iv Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai Psychological Well Being pada siswa SMULB “X” di kota Bandung. Psychological Well Being (PWB) merupakan evaluasi hidup seseorang yang menggambarkan bagaimana cara mempersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya (Ryff,2002). PWB dilihat berdasarkan enam dimensi, yaitu : Self Acceptance, Purpose inLife, Autonomy, Personal Growth, Positive Relationship With Other dan , Environmental Mastery .
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif .untuk menjaring PWB siswa SMULB”X”digunakan kuisoner Psychological Well Being dari Ryff yang diterjemahkan oleh Ferdy Gunawan (2010). Responden dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMULB”X” di kota bandung yang berjumlah 29 orang. Berdasarkan pengujian alat ukur, diperoleh sebanyak 62 item. Dengan validitas alat ukur berkisar antara 0,30 – 0,78 dan realibilitasnya adalah 0,71.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa siswa SMULB”X” sebagian besar menunjukkan PWB yang rendah pada dimensi Autonomy (44,82%) dan Positive Relationship With Other (37,93 %). Pada dimensi Personal Growth (37,93%) dan Self Acceptance (31,03%) cukup banyak responden yang menunjukkan derajat cenderung rendah. Dimensi PWB yang cenderung tinggi terlihat pada dimensi Purpose in Life (31,03%). Ditemukan pula bahwa lebih banyak siswa laki-laki memiliki dimensi purpose in life yang tinggi dibandingkan siswa perempuan. Sebaliknya, siswa laki laki lebih banyak menunjukkan dimensi Self Acceptance yang rendah daripada siswa perempuan. Tidak ditemukan perbedaan yang menonjol pada dimensi PWB jika dilihat berdasarkan tipe kepribadian siswa. Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa siswa yang menghayati memperoleh dukungan dari orang tua menunjukkan dimensi Autonomy dan Environmental Mastery yang rendah.
v Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT
This research was conducted to gain insight about student’s Psychological Well Being in SMULB”X” in Bandung. Psychological Well Being (PWB) is an evaluation of one’s life that illustrate how to perceive themselves in facing the challenges of life (Ryff,2002). PWB is based on six dimensions: Self Acceptance, Purpose in Life, Autonomy, Personal Growth, Positive Relationships With Other,and Environmental Mastery.
The method in this research is descriptive method. To get the SMULB”X” student’s PWB was used Psychological Well Being questionnaire from Ryff translated by Ferdy Gunawan (2010). Respondents in this study are all students at SMULB”X” in Bandung, which totaled 29 people. Based on test gauge, obtained by 62 items with validity of measuring instrument ranged from 0,48 to 0,78 and reliability is 0,71.
Based on research results, it can be concluded that students of SMULB "X" most of them show PWB low on the dimensions of Autonomy (44.82%) and Positive Relationship With Oher (37,93%). On the dimensions of Personal Growth (37,93%) and Self Acceptance (31.03%) respondents showed considerable degrees tend to be low. PWB dimensions that tend to appear high on the dimensions of Purpose in Life (31.03%). It was also found that more male students have high Purpose in Life dimension than female students. In contrast, more male students showed low Self Acceptance dimension than female students. No prominent differences were found in the PWB dimension when viewed by type of personality of the students. Beside that, there was a tendency that students who appreciate the support from parents show low Autonomy and Environmental Mastery dimensions.
vi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK... ... ii
ABSTRACT... ... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR BAGAN ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
BAB I ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 8
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8
1.4Kegunaan Penelitian... 8
vii Universitas Kristen Maranatha
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA... 21
2.1 Psychological Well Being... 21
2.2 Sejarah dan Perkembangan Psychological Well Being... ... 21
2.3 Dimensi Psychological Well Being... ... 26
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi PWB... ... 32
2.5 Big Five Personality Trait... ... 34
2.6. Teori Perkembangan Remaja Akhir dan Dewasa... ... 51
2.6.1.Definisi Dewasa….. 51
2.6.2.Perkembangan Dewasa Awal ... 54
2.6.3.Pengertian Remaja………….. ... 5
2.7. Tuna Netra……….. ... 58
2.7.1.Definisi Tuna Netra 58 2.7.2.Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan ... 59
2.7.2.1.Perkembangan Kognitif Anak Tuna Netra... 59
2.7.2.2.Perkembangan Emosi Anak Tuna Netra… ... 60
viii Universitas Kristen Maranatha BAB III METODOLOGI PENELITIAN 62
3.1 Rancangan Penelitian ... ... 62
3.2 Bagan Rancangan Penelitian... ... 63
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 63
3.3.1 Variabel Penelitian... 63
3.3.2 Definisi Operasional ... 64
3.4 Alat Ukur 65 3.4.1Psychological Well Being Questionnaire ... 65
3.4.2 Proses Pengambilan Data ... 67
3.4.3.Data Penunjang... ... 68
3.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 69
3.5.1 Validitas Alat Ukur ... 69
3.5.2 Reliabilitas Alat Ukur 70 3.6 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 71
ix Universitas Kristen Maranatha
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 72
4.1 Gambaran Responden……… ... 72
