• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

98

LAMPIRAN

(2)

99

FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR

Nim Mahasiswa : 00000022232

Nama Mahasiswa : Agatha Lintang Kinasih Program Studi : Jurnalistik

Nama Dosen Pembimbing : Dr. Bobi Guntarto, M.A.

NO TANGGAL BIMBINGAN

CATATAN BIMBINGAN TANDA

TANGAN PEMBIMBING 1 5 Februari 2021 Pertemuan untuk membahas aturan

dalam bimbingan, jadwal dan kelompok bimbingan.

2 12 Februari 2021 Konsultasi terkait jenis penelitian yang akan dilakukan, merevisi pertanyaan dan tujuan

penelitian.mendiskusikan

pemrosesan informasi dan struktur pengetahuan, merancang kerangka fokus pertanyaan dan target informan.

3 19 Februari 2021 Mendiskusikan ulang pertanyaan penelitian sesuai dengan konsep pemrosesan informasi Potter.

4 26 Februari 2021 Memperbarui latar belakang sesuai dengan kondisi terkini,

mendiskusikan kembali pertanyaan penelitian.

5 5 Maret 2021 Menegaskan kembali pertanyaan penelitian dan pertaanyaan untuk informan sesuai dengan konsep pemrosesan informasi, mengganti konsep literasi media, mengubah penelitian terdahulu.

6 16 Maret 2021 Mendiskusikan secara lebih detail pertanyaan untuk informan saat wawancara.

7 19 Maret 2021 Mendiskusikan hasil wawancara dengan informan pertama, merevisi bab 2 bagian newsletter.

8 26 Maret 2021 Mendiskusikan rancangan tema untuk menjawab hasil penelitian.

(3)

100 9 21 April 2021 Mendiskusikan bab 4.1 dan 4.2.

10 23 April 2021 Mendiskusikan hasil penelitian dan rancangan pembahasan.

11 27 April 2021 Mendiskusikan pembahasan dan simpulan.

Tanda Tangan Pembimbing

(Dr. Bobi Guntarto, M.A.) Nama Dosen Pembimbing

(4)

101 Informan Pertama: Charlenne Kayla Roesli

Mahasiswa Jurnalistik semester 6, freelance NaraBahasa, editor Suara Perankan (21 tahun)

Tanggal wawancara: 16 Maret 2021 Pukul: 19.00-20.15 WIB

Charlenne: For your information, ini gue udah enggak baca dari awal tahun kayaknya enggak baca. Dari akhir tahun 2020.

Lintang: Tapi sesekali baca gitu, enggak? Atau sama sekali enggak buka?

Charlenne: Ini sih enggak buka, ya. Tapi gue tahu mereka punya podcast.

Sebelumnya gue rutin karena ada 5.45 sama CMU, jadi dua yang dibaca.

Lintang: Mulai langganan dari kapan?

Charlenne: Dari Maret 2020. Kayaknya waktu masih awal, mereka belum ada Pak Qowi.

Lintang: Mereka itu kayaknya dari akhir 2019.

Charlenne: Habis lu nge-hype-in CMU baru gue langganan.

Lintang: Terus pertama kali langganan tahu dari siapa?

Charlenne: Tahu dari lu, lah. Waktu itu nge-tweet di Twitter. Kalo enggak salah

“dapet newsletter setiap pagi berasa orang penting”. Terus gue

(5)

102 mencari, kan. Terus nemu CMU dan belum ada 5.45. Terus subscribe CMU dan enggak lama 5.45 mulai. Kayaknya di bulan yang sama, deh jadi langsung bisa bandingin dua itu.

Lintang: Terus kenapa cuma dari sebuah tweet bisa mendorong lu buat langganan? Apakah ada kebutuhan lu atau melihat sesuatu yang lain?

Charlenne: Waktu itu kan CMU di Indonesia baru lah konsepnya mereka duluan yang mulai. Terus lu bilang berasa orang penting dan kayaknya gue biasanya dapet berita itu kalau enggak dari drama- drama Twitter, follow-follow media di Twitter, enggak ada lagi selain itu. Kadang ada yang luput aja, sih. Dengan adanya newsletter itu kayak mendapatkan bukan brief juga. Biasanya gue tetep ngikutin, cuma ini yang versi lebih padet aja. Dan mungkin ada sesuatu yang gue kelewat.

Lintang: Apakah berhubungan dengan kebutuhan lu terhadap informasi gitu?

Charlenne: Iya. Dan juga penasaran waktu lu merekomendasikan itu gue enggak langsung subscribe. Liat dulu profilnya di medsos, gimana cara mereka nulis. Terus nulisnya Jaksel-Jaksel gitu dan menurut gue cukup menarik, sih melihat gimana cara mereka menyajikan beritanya. Keliatannya juga tryin to youth, kan. Pembawaannya sangat anak muda, sangat Jaksel. Pengin lihat cara mereka ngemas beritanya aja, sih siapa tahu bisa jadi inspirasi dan referensi. Karena kan sebagai anak jurnalistik juga itu sebagai format baru yang gue liat. Kayak gimana sih cara kerjanya?

Lintang: Waktu lu rutin baca tiap pagi, itu langsung baca waktu dapet notifikasi atau di-keep dulu?

Charlenne: Kan gue enggak tiap hari bangun jam 5 atau 6. Pokoknya waktu bangun tidur, kalau masih ada waktu sebelum kelas, ya baca dulu.

Kalau enggak, ya nanti habis kelas. Itu berlaku buat dua-duanya, sih yang gue subscribe.

Lintang: Berarti masih pagi atau asalkan ada waktu luang aja?

Charlenne: Asalkan gue ada waktu luang, tapi sebisa mungkin pagi. Cuma kalau enggak sempat, ya udah. Terus gue usahakan enggak nge-keep terlalu lama, maksudnya bacanya tiap hari. Kan ada tuh, orang yang dibiarin dulu seminggu direkap. Gue ngikutinnya per hari. Kalau mau rekap pun, harus hari itu. Cuma memang kebetulan ini dari Desember belum ada waktu buat baca.

Lintang: Itu kenapa belum ada waktu buat baca? Kan rutinitas waktu kuliah kemarin dan sekarang agak mirip ritmenya.

Charlenne: Waktu itu belum kerja. Yang gedenya karena itu, terus sekarang jadwal gue makin padat. Mungkin juga karena gue semakin banyak mendapatkan informasi dari Twitter. Kadang di sela kegiatan gue suka scrolling Twitter, tengah malem juga suka scrolling. Jadi agak mulai tergantikan. Terus sudah cukup lama subscribe CMU karena mereka kayak sangat on size. Kalau dibandingin sama 5.45 ada opininya waktu sebelum ganti format. Kalau CMU bener-bener

(6)

103 rangkumin berita aja dan itu membuat gue kayak “oh, itu gue udah tahu beritanya. Ngapain di rangkumin lagi?” karena udah tahu polanya, udah kebaca mereka angkat berita-berita yang kayak gimana. Gue juga udah ngikutin di medsos lain atau udah baca persoalannya

Lintang: Berarti lu udah mendapatkan sumber lain yang menggantikan CMU dan apakah akan ada saatnya balik lagi baca CMU?

Charlenne: Menurut gue akan ada, tapi balik lagi tergantung apa yang gue cari.

Kalau misalnya gue belum baca beberapa bulan ini CMU dan 5.45 karena mereka ganti format. Kadang CMU atau 5.45 yang ganti format enggak kasih gue insight dari perspektif lain yang udah gue baca. Kalau misalnya masih begitu, kayaknya skip. Kecuali mereka misalnya tiba-tiba, sekarang kan ada podcast mungkin itu bisa memberikan opini atau perspektif lain buat gue, gue akan balik lagi.

Cuma kalau sekadar rangkuman apalagi tiap hari, ya gue enggak melihat buat apa. Kadang mereka getting mind off dengan bahasanya. Dulu pas awal this is fun, cuma makin lama kayak ‘hah’.

Apalagi sejak gue kerja, di badan kebahasaan lagi. Terus gue kayak, apa nih? Terlalu memaksa.

Lintang: Meskipun itu dari gaya yang dia bawa dari awal ya?

Charlenne: Iya, preferensi gue aja yang berubah. Bukan mereka yang kenapa- kenapa.

Lintang: Tadi mention seandainya CMU berubah format jadi ada opini penulisnya, ada enggak kekhawatiran soal framing dan bias dari mereka?

Charlenne: Menurut gue kita juga belajar kalau ada bias penulis. Enggak ada kantor berita atau media yang bener-bener objektif. Kan gue penginnya opini kasih insight, pasti itu udah risiko bahwa ada bias.

Lagipula dengan menerima insight dari CMU dan 5.45, itu akan memperkaya perspektif gue. CMU bukan satu-satunya sumber informasi bagi gue, jadi menurut gue enggak apa kalau ada opini atau bikin coverage agak mendalam. Satu newsletter isinya cuma kayak 5.45 sebelum ganti format, sekarang formatnya sama kayak CMU rangkuman berita gitu. Dulu waktu berita panjang masih gue baca karena gaya penulisnya ketahuan, opini mereka tentang satu isu ketahuan, gue berharap bisa seperti itu.

Lintang: Berarti lu pengin mendapat satu konteks berita utuh dibandingkan ringkasan aja?

Charlenne: Betul, tapi enggak bisa expect mendapat satu ringkasan utuh karena kan per hari dan news-nya on going. Gue enggak terlalu berharap.

