proses pelaksanaannya, ekstraksi terdapat dua metode, yaitu : 1. Ekstraksi Berkesinambungan (Continous extraction)
Ekstraksi menggunakan pelarut yang sama berulang kali sampai proses ekstraksi selesai.
2. Ekstraksi Bertahap (Bath Extraction)
Ekstraksi pada tiap tahap dengan pelarut sekali pakai dan mengganti dengan yang baru sampai ekstraksi selesai.
Pada penelitian ini, digunakan metode ekstrasi yaitu maserasi. Menurut Voigt (1994) maserasi (macerace = mengairi, melunakkan) adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Baham simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat
farmakope (umumnya terpotong-potong atau diserbukkasarkan) disatukan dengan bahan ekstraksi. Deposisi tersebut disimpan di tempat yang tidak terkena cahaya matahari langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Waktu maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope mencantumkan 4-10 hari, namun 5 hari adalah waktu yang ideal menurut pengalaman dan sudah memadai untuk membiarkan terjadinya peristiwa difusi senyawa oleh pelarut dari sel simplisia yang telah dirusak melalui penghalusan.
Selama waktu maserasi sebaiknya dilakukan suatu perlakuan agar tercapai kesetimbangan di dalam bahan yang diesktraksi, antara pelarut yang masuk ke bagian dalam sel dengan yang keluar hingga difusi berakhir. Oleh karena itu dilakukan pengocokan deposisi berulang (kira-kira tiga kali sehari), harapannya dengan perlakuan ini, dicapai suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat ke dalam cairan. Keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoretis, pada suatu maserasi, suatu penyumbatan dan dengan demikian ekstraksi absolut tidaklah mungkin. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan ekstraksi, akan semakin baik hasil yang diperoleh. Setelah maserasi maka ekstrak tersebut disaring dan disimpan untuk selanjutnya dilakukan pemurnian.
2.12 Pemurnian Ekstrak
Pemurnian ekstraksi ini dilakukan dengan cara menguapkan pelarut agar didapatkan ekstrak murni dari tumbuhan yang kita ekstraksi. Metode ini
memanfaatkan salah satu aplikasi dari metode distilasi. Distilasi sendiri menurut Kristanti et al., (2008) adalah suatu proses yang terdiri atas beberapa tahap yaitu mengubah suatu senyawa menjadi bentuk uapnya, mengkondensasikan uap yang terbentuk menjadi cair kembali dan menampung hasil kondensasi (kondensat) ke dalam wadah penampung. Melalui cara ini suatu campuran dengan titik didih berbeda dapat dipisahkan, dan senyawa yang mudah menguap (volatil) lebih mudah dipisahkan dari senyawa yang sukar menguap (tidak volatil). Sehingga metode ini menggunakan prinsip perbedaan titik didih. Aplikasi dari metode distilasi diantaranya :
1. Eliminasi suatu produk yang terbentuk saat suatu reaksi kimia berlangsung, 2. Isolasi beberapa senyawa yang diperoleh dari suatu reaksi kimia,
3. Menghilangkan pelarut,
4. Isolasi suatu senyawa bahan alam, dan 5. Memurnikan suatu senyawa.
Alat yang digunakan adalah rotary-vacuum evaporator. Prinsip kerja alat ini menurut Voigt (1994) adalah suatu film halus dari cairan yang diuapkan terbentuk melalui putaran labu dalam sebuah pemanas pada dinding labu. Melalui pembesaran permukaan penguapan maka penguapan berlangsung dalam waktu lebih singkat. Melalui pengaturan dalamnya pencelupan ke dalam penangas air, suhu penangas, hampa udara dan suhu pendingin maka kondisi optimal setiap saat terpenuhi.
2.13 Tinjauan Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia adalah tahap pendahuluan dalam penelitian fitokimia, dimana metode yang digunakan sebagian besar merupakan reaksi pengujian warna dengan suatu pereaksi warna. Metode yang digunakan dalam skrining fitokimia seharusnya memenuhi beberapa kriteria, diantaranya sederhana, cepat, hanya membutuhkan peralatan sederhana, khas untuk satu golongan senyawa, memiliki batas limit deteksi yang cukup lebar (dapat mendeteksi keberadaan senyawa meski dalam konsentrasi yang cukup kecil) (Kristanti et al., 2008).
