• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being Pada Siswa SMULB 'X' di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being Pada Siswa SMULB 'X' di Kota Bandung."

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

iv Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai Psychological Well Being pada siswa SMULB “X” di kota Bandung. Psychological Well Being (PWB) merupakan evaluasi hidup seseorang yang menggambarkan bagaimana cara mempersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya (Ryff,2002). PWB dilihat berdasarkan enam dimensi, yaitu : Self Acceptance, Purpose inLife, Autonomy, Personal Growth, Positive Relationship With Other dan , Environmental Mastery .

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif .untuk menjaring PWB siswa SMULB”X”digunakan kuisoner Psychological Well Being dari Ryff yang diterjemahkan oleh Ferdy Gunawan (2010). Responden dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMULB”X” di kota bandung yang berjumlah 29 orang. Berdasarkan pengujian alat ukur, diperoleh sebanyak 62 item. Dengan validitas alat ukur berkisar antara 0,30 – 0,78 dan realibilitasnya adalah 0,71.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa siswa SMULB”X” sebagian besar menunjukkan PWB yang rendah pada dimensi Autonomy (44,82%) dan Positive Relationship With Other (37,93 %). Pada dimensi Personal Growth (37,93%) dan Self Acceptance (31,03%) cukup banyak responden yang menunjukkan derajat cenderung rendah. Dimensi PWB yang cenderung tinggi terlihat pada dimensi Purpose in Life (31,03%). Ditemukan pula bahwa lebih banyak siswa laki-laki memiliki dimensi purpose in life yang tinggi dibandingkan siswa perempuan. Sebaliknya, siswa laki laki lebih banyak menunjukkan dimensi Self Acceptance yang rendah daripada siswa perempuan. Tidak ditemukan perbedaan yang menonjol pada dimensi PWB jika dilihat berdasarkan tipe kepribadian siswa. Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa siswa yang menghayati memperoleh dukungan dari orang tua menunjukkan dimensi Autonomy dan Environmental Mastery yang rendah.

(2)

v Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

This research was conducted to gain insight about student’s Psychological Well Being in SMULB”X” in Bandung. Psychological Well Being (PWB) is an evaluation of one’s life that illustrate how to perceive themselves in facing the challenges of life (Ryff,2002). PWB is based on six dimensions: Self Acceptance, Purpose in Life, Autonomy, Personal Growth, Positive Relationships With Other,and Environmental Mastery.

The method in this research is descriptive method. To get the SMULB”X” student’s PWB was used Psychological Well Being questionnaire from Ryff translated by Ferdy Gunawan (2010). Respondents in this study are all students at SMULB”X” in Bandung, which totaled 29 people. Based on test gauge, obtained by 62 items with validity of measuring instrument ranged from 0,48 to 0,78 and reliability is 0,71.

Based on research results, it can be concluded that students of SMULB "X" most of them show PWB low on the dimensions of Autonomy (44.82%) and Positive Relationship With Oher (37,93%). On the dimensions of Personal Growth (37,93%) and Self Acceptance (31.03%) respondents showed considerable degrees tend to be low. PWB dimensions that tend to appear high on the dimensions of Purpose in Life (31.03%). It was also found that more male students have high Purpose in Life dimension than female students. In contrast, more male students showed low Self Acceptance dimension than female students. No prominent differences were found in the PWB dimension when viewed by type of personality of the students. Beside that, there was a tendency that students who appreciate the support from parents show low Autonomy and Environmental Mastery dimensions.

(3)

vi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK... ... ii

ABSTRACT... ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

1.4Kegunaan Penelitian... 8

(4)

vii Universitas Kristen Maranatha

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA... 21

2.1 Psychological Well Being... 21

2.2 Sejarah dan Perkembangan Psychological Well Being... ... 21

2.3 Dimensi Psychological Well Being... ... 26

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi PWB... ... 32

2.5 Big Five Personality Trait... ... 34

2.6. Teori Perkembangan Remaja Akhir dan Dewasa... ... 51

2.6.1.Definisi Dewasa….. 51

2.6.2.Perkembangan Dewasa Awal ... 54

2.6.3.Pengertian Remaja………….. ... 5

2.7. Tuna Netra……….. ... 58

2.7.1.Definisi Tuna Netra 58 2.7.2.Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan ... 59

2.7.2.1.Perkembangan Kognitif Anak Tuna Netra... 59

2.7.2.2.Perkembangan Emosi Anak Tuna Netra… ... 60

(5)

viii Universitas Kristen Maranatha BAB III METODOLOGI PENELITIAN 62

3.1 Rancangan Penelitian ... ... 62

3.2 Bagan Rancangan Penelitian... ... 63

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 63

3.3.1 Variabel Penelitian... 63

3.3.2 Definisi Operasional ... 64

3.4 Alat Ukur 65 3.4.1Psychological Well Being Questionnaire ... 65

3.4.2 Proses Pengambilan Data ... 67

3.4.3.Data Penunjang... ... 68

3.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 69

3.5.1 Validitas Alat Ukur ... 69

3.5.2 Reliabilitas Alat Ukur 70 3.6 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 71

(6)

ix Universitas Kristen Maranatha

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 72

4.1 Gambaran Responden……… ... 72

4.2 Hasil Penelitian……… ... 74

4.3 Pembahasan………. . ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN….. ... 87

5.1 Kesimpulan………... ... 87

5.2 Saran………. ... 88

5.2.1 Saran Teoritis………. ... 88

5.2.2 Saran Praktis……… ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90

DAFTAR RUJUKAN ... 92

LAMPIRAN

 Lampiran 1 : Kata Pengantar

 Lampiran 2 : Identitas dan Data Penunjang

 Lampiran 3 : Psychological Well Being Questionnaire

(7)

x Universitas Kristen Maranatha  Lampiran 6 : Hasil Penelitian

 Lampiran 6.1. Gambaran Responden

 Lampiran 6.2: Lanjutan Gambaran Responden  Lampiran 7: Frekuensi Gambaran Responden  Lampiran 7.1: Distribusi Frekuensi Tempat Tinggal  Lampiran 7.2: Distribusi Frekuensi Etnis