Mungkin kayak balik lagi 5.45 yang dulu, itu enggak harian artikel yang mereka kasih ke kita. Yang mereka kasih kan berita yang belum naik ke situs Asumsi, mereka kasih dulu ke kita. Itu bukan berita harian, tapi artikel feature yang mungkin pembuatannya enggak sampai seminggu, mungkin dua hari. Gue butuh kayak konteks, ini ada masalah ini, latar belakangnya begini. Tapi latar

(7)

104 belakangnya yang panjang. Walaupun CMU juga ada konteksnya, mereka suka ada “kenapa sih ini kejadian?” kebanyakan isu yang awam begitu kalau ada kasus baru. Bener-bener dari basic banget cuma menurut gue kurang karena enggak menyeluruh.

Lintang: Di beberapa newsletter mereka ada edisi khusus yang menyeluruh cuma belum tentu sebulan sekali dan itu lebih soal ke politik. Lu tadi langganan CMU dari Maret 2020, sejak awal ditemukannya kasus COVID-19 di Indonesia. Selama rajin baca dari Maret-Desember 2020, apa yang lu dapatkan soal isu COVID-19?

Charlenne: Kalau CMU ada tiap Senin yang rekap mingguan, gue suka baca yang itu. Karena menurut gue balik lagi yang tadi, lebih kontekstual.

Minggu ini ada ini lho, ini yang dilakukan pemerintah setempat dan negara lain. Menurut gue itu lebih kontekstual dan gue melihat “oh, kalau hari Senin ini beritanya COVID-19 aja”. Hari-hari lain mungkin gue alokasikan untuk hal lain.

Lintang: Jadi hari Senin lu udah bertujuan, pokoknya khusus soal COVID-19 dari CMU begitu?

Charlenne: Betul, walaupun enggak nolak kalau dikasih berita COVID-19 tiap hari. Tapi sama kayak yang mereka promosiin, hari Senin bakal rekap COVID-19 karena start of the week dan biar ada space buat hal lain. Terus mereka bikin hari Jumat enggak melulu COVID-19 dan politik, tapi buat lucu-lucuan. Tapi menurut gue itu boros space.

Lu bisa rekap mingguan di hari Jumat, kenapa lu buang space?

Kayaknya hari Jumat itu isunya meme, lifestyle, bener-bener agak shallow dan enggak terlalu dalam. Hari Jumat gue enggak terlalu baca.

Lintang: Tadi lu bilang Senin khusus buat rekapannya CMU dan apakah lu udah tahu minggu ini mau baca tentang apa? Misalnya khusus vaksin atau apa aja yang ada di CMU?

Charlenne: Itu bukan gue yang mau, tapi mereka yang kasih. Tiap Senin mereka bahas COVID dan ya udah gue baca. Menurut gue rekap COVID-19 juga bagus karena enggak cuma rekap data berapa yang meninggal, sembuh, berapa yang divaksin. Tapi kontekstual, gimana penanganan di setiap negara jadi bisa kayak ngebandingin, tapi dari gue pribadi bukan Senin mesti update soal COVID-19. Cuma karena mereka kasih aja. Sebenernya kalau mereka kasih apa aja, misal bukan COVID-19 di hari Senin, gue bakalan baca. Cuma karena memang Senin mereka khusus COVID-19 jadi ya udah, kalau mereka khusus Rabu ya, udah. Lebih kayak waktu mereka pertama kali bikin rekap, bagus lah. Ini nice to have mereka mau rekap berita COVID-19 seminggu ini.

Lintang: Lu biasanya baca pake HP atau lewat laptop?

Charlenne: Pake HP karena kalau di laptop buka dari email langsung, user interface-nya kurang dioptimasi untuk laptop ini. Kalau liat fullscreen ada banyak white space di sampingnya, kayaknya emang dioptimasi buat HP aja, sih.

(8)

105 Lintang: Notice enggak kalau di tiap email mereka subject-nya beda-beda,

pake lirik lagu. Terus gimana menurut lu?

Charlenne: Notice itu dan kadang ada juga di Twitter mereka hari ini liriknya ini. Menurut gue itu cukup jadi trademark mereka kayak gue tahu kalau misalnya kira-kira begini, si subject-nya berarti dari CMU.

Cuma kadang agak enggak nyambung dari apa yang mereka bicarakan. Kalau lihat newsletter lain kayak 5.45 dan Mas Inu surat dari editor. Kalau Mas Inu kan sangat jelas, ini dari ini. Hari ini mau ngomongin ini, ketahuan dari subjectnya dan itu cukup membantu.

Kalau misalkan si CMU menurut gue enggak membantu dalam hari ini ketika gue melihat subject mau ngomongin apa. Tapi gue tahu itu dari CMU dan untuk branding sih oke. Cuma dari segi mau kasih tahu ngomongin apa, itu enggak sampe.

Lintang: Pandemi udah berjalan setahun di Indonesia dan seberapa penting seseorang dapet informasi update soal COVID-19?

Charlenne: Gue memikirkan tetap penting buat tahu divaksin kapan, apa ada informasi vaksin terbaru, apalagi sekarang vaksin udah roll out orang-orang pada divaksin. Setidaknya kita perlu tahu kapan divaksin kalau lu enggak mau lihat perkembangan berapa banyak yang meniggal, sembuh. Menurut gue agak capek karena udah setahun disodorin data itu dan cukup repetitif. Bagi gue agak mulai keliatan statistical data, gue udah enggak peduli berapa banyak yang meninggal, sembuh, enggak mikirin itu lagi. Cuma untuk berita seperti vaksin kapan gue dapat dan keamanannya, soal efektifitas itu gue ngikutin. Menurut gue yang orang-orang perlu tahu juga yang kayak CMU lakuin ini. Kayak rekap penanganannya, kalau cuma lihat data enggak nangkep. Ya udah, karena udah setahun juga kalau lama-lama mengonsumsi itu jadi sekadar rutinitas ya udah. Cuma dalam skala besar, penanganan COVID-19 di Jakarta, apa rencana pemerintah provinsi atau pemerintah secara kesuluruhan, rencana pemerintah negara lain udah sampai mana itu perlu kita ketahui.

Lintang: Jadi mau yang apa bener-bener dekat sama lu, ya? Kalau sekadar angka kayak enggak bisa membayangkan.

Charlenne: Betul, itu bagi gue pribadi. Walaupun ada juga keluarga gue yang kena, lama-lama karena gue ngikutin di awal banget datanya itu, jadi gue sekarang melihat itu sebagai data dan empati gue udah terkikis gitu.

Lintang: Di setiap ringkasan berita ada link di beberapa kata kunci yang mengarahkan ke sumber beritanya. Lu selalu klik itu enggak?

Charlenne: Enggak selalu, Cuma kadang yang menarik bagi gue itu gue klik.

Waktu itu sempet mereka yang bahas mimpi, tahun lalu, mereka bikin artikel berita rangkuman orang-orang mengalami mimpi buruk selama COVID-19. Itu ada penelitiannya, terus penelitiannya gue klik karena menurut gue menarik dan pengin lihat penelitiannya.

Lintang: Lebih ke hal yang terkait penelitian gitu, ya?

(9)

106 Charlenne: Soalnya kalau yang lain bisa gue dapatkan di tempat lain. Kalau penelitian enggak semudah itu buat mencari orang mimpi buruk gara-gara COVID. Cuma untuk mendapatkan informasi secara menyeluruh, sih enggak.

Lintang: Apakah sudah merasa cukup mendapat informasi tentang COVID- 19 dari CMU atau juga dapat dari Twitter dan media lainnya?

Charlenne: Kalau untuk rekap mingguan hari Senin menurut gue mereka formatnya udah bagus karena kadang waktu gue ngikutin ngomongin vaksin, menurut gue udah cukup. Kalau sekadar nge- break day lu karena kan COVID-19 udah setahun dan rasanya menjadi keseharian kita. Sekarang gue melihat orang enggak pakai masker itu kayak udah lama banget rasanya. Ya udah, itu jadi bagian dari keseharian. Kita sama-sama nunggu vaksin, Cuma enggak ngikutin sedetail waktu di awal dan belum tahu apa-apa.

Lintang: Mungkin pas di awal curiosity lu lagi tinggi banget, apapun tentang COVID-19. Kalau sekarang cari sendiri informasi atau apa aja yang ada bakalan dibaca?

Charlenne: Gue sekarang lebih pasif, sih. Jarang kayak nyari soal COVID-19 karena selama gue enggak keluar rumah sama sekali dan menjalankan 3M, kayak enggak bakal kenapa-napa. Tinggal tunggu vaksin berapa bulan lagi udah dapet giliran. Kalau misalnya soal mencari apa enggak, udah enggak mencari lagi. Cuma kadang muncul di Timeline kayak banyak yang lagi ngomongin penggumpalan darah soal AstraZeneca, tapi lihat doang enggak klik beritanya.

Lintang: Selain dari Twitter, dari media apa cari info tentang COVID-19?

Charlenne: Waktu awal semuanya gue cari. Waktu awal gue lihatnya akun data yang di Twitter karena waktu itu mereka update tiap berapa menit.

Kalau update harian gue lihat Kawalcovid, terus CMU karena mereka tiap hari juga rekap di Twitter, terus Asumsi mereka rekap enggak detail. Yang cukup detail gue suka Nuice Media di Twitter rekap tiap hari, mereka juga dibawa lebih fun gaya bahasanya dibawa bercanda. Misalnya kemarin gold play button mereka duluan yang pakai.