2.14 Tinjauan Tentang Family Zingiberaceae 2.14.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta Class : Liliopsida Order : Zingiberales
Family : Zingiberaceae (Simpson, 2006)
Zingiberaceae mempunyai 47 genus dan 1.400 spesies yang terdiri dari herba perennial yang tumbuh di daerah tropis, umunya di dataran tinggi atau dataran rendah. Tanaman dari family Zingiberaceae, memiliki ciri khas rimpang (rhizome) sympodial, berdaging, yang merupakan akar dengan fungsi menyimpan cadangan makanan di iklim musiman (Purseglove, 1972).
2.14.2 Morfologi
Tumbuhan berbentuk herba namun juga ada yang berukuran besar, mempunyai rimpang berdaging, daunnya bila diremas berbau harum. Batang pendek atau tinggi. Berdaun tunggal, tersusun dalam dua baris atau dalam spiral dengan pelepah yang menyelimuti batang, mempunyai lidah daun pada pertemuan antara pelepah dan helai daunnya. Bunga majemuk di ujung batang yang berdaun atau tak berdaun; berupa bongkol yang dipenuhi oleh daun penumpu. Bunga tak beraturan, ukuranya sedang sampai besar. Kelopak yang berbentuk tabung, ujungnya bergigi 3. Mahkota pada pangkalnya berbentuk tabung dengan tiga daun mahkota yang besar berbentuk bibir. Benang sari 1 yang bertautan dengan tabung mahkota, dan dua staminodia yang berbentuk seperti mahkota. Bakal buah di bawah. Buah kotak yang kering atau berdaging. (Sudarnadi, 1996).
2.15 Tinjauan Tentang Genus Curcuma 2.15.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta Class : Liliopsida Order : Zingiberales Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma (Simpson, 2006)
Genus Curcuma termasuk kedalam family Zingiberaeae yang didalamnya terdapat 70-80 spesies tumbuhan herba berimpang dan banyak ditemukan di
kawasan Indo-Malaysia (Purseglove, 1972; Sirigusa, 1999). Seperti yang kita ketahui, anggota family Zingiberaceae sudah dikenal sebagai tanaman khas aromatis dan banyak digunakan sebagai bumbu di kawasan tropis, pewarna alami, parfum, obat dan bunganya sebagai hiasan (Heywood, 1985). Menurut Salvi et al., (2002) dan Shirgurkar et al., (2001), penamaan Curcuma diambil dari kata
‘Kurkum’ dari Bahasa Arab yang artinya warna kuning. Karena bagian yang sering dimanfaatkan yaitu rimpangnya berwarna kuning.
Spesies yang termasuk dalam genus Curcuma dapat tumbuh kondisi tropis yang tersebar, dari mulai di atas permukaan laut hingga di atas ketinggian 1500 m, dengan jangkauan temperatur antara 20⁰-30⁰C. Kondisi pertumbuhan yang optimal dan ideal bagi spesies Curcuma adalah curah hujan antara 150 cm atau lebih dan mendapat pengairan yang cukup baik. Sementara kondisi tanah yang ideal adalah yang tidak terlalu padat, liat atau alluvial sehingga memiliki kapasitas drainase efisien. Spesies tersebut umumnya ditemukan di hutan tropis deciduous dan hutan evergreen berkanopi lebar di area tropis dan subtropik. Distribusi geografis dari genus ini mencapai India hingga Thailand, Indochina, Malaysia, Indonesia dan Australia Utara (Apavatjrut, et.al., 1999). Bagaimanapun, identitas taksonomi dari spesies penting untuk terus digali dan dicari perbedaan potensial sebagai obat herbal (Cao et al., 2001; Sasaki et al., 2002). Dengan memperluas pengetahuan diversitas genetik akan membantu untuk pemanfaatan dan pengembangan sumber genetik Curcuma bagi suatu negara.
