LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI
PEMBUATAN TEMPE PEMBUATAN TEMPE Oleh : Oleh : Dyna Kholidaziah (1210702018) Dyna Kholidaziah (1210702018) Kelompok 4 (empat) Kelompok 4 (empat) Biologi VI/A Biologi VI/A
Asisten : Rahmat Taufik S.Si Asisten : Rahmat Taufik S.Si
Dosen : Epa F. M.Si Dosen : Epa F. M.Si
Tanggal Percobaan : 10 Oktober 2013 Tanggal Percobaan : 10 Oktober 2013 Tanggal Pengumpulan : 1 Oktober 2013 Tanggal Pengumpulan : 1 Oktober 2013
JURUSAN BIOLOGI JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNGM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2013
PEMBUATAN TEMPE
Waktu : jam 13.00 s.d selesai
Tempat : Laboratorium Biologi UIN Sunan Gunung Djati Tanggal : 10 Oktober 2013
I. PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
- Untuk mengetahui proses pembuatan tempe berdaasrkan prinsip-prinsip yang benar
-1.2 Tinjaun Pustaka
Fermentasi bahan pangan adalah hasil kegiatan dari beberapa spesies mikroba seperti bakteri, khamir dan kapang. Mikroba yang melakukan fermentasi dengan memberikan hasil yang dikehendaki dapat dibedakan dari mikroba-mikroba penyebab penyakit dan penyebab kerusakan. Mikroba fermentasi mendatangkan hasil akhir yang dikehendaki, misalnya bakteri akan menghasilkan asam laktat, khamir menghasilkan alkohol, kapang menghasilkan
tempe (Muchtadi, 1989).
Fermentasi biasanya dilakukan dengan menggunakan kultur murni yang dihasilkan di laboratorium. Kultur ini dapat disimpan dalam keadaan kering atau dibekukan, misalnya kultur murni dari bakteri asam laktat untuk membuat keju. Kadang-kadang tidak digunakan kultur murni untuk fermentasi sebagai laru (starter). Misalnya pada pembuatan tempe atau oncom digunakan hancuran tempe dan oncom yang sudah jadi (Santosa, 1993).
Pada dasarnya proses pembuatan tempe merupakan proses penanaman mikroba jenis jamur Rhizopus sp pada media kedelai, sehingga terjadi proses fermentasi kedelai oleh ragi tersebut. Hasil fermentasi menyebabkan tekstur kedelai menjadi lebih lunak, terurainya protein yang terkandung dalam kedelai menjadi lebih sederhana, sehingga mempunyai daya cerna lebih baik dibandingkan produk pangan dari kedelai yang tidak melalui proses fermentasi.
Tempe terbuat dari kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus sp. Jamur ini akan mengubah protein kompleks kacang kedelai yang sukar dicerna menjadi protein sederhana yang mudah dicerna karena adanya perubahan-perubahankimia pada protein, lemak, dan karbohidrat. Selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe, akan dihasilkan antibiotika yang akan mencegah penyakit perut seperti diare (Lia, 2012).
Agar tempe yang ditelah jadi dapat bertahan lama tempe haruslah diawetkan. Adapun cara untuk mengawetkan tempe yaitu dengan pengeringan, pengeringan adalah suatu proses menghilangkan sebagian air dari suatu bahan.Tujuan utama pengeringan adalah menurunkan aktivitas air (a) sampai pada tingkat tertentu, sehingga aktivitas mikroorganisma dan reaksi kimia serta biokimia yang terjadi ditekan seminimal mungkin sampai produk menjadi lebih awet (Suhartono, 1987).
Untuk jenis kapang digunakan dalam khususnya bagi beberapa jenis kayu dan fermentasi bahan pangan khususnya di Asia, seperti kecap, miso, tempe dan lain-lainnya. Jenis kapang yang banyak memegang peranan penting dalam fermentasi bahan makanan tersebut adalah Aspergillus, Rhizopus dan Penicillium (Koswara, 1992).