4.2 Hasil Penelitian……… ... 74
4.3 Pembahasan………. . ... 75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN….. ... 87
5.1 Kesimpulan………... ... 87
5.2 Saran………. ... 88
5.2.1 Saran Teoritis………. ... 88
5.2.2 Saran Praktis……… ... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 90
DAFTAR RUJUKAN ... 92
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kata Pengantar
Lampiran 2 : Identitas dan Data Penunjang
Lampiran 3 : Psychological Well Being Questionnaire
x Universitas Kristen Maranatha Lampiran 6 : Hasil Penelitian
Lampiran 6.1. Gambaran Responden
Lampiran 6.2: Lanjutan Gambaran Responden Lampiran 7: Frekuensi Gambaran Responden Lampiran 7.1: Distribusi Frekuensi Tempat Tinggal Lampiran 7.2: Distribusi Frekuensi Etnis
Lampiran 7.3: Distribusi Pekerjaan Orang Tua
Lampiran 7.4: Distribusi Frekuensi Pendidikan Orang Tua Lampiran 7.5: Distribusi Frekuensi Tempat Tinggal Responden Lampiran 7.8: Distribusi Frekuensi Penghasilan Orang Tua Responden
Lampiran 8: Crosstab Dimensi PWB dengan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Lampiran 8.1: Crosstab Dimensi PWB dengan Jenis Kelamin
Lampiran 8.2: Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan trait personality Lampiran 8.3: Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan suku/etnis
Lampiran 8.4 : Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan penghasilan orang tua Lampiran 8.5. crosstab dimensi-dimensi PWB dengan dukungan orang tua Lampiran 8.6. crosstab dimensi-dimensi PWB dengan dukungan keluarga besar Lampiran 8.7. crosstab dimensi-dimensi PWB dengan dukungan teman
Lampiran 8.8. crosstab dimensi-dimensi PWB dengan dukungan guru
xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Definisi dari Psychological well being ... 32
Tabel 3.1 Dimensi PWB…….. ... 60
Tabel 3.2 Kriteria penilaian masing-masing dimensi PWB ... 62
Tabel 3.3 Alat ukur trait personality ... 63
Tabel 3.4 Validasi alat ukur…. ... 64
Tabel 3.5 Reliabilitas alat ukur ... 65
Tabel 4.1 Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 67
Tabel 4.2 Gambaran subjek penelitian tipe kepribadian ... 68
Tabel 4.3 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 68
xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 20
xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GAMBAR
1
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Semua manusia pasti berharap dapat terlahir dengan selamat dan memiliki
kondisi jasmani dan rohani yang sehat. Namun, banyak anak yang lahir kurang
sehat, tidak sempurna atau memiliki kecacatan fisik maupun psikis. Salah satu
contoh kecacatan fisik adalah anak tuna netra.
Anak tuna netra adalah individu yang indera penglihatannya
(kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan
sehari-hari seperti orang pada umumnya (Somantri, 2006:66). Suatu anak
dikatakan tuna netra apabila ketajaman penglihatannya kurang dari 6/21 artinya
membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang normal dapat dibaca pada
jarak 21 meter atau tidak bisa melihat sama sekali.
Ketunanetraan yang dimiliki tidak menghalangi anak tuna netra untuk
mendapatkan hak yang sama dengan orang lain. Salah satu hak tersebut adalah
mendapatkan pendidikan. Pendidikan tersebut diberikan bagi penyandang tuna
netra sebagai bekal masa depannya. Orang-orang tuna netra dapat menempuh
pendidikan di sekolah luar biasa.
Sekolah luar biasa yang khusus menyelenggarakan program pendidikan
pendidikan untuk penyandang tuna netra adalah SLBA. Kekhasan SLBA ialah
dipakainya tulisan Braile yaitu suatu sarana atau sistem membaca dan menulis
2
Universitas Kristen Maranatha titik-titik timbul (sel) yang membentuk suatu formasi tertentu (Psikologi dan
Pendidikan Anak Tuna Netra, 1998). Khususnya untuk anak yang masih mempunyai sisa penglihatan, digunakan huruf biasa yang diperbesar, di samping
itu pendengar dan perabaannya sangat berfungsi dalam proses pengajarannya di
SLBA.
Salah satu tempat penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang tuna netra
di Kota Bandung adalah SLBA “X”. Pada tahun 1982, sekolah ini
menyelenggarakan pendidikan kejuruan musik setingkat dengan SLTA yang biasa
disebut sebagai Sekolah Menengah Umum Luar Biasa (SMULB) dan berlangsung
hingga sekarang. Sekolah SMULB “X” ini memiliki visi yaitu menjadi Resource
Centre (Pusat Sumber) untuk mewujudkan anak berkebutuhan khusus yang
terampil, kreatif, cerdas dan mandiri, melalui manajemen pendidikan khusus yang
terbuka dan berkualitas pada tahun 2012. Selain itu juga SMULB “X” ini
memiliki misi untuk mewujudkan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi
penyandang cacat netra, meningkat sumber daya penyandang cacat netra, menjalin
kerja sama dengan organisasi sosial atau LSM, perguruan tinggi dan instansi
pemerintah yang terkait dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat netra, meningkatkan profesionalisme dan kualitas sumber daya
manusia melalui kualifikasi dan sertifikasi pendidikan (profil SMULB “X”).
SMULB “X” memiliki murid sebanyak 29 dari mulai kelas satu hingga
kelas tiga. Kurikulum yang diajarkan di SMULB “X” hampir sama dengan
sekolah pada umumnya, para murid di sekolah ini mendapatkan pelajaran yang
3
Universitas Kristen Maranatha pengajarannya. Metode pengajaran di SMULB “X” menggunakan metode
deskriptif, di mana murid belajar dengan menggunakan bacaan dengan huruf
Braille dan banyak menggunakan audio di dalam metode pengajarannya.
