LAMPIRAN A
FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR
Nim Mahasiswa 00000026395
Nama Mahasiswa : Laurentius Setiawan
Program Studi : Jurnalistik
Nama Dosen Pembimbing : Veronika, S.Sos., M.Si.
NO TANGGAL
BIMBINGAN
CATATAN BIMBINGAN TANDA
TANGAN PEMBIMBING 1 24 Februari
2020
Mengubah judul menjadi fenomenologi peliputan agama
Melengkapi penelitian terdahulu yang lebih beragam
Mencari permasalahan untuk latar belakang
2 2 Maret 2020 Mencari referesi penelitian mengenai media & agama Urgensi masih belum Nampak Riset mengenai media-media yang memilki rubrik keagamaan Memperdalam fenomenologi.
Memilih apakah menggunakan fenomenologi deskriptif atau interpretatif.
Merevisi bab 2 dan 3
menyesuaikan dengan metode yang dipilih
3 12 Maret 2020 Perdalam konsep fenomenologi, terutama
fenomenologi interpretatif. Cari sejarah dan perkembangannya.
Perkuat latar belakang dengan mencari contoh-contoh permasalahan.
4 19 Maret 2020 Cari referensi apakah fenomenologi dapat digunakan dalam bidang jurnalistik
Rapihkan cara penyampaian Mulai cari narasumber
5 26 Maret 2020 - Pematangan metode penelitian dan informan
6 3 April 2020 - Perdalam pertanyaan kepada informan pertama dan kedua, catat hal-hal yang perlu ditanyakan kembali.
7 6 Mei 2020 - Coding informan pertama dan kedua diperdalam, cari
pemaknaan
- Tulis hasil coding informan pertama kedua ketiga dalam bentuk hasil penelitian di bab 4
8 17 Mei 2020 - Rapihkan penulisan pada hasil penelitian
- Ubah kutipan langsung menjadi lebih singkat di hasil penelitian
- Munculkan pemaknaan dari tiap informan
9 25 Mei 2020 - Gabungkan teori dan konsep dalam pembahasan
10 1 Juni 2020 - Rapihkan penulisan untuk bab 1
- Kasih tanda untuk pemaknaan di hasil penelitian dan
pembahasan
11 10 Juni 2020 - Menambahkan bahan bacaan untuk melakukan pembahasan 12 12 Juni 2020 - Finalisasi skripsi
Cat:
Minimal bimbingan Skripsi/TA adalah 8 kali, Form wajib dilampirkan di laporan Skripsi
Tanda Tangan Pembimbing
( Veronika, S.Sos., M.Si.) Nama Dosen Pembimbing
Transkrip Audio Wawancara Rio Tuasikal
Dilaksanakan pada:
Sesi 1: 6 April 2020, pukul 19.00 WIB Sesi 2: 15 Mei 2020, pukul 14.00 WIB Dilakukan via Zoom
Mas Rio boleh perkenalkan dulu nama lengkap, usia berapa, dan juga bekerja sebagai jurnalis itu berapa lama?
Nama saya Rio Tuasikal, usianya tahun ini sih 28 ya, dan sudah bekerja di industri media dari 2014. Berarti masuk 6 tahun lebih.
Selama 6 tahun itu, bisa diceritakan mengenai perjalanan karirnya mas?
Awalnya di media apa, sampai sekarang ada di media apa?
Jadi begitu lulus kuliah di Bandung jadi langsung kerja sebagai reporter dan juga penyiar di radio di Jakarta. Namanya kantor berita radio KBR. Nah pas sudah 3,5 tahun dapat kesempatan untuk fellowship bareng VOA di Washington DC. Jadi setahun di sana, balik ke Indonesia tahun 2018. Terus lanjut meliput buat VOA sampai sekarang. Berarti VOA juga sudah 3 tahun.
Sebelumnya saya ingin bertanya, kalau Mas Rio ini sendiri agamanya agama apa ya mas?
Coba ditebak, hehehe.
Kristen mungkin mas?
Karena dari nama ya?
Iya mas hehe.
Enggak sih kebetulan saya Muslim. Jadi kalau keluarga sih Muslim practicing gitu yah. Terus kalau saya sih tidak terlalu religius sih, tapi tetap practicing yah. Was born and raise in a modest Muslim family.
Selama ini ketika di bangku sekolah, kuliah, lulus, sampai bekerja, apakah lingkungan sekitar Mas Rio lebih didominasi oleh orang-orang Muslim atau mungkin cukup beragam?
Sebenarnya sih kalau dari sekolah, dari SD, SMP, SMA kan sekolah negeri ya. Dan memang kalau di daerah Bandung kan mayoritasnya agama Muslim begitu. Cuma memang ada kayak semacam 3 atau 4 kan yang Kristen misalnya. Ada juga waktu itu sebenarnya Kristennya bahkan Saksi Yehova. Jadi mungkin unik juga pengalamannya. Hmmm.. Jadi sebenarnya sih mayoritas memang Muslim, tapi di
beberapa kesempatan sekolah itu ya sering-sering ngobrol gitu. Dan untuk isu-isu yang kayak gitu. Nah sebenarnya yang lebih beragam pas kuliah. Jadi pas kuliah itu kan, hmmm, kalau kampus itu kan lebih urban yah. Jadi orang-orang dari berbagai tempat itu datang gitu. Dan saat itu mulai kenal sama, gimana yah, karena saya di pers kampus kan, terus kayak kenal sesama UKM. Ada persatuan mahasiswa Kristen, terus ada KMK untuk yang Katoliknya. Terus ada DKMnya jelas, yang Muslimnya juga ada. Nah kebetulan pas kuliah itu, ikut komunitas lintas iman itu.
Jadi itu, pas semester berapa ya, kayaknya pas sudah semester 5 atau 6 gitu deh.
Nah di komunitas itu terus ikut interfaith camp. Sudah deh, ketemu deh tuh sama semuanya. In terms of ethnicity juga beragam. Jadi selain, saya kan campuran antara Ambon dan Sunda gitu yah, jadi kayak ketemu temen-temen Tionghoa sebagai teman dekat gitu, dari situ jadi banyak banget. Mereka yang Kristen, Katolik, dan juga yang Konghucu, Budha juga ada. Selain itu juga ada Hindu, terus agama-agama yang jarang orang dengar juga. Itu juga jadi banyak. Nah sejak kuliah itu tuh. Ke sininya jadi nyambung. Dari komunitas itu, terus sudah ada network kan.
Jadi pas kerja, jadi concern ke isu-isu yang terkait keberagaman. Jadi ya sampai sekarang deh. Kira-kira seperti itu lah perubahan lingkungannya.
Berarti memang yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang terhadap isu-isu keberagaman itu saat kuliah ya Mas?
Sebenarnya kalau dari pribadi itu, dari SMP kelihatan cara berpikir sudah beda sama yang kelompok yang religius gitu. Jadi kalau orang senang ke tempat-tempat yang hmm kan biasa tuh kalau tempat-tempat yang didominasi populasinya Muslim kan sekolahnya, pasti ada baca kitab suci lah pertama. Terus banyak kegiatan di Masjid, dan lain sebagainya. Saya enggak. Terus pas SMA, justru lebih ketat lagi tuh. Jadi kayak teman-temannya religius banget. Dan ada wajib sholat duha gitu jam 10 something. Barulah di situ mulai berasa kayak mulai berjarak gitu. Tapi kalau pengenalan terhadap topik-topik itu secara pasti sih memang di kuliah yah.
Jadi misalnya dikenalkan dengan istilah pluralism atau sekularism. Terus kayak religius tolerence, interfaith, itu ya pas kuliah. Tapi sebenarnya kalau dari cara pandang saya memandang orang-orang yang beda itu dari dulu sudah kayak gitu.
Saya tidak suka orang yang konservatif. Dari dulu itu dari dulu. Walaupun pas akhir SMA sempet tuh kayak ikut mentoring keagamaan, kayak gitu. Jadi agak fluktuatif gitu. Tapi sebenarnya secara umum dari dulu, dari SMP tuh gak suka sama yang konservatif. Terus gak suka tuh sama orang-orang yang ngejelekin agama lain. Tapi kalau kenalan sama konsep-konsep itu memang pas kuliah, pas gabung di komunitas.
Ketika bekerja sebagai jurnalis kurang lebih 6 tahun, Mas Rio ini memang lebih banyak ditugaskan di desk apa sih mas? Apakah dari awal memang langsung di desk tentang topik keberagaman atau berubah-ubah?
Jadi kalau bicaranya desk ya, harus berdasarkan desk, sebenarnya kalau desk itu agak susah. Karena di industri media, sebenarnya tidak ada namanya desk keberagaman gitu yah. Biasanya sih kalau sejauh pengalaman saya, isunya itu pasti
masuk kalau di koran nih, pasti politik deh. Atau enggak yang unsur-unsur kebudayaannya kayak Cap Go Meh, pasti humaniora atau budaya. Nah kalau ditanya desk menulis kayak gini, itu susah ngejawabnya karena di industri tidak ada desk keberagaman. Tapi mungkin begini ya kalau saya boleh jelasin. Jadi pengalaman saya sih dari dulu seringnya kan isunya diputar-putar dulu ya. Biasanya kan kalau reporter baru isunya diputar-putar dulu. KPK lah, terus DPR, terus lingkungan, terus ke Komnas HAM beberapa kali untuk konferensi pers. Nah cuma memang di saat itu, memang kalau pas liputan di Komnas HAM tuh kayak ngerasa lebih, "kok aku tahu ya isu-isu ini". Apa lagi kalau waktu itu kan isu yang lama tuh misalnya kayak GKI Yasmin misalnya, filadelfia. Itu kan running terus. Dan, "oh isu ini yang selama ini ada di komunitas ini kan yang diomongin di komunitas".