 Lampiran 7.3: Distribusi Pekerjaan Orang Tua

 Lampiran 7.4: Distribusi Frekuensi Pendidikan Orang Tua  Lampiran 7.5: Distribusi Frekuensi Tempat Tinggal Responden  Lampiran 7.8: Distribusi Frekuensi Penghasilan Orang Tua Responden

 Lampiran 8: Crosstab Dimensi PWB dengan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi  Lampiran 8.1: Crosstab Dimensi PWB dengan Jenis Kelamin

 Lampiran 8.2: Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan trait personality  Lampiran 8.3: Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan suku/etnis

 Lampiran 8.4 : Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan penghasilan orang tua  Lampiran 8.5. crosstab dimensi-dimensi PWB dengan dukungan orang tua  Lampiran 8.6. crosstab dimensi-dimensi PWB dengan dukungan keluarga besar  Lampiran 8.7. crosstab dimensi-dimensi PWB dengan dukungan teman

 Lampiran 8.8. crosstab dimensi-dimensi PWB dengan dukungan guru

(8)

xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Definisi dari Psychological well being ... 32

Tabel 3.1 Dimensi PWB…….. ... 60

Tabel 3.2 Kriteria penilaian masing-masing dimensi PWB ... 62

Tabel 3.3 Alat ukur trait personality ... 63

Tabel 3.4 Validasi alat ukur…. ... 64

Tabel 3.5 Reliabilitas alat ukur ... 65

Tabel 4.1 Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 67

Tabel 4.2 Gambaran subjek penelitian tipe kepribadian ... 68

Tabel 4.3 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 68

(9)

xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 20

(10)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GAMBAR

(11)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semua manusia pasti berharap dapat terlahir dengan selamat dan memiliki

kondisi jasmani dan rohani yang sehat. Namun, banyak anak yang lahir kurang

sehat, tidak sempurna atau memiliki kecacatan fisik maupun psikis. Salah satu

contoh kecacatan fisik adalah anak tuna netra.

Anak tuna netra adalah individu yang indera penglihatannya

(kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan

sehari-hari seperti orang pada umumnya (Somantri, 2006:66). Suatu anak

dikatakan tuna netra apabila ketajaman penglihatannya kurang dari 6/21 artinya

membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang normal dapat dibaca pada

jarak 21 meter atau tidak bisa melihat sama sekali.

Ketunanetraan yang dimiliki tidak menghalangi anak tuna netra untuk

mendapatkan hak yang sama dengan orang lain. Salah satu hak tersebut adalah

mendapatkan pendidikan. Pendidikan tersebut diberikan bagi penyandang tuna

netra sebagai bekal masa depannya. Orang-orang tuna netra dapat menempuh

pendidikan di sekolah luar biasa.

Sekolah luar biasa yang khusus menyelenggarakan program pendidikan

pendidikan untuk penyandang tuna netra adalah SLBA. Kekhasan SLBA ialah

dipakainya tulisan Braile yaitu suatu sarana atau sistem membaca dan menulis

(12)

2

Universitas Kristen Maranatha titik-titik timbul (sel) yang membentuk suatu formasi tertentu (Psikologi dan

Pendidikan Anak Tuna Netra, 1998). Khususnya untuk anak yang masih mempunyai sisa penglihatan, digunakan huruf biasa yang diperbesar, di samping

itu pendengar dan perabaannya sangat berfungsi dalam proses pengajarannya di

SLBA.

Salah satu tempat penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang tuna netra

di Kota Bandung adalah SLBA “X”. Pada tahun 1982, sekolah ini

menyelenggarakan pendidikan kejuruan musik setingkat dengan SLTA yang biasa

disebut sebagai Sekolah Menengah Umum Luar Biasa (SMULB) dan berlangsung

hingga sekarang. Sekolah SMULB “X” ini memiliki visi yaitu menjadi Resource

Centre (Pusat Sumber) untuk mewujudkan anak berkebutuhan khusus yang

terampil, kreatif, cerdas dan mandiri, melalui manajemen pendidikan khusus yang

terbuka dan berkualitas pada tahun 2012. Selain itu juga SMULB “X” ini

memiliki misi untuk mewujudkan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi

penyandang cacat netra, meningkat sumber daya penyandang cacat netra, menjalin

kerja sama dengan organisasi sosial atau LSM, perguruan tinggi dan instansi

pemerintah yang terkait dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial

penyandang cacat netra, meningkatkan profesionalisme dan kualitas sumber daya

manusia melalui kualifikasi dan sertifikasi pendidikan (profil SMULB “X”).

SMULB “X” memiliki murid sebanyak 29 dari mulai kelas satu hingga

kelas tiga. Kurikulum yang diajarkan di SMULB “X” hampir sama dengan

sekolah pada umumnya, para murid di sekolah ini mendapatkan pelajaran yang

(13)

3

Universitas Kristen Maranatha pengajarannya. Metode pengajaran di SMULB “X” menggunakan metode

deskriptif, di mana murid belajar dengan menggunakan bacaan dengan huruf

Braille dan banyak menggunakan audio di dalam metode pengajarannya.