Pelajaran tambahan selain baca tulis Braille adalah daily living, yaitu
melatih keterampilan siswa untuk bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti
makan, mandi dan berbagai macam kegiatan sehari-hari di dalam kehidupan
mereka. Selain itu, siswa juga mendapatkan pelatihan orientasi mobilitas yaitu
melatih siswa untuk bisa berpergian pada jarak yang jauh. Ketrampilan ini
diajarkan dengan menggunakan seorang pendamping atau siswa diajarkan untuk
berpergian dengan menggunakan alat bantu. Ketrampilan tambahan yang
diberikan ini membantu mereka agar bisa beraktivitas pada kehidupan sehari-hari
dan terus dipakai hingga mereka menyelesaikan pendidikannya. Hal ini dilakukan
agar siswa bisa memiliki rasa percaya diri, tidak minder dan lebih optimis di
dalam hidupnya karena masalah tersebut merupakan keluhan yang sering dialami
oleh penyandang tuna netra. Keluhan-keluhan yang sering dialami oleh
penyandang tuna netra diantaranya sering merasa merasa tidak berharga karena
tidak mampu berbuat sesuatu baik untuk dirinya maupun orang lain, merasa tidak
diterima oleh masyarakat, kurang memiliki tujuan hidup yang jelas serta tidak
memiliki harapan hidup.
Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan pengajar, yang
mengungkapkan bahwa banyak siswa penyandang tuna netra sering mengeluh
karena mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dari lingkungan sekitar.
4
Universitas Kristen Maranatha sehari-hari seperti menjadi minder, pesimis dan pendiam. Dalam relasi sosial
dengan orang lain mereka juga sering merasa terbatas karena sering mendapat
penilaian negatif dari masyarakat mengenai kekurangan pada diri mereka
sehingga sering membatasi diri untuk berelasi di kehidupan sehari-hari. Selain itu,
mereka juga menjadi kurang berani untuk melakukan sesuatu karena merasa
memilki keterbatasan secara fisik.
Menurut Aristotle, orang yang dapat mengeluarkan potensi terbaiknya
adalah orang-orang yang mencapai self-realization, dikarenakan seseorang hidup
tidak hanya memenuhi kesenangan atau hasrat saja tetapi berusaha melakukan
sesuatu dengan mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya (Ryff, 2006).
Seorang tokoh psikologi perkembangan bernama Carol Ryff mengungkapkan
suatu konsep multidimensional yang disebut Psychological Well-Being (PWB).
Menurut Ryff, PWB adalah evaluasi hidup seseorang yang menggambarkan
bagaimana cara dia mempersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya.
PWB memiliki enam dimensi, tiap dimensinya menjelaskan bagaimana seseorang
berusaha berfungsi secara positif dalam menghadapi tantangan-tantangan
hidupnya. Dimensi-dimensi PWB tersebut adalah self-acceptance, purpose in life,
autonomy, personal growth, positive relationship with other, environmental
mastery (Ryff, 1989). orang yang mempunyai PWB tinggi akan senantiasa
merusaha mengeluarkan potensi terbaiknya untuk menghadapi tantangan dalam
hidupnya. Siswa yang memilki PWB yang tinggi akan mengeluarkan potensi yang
dimilikinya untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari.
5
Universitas Kristen Maranatha memiliki keterbatasan fisik seperti penyandang tuna netra. Misalnya menganggap
bahwa tuna netra tidak berguna bagi masyarakat dan beban bagi keluarga.
Meskipun sesungguhnya masih terdapat berbagai potensi yang dapat
dikembangkan secara optimal di samping hambatan penglihatan yang di alam.
Pandangan tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan diri siswa tuna netra dalam
meneruskan pendidikannya dan dapat menjadi penghambat untuk mencapai apa
yang diinginkan. (www.mitranetra.or.id).
Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang siswa di SMULB “X”,
didapatkan bahwa sebanyak 33.3% siswa menganggap bahwa mereka mau
mengakui dan menerima kelebihan dan kekurangan pada diri mereka apa adanya
sebagai penyandang tuna netra. Berdasarkan teori PWB, siswa tersebut memiliki
kecenderungan self-acceptance yang rendah. Yang dimaksud dengan
self-acceptance menurut Ryff adalah sikap positif akan dirinya, penerimaan diri
seseorang baik kekurangan maupun kelebihan juga, terkait masa lalu maupun
masa kini. Sedangkan 66.7% menganggap bahwa kebutaan yang mereka alami
sebagai sesuatu yang sudah tidak bisa diobati dan menerima keadaan diri mereka
sebagai seorang penyandang tuna netra. Berdasarkan teori PWB, siswa ini
memiliki kecenderungan self-acceptance yang tinggi.
Dalam wawancara terungkap bahwa, 90% siswa merasa memerlukan
bantuan dari orang lain terutama keluarga untuk membantu mengambil keputusan
misalnya meminta pertimbangan mengenai studi karena siswa merasa kurang
yakin dengan keputusan yang akan diambil. Menurut Ryff hal di atas merupakan
6
Universitas Kristen Maranatha mana kemandirian seseorang mampu mengambil keputusan bukan karena
tekanan lingkungan. Sedangkan sebanyak 10% siswa merasa mampu dan yakin
dengan kemampuan dalam memutuskan sesuatu misalnya merasa yakin dengan
cita-cita yang akan dijalani kelak. Hal ini menunjukan autonomy yang tinggi.