Dan pas nyambung ke kerjaan, berarti memang liputannya beat nya memang di sini ya. Jadi mungkin bukan desk kali ya tapi kayak per kasus gitu. Nah ketika ada kesempatan untuk nulis kasus-kasus tersebut, akhirnya sering dipercaya untuk meliput gitu. Jadi kayak misalnya kayak, korlip itu kan kayak kasih tahu kan, kamu besok ke sini nih, ke sini nih, ke sini nih. Nah saya tuh biasanya gak ditempatin di ekonomi karena tulisan ekonomi saya tuh jelek. Jadi saya tuh dilihat strenghnya tuh di isu itu. Jadi saya ditempatin lah di Komnas HAM, terus mereka datang lah ke DPR, jadi saya ke DPR meliput isu itu. Atau enggak mereka bikin konferensi pers jadi saya datang. Atau enggak meliput di sebrang istana. Ibadah yang tiap 2 minggu itu. Cuma memang kalau pengalaman secara umum, saya lebih banyak di desk politik sih. Sudah gitu kalau di desk politik kan dikaitkannya banyak banget. Ada yang kelompok minoritas, ada yang kebijakan, terus kayak pelanggaran HAM juga.
Itu biasanya sih rata-rata di politk. Banyak banget teman-teman yang sering di isu ini, jarang banget yang mereka latar belakangnya desk ekonomi misalnya gitu.
Temenku juga ada yang di Kompas, dia itu desknya humaniora. Jadi kayak gender dan perempuan. Nah ketika ada isu-isu tersebut, dia yang dapat kepercayaan gitu.
Kalau saya dari desk politik kali yah, politik dan hukum gitu. Jadi dipercaya ke isu ini dari desk tersebut.
Berarti kalau meliput isu-isu keberagaman itu lebih kasus ke kasus ya mas?
Iya betul.
Mas saya mau tanya nih, kalau Mas Rio ini kan sekarang jadi jurnalis di VOA kan mas, tapi kenapa di Indonesia sih mas? Apakah mas memang di VOA Indonesia atau sebetulnya lagi di rolling aja penempatannya?
Enggak sih. Memang beda-beda aja job positionnya. Kalau Jini (narasumber satu) kan sekarang ngisi di sana fulltime dia daftar. Kalau saya sih sementara mau S2 dulu, jadi fokus di Indonesia dulu. Memang beda posisinya.
Berarti di VOA sekarang Mas Rio tuh jurnalis lepas atau part time gitu mas?
Disebutnya itu koresponden. Jadi kalau koresponden itu secara ketenagakerjaan memang bukan fulltime. Tapi secara day to day work, itu tiap hari gitu. Bedanya
sama stringer misalnya, kalau stringer kan kalau ada tertentu saja. Tapi kalau koresponden tuh benar-benar daily kayak fulltime. Jadi kalau dari segi ketenagakerjaan dia bukan fulltime, tapi kalau dari segi kerjaannya seperti fulltime.
Untuk hasil outputnya, Mas Rio fokus di tulisan atau ada output lain?
Kalau saya fokusnya di tulisan tapi merangkap sama siaran radio. Jadi satu VOA itu kan afiliasi gitu kan. Jadi kalau Jini tuh di sana ngurus TV. Kalau saya tuh koresponden Indonesia ngurusnya radio sama teks online gitu. Jadi mayoritas kerjaannya ya bikin naskah untuk diupload online. Sudah gitu, naskah yang sama saya bacain juga terus diproduksi audionya buat jadi siaran berita pendek, 2 setengah menit gitu. Walaupun di samping itu tetap ambil video. Satu dua kali lah sebulan. Kalau ada yang menarik gitu.
Selama Mas Rio ditugaskan, Mas Rio ingat gak pertama kali banget liputan tentang isu keagamaan itu tentang apa?
Wah sudah lupa. Sudah lupa nih saya. 2014 soalnya. Tapi yang agak landmark, maksudnya yang agak mudah diingat itu kayaknya sih, kan 2014 itu mulai kerja Januari, kayaknya sih Paskah pas 2014. Itu sudah liputan di sebrang istana sih seinget saya. Karena Yasmin sama Filadelfia kan bikin, hmmm, paskah sebrang istana kan. Mulai dari situ mulai kenal sama temen-temen jemaat gitu. Dan itu sih yang paling saya ingat.
Kalau ketika liputan Paskah 2014 itu liputannya apakah cuma melaporkan event atau ada laporan mendalam?
Hmmm, gimana ya, jadi sebenarnya kalau kayak gitu sih benar-benar bergantung format berita yang diminta sama media masing-masing ya. Saat itu kan kerjanya untuk KBR. KBR itu radio dan dia itu beritanya sangat singkat kan kalau radio. Jadi tidak mungkin mengupas panjang. Nah kedua, biasanya kalau di teksnya yang akan diupload ke onlinenya, paling ada satu paragraf tambahan. Paragraf itu menjelaskan background sedikit. Yang jadi pegangan saya dari dulu adalah bukan cuma beberapa media yang kayak meliput Paskah sekian gitu, dan pesan mereka tahun ini apa. Enggak gitu. Tapi lebih kayak, ditambahin Yasmin ini tuh sudah dari tahun kapan sih ditutupnya? Dan dia ternyata sudah menang di Mahkamah Agung kan.
Terus kalau Filadelfia sudah kayak gimana sih status hukumnya. Terus sejak tahun kapan mereka itu ibadah di sebrang Istana. Jadi buat memberikan gambaran ke pendengar itu masalahnya serumit apa. Tentu beda banget waktu nulis untuk KBR dan VOA. Kalau VOA kan lebih panjang gitu. Lebih leluasa dan konteks-konteks dan sejarah itu bisa diperpanjang gitu.
Mungkin saya akan kasih konteks ketika Mas Rio di VOA. Karena nampaknya di VOA Mas Rio meliputnya lebih mendalam. Saya coba ganti pertanyaannya ya mas. Kalau ketika liputan ini Mas Rio pernah gak liputannya jadi kontroversi?
Sebenarnya sih ada beberapa ya yang saya ingat. Kayak misalnya untuk imlek tahun yang sebelumnya lagi tahun 2019. Jadi waktu itu di Bogor kan mau bikin perayaan Cap Go Meh yang sudah diselenggakrain bertahun-tahun. Terus di tahun itu, perayaan itu ditekan sama kelompok intoleran gitu untuk dibubarkan. Tapi si Bima Arya-nya itu tetap menyelanggarakan acara tersebut. Terus ya lumayan lah kontroversinya. Kayak berapa ratus share gitu. Lumayan orang-orang pada komen.
Terus juga ada lagi. Jadi di tahun yang sama juga di tahun 2019 itu Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil tuh dituduh bikin Masjid iluminati tuh. Gak penting banget sih sebenarnya isunya. Yang di jalan tol kilometer berapa gitu Masjid rancangan dia. Nah itu banyak segitiganya. Jadi dituduh iluminati lah. Terus datang ke acara klarifikasinya Ridwan Kamil yang dihadiri sama ratusan orang gitu. Yaitu nulis, dan banyak yaitulah, hujatan-hujatan di facebook sih terutama. Di facebooknya VOA sih. Tapi buat sambil ngeliat lagi, apa gitu yang benar-benar diingat yah.
Hujatan di facebook VOA itu bentuknya apa sih mas? Apakah menghujat hasil karyanya atau menghujat jurnalisnya?
Sebenarnya macem-macem sih target hujatannya. Jadi pertamanya selalu kayak gini. Secara umum kalau media yang menulis isu keberagaman dengan perspektif hukum gitu, lalu dibilang kayak membela kelompok anu kelompok anu. Walaupun sebenarnya terlepas dari kelompok-kelompok yang diangkat kan dari segi hukumnya. Dan segi perlindungan terhadap warganya gitu. Bukan soal kepercayaannya bahwa kayak, Ahmadiyah mempercayai A, beda sama yang mainstream di Sunni dan Syah gitu. Syah mempercayai B, beda sama Sunni gitu.
Atau enggak berdebat soal trinitas, enggak berdebat soal itu. Tapi lebih kayak, bahwa mereka punya hak untuk mendirikan rumah ibadah gitu kan. Bahwa mereka sudah sampai ke MA misalnya untuk GKI Yasmin. Itu kan masalah hukum. Bukan masalah kepercayaan gitu. Tapi selalu dapat, dianggap, dan dinilai bahwa ini propaganda apa gitu. Jadi gini, ini kan memang jaman polarisasi banget nih. Jadi ketika ada kelompok Muslim gitu ya, yang kecewa sama pemberitaan VOA misalnya karena ada terorisme gitu misalnya. Terus dibilang VOA propaganda.
Tapi kalau ada berita yang misalnya, kayak kemarin tuh Gereja Bethel di Bandung kan ngadain acara tuh yang 35% pesertanya kena corona. Wah itu dihujat-hujat gerejanya tuh bukan VOAnya tuh. Jadi kayak apa ya, jadi mereka menghujatnya itu berdasarkan iman mereka sendiri kan. Jadi kalau ada yang "dianggap" dinilai merugikan kelompok mereka, mereka gak suka sama beritanya ya mereka hujat VOA. Tapi kalau ada kelompok lain yang diangkat gitu dan jelek, mereka puji-puji VOA gitu jadinya. Jadi ya bagi VOA sendiri tugas jurnalistiknya sehari-hari adalah gak ngurusin mau kelompok A B C, ya kalau corona ya diangkat. Atau kayak GKI Yasmin ya diangkat. Jadi bukan soal kelompok mana. Cuma kan masyarakat umum menilainya dipermukaan kan.
Cukup menarik ketika Mas Rio cerita bahwa yang menghujat di facebooknya VOA. Tapi Mas Rio sendiri sebagai jurnalis, pernah gak mas secara personal dapat hujatan? Mungkin lewat sosial media atau media lain.
Pernah, pernah, pernah. Kalau gak salah sih, ini sih saat waktu kemarin. Jadi kan Agustus kemarin saya ngikutin GKI Yasmin kan. Tapi mau kasih angle yang berbeda. Jadi anglenya dari anak-anak Yasminnya. Jadi bukan cuma soal mereka ibadah dan selesai seperti yang dilakukan sama media-media lain. Cuma ibadah dan selesai. Tapi saya tuh ngikutin anak-anak Yasmin dari dua minggu sebelum mereka 17an di Istana. Terus saya bikin judulnya adalah anak-anak GKI Yasmin 11 tahun tumbuh dalam diskriminasi. Lumayan sih, seratusan lah sharenya. Terus kayak ada tiga ratusan komen. Hmmm, jadi kalau ada yang suka mempertanyakan kualitas jurnalistiknya di kolom komentar, saya juga sering ikut balas juga sih, hehehe.
