• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PENGGABUNGAN BADAN USAHA PT PLAZA INDONESIA TBK, BERDASARKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PENGGABUNGAN BADAN USAHA PT PLAZA INDONESIA TBK, BERDASARKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA SKRIPSI"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PENGGABUNGAN BADAN USAHA PT PLAZA INDONESIA TBK, BERDASARKAN

HUKUM PERSAINGAN USAHA

(STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO.02/KPPU-M/2017) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : ARIF SANJAYA NIM : 150200497

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, berkat kasih dan karuniaNya, Penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu.

Skripsi ini dibuat bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi pada Program Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Skripsi ini diberi judul “Kajian Hukum Terhadap Pelanggaran Penggabungan Badan Usaha PT. Plaza Indonesia Tbk, Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha (Studi Kasus Putusan KKPU No.02/KPPU-M/2017)”.

Besar harapan Penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat ilmu pengetahuan bagi para pembaca. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu Penulis berharap agar pembaca dapat memaklumi kekurangan dari Penulis.

Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada kedua orang tua Penulis yakni Ayahanda Muhammad Ali Sihite., S.H berserta Ibunda Rosna Dewi Nasution. Terima kasih atas atas doa, perjuangan, bimbingan serta nasihat dan motivasi yang tak pernah putus diberikan kepada Penulis sampai saat ini.

(4)

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas doa, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak, ucapan terima kasih Penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Saidin, SH., M.Hum. Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum. Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.,M.Hum. Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.,M.H. Selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi;

7. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH.,MLI. Selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dan memberikan arahan maupun bimbingan serta memberikan banyak ilmunya kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan;

8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.H. Selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya dan memberikan arahan maupun bimbingan serta memberikan banyak ilmunya kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan;

9. Kepada seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Hukum USU yang selama ini telah banyak membantu Penulis;

(5)

10. Kepada saudara kandung penulis yang selalu memberikan banyak bantuan AbangdaMuhammad Yusuf Sihite, SH.,M.H. Kakanda Kartika Ilham Safitri, SH, dan Kakanda Nita Slavia Sihite, SH.

Serta abang ipar penulis Abangda Jamaludin Sipahutar dan kaka ipar penulis Kakanda dr. Ade Arafah Nasution, dan tidak lupa pula keponakan penulis Nursyafa Ilmi Sipahutar dan Rafif Arka Sipahutar yang selalu memberikan semangat kepada penulis;

11. Sahabat penulis sedari bangku SMP, Futi, Novita, Fera, Bule, dan Sahabat penulis sedari bangku SMA, Gloria, Emak, Ibam, Eka, dan Ebah.

12. Kepada guru bahasa inggris penulis di LIA Cibinong Madam Junita, dan teman-teman les penulis Ica, Gaza, Dini, Salma, Anda, Dania, Kak Hanun.

13. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada anggotaKHUDAFESJuni Elfinora Rajagukguk dan Syahrazat Mufty. Semoga kita dapat sukses sesuai harapan masing-masing;

14. Kepada keluarga besar Meriam Debating Club FH USU yang telah memberikan banyak pengetahuan seputar isu hukum dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkompetisi.

15. Kepada teman satu delegasi penulis dalam lomba debat hukum nasional UIN Law Fair 2016 dan lomba debat Mahkamah Konstitusi 2017 yakni Abangda Elyas Franklin, SH, Antero Fadil Lase, dan Qhairul Fadly Manurungserta Official Team Kakanda Sarai Dwi Sartika,SH, Kakanda Esther Voniawati SH, dan Mulana Bona, SH;

(6)

16. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan tim Karya Tulis Ilmiah Islamic Law Fair2017 yakni Fitria Longgom dan Intan Murina Sitepu. Serta kepada tim klinis pinada, ptun dan perdata yakni ilham, joshi, yolanda, ribka, samjo, wulan, putri, eva, shirley, ade, erwin, tiara, dan rudy.

17. Seluruh mahasiswa/i Grup A dan seluruh mahasiswa/i stambuk 2015 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Demikianlah Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak yang mendukung sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, dan kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua.

Medan,

Arif Sanjaya

(7)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penulisan ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA A. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia ... 18

1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha di Indonesia ... 18

2. Pengertian Hukum Persaingan Usaha di Indonesia ... 23

B. Substansi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ... 26

1. Asas dan Tujuan ... 26

2. Perjanjian yang Dilarang ... 28

3. Kegiatan yang Dilarang ... 34

4. Posisi Dominan ... 37

(8)

5. KPPU ... 38

a. Latar Belakang ... 38

b. Tugas dan Kewenangan Komisi ... 39

C. Pendekatan dalam Hukum Persaingan Usaha ... 42

1. Pendekatan Rule of Reason... 42

2. Pendekatan Per se Illegal... 43

BAB III PENGGABUNGAN BADAN USAHA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI INDONESIA A. Penggabungan Badan Usaha di Indonesia ... 49

1. Pengertian dan Bentuk Penggabungan Badan Usaha di Indonesia... 49

2. Pengaturan Penggabungan Badan Usaha di Indonesia ... 51

3. Persyaratan dalam Melakukan Penggabungan Badan Usaha di Indonesia ... 53

4. Pra-Evaluasi dan Post-Evaluasi dalam Melakukan Penggabungan Badan Usaha ... 56

5. Dampak Positif dan Negatif Penggabungan Badan Usaha ... 58

B. Posisi Dominan dalam Penggabungan Badan Usaha ... 61

1. Pengertian Posisi Dominan Secara Umum ... 61

2. Akibat Hukum dari Posisi Dominan ... 65

C. Monopoli dalam Penggabungan Badan Usaha ... 69

1. Pengertian Monopoli Secara Umum ... 69

2. Akibat Hukum dari Penyalahgunaan Monopoli yang dilakukan oleh Perusahaan ... 72

(9)

BAB IV KAJIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PENGGABUNGAN BADAN USAHA PT PLAZA INDONESIA TBK, BERDASARKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO. 02/KPPU-M/2017)

A. Kajian Hukum Terhadap Putusan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha dalam Perkara No. 02/KPPU-M/2017 ... 77 1. Posisi Kasus ... 77 2. Analisa Hukum ... 79 B. Analisa Terhadap Potensi Monopoli yang timbul dalam

Praktek Penggabungan Badan Usaha PT Plaza Indonesia

Realty Tbk ... 87

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 95 B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA ... 99

(10)

ABSTRAK

KAJIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PENGGABUNGAN BADAN USAHA PT PLAZA INDONESIA TBK, BERDASARKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA(STUDI KASUS PUTUSAN KPPU

NO.02/KPPU-M/2017) Ningrum Natasya Sirait1

Mahmul Siregar**

Arif Sanjaya***

Pada dasarnya ketentuan mengenai hukum persaingan usaha merupakan suatu jalan untuk memperkuat dan memperbaiki perekonomian di Indonesia.