Pelajaran tambahan selain baca tulis Braille adalah daily living, yaitu

melatih keterampilan siswa untuk bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti

makan, mandi dan berbagai macam kegiatan sehari-hari di dalam kehidupan

mereka. Selain itu, siswa juga mendapatkan pelatihan orientasi mobilitas yaitu

melatih siswa untuk bisa berpergian pada jarak yang jauh. Ketrampilan ini

diajarkan dengan menggunakan seorang pendamping atau siswa diajarkan untuk

berpergian dengan menggunakan alat bantu. Ketrampilan tambahan yang

diberikan ini membantu mereka agar bisa beraktivitas pada kehidupan sehari-hari

dan terus dipakai hingga mereka menyelesaikan pendidikannya. Hal ini dilakukan

agar siswa bisa memiliki rasa percaya diri, tidak minder dan lebih optimis di

dalam hidupnya karena masalah tersebut merupakan keluhan yang sering dialami

oleh penyandang tuna netra. Keluhan-keluhan yang sering dialami oleh

penyandang tuna netra diantaranya sering merasa merasa tidak berharga karena

tidak mampu berbuat sesuatu baik untuk dirinya maupun orang lain, merasa tidak

diterima oleh masyarakat, kurang memiliki tujuan hidup yang jelas serta tidak

memiliki harapan hidup.

Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan pengajar, yang

mengungkapkan bahwa banyak siswa penyandang tuna netra sering mengeluh

karena mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dari lingkungan sekitar.

(14)

4

Universitas Kristen Maranatha sehari-hari seperti menjadi minder, pesimis dan pendiam. Dalam relasi sosial

dengan orang lain mereka juga sering merasa terbatas karena sering mendapat

penilaian negatif dari masyarakat mengenai kekurangan pada diri mereka

sehingga sering membatasi diri untuk berelasi di kehidupan sehari-hari. Selain itu,

mereka juga menjadi kurang berani untuk melakukan sesuatu karena merasa

memilki keterbatasan secara fisik.

Menurut Aristotle, orang yang dapat mengeluarkan potensi terbaiknya

adalah orang-orang yang mencapai self-realization, dikarenakan seseorang hidup

tidak hanya memenuhi kesenangan atau hasrat saja tetapi berusaha melakukan

sesuatu dengan mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya (Ryff, 2006).

Seorang tokoh psikologi perkembangan bernama Carol Ryff mengungkapkan

suatu konsep multidimensional yang disebut Psychological Well-Being (PWB).

Menurut Ryff, PWB adalah evaluasi hidup seseorang yang menggambarkan

bagaimana cara dia mempersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya.

PWB memiliki enam dimensi, tiap dimensinya menjelaskan bagaimana seseorang

berusaha berfungsi secara positif dalam menghadapi tantangan-tantangan

hidupnya. Dimensi-dimensi PWB tersebut adalah self-acceptance, purpose in life,

autonomy, personal growth, positive relationship with other, environmental

mastery (Ryff, 1989). orang yang mempunyai PWB tinggi akan senantiasa

merusaha mengeluarkan potensi terbaiknya untuk menghadapi tantangan dalam

hidupnya. Siswa yang memilki PWB yang tinggi akan mengeluarkan potensi yang

dimilikinya untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari.

(15)

5

Universitas Kristen Maranatha memiliki keterbatasan fisik seperti penyandang tuna netra. Misalnya menganggap

bahwa tuna netra tidak berguna bagi masyarakat dan beban bagi keluarga.

Meskipun sesungguhnya masih terdapat berbagai potensi yang dapat

dikembangkan secara optimal di samping hambatan penglihatan yang di alam.

Pandangan tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan diri siswa tuna netra dalam

meneruskan pendidikannya dan dapat menjadi penghambat untuk mencapai apa

yang diinginkan. (www.mitranetra.or.id).

Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang siswa di SMULB “X”,

didapatkan bahwa sebanyak 33.3% siswa menganggap bahwa mereka mau

mengakui dan menerima kelebihan dan kekurangan pada diri mereka apa adanya

sebagai penyandang tuna netra. Berdasarkan teori PWB, siswa tersebut memiliki

kecenderungan self-acceptance yang rendah. Yang dimaksud dengan

self-acceptance menurut Ryff adalah sikap positif akan dirinya, penerimaan diri

seseorang baik kekurangan maupun kelebihan juga, terkait masa lalu maupun

masa kini. Sedangkan 66.7% menganggap bahwa kebutaan yang mereka alami

sebagai sesuatu yang sudah tidak bisa diobati dan menerima keadaan diri mereka

sebagai seorang penyandang tuna netra. Berdasarkan teori PWB, siswa ini

memiliki kecenderungan self-acceptance yang tinggi.

Dalam wawancara terungkap bahwa, 90% siswa merasa memerlukan

bantuan dari orang lain terutama keluarga untuk membantu mengambil keputusan

misalnya meminta pertimbangan mengenai studi karena siswa merasa kurang

yakin dengan keputusan yang akan diambil. Menurut Ryff hal di atas merupakan

(16)

6

Universitas Kristen Maranatha mana kemandirian seseorang mampu mengambil keputusan bukan karena

tekanan lingkungan. Sedangkan sebanyak 10% siswa merasa mampu dan yakin

dengan kemampuan dalam memutuskan sesuatu misalnya merasa yakin dengan

cita-cita yang akan dijalani kelak. Hal ini menunjukan autonomy yang tinggi.

Hasil dari wawancara juga mengungkapkan sebanyak 100% siswa tersebut

juga mengungkapkan bahwa mereka berniat untuk melanjutkan kuliah dan bekerja

setelah lulus dari sekolah.siswa banyak memilih untuk melanjutkan kuliah ke

jurusan musik dan pendidikan luar biasa. Menurut Ryff, ciri di atas merupakan

dimensi purpose in life. Purpose in life merupakan keyakinan-keyakinan yang

memberi perasaan bahwa terdapat tujuan dan makna dalam hidupnya.