Misalnya gini yah. Wah ini penulisnya pasti Kristen, sudah gitu namanya Tausikal lagi. Kan di situ ada kan nama penulisnya gitu. Jadi hujatan-hujatan secara pribadi sih paling ya kayak gitu. "Wah ini kalau Muslim pasti dipertanyakan akidahnya", begitu juga ada. Nih saya ada temuin satu contoh ya saya sambil buka artikel-artikel saya. Jadi di artikel tersebut, di komennya ada yang bilang, "bikin artikel provokasi biar banyak yang baca dan komen. Terus rating naik. Ada alasannya itu disegel,"
kata dia. Terus saya komenlah di bawahnya. "Disegel karena kelompok tertentu.
Mahkamah Agung sudah perintahkan pemkot membuka gereja sejak 2010.
Sekarang pertanyaannya, kenapa putusan pengadilan belum dijalankan?" begitu.
Jadi saya suka terpancing untuk komen. Terutama ketika secara umum, komentarnya itu gak menangkap apa yang jadi pesan beritanya gitu. Toh di dalam badan beritanya kan sudah dijelaskan, status hukumnya dan lain-lain. Kalau orang masih menghujat berdasarkan judul, dan mereka kan gak suka sama isinya. Jadi gini, kalau kita sebagai jurnalis kan menilai sebuah berita itu, ya ada orang yang terdampak gitu kan. Perspektif kita juga hukum, hak asasi manusia, ini sudah sampai MA dan lain-lain. Tapi kan kalau orang-orang cuma suka gak suka aja kan sama beritanya kan. Seperti yang saya sebut tadi. Kalau menurut dia menjelekan kelompok lain, ya itu beritanya bagus. Tapi kalau menjelekkan kelompok dia sendiri, gak suka. Kayak gitu aja terus, hahaha.
Mas Rio saya masih ingin tanya-tanya lagi. Mungkin biar lebih enak, kita akan kasih konteksnya itu soal GKI Yasmin ya. Karena kan ini salah satu isu keagamaan yang selalu heboh dari dulu di Indonesia, seperti belum berakhir.
Ketika meliput soal GKI Yasmin, Mas Rio perannya selain turun ke lapangan, ada peran lain gak sih mas? Misalnya di pra produksi untuk riset, atau mungkin di editing?
Sebenarnya workflownya agak beda sih. Dan workflow yang barusan itu kan seakan-akan seperti reporter itu dapat penugasan gitu kan. Dan ide itu seperti digodok dulu oleh tim. Jadi kayak mengajukan ide, melakukan riset, dan ketika ide disetujui terus ada penugasan gitu kan. Sedangkan kalau workflow saya tidak seperti itu. Karena workflownya adalah, saya dan editor bisa picthing. Pada kasus GKI Yasmin, itu saya yang pitching ke editor. Jadi saya tahu ada momen 17 Agustus bakal ngapain. Dan waktu itu kebetulan saya sambil ngerjain tugas kuliah sih. Saya kan kemarin kuliah di Ateneo tuh di kampusnya Pak Lilik tuh. Terus ada tugas foto. Terus yasudah, saya mikir apa ya untuk tugas foto. Yasudah saya
sekalian aja kerjain itu. Jadi saya ke Bogor tuh kayak dua kali gitu. Dari Bandung ya. Jadi waktu itu memang pitching. Saya pitching ke editor dan editor suka gitu.
Jadi kalau ditanya apakah terlibat dalam riset, risetnya saya lakukan sendiri sebelum pitching. Dan kalau pasca produksi, setelahnya gitu ya, itu kan biasanya editor yang benerin. Cuma saya gak tahu nih editor saya tuh biasanya cuma isi edit saja. Jadi ya isi teks doang. Saya gak tahu apakah memang dia suka sama tulisannya atau sibuk aja gitu. Tapi rata-rata cuma isi teks sih. Jarang banget yang minta tulisannya itu dieditnya banyak gitu. Heavy edit, jarang banget. Kayak cuma satu atau dua lah selama ini. Jadi kalau berkaca dari pengalaman itu, ya mungkin itu berlaku juga ke tulisan ini gitu. Jadi sebenarnya pas setelah diproduksi, terus pas diproduksi ya waktu itu sih cuma ini aja sih, yang membedakannya adalah, saya kan pitchingnya ke editor yah. Editor yang satu nih, terus pas dieditnya sama editor yang lain. Sama editor yang lain tuh menurut dia tulisannya kayak kepanjangan. Jadi kayak ceritanya harus dipersingkat gitu. Padahal saya ingin menambah sisi humanisnya gitu dengan menambah narasi sedikit lebih panjang. Cuma kata editor itu kepanjangan. Tapi secara ide dan gagasan, gak ada perubahan. Jadi itu cuma masalah teknis doang. Karena masalah durasi. Itu doang sih.
Saya tertarik untuk mengetahui lebih lanjut soal risetnya itu mas. Mas Rio ketika riset itu, risetnya seperti apa sih mas? Apakah hanya riset dari baca- baca di internet, atau ada hal lain yang dilakukan?
Wah untung banget kasus yang diangkat itu contohnya GKI Yasmin. Karena ini kerjanya memang gila-gilaan. Jadi waktu itu gini. Saya kan domisili di Bandung yah, dan waktu itu tuh hmmm. Saya ingat waktu itu saya tuh habis balik darimana gitu, kalau gak salah saya habis balik dari Bangkok. Terus saya transit di Jakarta bentar. Dan saat itu saya ngontak temen Yasmin yang sudah lama gak ngontak. Jadi cuma kayak sebagai teman facebook yang saling like dan komen. Tapi komunikasinya gak terlalu intens. Jadi pada saat itu saya cuma kontak, "mbak apa kabar?" dan lain-lain. Terus saya menyatakan maksud gitu bahwa saya ingin meliput itu untuk 17an. Yang waktu itu masih kurang lebih sebulan lagi. Terus dia welcome aja. Dan saya minta ketemu aja waktu itu. Jadi saya kereta ke Bandung jam 10 malam, tapi saya dari Jakarta ke Bogor dulu buat ketemu dia. Maksain banget. Untuk nunjukin niat saya, bahwa saya itu serius. Terus datang, kita ketemu berdua, terus kita cerita-cerita. Saya cerita kalau saya mau ambil angle anak gitu.
Dan karena yang deket sama saya itu kan tim komunikasinya Yasmin ya. Jadi mereka tuh orang yang ngerti foto, orang yang ngerti nulis gitu, dan ngerti pemberitaan. Jadi mereka cukup bisa bicara soal angle sama narasumber. Kata mereka, mereka akan cari kontaknya. Dan ketika saya balik ke Bandung, update gitu kan. Ada nih yang mau, ada nih yang mau. Tapi coba kontak dulu sama bapaknya minta izin. Terus minggun depannya saya datang lagi ke situ untuk wawancara tuh. Jadi waktu itu kayak ketemu sama si anaknya. Dan anaknya kuliah di UI. Jadi saya dari Bogor ke Depok, ke UI. Wawancara, dan saya balik lagi ke Bogor. Terus besoknya tuh ada sesuatu saya lupa, baru habis itu saya ngikutin jemaat berangkat dari Bogor sampai ke Istana naik mobil mereka. Jadi kira-kira seperti itu. Jadi risetnya itu ya, karena networknya sudah terbangun ya, jadi gak
terlalu sulit. Saya tahu mereka bakal ngadain sesuatu, karena liat sesuatu di facebook gitu. Jadi saya pun dapat ide. Oh iya ya kenapa saya gak ngangkat soal ini, begitu. Terus diantara wawancara-wawancara itu juga saya sempat menyelinap ke lahannya. Saya ambil foto-foto di dalamnya gitu. Terus saya bikin beberapa foto gitu lah. Selesainya itu, hmmm, berapa kali ya. Tiga kali sih wawancaranya.
Maksudnya gini. Jadi sebelum actual wawancaranya kan satu kali yang ke Bogor itu kan. Terus pertemuan kedua sudah sama anaknya, dan ngobrol-ngobrol dulu tuh.
Dan barulah yang ketiga, yang di UI, nah itu baru wawancara. Terus yang keempat adalah ketika perjalanan itu, dari Bogor ke Istana. Terus habis dari Istana wawancara lagi. a
Berarti selain referensi literatur, Mas Rio juga sampai wawancara 2 kali ya mas untuk riset. Kalau dari waktu pengerjaannya, apakah Mas Rio masih ingat waktu total mengerjakan seluruh rangkaian liputan mengenai GKI Yasmin?
Sebulan ini mengerjakannya. Karena memang ini kan bukan untuk liputan doang kan. Karena memang ada tugas kuliah juga gitu. Jadi hmmm, bentar ya saya sambil liat arsip dulu. Yasmin itu kan Agustus. Oke, sebulan sih bener. Dari mulai ke Bogor dulu bulan Juli gitu pertamanya banget. Terus seinget saya sih waktu itu langsung seminggu kemudian itu ditemuin lagi sama si anak yang mau ngobrol.
Nah habis itu kenalan dulu, ngobrol-ngobrol, makan doang gitu kan. Sudah gitu besoknya saya ke lahan Yasmin dulu, besoknya lagi baru ke UI. Jadi jeda satu minggu, baru setelahnya intensif satu minggu kemudian. Itu benar-benar direncanain sebulan sih. Sampai selesai itu kan diproduksinya menjadi kalau untuk VOA ya, jadi dua aja sebenarnya. Jadi satu tulisan tentang ibadahnya, satu angle lain soal anak-anaknya. Dua itu doang. Sebenarnya itu sih cepet. Satu piece satu hari selesai. Tapi yang dibikin sekaligus untuk tugas kuliah, itu lebih lama lagi prosesnya. Karena ada macem-macemlah.
Artinya satu bulan hanya untuk mengerjakan liputan GKI Yasmin ya mas?
Kalau bicara pure productionnya sih satu minggu sebenarnya. Dari actual wawancara sampai selesai dipublish itu ya satu minggu sih.
Mas Rio, untuk liputan GKI Yasmin ini kan liputan soal agama Kristen, sedangkan Mas Rio agamanya Muslim. Ketika si narasumber itu diwawancara, mereka ada nanya gak sih mas tentang agama Mas Rio? Atau mungkin sudah tahu?