Dalam hal ini ketentuan persaingan usaha dapat meningkatkan efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Ketentuan mengenai persaingan usaha tersebut akan menuntun para pelaku usaha untuk bersaing secara sehat dalam suatu pangsa pasar, sehingga akan menghasilkan pelaku usaha yang efisien terhadap produk- produk yang dihasilkan. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah, PT Plaza Indonesia Realty Tbk sebagai perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha dibidang penyewaan ruang pusat perbelanjaan dan perkantoran benar terindikasi melakukan pelanggaran terhadap penggabungan badan usaha. Dalam hal ini, KPPU beranggapan bahwa penggabungan tersebut dapat mengakibatkan adanya posisi dominan serta munculnya potensi monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan (library research). Dimana penelitian dilakukan dengan menggunakan data dari berbagai literatur bacaan, seperti perundang-undangan, buku-buku, jurnal, dan internet yang dinilai sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

Pelanggaran penggabungan badan usaha yang dilakukan oleh PT Plaza Indonesia merupakan pelanggaran yang diakibatkan karena adanya keterlambatan pemberitahuan. Dari putusan No. 02/KPPU-M/2017 yang dikeluarkan oleh KPPU terbukti bahwa perusahaan tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 29 Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 jo Pasal 5 PP No. 57 Tahun 2010. Sehingga dalam putusannya majelis komisi menjatuhkan denda sesuai dengan ketentuan Pasal 6 PP No. 57 Tahun 2010.

Kata Kunci: Penggabungan Badan Usaha, Posisi Dominan, Monopoli

*Dosen Pembimbing I

** Dosen Pembimbing II

*** Mahasiswa

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Meningkatnya persaingan usaha di era globalisasi saat ini, telah menuntut setiap perusahaan untuk mengembangkan strategi guna mempertahankan perusahaannya, memiliki daya saing, dan dapat berkembang ditengah gencarnya persaingan usaha. Dalam hal ini suatu perusahaan dituntut untuk mengembangkan strateginya secara tepat untuk mempertahankan eksistensinya dan memperoleh keuntungan kompetitif untuk perusahaan itu sendiri. Strategi yang umumnya dilakukan perusahaan saat ini ialah melalui penggabungan antara dua perusahaan atau lebih, yang salah satunya melalui pengambilalihan saham.2

Pada praktik penggabungan badan usaha yang salah satunya melalui pengambilalihan saham, pada umumnya ialah bertujuan untuk mendapatkan suatu sinergi atau nilai tambah.

Dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia penggabungan badan usaha yang berbentuk pengambilalihan telah diatur melalui Undang-Undang No.

40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam hal ini ketentuan Pasal 1 angka 11 memberikan definisi pengambilalihan sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.

3

2Abdulkadir Muhammad,Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.135.

3Ibid, hlm. 142.

Sinergi adalah suatu kondisi dimana keadaan secara keseluruhan lebih besar daripada jumlah masing-masing bagian. Dalam suatu

(12)

penggabungan badan usaha, sinergi dan nilai setelah penggabungan badan usaha akan melebihi jumlah nilai dari perusahaan-perusahaan secara terpisah sebelum penggabungan badan usaha terjadi. Nilai tambah yang dimaksud tersebut lebih bersifat jangka panjang dibandingkan nilai tambah yang hanya bersifat sementara, ada tidaknya sinergi yang terjadi dalam suatu penggabungan badan usaha tidak dapat dilihat dalam beberapa saat akan tetapi dalam jangka waktu yang panjang.4 Perubahan-perubahan yang umumnya terjadi dalam suatu penggabungan badan usaha ialah terlihat pada suatu kinerja dari perusahaan dan juga dalam hal finansialnya. Hal tersebut tercermin dalam laporan keuangan yang diterbitkan oleh suatu perusahaan.5

1. Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perusahaan;

Akan tetapi perlu dipahami secara bersama bahwa merujuk kepada ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyatakan bahwa suatu perusahaan dilarang untuk melakukan penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan suatu badan usaha. Pasal tersebut melarang penggabungan yang berakibat pada terciptanya suatu keadaan monopoli pasar dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal ini ketentuan tersebut saling berkesinambungan dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan suatu perusahaan yang melakukan penggabungan untuk memperhatikan beberapa pertimbangan yang diantaranya ialah :

4Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 4.

5Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia,(Jakarta: Perhalindo, 2008), hlm. 107.

(13)

2. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari perseroan;

3. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha;

Sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa penggabungan badan usahasuatu perusahaan tidak dapat dilakukan apabila dapat merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu. Selanjutnya, perlu dipahami secara bersama bahwa penggabungan badan usaha suatu perusahaan harus juga mencegah beberapa kemungkinan terjadinya praktik monopoli dalam berbagai bentuk yang dapat merugikan masyarakat.

Dalam penulisan skripsi ini juga ditelusuri mengenai keterkaitan antara penggabungan badan usaha yang berupa pengambilalihan saham, dengan beberapa pelanggaran yang dimungkinkan akan timbul akibat dari adanya penggabungan badan usaha tersebut. Beberapa pelanggaran diantaranya adalah pelaku usaha yang memonopoli pangsa pasar dan juga kepemilikan posisi dominan yang disalah gunakan oleh perusahaan, untuk mengontrol pangsa pasar.

Namun perlu ditekankan kembali bahwa yang menjadi permasalahan bukan pada posisi dominan yang dimiliki oleh perusahaan, tetapi perilaku negatif yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut untuk mengontrol pangsa pasar.

Merujuk kepada ketentuan Pasal 1 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999 posisi dominan diartikan sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan. Dalam hal iniberkaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara para pesaingnya dipasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan

(14)

keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.6

Dalam hal ini yang menjadikan suatu pelaku usaha memiliki posisi dominan ialah dikarenakan beberapa faktor yakni diantaranya:7

1. Pelaku usaha tersebut memiliki struktur produksi yang lebih rendah dibandingkan pelaku usaha lainnya, seperti kemampuan manajemen yang lebih baik dan penerapan teknologi yang lebih canggih. Selain hal tersebut, umumnya pelaku usaha yang memiliki posisi dominan memiliki efisiensi dalam memproduksi suatu barang atau jasa, sehingga ia memperoleh keuntungan dari skala ekonomi.

2. Pelaku usaha dominan biasanya memiliki suatu produk yang superior didalam suatu pasar yang bersangkutan. Produk superior ini diperoleh karena reputasi yang umumnya telah dicapai oleh perusahaan tersebut baik melalui iklan maupun berdasarkan kualitas produksi barang atau jasa dimana perusahaan tersebut telah lama menguasai pangsa pasar.

3. Pelaku usaha dominan dapat terbentuk dikarenakan penggabungan badan usaha yang ditenggarai oleh beberapa pelaku usaha. Dalam hal ini penggabungan yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha tersebut sering kali bertujuan untuk mempunyai insentif untuk mengkoordinasikan kegiatan mereka dengan maksud meningkatkan keuntungan.

6Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (dalam teori dan praktik serta penerapan hukumnya), (Jakarta:Prenada Media Group, 2012), hlm. 390.

7Ibid, hlm. 392.