2.15.2 Morfologi
Tanaman yang terdapat dalam genus Curcuma memiliki batang aerial yang terdiri dari batang primer memanjang dengan sisa-sisa nodus daun, dan saat dewasa akan membentuk rimpang horizontal atau berkelok yang akan menjadi cabang. Tunas berdaun, tinggi 1-2 m, dengan daun, dikelilingi bladeless sheaths membentuk pseudostem. Perbungaan bisa terminal atau tumbuh mulai dari dasar daun-tunas; cylindrical spikes, dengann bractea lebar dan besar (Purselgove, 1974). Curcuma merupakan tanaman semak tropis dari family Zingiberaceae, dengan tinggi antara 1-2,5 m dengan akar rimpang (rhizome), batangnya tegak, daun kerapkali 2 baris, dengan pelepah memeluk batang. Bunganya zigomorf, berkelamin 2, kelopak berbentuk tabung dengan ujung bertaju kerapkali terbelah, daun mahkota 2, benangsari sempurna 1, staminodia hampir selalu 3, buah kotak (Backer dan Van Den Brink, 1965).
Tanaman dari genus Curcuma dikenal sebagai tumbuhan obat, tumbuhan penghasil minyak atsiri, bumbu masak, zat warna, dan ada juga yang mempunyai bagian-bagian tertentu yang dapat dimakan. Bagian yang sangat penting dari tanaman temu-temuan ini adalah rhizomanya. Rhizoma tersebut mengandung pigmen, dan untuk masing-masing temu, warna rhizomanya berbeda-beda, ada yang berwarna jingga, kuning, kuning jeruk dan biru kehijauan (Hindiari, 1986).
2.16 Tinjauan Curcuma xanthorrhiza 2.16.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta Class : Liliopsida Order : Zingiberales Family : Zingiberaceae Genus : Curcuma
Species : Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Plantamor, 2012)
Nama daerah : temulawak (Sumatera); koneng gede, temu raya, temu besar, aci koneng, koneng tegel, temulawak (Jawa); temolabak (Madura);
tommo (Bali); tommon (Sulawesi Selatan); karbanga (Ternate).
2.16.2 Morfologi
Gambar 2.5 Curcuma xanthorrhiza. (Sumber : Proseanet, 2015).
Dalimartha (2007) menjelaskan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) (Gambar 2.5) adalah herba perennial yang tumbuh merumpun, memiliki batang semu yang tumbuh dari rimpangnya dan tersusun dari pelepah-pelepah daun yang saling menutup membentuk batang. Tinggi ± 2 m. Tiap tanaman berdaun 2-9 helai, daun berbentuk bulat memanjang atau lanset, panjang 31-84 cm, lebar 10-18 cm, berwarna hijau dengan semburat warna merah keunguan di sepanjang sisi ibu tulang daun. Perbungaan termasuk tipe exantha, yaitu jenis temu yang bunga keluar langsung dari rimpang yang panjangnya mencapai 40-60 cm. Bunganya majemuk berbentuk bulir, bulat panjang, panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm. Bunga muncul secara bergiliran dari kantong-kantong daun pelindung yang besar dan beraneka ragam dalam warna dan ukurannya. Mahkota bunga berwarna merah.
Bunga mekar pada pagi hari dan berangsur-angsur layu pada sore hari.
Rimpang dibedakan atas rimpang induk (empu) dan rimpang cabang.
Rimpang induk berbentuk jorong atau gelendong, berwarna kuning tua atau coklat kemerahan, dengan bagian dalam berwarna jingga cokelat. Rimpang cabang keluar dari rimpang induk, ukurannya lebih kecil, tumbuhnya ke arah samping, bentuk bermacam-macam, dan warnanya lebih muda. Akar-akar di bagian ujung membengkak, membentuk umbi yang kecil. Temulawak memiliki rimpang terbesar diantara semua anggota genus Curcuma. Rimpang berbau aromatik tajam, rasanya pahit agak pedas, dan daging buahnya berwarna kekuning-kuningan.
(Dalimartha, 2007; PSB LPPM IPB dan Ulung, 2014).
Tanaman temulawak sebaiknya ditanam pada ketinggian sekitar 200-600 hingga 1.500 m dpl, agar pertumbuhannya maksimal. Selain itu produktivitas