Dari hasil wawancara juga ditemukan sebanyak 80% siswa menganggap

bahwa orang tua mereka bertanggung jawab atas kebutaan yang mereka alami

karena telah ceroboh dalam merawat dirinya dan hal tersebut menghambat mereka

enjadi terbatas dalam aktivitas sehari-hari dan tidak seperti orang lain di sekitar

mereka. Hal ini dapat digolongkan sebagai personal growth yang rendah. Menurut

Ryff personal growth adalah sejauh mana individu mempunyai keinginan untuk

mengembangkan diri, terbuka dengan pengalaman baru, menyadari potensi yang

dimiliki, selalu memperbaiki diri dan tingkah laku. Sedangkan 20% siswa tidak

menyalahkan keadaan yang mereka alami sekarang dan menganggap keadaan ini

tidak membatasi mereka untuk melakukan berbagai macam aktivitas seperti orang

normal pada umumnya. Hal ini dapat digolongkan sebagai personal growth yang

(17)

7

Universitas Kristen Maranatha Hasil wawancara juga diperoleh mengenai hambatan pada diri mereka,

sebanyak 60% siswa merasa minder dengan orang yang normal dan banyak

menyendiri ketika mereka berada pada lingkungan di luar sekolah atau di tempat

tinggal mereka. Hal tersebut merupakan ciri dari environmental mastery yang

rendah. Environmental mastery menurut Ryff dapat diartikan sebagai kemampuan

individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai dan

kebutuhannya. Sebaliknya sebanyak 40% siswa tidak mempedulikan lingkungan

sekitarnya artinya mereka merasa bahwa tidak terdapat perbedaan antara orang

normal dengan penyandang tuna netra lainnya dan merasa bahwa mereka juga

dianugerahkan kemampuan yang sama dengan orang lain. Hal ini dapat dikatakan

sebagai environmental mastery yang tinggi.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa 60% siswa memiliki hambatan

untuk berelasi dengan orang lain karena sering diejek lalu mereka menjauh dari

lingkungannya. Hal ini menunjukkan positive relation with other rendah. Menurut

Ryff, positive relation with other adalah perasaan yang kuat pada empati dan

afeksi pada semua kehidupan manusia dan identifikasi yang erat dengan orang

lain. Sebaliknya 40% siswa mengatakan mereka tidak memiliki hambatan untuk

berelasi dengan orang lain dan menganggap kekurangan mereka tidak menjadi

hambatan untuk berelasi dengan orang lain. Hal ini menunjukkan positive relation

with other yang tinggi.

Dari hasil wawancara pada 10 orang di SMULB “X”, menunjukkan bahwa

terdapat kecenderungan yang bervariasi pada setiap dimensi. Pada seluruh

(18)

8

Universitas Kristen Maranatha rendah. Di sisi lain, PWB sangat penting agar siswa bisa mengembangkan potensi

secara optimal. Berdasarkan data-data di atas, peneliti tertarik untuk meneliti

mengenai gambaran psychological well being pada siswa di SMULB “X” di

Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Melalui penelitian ini, ingin diketahui bagaimana Psychological

Well-Being pada siswa penyandang tuna netra SMULB “X” di Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

Psychological Well-Being pada siswa penyandang tuna netra SMULB “X”

di Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat

self-acceptance, purpose in life, autonomy, personal growth, positive

relationship with other, environmental mastery pada siswa penyandang

tuna netra SMULB “X” di Kota Bandung beserta faktor-faktor yang

mempengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memberikan tambahan referensi untuk ilmu Psikologi di khususnya

(19)

9

Universitas Kristen Maranatha 2. Memberikan informasi tambahan kepada peneliti lain yang tertarik

untuk meneliti topik yang serupa dan dapat mendorong

dikembangkannya penelitian yang berhubungan dengan Psychological

Well-Being.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberi bahan masukan dan informasi pada siswa mengenai

pentingnya Psychological Well-Being untuk proses belajar mengajar

melalui konseling dan pelatihan.

2. Memberikan informasi guru sekolah SMULB “X” mengenai

pentingnya Psychological Well-Being bagi siswa dan memberikan

gambaran tingkat dimensi-dimensi PWB sehingga guru-guru dapat

mengetahui dimensi-dimensi mana saja yang perlu ditingkatkan dengan

konseling ataupun pelatihan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Manusia sebagai seorang individu harus melewati setiap tahapan dalam

kehidupannya, mulai sejak dalam kandungan sampai meninggal. Dalam melewati

tahapan tersebut, individu akan mengalami tantangan dalam kehidupannya dan

individu dituntut untuk mengeluarkan potensi optimalnya sehingga individu dapat

mencapai suatu kepuasan. Setiap tahapan perkembangan memiliki tugas

perkembangan yang harus diselesaikan oleh individu, sehingga individu akan

mengalami berbagai tantangan dalam hidupnya. Untuk mengatasi tantangan

(20)

10

Universitas Kristen Maranatha optimal sehingga individu dapat melewatinya dengan kepuasan dan tumbuh ke

tahap perkembangan berikutnya. Hal ini berlaku untuk seluruh manusia termasuk

penyandang tuna netra.

Saat ini siswa tuna netra SMULB “X” berada dalam tahap perkembangan

remaja akhir dan dewasa awal. Awal masa remaja berlangsung dari usia 13

sampai 16 tahun dan akhir masa remaja berlangsung dari usia 16 sampai 18 tahun.