Tempe adalah sumber protein yang penting bagi pola makanan di Indonesia, terbuat dari kedelai. Pembuatan tempe dilakukan sebagai berikut : kedelai kering dicuci, direndam semalam pada suhu 250C esok paginya kulit dikeluarkan dan air rendam dibuang. Kedelai lalu dimasak selama 30 menit. Sesudah itu didinginkan, diinokulasikan dengan spora Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae, ditaruh dalam panci yang dangkal dan diinkubasikan pada suhu 300C selama 20 - 24 jam. Dalam waktu itu kedelai terbungkus sempurna oleh mycelia putih dari jamur. Sekarang tempe siap untuk dikosumsi. Cara penyajiannya adalah tempe dipotong-potong, direndam sebentar dalam garam lalu digoreng dengan minyak nabati. Hasilnya adalah tempe yang berwarna coklat dan kering. Dapat juga dimakan dalam bentuk mempunyai kuah atau dengan kecap (Wirakartakusumah, dkk., 1992 dalam Lia, 2012).
Menurut Santosa (1993), beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tempe adalah sebagai berikut:
1. Oksigen
Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Aliran udara yang terlalu cepat menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat sehingga dihasilkan panas yang dapat merusak pertumbuhan kapang. Oleh karena itu apabila digunakan kantong plastik sebagai bahan pembungkusnya maka sebaiknya pada kantong tersebut diberi lubang dengan jarak
antara lubang yang satu dengan lubang lainnya sekitar 2 cm. 2. Uap air
Uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini disebabkan karena setiap jenis kapang mempunyai Aw optimum untuk pertumbuhannya.
3. Suhu
Kapangtempedapat digolongkan kedalam mikroba yang bersifat mesofilik, yaitu dapat tumbuh baik pada suhu ruang (25-27oC). Oleh karena itu, maka pada waktu pemeraman, suhu ruangan tempat pemeraman perlu diperhatikan.
4. Keaktifan Laru
Laru yang disimpan pada suatu periode tertentu akan berkurang keaktifannya. Karena itu pada pembuatan tape sebaiknya digunakan laru yang belum terlalu lama disimpan agar dala m pembuatantempetidak mengalami kegagalan.
Untuk membuat tempedibutuhkan inokulum atau laru tempeatau ragi tempe. Laru tempedapat dijumpai dalam berbagai bentuk misalnya bentuk tepung atau yang menempel pada daun waru dan dikenal dengan nama Usar . Laru dalam bentuk tepung dibuat dengan cara menumbuhkan spora kapang pada bahan, dikeringkan dan kemudian ditumbuk. Bahan yang akan digunakan untuk sporulasi dapat bermacam-macam seperti tepung terigu, beras, jagung, atau umbi-umbian.
Berdasarkan atas tingkat kemurniannya, inokulum atau larutempedapat dibedakan atas: inokulum murni tunggal, inokulum campuran, dan inokulum murni campuran. Adapun perbedaannya adalah pada jenis dan banyaknya mikroba yang terdapat dan berperan dalam
laru tersebut. Mikroba yang sering dijumpai pada laru tempea dalah kapang jenis Rhizopus oligosporus, atau kapang dari jenis R. oryzae. Sedangkan pada laru murni campuran selain kapang Rhizopus oligosporus, dapat dijumpai pula kultur murni Klebsiella. Selain bakteri Klebsiella, ada beberapa jenis bakteri yang berperan pula dalam proses fermentasi tempe diantaranya : Bacillus sp., Lactobacillus sp., Pediococcus sp., Streptococcus sp., dan beberapa genus bakteri yang memproduksi vitamin B12. Adanya bakteri Bacillus sp pada tempe merupakan kontaminan, sehingga hal ini tidak diinginkan. Pada tempe yang berbeda aslnya sering dijumpai adanya kapang yang berbeda pula (Dwidjoseputro dan Wolf, 1970).
Jenis kapang yang terdapat pada tempeMalangadalah R. oryzae., R. oligosporus., R. arrhizus dan Mucor rouxii. Kapang tempe dari daerah Surakarta adalah R. oryzaei dan R. stolonifer sedangkan pada tempe Jakarta dapat dijumpai adanya kapang Mucor javanicus.,Trichosporon pullulans., A. niger dan Fusarium sp. Masing-masing varietas dari kapang Rhizopus berbeda reaksi biokimianya, hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan dari enzim yang dihasilkan. Pektinase hanya disintesa oleh R. arrhizus dan R. stolonifer . Sedangkan enzim amilase disintesa oleh R. oligosporus dan R. oryzae tetapi tidak disintesa oleh R. arrhizus (Dwidjoseputro dan Wolf, 1970).
Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan baik fisik maupun kimianya. Protein kedelai dengan adanya aktivitas proteolitik kapang akan diuraikan menjadi asan-asam amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan. Dengan adanya peningkatan dari nitrogen terlarut maka pH juga akan mengalami peningkatan. Nilai pH untuktempeyang baik berkisar antara 6,3 sampai 6,5. Kedelai yang telah difermentasi menjaditempeakan lebih mudah dicerna. Selama proses fermentasi karbohidrat dan protein akan dipecah oleh kapang menjadi bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan ternyata bau langu dari kedelai juga akan hilang (Lia, 2012).
Kadar air kedelai pada saat sebelum fermentasi mempengaruhi pertumbuhan kapang. Selama proses fermentasi akan terjadi perubahan pada kadar air dimana setelah 24 jam fermentasi, kadar air kedelai akan mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64% (Sudarmaji dan Markakis, 1977).
Perubahan-perubahan lain yang terjadi selama fermentasi tempeadalah berkurangnya kandungan oligosakarida penyebab flatulence. Penurunan tersebut akan terus berlangsung sampai fermentasi 72 jam. Selama fermentasi, asam amino bebas juga akan mengalami peningkatan dan peningkatannya akan mencapai jumlah terbesar pada waktu fermentasi 72 jam. Kandungan serat kasar dan vitamin akan meningkat pula selama fermentasi kecuali
vitamin B1 atau yang lebih dikenal dengan thiamin (Sudarmaji dan Markakis, 1997).
II. METODE
2.1 Alat dan Bahan 2.1.1 Alat - Baskom - Saringan - Panci - Sotel kayu - Tampah - Kompor - baki - timbangan 2.1.2 Bahan - Kacang Kedelai ± 1 kg
- Ragi tempe (inokulum) RAPRIMA) atau biakan murni Rhizopus sp - Kantong plastik
- Daun pisang - Air
2.2 Cara kerja
Tampah, ayakan,kipas, dan cukil
.
III. HASIL
Tabel 1. Pengamatan kelompok 5
No. Tahap pelaksanaan Pengamatan
1 Berat kedelai 1 kg
2 Keadaan kedelai Baik
3 Lama perendaman 19 jam
4 Lama pengukusan/perebusan 1 jam
5 Lama pemeraman 3x 24 jam
6 Berat tempe 200 gram
7 Persentase berat tempe
terhadap berat kedelai 20% 8 Warna tempe
Putih pucat seperti warna pertama kali namun ada warna biru seperti jamur dan warna merah muda karena kontam
9 Kelembaban pertumbuhan
kapang ± 50 %
10 Aroma tempe Hambar serta bau menyengat di cuci dan dikeringkan
Kacang kedelai
- Kulit biji dilepaskan bersihkan dan di cuci bersih - Rendam selama 12-18 jam
- Kulit biji kedelai di lepaskan, dan biji kedalai di cuci bersih - Rebus selama ± 60 menit
- Setelah ± 60 menit, biji kedelai di tiriskan hingga tersa hangat
- Taburkan ragi tempe (RAPRIMA) sedikit demi sedikit (1.5 g ragi / 2kg kedelai) - Aduk hingga merata
- Masukkan kedelai yang tercampur ragi ke dalm pembungkus (plastik dan daun pisang)
- Simpan pada suhu kamar selama 2-3 hari atau hingga permukaan kacang kedelai tertutupi jamur secara keseluruhan. (proses fermentasi)
Berdasarkan tabel pengamatan tersebut diketahui secara keseluruhan bahwa pembuatan tempe kelompok kami mengalami kegagalan karena proses pengolahan yang kurang baik dan kemungkinan terjadinya kontaminasi sehingga pertumbuhan misellium dari kapang kurang sempurna . Dari kacang kedelai 1 kilogram, penggunaan ragi tempe (inokulum RAPRIMA) atau biakan murni Rhizopus sp. sebanyak 0,5 gram. Sebelum dilakukan perendaman, keadaan kedelai baik. Lama perendaman selama 19 jam dengan menggunakan air dingin sehingga terjadi proses hidrasi yaitu kedelai akan menyerap air sebanyak mungkin. Setelah perendaman, dilakukan pengukusan atau perebusan kedelai yang sebelumnya sudah dikupas kulitnya. Lama pengukusan atau perebuasan yaitu 2 jam hingga kedelai agak melunak. Adapun berat tempe yaitu 200 gram dengan presentase berat tempe terhadap kedelai sebesar 20 %. Kelembaban pertumbuhan kapang yaitu sekitar kurang lebih 50 % dengan aroma tempe bau menyengat.