(15)

Posisi dominan yang salah satunya terbentuk melalui pengambilalihan suatu saham perusahaan dalam hal ini dapat mengakibatkan timbulnya posisi dominan dalam suatu pangsa pasar dan kemungkinan terjadinya suatu praktik monopoli dan beberapa pelanggaran lainnya, dikarenakan para pelaku usaha yang bergabung melalui pengambilalihan saham pada umumnya memiliki pangsa pasar yang luas dan merupakan pelaku usaha yang telah lama menguasai pangsa pasar tersebut.8 Penggabungan badan usaha tersebut dapat meningkatkan kekuatan pasar (Market Power)9 hanya dengan menghilangkan persaingan diantara para pelaku usaha yang bergabung.10

Posner dalam bukunya yang berjudul Economic Analysis of Law menyatakan bahwa suatu penggabungan perusahaan yang dilarang sebagai bentuk lain dari kartel adalah penggabungan badan usaha yang menciptakan pasar monopoli.11 Dalam suatu model ekonomi, kondisi pasar monopoli akan memungkinkan satu atau beberapa pelaku usaha mengendalikan harga di pasar.

Sementara tujuan penggabungan badan usaha yang dilarang adalah untuk mengendalikan harga.12

Pada ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, dijelaskan mengenai pengertian praktik monopoli yang sebagaimana dapat dirujuk pada Pasal 1 angka 2. Dimana praktik monopoli diartikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau

8Agus Maulana, Pengantar Hukum Ekonomi, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 2010), hlm. 4.

9Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 7. Menjelaskan market power atau yang biasa disebut kekuatan pasar, sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha memiliki kemampuan dalam menaikkan harga barang dan jasa ataupun mengendalikan pangsa pasar.

10Catur Agus Saptono dan Suparji, Hukum Persaingan Usaha (Economic Analysis of Law dalam pelaksanaan merger), (Depok: Kencana, 2017), hlm. 43.

11Ibid, hlm. 47.

12Sjahrir, Meramal Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidakpastian, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010),hlm.37.

(16)

lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Pemusatan kegiatan ekonomi atau monopoli tersebut juga dikenal dengan istilah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau beberapa pelaku usaha sehingga menentukan harga barang dan/atau jasa.13

B. Perumusan Masalah

Penggabungan perusahaan yang menjadi kajian dalam skripsi ini adalah mengenai putusan KPPU dengan Nomor Register Perkara No. 2/KKPU-M/2017 dengan terlapor PT Plaza Indonesia Tbk. Hal tersebut yang melatar belakangi penulis untuk membahas lebih jauh mengenai dugaan pelanggaran penggabungan badan usaha yang dilakukan oleh PT Plaza Indonesia Tbk dalam hal pengambilalihan saham PT Citra Asri Property. Dalam penulisan skripsi ini juga akan dibahas mengenai bagaimana kemungkinan terciptanya suatu keadaan posisi dominan yang akan menyebabkan terbentuknya pasar monopoli yang akan berdampak pada terciptanya persaingan usaha tidak sehat.

Perlunya identifikasi terhadap permasalahan yang hendak diangkat menjadi sebuah bahan kajian topik merupakan hal terpenting dalam menyusun karya ilmiah. Dalam hal ini identifikasi dalam bentuk apapun penting guna mempermudah bagi penulis untuk menganalisis suatu isu hukum yang hendak dikembangkan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

13Ibid, hlm.52.

(17)

a. Bagaimanakah hubungan antara posisi dominan dengan monopoli?

b. Bagaimanakah akibat hukum dari terciptanya suatu posisi dominan dan pasar monopoli atas terbentuknya penggabungan badan usaha antar pelaku usaha?

c. Bagaimanakah potensi munculnya posisi dominan yang akan menyebabkan terciptanya praktik monopoli dalam pelanggaran penggabungan badan usaha yang dilakukan oleh PT Plaza Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Di dalam penulisan skripsi ini terdapat beberapa tujuan yang menjadi landasan bagi penulis dalam mengidentifikasi dan menganalisis rumusan masalah yang ada, adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Guna mengetahui sudut pandang kajian ilmu hukum persaingan usaha terhadap bentuk pelanggaran penggabungan badan usaha yang dapat mengakibatkan terciptanya posisi dominan yang akan berdampak kepada terbentuknya pasar monopoli.

b. Mengetahui kedudukan ilmu hukum persaingan usaha sebagai ilmu terapan dalam meneliti dan mempelajari aspek-aspek yang menyebabkan pelaku usaha melakukan penggabungan badan usaha yang akan berdampak pada terbentuknya posisi dominan dan potensi timbulnya persaingan usaha tidak sehat.

(18)

c. Mengetahui peranan ilmu hukum persaingan usaha dalam mempelajari praktik pelanggaran penggabungan badan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjaga perekonomian di Indonesia.

Penulisan ini juga dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis, secara praktis penulisan ini bermanfaat bagi:

a. Masyarakat secara umum guna memberikan pemahaman secara mendalam mengenai pelanggaran yang terjadi dalam mekanisme penggabungan badan usaha yang mengakibatkan terbentuknya posisi dominan yang akan berdampak pada terciptanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

b. Aparat penegak hukum dan pemerintah, yang bertujuan untuk menegakkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan dalam perkembangan pelanggaran penggabungan badan usaha oleh pelaku usaha di Indonesia yang akan berdampak kepada masyarakat.

Secara teoritis penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pakar hukum, pelaku usaha, dan civitas akademika serta para ilmuwan lainnya dalam memberikan sumbangsih literatur dan referensi berkaitan dengan pelanggaran penggabungan badan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang diberi judul “Kajian Hukum Terhadap Pelanggaran Penggabungan Badan Usaha PT. Plaza Indonesia Tbk, Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha (Studi Kasus Putusan KKPU No.02/KPPU-M/2017)” ini

(19)

merupakan penulisan asli yang belum pernah terdapat dalam berbagai literatur manapun. Dalam penulisan skripsi ini didasarkan pada penelaahan berbagai referensi dan studi kepustakaan yang menjadi topik permasalahan yang memiliki keterkaitan dengan penulisan skripsi secara sistematis menjadi rujukan dalam penulisan.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Penggabungan Badan Usaha

Pengertian penggabungan badan usaha secara umum adalah penyatuan dua atau lebih perusahaan yang terpisah menjadi satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan perusahaan lain atau memperoleh kendali atas aktiva dan operasi perusahaan lain. Penggabungan usaha dapat berupa pembelian saham suatu perusahaan oleh perusahaan lain.14 Sedangkan menurut IFRS (International Financial Reporting Standard) Penggabungan usaha atau (business combination) adalah transaksi atau kejadian itu, entitas pengakuisisi (acquirer) memperoleh kendali (control) atas satu usaha atau lebih. 15

Dalam peraturan perundang-undangan definisi dari Penggabungan badan usaha berbeda, berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan passiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih, karena hukum kepada perseroan yang menerima

14Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm. 33.

15Catur Agus Saptono dan Suparji, Op.Cit.,hlm.59.