Sedangkan dewasa awal berlangsung dari usia 18 tahun ( Hurlock, 1994). Tugas

perkembangan pada remaja akhir memiliki tantangan tersendiri seperti

menghadapi dunia kerja yang kompleks. Kemudian akan berlanjut pada masa

dewasa awal dengan tugas perkembangannya adalah mendapatkan pekerjaan

dengan tugas yang terspesialisasi. Dalam usaha mencapai tugas perkembangan

tersebut mereka dituntut untuk mengerahkan kemampuannya secara optimal agar

dapat melewatinya dengan baik. Apabila mereka dapat mengatasi tantangan maka

akan muncul suatu kepuasan tersendiri karena mereka telah mengerahkan

kemampuan terbaiknya, hal ini yang disebut Ryff sebagai Psychological

Well-Being (PWB).

Ryff mengungkapkan bahwa Psychological Well-Being adalah evaluasi

hidup seseorang yang menggambarkan bagaimana cara dia mempersepsi dirinya

dalam menghadapi tantangan hidupnya (Ryff, 2002). Ketika seorang siswa

berhasil melewati tantangan akademisnya seperti menyelesaikan tugas-tugasnya

sendiri dengan bekerja keras, mendapatkan prestasi yang memuaskan dengan cara

giat belajar akan merasa kepuasan tersendiri dan akan berbeda jika dibandingkan

(21)

11

Universitas Kristen Maranatha sehingga kurang mengeluarkan seluruh kemampuannya secara optimal. Menurut

Ryff seseorang yang berusaha untuk mencapai sesuatu dengan potensi terbaiknya

untuk memperbaiki atau meningkatkan keadaan hidupnya akan memiliki

psychological well being yang tinggi (Ryff 2005). Untuk memahami PWB, Ryff

mengajukan model multidimensi dengan enam dimensi yaitu: self-acceptance,

autonomy, purpose in life, personal growth, positive relationship with other dan ,

enviromental mastery (Ryff 2006).

Dimensi pertama yaitu Self-acceptance menekankan pentingnya

penerimaan diri baik kekurangan atau kelebihan juga kejadian masa lalu atau

masa kini. Siswa yang memiliki self-acceptance tinggi akan mempunyai sikap

yang positif terhadap dirinya misalnya menganggap bahwa ketunanetraannya

bukan hal yang menghambat dirinya untuk berhasil, menerima dirinya baik aspek

yang positif maupun negatif, dan memandang positif masa lalu dengan tidak

menyesali apa yang telah terjadi dan menganggap bahwa hal tersebut merupakan

hal yang terbaik. Sedangkan siswa yang memiliki self-acceptance rendah akan

merasa tidak puas terhadap diri sendiri karena mengalami tuna netra, kecewa

dengan masa lalunya misalnya menyalahkan orang tua yang menyebabkan dia

mengalami tuna netra, merasa iri pada temannya yang berhasil dan menyesal akan

ketidakmampuan dirinya.

Self-acceptance berkaitan dengan faktor kepribadian yaitu trait

extravertion, conscientiousness, neurotic (Ryff,2002). Siswa dengan kepribadian

extravertion lebih mudah menyesuaikan diri dan merasakan emosi yang positif

(22)

12

Universitas Kristen Maranatha maupun kekurangannya. Hal ini menggambarkan bahwa siswa memiliki

self-acceptance yang tinggi. Individu yang memiliki trait conscientiousness yang kuat

cenderung untuk mengontrol, meregulasi dan mengarahkan impuls atau

dorongan-dorongannya, individu tersebut juga mempunyai achievement-striving yaitu

keinginan atau hasrat untuk berusaha keras mencapai prestasi yang baik atau

tinggi. Dalam usaha mencapai prestasinya tesebut ditopang juga dengan

self-discipline, yaitu kemampuan untuk bertahan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya

hingga selesai, serta orderness yaitu keinginan untuk teratur dan terorganisir

(McCrae & Costa, 1992). Siswa yang dominan pada trait conscientiousness selalu

mempunyai hasrat untuk berprestasi yang baik, membuat goal dan perencanaan

mencapai tujuannya, sifat seperti itu membuat siswa mempunyai pandangan yang

positif terhadap dirinya, hal ini menggambarkan dimensi self-acceptance yang

tinggi.

Trait lainnya adalah neurotic, sifat dari neurotic ini membuat seseorang

cenderung mengalami emosi yang negatif seperti kecemasan, kemarahan dan

agresi. Orang yang memiliki level neurotic tinggi cenderung reaktif secara

emosional. Mereka merespon secara emosional pada situasi yang biasa saja dan

mungkin tidak berdampak apa-apa (McCrae & Costa, 1992). Kecenderungan yang

tinggi pada trait ini berdampak pada dimensi self-acceptance yang berkaitan

dengan penerimaan dirinya, baik aspek positif maupun negatif. Mereka cenderung

menginterpretasikan situasi biasa sebagai hal yang mengancam, menganggap

(23)

13

Universitas Kristen Maranatha cenderung merasa tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dan menyesal akan

ketidakmampuannya sehingga memiliki self-acceptance yang rendah.

Dimensi autonomy menggambarkan sejauh mana penilaian seseorang

mengenai kemandirian, pengambilan keputusan bukan karena tekanan lingkungan

tetapi dengan internal locus of evaluation yaitu mengevaluasi diri sendiri sesuai

dengan standard pribadinya sendiri tanpa melihat persetujuan orang lain. Siswa

yang memiliki autonomy tinggi, maka mampu mengambil keputusan dengan

mantap tanpa terpengaruh oleh teman-temannya seperti pemilihan jurusan kuliah.

