• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

2. ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI

2.1 Teori Buku Ilustrasi 2.1.1 Pengertian Ilustrasi

Menurut Ensiklopedi Indonesia, Ilustrasi berarti :

Ilustrasi (Dari kata latin: illustrare: menerangi, menghias). Suatu bentuk penghiasan buku; dapat berupa ornamen-ornamen abstrak, ragam-ragam hias yang berasal dari dunia tumbuhan, hewan, vignette/penggambaran beserta naskah yang menyertainya. Secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut: 1) Dalam pengertian umum: gambar-gambar dan foto-foto yang menyertai naskah dalam buku, majalah/media massa untuk lebih menjelaskan naskah tersebut; 2) Dalam pengertian khusus: ilustrasi diluar naskah maupun diantaranya, juga berfungsi untuk menyemarakkan halaman-halaman buku sebagai kaya abstrak yang mempunyai keindahan sendiri dalam kombinasi dengan jenis huruf cetak yang dipakai; 3) Dalam pengertian yang lebih khusus dan historis dulu dipergunakan istilah iluminasi untuk gambar-gambar dan hiasan-hiasan yang keseluruhannya dikerjakan dengan tangan sebelum seni cetak ditemukan (3:1388).

2.1.2 Sejarah Buku Ilustrasi

Menurut Triyadi Guntur Wiratmo, sejarah ilustrasi bermula dari:

Pada awal abad pertengahan terjadi pembagian tugas kerja antara seorang ‘Scrittori’ dan seorang ‘Illustrator’ dalam pembuatan sebuah illuminated manuscript. Posisi seorang Scrittori bertugas untuk menyiapkan dan mendesain huruf atau kaligrafi dari teks sebuah buku atau manuskrip. Sedangkan seorang Ilustrator bertugas untuk memproduksi ornamen dan gambar yang memperjelas isi teks. Pemilahan tersebut mengawali dan mempertegas istilah Ilustrasi menjadi selalu berdimensi fungsi.

Fungsi memperjelas sebuah teks atau bahkan memberi sentuhan dekorasi pada lembar-lembar teks memberi gambaran bahwa saat itu gambar (ilustrasi) adalah subordinan dari teks. Gambar adalah pelengkap teks. Gambar hanyalah wahana untuk mengantarkan pemahaman secara lebih utuh dari sebuah teks.

(2)

Seorang Ilustrator harus dapat memahami isi teks dan kemudian mengilustrasikannya dalam bentuk gambar. Kemampuan mentranslasikan dari sesuatu yang tekstual ke dalam bentuk yang visual menjadi poin penting sebagai seorang Ilustrator. Ilustrator berperan sebagai penerjemah (interpreter) ke pada pembaca dari sesuatu yang abstrak (wilayah bahasa/tekstual) ke dalam sesuatu yang konkret sifatnya (wilayah rupa). Tuntutan kepiawaiannya tidak berhenti pada tataran olah rupa (visualisasi) saja, tetapi juga mencakup wawasan (pemahaman terhadap teks) dan olah komunikasinya (bagaimana cara menyampaikan kepada pembacanya melalui rupa). Posisi Ilustrator dalam hal ini adalah sebagai visual interpreter. Secara fungsional Ilustrator berada di posisi antara (in between) penulis dan pembacanya. Di sisi lain posisi seorang Ilustrator adalah sebagai seorang visual dekorator. Menyiapkan iluminasi sebagai bingkai penghias ataupun mengisi ruang-ruang kosong dalam sebuah manuskrip. Era illuminated manuscript ini berakhir ketika gambar yang sebelumnya dieksekusi melalui teknik manual, mulai dicetak dengan teknik woodcut.

Ilustrasi dengan teknik woodcut

Teknik reproduksi pertama kali yang berkembang pada zaman dahulu adalah teknik woodcut alias membuat cukilan atau relief pada sebuah papan kayu kemudian dicap pada kertas atau kain. Karya dengan teknik woodcut juga ditemukan di Cina yang jauh lebih tua daripada di benua Eropa maupun Amerika. Sebuah karya yang dibuat pada tahun 868 Masehi dari seniman grafis yang tidak diketahui namanya.

Senimanseniman dari era woodcut yang terkenal dari periode abad ke -14 ialah Albrecht Durer dan Lucas Cranach di Jerman, sedangkan di Italia ada Fransesco Parmigianino dan di Belanda ada Lucas van Leyden. Pada abad ke-19. muncul Paul Gauguin, Jean Francois Millet, hingga E.munic. Sementara itu, di Amerika teknik ini berkembang pada abad ke-18 dengan ditemukannya karya-karya cetak pada era itu (Kusrianto 140-1).

Selanjutnya mekanisasi dan massalisasi sebuah buku menjadi semakin menemukan bentuknya dengan penemuan movable type (1451). Walaupun penyajiannya tidak terlalu beranjak jauh dari era illuminated manuscript; unsur dekorasi dalam bentuk ornamen membingkai tiap halamannya dan gambar kadang

(3)

Pada akhir abad 18, muncul sebuah Gerakan Romantik yang kemudian mempengaruhi pergeseran posisi seorang Ilustrator dan fungsi dari Ilustrasi. Gagasan baru yang ditawarkan adalah seorang ilustrator selayaknya bebas dalam menginterpretasikan sebuah teks dengan keliaran imajinasinya. Ilustrator menjadi lebih mandiri. Posisi yang pada awalnya subordinan dari teks, kini memiliki nilai tawar dan tempatnya sendiri. Kebebasan berkreasi tersebut menjadikan ilustrator bagai seorang seniman. Konsep ini sebenarnya telah muncul lebih dulu pada abad 6 SM di Cina. Pada masa itu, seorang pelukis juga seorang penyair. Dengan demikian, karyanya mencerminkan gabungan dari keduanya.

Gambar 2.1. Ilustrasi tentang Benyamin Franklin (1706-1790) menggunakan tehnik woodcut yang dibuat oleh perusahaan

percetakan Cox & Sons pada tahun 1785 Sumber: Kusrianto (2009, p.142)

Ilustrasi dengan teknik lithografi

Kemudian, dikarenakan teknik fotografi belum begitu maju pada akhir abad 18, seniman lebih suka memanfaatkan goresan pena ilustrasi untuk menggambarkan suatu pemandangan atau suasana maka teknik reproduksi dilakukan dengan lithografi. Lithografi adalah proses pencetakan yang ditemukan pada tahun 1798 oleh Aloys Senefelder dari Jerman. Lithografi pada awalnya

(4)

merupakan teknik cetak diatas batu (lithos) yang diukir, yang pada perkembangannya kemudian menggunakan pelat metal. Pada awal era lithografi itulah ilustrasi mengalahkan fotografi dalam teknik pembuatan dan reproduksinya. Oleh karena itu, sebuah karya ilustrasi dibuat sedemikian detailnya mendekati keadaan sebenarnya. Karya-karya itu kemudian dikelompokkan sebagai Fine art sebagai karya-karya lukis yang ada pada zaman itu.