(20)

penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.16

Penggabungan badan usahamerupakan suatu perbuatan hukum yang mana menjadikan suatu pertanyaan mengenai kedudukan dan peranannya dalam hukum bisnis di Indonesia, beberapa pakar mengemukakan definisi tentang penggabungan badan usaha sebagai berikut:

Namun terdapat pengertian lain dari penggabungan badan usaha yang berbentuk pengambilalihan saham yang mana apabila dirujuk kepada ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan Badan Usaha, atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan sebagai berikut

“Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pelaku Usaha untuk mengambilalih saham badan usaha yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas badan usaha tersebut”. Sehinga secara umum penggabungan badan usaha dalam bentuk pengambilalihan secara umum dapat diartikan sebagai penyatuan dua atau lebih perusahaan dimana satu perusahaan bergabung atau memperoleh kendali atas perusahaan lain.

17

a. Barcelius Ruru mengartikan penggabungan badan usaha sebagai penggabungan usaha dari dua atau lebih perusahaan yang bergabung kedalam salah satu perusahaan yang telah ada sebelumnya.

b. Kartini Muljadi mengartikan penggabungan badan usaha sebagai transaksi dua atau lebih perseroan yang menggabungkan usaha mereka berdasarkan peraturan perundang-udangan.

16Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 angka 9.

17Joni Emirzon, Op.Cit., hlm. 113.

(21)

Sehingga berdasarkan beberapa pengertian tersebut pada dasarnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:18

1. Penggabungan badan usaha adalah salah satu cara penyatuan perusahaan dan pengambilalihan perusahaan.

2. Penggabungan badan usaha melibatkan dua pihak yaitu, perusahaan yang menerima penggabungan dan satu atau lebih perusahaan yang menggabungkan diri.

3. Perusahaan yang menerima penggabungan akan menerima pengambilalihan seluruh saham, harta kekayaan, hak, kewajiban, dan utang perusahaan yang menggabungkan diri.

2. Pengertian Posisi Dominan

Definisi posisi dominan apabila ditelisik kepada ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal tersebut memberikan definisi yakni, suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti pada pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa suatu perusahaan yang memiliki posisi dominan cenderung dimiliki oleh suatu pelaku usaha dikarenakan telah menguasai pangsa pasar secara dominan. Tanpa adanya

18Ibid, hlm. 115.

(22)

penguasaan pangsa pasar yang dominan atas pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha lain yang menjadi pesaingnya, maka pelaku usaha tidak dikatakan memiliki posisi dominan.

Suatu kriteria yang dapat menentukan apabila suatu pelaku usaha atau beberapa kelompok pelaku usaha memiliki posisi dominan adalah apabila satu pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar atau apabila suatu kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar. Dengan demikian posisi dominan memang didefinisikan untuk mencerminkan siapa sebenarnya “penguasa pasar” dari suatu produk tertentu.19

3. Pengertian Monopoli

Dengan mengetahui posisi dominan, dapat diketahui apakah suatu pasar masih cukup heterogen dengan penguasaan berimbang oleh suatu pelaku usaha atau pasar sudah cenderung homogen dengan produk dari pelaku usaha tertentu.

Secara etimologi monopoli berasal dari bahasa yunani yaitu “monos” yang artinya satu atau sendiri dan “polein” yang artinya penjual atau menjual.

Berdasarkan etimologi monopoli tersebut dapat diartikan bahwa monopoli adalah suatu kondisi dimana hanya terdapat satu penjual yang menawarkan satu barang atau jasa tersebut.20

Monopoli merupakan suatu perbuatan hukum yang mana dapat memiliki dampak positif ataupun negatif. Dalam hal ini dampak positif yang umumnya terdapat dalam suatu praktik monopoli adalah, penguasaan oleh satu pihak yang

19Ahmad Yani,Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 38.

20Suyud Margono, Op.Cit.,hlm. 6.

(23)

dalam hal ini dikuasai oleh negara atau pemerintah, yang mana sesuai dengan ketentuan pasal 33 UUD 1945 yang penguasaannya dipergunakan untuk kepentingan umum. Namun monopoli dapat menjadikannya sebagai suatu dampak yang negatif apabila hanya dikuasai oleh satu pelaku usaha yang digunakan untuk menetapkan suatu harga ataupun penguasaan terhadap pangsa pasar dalam penentuan harga.

Dalam hal ini Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, membedakan definisi antara Monopoli dan Praktik Monopoli sebagai berikut:21

a. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha.

b. Praktik Monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

F. METODE PENULISAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian mengadakan analisa terhadap masalah yang sedang dihadapi tersebut.

21Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 1.

(24)

1. Jenis Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif,22

2. Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

dalam penelitain secara normatif ini dilakukan dengan memperoleh data sekunder atau disebut juga dengan penelitian doktriner dan atau penelitian kepustakaan. Dinamakan penelitian doktriner, sebab penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian tersebut sangat erat hubungannya pada data-data kepustakaan, dikarenakan penelitian normatif ini akan membutuhkan data sekunder berupa kajian terhadap peraturan perundang-undangan, Putusan KPPU No. 02/KPPU-M/2017, dan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi.

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat berupa UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, serta peraturan-peraturan pemerintah terkait.

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang merupakan hasil putusan yang diperoleh dari permasalahan hukum seperti Putusan KPPU No. 02/KPPU-M/2017.

22Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2012), hlm.50.

(25)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti buku dan jurnal.

3. Teknik Pengumpulan Data

Library Research (studi kepustakaan) yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematika buku-buku, peraturan perundang- undangan, Putusan KPPU No.02/KPPU-M/2017 dan sumber lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas dan mendalam serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas berhubungan dengan skripsi ini yaitu dengan menganalisis:

a. Mengunmpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yang relevan dengan permasalahan skripsi ini.

b. Melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut diatas agar sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

c. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini kesimpulan kualitati, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

(26)

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penulisan skripsi yang diberi judul “Kajian Hukum Terhadap Pelanggaran Penggabungan Badan Usaha PT Plaza Indonesia Tbk, Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha (Studi Kasus Putusan KPPU No. 02/KPPU-M/2017)”, dibagi kedalam lima bagian bab yang diderifikasikan menjadi sub bab, adapun sistematika penulisannya ialah sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan

Terdiri dari tujuh sub bab yang dalam hal ini memuat hal-hal umum mengenai latar belakang penulisan. Terdiri atas apa yang menjadi dasar bagi penulisan skripsi ini, didalamnya juga mengidentifikasikan rumusan masalah yang menjadi sudut pandang atau kajian yang hendak dibahas secara tersistematis yang diarahkan pada tujuan dan manfaat dari penulisan. Pada bab satu juga dibahas mengenai tinjauan kepustakaan yang secara garis besar menjadi landasan terminologi dan yuridis dalam melakukan penulisan dengan menggunakan metode telaah pustaka (library research) guna menganalisis data kuantitatif dan data kualitatif sehingga dapat dijadikan bahan referensi penulisan.