Siswa memilih jurusan kuliah berdasarkan keinginannya seperti menjadi pemain

musik, menjadi seorang guru. Hal ini mereka lakukan berdasarkan keinginan dan

bakatnya bukan dipengaruhi oleh orang tua atau teman-teman. Apabila ia

memiliki autonomy yang rendah, keputusannya mudah terpengaruh oleh

lingkungan dan temannya, terfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain,

berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan yang penting.

Misalnya seperti memilih jurusan karena berdasarkan saran dari orang tua, jika

sedang berdiskusi tentang pelajaran mereka lebih memilih untuk diam dan

mengikuti pendapat orang banyak serta menghindari konflik dengan orang lain.

Faktor yang berkaitan dengan autonomy adalah trait agreeableness dan

neuroticism (Ryff,2002). Siswa yang memiliki trait agreeableness menjadi tidak

dapat diandalkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan objektif

sehingga memiliki autonomy yang rendah. Siswa yang memiliki trait neuroticism

cenderung mengalami kecemasan sehingga sangat tergantung kepada orang lain.

(24)

14

Universitas Kristen Maranatha Selain trait yang berkaitan dengan autonomy adalah faktor

sosiodemografik yaitu usia. Ryff menemukan hubungan yang kuat antara usia

dengan dimensi PWB, menurutnya terjadi peningkatan pada dimensi autonomy

dan environmental mastery pada dewasa awal hingga dewasa menengah, hal ini

mungkin disebabkan pada usia yang lebih tua, seseorang akan mempunyai peran

yang lebih besar dalam status sosialnya, seperti income, pendidikan dan

kesempatan pekerjaan (Ryff 2002).

Dimensi purpose in life menggambarkan maksud dan tujuan seseorang

untuk hidup, meliputi tujuan hidup dan penghayatan bahwa hidup mempunyai

arah. Siswa yang memiliki purpose in life tinggi, menganggap penting arti

hidupnya, mereka merasa hidupnya berharga dengan begitu siswa tersebut akan

berusaha menetapkan tujuan dan perencanaan dalam hidupnya, mereka

mengetahui tujuan dari sekolahnya, membuat perencanaan masa depannya

misalnya memilih jurusan dan berusaha untuk mencapai target-targetnya seperti

berlatih musik agar bisa menjadi pemain musik profesional. Apabila siswa

memiliki purpose in life yang rendah maka ia akan memiliki sedikit tujuan hidup,

ia tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan kuliah atau jika ia kuliah pun, ia

tidak tahu tujuan kuliah dan tidak dapat menyusun target-targetnya karena merasa

pesimis tidak dapat mencapai cita-citanya.

Faktor yang mempengaruhi purpose in life yaitu trait extravertion,

conscientiousness, neurotic (Ryff,2002). Orang yang memiliki trait extraversion

cenderung dipenuhi emosi yang positif, antusias, bergairah, bersemangat dan

(25)

15

Universitas Kristen Maranatha mengarahkan orang lain (McCrae & Costa, 1992). Siswa yang dominan pada trait

extravertion cenderung merasakan antusias dan optimis, mereka menghadapi

tuntutan-tuntutan sekolah dengan semangat dan optimis sehingga mereka dapat

menetapkan sasaran dan tujuan dalam memilih jurusan di perkuliahannya. Sifat

optimis serta menetapkan sasaran dan tujuan tersebut merupakan gambaran dari

purpose in life yang tinggi. Siswa yang memiliki trait conscientiousness, mereka

mempunyai keinginan untuk berusaha mencapai prestasi yang tinggi, membuat

target-target untuk mencapai tujuannya serta gigih dalam melaksanakan

rencana-rencana atau agenda telah mereka tetapkan dalam sekolah sehingga hal tersebut

membuat mereka yakin dalam menjalani hidup dan menganggap hidup itu

berharga dan penting yang menggambarkan purpose in life tinggi. Namun disisi

lain, siswa yang dominan pada trait neurotic akan berusaha mengurangi

kegelisahan, ketegangan serta keragu-raguan mereka dengan cara membuat

perencanaan secara teliti dan matang untuk mencegah suatu hal yang tidak

diharapkan, mereka juga akan berusaha menetapkan tujuan yang ideal yang dapat

dicapai mereka serta sering mengevaluasi tujuan-tujuan yang telah mereka

tetapkan. Membuat perencanaan yang teliti serta selalu mengevaluasi

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dapat digambakan sebagai purpose in life yang tinggi

Pada dimensi personal growth, menggambarkan penilaian individu

mengenai sejauhmana individu mempunyai keinginan untuk mengembangkan

diri, terbuka dengan pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki, selalu

memperbaiki diri dan tingkah laku. Siswa yang memiliki personal growth tinggi,

(26)

16

Universitas Kristen Maranatha membaca buku pengetahuan untuk menambah wawasan, mengikuti

ekstrakurikuler olah raga tenis meja, catur dan ektrakurikuler kesenian. Sedangkan

siswa yang memiliki skor rendah, cenderung kurang suka mengembangkan diri,

merasa dirinya tidak dapat berkembang sepanjang waktu, merasa tidak dapat

mengembangkan sikap atau perilaku baru. Misalnya mereka memilih untuk tidak

mengikuti kegiatan tambahan di sekolah dan memilih untuk langsung pulang ke

asrama atau rumah.

Dimensi ini berkaitan dengan trait extravertion. Siswa yang dominan pada

trait extraversion juga cenderung aktif, semangat dan antusias dalam menghadapi

aktivitas maupun tuntutan perkuliahannya, sehingga mereka punya hasrat yang

tinggi dan aktif dalam mengembangkan diri mereka, mengikuti pelatihan atau

seminar, mereka juga mudah merasa bosan sehingga menyukai aktivitas baru

untuk mengembangkan diri mereka sebagai siswa. Hal ini menggambarkan

personal growth yang tinggi.