Lintang: Media yang lu sebutkan tadi lebih menekankan ke inti-intinya. Ada baca juga enggak media yang bentuknya longform, kayak Katadata atau Tirto?

Charlenne: Baca Tirto. Tapi soal COVID-19 gue lebih sering ngikutin berita luar daripada dalam negeri. Enggak tahu kenapa, kayak yang gue suka NYTimes. Apalagi mereka gratis soal COVID-19 dan menurut gue bagus banget longformnya meskipun US centric. Cuma karena mereka ngecover COVID-19 bukan soal kasusnya aja. Mereka ada seri namanya how the crisis is changing the US. Itu di dalamnya bukan soal COVID-19, tapi ada human interest-nya. Kayak kebaikan selama pandemi, terus ada juga soal market bahwa usaha properti di Manhattan turun gara-gara pandemi. Enggak hanya fokus

(10)

107 sama pandeminya, tapi gimana masyarakat beradaptasi dengan pandemi. Karena ngikutin berita soal perkembangan pandemi itu capek, menurut gue dengan berita longform dan masih pandemi tapi enggak pandemi banget, menurut gue itu lebih masuk di gue.

Lintang: Gue paham yang lu maksud karena media asing punya satu kompartemen khusus tentang COVID-19 dan bisa masuk ke kompartemen lain.

Charlenne: Di media Indonesia sendiri pun pemberitaannya sekadar pemberitaan COVID-19. Kayak kapan vaksin keluar, pembagian vaksin gimana. Kadang melupakan aspek pandemi bukan cuma soal kesehatan masyarakat, tapi gimana masyarakat bermasyarakat berubah dan sering luput di-cover sama media lokal.

Lintang: CMU ada dua sesi rekapan, sesi pertama nasional yang kedua internasional. Lu mendapatkan konteksnya enggak yang internasional?

Charlenne: Itu kan banyak negara mereka coba satuin, menurut gue untuk konteks besar enggak dapet. Cuma karena itu sebagai rekap dan orang enggak terus-menerus melihat di luar ada apa, gue enggak ngikutin semua penanganan C0VID-19 seluruh dunia. Gue baca NYTimes cuma tahu gimana penanganan COVID-19 di Amerika jadi informasi kecil itu bagi gue sendiri udah cukup. Setidaknya tahu kebijakannya mereka gimana. Misal Jerman lockdown lagi atau New Zealand nambah kasus dan harus lockdown. Itu udah cukup.

Lintang: Tadi juga mention salah satu alasan enggak baca newsletter lagi karena kerja. Boleh diceritain kerja di mana, sebagai apa, gimana kegiatan sehari-hari?

Charlenne: Sekarang masih freelance di Narabahasa, penyedia layanan kebahasaan. Kalau ritme kerja sebagai freelancer enggak sesibuk itu. Cuma itu di atas kuliah, Ultimagz, ada lagi Suara Peranakan dan itu cukup memakan waktu ditambah kuliah online di semester 6 bebannya lebih kerasa capek. Lebih kerasa jam 8 sampai jam 5 di depan laptop, habis itu mesti kerja, kerjain Ultimagz, Suara Peranakan, perlu kerjain tugas kuliah. Waktunya mepet banget, sementara gue pengin tidur jam 10. Emang cukup waktunya? Baca berita jadi hal kesekian, kecuali gue sambil scroll Twitter.

Lintang: Apakah pekerjaan lu di Narabahasa pernah membahas soal COVID- 19 juga?

Charllene: Enggak pernah, karena di sana ngomonginnya jangan ikutan politik, hindari isu sensitif. Jobdesc gue dulu medsos spesialis, sekarang gue kerja lepas jadi penulis takarir atau caption. Karena topiknya kebahasaan jadi sangat sedikit bersinggungan dengan COVID-19.

Mungkin dulu pas awal masih suka ditakarir kasih tahu “Kerabat Nara, jangan lupa cuci tangan, jangan lupa 3M” kalau misalkan nyambung sama kirimannya. Cuma makin ke sini bahasannya maskin berat dan jauh dari pandemi . Misalnya sekarang kami bahas kalimat, bahasa, jauh sekali dan enggak ada hubungan.

(11)

108 Lintang: Di awal pandemi kayaknya bahas kata serapan terkait COVID-19?

Itu riset atau diskusi bareng-bareng?

Charlenne: Betul, waktu itu Pak Ivan pernah kayak bikin konten kata serapan dan beliau yang sering ditanya soal pandemi waktu awal di Twitter,

“Pak Ivan ini padanannya apa?” atau waktu itu ada dari Pemrov DKI atau Kementerian Kesehatan soal suspect, ada ganti istilah dan ribut- ribut, orang-orang pada bingung.

Lintang: Iya, istilah mudik dan pulang kampung.

Charlenne: Habis nge-tweet mudik-pulang kampung, gue masuk Narabahasa terus Pak Ivan puasa Twitter karena ribut itu.

Lintan: Kalau buat istilah-istilah gitu biasanya kalian diskusi dalam tim atau ada risetnya?

Charlenne: Karena udah enggak ada isu lagi, sekarang kan kisruhnya udah agak lama. Waktu awal aja itu. Sekarang enggak ada kisruh terkait kebahasaan dan padanan lagi. Waktu itu sebenarnya kami lebih suka memakai apa kata Pak Ivan, waktu kisruh itu juga sempat main Twitter, beliau belum puasa Twitter dan ikut dalam kekisruhan itu.

Kami membeo aja apa kata beliau karena enggak bisa Narabahasa pendapatnya beda sama beliau. Beliau sampai sekarang masih sangat lekat sama Narabahasa. Ntar netizennya “kok kata Pak Ivan begini, kata Narabahasa begini” itu enggak bisa. Cuma waktu itu sebelum kami merilis kayak padanan COVID-19, gue lupa pernah rilis apa enggak. Itu ngikutin yang punya Badan Bahasa karena kami itu kayak layanan swasta, enggak bisa menentukan ini padanannya harus apa. Kami enggak bisa merekomendasikan, tapi kalau ada yang resminya, ya tetap pakai yang resmi.

Lintang: Kalau Suara Peranakan itu apa dan jobdesc di sana ngapain aja?

Charlenne: Itu kolektif Tionghoa Indonesia. Kami bikin konten edukasi soal Tionghoa Indonesia dalam rangka advokasi, dalam artian kasih tahu ke orang-orang dengan harapan stigmatisasi terhadap Tionghoa Indonesia berkurang. Dan juga isu-isu di dalam masyarakat Tionghoa sendiri dan diharapkan masyarakat non Tionghoa dan Tionghoa yang masih suka ada clash, lebih mengerti satu sama lain.

Kenapa sejarahnya begini begitu. Di sana gue jadi contributor editorial, tapi lebih banyak ngedit. Pernah bahas soal COVID-19, waktu itu Imlek. Enggak bahas COVID-19 banget, tapi kami bikin Imlek di Rumah Aja. Konten berbau itu. Waktu itu ada figur publik di Twitter yang rekomendasiin kami kalau cukup terkenal di kalangan aktivisme Tionghoa, bikin lah dan berpartisipasi supaya orang-orang Imlekan di rumah aja. Imlek kan acara gede dan lekat dengan kumpul-kumpul sampe ama-akong. Jadi menjelang Imlek kami bikin ini.

Lintang: Ini riset dari mana?

Charlenne: Enggak perlu riset banyak, sih karena ini isinya kegiatan apa yang sekiranya bisa menggantikan kumpul-kumpul itu. Gimana Imlekan tetap meriah tanpa kumpul-kumpul, bisa amplop virtual, Zoom

(12)

109 party, karaoke virtual, masak, bertukar surat. Itu dibahas di grup.

Kami juga ada bikin soal resep capcai.

Lintang: Pertanyaan selanjutnya mungkin lebih bersifat pribadi, tentang kegiatan sehari-hari dalam keluarga. Di rumah lu anak ke berapa dan tinggal sama siapa aja?

Charlenne: Anak sulung dari dua bersaudara, terus ad ague, bokap, nyokap, adek gue. Berempat aja.

Lintang: Gimana di keluarga lu menerapkan protokol kesehatan? Atau semisal ada salah satu anggota keluarga yang tidak mempercayai COVID-19 atau ada yang enggak menerapkan protokol kesehatan?

Terus gimana peranan lu buat hal itu?

Charlenne: Di rumah gue kebetulan semuanya percaya COVID-19, puji Tuhan.

Terus mereka sangat preventif dalam artian takut banget bahkan gue sendiri dikurung di rumah 2 bulan. Gue sama sekali enggak keluar dan baru keluar kemarin banget ke supermarket, dari terakhir Januari keluar rumah. Terus gue udah mulai ogah-ogahan kerja dan nugas, mulai suntuk. Jadinya kemarin gue minta ikut ke supermarket, itu satu-satunya jalan keluar rumah. Mereka sendiri melarang gue keluar rumah dalam artian kalau bisa dilakukan dari rumah, mending dilakukan di rumah. Termasuk liputan sekalipun. Bener-bener kepepet banget baru keluar rumah.

Lintang: Orang tua lu WFH full berarti?

Charlenne: Kalau pekerjaan gue semua bisa dilakukan WFH dan kami juga semuanya WFH. Semua sistem di Google Drive, enggak ada yang ke kantor buat ambil data. Cuma kadang ada yang ke kantor buat kerja bareng, kayak suasana kantor kan bikin orang jadi semangat.

Kadang gue juga diundang, tapi gue enggak pergi karena kantor juga jauh. Kalau bokap gue ke kantor, nyokap gue ibu rumah tangga.