Bab II: Persaingan Usaha di Indonesia

Terdiri dari tiga sub bab yang meliputi penelaahan hukum persaingan usaha di Indonesia, substansi Undang-Undang No.5 Tahun 1999, dan jenis pendekatan dalam hukum persaingan usaha. Dalam bab ini juga dibahas mengenai ragam atau jenis-jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang yang dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang bersifat monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

(27)

Bab III: Penggabungan Badan Usaha dan Akibat Hukumnya di Indonesia

Terdiri dari tiga sub bab dimana secara sistematis terdapat pengklasifikasian terkait pengaturan dalam pelaksanaan penggabungan badan usaha suatu perseroan di indonesia. Sub bab tersebut memiliki keterkaitan dengan timbulnya permasalahan-permasalahan dalam penggabungan badan usaha serta bagaimana kajian hukum terhadap posisi dominan dan monopoli yang terjadi dalam penggabungan perusahaan.

Bab IV: Kajian Hukum Terhadap Pelanggaran Penggabungan Badan Usaha PT Plaza Indonesia Tbk, Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha (Studi Kasus:

Putusan KPPU No. 02/KPPU-M/2017)

Terdiri dari dua sub bab yang berkaitan dengan kasus posisi dan kajian hukum terhadap putusan majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam menjatuhkan putusan kepada PT Plaza Indonesia Tbk, terkait dugaan pelanggaran penggabungan badan usaha terhadap Pasal 29 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 jo Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010. Pada bab ini juga akan di analisis bagaimana hubungan antara potensi timbulnya posisi dominan yang akan berujung kepada terciptanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Bab V: Penutup

Terdiri dari dua sub bab yang merupakan kesimpulan atau intisari dari penulisan skripsi ini beserta rekomendasi.

(28)

BAB II

PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

A. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Berbicara mengenai persaingan usaha tidak terlepas dengan pembahasan terkait perekonomian. Sejarah pertumbuhan perekonomian di Indonesia belum terjadi sebagaimana yang diharapkan. Dimana Indonesia telah menciptakan perekonomiannya tanpa memberikan perhatian yang memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan.23 Pada dasarnya di Indonesia sendiri telah diatur ketentuan mengenai perekonomian sebagaimana yang termaktub pada Pasal 33 UUD 1945 yang dijadikan sebagai suatu acuan dasar normatif untuk menyusun kebijakan perekonomian nasional yang memberikan penjelasan bahwa, tujuan pembangunan perekonomian di Indonesia ialah demokrasi yang bersifat kerakyatan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar.24

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 menunjukkan bahwa telah terjadi kemerosotan terhadap perekonomian nasional. Krisis tersebut ditenggarai karena banyaknya pelaku usaha yang tidak mengenal kebijakan persaingan usaha (competition policy) yang sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.25

23Agus Maulana, Op.Cit., hlm.4.

24Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, (Pustaka Bangsa Press, 2011), hlm. 1.

25Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm. 20.

Krisis yang dialami Indonesia tersebut mengakibatkan tidak berjalannya sistem persaingan dalam dunia usaha, dan telah menjauhkan

(29)

Indonesia dari suatu sistem persaingan dan menjadikan Indonesia menghalalkan sistem monopoli pada sektor-sektor usaha, yang seharusnya lebih layak untuk dipersaingkan.26 Para ahli ekonomi mengatakan bahwa monopoli terjadi bila mana output seluruh industri diproduksi dan dijual oleh satu perusahaan yang dinamakan monopolis atau perusahaan monopoli.27

Krisis moneter yang mengarah pada terjadinya krisis ekonomi yang melanda di Indonesia hingga tahun 1998, menyadarkan pemerintah Indonesia pada saat itu betapa lemahnya dasar perekonomian di Indonesia. Selain dikarenakan adanya kemerosotan perekonomian yang mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat aturan persaingan usaha, dalam upaya pemulihan ekonomi negara yang tidak stabil, pemerintah harus mengandalkan bantuan IMF.

Dimana bantuan IMF tersebut memuat persyaratan guna menjamin agar sasaran bantuan ekonomi dapat tercapai. Syarat-syarat tersebut dituangkan kedalam LoI (Letter Of Intent) dan Supplementary Memorandum dengan pihak IMF yang ditandatangani di Jakarta pada 15 Januari 1998. Dimana persyaratan yang termaktub dalam LoI tersebut salah satunya ialah untuk membentuk peraturan perundang-undangan tentang persaingan usaha. Pentingnya aturan terkait persaingan usaha dikarenakan pemerintah Indonesia di era orde baru mengeluarkan beberapa kebijakan yang kurang tepat pada sektor ekonomi sehingga menyebabkan pasar menjadi terdistorsi.28

26Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jurnal Hukum Bisnis Volume 10, (Jakarta, 2010), hlm. 4.

27Agus Maulana, Op.Cit., hlm. 33.

28Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm. 6.

Pasar yang terdistorsi mengakibatkan harga yang terbentuk di pasar tidak lagi merefleksikan hukum

(30)

permintaan dan penawaran secara rill, dimana proses pembentukan harga dilakukan secara sepihak oleh pengusaha atau produsen.29

Beberapa fakta yang menunjukkan pemerintah pada masa orde baru memainkan peran cukup dominan dalam tindakan yang mendorong praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ialah terdiri atas:30

a. Penunjukan perusahaan swasta sebagai produsen dan importir tunggal untuk mengolah biji gandum menjadi tepung terigu dan mengijinkan perusahaan tersebut untuk masuk pada industri hilir, contohnya penunjukan PT Bogasari oleh BULOG;

b. Mendorong perkembangan asosiasi produsen yang berfungsi sebagai kartel diam-diam yang mampu mendiktekan harga barang ataupun membatasi jumlah pasokan barang di pasar;

c. Pemerintah dengan sengaja telah membiarkan satu perusahaan menguasai pangsa pasar diatas 50% atas suatu produk, contohnya adalah PT Indofood;

d. Pemerintah telah sengaja membuat barrier to entry31

e. Pemerintah memberikan perlindungan kepada industri hulu yang memproduksi barang tertentu dengan cara menaikkan bea masuk bagi pemain baru dibidang industri tertentu, contohnya adalah kebijakan Mobil Nasional;

29Ibid, hlm. 7.

30Sjahrir, Op.Cit., hlm.256.

31Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm. 21 menjelaskanBarrier to entry sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha yang berada dalam suatu pangsa pasar, menciptakan hambatan- hambatan untuk mencapai target keuntungan dan merebut pangsa pasar. Sehingga pada akhirnya menyebabkan pelaku usaha pesaing sulit untuk memasuki pangsa pasar.

(31)

barang yang sama yang di impor dari luar negeri, contohnya adalah PT Chandra Astri;

Sehingga pada akhirnya kondisi di atas mengakibatkan banyaknya tuntutan kepada pemerintah Indonesia, untuk menata kembali kegiatan usaha yang keliru di masa lalu. Hal ini bertujuan agar dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat. Hal ini bertujuan untuk menghindari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan dan kelompok tertentu dengan membentuk Undang-Undang Persaingan Usaha.32

Salah satu syarat mutlak bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia menujusistemperekonomian yang stabil, ialah dengan adanya suasana yang kompetitif demi pertumbuhan ekonomi yang efisien, termasuk proses industrialisasinya. Dalam pasar yang kompetitif setiap pelaku usaha akan berusaha untuk bersaing menarik lebih banyak konsumen. Dalam hal ini pelaku usaha akan menjual produk-produk yang dihasilkan secara murah, meningkatkan mutu produk, dan memperbaiki pelayanan terhadap konsumen. Sehingga untuk menjaga persaingan yang tetap pada koridornya diperlukan suatu aturan yang mengatur terkait persaingan usaha di Indonesia.33

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, walaupun persaingan usaha adalah urusan antara pelaku usaha, namun untuk dapat terciptanya suatu aturan main yang kompetitif, maka diperlukan campur tangan pemerintah untuk melindungi konsumen sebagai prinsip kebebasan pasar.34

32Ibid, hlm.22.