Mereka sih sudah tahu ya yang saya ingat. Jadi gini ya, biasanya tuh mereka gak terlalu hmmm they don't actually care sama someone's religion gitu loh. Cuma saya ngelihat kayak hmmm kan narasumber ke jurnalis itu yang pentingnya building trust kan. Nah trustnya itu sudah terbentuk sejak lama. Yaitu ketika misalnya kita sering datang ke acara ibadah Minggu. Jadi mereka sering lihat kita datang kan.
Jadi lama kelamaan kenal gitu. Sebenarnya gak pernah ada pertanyaan apa-apa gitu.
Tapi ketika mereka sudah kenal, mereka tahu, si jurnalis ini adalah jurnalis yang concern di isu itu gitu kan. Terus misalkan ketemu lagi di acara SEJUK misalnya.
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman. Jadi kayak kenal lagi. They know that, this particular journalist is concern about the issues gitu. Jadi ya, lama-kelamaan mereka sudah percaya gitu. Terus temenan di facebook, kita ngobrol-ngobrol. Terus apa lagi ya, hmmm. Tapi saya inget sih sampai satu kali lagi ngobrol-ngobrol, mereka nanya aja santai gitu. "Eh, Mas Rio sebenarnya agamanya apa sih?". Terus ya saya kalau ditanyain kayak gitu selalu jawabnya "coba tebak", hehehe. Dan mereka selalu salah. Dan biasanya orang terjemahkan dengan persepsi nama kan. Dan mungkin penampilan fisik. Sebenarnya kalau nama belakang itu adalah marga Muslim sebenarnya. Karena kalau di Ambon kan ada yang marga Islam, ada yang marga Kristen kan. Dan itu marga Muslim sebenarnya.
Kondisinya saat ini kan Mas Rio sudah mendapatkan kepercayaan dari narasumber, dalam hal ini konteksnya GKI Yasmin. Tapi pas awal-awal membangun kepercayaannya itu sempat ada kendala gak sih mas?
Kalau dari pengalaman saya sih kendalanya bukan datang dari narasumber sih.
Karena narasumber itu dalam keadaan ingin dan butuh didengarkan kan. Butuh di amplifed lah gitu suaranya. Resistensinya kalau saya sih dari editor sebenarnya.
Karena untuk kasus yang on going gitu yah sudah lama banget, kapan kita meliput dan kapan enggak. Karena gak selalu kayak setiap kegiatan itu nilai beritanya sama kan. Jadi waktu dikerjaan lama di kantor yang lama itu, misalnya ada GKI Yasmin mau ke ini, editor yang kayak "mendingan kamu liputan ke DPR deh kayaknya.
Nilai beritanya lebih tinggi saat itu." Kurang lebih kayak gitu yah. Tapi kalau dari temen-temen Yasminnya sendiri, gak ada sih yah. Cuma mereka memang, hmmm karena kita sering datang gitu kan dan mereka tahu tulisan kita dengan perspektif yang oke gitu kan dalam perspektif hukum. Bukan menghujat, jadi ya mereka suka punya ekspektasi untuk "ayo dong mas datang lagi", "ayo dong mas datang lagi".
Padahal ya itu dia. Kan gak semua peristiwa punya nilai berita yang sama setiap saat. Walaupun memang ini agak apa ya namanya, agak complex relationship between journalist and minority group gitu loh. Jadi karena jurnalisnya adalah dianggap sebagai part of the advocacy. Sementara jurnalisnya kan harus tetap ada apa ya, tidak menjadi advokat itu sendiri. Tetap bekerja di jurnalis dan gak bisa turun untuk mendampingi mereka setiap saat. Beda sama aktivis keberaman yang bisa datang gitu. Tapi mereka selalu punya ekspektasi aku untuk bisa datang. Paling itu aja sih.
Menarik sekali ya Mas Rio ceritanya tentang GKI Yasmin. Saya ingin tanya dong mas, Mas Rio sendiri sempat meliput isu-isu keagamaan di Amerika Serikat gak mas?
Saya di Washington DC kan setahun ya. Sebenarnya kalau di sana tuh lebih ke isu- isunya adalah hmmm bagaimana komunitas Muslim beribadah di sana. Karena itu kan buat audience Indonesia tuh kayak, "Oh Muslim di sana diterima ya". Ya iyalah, hahaha. Amerika kan negara maju yang hukumnya menjamin hak setiap orang.
Pasti Islam boleh lah. Terus ya kayak diaspora Indonesia yang Muslim biasanya kan kalau liputan lebaran itu kan pasti lah. Liputan yang kayak gitu disenangin banget lah sama audience di Indonesia. Hmmm. Terus apa ya, tapi selain diaspora Indonesia, yang komunitas Muslim dari negara-negara lain. Karena di sanakan banyak banget komunitas Muslimnya. Kalau di Washington DC itu banyaknya dari hmmm negara apa ya, jadi kayak ada beberapa negara yang populasi Muslimnya cukup besar gitu. Jadi misalnya Bangladesh, atau Afghanistan, jadi kayak menulis berita-berita soal populasi Muslim yang dari negara-negara lain gitu. Terus kalau agama secara umum sih, yang lain sih gak ada ya. Cuma paling ini sih, ada kayak liputan hmmm bukan saya yang liput sih. Tapi ada VOA meliput kayak misalnya ada gereja di desa ini nih. Dilaporkan gereja itu makin sepi. Terus seiring dengan kedatangan imigran Muslim dari Timur Tengah, gerejanya jadi Masjid. Kayak gitu sih paling. Paling kayak fiercening doang. Edit ulang, dan dijadiin bahasa Indonesia, seperti itu. Cuma kalau yang saya tangkap dari VOA Indonesia, selalu framenya adalah pakai kata-kata yang menyatukan. Jadi misalnya, apa ya hmmm misalnya gini, kayak kita liputan sholat Idul Fitri aja di komunitas diaspora Indonesia pas Idul Fitri. Jadi selalu ada space untuk, "selain warga yang Muslim, ini dihadiri juga oleh people of different fate, a whole of life" gitu loh. Jadi selalu ada kalimat-kalimat seperti itu. Jadi ya selalu emphasize bahwa eventnya enklusif buat semua gitu. Jadi saya waktu itu, pernah ngeliput juga imleknya di Washington DC. Imleknya di Washington DC kan cukup besar tuh di China town nya. Jadi selalu di emphasize bahwa, ini tuh jadi kayak collective celebration gitu. Terus kalau secara TV ya, secara visual, jadi bukan cuma komunitas Tionghoanya doang dong yang dishoot gitu. Jadi kayak ngambil, "oh ini ada black American, oh ini ada white American". Jadi visual representationnya tuh bener-bener dihitung. Yang kayak acara-acara Muslim juga kalau ada yang black atau African Muslim, itu juga secara visual terus ditonjolin. Dan kalau ada orang yang secara bajunya beda banget, misalnya dia bukan Muslim nih, ada acara interfaith. Oh waktu itu ada acaranya interfaith vigil. Jadi sempet ada satu Muslim remaja gitu ya Muslimah.
Dia dibunuh gitu di dekat Washington DC. Itu serem banget kasusnya. Jadi kayak ada dukungan dari komunitas lintas agama di Washington DC buat si perempuan itu. Supaya kasusnya cepat terungkap gitu. Itu tuh bener-bener kayak yang, apa yah, shoot shoot nya dari berbagai pemuka agama dari berbagai agama tuh kayak benar- benar harus dikasih banyak gitu loh gambar-gambarnya. Terus hmmm jadi bukan cuma nunjukin si komunitas Muslimnya aja. Bahwa itu kasus menimpa muslimah Muslim, yang di Amerika adalah minoritas, ya itu satu. Tapi jangan sampai ceritanya tentang si Muslimnya aja. Tapi tetap dikasih bahwa ini dukungan dari komunitas lain, dll gitu.
Kalau di Amerika itu Mas Rio sempet gak liputan agama yang liputannya itu sempat jadi kontroversi? Misalnya saja kayak GKI Yasmin kalau kita berbicara konteksnya di Indonesia.
Sebenarnya kalau ngelihatnya beda yah gak bisa dibandingin. Karena gini, kalau di GKI Yasmin itu kan bentuk diskriminasi ya. Kalau di Amerika itu tidak ada diskriminasi. Itu sih menariknya. Jadi kalau sebenarnya bicara soal keberagaman di
Amerika, tidak akan ada tuh kita ngeliput berita yang kayak gereja disegel.
Misalnya juga Masjid disegel gara-gara mayoritas Kristen di sana protes gitu.
Misalnya aja Wali Kota mana gitu yang menyegel Gereja, ya itu belom pernah dengar yang kayak gitu. Hmmm. Cuma yang kontroversi, apa ya hmmm. Paling ini sih, kalau sudah nyerempet-nyerempet isu Palestina-Israel sih. Di situ kan rumit banget kan. Jadi isu internasional, isu politik. Terus juga tarik ulur Amerika di Timur Tengah. Di satu sisi tuh, pemberitaan mengenai Israel ya, yaitu dia. Kita pakai satu kata aja ya misalnya pake Israel occupation gitu. Berarti kalau sudah pakai occupation, secara diksi kan kita sudah memihak Palestina kan. Tapi kalau bicaranya settlement, itu bahasa yang, ya gitu deh. Saya inget waktu itu. Ada satu kantor perwakilan Palestina gitu di Washington DC itu ditutup. Gara-gara ada perundingan damai yang gak jadi gitu. Terus cukup ramai juga beritanya. Tapi saya lupa deh kayak komentar-komentaranya ada apa aja gitu.
Kalau bedanya sendiri liputan di Amerika dan Indonesia soal isu kegamaan itu apa sih mas?