Lintang: Siapa yang paling galak soal protokol kesehatan di rumah?

Charlenne: Bokap gue karena beliau yang keluar rumah. Beliau kayak taat banget karena kami di rumah aja, jadi enggak melihat di luar ada apa. Kalau bokap gue kan keluar dan beliau sangat prefentif dalam artian tiap berapa detik semprot desinfektan, sudah sampai segitu.

Kalau kemarin ke supermarket, gue megang sesuatu, beliau minta tangan gue terus semprot desinfektan.

Lintang: Sekarang kan isunya bukan tentang protokol kesehatan lagi, tapi sudah sampai vaksin. Pernah enggak diskusi di rumah tentang gimana kita dapetin vaksin?

Charlenne: Pernah. Bokap gue dan nyokap gue kebetulan memang ngikutin berita vaksin dan memang ada beberapa teman juga yang sudah divaksin. Kalau gue pribadi temen-temen jurnalis udah divaksin.

Kalau bokap gue temenan sama beberapa orang yang sudah termasuk lansia dan mereka sudah dapat vaksin. Dia update sih soal itu, tapi kayak cuma nunggu giliran. Ya, nanti juga dapet gitu. Waktu itu di grup Redaksi Ultimagz sempet ada diskusi kita mau dapat vaksin paling lambat Juni. Itu gue ngomong ke bokap nyokap, “eh,

(13)

110 katanya gue mau dapet vaksin”. Terus mereka kayak, “lah, iya kan mulainya April”.

Lintang: Balik lagi soal newsletter , tadi bilang kalau lebih seneng baca yang bersifat ilmiah atau penelitian. Lu mengalami kesulitan enggak ketika baca tulisan ilmiah tapi dalam bentuk ringkasan berita? Itu kan hal yang asing.

Charlenne: Enggak, sih. Sekarang teknologi udah deket banget. Gue bisa buka laptop, terus search ini artinya apa.

Lintang: Pernah nemu istilah apa di newsletter yang keliatannya asing dan enggak tahu artinya?

Charlenne: Mungkin waktu pemerintah daerah suka ganti-ganti istilah soal PSBB. Disingkat-singkat gitu dan gantinya cepet banget, ya. PSBB tahap 1, tahap 2, Jawa-Bali. Terakhir kali gue update soal Jawa-Bali, selebihnya enggak ngikutin lagi. Itu aja udah lupa singkatannya apa.

Pas Jawa-Bali gue search ini apaan, terus setelah itu gue berhenti karena tahu mereka bakalan terus ganti-ganti, toh artinya sama aja.

Lintang: Menurut lu sendiri dengan ringkasan berita pendek gitu jadi lebih paham apa enggak?

Charlenne: Kalau dalam artian sekadar konteks berita pendek gitu aja, enggak mempengaruhi pemahaman gue karena gue aware bahwa itu berita pendek dan kalau mau tahu lebih lanjut, gue harus ada effort di luar itu.

Lintang: Di awal tadi sempat bilang kalau gaya kepenulisan CMU yang kayak Jaksel agak ganggu buat lu yang kerja di layanan kebahasaan. Terus apakah lu punya saran buat CMU?

Charlenne: Sebenernya enggak apa-apa, itu masalahnya di gue bukan mereka.

Karena itu branding mereka, kalau branding mereka jalan malah bagus. Anak Jaksel yang terkenal dengan have fun, party-party, pergi nyari hiburan, tiba-tiba cari berita internasional kan bagus.

Kalau beritanya bisa disinergiin dalam bahasa Jaksel dengan segala stigmanya, terus bikin anak muda jadi baca berita, ya bagus. Dan gue merekomendasikan waktu awal di Narabahasa, kami sekarang punya newsletter . Disuruh riset soal newsletter dan gue merekomendasikan CMU. Pak Ivan lebih suka newsletter yang formatnya tua, kayak newsletter lama. Beliau pengin kayak nawalanya Mas Inu yang link-nya banyak, waktu itu gue menyarankan CMU dan 5.45. terus beliau suka, jadi menurut gue enggak apa. Beliau suka sampai nanya ke gue, kalau CMU ada problem, tapi CMU jarang enggak masuk di inbox. Kalau 5.45 kan sering masuk spam. Itu beliau sampe nanya “kok pagi ini saya enggak dapet newsletter ya? Kamu tau enggak kenapa?

Lintang: Berarti lu juga termasuk agen penyebar CMU ya? Terus dari cerita tadi, kalau mau kasih nilai CMU berapa? Mulai dari bahasanya, gaya mereka, konteks berita yang mereka bawa.

Charlenne: Kalau branding, 4 dari 5. Karena branding mereka noticeable banget, mau itu dari Twitter, gimana cara mereka membawa udah

(14)

111 ketahuan dari bahasanya ini punya CMU. Cuma kalau misalnya soal konteks, waktu itu gue pernah tanya sama lu kan CMU ada afiliasi sama siapa? Soalnya waktu itu bandingin sama 5.45, mereka sekadar main aman dan enggak ada opininya. Kayak ya udah, merangkum berita buat lu tapi ideologi medianya apa? Itu enggak ada. Bagi gue pribadi karena punya sumber informasi lain gue tahu mesti merasa apa. Kalau baca berita ini, gue mesti marah. Kalau 5.45 karena ada opini penulis jadi punya sudut pandang. Kalau gue punya stand pribadi, ketika penulisnya marah tapi gue biasa aja, kan jadi bertanya

“kok gue enggak marah, ya?”. Kalau CMU benar-benar sekadar di- layout ke lu, apa yang lu lakukan dengan berita itu kami enggak urusan. Itu bikin pembacanya enggak tahu mesti ngelakuin apa dari informasi itu.

Lintang: Biasanya kalau orang baca sesuatu akan ada respons buat emosi atau tindakannya. Menurut lu CMU belum memberikan itu?

Charlenne: Kalau tindakan ada. Misal kalau soal pemilu mereka suka ada tulisan

“jangan lupa milih, ya” atau “tetap 3M, ya” mereka menggaungkan banget jangan lupa pake masker. Itu tindakannya ada. Tapi emosinya lacking, kayak gue mesti merasakan apa? Itu nilainua 3,5 lah.

Lintang: Di konteks pertemanan pada langganan CMU enggak?

Charlenee: Enggak. Tapi gue punya temen anak HI kan CMU perspektifnya lebih asing dalam artian mereka suka cover berita internasional. Gue merekomendasikan ke anak HI. Tapi kayaknya enggak di- sbubscribe, deh.

(15)

112 Informan Kedua: Hestia Istiviani

Marketing Eksekutif penerbit Indonesia, founder klub buku (27 tahun) Waktu wawancara: Rabu, 24 Maret 2021

Pukul: 19.00-20.00 Via: Zoom Meeting

Lintang: Aku pertama kali tahu Kak Hestia dari search testimoni pelanggan Catch Me Up lalu ketemu tweet-nya Kakak. Kalau boleh tahu pertama kali langganan dari kapan?

Hestia: Aku ingetnya kita lagi rame-rame temen-temen turun ke jalan buat memaksa RUUPKS segera disahkan. Waktu itu masih wacana untuk masuk ke dalam prioritasnya Prolegnas terus kemudian serentetan hari itu, 29 September salah satu puncaknya dari serentetan teman- teman turun ke jalan. Dari situ aku merasa kalau baca dari Twitter aja enggak komprehensif jadi selama ini kanal informasiku adalah di Twitter. Aku tinggal ada televisi, cuma jarang banget nonton TVnya. Akhirnya konsumsi informasiku sebagian besar di Twitter.

Karena aku takut aku terperangkap dalam narasi yang itu-itu aja, jadi aku coba cari tahu ada enggak kanal berita yang komprehensif tapi juga enggak berat. Karena kalau kita tahu kayak Kompas, Jakarta Post itu hal yang berat kalau buat aku. Kedua, mereka ada biaya berlangganan meskipun Cuma 50 ribu per bulan, tapi kayak aku malas untuk langganan. Akhirnya salah satu following aku mention Catch Me Up, terus aku kepo dan ternyata bahasanya gaul, dia enggak berbayar, dan dia kayak loper newsletter nya ke email kita.

(16)

113 Itu, sih karena temen-temen yang turun ke jalan di bulan September 2019 kemarin.

Lintang: Berarti selama ini Kakak cari informasi di Twitter? Lalu setelah berlangganan, ada enggak yang dirasakan waktu diawal berlangganan? Mungkin ada perubahan lain selain isu RUU PKS?

Hestia: Setelah aku ikutin Catch Me Up, aku suka cara dia menyampaikan.

Di saat bersamaan, selain teman-teman mempromosikan CMU ada juga yang mempromosikan newsletter nya Asumsi, 5.45. Aku langganan dua-duanya langsung karena sama-sama enggak bayar.

Tapi beberapa bulan jalan, aku nge-drop 5.45 karena bahasanya dari cara dia menyampaikannya itu aku enggak nyaman. Aku nyamannya dengan Catch Me Up karena aku baca sampai akhir tahun kemarin, Desember 2020. Aku enggak cuma dapat soal RUUPKS, tapi juga dapet soal Trump dimakzulkan. Itu kan banyak banget informasinya di media dan aku harus baca yang mana, aku langganan CMU dan mereka package dengan compact. Soal Trump diem-dieman dengan Rusia karena Trump ke-gap teleponan dengan salah satu agennya Rusia. Pokoknya drama-drama di luar dan aku cuma tahu dari Twitter, itu bikin aku agak skeptis “bener enggak sih medianya kayak gini beritainnya?”.