Hasil dari wawancara juga mengungkapkan sebanyak 100% siswa tersebut
juga mengungkapkan bahwa mereka berniat untuk melanjutkan kuliah dan bekerja
setelah lulus dari sekolah.siswa banyak memilih untuk melanjutkan kuliah ke
jurusan musik dan pendidikan luar biasa. Menurut Ryff, ciri di atas merupakan
dimensi purpose in life. Purpose in life merupakan keyakinan-keyakinan yang
memberi perasaan bahwa terdapat tujuan dan makna dalam hidupnya.
Dari hasil wawancara juga ditemukan sebanyak 80% siswa menganggap
bahwa orang tua mereka bertanggung jawab atas kebutaan yang mereka alami
karena telah ceroboh dalam merawat dirinya dan hal tersebut menghambat mereka
enjadi terbatas dalam aktivitas sehari-hari dan tidak seperti orang lain di sekitar
mereka. Hal ini dapat digolongkan sebagai personal growth yang rendah. Menurut
Ryff personal growth adalah sejauh mana individu mempunyai keinginan untuk
mengembangkan diri, terbuka dengan pengalaman baru, menyadari potensi yang
dimiliki, selalu memperbaiki diri dan tingkah laku. Sedangkan 20% siswa tidak
menyalahkan keadaan yang mereka alami sekarang dan menganggap keadaan ini
tidak membatasi mereka untuk melakukan berbagai macam aktivitas seperti orang
normal pada umumnya. Hal ini dapat digolongkan sebagai personal growth yang
7
Universitas Kristen Maranatha Hasil wawancara juga diperoleh mengenai hambatan pada diri mereka,
sebanyak 60% siswa merasa minder dengan orang yang normal dan banyak
menyendiri ketika mereka berada pada lingkungan di luar sekolah atau di tempat
tinggal mereka. Hal tersebut merupakan ciri dari environmental mastery yang
rendah. Environmental mastery menurut Ryff dapat diartikan sebagai kemampuan
individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai dan
kebutuhannya. Sebaliknya sebanyak 40% siswa tidak mempedulikan lingkungan
sekitarnya artinya mereka merasa bahwa tidak terdapat perbedaan antara orang
normal dengan penyandang tuna netra lainnya dan merasa bahwa mereka juga
dianugerahkan kemampuan yang sama dengan orang lain. Hal ini dapat dikatakan
sebagai environmental mastery yang tinggi.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa 60% siswa memiliki hambatan
untuk berelasi dengan orang lain karena sering diejek lalu mereka menjauh dari
lingkungannya. Hal ini menunjukkan positive relation with other rendah. Menurut
Ryff, positive relation with other adalah perasaan yang kuat pada empati dan
afeksi pada semua kehidupan manusia dan identifikasi yang erat dengan orang
lain. Sebaliknya 40% siswa mengatakan mereka tidak memiliki hambatan untuk
berelasi dengan orang lain dan menganggap kekurangan mereka tidak menjadi
hambatan untuk berelasi dengan orang lain. Hal ini menunjukkan positive relation
with other yang tinggi.
Dari hasil wawancara pada 10 orang di SMULB “X”, menunjukkan bahwa
terdapat kecenderungan yang bervariasi pada setiap dimensi. Pada seluruh
8
Universitas Kristen Maranatha rendah. Di sisi lain, PWB sangat penting agar siswa bisa mengembangkan potensi
secara optimal. Berdasarkan data-data di atas, peneliti tertarik untuk meneliti
mengenai gambaran psychological well being pada siswa di SMULB “X” di
Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Melalui penelitian ini, ingin diketahui bagaimana Psychological
Well-Being pada siswa penyandang tuna netra SMULB “X” di Kota Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai
Psychological Well-Being pada siswa penyandang tuna netra SMULB “X”
di Kota Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat
self-acceptance, purpose in life, autonomy, personal growth, positive
relationship with other, environmental mastery pada siswa penyandang
tuna netra SMULB “X” di Kota Bandung beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
1. Memberikan tambahan referensi untuk ilmu Psikologi di khususnya
9
Universitas Kristen Maranatha 2. Memberikan informasi tambahan kepada peneliti lain yang tertarik
untuk meneliti topik yang serupa dan dapat mendorong
dikembangkannya penelitian yang berhubungan dengan Psychological
Well-Being.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberi bahan masukan dan informasi pada siswa mengenai
pentingnya Psychological Well-Being untuk proses belajar mengajar
melalui konseling dan pelatihan.
2. Memberikan informasi guru sekolah SMULB “X” mengenai
pentingnya Psychological Well-Being bagi siswa dan memberikan
gambaran tingkat dimensi-dimensi PWB sehingga guru-guru dapat
mengetahui dimensi-dimensi mana saja yang perlu ditingkatkan dengan
konseling ataupun pelatihan.
1.5 Kerangka Pemikiran
Manusia sebagai seorang individu harus melewati setiap tahapan dalam
kehidupannya, mulai sejak dalam kandungan sampai meninggal. Dalam melewati
tahapan tersebut, individu akan mengalami tantangan dalam kehidupannya dan
individu dituntut untuk mengeluarkan potensi optimalnya sehingga individu dapat
mencapai suatu kepuasan. Setiap tahapan perkembangan memiliki tugas
perkembangan yang harus diselesaikan oleh individu, sehingga individu akan
mengalami berbagai tantangan dalam hidupnya. Untuk mengatasi tantangan
10
Universitas Kristen Maranatha optimal sehingga individu dapat melewatinya dengan kepuasan dan tumbuh ke
tahap perkembangan berikutnya. Hal ini berlaku untuk seluruh manusia termasuk
penyandang tuna netra.