33Ibid, hlm.24.

34YayasanPengembanganHukumBisnisVol 10, Op.Cit., hlm.12.

Aturan terkait hukum persaingan usaha sangat dibutuhkan di Indonesia.

(32)

Ketentuan tersebut tidak hanya mengatur aspek perkompetisian antar pelaku usaha, melainkan juga untuk mewujudkan terjaganya kehidupan bermasyarakat dari segi sosial, politik, maupun budaya.35

Beranjak dari permasalahan tersebut diatas yang memberikan inisiatif kepada pemerintah Indonesia untuk membentuk suatu aturan mengenai pasar kompetitif. Dimana suatu Undang-Undang terkait Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dibutuhkan sebagai kelengkapan hukum yang diperlukan dalam suatu perekonomian yang menganut mekanisme pasar. Sehingga dalam hal ini pemerintah menyadari bahwa apabila tidak terdapatnya suatu ketentuan yang mengatur tentang persaingan usaha, maka hal ini seyogyanya bertentangan dengan tujuan daripada negara Indonesia. Dalam hal ini sebagaimana yang termaktub pada alinea ke-empat pembukaan UUD 1945, yaitu

“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Dalam kegiatan pasar yang kompetitif inilah diperlukan aturan, sebab sumber-sumber perekonomian yang terbatas di satu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber perekonomian di lain pihak. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari timbulnya konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-sumber perekonomian tersebut. Sebagaimana yang terjadi pada krisis moneter di tahun 1997 yang mana perekonomian hanya dijalankan oleh beberapa pelaku usaha.

36

Sehingga semenjak awal tahun 1999, pemerintah Indonesia menata kembali kegiatan usaha di Indonesia. Kondisi ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

35Kwik Kian Gie, Konglomerat Indonesia: Permasalahan dan Sepak Terjangnya,(Jakarta:

PT. Sinar Harapan, 2007), hlm. 15.

36Ibid, hlm.18.

(33)

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Keputusan membentuk aturan persaingan usaha tersebut relatif singkat guna meredam gejolak dalam masyarakat sekaligus sebagai pelaksanaan Letter of Intent dengan IMF. Aturan tentang persaingan usaha tersebut dipandang sebagai suatu instrumen penting dalam mendorong terciptanya efisiensi ekonomi, dan menciptakan iklim kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha, maka aturan tersebut diharapkan mampu merealisasikan konsep Law as a Tool to Encourage Economic Efficiency.37

Melihat kepada sejarahnya, sebenarnya aturan hukum tentang persaingan usaha telah diatur melalui beberapa perundang-undangan di Indonesia. Namun ketentuan tersebut masih bersifat parsial dan kurang komprehensif.38

2. Pengertian Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Sehingga dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, diharapkan dapat menjadi suatu aturan hukum yang mengatur mengenai praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat jauh lebih baik dibandingkan aturan-aturan sebelumnya.

Berbicara mengenai ketentuan hukum persaingan usaha tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan substansial yang mengatur tindakan-tindakan yang dilarang (beserta setiap konsekuensi yang timbul). Dalam hal ini substansinya juga mengatur ketentuan prosedural mengenai penegakan hukum persaingan usaha.39

37Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,(Jurnal Universitas Indonesia Jilid V, 2005),hlm. 7.

38Normis S. Pakpahan, Rangkuman Seminar ELIPS: PenemuanHukumPersaingan:

SuatuLayananAnalitikKomparatif, (Jakarta: JurnalHukumBisnis Volume 4, 1998), hlm.23.

39Ibid, hlm. 24.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum

(34)

yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Adapun beberapa istilah yang dipergunakan dalam bidang hukum ini ialah hukum persaingan usaha (competition law), hukum anti monopoli (antimonopoly law), dan hukum antitrust (antitrust law).40 Pada hakikatnya aturan terkait hukum persaingan usaha ditujukan untuk mengatur pasar perekonomian sebagaimana amanat dari pada pasal 33 UUD 1945. Apabila hukum persaingan usaha diberi arti luas, maka bukan hanya meliputi pengaturan persaingan. Melainkan juga soal boleh tidaknya monopoli digunakan sebagai sarana kebijakan publik untuk mengatur daya mana yang boleh dikelola oleh swasta.41

Indonesia sebagai negara yang cukup dikenal dengan budaya yang berorientasi pada harmoni, kebersamaan gotong royong, dan hal-hal seperti ini merupakan nilai-nilai yang hidup pada kehidupan bermasyarakat.42 Kultur di Indonesia berasumsi bahwa persaingan menjadi sesuatu yang serta tidak parallel dengan nilai-nilai tersebut, dimana makna persaingan diartikan sebagai tindakan yang bersifat individualistis dan hanya berorientasi pada kepentingan sepihak dengan cara melakukan berbagai cara dan upaya semaksimal mungkin untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya.43

Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan saat Pada hakekatnya persaingan bukanlah suatu hal yang berdampak negatif, dikarenakan melalui persaingan dapat memberikan hasil yang lebih efisien serta strategi terbaik dari suatu persaingan.

40Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm.27.

41ArieSiswanto, HukumPersainganUsaha , (Jakata:Ghalia Indonesia, 2009), hlm.23.

42Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hlm.14.

43Ibid, hlm.15.

(35)

berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi.44 Definisi persaingan usaha secara yuridis selalu dikaitkan dengan persaingan dalam ekonomi yang berbasis pada dasar, dimana pelaku usaha baik perusahaan maupun penjual secara bebas berupaya untuk mendapatkan konsumen guna mencapai tujuan usaha atau perusahaan tertentu yang didirikannya.45

Mengutip pendapat dari Norman. S Pakpahan, persaingan usaha dapat berbentuk persaingan sehat (perfect competition) dan persaingan tidak sehat (imperfect competition).46 Dalam hal ini persaingan usaha sehat diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya equlibiruim47

Hukum persaingan di Indonesia dianggap sebagai suatu elemen yang esensial dalam perekonomian modern. Sebab hukum persaingan usaha digunakan sebagai “code of conduct” yang mengarahkan pelaku usaha untuk bersaing secara sehat. Hal ini dijadikan dasar sebagai suatu proses kebebasan persaingan itu sendiri yang diasosiasikan dengan freedom of trade (kebebasan berusaha), freedom of choice (kebebasan untuk memilih) dan access to market (terobosan

yang dikategorikan sebagai pasar persaingan sempurna. Sedangkan persaingan yang tidak sehat adalah suatu keadaaan dimana terdapatnya penguasaan suatu pangsa pasar oleh satu atau beberapa pelaku usaha yang mana didalamnya diatur mengenai ketentuan harga ataupun pembatasan pemasokan barang atau jasa.