Perkembangan selanjutnya mencapai titik puncak pergeseran fungsi Ilustrasi adalah pada abad 19 di Perancis. Penanda penting adalah dengan munculnya Livre De Peintre (painter’s book). Ilustrasi tidak hanya menjadi bagian atau pelengkap sebuah buku, tetapi menjadi sesuatu yang sifatnya lebih dominan. Buku-buku tersebut di desain oleh para seniman dan diproduksi dalam jumlah terbatas. Livre yang cukup berpengaruh adalah Pararellment karya Pierre Bonnard yang ditulis oleh Paul Verlaine. Seniman-seniman lain yang juga menghasilkan livre adalah Henry Matisse, Marc Chagall dan Pablo Picasso.

Kemandirian Ilustrasi bahkan kemudian semakin dikukuhkan dengan aktifitas-aktifitas jurnalisme visual oleh para seniman yang terjun langsung di daerah peperangan untuk mengabadikan secara on the spot melalui sketsa dan gambar, ataupun para Kartunis dengan komentar-komentar visualnya melalui kartun opininya. Dalam konteks ini Ilustrasi sudah tidak berfungsi sebagai penjelas teks, tetapi sebagai teks (visual) yang berdiri sendiri. Ilustrasi tidak sebagai perantara dari penulis kepada pembacanya, tetapi posisi Ilustrator sebagai author itu sendiri.

Sejarah Ilustrasi Indonesia 1920-1960

Sejarah panjang Ilustrasi tidak bisa dilepaskan dari dunia buku. Pemahaman kita terhadap fungsi Ilustrasi sebagai penjelas, memperindah atau bahkan pemahaman fungsi yang lebih avant garde tidak terpisah dari perkembangan dan pemaknaan ulang media di mana ilustrasi tersebut diaplikasikan. Pergulatan panjang posisi Ilustrator melalui cara ungkap visual maupun pesan tidak lepas dari semangat jamannya.

Di Indonesia karya Ilustrasi dapat kita jejak melalui artifak-artifak visual naratif yang ada. Merunut khasanah visual naratif di Indonesia tidak kalah

(5)

panjang dengan sejarah visual naratif di belahan dunia lainnya. Catatan-catatan visual di garca-garca goa yang bertebaran dari Leang-leang di Sulawesi sampai goa Pawon di Jawa Barat menjadi penanda bertutur visual era pra sejarah. Gambar-gambar pada lembar-lembar lontar ataupun pada media Wayang Beber menandai era pra modern. Di era kolonialisasi muncul media-media modern seperti majalah atau surat kabar. Melalui media surat kabar ataupun majalah tersebut terjadi transfer ilmu (ilustrasi) baik teknis maupun gagasan dari Ilustrator asing (era kolonialisme) kepada para Ilustrator bumi putra. Walaupun istilah ‘Ilustrasi’ bukan dari kamus bahasa kita sendiri, secara subtantif artifak-artifak visual/gambar tersebut memiliki kesamaan secara fungsional, menjelaskan atau menerangkan.

Dari rentang waktu antara tahun 1920-1960 (di Indonesia) dari artifak yang berhasil dikumpulkan (dalam media massa) akan memberi gambaran dinamika Ilustrator dan karya Ilustrasinya. Pengklasifikasian artifak temuan terdiri dari dua jenis: ilustrasi untuk rubrikasi dan ilustrasi yang menjelaskan cerita atau artikel.

Ilustrasi pada rubrikasi secara fungsi menjelaskan atau memberi gambaran umum tentang isi rubrik yang diwakilinya. Wakil-wakil visual adalah resonansi dari judul-judul rubrikasi. Sebagai contoh, judul sebuah rubrikasi ”PAGERAKAN” atau pergerakan wakil visual yang hadir adalah sosok pemuda berjas dan berpeci dengan gestur bergerak dinamis sebagai foreground. Ikon catatan-catatan dan suluh lilin menjadi pelengkap penjelas rubrikasi tersebut dalam background nya. Ada korelasi yang jelas antara gambar dan teks. Gambar berfungsi memperjelas teks. Ilustrasi sebagai interpretasi visual terhadap teks.

Beberapa artifak rubrikasi dijumpai juga gambar-gambar memiliki korelasi terasa jauh atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan rubrik yang diwakilinya. Teks bertuliskan “Panjebar Semangat” sedangkan wakil visual yang hadir adalah gambar pegunungan dengan sawah dan petani, atau stilasi Kala menyerupai ukiran pintu gerbang. Pemilihan wakil-wakil visual tersebut dapat kita baca lebih simbolis. Gambar landscape gunung beserta sawah dan petani ataupun stilasi Kala tersebut sebagai subtitusi Nasionalisme atau Negara Indonesia. Relasi antara gambar dan teks melalui pendekatan simbolis seperti

(6)

itu-pun masih terasa jauh. Relasi gambar dan teks tidak langsung menjelaskan, terkadang malah terjebak sebagai dekorasi saja. Fungsi gambar pada ilustrasi rubrikasi jenis ini memiliki kecenderungan besar ke arah ilustrasi sebagai dekorasi visual, walaupun tidak menutup kecenderungan lainnya.

Kategori lainnya adalah gambar-gambar yang menyertai teks di dalam media massa. Artifak visual biasanya muncul mengiringi teks pada cerpen dan tajuk utama atau editorial. Seorang Ilustrator dalam menanggapi teks melalui gambar atau wakil visual yang dihadirkannya dapat kita klasifikasikannya dalam dua pola; pertama, bagaimana Ilustrator mengolah pesan (what to say), kedua, adalah bagaimana cara Ilustrator mengolah rupa (how to say). Hampir sebagian besar artifak visual yang telah dikumpulkan bersifat Naratif dalam olah pesannya. Dalam hal ini berarti Ilustrator memposisikan dirinya sebagai interpreter visual. Modusnya mencoba menterjemahkan teks dengan mencari moment yang paling menarik dan mewakili dari naskah tersebut, kemudian mencari wakil visualnya yang paling gamblang/jelas dalam menyampaikan pesan. Beberapa artifak tampil unik dengan menggunakan pendekatan olah pesan yang lebih metaforik. Artifak yang muncul di harian Fikiran Ra’jat (1932), menggambarkan permasalahan imperialisme dengan metafora seekor anjing berjenis Bulldog berkalung leher bertuliskan “Imperialisme“, dengan ujung ekor muncul sosok kepala priyayi Jawa yang bertuliskan “boeroeh imperialisme”. Permainan subtitusi visual menghasilkan kiasan-kiasan tak langsung menguatkan pesan yang disampaikannya. Ilustrator dengan pendekatan metafora, sedikit atau banyak telah memasukkan opini pribadinya dalam menanggapi teks yang ada. Gambar tidak hanya sebagai penjelas teks, tetapi sudah bergeser pada opini visual yang lebih personal. Ilustrasi mulai mencari ruang-ruang otonominya.