Saat ini siswa tuna netra SMULB “X” berada dalam tahap perkembangan
remaja akhir dan dewasa awal. Awal masa remaja berlangsung dari usia 13
sampai 16 tahun dan akhir masa remaja berlangsung dari usia 16 sampai 18 tahun.
Sedangkan dewasa awal berlangsung dari usia 18 tahun ( Hurlock, 1994). Tugas
perkembangan pada remaja akhir memiliki tantangan tersendiri seperti
menghadapi dunia kerja yang kompleks. Kemudian akan berlanjut pada masa
dewasa awal dengan tugas perkembangannya adalah mendapatkan pekerjaan
dengan tugas yang terspesialisasi. Dalam usaha mencapai tugas perkembangan
tersebut mereka dituntut untuk mengerahkan kemampuannya secara optimal agar
dapat melewatinya dengan baik. Apabila mereka dapat mengatasi tantangan maka
akan muncul suatu kepuasan tersendiri karena mereka telah mengerahkan
kemampuan terbaiknya, hal ini yang disebut Ryff sebagai Psychological
Well-Being (PWB).
Ryff mengungkapkan bahwa Psychological Well-Being adalah evaluasi
hidup seseorang yang menggambarkan bagaimana cara dia mempersepsi dirinya
dalam menghadapi tantangan hidupnya (Ryff, 2002). Ketika seorang siswa
berhasil melewati tantangan akademisnya seperti menyelesaikan tugas-tugasnya
sendiri dengan bekerja keras, mendapatkan prestasi yang memuaskan dengan cara
giat belajar akan merasa kepuasan tersendiri dan akan berbeda jika dibandingkan
11
Universitas Kristen Maranatha sehingga kurang mengeluarkan seluruh kemampuannya secara optimal. Menurut
Ryff seseorang yang berusaha untuk mencapai sesuatu dengan potensi terbaiknya
untuk memperbaiki atau meningkatkan keadaan hidupnya akan memiliki
psychological well being yang tinggi (Ryff 2005). Untuk memahami PWB, Ryff
mengajukan model multidimensi dengan enam dimensi yaitu: self-acceptance,
autonomy, purpose in life, personal growth, positive relationship with other dan ,
enviromental mastery (Ryff 2006).
Dimensi pertama yaitu Self-acceptance menekankan pentingnya
penerimaan diri baik kekurangan atau kelebihan juga kejadian masa lalu atau
masa kini. Siswa yang memiliki self-acceptance tinggi akan mempunyai sikap
yang positif terhadap dirinya misalnya menganggap bahwa ketunanetraannya
bukan hal yang menghambat dirinya untuk berhasil, menerima dirinya baik aspek
yang positif maupun negatif, dan memandang positif masa lalu dengan tidak
menyesali apa yang telah terjadi dan menganggap bahwa hal tersebut merupakan
hal yang terbaik. Sedangkan siswa yang memiliki self-acceptance rendah akan
merasa tidak puas terhadap diri sendiri karena mengalami tuna netra, kecewa
dengan masa lalunya misalnya menyalahkan orang tua yang menyebabkan dia
mengalami tuna netra, merasa iri pada temannya yang berhasil dan menyesal akan
ketidakmampuan dirinya.
Self-acceptance berkaitan dengan faktor kepribadian yaitu trait
extravertion, conscientiousness, neurotic (Ryff,2002). Siswa dengan kepribadian
extravertion lebih mudah menyesuaikan diri dan merasakan emosi yang positif
12
Universitas Kristen Maranatha maupun kekurangannya. Hal ini menggambarkan bahwa siswa memiliki
self-acceptance yang tinggi. Individu yang memiliki trait conscientiousness yang kuat
cenderung untuk mengontrol, meregulasi dan mengarahkan impuls atau
dorongan-dorongannya, individu tersebut juga mempunyai achievement-striving yaitu
keinginan atau hasrat untuk berusaha keras mencapai prestasi yang baik atau
tinggi. Dalam usaha mencapai prestasinya tesebut ditopang juga dengan
self-discipline, yaitu kemampuan untuk bertahan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya
hingga selesai, serta orderness yaitu keinginan untuk teratur dan terorganisir
(McCrae & Costa, 1992). Siswa yang dominan pada trait conscientiousness selalu
mempunyai hasrat untuk berprestasi yang baik, membuat goal dan perencanaan
mencapai tujuannya, sifat seperti itu membuat siswa mempunyai pandangan yang
positif terhadap dirinya, hal ini menggambarkan dimensi self-acceptance yang
tinggi.
Trait lainnya adalah neurotic, sifat dari neurotic ini membuat seseorang
cenderung mengalami emosi yang negatif seperti kecemasan, kemarahan dan
agresi. Orang yang memiliki level neurotic tinggi cenderung reaktif secara
emosional. Mereka merespon secara emosional pada situasi yang biasa saja dan
mungkin tidak berdampak apa-apa (McCrae & Costa, 1992). Kecenderungan yang
tinggi pada trait ini berdampak pada dimensi self-acceptance yang berkaitan
dengan penerimaan dirinya, baik aspek positif maupun negatif. Mereka cenderung
menginterpretasikan situasi biasa sebagai hal yang mengancam, menganggap
13
Universitas Kristen Maranatha cenderung merasa tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dan menyesal akan
ketidakmampuannya sehingga memiliki self-acceptance yang rendah.