Hasil pengamatan dari kelompok lain adalah : Tabel 2. Pengamatan kelompok 1
No. Tahap pelaksanaan Pengamatan
1 Berat kedelai 250 g
2 Keadaan kedelai Baik
3 Lama perendaman 12 jam
4 Lama pengukusan/perebusan 1 jam
5 Lama pemeraman 3x 24 jam
6 Berat tempe
-7 Persentase berat tempe terhadap
berat kedelai 20%
8 Warna tempe Tempe belum merata dan masih membentuk kedelai dan jamur belum menyeluruh.
9 Kelembaban pertumbuhan
kapang
-10 Aroma tempe Hambar serta bau menyengat
Tabel 3. Pengamatan kelompok 2
No TahapPelaksanaan Pengamatan
1 Berat kedelai 1 Kg
2 Keadaan kedelai Baik
3 Lama perendaman 19 Jam
4 Lama pengukusan/perebusan 2 Jam
5 Lama pemeraman 3 Hari
6 Berat tempe 200 gram
terhadap berat kedelai
8 Warna tempe Kuning pucat
9 Kelembaban pertumbuhan kapang
40 %
10 Aroma tempe Bau menyengat
Tabel 4. Pengamatan kelompok 3
No. Tahap pelaksanaan Pengamatan
1 Berat kedelai 800 g
2 Keadaan kedelai Baik
3 Lama perendaman 19 jam
4 Lama pengukusan/perebusan 120 menit 5 Lama pemeraman 3 hari – 7 hari
6 Berat tempe 260 gram
7 Persentase berat tempe
terhadap berat kedelai 32,5 %
8 Warna tempe
Pada hari ke-3 permukaan tempe tertutupi oleh miselium kapang secara merata, kompak dan berwarna putih diantara butiran kacang kedelai.
Sedangkan pada hari ke 7 aroma tempe mulai berubah warna menjadi kuning
9 Kelembaban pertumbuhan
kapang ± 40 %
10 Aroma tempe
Hari ke 3 aroma tempe yang tercium seperti aroma khas tempe pada umumnya
Hari ke 7 aroma tempe berubah menjadi bau menyengat seperti bau amoniak
Tabel 5. Pengamatan kelompok 4
No TahapPelaksanaan Pengamatan
1 Berat kedelai 1 Kg
2 Keadaan kedelai Baik
3 Lama perendaman 12 Jam
4 Lama pengukusan/perebusan 120 Menit
5 Lama pemeraman 3 x 24 Jam
6 Berat tempe 250 gram
7 Persentase berat tempe terhadap
berat kedelai 25 %
8 Warnatempe Putih gading
9 Kelembaban pertumbuhan
kapang Kapang menyeluruh
Foto Pengamatan
1.1 Gambar hasil pengamatan
- Pengupasan kulit kacang kedelai
- Penimbangan kacang kedelai 1 kg dan ragi tempe (inokulum RAPRIMA) atau biakan murni Rhizopus sp.
Gambar 1. Kacang kedelai sebelum di rendam
Gambar 2. Proses perendaman kacang di air dingin
Gambar 3. Proses pengelupasan kulit biji kedelai
Gambar 4. Penimbangan Kacang kedelai (1kg)
Gambar 5. Penimbangan ragi tempe (0.7 gram/1kg kedelai)
- Pengukusan kacang kedelai
- Pembungkusan kacang
- Pemeraman
Hasil tempe selama 7 hari
Tumuhnya jamur parsit
Tempe disimpan pada suhu kamar Kacang kedelai direbus sampai melunak (± 60 menit)
IV. PEMBAHASAN
Praktikum yang telah dilakukan oleh praktikan mengenai pembuatan tempe dimana tujuan dari praktikum ini yaitu mengetahui proses pembuatan tempe berdasarkan prinsip- prinsip yang benar agar dapat menghasilkan tempe yang bermutu.