Lintang: Setelah berlangganan ada enggak perubahan yang membantu di tengah kesibukan pekerjaan sehari-hari? Dengan ringkasan berita seperti itu apakah cukup membantu?

Hestia: Kalau aku jadinya cukup membantu karena tipikal tidak biasa sarapan. Waktu sebelum pandemi ini semakin parah, aku rajin baca dari pukul 9 ke pukul 10. Baru set up laptop, aku pasti akan cek CMU. Dari situ aku jadi tahu, ternyata kemarin ada rame-rame ini, jadinya aku tahu kalau cari di Googlenya. Karena CMU kan untuk beberapa berita cuma 2-3 paragraf saja, terus diganti lagi topiknya.

Jadi aku punya turning point, oh ternyata masalahnya A, B, C. Oke, aku akan cari informasi di internet dengan kata kunci yang sudah disebutkan CMU. Memperkaya aku juga untuk tahu konsumsi berita apa.

Lintang: Butuh berapa lama untuk baca CMU?

Hestia: Sebenarnya kalau baca CMU cepet karena aku cocok dengan cara dia berbicara meskipun beberapa orang ada yang lihatnya itu campur bahasa Indo-Inggris. Tapi itu masih mending daripada temen-temen yang coba menulis Indo-Inggris tapi dia enggak memperhatikan tanda baca, kaidah dasar jurnalistik. Dan CMU itu di antara keduanya. Kalau ditanya butuh berapa lama, paling aku cuma 30 menit karena aku bisa menyerap apa yang dia tulis. Karena suka selipin jargon, ada meme juga, sering banget ada lirik lagu Kpop ke situ. Buat aku ini kayak diajakin ngobrol temen sendiri, jadinya enak.

Lintang: Lalu apakah Kak Hesti setiap hari baca CMU atau direkap harian?

(17)

114 Hestia: Kalau direkap itu akan terlalu berat, jadi aku baca tiap hari. Karena

menurut aku ada unsur kebaruan kenapa aku baca tiap hari.

Lintang: Apakah masih ada kebiasaan membaca CMU setiap hari?

Hestia: Kalau belakangan ini aku enggak baca lagi padahal belum memberhentikan langgananku. Kalau bisa dibilang salah satu alasannya karena udah terlalu lelah. Aku kerja mulai jam 8 dan harus tune in ke kerjaan. Udah mulai enggak baca rutin sejak sebulan terakhir, sih. Jadinya to be honest aku masih agak dibilang limbung dengan informasi, mungkin. Tapi aku follow mereka di Twitter jadi masih tahu mereka hari ini bahas apa, baru deh aku buka emailnya.

Aku masih baca cuma frekuensinya tidak sesering sebelumnya.

Lintang: Apakah memutuskan untuk rutin baca lagi atau cukup dari informasi yang ada di Twitter mereka?

Hestia: Kalau dibilang mungkin akan baca, tapi aku enggak tahu kapan karena sampai hari ini masih merasa sibuk sama kerjaan. Tapi aku belum kepikiran buat berhenti berlangganan karena merasa terbantu.

Apakah aku akan kembali baca rutin? Mungkin akan ke sana.

Dengan mereka posting di Twitter, aku baca ke newsletter nya, deh.

Lintang: Lalu saya meneliti tentang COVID-19 di CMU. Menurut Kakak, seberapa penting bagi Kakak untuk tahu berita COVID-19 dari CMU?

Hestia: Itu cukup penting buat aku karena aku ngamatin kebijakan pemerintah di masa pandemi. CMU kasih tahu soal COVID-19 buat aku packagingnya tidak membuat orang takut, tapi tetap aware bahwa pandemi belum selesai. Dengan aku baca, mostly ke arah kebijakan kayak PSBB, PPKM. Dengan CMU aku tahu ada regulasi apa, jadinya kalau ada keperluan kayak harus ke luar kota setidaknya harus tahu mau ngapain dan mempersiapkan apa.

Lintang: Selain gaya kepenulisan yang membuat pelanggan tetap aware, apa yang membedakan CMU dengan media lain dalam meliput COVID- 19?

Hestia: Aku rasa cuma itu, sih. Bahasanya yang aku suka.

Lintang: Menurut Kakak topik apa yang perlu diperdalam pembaca terkait COVID-19? Karena pandemi sudah berjalan lebih dari setahun dan melekat di kehidupan sehari-hari. Waktu di awal mungkin kesadaran soal protokol kesehatan, tapi kalau sekarang topik apa yang perlu diperdalam?

Hestia: Dari aku pribadi mungkin informasi bagaimana soal mendapatkan vaksin karena kan aku anak muda dan bukan prioritas vaksin. Saat ini kan tenaga medis, jurnalis. Sebagai anak muda apalagi kalau misalkan domisili sekarang tidak sama dengan asal KTP, kalau mau dapat vaksin harus bagaimana? Mungkin itu yang perlu diinformasikan karena selama ini aku cari kapan anak muda bisa dapat vaksin? Terus kalau misalkan aku bukan KTP Jakarta, apakah aku harus pulang atau mengurus di mana? Mengingat distribusi vaksin kan sudah berjalan.

(18)

115 Lintang: Apakah Kakak tahu format CMU setiap awal pekan ada rekap berita nasional dan internasional terkait COVID-19? Dan bagaimana tanggapan Kakak soal ringkasan itu? Itu kan bentuknya berita pendek dan bentuknya poin-pon. Apakah sudah tercukupi informasinya?

Hestia: Itu aku sudah tahu, sih. Kalau Senin kan selalu ada di bagian paling atas. Buat aku format begitu sudah cukup karena tidak perlu fear mongering, membuat si pembaca takut, tapi yang penting supaya aware. Berapa banyak kasus sekarang dan kita tahu bahwa Indonesia belum reda. Atau sudah kelihatan menurun kasusnya.

Lintang: Berita tentang COVID-19 dari CMU apa yang paling diingat sampai sekarang?

Hestia: Kayaknya pas awal kita terkena pandemi. Waktu itu Italia 2020 kan melejit banget angkanya. CMU menulis artikel bagaimana walikota di Italia dalam tanda kutip marah-marah ke warga negaranya. Kayak denial bahwa pandemi itu ada, menurut aku itu melekat waktu CMU mengcover. Italia kan salah satu negara di Eropa dan mostly orang Indonesia selalu memandang lebih orang- orang dari Barat dan mereka kasih tunjuk kalau mereka pun susah diatur. Dan aku merasa takjub CMU membawakannya dengan lucu karena aku inget ada foto walikota marah-marah, terus deskripsinya walikota marahin warga negara yang masih sempat ke salon, ajak jalan anjing-anjingnya. Itu cukup berkesan buat aku.

Lintang: Mereka kadang menyelipkan meme di beberapa beritanya, biar dapat punchlinya. Menurut Kakak itu apakah mendistract isi berita atau kayak Kakak yang melekat dengan beritanya?

Hestia: Aku malah suka, sih. Itu kayak gaul gitu. Dia mencoba untuk serius, tapi enggak mau terlalu serius. Jadi dicoba kasih meme, tagline yang lucu.

Lintang: Tadi Kakak sempat mention di awal di setiap subject email mereka ada penggalan lagu yang sesuai dengan isi berita. Apakah dengan subject email itu membuat Kakak tahu kunci informasi berita apa untuk hari itu?

Hestia: Cukup banget, sih. Waktu itu di tahun lalu Menteri KKP ditangkap karena korupsi benih lobster dan itu ramai. Aku kan pakai push email di HP, kalau tiap pagi keliatan itu di notifikasi HP. Melihat dari notifikasi HP kan cuma subject emailnya terus tahu CMU hari ini bahas Edy Prabowo dan membuat aku memutuskan baca.

Lintang: Selama berlangganan, apakah baca keseluruhan isi berita atau isu tertentu saja yang mau dibaca? Misalnya hari ini khusus tentang COVID-19 atau khusus korupsi Edy Prabowo?

Hestia: Aku baca semuanya, sih. Bahkan sampai si angel stories, ada mereka juga suka kasih satu baris isinya link. Misalnya, having a bad Monday? Click this link. Walaupun cuma satu baris dan harus klik linknya, tapi itu bagus.

(19)

116 Lintang: Ada perubahan apa setelah Kakak klik linknya? Misalnya ada emosi

yang muncul gitu?

Hestia: Wah, macem-macem. Karena biasanya link yang ditautkan kayak memang inspirasional, kadang playlist Spotify. Lucu juga jadinya.

Menariknya selalu insert video lucu mungkin biar berimbang mereka kasih berita dan masa pembaca dikasih yang berat aja? Ya udah, deh dikasih yang lucu-lucu.

Lintang: Soal tautan, di berita pendek mereka ada beberapa kata kunci buat ke sumber berita aslinya. Apakah Kakak klik link beritanya untuk tahu apa konteksnya?

Hestia: Aku enggak pernah klik yang ada di artikel karena mungkin udah percaya bahwa CMU sudah meramu berbagai berita di tulisan mereka.

Lintang: Tapi tadi di awal Kakak mention ya kalau Googling sendiri untuk tahu berita apa? Itu biasanya berita apa tentang COVID-19?