Pada wilayah olah rupa, terjadi eksplorasi yang cukup luas (dalam keterbatasan teknis yang ada) dari gaya visual yang rumit, realis, obyektif dan khusus sampai ke wilayah ujung paradoksnya yang sederhana, ikonis atau abstrak, subyektif dan umum. Rentang waktu antara tahun 1929 sampai 1951/53, sebagian besar ilustrator menggali potensi garis, outline, dan bidang-bidang datar. Garis-garis liris maupun ekspresif melalui media gambar pena, tinta dengan kuas menghasilkan kualitas visual yang khas. Garis arsir membentuk tonal gradasi

(7)

maupun gelap terang dari obyek-obyek yang dihadirkannya. Di tahun 1956 ditemukan artifak ilustrasi bernada penuh dengan gradasi yang halus. Kecenderungan tersebut dihadirkan melalui pendekatan teknis hitam putih media cat air. Gaya gambar yang muncul lebih realis mendekati karya fotografis. Di akhir 60-an muncul kecenderungan baru dalam mengolah huruf sebagai bagian dari gambar. Tipografi sebagai gambar (type as image) adalah sebuah kesadaran baru dari para ilustrator di era tersebut. Kemampuan olah huruf sebagai pendukung resonansi visual, mengingatkan kita pada Onomatopea di ranah seni sekuensial.

Gambar 2.2. Sebuah tanda di jendela toko di Italia menyatakan "Tidak Tic Tac", meniru bunyi jam. (onomatopea)

Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Onomatopoeia

Era 1942-1945

Di masa Jepang (1942-1945) para seniman sering mengerjakan karya ilustrasi dalam rangka propaganda Jepang. Keimin Bunka Shidosho adalah wadah kelompok kesenian yang langsung dibawah pengawasan Sendenbu atau Barisan Propaganda Bala Tentara Dai Nippon (Dullah, Raja Realisme Indonesia: 17). Ilustrator (para seniman yang mengerjakan karya ilustrasi) mendapat posisi yang baik secara politis karena pemanfaatan untuk kepentingan perang. Dalam berbagai aplikasi medianya seperti di poster maupun media massa dapat kita amati seringkali ilustrator memposisikan dirinya sebagai interpreter visual. Pesan-pesan baik gagasan propaganda maupun pesan naskah pada media massa ditranslasikan dengan gamblang oleh ilustrator. Tetapi di era ini juga muncul jurnalisme-jurnalisme visual yang kuat dari para seniman.

(8)

Dokumentasi peristiwa-peristiwa penting dalam pergerakan kemerdekaan tergambarkan dalam catatan-catatan visual para seniman. Bagaimana Soekarno membakar semangat para pemuda ter-capture dengan baik dalam “Di Bawah Bendera Revolusi” catatan visual sederhana dengan kuas spontan on the spot oleh Dullah. Bahkan beberapa muridnya yang masih belia seperti Moh. Toha terjun ke area peperangan ikut mengabadikan melalui goresan tangannya.

Gambar 2.3. Buku “Dibawah Bendera Revolusi” Sumber: http://longthumbs.tripod.com/

Di era 1945 pula, muncul karya poster yang fenomenal “Boeng Ajo Boeng” menjadi tonggak sejarah perjuangan, kontribusi dari para seniman. Poster tersebut hasil kolaborasi antara S. Soedjojono, Affandi dan Dullah (sebagai model untuk di gambar), sedangkan Chairil Anwar menyumbangkan slogan untuk Headline teksnya. Goresan-goresan kuat dan ekspresif dapat kita temukan hampir di semua artifak ilustrasi di era ini. Semangat jaman dari akumulasi keinginan untuk merdeka seakan terepresentasikan melalui tangan-tangan ilustrator di kala itu. Opini-opini visual melalui media poster maupun jurnalisme visual semakin mengukuhkan pergeseran posisi fungsi Ilustrasi menjadi lebih mandiri. Pada awalnya Ilustrasi sebagai gambar terbingkai oleh nilai-nilai fungsinya yang heteronomi kini mulai bergeser ke ruang-ruang yang lebih otonom. (Desain Grafis Indonesia)

(9)

Gambar 2.4. Poster Boeng ajo boeng karya Affandi

Sumber : http://jatuhkeatas.blogspot.com/2009/08/boeng-ajo-boeng.html

2.1.3 Perkembangan Buku Ilustrasi di Indonesia

Para illustrator Indonesia sejak tahun 1930-an telah menampilkan karya-karya dalam bentuk iklan dalam media-media yang sangat terbatas. Grafis-grafis berikut merupakan sebagian karya ilustrator Indonesia sejak tahun 30-an hingga 50-an (Kusrianto 152).

Menurut buku ensiklopedi nasional Indonesia:

Dalam babak pertama sejarah seni rupa Indonesia hampir tidak tampak figure seniman yang hidup semata-mata dari ilustrasinya. Pada awal sejarah seni rupa Indonesia modern berjalan dan awal dunia perbukuan Indonesia berkembang, seniman yang tercatat sebagai illustrator adalah pelukis. Misalnya Suromo dan Abdoel Salam, yang agaknya hanya meneruskan langkah illustrator Belanda, seperti M.A. Koek Koek, C. Jetses atau W.K. de Bruin. Hal ini semata-mata agar dunia ilustrasi yang ada di Indonesia tidak terputus. Banyak para Ilustrator yang terpaksa bermata pencaharian di bidang lain, seperti Mulyadi W. yang masih tetap menjual lukisan. Namun ada juga illustrator yang hidup jaya seperti G.M. Sudarta, Pramono dan Si Jon, dikarenakan mereka sudah bernaung di perusahaan besar. Hal ini menunjukkan kehidupan sebagai illustrator di Indonesia masih tergolong sulit (7:36).

Pada tahun 1970-an mulai bermunculan buku-buku dan majalah yang menggunakan ilustrasi. Salah satu ilustrator dengan coretan yang khas adalah

(10)

H. Danarto (seorang seniman yang serba bisa) sempat menghiasi majalah yang terbit di tahun 70-an dengan karya ilustrasinya yang sangat “Indonesia” (Kusrianto 153-4).

Gambar 2.5. Ilustrasi karya H. Danarto dalam cerpen berjudul “laki-laki itu” di majalah tahun 80-an

Sumber: Kusrianto (2009, p.154)

Perbedaan komik dengan ilustrasi adalah ilustrasi hanya terdiri dari beberapa gambar yang melukiskan isi cerita, maka komik adalah gambar-gambar yang memvisualkan keseluruhan cerita. Dari sisi style atau gaya gambar, ilustrasi juga memiliki kecenderungan untuk bebas. Pada awal kemunculan ilustrasi, gambar-gambarnya dibuat secara natural seperti seni foto. Namun seiring dengan perkembangannya, ilustratorpun mewarnai ilustrasi cerita sesuai karakter maupun style dari cerita atau artikel tersebut (Kusrianto 154).

Karena terjadi masalah peniruan dan penjiplakan maka diperlukan hal cipta. Dalam Undang-undang Hak Cipta tahun 1982 jelas tersirat bahwa ilustrasi sebagai suatu hasil cipta adalah suatu bentuk seni yang khas (pasal 1 a dan b). Ilustrasi sejajar dan otonom dalam proses penciptaan dan mempunyai nilai yang sama seperti teks atau karangan. Jika teks atau karangan merupakan hasil cipta yang dibaca, ilustrasi merupakan hasil cipta yang dilihat (pasal 1c). Karena itu ilustrasi sebagai bagian seni rupa yang dilindungi hak ciptanya (pasal 11 butir 5)”(7: 36-7).