Pada dimensi positive relationship with other menggambarkan penilaian

individu dalam menjalin hubungan antar pribadi yang hangat, memuaskan, saling

mempercayai serta terdapat hubungan saling memberi dan menerima. Siswa yang

memiliki positive relationship with other tinggi mempunyai sikap yang hangat,

dapat mempercayai orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memiliki

empati, intimasi yang kuat. Misalnya senang berelasi dengan orang lain atau

senang memulai kontak dengan orang baru, senang mendengarkan orang yang

curhat. Siswa yang memiliki positive relationship with other rendah cenderung

(27)

17

Universitas Kristen Maranatha terhadap orang lain, kadang merasa terisolasi dalam hubungan interpersonal.

Misalnya siswa merasa diejek bila bertemu dengan orang baru, curiga bila

berhubungan dengan orang baru karena merasa akan disakiti.

Faktor yang mempengaruhi dimensi adalah trait agreeableness

(Ryff,2002). Siswa yang memiliki trait agreeableness tinggi lebih menekankan

keharmonisan sosial, mudah untuk bekerjasama, menekankan pentingnya bersama

dengan orang lain (McCrae & Costa, 1992). Siswa yang agreeableness dipandang

sebagai orang yang penuh perhatian, penolong, murah hati, dan berbagi dengan

orang lain. Mereka mempunyai pandangan yang optimis mengenai human nature,

percaya bahwa seseorang pada dasarnya jujur, baik dan dapat dipercaya sehingga

memiliki positive relation with other yang tinggi.

Faktor status sosiodemografik juga berpengaruh seperti etnis atau suku

juga berpengaruh pada positive relation with other karena terdapat keterkaitan

dengan nilai-nilai budaya yang dianut dengan dimensi positive relation with other.

Gender juga berkaitan erat dengan positive relation with other, kecenderungan

wanita mudah terbuka dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya

berkorelasi positif dengan dimensi positive relation with other dibandingkan

dengan pria yang lebih menekankan individualism dan autonomy (Gilligian, 1982

dalam Ryff, 2002).

Dimensi environmental mastery meliputi penilaian individu untuk memilih

dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai dan kebutuhannya. Siswa

yang memiliki environmental mastery tinggi mampu membentuk lingkungannya

(28)

18

Universitas Kristen Maranatha menggunakan segala kesempatan yang ada dengan efektif. Siswa yang memiliki

environmental mastery rendah akan sulit untuk merubah atau meningkatkan

lingkungan sekitar menjadi lebih baik dan tidak menyadari kesempatan yang ada

disekitarnya, dan kesulitan menangani masalah-masalah dalam kehidupan

sehari-harinya. Misalnya merasa kurang cocok dengan kondisi tempat tinggalnya yang

sekarang dan merasa tuntutan hidupnya sangat berat dan sulit untuk mengatasinya.

Faktor yang mempengaruhi dimensi ini adalah trait extravertion,

consiensciousness, neurotic. Siswa extravertion dikenal asertif, mereka mau

mengarahkan orang lain ataupun lingkungan sesuai dengan kebutuhan atau

nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya sehingga memiliki environmental mastery yang

tinggi. Sedangkan siswa yang dominan pada trait consiensciousness akan

berusaha mengatur lingkungan mereka agar dapat mencapai tujuan serta memilih

lingkungan yang sesuai yang dapat menunjang ambisi mereka, mereka juga

memaksimalkan segala kesempatan yang ada agar tujuan mereka tercapai. Hal ini

menggambarkan environmental mastery yang tinggi. Siswa yang dominan pada

trait neurotic cenderung mudah merasa cemas, keadaan tersebut membuat siswa

menjadi ragu dalam membuat keputusan, kadangkala keraguan tersebut membuat

mereka sulit menentukan pilihan, dengan begitu mereka menjadi sulit dalam

mengatur lingkungan sesuai dengan kebutuhannya serta memilih lingkungan yang

sesuai dengan dia sehingga memiliki environmental mastery yang rendah.

Dari uraian di atas, dapat digambarkan skema kerangka berpikirnya

(29)

19

Universitas Kristen Maranatha Bagan kerangka pikir :

1.5. Bagan Kerangka Pemikiran Siswa

SMULB “X” PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Sosiodemografic factor :

- ras/etnis, - usia, gender, - status marital - sosial ekonomi

Trait :

- Extraversion - Neurotic - Agreeableness - Conscientiousness - Openess to

Experience

- Self Acceptence - Purpose in life

- Enviromental mastery - Personal growth - Positif relation with

other - Autonomy

Tinggi

Cenderung tinggi

Cenderung Rendah

(30)

20

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

1. Setiap penyandang tuna netra SMULB “X” memiliki

tantangan-tantangan dalam hidupnya, tantangan-tantangan tersebut meliputi masalah

pendidikan, sosial, emosi, dan kesehatan.

2. Dalam menghadapi tantangan tersebut setiap siswa SMULB “X”

mengevaluasi dirinya berbeda-beda yang disebut sebagai

Psychological Well-Being.

3. Terdapat enam dimensi PWB pada siswa SMULB “X” yaitu: self

acceptance, purpose in life, autonomy, personal growth, positive

relationship with other, eviromental mastery.

4. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dimensi-dimensi PWB pada

(31)

88

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini peneliti akan memaparkan mengenai hasil penelitian dan analisis

yang telah dilakukan pada bab sebelumnya disertai saran yang bernilai praktis dan

terarah sesuai dengan hasil penelitian

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai tingkat Psychological Well

Being pada siswa SMULB “X” di Kota Bandung yang ditinjau dari dimensi

dimensinya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Sebagian besar siswa SMULB”X” Kota Bandung menunjukkan dimensi

Psychological Well Being yang rendah pada autonomy, environmental

mastery, personal growth, positive relationship with other dan self

acceptance.