Dimensi autonomy menggambarkan sejauh mana penilaian seseorang
mengenai kemandirian, pengambilan keputusan bukan karena tekanan lingkungan
tetapi dengan internal locus of evaluation yaitu mengevaluasi diri sendiri sesuai
dengan standard pribadinya sendiri tanpa melihat persetujuan orang lain. Siswa
yang memiliki autonomy tinggi, maka mampu mengambil keputusan dengan
mantap tanpa terpengaruh oleh teman-temannya seperti pemilihan jurusan kuliah.
Siswa memilih jurusan kuliah berdasarkan keinginannya seperti menjadi pemain
musik, menjadi seorang guru. Hal ini mereka lakukan berdasarkan keinginan dan
bakatnya bukan dipengaruhi oleh orang tua atau teman-teman. Apabila ia
memiliki autonomy yang rendah, keputusannya mudah terpengaruh oleh
lingkungan dan temannya, terfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain,
berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan yang penting.
Misalnya seperti memilih jurusan karena berdasarkan saran dari orang tua, jika
sedang berdiskusi tentang pelajaran mereka lebih memilih untuk diam dan
mengikuti pendapat orang banyak serta menghindari konflik dengan orang lain.
Faktor yang berkaitan dengan autonomy adalah trait agreeableness dan
neuroticism (Ryff,2002). Siswa yang memiliki trait agreeableness menjadi tidak
dapat diandalkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan objektif
sehingga memiliki autonomy yang rendah. Siswa yang memiliki trait neuroticism
cenderung mengalami kecemasan sehingga sangat tergantung kepada orang lain.
14
Universitas Kristen Maranatha Selain trait yang berkaitan dengan autonomy adalah faktor
sosiodemografik yaitu usia. Ryff menemukan hubungan yang kuat antara usia
dengan dimensi PWB, menurutnya terjadi peningkatan pada dimensi autonomy
dan environmental mastery pada dewasa awal hingga dewasa menengah, hal ini
mungkin disebabkan pada usia yang lebih tua, seseorang akan mempunyai peran
yang lebih besar dalam status sosialnya, seperti income, pendidikan dan
kesempatan pekerjaan (Ryff 2002).
Dimensi purpose in life menggambarkan maksud dan tujuan seseorang
untuk hidup, meliputi tujuan hidup dan penghayatan bahwa hidup mempunyai
arah. Siswa yang memiliki purpose in life tinggi, menganggap penting arti
hidupnya, mereka merasa hidupnya berharga dengan begitu siswa tersebut akan
berusaha menetapkan tujuan dan perencanaan dalam hidupnya, mereka
mengetahui tujuan dari sekolahnya, membuat perencanaan masa depannya
misalnya memilih jurusan dan berusaha untuk mencapai target-targetnya seperti
berlatih musik agar bisa menjadi pemain musik profesional. Apabila siswa
memiliki purpose in life yang rendah maka ia akan memiliki sedikit tujuan hidup,
ia tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan kuliah atau jika ia kuliah pun, ia
tidak tahu tujuan kuliah dan tidak dapat menyusun target-targetnya karena merasa
pesimis tidak dapat mencapai cita-citanya.
Faktor yang mempengaruhi purpose in life yaitu trait extravertion,
conscientiousness, neurotic (Ryff,2002). Orang yang memiliki trait extraversion
cenderung dipenuhi emosi yang positif, antusias, bergairah, bersemangat dan
15
Universitas Kristen Maranatha mengarahkan orang lain (McCrae & Costa, 1992). Siswa yang dominan pada trait
extravertion cenderung merasakan antusias dan optimis, mereka menghadapi
tuntutan-tuntutan sekolah dengan semangat dan optimis sehingga mereka dapat
menetapkan sasaran dan tujuan dalam memilih jurusan di perkuliahannya. Sifat
optimis serta menetapkan sasaran dan tujuan tersebut merupakan gambaran dari
purpose in life yang tinggi. Siswa yang memiliki trait conscientiousness, mereka
mempunyai keinginan untuk berusaha mencapai prestasi yang tinggi, membuat
target-target untuk mencapai tujuannya serta gigih dalam melaksanakan
rencana-rencana atau agenda telah mereka tetapkan dalam sekolah sehingga hal tersebut
membuat mereka yakin dalam menjalani hidup dan menganggap hidup itu
berharga dan penting yang menggambarkan purpose in life tinggi. Namun disisi
lain, siswa yang dominan pada trait neurotic akan berusaha mengurangi
kegelisahan, ketegangan serta keragu-raguan mereka dengan cara membuat
perencanaan secara teliti dan matang untuk mencegah suatu hal yang tidak
diharapkan, mereka juga akan berusaha menetapkan tujuan yang ideal yang dapat
dicapai mereka serta sering mengevaluasi tujuan-tujuan yang telah mereka
tetapkan. Membuat perencanaan yang teliti serta selalu mengevaluasi
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dapat digambakan sebagai purpose in life yang tinggi
Pada dimensi personal growth, menggambarkan penilaian individu
mengenai sejauhmana individu mempunyai keinginan untuk mengembangkan
diri, terbuka dengan pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki, selalu
memperbaiki diri dan tingkah laku. Siswa yang memiliki personal growth tinggi,
16
Universitas Kristen Maranatha membaca buku pengetahuan untuk menambah wawasan, mengikuti
ekstrakurikuler olah raga tenis meja, catur dan ektrakurikuler kesenian. Sedangkan
siswa yang memiliki skor rendah, cenderung kurang suka mengembangkan diri,
merasa dirinya tidak dapat berkembang sepanjang waktu, merasa tidak dapat
mengembangkan sikap atau perilaku baru. Misalnya mereka memilih untuk tidak
mengikuti kegiatan tambahan di sekolah dan memilih untuk langsung pulang ke
asrama atau rumah.