(11)

Pada tahun 1980-an, kehidupan ilustrasi Indonesia tumbuh dengan subur. Nama-nama muda seperti Rien Bachtiar, Wedha, Rahardjo, Fung Wayming, Tefon, Gendut Riyanto menjadi pembicaraan yang menarik. Sementara yang telah mendapat nama lebih dahulu adalah Si Jon., juga pelukis komik Jan Mintaraga dan Steve Kamajaya (7:35).

Gambar 2.6. Cover komik Jan Mintaraga

Sumber: http://www.anelinda-store.com/images/gallery/jan/jan03.jpg

Menggambar Ilustrasi dengan Computer Graphic

Pada saat teknologi komputer sudah popular, goresan ilustrasi berwarna yang terutama dibuat dengan pena dan tinta hitam maupun cat air , kini digantikan dengan program-program gambar berbasis vektor seperti Coreldraw, Illustrator, Canvas, maupun Freehand (Kusrianto 157).

2.2 Cerita Rakyat Indonesia

2.2.1 Pengertian Cerita Rakyat (Dongeng)

Cerita rakyat disebut juga folklore, hampir di setiap daerah di Nusantara ini memiliki cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang di daerahnya. Cerita rakyat berkembang dengan bercirikan tanpa diketahui pengarangnya (anonim), ia bagaikan sesuatu yang terlahir dalam suatu komunitas kemudian menyebar melalui lisan dari satu generasi ke generasi hingga akhirnya sampai ke generasi berikutnya termasuk kita sekarang ini, seperti yang dikemukakan oleh Ariyono Suyono bahwa cerita rakyat (tale) yaitu cerita yang disebarluaskan dan diwariskan secara lisan (Suyono 74).

(12)

2.2.2 Jenis Cerita Rakyat

Ariyono Suyono menggolongkan cerita rakyat menjadi tiga kelompok besar yaitu mite, legenda, dan dongeng. Sedangkan dalam Upaya Bidang Jarahnitra (Tjetjep 1) dijelaskan empat jenis cerita rakyat, yaitu:

1. Mite adalah jenis cerita yang tokoh-tokohnya dianggap keramat.

2. Legenda adalah jenis cerita yang tokoh-tokohnya dianggap pernah ada dan berkaitan dengan kejadian alam yang dianggap luar biasa oleh masyarakat. 3. Fabel adalah cerita tentang binatang yang dianggap seperti manusia

(personifikasi). Biasanya cerita ini mengandung unsur pendidikan bagi anak-anak dan petuah-petuah mengenai hal baik dan buruk.

4. Cerita jenaka adalah cerita yang isinya mengandung sindiran, kritik sosial, pendidikan, dan lain-lain yang bersifat menghibur.

Dalam kesusastraan Bahasa Indonesia disebutkan bahwa cerita rakyat atau dongeng dibagi menjadi lima jenis yaitu mite, legenda, sage, fabel, dan parable. Sage adalah cerita rakyat atau dongeng yang mengandung unsur-unsur kesejarahan, sedangkan parable adalah cerita rakyat atau dongeng yang tidak masuk keempat katagori sebelumnya (mite, sage, legenda, fabel).

Cerita rakyat Indonesia nampak mulai tersisihkan oleh cerita-cerita yang berasal dari mancanegara. Padahal cerita rakyat mempunyai nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang ditemurunkan dari generasi ke generasi dan penyebaran cerita rakyat sendiri kebanyakan secara lisan. Meski pada saat ini, buku cerita rakyat telah beredar dan tersedia di toko buku. Namun jumlah buku cerita rakyat Indonesia sangatlah sedikit apabila dibandingkan dengan buku-buku impor yang ada.

(13)

Beberapa buku cerita rakyat yang berada di Toko Buku Gramedia Surabaya :

Gambar 2.7. Kisah Dewi Sri oleh Heny V. Tineke Bandung: Nuansa Aulia (2006)

Gambar 2.8. Dongeng Klasik Indonesia “Si Leungli” Jakarta: Gramedia (2005)

(14)

Gambar 2.10. Cerita Rakyat dari Sabang Sampai Merauke Jakarta: Pustaka Widyatama (2008)

2.3 Legenda Dewi Sri

Menurut Ensiklopedian Indonesia, kata dewi merupakan bentuk feminism kata Dewa (Deva, dari kata div), biasanya dewi hanya dipakai untuk menyatakan hormat pada istri Batara Siwa, yaitu Mahadewi. Karena punya kekuatan gaib adi-insani dewa-dewa ini sering dipandang sebagai makhluk yang dapat menguasai sunia serta kehidupan manusia. Mereka harus ditentramkan dengan sesajen dan dielu-elukan dengan kehormatan tetapi tidak disembah sebagai Hyang Widhi Wasa (Yang Maha Esa). Sedangkan kata Sri berarti keuntungan, kekayaan, dipersonifikasikan dalam Dewi Sri dan menurut kepercayaan orang Hindu, Sri adalah sebutan istri Wisnu (6: 3283).

Di dalam buku Serat Cariyos Dewi Sri disebutkan, cerita tentang Dewi Sri merupakan salah satu hasil karya sastra Jawa. Cerita itu mengisahkan turunnya Dewi Sri dari surga ke dunia dengan membawa benih padi yang kemudian menjadi bahan makanan pokok orang Jawa. Dewi Sri dianggap sebagai tokoh mistis yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia sebagai pelindung pertanian (Maryoto, par. 20).

Legenda Dewi Sri sendiri memiliki versi yang berbeda-beda menurut daerahnya masing-masing. Ada mitos Dewi Sri yang menyatakan bahwa Dewi Sri berasal dari telur yang merupakan tetesan air mata Batara Anta (menurut tradisi Jawa Barat), tetapi masyarakat Jawa lebih percaya bahwa Dewi Sri adalah putri

(15)

versi, Dewi Sri dihubungkan dengan ular sawah sedangkan Sadhana dengan burung sriti.

2.3.1 Deskripsi Visual Mengenai Dewi Sri

Gambar 2.11. Wayang Dewi Sri

Sumber: http://o-oum.com/indonesia-folklorethe-story-birth-rice-ii-chronicle-version-ilaila-java/

Gambar 2.12. Patung Dewi Sri di Ubud, Bali Sumber: http://www.balireals.com/online-estate-agents

(16)

Gambar 2.13. Lukisan Dewi Sri yang digambar diatas kanvas menggunakan cat minyak ukuran 90x130cm. Dibuat pada tahun 1999 Sumber: http://muchartgallery.blogspot.com/2008_01_01_archive.html

Gambar 2.14. Lukisan Dewi Sri, salah satu karya Pasopati Gombong (Paguyuban Seniman Perupa Sejati di kota Gombong)

Sumber: http://pasopati-gombong.blogspot.com/

(17)

Deskripsi verbal mengenai Dewi Sri :

Dalam beberapa buku cerita mengenai Dewi Sri disebutkan bahwa Dewi Sri memiliki kecantikan yang sempurna. Menurut legenda Dewi Sri yang berasal dari Sunda karena kecantikan Dewi Sri yang sempurna inilah membuat Batara Guru jatuh cinta pada Dewi Sri (Tinneke 59).