Hestia: Balik lagi masih sama soal kebijakan. Kadang aku bosen dengar langsung press conference presiden, menteri kesehatan, gubernur DKI. Kayak terbantu dengan CMU sudah meringkas, tapi pengin tahu ada implikasi apa kalau kebijakan diperpanjang. Karena kadang CMU Cuma kasih tahu Pak Gubernur habis press conference PPKM diperpanjang, tapi aku pengin tahu implikasinya apa.

Lintang: Apakah menurut Kakak ringkasan beritanya itu sudah 5W+1H atau masih ada bagian yang kosong?

Hestia: Menurut aku udah 5W 1H dan enak banget untuk dibaca sebenarnya.

Lintang: Format penulisan mereka kan berita pendek dan kakak di sosisal media juga boleh disebut pegiat literasi. Bagaimana tanggapan kakak format penulisan berita pendek yang tergolong baru ini terkait dengan literasi?

Hestia: Kalau misal dibilang terkait literasi aku belum kepikiran ke sana.

Karena memang aku langganan CMU memang butuh berita saja dan sekadar konsumsi pribadi saja.

Lintang: Mungkin ada tipikal orang yang senang membaca berita dalam format panjang atau banyak sumber untuk dapat konteksnya. Kakak tipikal pembaca yang seperti apa?

Hestia: Aku suka berita yang format pendek jadi enggak terlalu suka yang long-form. Enak baca CMU sih menurut aku sudah cukup.

Lintang: Selain dari CMU dan Twitter, Kakak baca berita dari media apa?

Hestia: Enggak ada seriusan, dari Twitter aja. Aku enggak follow akun portal berita. Yang aku follow kayak CMU, Nuice Media. Misalnya tahu dari apa yang di-retweet oleh following aku.

Lintang: Kalau dilihat dari karakteristik Nuice Media dan CMU kan sama, hanya ringkasan berita pendek tapi update-nya sering apalagi terkait COVID-19. Biasanya Kakak ikutin isu apa dari dua media itu?

Hestia: Kasus harian, nambah berapa, kurang berapa. Kalau di aku pribadi jadi sebuah informasi yang bisa jadi panduan. Misalnya weekend ini aku enggak usah ke mana-mana dulu karena kasus di Jakarta naik.

(20)

117 Lintang: Berarti sudah ada media pilihan sendiri ya? Lalu tadi Kakak juga mention bahasa CMU multilingual kadang menggangu.. Tapi menurut Kakak sendiri gimana dengan gaya kepenulisan yang begitu? Apakah mengganggu atau sudah sesuai kaidahnya atau hanya sekadar strategi marketing mereka saja?

Hestia: Aku rasa itu sekadar strategi, sih. Karena aku tahu orang-orang di belakangnya bukan orang sembarangan. Mereka pernah sekolah dan paham dengan kaidah jurnalistik. Menggunakan bahasa seperti itu menurut aku marketing mereka dan cara mendekarkan diri dan aku pun enggak terganggu.

Lintang: Kalau itu sekadar strategi marketing mereka, apakah itu sudah tepat sasaran? Atau sudah sangat disukai oleh pembaca mereka?

Hestia: Ini luas banget, tapi mungkin sudah. Kalau aku lihat beberapa teman-temanku itu mereka sudah dapat positioning-nya. Yang aku tahu sekitar 4-5 orang yang langganan, tapi aku enggak tahu apakah ada followersku yang akhirnya ikutan langganan CMU.

Lintang: Terkait bahasa, dalam COVID-19 ada beberapa istilah saintifik dan terdengar asing karena sangat teknis sifatnya. Apakah Kakak pernah mengalami kesulitan ketika baca newsletter CMU?

Hestia: So far aku enggak mengalami kesulitan untuk mencerna apa yang ditulis istilah dari mereka. Buat aku, walaupun mereka nulis istilah medis yang sifatnya teknis, tapi selalu dijelaskan itu apa.

Lintang: Apa yang paling Kakak ingat, mungkin awalnya asing dengan hal itu? Tapi begitu baca CMU jadi nempel sama istilah itu.

Hestia: Waktu pemakzulan Trump kan asing buat aku, tapi dijelaskan sama mereka. Kemudian satu lagi waktu September 2019 hashtag Mosi Tidak Percaya itu ada di mana-mana dan CMU mencoba meluruskan apa arti dari hashtag itu. Kalau terkait COVID-19 enggak ada karena mostly mereka belakangan bahas vaksin dan cuma jelasin aja, apa AstraZeneca, apa Sinovac. Gitu doang dan masih bisa dipahami.

Lintang: Terkait kelengkapan informasi, apakah CMU sudah merangkum isu COVID-19 dengan baik atau Kakak harus mencari sendiri? Apa yang pengin diketahui tapi belum diliput mereka?

Hestia: CMU kan rangkum kasus harian di setiap Senin dan di newsletter harian mereka enggak ada jadinya aku harus cari di Nuice Media.

Itu aja. Kalau sisanya, sih aku rasa udah cukup, enggak terlalu banyak dan enggak terlalu sedikit.

Lintang: Kakak tadi menjelaskan tidak mengalami kesulitan berarti waktu membaca hal yang bersifat teknis. Apakah Kakak memahami gambaran besar COVID-19 dari awal kasus, protokol kesehatan, kebijakan pemerintah, hingga pendistribusian vaksin. Itu kan menjadi satu kesatuan utuh.

Hestia: Sudah sangat dapat karena mereka bisa merangkum berita itu.

Awalnya aku kesusahan baca berita yang tercecer di mana-mana kalau baca di Twitter, tapi dengan langganan CMU mereka kayak udah bikin paket-paket, ini ada kasus COVID-19, jumlahnya segini,

(21)

118 ini Langkah pemerintah, ada PPKM, bersamaan distribusi vaksin.

Itu runut dan enak aja bacanya.

Lintang: Lalu bagaimana dampaknya dengan kehidupan sehari-hari? Pernah enggak di pekerjaan Kakak berkaitan dengan isu COVID-19 apakah pernah bersinggungan dari dampak kebijakan itu?

Hestia: Mungkin paling kerasa kita belum bisa berpergian ke luar kota dengan cara yang tidak ribet. Kami menyadari kalau bisa lewat online, enggak perlu pergi. Pernah ada waktu PSBB udah kelar, kita nungguin Gubernur ada presscon lagi enggak? Kalau keluar dari DKI apa lagi yang perlu disiapin? Itu yang menjadi concern aku.

Kemudian informasi itu kan dirangkum CMU jadi tahu kesimpulannya apa, yang harus disiapkan apa.

Lintang: Kalau boleh tahu terkait kegiatan kampanye literasi gerakan membaca buku, apakah pernah dalam diskusi berhubungan dengan isu COVID-19?

Hestia: Mungkin pernah. Aku pernah bikin di Twitter informasi soal toko buku yang menerima pesanan online. Karena kita kan belum bisa ke mana-mana jadi ya pesannya lewat online. Itu juga aku riset-riset informasinya dari Twitter sama Instagram. Aku juga memindahkan kegiatan literasiku karena COVID-19. Jadi semua kampanye di Instagram. Sebelumnya setiap bulan ketemu dari satu kafe ke kafe lain. Tapi harus adaptasi sekarang karena pandemi.

Lintang: Terkait COVID-19 dan kegiatan sehari-hari, kalau boleh tahu Kakak merantau ya sekarang? Apakah tinggal kos sendiri atau gimana di Jakarta? Lalu gimana cara memperhatikan protokol Kesehatan?

Hestia: Iya, kos sendiri. Kalau aku yang pasti enggak boleh kendor itu pakai masker, rajin cuci tangan pakai sabun, menghindari kerumunan. Itu sudah pasti buat aku. Kalau misal merasa badannya enggak enak, enggak usah ke mana-mana dan observasi harus apa?

Lintang: Apakah Kakak juga pernah jadi dalam tanda kutip agen yang galak mengingatkan ke keluarga, saudara, soal protokol Kesehatan?

Hestia: Mungkin aku bukan kalau ingetin masker gitu, enggak sampai segitunya. Tapi kalau ada yang sakit, aku ngingetin coba dicek demam atau enggak, bisa membau atau enggak, basic symptom-nya COVID-19 harus tahu. Karena ada kan orang yang abai dan menganggap biasa. Jadi aku ngingetin soal gejala awal itu kalau udah ada yang sakit.

Lintang: Varian virus ini kan terus berkembang dan mungkin ada gejala- gejala baru. Apakah Kakak mengikuti updatenya di CMU?

Hestia: Aku enggak mengikuti updatenya banget, cuma aku tahu ada varian baru. Tapi dari penelitian beberapa waktu lalu mengatakan bahwa mutasi, tapi kemudian ditanggulangi gitu. Jadinya menurut aku enggak seintens dulu aja ngikutinnya. Cuma dari Twitter mereka aja belakangan ini.

(22)

119 Lintang: Dengan adanya berita pendek apakah dapat gambaran besarnya?

Apakah harus rutin setiap hari melakukan kayak kegiatan Kakak dulu? Atau cukup dari apa yang dituliskan di newsletter hari itu?

Hestia: Aku merasa lebih enak versi newsletter daripada postingan mereka di Twitter. Kalau di Twitter mereka pakai grafis dan harus slide sedangkan newsletter cukup scroll aja kayak baca berita online biasa yang mana aku lebih senang begitu.