Dimensi ini berkaitan dengan trait extravertion. Siswa yang dominan pada
trait extraversion juga cenderung aktif, semangat dan antusias dalam menghadapi
aktivitas maupun tuntutan perkuliahannya, sehingga mereka punya hasrat yang
tinggi dan aktif dalam mengembangkan diri mereka, mengikuti pelatihan atau
seminar, mereka juga mudah merasa bosan sehingga menyukai aktivitas baru
untuk mengembangkan diri mereka sebagai siswa. Hal ini menggambarkan
personal growth yang tinggi.
Pada dimensi positive relationship with other menggambarkan penilaian
individu dalam menjalin hubungan antar pribadi yang hangat, memuaskan, saling
mempercayai serta terdapat hubungan saling memberi dan menerima. Siswa yang
memiliki positive relationship with other tinggi mempunyai sikap yang hangat,
dapat mempercayai orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memiliki
empati, intimasi yang kuat. Misalnya senang berelasi dengan orang lain atau
senang memulai kontak dengan orang baru, senang mendengarkan orang yang
curhat. Siswa yang memiliki positive relationship with other rendah cenderung
17
Universitas Kristen Maranatha terhadap orang lain, kadang merasa terisolasi dalam hubungan interpersonal.
Misalnya siswa merasa diejek bila bertemu dengan orang baru, curiga bila
berhubungan dengan orang baru karena merasa akan disakiti.
Faktor yang mempengaruhi dimensi adalah trait agreeableness
(Ryff,2002). Siswa yang memiliki trait agreeableness tinggi lebih menekankan
keharmonisan sosial, mudah untuk bekerjasama, menekankan pentingnya bersama
dengan orang lain (McCrae & Costa, 1992). Siswa yang agreeableness dipandang
sebagai orang yang penuh perhatian, penolong, murah hati, dan berbagi dengan
orang lain. Mereka mempunyai pandangan yang optimis mengenai human nature,
percaya bahwa seseorang pada dasarnya jujur, baik dan dapat dipercaya sehingga
memiliki positive relation with other yang tinggi.
Faktor status sosiodemografik juga berpengaruh seperti etnis atau suku
juga berpengaruh pada positive relation with other karena terdapat keterkaitan
dengan nilai-nilai budaya yang dianut dengan dimensi positive relation with other.
Gender juga berkaitan erat dengan positive relation with other, kecenderungan
wanita mudah terbuka dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya
berkorelasi positif dengan dimensi positive relation with other dibandingkan
dengan pria yang lebih menekankan individualism dan autonomy (Gilligian, 1982
dalam Ryff, 2002).
Dimensi environmental mastery meliputi penilaian individu untuk memilih
dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai dan kebutuhannya. Siswa
yang memiliki environmental mastery tinggi mampu membentuk lingkungannya
18
Universitas Kristen Maranatha menggunakan segala kesempatan yang ada dengan efektif. Siswa yang memiliki
environmental mastery rendah akan sulit untuk merubah atau meningkatkan
lingkungan sekitar menjadi lebih baik dan tidak menyadari kesempatan yang ada
disekitarnya, dan kesulitan menangani masalah-masalah dalam kehidupan
sehari-harinya. Misalnya merasa kurang cocok dengan kondisi tempat tinggalnya yang
sekarang dan merasa tuntutan hidupnya sangat berat dan sulit untuk mengatasinya.
Faktor yang mempengaruhi dimensi ini adalah trait extravertion,
consiensciousness, neurotic. Siswa extravertion dikenal asertif, mereka mau
mengarahkan orang lain ataupun lingkungan sesuai dengan kebutuhan atau
nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya sehingga memiliki environmental mastery yang
tinggi. Sedangkan siswa yang dominan pada trait consiensciousness akan
berusaha mengatur lingkungan mereka agar dapat mencapai tujuan serta memilih
lingkungan yang sesuai yang dapat menunjang ambisi mereka, mereka juga
memaksimalkan segala kesempatan yang ada agar tujuan mereka tercapai. Hal ini
menggambarkan environmental mastery yang tinggi. Siswa yang dominan pada
trait neurotic cenderung mudah merasa cemas, keadaan tersebut membuat siswa
menjadi ragu dalam membuat keputusan, kadangkala keraguan tersebut membuat
mereka sulit menentukan pilihan, dengan begitu mereka menjadi sulit dalam
mengatur lingkungan sesuai dengan kebutuhannya serta memilih lingkungan yang
sesuai dengan dia sehingga memiliki environmental mastery yang rendah.
Dari uraian di atas, dapat digambarkan skema kerangka berpikirnya
19
Universitas Kristen Maranatha Bagan kerangka pikir :
1.5. Bagan Kerangka Pemikiran Siswa
SMULB “X” PSYCHOLOGICAL WELL BEING
Sosiodemografic factor :
- ras/etnis, - usia, gender, - status marital - sosial ekonomi
Trait :
- Extraversion - Neurotic - Agreeableness - Conscientiousness - Openess to
Experience
- Self Acceptence - Purpose in life
- Enviromental mastery - Personal growth - Positif relation with
other - Autonomy
Tinggi
Cenderung tinggi
Cenderung Rendah
20
Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi
1. Setiap penyandang tuna netra SMULB “X” memiliki
tantangan-tantangan dalam hidupnya, tantangan-tantangan tersebut meliputi masalah
pendidikan, sosial, emosi, dan kesehatan.