Pada buku kisah Dewi Sri disebutkan ciri-ciri yang menyatakan bahwa:

Dewi Sri adalah gadis cantik rupawan. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya kuning langsat tampak halus dan mulus, kedua matanya indah dihiasi oleh lengkungan-lengkungan alis yang hitam lebat. Hidungnya yang mancung serta bibirnya yang merekah indah menambah pesona dalam dirinya. Sikap yang anggun, tutur bahasanya halus membuat dirinya semakin dikagumi para dewa (15).

2.3.2 Legenda Dewi Sri Menurut Tradisi Jawa

Dewi Sri yang lebih di kenal dengan dewi Kesuburan yang merupakan Dewi bercocok tanam dari Orang Jawa dan Bali. Orang Jawa tradisional memiliki tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Sri agar mendapatkan kemakmuran yang dihiasi dengan ukiran ular. Di masyarakat pertanian, ular yang masuk ke dalam rumah tidak diusir karena ia meramalkan panen yang berhasil, sehingga malah diberi sesajen. Di Bali, mereka menyediakan kuil khusus untuk Dewi Sri di sawah. Orang Sunda memiliki perayaan khusus dipersembahkan untuk Dewi Sri.

Dewi Sri memiliki amat banyak versi cerita, salah satunya adalah versi cerita dari Jawa Timur yang menceritakan Dewi Sri bersaudara dengan laki-laki yang bernama Sadana dan memiliki ayahanda bernama raja Purwacarita. Seperti yang di ceritakan dalam “Serat Babad Ila-Ila”, Jkt 1986, hal 57-63 alih Bahasa Oleh: Mulyono Sastro Naryatno, Jilid I, Proyek Penerbitan Buku Sastra dan Daerah menceritakan bahwa :

Dewi Sri dan Raden Sadhana adalah kakak beradik. Karena mereka tidak mau tinggal di kraton, maka oleh ayahandanya Prabu Purwacarita mereka dikutuk, Dewi Sri menjadi ular sawah dan Raden Sadhana menjadi burung Sriti. Kemudian

(18)

mereka pergi entah kemana. Perjalanan Dewi Sri atau ular sawah lebih banyak halangan daripada Raden Sadhana sebagai burung Sriti. Akhirnya Ular sawah sampai di negeri Wirata, berhenti sebentar di dusun Wasutira lalu tidur melingkar ditengah-tengah padi. Di dusun Wasutira inilah Ular sawah diletakkan di Petanen. Ular sawah itu nantinya akan menjaga bayi yang dikandung oleh Ken Sanggi atau istri dari Kyai Brikhu, sebab bayi yang dikandung itu adalah titisan Dewi Tiksnawati.

Apabila ular itu mati, maka bayi itu juga akan mati. Demikianlah pada malam hari Ken Sanggi melahirkan anak perempuan dengan selamat. Maka Kyai Brikhu dalam memelihara ular sawah itu sangat berhati-hati jangan sampai mati. Sewaktu Kyai Brikhu tertidur, ular sawah itu seakan-akan berkata agar jangan diberi makan katak melainkan sesaji berupa sirih ayu, bunga serta lampu yang menyala terus. Setelah Kyai Brikhu terbangun dari tidur langsung menyiapkan sesaji seperti apa yang diminta ular sawah tadi. Dewi Tiksnawati yang menitis pada tubuh bayi itu membuat huru hara di tempat kediaman dewa-dewa karena Dewi Tiksnawati tanpa memberi tahu atau ijin dari Sang Hyang Jagadnata.

Sang Hyang Jagadnata menjadi murka dan mengutus para dewa untuk memberi bencana pada sang Bayi. Akan tetapi gagal karena kena pengaruh tolak bala yang diberikan Kyai Brikhu dari Ular sawah tadi. Setelah beberapa kali gagal tahulah Sang Hyang Jagadnata bahwa semua itu berasal dari Dewi Sri. Kemudian Sang Hyang Jagadnata atau Batara Guru mengutus para bidadari untuk memanggil Dewi Sri.

Dia akan dijadikan bidadari untuk melengkapi bidadari yang ada dikhayangan. Permintaan Sang Hyang Jagadnata diterima oleh Dewi Sri, akan tetapi ia mohon agar Raden Sadhana yang dikutuk menjadi burung Sriti agar dapat diruwat menjadi manusia kembali. Ternyata Raden Sadhana telah diruwat menjadi manusia oleh Bagawan Brahmana Marhaesi, putra dari Sang Hyang Brahma. Kemudian Raden Sadhana dikumpulkan dengan putri yang bernama Dewi Laksmitawahni. Apabila telah berputra, Raden Sadhana akan diangkat menjadi dewa. Kemudian ular sawah diruwat menjadi Dewi Sri kembali oleh para bidadari.

(19)

Sepeninggal para bidadari, Kyai Brikhu ketika tengah membersihkan petanen terkejut melihat ular sawah lenyap. Yang ada hanya seorang wanita cantik. Kyai Brikhu akhirnya tahu bahwa Dewi Sri adalah putri dari Prabu Mahapunggung di negeri Purwacarita. Sebelum Dewi Sri meninggalkan Kyai Brikhu dan keluarganya dia berpesan agar memberikan sesajen di depan petanen atau kamar tengah agar sandang pangannya tercukupi. Setelah itu Dewi Sri moksa dan juga Raden Sadhana kembali ke khayangan. Itulah sebabnya pada sethong tengah pada rumah Jawa selalu diberi gambar ular naga sebagai lambang kewanitaan. Yaitu Dewi Sri yang memberikan kemakmuran. Para petani apabila ada ular sawah masuk ke dalam rumah dijadikan pertanda bahwa sawahnya akan diberikan hasil yang baik. atau banyak rejeki. Karenanya mereka tidak mau mengganggu ular sawah dan memberi sesaji (“Dewi”).

2.3.3 Kaitan Dewi Sri Dengan Budaya Agraris Indonesia

Budaya agraris Indonesia sudah dilakukan sejak awal abad masehi, meskipun pada waktu itu pertanian padi di nusantara masih sederhana. Sentuhan teknologi mulai muncul ketika pengaruh India masuk. “Didalam beberapa tulisan di jurnal Orissa Review, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh provinsi Orissa di India selatan itu masuk ke wilayah Jawa sekitar abad keempat. Kedatangan mereka yang terdiri dari berbagai kasta membawa pengaruh dalam teknologi penanaman padi”(Mulyono, par.9). Seperti yang dilakukan oleh Kasta Brahmana yang menguasai ilmu pengetahuan, antara lain membawa metode penanaman padi dengan pengairan dan memperkenalkan sejumlah teknologi yang memungkinkan produksi padi meningkat.

Dalam buku Indonesia heritage, gambaran mengenai pertanian Indonesia terutama pertanian Jawa klasik dapat diketahui dengan adanya bukti-bukti prasasti, sumber sastra dan relief candi Indonesia yang memuat tentang kehidupan pertanian pada zaman dahulu kala.

1. Prasasti Tugu

Prasasti yang ditulis oleh Raja Purnawarman, ditulis dengan bahasa Sansekerta dan aksara Palawa abad kelima. Prasasti ini melaporkan perintah Purnawarman untuk menggali saluran sepanjang 11 km ke kediaman

(20)

kakeknya. Prasasti tugu ditemukan di Jakarta, berisi tulisan pertama mengenai pengelolaan air di Indonesia.