Masalah yang berkembangnya beda sih. Jadi kalau di Indonesia, menurutku sebenarnya masalahnya bukan soal keberagaman. Masalahnya adalah supremasi hukumnya, Jadi hukumnya kan masih tebang pilih. Jadi kalau ada satu kasus intoleransi, misalnya gini ya. Ada rumah ibadah kelompok X di Indonesia, dilemparin bom molotov gitu. Kalau korbannya itu merupakan kelompok mayoritas, itu akan segera diusut sama Polisi. Tapi kalau rumah ibadahnya itu punya kelompok minoritas, agak susah itu. Dan itu akan jadi kasus kan. Running di media akan lama banget. Di Amerika, kalau ada bom molotov misalnya ke apa ya, ke minoritas tuh, misalnya ke Sinagog lah gitu. Itu akan langsung masuk berita, tapi polisi juga langsung nangkep. Dan itu selesai gitu. Jadi ya paling disebut sebagai hate crime. Hate speech lah, dan selesai sampai di situ. Nah kalau di Indonesia, bedanya adalah situasinya kompleks banget karena gak semua orang punya perspektif yang sama. Jadi ada kelompok intoleran ya ada. Tapi bedanya kalau di Indonesia, Polisi atau petugas. Misalnya kayak Pak Camatnya, ngasih komentar yang diskriminatif. Misalnya walikotanya, gubernur, atau bahkan menteri. Atau bahkan GKI Yasmin kan, wakil presiden Jusuf Kalla waktu bilang "sudah lah cuma satu gereja aja", kata dia waktu itu. Ya bukan gitu dong. Ini kan kita bicara soal putusan Mahkamah Agung. Tapi kalau di Amerika tuh begitu ada kasus, langsung tuh walikotanya turun. Kayak "this is hate crime. This is a hate speech against not only Moslem community. But to our community as a hall". Jadi selalu kayak gitu.
Mirip ini lah, mirip perdana menteri New Zealand. Jacinda Ardern waktu berbicara.
Jadi politisi-politisi di Amerika tuh kebanyakan ya gitu. Kalau ada kasus menimpa satu golongan, mereka akan "ini bukan hanya serangan terhadap komunitas X, ini adalah serangan kepada kita. And we as Americans, we valued diversity, we valued people of different fate." Terus besoknya pasti akan ada support action gitu dari komunitas-komunitas. Bikin spanduk "we love you", "you are accepted", selalu kayak gitu. Jadi itu kan gak ada di Indonesia. Mungkin kayak, bibitnya sama, tapi jalurnya tuh, mainstreamnya beda gitu. Kalau di Indonesia, mainstreamnya adalah, yasudah berlarut-larut kasusnya. Kalau di Amerika, mainstreamnya adalah
kasusnya cepat selesai. Walaupun tetap ada satu dua yang memang hmmm terutama di kota-kota penduduknya konservatif ya. Yang disebut bible belt, di bagian tengah itu. Mungkin ada kasus yang kayak gitu. Tapi selama ini yang terangkat sih di kota- kota besar. Dan kota-kota besar biasanya pemikirannya sudah pada maju semua sih.
Tapi kalau dari segi wartawan media, untuk meliput isu keagamaan itu lebih susah ngeliput di Amerika atau di Indonesia?
Seperti yang tadi saya bilang sih, kalau di Indonesia kan lebih rumit ya. Kita gak pernah tau. Kita biasanya sudah hopeless lah. Ada perasaan, ah sudah hopeless lah.
Pasti nanti si walikotanya bilang begini. Ini pasti si bupatinya kayak dukung kelompok ini. Kalaupun mereka mendukung kelompok minoritas, mereka pasti gak akan melakukan itu secara terbuka. Selalu kayak diem-diem. Jadi kayak apa ya, susah sih gitu. Di Indonesia tuh susah cari angle. Susah cari angle supaya bisa dibaca masyarakat umum gitu. Karena gini, sulitnya tuh. Dalam sebuah peristiwa yang ditulis berita, menurut saya kompromi itu ada dua. Satu tuh perspektifnya oke banget, jadi kayak benar-benar membela HAMnya mati-matian. Tapi itu berarti audience yang baca tuh akan sangat terpolarisasi gitu loh. Atau yang satu lagi, yasudah dilonggarin sedikit. Sehingga tulisan itu lebih diterima oleh masyarakat gitu. Karena audiencenya sendiri sangat polirized. Kecuali audiencenya tuh sudah berpikiran maju. Anak-anak komunitas lintas iman semua gitu, ya itu sih yasudah tembak aja. Tapi ini kan enggak. Jadi ya itu, susahnya adalah cari angle. Dan satu dua kali, narasumber sih. Misalnya gini ya, kalau GKI Yasmin kan sudah kenal tuh.
Tapi kayak ada hmmm oh ini saya inget. Kemarin ini saya tulis soal perempuan yang ODGJ yang bawa anjing ke Masjid di Bogor. Itu kan viral. Itu saya tulis juga tuh. Ketika saya cari kontak pengacaranya, nah dapat kan. Saya tuh kayak kenalin diri dulu gitu. Saya kenalin diri pelan-pelan. Beda banget sama GKI Yasmin.
Mungkin karena sudah tahu kan jadi bisa langsung wawancara kapan aja gitu. Tapi kalau ini tuh, harus kenalin diri dulu. Terus kan pengacaranya suka ada kayak hmmm apa ya namanya hmmm. Pas sebelum wawancaranya biasanya, "ini tuh untuk media apa ya?" gitu. Jadi dia tuh seperti ingin banyak data dulu gitu loh sebelum the actual interview. Pas direkam, pas wawancara, mungkin seiring berjalannya wawancara. Dia jadi tahu dari pilihan diksi kita kan. Kalau kita itu perspektifnya gimana di isu itu. Lama-lama pengacaranya mulai terbuka. Bahkan kasih off the record, kasih detail. Jadi bukan cuma pernyataan yang cuma iya atau enggak. Gitu sih.
Kalau dari pengalaman Mas Rio secara menyeluruh, sebetulnya kendala yang sering Mas Rio hadapi ketika meliput isu-isu keagamaan bagaimana sih mas?
Jadi gini, kalau di peliputan jurnalistik itu kan ada beberapa layer ya. Jadi pertama tuh ada editorial gitu, terus ada hmmm. Gini gini, kendala pas liputannya bisa jadi narasumber dan membangun kepercayaan terhadap narasumber. Biasanya cari narasumber tuh bisa nunggu dua jam, tiga jam, bahkan lima jam. Kalau narasumbernya itu bener-bener susah dicari dan kita harus memanfaatkan network mati-matian buat nyari itu. Kedua itu hmmm kepercayaan narasumber sih biasanya.
Yang tadi sudah dijelaskan. Nah ketiga itu adalah penulisan. Jadi seperti yang saya ceritain tadi, jadi itu rumit banget. Apa lagi ke masyarakat yang terpolarisasi. Terus yauda paling kalau sudah publish, harus siap aja gitu. Harus siap untuk dihujat- hujat. Jadi sudah biasa. Cuma kalau itu kan buat jurnalis yang rata-rata sudah nulis di isu ini ya. Biasanya pengalamannya tuh sama, kayak gitu juga. Kayak apa sih, berita penting tuh kayak gak pernah dapet perhatian yang layak dari masyarakat gitu. Cuma kalau saya concern ke temen-temen wartawan yang belum punya perspektif ini sih. Biasanya kan soal perspektifnya dia gak punya, dan yang kedua Indonesia itu kan nulis beritanya biasanya kutipan narasumber aja. Ditelan mentah- mentah gitu. Jadi kayak jurnalisme lsudah. Apa yang dikatakan narasumber, itu yang jadi berita gitu tanpa dicek, tanpa ditambahin data atau yang lain. Atau bisa aja ditambah dengan konteks peristiwa. Pasti buat mereka jauh lebih menantang sih. Dan mereka tuh gak punya akses network gitu kan. Sehingga ketika apapun yang narasumber katakan itu akan jadi berita, kita sangat bergantung terhadap perspektif si narasumber. Kalau narasumbernya oke gitu, ya alhamdulilah. Kalau enggak, ya istighfar aja, hahaha. Karena gak ada layer di reporter dan di editornya kan, di medianya itu gak ada. Jadi ya, apapun itu. Itu aja sih paling.
Baik mas. Jadi ini saya ada satu pertanyaan terakhir. Kalau berdasarkan pengalaman Mas Rio pribadi, apa sih yang butuh dipersiapkan oleh seorang jurnalis, ketika ingin meliput isu-isu terkait isu keagamaan?
Susah sih nih jawabnya, hahaha. Karena ada banyak faktor yang di luar kendali si wartawan itu. Tapi kalau menurut saya ya, dari segi internalnya yang bisa dilakukan secara pribadi, bagi si individu reporternya sendiri. Ya dia harus, pertama dia harus dapet exposure terhadap orang-orang yang beda agama, orang-orang yang beda etnis gitu. Supaya terbuka pengalamannya. Apa lagi kalau semasa kecil, hidup di lingkungan yang sangat homogen gitu. Terus kedua, saya percaya pengalaman itu akan jauh lebih penting ketimbang konsep-konsep yang dikenalkan gitu loh. Bicara masalah perspektif gitu, harus dilepasin sih jaket iman pribadinya. Dan nulisnya hanya dalam kerangka hukum saja. Satu-satunya cara yang boleh dilakukan ketika menulis agama adalah kerangka hukum. Sudah itu aja, fokus di ranah hukum aja.
Dengan melepaskan jaket iman, itu akan sangat hmmm bagi si reporter tersebut harus siap-siap, karena akan ada banyak internal konflik gitu dengan kepercayaan dia. Misalnya wartawan Muslim misalnya dan dia sangat taat, ketika dia nulis tentang GKI Yasmin mungkin dia akan ada internal battle gitu di dalam pikirannya.
Dan hal itu adalah hal yang sangat wajar. Ketiga, ya harus siap mati-matian untuk dapat narasumber. Karena networknya, kalau orang yang gak punya network di sini, itu akan sangat susah. Akan sangat susah. Apa lagi kalau newbie banget, gak punya jaringan, itu sudah bakal susah banget deh cari narsumnya. Nah tapi itu kan faktor- faktor sendiri ya. Tapi menurut saya ada faktor lain juga nih newsroomnya, di ruang redaksinya. Seperti, newsroom juga harus melakukan training gitu. Dan kerja sama dengan organisasi kontroversi. Kayak misalnya AJI atau SEJUK untuk kasih perspektif ke wartawannya di isu ini. Dan gak cuma wartawan yang reporter ya, tapi juga editor, dan juga korlip. Karena mereka yang bener-bener ngambil kendali.