2. Pada dimensi purpose in life, siswa SMULB ”X” Kota Bandung menunjukan

tingkat yang seimbang antara derajat yang cenderung tinggi dan rendah.

3. Dukungan dari orang tua menunjukkan dimensi autonomy rendah dan dimensi

environmental mastery rendah. Dukungan dari keluarga besar menunjukkan

dimensi autonomy tinggi dan dimensi environmental mastery tinggi.

(32)

89

Universitas Kristen Maranatha 4. Siswa SMULB”X” dengan trait kepribadian neurotic menunjukkan tingkat

dimensi autonomy, enviromental mastery, dan self acceptance yang rendah.

Sementara pada dimensi purpose in life, siswa dengan trait kepribadian

neurotic menunjukkan derajat yang tinggi.

5. Siswa SMULB “X” dengan trait kepribadian conscientiousness menunjukkan

tingkat dimensi purpose in life, enviromental mastery dan personal growth

yang rendah. Sementara ada dimensi self acceptance menunjukkan derajat

yang tinggi.

6. Siswa SMULB “X” dengan trait kepribadian extraversion menunjukkan

tingkat dimensi self acceptance, personal growth, dan positive relationship

with other yang rendah.

7. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara etnis dengan dimensi

psychological well being.

8. Terdapat ketidak konsistenan antara hasil dari data utama dengan data

(33)

90

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian korelasional dan

kontribusi mengenai hubungan dimensi Psychological Well Being terhadap

trait personality agar lebih terlihat jelas hubungannya secara ilmiah.

2. Dari penelitian ini terlihat adanya hubungan antara etnis dengan dimensi pada

Psychological Well Being, sehingga perlu diadakan penelitian lebih lanjut

untuk mengetahui hubungan Psychological Well Being dengan etnis.

3. Dari penelitian ini juga bisa diketahui bahwa siswa yang menghayati

dukungan dari keluarga atau orang-orang terdekat cenderung memiliki

tingkat yang rendah dalam beberapa dimensi. Oleh karena itu perlu diteliti

bentuk dukungan seperti apa yang sesuai bagi siswa tuna netra sehingga

dapat mengembangkan dimensi dimensi PWB nya.

5.2.2. Saran Praktis

1. Hasil penelitian ini memberikan masukan bagi SMULB “X” di kota

Bandung mengenai Psychological Well Being yang dilihat dari tiap

dimensi sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program

(34)

91

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Cruickshank, William M (1980). Psychology of Exceptional Children and Youth 4th Ed. USA Prentice Hall Inc

John, O.P. (1992). An introduction to the five-factor model and its applications. Journal of Personality:

Keyes,C.L.M., Shmotkin, D. 2002. Optimizing well-being : The empirical Encounter of two tradition. Journal of Personality and Social Psychology.

McCrae. R. R., & Costa, P. T.. Jr. 1997. Personality trait structure as a human universal. American Psychologist. Vol. 52

McCrae. R.R.,& Costa, P. T., Jr. (1991). The NEO Personality Inventory: Using the five-factor model in counseling. Journal of Counseling and Development, 69,367-372.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor

Ryff, C.D. 1989. Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology

Ryff & Keyes,C.L.M 1995. The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727.

(35)

92

Universitas Kristen Maranatha Santrock, John W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.

Singer, B. 2006. Know thyself and become what you are : Eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies,

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta : PT Pustaka LP3ES.

Somantri, Tsujihati.2006. Psikologi Anak Luar Biasa:Bandung:Refika Aditama

Hurlock, Elizabeth E. 1994. Psikologi Perkembangan (Terjemahan). Edisi ke 5.

(36)

93

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Agustin, Meri I. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Being

pada Mahasiswa Psikologi Universitas ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung:

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Darmali, Feniana. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological

Well-Being pada Guru SMA ‘X’ Bandar Lampung. Skripsi. Bandung: Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Gunawan,Ferdy. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being Pada

Mahasiswa Angkatan 2005 Fakultas ‘X’ Universitas ‘Y’ Bandung. Skripsi.

Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Wati, Ratna. 2010. Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being Pada Remaja SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

www.mitranetra.com (Online) (Diakses 15 September 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian fasilitas ini didesain sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan, yaitu ekspresi musisi indie yang dikemas dalam suasana alam Green Canyon. Selain itu, ruangan

produk atau bisnis yang dijalankan oleh Indonesia tidaklah cukup untuk bersaing. di kaca mata

Dari hasil penelitian tentang studi komparasi prestasi belajar siswa berdasarkan perhatian orang tua dalam kegiatan belajar siswa kelas X SMK PGRI 2 Salatiga kiranya

Berdasarkan kesimpulan di atas menunjukkan bahwa desain RPP IPA Terpadu pada topik Pengaruh Ukuran Daun terhadap Penguapan dikatakan berhasil dan

Apabila dilihat dari segi keamanan, kompor induksi jelas lebih aman daripada kompor gas, sebab kompor induksi tidak menggunakan gas dan tidak mengeluarkan api sehingga

kombu, dengan pengenceran 2.5g/250ml sebagai media dengan pertumbuhan jamur yang paling baik berdasarkan pengukuran pH, berat kering, ketebalan jamur dan total

Kedua, dari analisis hasil penelitian yang berkaitan dengan perencanaan pembelajaran PKn yang berkaitan dengan hukum, dapat disimpulkan bahwa perencanaan

Pada bagian ini mempunyai pola ritme yang sederhana dibandingkan dengan pola bagian A dan B dengan memainkan tangan kanan pada ride cymbal untuk memunculkan suasana tenang,