44AndiFahmiLubis, dkk, HukumPersaingan Usaha: AntaraTeksdanKonteks, (Jakarta:

Creative Media, 2009), hlm.21.

45Budi Kagramanto, MengenalHukumPersaingan Usaha,(Sidoarjo:Laras, 2010), hlm.57.

46Suhasrildan MohammadTaufikMakarao,

HukumLaranganPraktikMonopolidanPersaingan Usaha TidakSehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.42.

47Equilibirum adalah keadaan yang menunjukkan baik konsumen maupun produsen telah menyetujui harga suatu barang yaitu, harga yang konsumen bersedia membeli untuk sejumlah barang sama dengan harga yang produsen bersedia menjual untuk sejumlah barang tersebut (Keseimbangan Pasar).

(36)

memasuki pasar).48 Dalam hal ini penerapan hukum persaingan usaha di Indonesia sebagaimana amanat dari pada Pasal 1 angka (6) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ialah untuk mencegah timbulnya persaingan usaha tidak sehat secara tidak jujur yang mana menghambat iklim persaingan di Indonesia.49

B. Substansi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 1. Asas dan Tujuan

Guna memaknai suatu perundang-undangan perlu disimak terlebih dahulu apa asas dan tujuan dibuatnya suatu aturan. Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi bentuk pengaturan dan norma-norma yang dikandung dalam aturan tersebut.50

Demokrasi ekonomi yang dimaksud apabila ditelisik melalui bagian menimbang Undang-Undang tersebut, ialah untuk menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara. Dalam hal ini setiap warga negara diharapkan mampu untuk berpartisipasi di dalam setiap proses produksi atau pemasaran barang dan jasa. Menurut Tirta Hidayat demokrasi ekonomi adalah suatu sistem ekonomi Pancasila, lebih lanjut Gunawan Sumodiningrat Apabila menelisik terhadap ketentuan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat maka dapat diketahui bahwa ketentuan yang termaktub pada Pasal 2 dan 3 mengatur tentang Asas dan Tujuan.

Asas yang termaktub pada pasal 2 tersebut berbunyi:

“pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya bersaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”

48Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hlm.17.

49Suhasrildan MohammadTaufikMakarao, Op.Cit., hlm.44.

50AndiFahmiLubis, dkk,Op.Cit., hlm..34.

(37)

menambahkan, ekonomi Pancasila itu sebenarnya dapat disamakan dengan sistem ekonomi campuran.51

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Penjabaran lebih lanjut dari demokrasi ekonomi dapat dirujuk kepada ketentuang Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang memuat mengenai tujuan pembentukan undang-undang tersebut, yakni:

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusahan yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.

c. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.

d. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Banyak argumentasi yang diajukan oleh berbagai pihak ketika mengamati berbagai tujuan yang hendak dicapai melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut. Multi tujuan yang terlihat tidak konsisten antara satu dengan lainnya sudah banyak diperdebatkan oleh berbagai ahli dalam Hukum Persaingan.52

51Ibid, hlm.30.

52Budi Kagramanto, Op.Cit., hlm. 33.

Misalnya adalah pilihan antara efisiensi dan kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha ataupun dengan perlindungan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah. Pilihan mana yang biasanya menjadi prioritas akan terlihat melalui

(38)

argumentasi dalam putusan yang dijatuhkan oleh lembaga pengawas Undang- Undang Hukum Persaingan.53

2. Perjanjian yang Dilarang

Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian hanya didefinisikan sebagai suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.

Dengan adanya definisi perjanjian tidak tertulis pada ketentuan Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 dapat diartikan bahwa perjanjian yang tidak tertulis pun dapat diakui atau digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, dimana sebelumnya perjanjian tidak tertulis sulit untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan, karena biasanya pengadilan hanya mau menerima perjanjian sebagai alat bukti jika perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk tertulis.54

53Ningrum Natasya Sirait,Op.Cit., hlm.88.

54AndiFahmiLubis, dkk,Op.Cit., hlm.42.

Pada ketentuan Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:

(39)

a. Oligopoli (Pasal 4), menurut ilmu ekonomi oligopoli adalah salah satu bentuk struktur pasar, dimana dalam struktur pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit perusahaan.55

b. Penetapan Harga, terdiri atas:56

1. Price Fixing (Pasal 5), atau sering dikenal dengan istilah perjanjian penetapan harga. Merupakan salah satu strategi yang dilakukan diantara pelaku usaha yang tujuannya adalah untuk menghasilkan laba yang setinggi-tingginya, dimana dengan adanya penetapan harga yang dilakukan diantara pelaku usaha.

2. Price Discrimination (Diskriminasi Harga), adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap konsumen dengan harga yang berbeda beda.

3. Predatory Pricing, adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar yang bersangkutan.

4. Resale Price Maintanance, Prof Lawrence Anthony Sullivan dalam bukunya Handbook of The Law Antitrust, menyebutkan bahwa dengan adanya perjanjian antara pelaku usaha, umumnya dilakukan oleh perusahaan manufaktur dengan para perusahaan penyalurnya.57

55Agus Maulana, Op. Cit., hlm. 21.

56AndiFahmiLubis, dkk, Op.Cit., hlm.45.

57Ibid, hlm. 25.

Dalam hal ini perjanjian tersebut yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan

(40)

menjual dan atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang diperjanjikan.

c. Pembagian Wilayah (Market Division)

Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”

Menurut Stephen.F Ross dalam bukunya yang berjudul Priciples of Antitrust Law menyatakan bahwa hilangnya persaingan diantara sesama pelaku usaha dengan cara melakukan pembagian wilayah, bisa membuat pelaku usaha untuk melakukan tindakan pengurangan produksi ke tingkat yang tidak efisien. Kemudian juga mereka dapat melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan menaikkan harga produk, dan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap konsumen yang sudah teralokasi sebelumnya.58

d. Pemboikotan (Pasal 10 UU No. 5 Tahun 1999)

Merujuk kepada ketentuan Pasal 10 tersebut, telah jelas bahwa ketentuan Undang-Undang Anti Monopoli dan Praktik Usaha Tidak Sehat melarang dengan tegas suatu perjanjian untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk memasuki pasar, dengan cara menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain.59

e. Kartel (Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999)

58Budi Kagramanto, Op.Cit., hlm.60.

59UU No. 5 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal 10.

(41)

Pratek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada pemusatan harga ke tingkat yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka melimpah, maka harga barang akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di pasar.60

f. Trust (Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999)

Pada ketentuan Pasal 11 telah jelas bahwa perilaku kartel dilarang, karena perilaku tersebut bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

Menurut R.B. Suhartono, trust merupakan wadah antar perusahaan yang di desain untuk membatasi persaingan dalam bidang usaha atau industri tertentu. Gabungan antara beberapa perusahaan dalam bentuk trust dimaksudkan untuk secara kolektif mengendalikan pasokan, dengan melibatkan trustee61

g. Oligopsoni (Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999)

sebagai koordinator penentu harga.

Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktik anti persaingan yang cukup unik, karena dalam praktik oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau penjual. Hal ini berbeda dengan bentuk-

60Ibid, hlm.62.

61Budi Kagramanto, Op.Cit., hlm. 32. menjelaskaTrustee atau Wali Amanat sebagai lembaga yang ditunjuk oleh emiten yang diberi kepercayaan untuk mewakili kepentingan para pemegang obligasi.

(42)

bentuk praktik anti persaingan lain (seperti price fixing, price discrimination, kartel, dll) yang menjadi korban umumnya konsumen.

h. Integrasi Vertikal ( Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999)

Integrasi vertikal adalah salah satu bentuk perjanjian yang dilarang untuk dilakukan antar pelaku usaha. Perjanjian Integrasi vertikal adalah suatu perjanjian yang dibentuk antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain. Dimana bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan. Perjanjian ini dilarang sebab dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat.

i. Perjanjian Tertutup (Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999)

Apabila menelisik lebih jauh ketentuan pasal 15 tersebut dapat difahami bahwa, terdapat 3 bentuk perjanjian tertutup yakni:

1. Exclusive Distribution Agreement

Exclusive distribution agreements yang dimaksud disini adalah pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain.

Dimana berbentuk pemuatan persyaratan, bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja. Dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya

(43)

boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.62

2. Tying Agreement

Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.5 Tahun 1999 menyatakan bahwa:

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.”

Dari pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 juga dapat dilihat defenisi dari tying agreement yaitu perjanjian yang dibuat di antara pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

3. Vertical Agreement on Discount

Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa:

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok:

a. harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau

b. tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.”

62Ibid, hlm.65.

(44)

j. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999) Ketentuan ini menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri. Dalam hal ini perjanjian tersebut memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri. Karena Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tidak menjangkau pelaku usaha yang berkantor pusat diluar negeri dan tidak melakukan aktifitas usahanya di Indonesia, walaupun aktifitas usahanya menimbulkan dampak di pasar Indonesia.63

3. Kegiatan yang Dilarang

Dengan adanya persaingan usaha yang sehat, tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut dapat membantu untuk meningkatkan kualitas suatu produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh setiap pelaku usaha. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya terkait suatu perjanjian yang dapat menciptakan iklim persaingan usaha tidak sehat, maka ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 juga mengatur terkait kegiatan yang dilarang yang dapat menghambat persaingan usaha, yakni:

63Ibid, hlm.43.

(45)

a. Kegiatan Monopoli

Monopoli selalu diasumsikan dengan perbuatan yang konotasinya negatif yang berhubungan dengan distorsi pasar.64 Ketentuan kegiatan monopoli diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang termaktub pada Pasal 17 yang secara tegas menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli. Dalam perekonomian konsep kejahatan yang dimaksud bukanlah terkait monopoli, sebab monopoli dapat timbul secara alamiah apabila memang hanya terdapat satu pelaku usaha yang dapat bertahan di suatu pangsa pasar ataupun monopoli yang diakibatkan oleh Undang- Undang, namun yang menjadi kejahatan apabila pelaku usaha tersebut membuat pemaksaan terhadap produksi barang dan jasanya.65

b. Kegiatan Monopsoni

Monopsoni adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha. Pelaku usaha dalam pasar monopsoni menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal, sementara itu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.66

64Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm.229.

65Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Antimonopoli, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2009), hlm. 32.

66Susanti Adi Nugroho,Loc.Cit.

Kegiatan ini dilarang merujuk pada ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang mana penguasaan tunggal atas penerimaan pasokan barang dan

(46)

atau jasa dilarang, sebab akan menimbulkan kegiatan praktik ekonomi dan persaingan usaha tidak sehat.

c. Penguasaan Pasar

Diatur pada Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang secara tegas melarang pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha untuk menguasai suatu pangsa pasar. Pihak yang dapat melakukan penguasaan pangsa pasar sering juga disebut mempunyai market power, yaitu pelaku usaha yang dapat menguasai pasar sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa di pasar bersangkutan.67 Pada umumnya market power bukanlah merupakan suatu bentuk kejahatan, tetapi hal tersebut akan menjadi kejahatan apabila:68

a. Menolak atau menghalangi pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar yang bersangkutan (menciptakan barrier to entry).

b. Menghalangi konsumen untuk tidak melakukan transaksi dengan pelaku usaha pesaingnya.

c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan jasa dipasar bersangkutan.

d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

e. Menjual rugi suatu barang dan/atau jasa untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaingnya.

f. Melakukan kecurangan dengan menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya dalam produksi suatu barang dan/atau jasa.

67Ibid, hlm.255.

68Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal 19, 20, 21.

(47)

d. Persekongkolan

Diatur melalui Pasal 22, 23, dan 24 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Persekongkolan atau juga dapat disebut sebagai konspirasi usaha menurut Pasal 1 angka (8) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah suatu bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Persekongkolan yang dilarang sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang tersebut yakni:69

a. Mengatur atau menentukan pemenang tender.

b. Mendapatkan informasi terkait kegiatan pelaku usaha pesaingnya yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan.

c. Menghambat produksi barang dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang yang ditawarkan di pasar bersangkutan menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

4. Posisi Dominan

Pada setiap industri akan selalu ada pelaku usaha yang dominan dan beberapa pelaku usaha yang kecil. Pelaku usaha dominan (dominant firm) adalah pelaku usaha yang mempunyai pangsa besar dalam pasar, yang dapat memengaruhi harga pasar dengan memperbanyak produksinya. Pelaku usaha ini lebih sering berperan sebagai penentu harga (price setter) dibandingkan sebagai

69Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal 22, 23, 24.

Referensi

Dokumen terkait

5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehatmengecualikan BUMN untuk melakukan kegiatan monopoli atas cabang-cabang produksi yang

Oleh karena itu, setiap pelaku usaha berusaha menjadi yang lebih unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan. Pelaku usaha mempunyai posisi dominan tidak dilarang oleh

Pelaku usaha dilarang untuk melakukan penggabungan badan usaha apabila tindakan tersebut mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, hal

Apabila dianalisis dari ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5/1999 diketahui bahwa kualifikasi pihak yang dapat digolongkan sebagai pelaku usaha adalah:

Menurut Pasal 17 ayat (2) UU 5/1999, pelaku usaha dianggap menguasai pasar jika produk barang/jasa yang diproduksi dan/atau dipasarkan belum ada substitusinya atau

Di dalam Pasal 4 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama

Berdasarkan Pasal 35 diatas salah satu tugas KPPU adalah melakukan penilaian terhadap kegiatan perusahaan atau tindakan pelaku usaha, melakukan penilaian terhadap

Dalam hal seluruh unsur Pasal 15 ayat 2 dan 3 UU Persaingan Usaha terbukti, maka pelaku usaha perlu dinyatakan bersalah karena telah melakukan perjanjian tertutup tying agreement,