Proses pembuatan tempe ini membutuhkan proses yang perlu diperhatikan oleh praktikan khususnya, sehingga dapat menghasilkan tempe yang baik dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat,. Proses pembuatannya ini dimulai dengan pemilihan kacang kedelai yang memiliki kualitas baik, karena untuk mengahasilkan tempe yang kualitasnya baik. Pembersihan kacang kedelai dari sisa kotoran yang terbawa. Perendaman atau proses hidrasi yang dilakukan selama ± 12 - 19 jam dengan menggunakan air dingin, ini bertujuan agar biji kedelai dapat menyerap air sebanyak mungkin. setalah peredaman dilakukan selam ± 19 jam ini selanjutnya pengelupasan kulit biji kedelai dan penimbangan ragi tempe juga biji kedelai yang telah bersih dari kulit biji kedelai. Selanjutnya perebusan biji kedelai yang dilakukan selama ± 2 jam atau sampai biji kedelai lunak. Biji kacang kedelai yang telah direbus didinginkan dengan cara diangin-anginkan, ragi ditaburkan secara merata setelah biji kedelai didinginkan. Pembungkusan kacang kedelai yang telah ditaburi ragi, dan peraman kacang kedelai dilakukan ± 3-7 hari dengan suhu ruang. Tempe di bungkus dengan menggunakan 2 bahan yaitu dengan plastik yang di bagian permukaan plastik di beri lubang menggunakan jarum. Dan tembe dengan menggunakan daun pisang. Hal ini bertujuan yaitu sebagai perbandingan
Berdasakan hasil pengamatan tempe dengan kemasan berbeda yang tujuannya sebagai pembanding ini yaitu tempe dengan kemasan yang dibungkus plastik dan yang dilakukan selama pemeraman ± 3-7 hari di lingkungan dengan suhu ruang (suhu kamar), tempe yang dibungkus dengan plastik pada hari ke-3 pertumbuhan misellium dari kapang tersebut tidak ada dan tempe masih berentuk kacang kedelai ketika pertama di buat sedangkan hari ke-7
Pertumbuhan jamur tidak merata dan tidak terlalu banyak
Warna daun pembungkus berubah menjadi kekuningan dan kering dari warna semula hijau segar
tempe terlihat ada kontaminasi dari jamur yang tidak diinginkan sehingga tempe terlihat berwarna kehitaman dan terdapat warna merah muda juga berbau amoniak atau berbau
menyengat. Sedangkan tempe yang dibungkus dengan daun pisang, pada hari ke-7 warna daun menjadi warna kekuningan dan pertumbuhan misellium dari kapang tersebut tidak tersebar dengan merata dan bau tempe yang d bungkus daun ini berbau amoniak dan menyengat.
Berdasarkan tabel pengamatan diketahui bahwa pembuatan tempe yang telah dilakukan oleh praktikan kelompok kami tidak berhasil karena dalam tahap proses pembuatan tempe yang dilakukan kurang baik dimana dari biji kedelai 1kg yang telah bersih di rendam selama ± 19 jam dengan menggunakan air dingin sehingga terjadi proses hidrasi yaitu kedelai akan menyerap air sebanyak mungkin. Setelah perendaman, dilakukan pengukusan atau perebusan kedelai yang sebelumnya sudah dikupas kulitnya dan di rebus selama ± 2 jam biji
kedelai masih belum lunak dan ketika proses pendinginan, dilakukan kurang sempurna dimana kacang kedelai tersebut masih banyak mengadung banyak air dari hasil rebusan, yang kemudian langsung di ditaburi ragi tempepe (inokulum RAPRIMA) atau biakan murni Rhizopus sp. sebanyak 0,5 gram. Maka tempe yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan dimana tempe yang di hasilkan selama proses pemeraman ini terjadi kontaminasi yaitu terdapat jamur yang tidak diinginkan di tempe tersebut sehingga terdapat warna kehitaman dan merah muda pada temped an berat tempe yaitu 200 gram dengan presentase berat tempe terhadap kedelai sebesar 20 %. Kelembaban pertumbuhan kapang yaitu sekitar
kurang lebih 50 % dengan aroma tempe bau menyengat.