Pertama apa yang diliput, kedua siapa yang meliput itu, dan bagaimana itu
disiarkan. Karena saya ada pengalaman juga. Di editornya diganti, kayak gitu, ya itu ada juga. Di luar newsroom, beyond newsroom, industri medianya juga lagi struggling kan. Karena semuanya masih orientasinya adalah klik. Jadi selama orientasinya masih kayak gitu sih, pasti akan sangat mudah mencari angle-angle yang sensasional aja gitu. Tanpa kasih perspektif yang utuh. Menurut saya kalau tiga komponen tadi ya, secara individu, newsroom, dan industri dijalankan, maka perubahannya bisa lebih mudah gitu.
Baik terima kasih Mas Rio atas waktunya, terima kasih banyak atas kesediaannya.
Sama-sama ya Lauren.
Tambahan Part 2 :
Bagaimana Mas Rio memaknai pekerjaan sebagai wartawan yang kerap meliput isu keagamaan? Apakah menurutmu mas ini merupakan pekerjaan yang tepat?
Hmmm gimana ya, kalau saya sih hmmm begini jadi kalau ditanya tepat atau tidak, mungkin saya bisa katakan ini pekerjaan yang tepat ya. Karena saya merasa cukup dekat dan tertarik dengan isu-isu seperti ini. Isu-isu keberagaman ya maksud saya.
Sehingga pekerjaan ini membuat saya itu hmmm apa ya, merasa lebih cocok aja sih. Merasa kalau memang ini yang saya bisa dan saya suka. Jadi kalau ditanya menyesal, atau misalnya tepat atau tidak. Mungkin saya bisa katakan ini tepat.
Terus untuk memaknai ya. Kalau saya sih memaknai profesi ini sebagai profesi yang saya senangi ya. Pertama mungkin karena memang isu yang diliput itu hmmm dekat lah gitu sama saya. Jadi saya seneng-seneng aja. Selain itu juga saya banyak belajar sih di sini. Saya banyak melihat perspektif baru dari berbagai keagamaan.
Meskipun memang dalam menulis, saya lebih mengutamakan perspektif hukum.
Tapi dengan profesi ini, ilmu pengetahuan mengenai agama-agama lain pun saya jadi ikut belajar gitu loh. Saya juga menganggap bahwa profesi ini menjadikan saya pribadi yang lebih toleran, pribadi yang lebih baik, dan lebih peduli terhadap hak- hak tiap kelompok.
Transkrip Audio Wawancara Virginia Gunawan
Dilaksanakan pada:
Sesi 1: 28 Maret 2020, pukul 20.00 WIB Sesi 2: 12 April 2020, pukul 21.00 WIB Dilakukan via Zoom
Mbak Jini perkenalkan dulu nama lengkap, usia, dan sudah berapa lama bekerja sebagai wartawan?
Nama saya Virginia Gunawan, sekarang umurnya 30 tahun, bekerja sebagai wartawan sejak 2016. Terus 2,5 tahun di Voice of America di Washington DC, 1 tahun di Kumparan di Indonesia, terus sekarang balik lagi ke Amerika. Kerja di Washington DC, di Voice of America lagi.
Dari perjalanan karirnya itu mbak, dari pertama kan di VOA terus ke Kumparan, terus ke VOA lagi. Bisa jelasin tentang jenjang karirnya gak mbak? Di VOA pertama jadi apa, ke Kumparan jadi apa, dan balik lagi ke VOA jadi apa?
Sebenarnya kalau mau dirunut ceritanya sih dari awal dari kuliah S1 sebenarnya pengen jadi wartawan. [jeda].. Tapi.. Jadi aku lulus S1 konsentrasi di print and online journalism. Tapi setelah lulus, ketahuan tuh sama papi aku dan gak boleh.
Karena satu aku perempuan, kedua aku chinese. Ketakutan soal isu ras di Indonesia memang sangat, sangat apa ya, sangat mempengaruhi orang tua aku untuk melarang aku kerja sebagai wartawan. Lalu setelah itu aku cari beasiswa, terus aku dapet beasiswa untuk sekolah di Amerika. Ngambilnya tetep jurnalistik, multimedia journalism. Dan setelah sampai di Amerika, kesempatannya kan lebih luas dan mungkin karena batasan rasial dan [jeda] agama, terus apa ya, gender juga beda dibandingkan di Indonesia, itu yang membuka kesempatan buat aku bisa merayu- lah orang tua aku supaya aku bisa kerja sebagai wartawan. Terus setelah itu, aku awalnya mulai di VOA, magang sih awalnya. Magang sebagai production asistant, tapi karena di VOA itu semuanya harus dikerjain sendiri, jadi dari riset sampai editing akhir harus kerjain sendiri dan itu menjalankan tugas-tugas sebagai seorang wartawan ya. Terus juga sebagai broadcaster. Jadi termasuk tampil di depan televisi, menjelaskan isu dan reporting ke masyarakat, ke audience yang ada di Indonesia. Terus di Kumparan aku satu setengah tahun itu bekerja sebagai news video producer. Terus balik lagi ke VOA, kerjanya sekarang sebagai TV specialist.
TV Specialist itu sama kayak TV produser sih kalo di Indonesia.
Perjalanannya lumayan panjang juga ya mbak. Awalnya gak dibolehin orang tua. Oke kita next ke pertanyaan selanjutnya nih mbak. Jadi kalau misalnya saja boleh tahu nih, kalau mbak jini tuh agamanya apa ya mbak?
Lahir di keluarga Konghucu, tapi karena dari sebelum 1998 kita kan gak boleh declare sebagai Konghucu, jadi di KTP ditulisnya agamanya Budha. [jeda] .. setelah
itu 98, setelah Gusdur memperbolehkan Konghucu masuk KTP, orang tuaku sengaja, eh maksudnya bukan sengaja sih, tapi lebih kayak daripada ribet, pada prinsipnya kan sama aja. Jadi dipikir yaudalah kita gak mengubah agama di KTP tapi tetap menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan dan tradisi yang sudah dipegang. Kalau aku sendiri sih sebenarnya mencoba untuk mencari agama apa yang paling cocok, tapi sampai sekarang sih gak terlalu nempel sama agama manapun. Tapi untuk menjalankan apa yang aku, maksudnya untuk menghormati budaya dan keturunan, apa sih namanya. Herritage, history, sejarah dari yang lalu lalu, nenek moyang dan segala macam itu, jadi ya aku ngikutin orang tua aja sih.
Oke, berarti mbak Jini ini kan lahir dan tumbuh di keluarga yang agamanya Konghucu, meskipun di KTPnya Budha. Kalau bisa diceritakan, mungkin dulu ketika sekolah, SD, SMP, SMA, atau bahkan kuliah, lingkungan pertemanannya itu gimana sih? Apakah orang-orang sekitar agamanya cukup beragam atau didominasi oleh agama tertentu?
Karena aku dari SD sampai kuliah bahkan, itu sekolahnya di sekolah Kristen, di Petra. Sebenarnya aku lebih paham teologi Kristen dibandingkan memahami teologi atau ajaran agama dari Konghucu sendiri atau Budha. [jeda] jadi memang lebih banyak bergaul sama yang mayoritasnya Kristen. Terus setelah bekerja, baru lebih banyak kenal sama yang beragama Islam, walaupun aku paham di luar sana, di luar pergaulan aku lebih banyak orang Islam.
Apakah perbedaan itu mbak, khususnya pada saat sehari-hari bekerja di lingkungan pekerjaan itu, ada masalah gak sih mbak sebagai wartawan?
Apakah mungkin ketika di Indonesia atau ketika di Amerika? Sempet ada masalah gak mbak gara-gara perbedaan itu?
Enggak sih, maksudnya dengan rekan kerja?
Iya mbak
Masalah secara personal atau profesional? Gak ada sih dua-duanya.
Oh berarti aman-aman aja yah mbak?
Iya betul
Sekarang kita coba untuk menelisik lebih dalam soal pekerjaan mbak Jini.
Kalau selama mbak Jini bekerja nih, berarti dari tahun 2016 sampai 2020 ini kalau mbak Jini tuh lebih sering ditempatkan di desk apa sih mbak?
Kalau di VOA karena memang fokusnya lebih ke US policy, kebijakan-kebijakan Amerika Serikat terutama kebijakan yang ke luar negeri. Satu yang bersinggungan langsung dengan Indonesia, terus juga cerita-cerita soal ramadhan. Muslim sih, Muslim di Amerika, diaspora di Amerika. Kalau diaspora di Amerika kebetulan
karena di Indonesia mayoritasnya Muslim jadi kebanyakan ngeliput tentang hal-hal berbau Muslim di Amerika. Terus kalau di Indonesia banyak politik hukum ya, eee feature aku kurang kalau di Indonesia. Terus balik ke sini lagi karena sekarang lagi masa-masa pemilu jadi ngerjain banyak topik pemilu. Tapi sudah mau masuk masa ramadhan jadi mulai ngumpulin, mulai banking story-story soal ramadhan dan Muslim di Amerika.
Tadi kan mbak Jini sempet bilang kalau mbak Jini sering dipercaya sama VOA Amerika untuk ngeliput tentang ramadhan tentang Muslim di Amerika.
Memang kalau di VOA itu mbak Jini posisinya apakah khusus untuk bikin berita terkait Indonesia atau gimana tuh mbak?
Enggak sih, gak selalu khusus seperti itu. Tapi lebih ke [jeda] pembedanya itu feature sama hard news. Nah aku tuh di bagian yang hard news sebenarnya. Jadi aku gak terlalu ngurusin yang feature. Tapi kadang-kadang karena, misalnya di satu daerah butuh liputan yang lebih mendalam soal itu, butuh riset yang lebih mendalam biasanya aku ikut turun. Tapi kalau misalnya lebih kayak cerita humanis, kayak gitu, bukan aku yang turun.
Ketika mbak Jini ikut turun ke lapangan untuk liputan mendalam terkait isu- isu agama, nah itu biasanya memang ditugaskan oleh atasan di VOA atau itu memang memang mbak Jini mengajukan diri?