Lintang: Selama setahun lebih berlangganan, seberapa nilai Kakak untuk CMU? Misal dari bahasa, kelengkapan beritanya

Hestia: Bahasa aku suka dan nilainya mungkn 4/5 terus cara mereka menyampaikan berita bisa 4/5 juga. Kemudian compact atau enggak itu 3/5 karena kadang ada berita yang panjang, kadang ringkasannya pendek. Sebetulnya aku juga kangen sama data visual di Friday. Hari Jumat isinya yang positif, lebih santai, aku lebih kangen data visual mereka dan itu bagus.

Lintang: Saran buat CMU ke depannya untuk diperbaiki?

Hestia: Belum ada karena sejauh ini suka dengan CMU, tidak berbayar, subscribe nya gampang, bahasanya mudah dipahami. Tapi mungkin karena bahasanya Indonesia dan Inggris, jadi mungkin kalangan tertentu, tapi itu sudah positioning mereka dan jadi branding mereka gitu.

(23)

120 Informan Ketiga: Julius Daniel Sarwono (21 tahun)

Mahasiswa NTU, intern di Shopee Singapura Waktu wawancara: 30 Maret 2021

Pukul: 13.00-14.00 WIB Via Zoom Meeting

Lintang: Sejak kapan mulai berlangganan Catch Me Up dan apa yang memotivasi?

Julius: Sebenarnya belum lama, mungkin awal tahun 2021 mulai berlangganan. Awalnya tahu dari temen yang merekomendasikan Instagramnya, terus setelah tahu mereka memproses news dan update-nya itu bagus, komprehensif, dan yang paling aku suka dua sisi banget. Jadi bukan cuma salah satu sisi, tapi ambil standpoint lain kesannya lebih objektif. Dari situ aku baca-baca sampai nemu kalau mereka menghasilkan newsletter. Kan aku enggak bisa setiap hari scrolling Instagram, waktunya enggak terlalu banyak, apalagi untuk ikutin news di Indonesia. Setelah kuliah di luar negeri itu aku mulai merasa missing out sama update di Indonesia. Sementara apa yang terjadi di kampung halaman itu penting. Makanya aku memutuskan untuk subscribe newsletter nya Catch Me Up ini dan ternyata enggak terlalu beda sama yang di Instagram. Bagus, rapi, komprehensif, dan dua sisi banget.

Lintang: Sekarang newsletter lagi jadi tren, ada langganan newsletter lain enggak?

Julius: Kalau untuk news yang di Indonesia sejauh ini Cuma Catch Me Up Lintang: Tadi kamu menyebutkan penting untuk tahu informasi terbaru yang

ada di kampung halaman. Memangnya seberapa penting dan misalnya informasi tentang apa yang pengin kamu ketahui?

(24)

121 Julius: Waktu itu yang men-trigger aku sebenarnya COVID-19 karena kan beritanya blow up banget. Kalau kita baca dari media juga takutnya kurang objektif karena setiap media punya tujuan masing-masing.

Sementara itu aku merasa penting untuk update news COVID-19 karena pada dasarnya meskipun aku kuliah di luar negeri, tapi keluargaku masih stay di Indonesia, masih tinggal di rumah dan mereka affected sama kejadian seperti ini. Jadi aku merasa masih punya tanggung jawab dengan news yang ada di Indonesia despite aku kuliah di luar negeri.

Lintang: Catch Me Up yang bentuk beritanya compact apakah mempengaruhi kehidupan sehari-hari kamu?

Julius: Iya karena pada dasarnya yang aku suka dari Catch Me Up sendiri adalah mereka compact tapi dengan compact-nya mereka itu enggak membuang informasi penting. Mereka input informasi yang kita butuhkan dan justru membuang informasi yang tidak relevan. Beda ketika aku baca news dari website atau LINE Today, sebut merek aja, itu mereka sangat dibuat. Inti beritanya hanya sedikit, tapi mereka memasukan hal yang subjektif, yang menurut aku tidak terlalu relevan. Kalau Catch Me Up sangat seimbang antara data dan opini. Datanya kuat, lalu opininya juga dari berbagai sisi. Jadi dengan amount informasi yang sufficient, terus mereka kemas dengan panjang yang sangat compact. Itu menurutku membantu banget.

Lintang: Tadi kamu mengaitkan dengan media yang terlalu bertele-tele dan tidak to the point informasinya. Kalau kamu sendiri baca media mainstream dari portal media apa?

Julius: Paling sering dari LINE Today karena enggak pernah ikutin televisi lagi, aplikasi chat yang aku pakai juga. Kalau news portal dari VIVA, Kompas, Tribun News. Cuma akhir-akhir ini setelah subscribe ke Catch Me Up udah lumayan jarang karena sudah dirangkum sama CCatch Me Up sendiri.

Lintang: Kalau media lokal di Singapura ada ngikutin juga enggak? Terus biasanya ikutin informasi apa saja?

Julius: Media lokal Singapura yang aku ikutin terus itu Strait Times. Paling sering sekarang jelas COVID-19, baik di Indonesia atau di Singapura. Pemerintahnya juga rutin update secara angka berapa jumlah deteksi hari ini, itu termasuk salah satu yang aku ikutin.

Lintang: Peristiwa COVID-19 sudah terjadi setahun ini dan mungkin pemberitaan tentang protokol kesehatan, data harian buat orang bosan. Menurut kamu informasi tentang COVID-19 apa yang dirasa penting tapi belum dimuat oleh media?

Julius: Menurutku bukan kurang, Cuma standpoint yang diambil terlalu ada kepentingan. Tapi menurut aku informasi yang disampaikan sudah tersalurkan, cuma delivery-nya terlalu dibuat bertele-tele. Aku personally lebih suka yang dibuat statistik jadi lebih faktual secara angka.

(25)

122 Lintang: Data tentang vaksin ngikutin juga enggak?

Julius: Tentang vaksinnya enggak terlalu karena jujur aja aku enggak terlalu tertarik kearah detail. Tapi kalau proses vaksinasinya aku ikutin terus baik yang di Singapura maupun Indonesia.

Lintang: Topik COVID-19 apa yang kamu ikutin lagi selain data terbaru?

Julius: Aku rasa penanganan di Singapura sudah sangat baik dilakukan okeh government, enggak ada penyebaran lokal. Kalau di Singapura itu penyebarannya dari impor, yang masuk ke Singapura terus dikarantina, itu yang aku tahu. Untuk yang di Indonesia aku masih ikutin beritanya karena penyebarannya kan parah juga, termasuk di daerah. Orang tuaku juga kebetulan bukan dari pusat di Jakarta, tapi daerah di Jawa Tengah dan penyebaran di sana aku rasa lumayan ekstrem juga. Itu yang masih aku ikutin. Tujuannya untuk memastikan keadaan keluargaku aman.

Lintang: Ada enggak dampak secara langsung ketika kamu membaca notifikasi dari Catch Me Up? Misalnya, dampak emosional atau tindakan keputusan yang diambil setelah baca berita.

Julius: Ada. Tapi yang aku lakukan informasiin ke keluargaku kalau dapat berita, aku screenshoot terus dikirim ke orang tua supaya mereka dapat gambaran yang lebih objektif. Kalau orang tua kan kebanyakan masih ikutin televisi dan di sana suka lumayan bias.

Lintang: Kalau sebagai mahasiswa perantau yang sendirian tinggal, ribet enggak untuk mengurus protokol kesehatan? Ada enggak dampaknya di kehidupanmu?

Julius: Aku rasa ada dampaknya. Dulu sebelum subscribe newsletter nya, masih follow Instagram karena lebih tahu apa yang terjadi di luar sana. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Untuk personal kehidupan aku sangat berpengaruh karena tahu harus jaga kebersihan, cuci tangan rutin, pakai masker, jaga jarak.

Lintang: Waktu dapat notifikasi newsletter, langsung dibaca saat itu juga atau direkap dulu?

Julius: Biasanya dibaca saat itu juga karena kan aku pas lagi perjalanan di kelas, sekalian baca.

Lintang: Butuh berapa lama buat baca keseluruhan newsletter? Atau apakah kamu sudah menargetkan hari ini khusus mau baca informasi tertentu saja?

Julius: Kalau format newsletter mereka kan tetap ada headline, terus beritanya, headline lagi. Biasanya kan ada tiga sampai empat konten. Kalau aku lagi punya waktu luang, aku bakal baca semua beritanya dan enggak pilih-pilih mau berita apa. Karena pada dasarnya tujuan aku ke Catch Me Up bukan untuk mengetahui satu berita secara spesifik, tapi sekadar update sama berita yang ada di luar sana. Tapi pada kenyataannya kalau lagi sibuk enggak semua aku baca. Kalau headline menarik, terutama penulisan mereka selalu straight forward dan menggunakan kalimat tanya jadi kita tahu apa

(26)

123 yang mau mereka sampaikan. Kalau headline tidak menarik, aku skip.

Lintang: Biasanya berita yang kamu prioritaskan apakah masih tentang COVID-19?

Julius: Kalau sekarang sudah enggak terlalu prioritaskan COVID-19, apa saja setiap baca.

Lintang: Kalau kamu baca newsletter di perjalanan, berarti pakai HP, ya?

Menurut kamu bagaimana secara tampilannya?

Julius: Menurut aku tampilannya oke karena mereka kasih ilustrasi, tapi cukup penting dan inspiratif jadi enggak terlalu penuh. Selain itu, tampilannya clean juga. Aku suka karena mereka enggak ada iklan.

Meskipun aku kurang tahu gimana mereka memutar uang untuk menghasilkan berita. Tapi aku suka karena mereka clean dibanding harus website news yang iklannya banyak. Kalau ini bersih, paragraf rapi, enak dibaca di HP.