Sedangkan pada kelompok 1 sampai 4 berdasakan pengamatan yang telah dilakukan selama pemeraman dilihat dari tabel hasil pengamatan adalah kelompok 1, hasil akhir tempe beraroma hambar dan berbau menyengat. Warna tempe belum merata dan masih membentuk kedelai serta pertumbuhan misellium jamur belum menyeluruh. Presentase berat tempe terhadap berat kedelai yakni sekitar 20 %. Kelompok 2, hari ke-3 pertumbuhan misellium dari kapang tersebut tidak merata sehingga tempe yang dihasilkan terlihat kuning pucat dan tidak direkatkan dengan misellium. Sedangkan pada hari ke 7 tempe terlihat ada kontaminasi dari jamur yang tidak diinginkan sehingga tempe terlihat berwarna kehitaman dan berbau amoniak atau berbau menyengat, dengan berat tempe yaitu 200 gram dengan presentase berat tempe terhadap kedelai sebesar 30 %, dan kelembaban pertumbuhan kapang yaitu sekitar 40 % dengan aroma tempe bau menyengat.
Kelompok 3, hari ke-3 bau tempe terasa khas seperti tempe pada umumnya tapi hari ke-7 aroma tempe berubah menjadi bau menyengat seperti amoniak. Warna tempe pada hari
ke-3 permukaan tempe tertutupi oleh misellium kapang secara merata, kompak dan berwarna putih diantara butiran kacang sedangkan pada hari ke-7 tempe mulai berubah menjadi warna
kuning. Kelompok 4, hasil akhir tempe beraroma tempe. Tempe berwarna putih gading dengan pertumbuhan misellium dari kapang menyeluruh.
Sehingga terlihat bahwa hasil tempe dari kelompok 4 lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok yang lain. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan misellium dari kapang yang merata secara keseluruhan dan aroma yang dikeluarkan berbau khas tempe. Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan tempe yaitu Penggunaan bahan baku dan campuran sangat menentukan kadar protein, lemak, dan karbohidrat serta serat yang terkandung pada tempe. Semakin banyak bahan campuran yang ditambahkan semakin rendah kadar proteinnya.
Cara pemasakan (pengukusan / perebusan) mempengaruhi kehilangan protein selama proses pembuatannya. Semakin lama pengukusan semakin banyak protein yang hilang. Antara pengukusan dan perebusan tidak jauh berbeda dalam kehilangan proteinnya. Dengan cara pengukusan akan lebih cepat kering daripada dengan perebusan.
Inokulum yang digunakan sangat mempengaruhi rasa. Hal ini karena pengaruh strain kapang dalam inokulasi berbeda satu sama lain. Kenampakan tempe putih / agak kekuningan dapat dipengaruhi bahan campuran, inokulum dan juga selama proses pembuatannya yang melalui perendaman, pengelupasan kulit, pemasakan, inokulasi, pengukuran, serta inkubasi.
Proses pencucian dan perendaman amat diperlukan untuk menghilangkan inhibitor dari kedelai serta mempermudah proses pengelupasan kulit. Kedelainya harus dipilih yang baik (tidak busuk dan tidak kotor). Air yang digunakan harus bersih, tidak berbau dan tidak berkuman penyakit. Bibit tempe dipilih yang masih aktif (diremas, tidak menggumpal). Cara pengerjaan harus bersih.
Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga kadar air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi sekitar 4,5 – 5,3. Bakteri yang berkembang pada kondisi tersebut antara lain Lactobacillus casei, Streptococcus faecium, dan Streptococcus epidermidis. Kondisi ini memungkinkan terhambatnya pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen dan pembusuk yang tidak tahan terhadap asam. Selain itu, peningkatan kualitas organoleptiknya juga terjadi dengan terbentuknya aroma dan flavor yang unik.
Proses pengelupasan untuk mempercepat proses fermentasi agar berjalan dengan baik karena adanya kulit ari dapat menghambat proses penetrasi miselium Rhizopus.
Proses pengeringan dimaksydkan untuk menghilangkan kandungan air yang terdapat dalam kedelai. Bila masih ada cukup banyak air akan mengakibatkan berkembangnya bakteri Bacillus subtitis yang menghambat perkembangan kapang sehingga hasil tempe yang
kurang baik.
Proses pengeringan dapat dilakukan pada ruang terbuka kemudian inokulasi jika suhu sudah dibawah 40°C. Proses fermentasi dilakukan pada suhu 35°C / lebih rendah dengan media pembungkus. Fermentasi akan berjalan baik pada kisaran suhu hangat ruangan, karena proses insersi lag phase membutuhkan suhu yang cukup. Jika suhu dibawah 25°C dapat
mempercepat Aspergillus flavus dan Mytoxin yang beracun.