Gambar 2.16. Prasasti Tugu

Sumber: http://awidyarso65.wordpress.com/2009/08/28/pengendalian-banjir-jakarta-kini-dan-1500-tahun-silam/prasasti_tugu-7/

2. Sumber-sumber sastra terutama Arjunawiwaha dan Sutasoma yang keduanya ditulis oleh Mpu Tantular. Sumber sastra ini menceritakan pertanian Jawa klasik terutama pada pemerintahan Raja Rajasanagara pada masa kejayaan Majapahit.

3. Relief candi-candi Jawa melukiskan keadaan ideal dan cerita binatang berisi ajaran moral. Namun demikian, adegan-adegan yang mencerminkan keadaan sehari-hari kehidupan pertanian ditemukan di beberapa situs seperti borobudur dan Prambanan di Jawa Tengah (Miksic 90-91).

Gambar 2.17. Relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang tengah membajak menggunakan dua ekor lembu.

(21)

Sejarah tersebut menunjukkan karena adanya pengaruh budaya India pada sistem pertanian Indonesia. Agama Hindu yang berasal dari India juga memberikan pengaruh pada petani tentang kepercayaan pada dewa-dewa alam, seperti Wisnu, Sywa dan Brahma. Menurut kepercayaan orang Hindu, Sri adalah sebutan istri Wisnu. Sehingga kepercayaan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan yang membawa berkah bagi para petani masih melekat sampai sekarang. Hal ini terbukti dengan pemberian sesaji yang diletakkan di sekitar sawah untuk menghormati Dewi Sri, dewi padi, terutama di provinsi Jawa Barat (Miksic, 90).

Sebagian besar para petani Indonesia sekarang masih tetap menggunakan teknologi dan cara-cara tradisional (91). Dan masih banyak petani masih menggunakan adat tertentu seperti perhitungan hari baik yang rumit untuk menentukan waktu menanam dan memanen padi yang tepat

Budaya agraris Indonesia sampai sekarang masih tetap dipertahankan karena petani Indonesia didukung oleh keadaan lingkungan yang menguntungkan, seperti tanah yang subur dan iklim yang tidak terlalu ganas. Disamping itu kepadatan penduduk Indonesia yang relatif tinggi merupakan faktor pendorong Indonesia untuk melakukan kegiatan bercocok tanam. Sehingga kebiasaan bercocok tanam ini yang dilakukan sejak zaman prasejarah sampai sekarang ini, menjadi salah satu budaya Indonesia, yaitu budaya agraris.

2.4 Tinjauan Tentang Perkembangan Anak

2.4.1 Perkembangan Anak Usia 9-12 Tahun Dari Teori Pengamatan

Dalam perkembangan jiwani anak, pengamatan menduduki tempat yang sangat penting. Beberapa teori mengenai fungsi pengamatan ini dipaparkan oleh Meumann, Stern dan Oswald Kroh.

Teori Meumann : Ia membedakan tiga fase perkembangan fungsi pengamatan, yaitu:

1. Fase sintese fantastis. Semua pengamatan atau penghayatan anak memberikan kesan-total. Hanya beberapa onderdil/bagian saja yang bisa ditangkap jelas oleh anak. Selanjutnya, anak akan melengkapi tanggapan tersebut dengan fantasinya. Periode ini berlangsung pada usia 7-8 tahun.

(22)

2. Fase analisa, 8-9 tahun. Ciri-ciri dari macam-macam benda mulai diperhatikan oleh anak. Bagian atau onderdil mulai ditangkap, namun belum dikaitkan dalam kerangka keseluruhan/totalitasnya. Sekarang fantasi anak mulai berkurang, dan diganti dengan pemikiran yang lebih rasional.

3. Fase sintese logis, kurang lebih 12 tahun ke atas. Anak mulai memahami benda-benda dan peristiwa. Tumbuh wawasan akal budinya atau insight. Bagian/onderdil-onderdil sekarang mulai dikaitkan dengan hubungan totalitasnya.

Teori Stern menampilkan 4 stadium dalam perkembangan fungsi pengamatan anak; yaitu:

1. Stadium-keadaan; 0-8 tahun. Disamping mendapatkan gambaran total samar-samar, anak kini mengamati benda-benda dan beberapa orang secara lebih teliti.

2. Stadium-perbuatan, 8-9 tahun. Anak menaruh minat besar terhadap pekerjaan dan perbuatan orang dewasa, serta tingkah laku binatang.

3. Stadium-hubungan, 9-10 tahun dan selanjutnya. Anak mengamati relasi/ hubungan dalam dimensi ruang dan waktu; juga hubungan kausal dari benda-benda dan peristiwa.

4. Stadium-perihal (sifat): anak mulai menganalisa hasil pengamatannya, dengan mengkonstatir ciri-ciri/sifat dari benda-benda, orang dan peristiwa.

Teori Oswald Kroh dalam bukunya: “Die Psychologie des Grundschulkindes” (Psikologi anak Sekolah Dasar) menyatakan adanya 4 periode dalam perkembangan fungsi pengamatan, yaitu:

1. Periode sintese-fantastis, 7-8 tahun. Artinya, segala hasil pengamatan merupakan kesan totalitas/global, sedang sifatnya masih samar-samar. Selanjutnya, kesan-kesan tersebut dilengkapi dengan fantasi anak. Asosiasi dengan ini, anak suka sekali pada dongeng-dongeng, sage, mite, legenda, kisah-kisah, dan cerita khayalan.

2. Periode relisme naïf, 8-10 tahun. Anak sudah bisa membedakan bagian/onderdil, tetapi belum mampu menhubung-hubungkan satu dengan lain

(23)

dalam hubungan totalitas. Unsur fantasi sudah banyak diganti dengan pengamatan konkrit.

3. Periode realisme-kritis, 10-12 tahun. Pengamatannya bersifat realistis dan kritis. Anak sudah bisa mengadakan sintese logis, karena munculnya pengertian, insight/wawasan dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan. Anak kini bisa menghubungkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan atau menjadi satu struktur.

4. Fase subyektif, 12-14 tahun. Unsur emosi atau perasaan muncul kembali, dan kuat sekali mempengaruhi penilaian anak terhadap semua pengamatannya. Masa ini dibatasi oleh gejala PUBERTAS KEDUA (Trotzalter kedua, masa menentang kedua) (Kartono 135-7).

2.4.2 Perkembangan Anak Usia 9-12 Tahun Dari Segi Psikologi

Menurut Dr. Kartini Kartono yang membahas tentang psikologi anak, mengatakan bahwa :

Dalam keadaan normal, pikiran anak usia sekolah dasar berkembang secara berangsur-angsur dan secara tenang. Anak betul-betul ada dalam stadium belajar. Disamping keluarga, sekolah memberikan pengaruh yang sistematis terhadap pembentukan akal-budi anak. Pengetahuannya bertambah pesat. Banyak keterampilan yang dikuasai, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu mulai dikembangkannya. Dari iklim yang egosentris, anak memasuki dunia obyektif dan dunia pikiran orang lain. Hasrat untuk mengetahui realitas benda dan peristiwa-peristiwa mendorong anak untuk meneliti dan melakukan eksperimen (Kartono 138).