Oh dua-duanya sih. Dua-duanya sih. Misalnya ya selama dua tahun pertama aku di sini, setiap ada kelana. Jadi kita setiap mau ramadhan, kita banking story kan jadi ke daerah-daerah tertentu. Cari cerita soal Muslim-Muslim di Amerika. Nah, selama dua tahun itu, memang dua tahun itu aku selalu yang turun. Karena satu aku nge host, jadi aku present di depan kamera untuk cerita segala macem. Yang kedua aku memang mengusahakan mencari cerita-cerita yang gak cuma soal, "oh iya di sini ada Masjid, oh iya di sini komunitas Islamya seperti ini" tapi lebih masuk ke dalam. Seperti sejarahnya gimana, sejarah Masjid itu seperti apa, terus kayak interaksi warga antara yang Muslim dengan warga di sekitarnya itu seperti apa. Jadi kelihatan dinamika bahwa di Amerika itu ada cerita seperti ini. Jadi gak sekedar, ibaratnya kalau misalnya di program-program TV ada yang kayak traveller.
Misalnya mereka ke Masjid dan segala macem, menurut aku sih itu bisa dengan msudah dilakukan. Tapi kalau misalnya berani untuk gali lebih banyak soal kayak struktur masyarakat dan struktur sosial di dalam itu mungkin bisa jadi cerita yang lebih menarik.
Terkait tentang meliput isu-isu keagamaan, mbak Jini masih inget gak pertama kali ditugaskan untuk meliput isu keagamaan, mbak Jini meliput isu apa?
[jeda].. Ini, jadi ada satu Masjid di Philadelphia. Namanya Masjid Al-Aksa, terus mereka itu supaya engage dengan komunitas sekitarnya, mereka melakukan.. Jadi di Philadelphia itu merupakan salah satu kota dengan tingkat kriminalitas yang
lumayan tinggi. Tempat di mana ada Masjid itu kriminalitasnya juga lumayan tinggi, terus mereka untuk reach out ke daerah sekitar, mereka melukis mural. Di luar Masjidnya, supaya terlihat lebih mengundang. Terlihat tidak menakutkan, apa lagi di Amerika ada stigma tertentu kan untuk warga Muslim yang ada di sini gitu.
Jadi mereka reach outnya seperti itu. Terus yasudah gitu. Sebenarnya sih kalau liputan soal hal-hal seperti itu, gak terlalu sulit. Karena kita tinggal cuma menjelaskan ke mereka bahwa, kita pengen liputan ini ini ini. Terus sehabis itu kita jelasin tujuannya buat apa. Dan mungkin karena kita selalu bilang kita dari Voice of Amerika dan kita asalnya dari Indonesia, jadi mereka begitu mendengar kata Indonesia, mereka sudah tahu kalau Indonesia kan mayoritas Muslim. Jadi mereka pun sangat terbuka untuk diliput. Jadi waktu itu aku sama sekali gak ada halangan.
Kalau halangan buat aku ngeliput sih gak ada waktu itu. Karena yasudah biasa aja gitu. Gak terlalu ribet.
Biasanya kalau misalnya lagi liputan tentang keagamaan gitu, cari narasumbernya susah gak sih mbak untuk yang mau diliput dan digali informasinya secara mendalam?
Sebenarnya gak gitu susah ya kalau di sini. Karena di sini ada kebebasan untuk beragama dan berpendapat, jadi itu bukan sesuatu yang, sesatu yang teralu susah untuk didekati. Tapi maksud aku, [jeda] yang bikin susah itu kadang kita harus nebak kira-kira pertanyaan ini tuh wajar atau sopan gak sih, itu satu. Kalau Muslim di Amerika, belum tentu semuanya itu agama bawaan. Kebanyakan justru cerita- cerita yang menarik itu datang dari orang-orang yang pindah agama. Jadi ada satu komunitas di Florida, mereka adalah hispanic Muslim. Padahal kan kebanyakan kalau misalnya kita tahu, orang-orang dari latin Amerika, itu agamanya adalah Katolik kalau enggak Kristen. Gimana caranya supaya kita bisa minta dia untuk bercerita soal, "kamu dulu pindah agama seperti apa sih?". Kan gak bisa kita langsung tanya, "eh kamu pindah agamanya kenapa?" kayak gitu kan anehnya.
Kalau aku sih, kalau personally aku sama sih kayak kamu. Kita ajak cerita, cuma menggalinya itu gak bisa seperti ketika kayak misalnya Loren tanya ke aku, "eh latar belakang kamu kayak apa?" misalnya seperti itu ya gak bisa. Karena harus nebak-nebak juga, apakah mereka akan tersinggung bila ditanya soal previous fate atau keyakinan mereka yang sebelumnya. Tapi [jeda] sorry pertanyaannya apa tadi?
Oh iya mbak, sebenarnya pertanyaannya sulit atau enggak. Tapi gak apa mbak, mbak Jini tadi sudah bilang kan gak sulit gitu. Cuma tadi kan mbak Jini sempat menyinggung kadang-kadang ada perasaan, "aduh takutnya kita salah gak yah untuk menanyakan hal itu?" tapi pernah gak sih mbak, selama liputan itu, mbak Jini nih emang ternyata narasumbernya sempat tersinggung atau mungkin sempat ditolak karena salah ngomong?
Kalau ditolak sih belum pernah. Tapi waktu itu sempet suasana hatinya jadi berubah ketika.. Jadi tuh kita lagi meliput salah satu Masjid yang, kamu pernah dengar Boston marathon bombing gak? Jadi ada bom di Boston ketika ada kegiatan marathon. Salah satu pelaku peledaknya itu adalah jamaan dari Masjid yang kita
datangi. Well technically aku sudah tahu kalau Masjid yang aku datangi, di situ ada orang yang dulu pelaku bombing Boston marathon tu. Terus kita datang, wawancara, dan memang waktu itu 20 menit awal dari wawancara tidak menyinggung itu sama sekali. Karena kita waktu itu masih banyak Islamnophobia terhadap warga Muslim, dan mereka banyak dapat surat gitu. Dapat surat dari masyarakat sekitar yang menyampaikan bahwa, oh kita cinta kok dengan saudara- saudara kita dari Gereja maupun dari Sinagog. Tapi memang fokus utama dari aku dan tim aku waktu itu adalah untuk cari tahu, lebih kayak mengkonfirmasi, waktu itu pelaku bom Boston bombing itu beneran datang ke sini atau enggak. Terus apakah ada afiliasi seperti itu. Terus setelah 20 menit wawancara, baru setelah itu kita tanya. Apa namanya, based on our previous research shows that one of the Boston bombing came from here. Terus habis itu, dia tuh, maksudnya aku bisa paham sih kalau misalnya imam di Masjid itu kayak "maksudnya apa nih?
Maksudnya kamu nuduh kita menghasilkan teroris?". Terus waktu itu dia menolak menjawab awalnya. Habis itu, yasudah kita ajak ngobrol yang lain. Kita tanya masyarakat di sini seperti apa dan lain sebagainya. Pada akhirnya dia bilang, perilaku itu tuh, maksudnya ini statement dari imamnya yang menyatakan bahwa perilaku itu bukan perilaku yang diajarkan di agama. Tapi itu dapat ideologi ekstrem itu bisa didapat darimana saja. Kayak gitu-gitu sih. Memberikan kesempatan mereka untuk kesempatan hak jawab itu juga penting yah. Apa lagi kalau kita kerja sebagai wartawan, ya kita gak bisa berasumsi, "oh iya di sini tuh seperti apa" gitu. Walaupun mungkin kita tetap harus skeptis terhadap jawaban- jawaban itu. Apa lagi isu sensitif seperti itu kan. Ada unsur public relation ya dari tiap institusi dan mereka menjalankan itu. Tapi ya diberikan hak jawab aja, dan kalau misalnya masih skeptis sih bisa cari informasi dari narasumber lain.
Terus nih mbak, kalau ketika bekerja khususnya dalam meliput isu-isu keagamaan gitu, kalau mbak Jini sendiri pengalamannya baik di VOA atau di Kumparan, perannya apa aja sih mbak. Misalnya di pra produksi, produksi, ataupun di pasca produksi?
Mungkin aku bisa workflownya dulu yah. Kalau di VOA karena memang orangnya terbatas dan dari hulu sampai hilir itu dikerjain sendiri. Jadi kayak riset, wawancara, setting appointment, terus wawancaranya. Habis itu pulang, editing, nulis naskah, terus bahkan kadang-kadang kalau misalnya diperlukan, kita yang tulis caption video. Di VOA aku juga ngerjain video.
Ini pekerjaannya untuk satu orang atau satu tim?
Bisa jadi satu orang. Biasanya kalau aku kerjain yang buka puasa bersama kayak di KBRI, itu kan sebenarnya gak sulit ya karena orang Indonesia. Terus gambarnya sendiri sudah dinamis jadi aku gak terlalu perlu tim gitu loh. Dan gak keluar kota gitu. Itu kayak gitu di VOA seperti itu. Jadi dari awal sampai akihr aku memang terlibat produksinya. Kalau di Kumparan, karena ada tim, seperti yang Loren tau juga. Jadi aku sebagai produser bisa ngirim reporter untuk ngambil gambar. Waktu itu untuk yang isu agama di Kumparan itu, kayaknya aku sekali ada ngerjainnya.
Soal partai Kristen di Indonesa. Iya betul soal partai-partai Kristen di Indonesia. Itu sekalinya aku ngerjain isu agama di Kumparan. Di VOA yang sekarang juga sama kayak gitu lagi. Jadi dari awal sampai akhir aku yang ngerjain sendiri. Termasuk kalau misalnya ada live report. Jadi kalau misalnya di depan, misalnya ada TV di Indonesia yang minta reporting langsung dari Amerika, itu juga aku kerjain sendiri.
Tadi kan mbak Jini sempet jelasin ada perbedaan cukup jauh ketika mbak Jini kerja di VOA di Amerika dan Kumparan di Indonesia. Kalau dari perbedaan itu, mengerjakan isu tentang agama ini jauh lebih susah kerjain di Amerika atau di Indonesia?