2. Dalam menghadapi tantangan tersebut setiap siswa SMULB “X”
mengevaluasi dirinya berbeda-beda yang disebut sebagai
Psychological Well-Being.
3. Terdapat enam dimensi PWB pada siswa SMULB “X” yaitu: self
acceptance, purpose in life, autonomy, personal growth, positive
relationship with other, eviromental mastery.
4. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dimensi-dimensi PWB pada
88
Universitas Kristen Maranatha BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini peneliti akan memaparkan mengenai hasil penelitian dan analisis
yang telah dilakukan pada bab sebelumnya disertai saran yang bernilai praktis dan
terarah sesuai dengan hasil penelitian
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai tingkat Psychological Well
Being pada siswa SMULB “X” di Kota Bandung yang ditinjau dari dimensi
dimensinya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sebagian besar siswa SMULB”X” Kota Bandung menunjukkan dimensi
Psychological Well Being yang rendah pada autonomy, environmental
mastery, personal growth, positive relationship with other dan self
acceptance.
2. Pada dimensi purpose in life, siswa SMULB ”X” Kota Bandung menunjukan
tingkat yang seimbang antara derajat yang cenderung tinggi dan rendah.
3. Dukungan dari orang tua menunjukkan dimensi autonomy rendah dan dimensi
environmental mastery rendah. Dukungan dari keluarga besar menunjukkan
dimensi autonomy tinggi dan dimensi environmental mastery tinggi.
89
Universitas Kristen Maranatha 4. Siswa SMULB”X” dengan trait kepribadian neurotic menunjukkan tingkat
dimensi autonomy, enviromental mastery, dan self acceptance yang rendah.
Sementara pada dimensi purpose in life, siswa dengan trait kepribadian
neurotic menunjukkan derajat yang tinggi.
5. Siswa SMULB “X” dengan trait kepribadian conscientiousness menunjukkan
tingkat dimensi purpose in life, enviromental mastery dan personal growth
yang rendah. Sementara ada dimensi self acceptance menunjukkan derajat
yang tinggi.
6. Siswa SMULB “X” dengan trait kepribadian extraversion menunjukkan
tingkat dimensi self acceptance, personal growth, dan positive relationship
with other yang rendah.
7. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara etnis dengan dimensi
psychological well being.
8. Terdapat ketidak konsistenan antara hasil dari data utama dengan data
90
Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian korelasional dan
kontribusi mengenai hubungan dimensi Psychological Well Being terhadap
trait personality agar lebih terlihat jelas hubungannya secara ilmiah.
2. Dari penelitian ini terlihat adanya hubungan antara etnis dengan dimensi pada
Psychological Well Being, sehingga perlu diadakan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui hubungan Psychological Well Being dengan etnis.
3. Dari penelitian ini juga bisa diketahui bahwa siswa yang menghayati
dukungan dari keluarga atau orang-orang terdekat cenderung memiliki
tingkat yang rendah dalam beberapa dimensi. Oleh karena itu perlu diteliti
bentuk dukungan seperti apa yang sesuai bagi siswa tuna netra sehingga
dapat mengembangkan dimensi dimensi PWB nya.
5.2.2. Saran Praktis
1. Hasil penelitian ini memberikan masukan bagi SMULB “X” di kota
Bandung mengenai Psychological Well Being yang dilihat dari tiap
dimensi sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program
91
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Cruickshank, William M (1980). Psychology of Exceptional Children and Youth 4th Ed. USA Prentice Hall Inc
John, O.P. (1992). An introduction to the five-factor model and its applications. Journal of Personality:
Keyes,C.L.M., Shmotkin, D. 2002. Optimizing well-being : The empirical Encounter of two tradition. Journal of Personality and Social Psychology.
McCrae. R. R., & Costa, P. T.. Jr. 1997. Personality trait structure as a human universal. American Psychologist. Vol. 52
McCrae. R.R.,& Costa, P. T., Jr. (1991). The NEO Personality Inventory: Using the five-factor model in counseling. Journal of Counseling and Development, 69,367-372.
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor
Ryff, C.D. 1989. Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology
Ryff & Keyes,C.L.M 1995. The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727.
92
Universitas Kristen Maranatha Santrock, John W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.
Singer, B. 2006. Know thyself and become what you are : Eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies,
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta : PT Pustaka LP3ES.
Somantri, Tsujihati.2006. Psikologi Anak Luar Biasa:Bandung:Refika Aditama
Hurlock, Elizabeth E. 1994. Psikologi Perkembangan (Terjemahan). Edisi ke 5.
93
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Agustin, Meri I. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Being
pada Mahasiswa Psikologi Universitas ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung:
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Darmali, Feniana. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological
Well-Being pada Guru SMA ‘X’ Bandar Lampung. Skripsi. Bandung: Fakultas
Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Gunawan,Ferdy. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being Pada
Mahasiswa Angkatan 2005 Fakultas ‘X’ Universitas ‘Y’ Bandung. Skripsi.
Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Wati, Ratna. 2010. Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being Pada Remaja SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
www.mitranetra.com (Online) (Diakses 15 September 2010)