Apabila dilihat dari segi volutif (konatif, kemauan anak), fungsi kemauan ini pada masa ini belum berkembang dengan penuh. Anak belum mempunyai kekuasaan atas diri sendiri: belum ada proses regulasi diri dan lebih suka tunduk pada kewibawaan yang tegas dari orangtua dan pendidik sehingga disiplin sekolah dan kewibawaan para guru memberikan kegairahan pada situasi bekerja dan usaha belajar anak. Pada galibnya anak senang pergi ke sekolah selama periode ini. Ia merasa suka dan “betah-kerasan” tinggal di sekolah. Pada usia 10-11 tahun, biasanya timbul kesukaan pada satu dua mata pelajaran; umpama matematika/

(24)

berhitung dan ilmu hayat. Dan baginya, belajar merupakan aktivitas yang menyenangkan khususnya bagi anak-anak yang sehat jasmani dan rohaninya (Kartono 144).

Dalam keadaan normal, pada usia kelompok 12 tahun anak sekolah dasar tersebut merupakan individu yang tenang dan seimbang. Oleh karena itu, anak disebut sebagai “I’ enfant fait”, yaitu anak yang komplit lengkap, anak yang sudah “mapan besarnya” atau “een volgroeid kind”, Ciri-ciri “I’ enfant fait” ialah : 1. Rohani dan jasmani dalam kondisi baik

2. Saat ketenangan dan pengendapan perasaan-perasaan

3. Minat yang besar dan segar terhadap macam-macam peristiwa 4. Ingatan yang sangat kuat

5. Dorongan ingin tahu yang besar 6. Semangat belajar yang tinggi

Untuk usaha pendidikan-kemauan, perlu dipupuk motif-motif (prayojana, pola pendorong, alasan) yang jelas dan kokoh kuat (Kartono 145).

2.4.3 Perkembangan Anak Usia 9-12 Tahun Dari Segi Intelektual

Menurut Dr. Zulkifli :

Dalam pertumbuhan yang biasa, pikiran berkembang secara berangsur-angsur, sampai anak berumur sekitar 8-12 tahun, ingatannya kuat sekali. Biasanya mereka suka menghafal banyak-banyak. Anak mengalami masa belajar. Pada masa belajar ini anak menambah pengetahuannya, menambah kemampuannya, mencapai kebiasaan yang baik.

Anak tidak lagi berpikir egosentris; artinya anak tidak lagi memandang dirinya sendiri sebagai pusat perhatian lingkungannya. Anak mulai memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan sikap objektif karena timbul keinginannya untuk mengetahui kenyataan, keinginan itu akan mendorongnya untuk menyelidiki segala sesuatu yang ada di lingkungannya (Zulkifli 80).

2.4.4 Peranan Buku Ilustrasi Pada Anak Berusia 9-12 Tahun

Menurut Murti Bunanta, salah seorang pengamat dan praktisi bacaan anak, setidaknya terdapat tiga peran ilustrasi bagi anak. “Pertama, ilustrasi harus

(25)

mampu memberi ruang pada anak untuk berimajinasi. Kedua, ilustrasi harus mampu menimbulkan rangsangan bagi anak untuk mengenal estetika. Dan terakhir, ilustrasi harus mampu memberi kenikmatan bagi anak yang membaca” (dalam Raditya par. 5).

Menurut Dr. Kartini Kartono:

Pada usia 8-9 tahun, anak menyukai sekali buku cerita-cerita dongeng. Misalnya Timun emas, Bawang putih dan bawang merah, Malin Kundang. Unsur-unsur yang hebat dan ajaib dalam dongeng-dongeng ini mencekam segenap minat anak. Lambat laun, unsur kritis mulai muncul, dan anak mulai mengoreksi peristiwa yang dihayati. Namun unsur fantasi masih tetap memegang peranan penting. Kini anak menghendaki peristiwa riil yang betul-betul terjadi, atau semestinya harus terjadi. Karena itu anak lalu menyenangi cerita-cerita (Kartono 138).

2.5 Wawancara

2.5.1 Analisis Data Wawancara

Wawancara dengan psikolog anak

Nama : Dra. Fenny Hartiani, M.Psi Tanggal : 15 Maret 2010

1. Berapa batasan usia anak-anak jika dilihat dari sudut pandang psikologi? Definisi anak secara psikologis tentunya berbeda dengan sudut pandang hukum. Pengertian usia seorang anak sebenarnya adalah 12 tahun ke bawah. Selepas usia 12 tahun (12-15 tahun) adalah masa pra remaja, usia 15-18 tahun adalah remaja, dan seterusnya.

2. Pada usia berapa kreativitas anak muncul, mengingat salah satu ciri target market yang dituju adalah anak yang kreatif?

Biasanya seorang anak yang mulai bisa berkomunikasi sudah muncul kreativitasnya. Sebuah penelitian mengatakan bahwa anak yang berusia sekitar 5 tahun sedang mengalami puncak kreatifitasnya.

(26)

3. Apakah ada perbedaan antara anak urban dengan anak rural?

Ya. Hal ini disebabkan cara hidup yang berbeda di kota dan di desa. Anak kota cenderung untuk bersikap lebih terbuka dan berani untuk menonjolkan diri di antara teman-temannya sedangkan seorang anak desa lebih mempunyai sikap percaya pada diri sendiri dan sikap menilai (sense of value). Di kota, anak mendapat sistem pembelajaran dan fasilitas PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) lengkap yang mendukung perkembangan pola pikir anak supaya lebih kreatif dan cerdas serta didukung asupan gizi yang seimbang. Sebaliknya di desa, kebutuhan asupan gizi anak kurang diperhatikan, dan sarana pendidikan PAUD juga tidak memadai.

4. Apakah buku cerita anak memiliki peranan penting untuk anak?

Tentu saja iya. Melalui buku cerita anak dapat dirangsang kecerdasan bahasa dan visualnya. Dengan kekuatan cerita, kemasan, dan ilustrasi, buku mampu berkomunikasi dan berdialog dengan anak. Buku membawa anak berkelana ke alam yang dikehendaki dimana batasan imajinasi dan kreativitas tak perlu dikekang.

5. Apa saran anda pada desainer/ilustrator untuk mendesain buku ilustrasi yang tepat dan efektif bagi anak-anak?

Sebagai desainer/illustrator buku anak harus memperhatikan sudut pandang anak. Desainer harus dapat kembali masuk ke dunia anak-anak dan berimajinasi layaknya seorang anak dimana tidak ada batasan dan apapun bisa terjadi. Pemikiran inilah yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain.

2.5.2 Asumsi Data Wawancara

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa puncak kreativitas manusia justru terletak pada masa kanak-kanak. Perkembangan kreatifitas anak tidak lepas dari kebutuhan gizi, lingkungan tempat tinggal dan peran orangtua dalam mendidik anak. Buku cerita anak sebagai media penting untuk mengembangkan bahasa dan visual seorang anak dengan didukung kekuatan cerita, kemasan dan ilustrasi yang menarik. Namun dalam perancangan buku cerita anak yang baik tentunya harus memperhatikan sudut pandang anak, bagaimana imajinasi seorang anak itu, bila perlu desainer harus dapat kembali masuk ke dunia anak.