Beda kali yah. Aku rasa tantangannya beda. Kalau di Indonesia tantangannya adalah. [jeda], gini sih. Mungkin aku cerita aja yah. Kalau di Amerika itu, di sini, kalau misalnya kamu meliput soal keagamaan, [jeda], agama yang aku liput kebetulan Islam kalau di Amerika. Karena memang itu berita-berita seperti itu yang dibutuhkan di Indonesia untuk tahu kehidupan Muslim di Amerika itu seperti apa.
Misalnya seperti itu yah. Dan meliput agama minoritas di suatu negara, itu tuh sangat dipengaruhi mayoritas di negara itu. Jadi kalau misalnya di Amerika, mayoritas di negara ini kan yaa Kristen tapi juga banyak yang bisa dibilang Agnostik. Tapi kebebasan untuk beragamanya itu sangat dijamin oleh pemerintah, sehingga mereka tidak berani melakukan hal-hal yang apa ya, seolah-olah mempersekusi agama itu. Walaupun memang iya, mungkin kalau misalnya kita lihat di beberapa media-media mainstream, bahwa oh iya ada kejahatan berbasis kebencian misalnya di Masjid. Tapi itu hanya sebagian fragmen dari itu gitu loh.
Karena yang memang diliput oleh media mainstream kan kebanyakan yang soal- soal sensasional, yang meningkatkan rating dan sebagainya. Jadi itu bisa dipahami.
Tapi kalau misalnya dilihat secara hubungan interaksi sosialnya, di Amerika sendiri gak terlalu menyusahkan untuk meliput seperti itu dan orang-orang yang di sana pun lebih terbuka untuk menyampaikan identitasnya. Sementara kalau di Indonesia, karena kebetulan kemarin juga bikin videonya soal partai Kristen yang mana itu juga kan agama minoritas di Indonesia, melihatnya seperti itu. Kadang-kadang ada beberapa narasumber yang menolak untuk diwawancarai. Karena menurut mereka agama tidak relevan terhadap apa yang mereka kerjakan. Aku bisa memahami itu sih, mungkin karena mereka merasa "oh kita gak perlu bawa isu agama" gitu sebagai identitas. Padahal maksud aku adalah dalam framing aku, narasumber yang aku ingin wawancarai bisa menyampaikan bahwa "oh terlepas dari agama aku, aku bekerja untuk blablabla", beyond agamanya itu. Cuma kayaknya ketakutan untuk menyampaikan personal state, atau nilai-nilai yang dibawa berdasarkan agamanya, itu tuh lebih besar dibandingkan mereka untuk menyampaikan bahwa mereka itu punya identitas diri tertentu. Maksudnya, ngerti gak maksud aku?
Iya mbak saya paham maksudnya. Kalau misalnya melihat dari latar belakang mbak Jini, orang Indonesia yang berketurunan chinese, agamanya Konghucu, sekarang ada di Amerika, dan meliput tentang agama Islam.
Ditambah kalau di Amerika kan, kita orang Asia juga minoritas di sana. Dari
keadaan tersebut, ada pengaruh gak sih mbak yang secara spesifik mempengaruhi hasil kerja mbak Jini? Based on keadaan mbak Jini itu.
Maksudnya konflik antara kepercayaan aku dan agama yang aku liput ya?
Kurang lebih begitu mbak, misalnya mbak Jini mau menulis tentang agama Islam, mungkin jadi terpengaruh hasilnya karena mbak Jini punya agama yang berbeda dengan Islam.
To be honest, aku merasa aku gak beragama, hahaha. Jadi aku gak terlalu yang gimana-gimana. Yaa, ada beberapa hal yang mungkin menarik yang aku gak paham sebelumnya soal agama Islam. Kalau Kristen kalau dari kecil sampai kuliah aku masuk di sekolah Kristen, jadi aku ngerti kayak ayat-ayatnya. Berdasarkan ayat apa terus logika berpikir bahkan beberapa dedominasi itu punya cara yang berbeda- beda untuk menginterpretasikan ayat-ayat tertentu gitu kan. Berdasarkan itu, aku merasa, oh sama-sama agama kitab kan, Islam, Kristen, Katolik, dan agama Yahudi.
Jadi karena sama-sama agama kitab, jadi aku melihatnya, oh iya setidaknya berarti setiap aliran punya cara-caranya sendiri untuk menginterpretasikan soal kitabnya itu seperti apa. Nah kalau misalnya bertentangan dengan aku sendiri sih enggak, tapi aku sempet mempertanyakan beberapa hal. Misalnya kayak waktu dulu sempet ngeliput soal komunitas Muslim Ahmadiyah di sini. Kalau di Indonesia kan Sunni kan bukan Syah bukan Ahmadiyah. Nah ketika wawancara orang Ahmadiyah, dan mereka menjelaskan sesuatu hal, lalu setelah itu mereka menyebutkan bahwa nabi yang turun terakhir ke bumi itu kan bukan nabi Muhammad buat mereka. Ada nabi yang lain gitu. Jadi waktu ketika aku lagi transkrip, eh sorry lagi nulis naskah dan habis itu mau translate, di situ aku "loh kok ini kok beda yah?" beda dari sepengetahuan aku. Nah untungnya sekarang kita di era internet, bisa langsung verifikasi dan bisa langsung cari tahu. Ini aku yang salah atau dia yang salah sebut nih, itu satu. Dan kebetulan karena rekan kerja aku hampr semuanya itu Muslim, jadi aku lebih gampang kayak mau verifikasi soal kayak gini. "Loh mas kok ini kayak gini gini gini ya, bener gak sih?" misalnya seperti itu. Jadi sebenarnya buat aku itu jadi memsudahkan saja. Tapi untuk konflik batin aku sendiri sih, aku mencoba untuk melepaskan itu. Walaupun mungkin ada beberapa hal yang aku gak setuju. Tapi gak pernah sampai kayak "kok gini sih" dan aku harus menentang itu.
Karena menurut aku ya pada akhirnya, ini cara aku untuk mempelajari orang lain, mempelajari entah itu agama atau budaya orang lain. Dan pada akhirnya perspektif aku jadinya lebih kaya. Dalam artian, misalnya ketika aku lihat Muslim, aku gak cuma lihat Muslim yang Sunni yang berasal dari Indonesia seperti itu. Atau kayak melakukan tradisi-tradisi yang tercampur antara agama dan budaya. Karena pada akhirnya aku bisa lihat di sini, bahwa "oh iya Muslim dari Turki itu cara memahami kesehariannya berbeda dengan Muslim yang ada di Indonesia" gitu. Mungkin awalnya pertentangannya lebih ke itu sih. Tapi kalau dari diri sendiri, [jeda] gak pernah yang gimana-gimana ya. Lebih kayak berusaha memahami bahwa aku beda, kamu beda, jadi ya gitu aja.
Berarti lebih untuk sarana belajar juga ya mbak?
Betul, betul.
Selama kurang lebih empat tahun ini mbak, yang lebih banyak meliput isu-isu tentang keagamaan, ada gak sih mbak satu atau dua liputan tentang keagamaan yang Mbak Jini tuh masih inget banget sampai sekarang?
Hampir semua liputan itu untuk isu keagamaan di Amerika ya pada akhirnya meninggalkan kenangan. Kenangan yang baik sih dan memahami bahwa sebenarnya semua orang itu punya cara berpikir yang tujuannya itu sebenarnya baik, mencari ketenangan untuk diri mereka sendiri. Entah caranya seperti apa ya, mungkin kadang-kadang kita melihatnya itu cara yang terlalu ekstrem. Tapi ya itu caranya masing-masing orang gitu. Bahkan misalnya ketika meliput soal orang- orang Muslim yang puasa di Amerika, ketika mereka harus puasa itu 16-18 jam, menurutku itu ekstrem banget. Karena kan jam puasanya lebih panjang gitu. Tapi ya itu salah satu cara mereka untuk mendapatkan ketenangan. Pada akhirnya seperti itu. Kalau misalnya kayak mungkin, karena aku ngerjainnya di Amerika dan bukan di Indonesia ya. Karena kalau aku kerjainnya di Indonesia, mungkin kamu akan banyak menemukan konflik dan ini yang sebenarnya aku penasaran sih. Konflik di Indonesia itu soal agama itu kan, [jeda] ibaratnya lebih [jeda] aku mau bilang lebih terstruktur itu kayaknya agak menjurus hehe. Tapi maksud aku, hampir semua sendi-sendi di masyarakat di Indonesia itu ada sentimen tertentu dan punya pendapat sendiri terhadap hal itu. Dan orang-orang yang punya pendapat yang agak berbeda mungkin akan memilih untuk diam. Sementara untuk di sini sih, kayaknya lebih leluasa untuk ngomongin itu. Ada kalanya aku jadi [jeda] sejauh ini sih tidak mengubah iman tapi membuat rasa penasaran yang lebih tinggi. Jadi kayak misalnya aku ketemu satu orang Muslim, dan aku waktu itu nyari episode untuk ramadhan juga, terus aku nemu satu museum, yaitu Muslim America di Washington DC dan itu dekat banget sama kantor aku. Orang Muslim yang aku temuin ini adalah pemiliknya. Akhirnya kita main ke museum di untuk shooting segala macem. Di museum dia itu, dia bikin museum itu, ya sebenarnya bukan museum sih, lebih kayak satu ruangan ditempel kayak mading. Itu dia menggali tentang sejarah nenek moyangnya dia sendiri, terus bagaimana Muslim itu masuk ke Amerika. Terus artefak-artefak apa saja yang berkaitan dengan Muslim di Amerika saat ini. Di situ baru aku benar-benar memahami bahwa, ada yah orang yang segitu penasarannya sama sejarahnya dia. Lalu dia bisa mencari imannya lewat situ. Jadi aku merasa lebih banyak belajar juga sih dari orang-orang yang aku liput. Dan tentunya yang gak jadi aku liput juga. Seperti misalnya kalau mereka gak berani ngomong soal agama mereka apa misalnya.
Oh begitu, baik. Cuma kalau secara garis besar, isu tentang keagamaan itu di Amerika apakah se sensitif kita ngomongin isu agama di Indonesia gitu mbak?
Bisa jadi sih. Tergantung isunya apa dulu. Makanya tadi itu kan. Misalnya kalau kita datang dan nelfon, bilang kita mau liputan soal pengajian online di tempat kalian. Wah itu senang banget untuk menceritakan itu. Menyampaikan bahwa kita