Pemilihan media pembungkus sangat penting, biasanya menggunakan daun pisang tapi lebih baik menggunakan plastik. Pelubangan media pembungkus dilakukan secara teratur untuk mendorong pertumbuhan jamur tempe dengan baik secara aerasi untuk mendapatkan cukup udara. Pemilihan suhu inkubasi sangat menentukan kecepatan fermentasi. Tempe yang dihasilkan kurang baik jika temperaturnya dibawah 25°C atau diatas 40°C. Pada suhu 37-38°C akan dihasilkan tempe dalam waktu 48 jam.
Diantara 16-20 jam proses fermentasi akan dihasilkan miselium pada tempe, tapi belum terlalu banyak. Kemudian setelah fermentasi 12-16 jam, fermentasi akan menghasilkan panas. Bila tempe yang dihasilkan tidak beraroma dan berasa manis mengindikasikan adanya kontaminasi bakteri. Sedangkan bila dihasilkan aroma berarti proses fermentasi terlalu lama. Apabila di sekitar lubang aerasi terdapat warna hitam, menandakan terjadinya sporalasi jamur (fungus).
Warna kuning khas tempe merupakan hasil biosintesis β-carotine dan Rhizopus oligosporus yang menandakan proses fermentasi berjalan cukup baik.
Rhizopus oligosporus termasuk dalam jenis fungi berfilamen sehingga disebut juga kapang (mold) Rhizopus oligosporus. Kapang ini digunakan dalam pembuatan tempe melalui fermentasi dengan bahan dasar kedelai. Rhizopus oligosporus membentuk hifa penetrasi rata-rata 1400 μm2 (+300μm2) diluar permukaan kotiledon dan1010μm2 (340μm2) pada bagian dalam (flat). Hifa terinfiltasi pada 742 μm2 atau sekitar 25% rata-rata lebar kotiledon kedelai. Kemudian proses fermentasi terjadi secara aerob melalui lubang berpori pada pembungkus. Proses fermentasi mengakibatkan semakin meningkatnya nilai protein dan gizi dibandingkan dengan bahan dasarnya, yaitu kedelai. Pada proses fermentasi ini, protein dalam kedelai dapat terurai menjadi asam-asam amino yang mudah dicerna oleh tubuh dan oleh enzim fitase yang berfungsi memecah fitat yang merugikan, yaitu mengikat beberapa mineral, sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal dalam tubuh, serta adanya
pengaruh dari enzim-enzim β-glukoksidase yang menghidrolisa glukosa isoflavon sehingga kandungan daidzein geinsten dalam tempe meningkat berfungsi sebagi antioksidan terhadap kanker. Hal tersebut diperkuat oleh Ali (2008).
Proses fermentasi yang terjadi pada tempe berfungsi untuk mengubah senyawa makromolekul komplek yang terdapat pada kedelai (seperti protein, lemak, dan karbohidrat) menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti peptida, asam amino, asam lemak dan monosakarida. Spesies-spesies kapang yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi racun, bahkan kapang itu mampu melindungi tempe terhadap kapang penghasil aflatoksin, jamur yang dipakai untuk membuat tempe dapat menurunkan kadar aflatoksin hingga 70%. Selain itu tempe juga mengandung senyawa anti bakte ri yang diproduksi kapang selama fermentasi berlangsung (Ali, 2008).
V. KESIMPULAN
Tempe yang baik yaitu terlihat pertumbuhan misellium yang merata dan memiliki aroma yang dikeluarkan aroma khas tempe. Tempe yang dibuat secara keseluruhan oleh praktikan tidak berhasil karena pertumbuhan misellium pada kacang kedelai tidak
menyebar rata dan menghasilkan bau aroma amoniak dan menyengat.
Dan berdasarkan hasil kelompok 4 berhasil membuat tempe karena tempe yang dihasilkan terdapat pertumbuhan misellium yang menyebar rata dan bau aromanya khas tempe.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, I. 2008. Buat Tempe Yuuuuk . (http://iqbalali.com/2008/05/07/buat-tempe-yuuuuk/.) (Diakses pada tanggal 15 Oktober 2013).
Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Lia. 2012. Pembuatan Tempe. (http://liajegeg2.blogspot.com). [diakses 10 oktober 2012 : 08.32 WIB].
Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Sudarmadji, S and P. Markakis. 1977. Phytate and Phytase of Soybean Tempe. J. Sci. Food Agric. 28 : 381-394.