(27)

2.6 Analisis Data 2.6.1 SWOT

1. Kisah Dewi Sri

Penerbit : Nuansa Aulia

Gambar 2.18. Buku Kisah Dewi Sri Sumber: Dokumentasi pribadi

Tabel 2.1. SWOT Buku Kisah Dewi Sri

Strength Weakness Dari segi cerita tergolong lengkap

sehingga segmennya cocok untuk usia sekolah

Memakai softcover dan kertas CD (buram) sehingga biaya percetakan dan harga jualnya tidak mahal

Gaya desain ilustrasi cover memakai gaya manga Jepang, karena manga Jepang sekarang sangat diminati oleh remaja dan anak-anak

Gambar Ilustrasi didalam buku tidak berwarna (hitam putih) sehingga kurang menarik secara visual saat membaca

Pesan moralnya tidak dicantumkan

Teksnya terlalu panjang sehingga menimbulkan kebosanan saat membaca

Adanya perbedaan gaya gambar cover Dewi Sri dengan gambar ilustrasi didalam buku. Terutama penggambaran ekspresi wajah karakter Dewi Sri

(28)

Tabel 2.1. SWOT Buku Kisah Dewi Sri (sambungan)

Opportunities Threads Kisah Dewi Sri yang dibawakan

adalah versi Sunda, Jawa Barat. Buku Dewi Sri yang mengangkat cerita versi Sunda jarang ditemui di toko-toko buku

Harga yang terjangkau sehingga semua golongan dapat membelinya

Banyak pesaing yang mengangkat cerita rakyat yang lebih menarik dalam segi visual dan verbal

2. Buku Dewi Sri

Penerbit : PT Elex Komputindo

Gambar 2.19. Buku Cerita asli Indonesia; Dewi Sri Sumber: Dokumentasi pribadi

Tabel 2.2. SWOT Buku Dewi Sri

Strength Weakness Tampilan visual dari cover buku sudah

lumayan menarik (sudah berwarna)

Bahasa verbalnya mudah dimengerti

Adanya pesan moral dalam buku cerita

Cerita kurang lengkap

(29)

Tabel 2.2. SWOT Buku Dewi Sri (sambungan)

Opportunities Threads Cerita Dewi Sri yang dibawakan

adalah versi Jawa. Buku Dewi Sri yang mengangkat cerita versi Jawa jarang ditemui di toko-toko buku

Banyaknya buku impor dan lokal yang sudah beredar di pasaran dengan tampilan visual maupun verbal yang lebih menarik untuk dibaca

3. Putri raja menjadi padi Penerbit : Kanisius

Gambar 2.20. Buku Putri Raja Menjadi Padi Sumber: Dokumentasi pribadi

Tabel 2.3. SWOT Buku Putri Raja Menjadi Padi Strength Weakness Ilustrasi dalam buku sudah berwarna

Bahasa verbalnya mudah dimengerti

Adanya pesan moral dalam buku cerita

Tampilan covernya kurang menarik

Cerita Dewi Sri yang dibawakan adalah versi Jawa. Buku Dewi Sri yang mengangkat cerita versi Jawa jarang ditemui di toko-toko buku

Banyaknya buku impor dan lokal yang sudah beredar di pasaran dengan tampilan visual maupun verbal yang lebih menarik untuk dibaca

(30)

2.6.2 Kesimpulan Analisis Data

Kesimpulan umum dari semua buku cerita yang telah diamati dan diteliti dapat diketahui bahwa kelebihan suatu buku cerita dapat dilihat dari tampilan visual dan verbal untuk menarik minat pembaca. Sebaiknya tampilan visual dan verbal sesuai dengan pendekatan target market yang dituju. Karena tampilan visual dan verbal yang menarik adalah salah satu faktor untuk mencapai sasaran target market.

Kelemahan yang ada dalam buku cerita tersebut, antara lain: pada buku “Kisah Dewi Sri”, gaya desain ilustrasi cover tidak memiliki konsistensi dengan gaya desain ilustrasi bacaan dalam buku. Cover buku kisah Dewi Sri memakai gaya manga, tetapi gambar ilustrasi pelengkap teksnya, tidak memakai gaya manga lagi. Hal ini menunjukkan cover manga pada buku kisah Dewi Sri sebagai point of selling dan sebagai stopping power dalam marketing. Tetapi kelemahan ini dapat berakibat kekecewaan pada para pembaca sehingga memiliki persepsi buruk tentang buku lokal. Maka untuk menghindari kelemahan seperti itu, perancangan pada buku ilustrasi legenda Dewi Sri ini nantinya akan lebih konsistensi dalam penggambaran karakter dan penggunaan gaya desain eklektik.

Kesempatan dalam perancangan bertemakan buku cerita rakyat memiliki banyak peluang, meski sudah banyak buku cerita rakyat yang sudah beredar di pasaran tetapi belum memiliki tujuan dan target market yang jelas. Sedangkan perancangan buku Legenda Dewi Sri ini bertujuan sebagai wacana budaya agraris Indonesia pada anak usia 9-12 tahun.

Ancaman pada perancangan buku ilustrasi legenda Dewi Sri adalah banyaknya pesaing buku bacaan anak baik lokal maupun impor yang sudah beredar di toko buku, pandangan negatif masyarakat pada buku cerita rakyat Indonesia adalah sesuatu yang membosankan dan kuno. Pada sisi ilustrasi, buku-buku lokal lebih mengutamakan gambar sampulnya saja, tanpa memperhatikan gambar dalam buku.

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan buku cerita bergambar untuk anak-anak usia 4-7 tahun tentang perumpamaan Yesus menggunakan gaya Pop-Up beserta media pendukung promosinya tersebut akan

Komik ini tidak menjadi bagian dari media cetak lain, karena komik ini terbit sendiri dalam satu buku yang didalamnya berisi cerita tentang komik itu sendiri yang juga

Untuk itu, penelitian ini lebih difokuskan pada karakter Dewi Sri dari perspektif narasi dan visual dalam pandangan masyarakat Jawa Timur serta figurnya sebagai ilah dan

2 ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI 2 1 Studi Literatur Dalam perancangan dan penelitian ini akan digunakan teori teori, informasi dan pengetahuan yang berasal dari buku buku dan

Penyebab kekalahan cergam dan komik lokal tidak hanya pada penggarapan ilustrasi saja tetapi cergam maupun komik impor memiliki pasaran yang lebih luas

Buku esai fotografi dipilih karena selain foto adalah media yang paling tepat untuk menunjukkan dengan jelas seperti apa wujud buah lerak dan pohonnya, dengan

Nantinya buku ini akan menjadi informasi yang berisikan mengenai Barong Ket, yang menceritakan nilai-nilai yang terkandung didalam kesenian Barong Ket, baik dari

Buku perancangan cerita bergambar mengkonsumsi sayuran untuk anak- anak usia 5-12 tahun berisikan tentang bagaimana cara mengolah makanan dengan bahan dasar sayuran