Lintang: Berapa lama waktu yang kamu perlukan buat baca keseluruhan berita?

Julius: Biasanya aku enggak tetap waktunya karena tergantung. Aku bacanya enggak ditarget harus selesai, tetapi kalau ada free time aku baca newsletter hari itu. Tapi mungkin sehari 15 menit yang aku luangkan untuk baca.

Lintang: Apakah kamu baca setiap hari Senin sampai Jumat? Atau kadang- kadang saja bacanya?

Julius: Setiap hari aku bacanya dan rutin dari awal berlangganan.

Lintang: Biasanya di Catch Me Up ada lirik lagu di subject email sesuai berita yang ditulis. Apakah kamu menyadari adanya perbedaan lirik lagu di tiap subject email? Menurut kamu apakah itu berguna untuk tahu apa yang akan dibaca di hari itu?

Julius: Menurut aku untuk jadi petunjuk konten di hari itu aku kurang sadar karena kontennya juga beragam, enggak cuma tentang satu hal.

Mungkin yang dijadikan subject adalah konten yang paling major.

Cuma yang aku suka adalah mereka lumayan eye catching karena setiap hari kan bisa dapat 8-10 email, terus ada satu email yang stand out dengan lirik lagu. Itu lebih gimana grab attention aku untuk membuka email mereka.

Lintang: Kalau di Catch Me Up mereka mengemas berita dalam bentuk berita pendek. Mereka di beberapa episode cuma menulis poin-poin.

Apakah itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan informasimu?

Julius: Menurut aku untuk orang awam yang tidak menekuni suatu bidang, misal international relation, itu menurut aku sudah lebih dari cukup.

Karena yang penting aku tahu saja, up to date, jadi aku bisa tahu harus apa kalau itu terlibat dengan keseharian aku dan menurut aku kalau memang tertarik mendalami tinggal cari sendiri di internet.

Tapi menurut aku average informasi yang mereka berikan sudah cukup.

(27)

124 Lintang: Di berita pendek mereka ada kata kunci yang diberikan tautan ke

sumber berita aslinya. Kamu klik tautan itu enggak?

Julius: Biasanya aku biarkan saja karena enggak terlalu pengin cari tahu banyak. Pada dasarnya tujuan subscribe ke Catch Me Up sendiri bukan untuk benar-benar tahu apa yang lagi dibicarain, tapi sekadar update apa yang terjadi di luar sana. Karena tujuanku berbeda, jadi enggak klik.

Lintang: Kamu menyebutkan kalau ada informasi yang kurang akan mencari sendiri di internet. Pernah enggak ada kejadian seperti itu? Biasanya kamu cari di mana?

Julius: Kalau tentang COVID-19 sendiri aku rasa informasi yang mereka berikan sudah cukup. Mungkin yang pernah iseng aku cari kebanyakan tentang politik. Kalau berita politik kadang lucu-lucu juga jadi aku tertarik. Biasanya aku suka background check karena kan mereka sering mention nama orang di news politik, aku sendiri pun enggak mendalami politik jadi enggak familiar sama orang yang mereka mention. Jadi aku search di Google, cek ke Wikipedia untuk tahu track record mereka apa, background pendidikan, sekadar untuk dapat lebih idea dari berita mereka.

Lintang: Masih tentang COVID-19, di dalam newsletter Catch Me Up ada istilah yang sifatnya teknis dan membuat kita sebagai orang awam merasa asing. Ada enggak istilah yang sifatnya sains di dalam Catch Me Up dan buat kamu merasa asing?

Julius: Aku rasa selama subscribe mereka, setiap kali sebut term yang menurut mereka terasa asing bagi majority subscribe rnya mereka akan dijelaskan dalam bentuk fun. Kayak misalnya ada satu term yang enggak familiar, misalkan nama vaksin. Terus mereka bilang buat yang enggak tahu nama vaksin ini apa, sebenarnya ini adalah vaksin ini. Jadi menurut aku enggak terlalu jadi masalah buat aku sendiri karena mereka memberikan penjelasan. Kalau buat aku merasa itu masih kurang, ya aku buka Google untuk cari.

Segampang itu

Lintang: Apakah ada informasi tentang COVID-19 yang awalnya kamu tidak mengetahui lalu langsung paham ketika membaca Catch Me Up?

Julius: Jelas tentang penyebaran di Indonesia, aku rasa update tentang penyebaran di Indonesia cuma konsisten di awal COVID-19.

Setelah itu aku merasa pemberitaan cukup teralihkan dengan topik lain, berita tentang COVID-19 mulai tertutup, proses vaksinasi di Indonesia aku rasa masih dicampurkan dengan politik. Sedangkan Catch Me Up sangat objektif, bahkan mereka kadang bring up ke scientific facts, mereka kadang bring nama vaksin yang dipakai di luar negeri, perbedaan vaksin yang dibuat oleh Pfizer Moderna dengan Sinovac. Itu sebenarnya kan cara kerjanya berbeda meskipun mereka sama-sama vaksin. That’s why mereka result in angka yang berbeda untuk penyembuhannya. Itu menurut aku informasi yang lumayan sulit untuk cari di media konvensional.

(28)

125 Lintang: Dari ceritamu ini, sebenarnya mungkin kamu sudah tahu tentang vaksinasi sebelum baca Catch Me Up? Tapi apakah lebih diperdalam lagi?

Julius: Iya sudah dengar dari teman-teman. Biasanya kan kumpul ada membahas.

Lintang: Apa dampak Catch Me Up tentang vaksinasi yang membentuk sikap kamu?

Julius: Yang pasti jadi lebih open minded yang pertama, bukan berarti apa saja dimasukin. Tapi tetap terbuka karena vaksin masih berpogres bukan hal yang sudah established. Seiring dengan vakisnasi, vaksin sendiri pun masih dibuat dan menurut aku itu enggak gampang buat mereka yang enggak terpapar berita yang benar untuk mereka sendiri percaya dengan hal itu. Di Indonesia sendiri masih banyak yang percaya dengan konspirasi, instead of percaya dengan scientific-nya sendiri. Jadi menurut aku lumayan berpengaruh gimana aku supaya bisa lebih open minded, percaya dengan data dibanding subjektivitas orang.

Lintang: Tadi juga kamu sebutkan bahwa sudah memiliki pengetahuan tentang vaksin dari obrolan dengan teman-teman. Biasanya ngobrolin apa saja? Apakah bahan dasar vaksinnya, dampak, atau apa?

Julius: Enggak sampai mendalami ke bahan vaksinnya, Cuma sampai ke cara kerja vaksin overall mungkin karena obrolan sehari-hari secara COVID-19 masih happening dan wajar setiap orang punya masa di mana bahas COVID-19 sama teman. Tapi yang paling sering diobrolin sama teman biasanya proses pemberian vaksin apalagi kebanyakan teman-teman aku mayoritas masih orang Indonesia, di PPI. Kalau kumpul sama mereka lumayan membandingkan proses vaksinasi yang ada di Singapura dengan yang ada di Indonesia, vaksin yang digunakan di Singapura kan Pfizer kalo di Indonesia pakai vaksin apa, bahas perbedaan cara kerjanya, step dari government Singapura dan Indonesia bagaimana perbedaannya, siapa saja prioritasnya. Karena kita pelajar di Indonesia yang di Singapura, itu yang membuat kita ke-trigger karena kita dapat sudut pandang yang berbeda dari dua negara.

Lintang: Seberapa sering diskusi sama teman-teman dari PPI? Sebelum diskusi apakah ada riset atau spontanitas karena emang sudah jadi rutinitas?

Julius: Sebenarnya itu bukan official dari PPI, lebih ke kalau kumpul makan bareng terus semacam share informasi masing-masing, ngobrol satu sama lain. Kalau disambungkan itu informasinya lumayan berguna.

Lebih kayak informasi yang kita gather sebelumnya, bukan riset dulu secara official.

Lintang: Gaya penulisan Catch Me Up kan ke-Jaksel-Jaksel-an. Apakah kamu pernah mengalami kesulitan waktu membaca atau ada pendapat lain tentang gaya penulisannya?

(29)

126 Julius: Sebenarnya aku enggak pernah mengalami kesulitan mungkin karena aku juga berkuliah di luar negeri, sebenarnya dicampur bahasa Inggris enggak masalah karena itu bahasa sehari-hari. Jadi untuk bahasa enggak ada masalah dan aku merasa kadang ketika suatu komunitas, sebenarnya Catch Me Up di Instagram kan juga sebagai komunitas bukan cuma media. Ketika komunitas mencampurkan bahasa Inggris ke dalam konten mereka, itu sedikit demi sedikit menyaring audiens mereka dan fokus mereka pun jadi lebih bagus. Contohnya pemberitaan Folkative mereka rata-rata full bahasa Inggris, di situ audiensnya tersaring terlihat dari perbedaan di kolom komentar, bagaimana orang yang menanggapi news-nya.

Menurut aku enggak masalah kalau itu cara menyaring audiens.

Lintang: Catch Me Up target pembacanya milenial, termasuk gen Z awal sehingga tujuan mereka mau generasi ini baca berita yang dianggap berat dikemas menjadi lebih ringan. Menurut kamu apakah tujuan mereka tercapai untuk menargetkan anak muda dan mengemas berita dengan lebih ringan?

Julius: Menurutku tercapai karena setelah subscribe jadi lebih tertarik untuk tetap up to date. Karena dulu meskipun aku meluangkan waktu untuk buka newsletter lain, tapi cuma baca satu paragraf dan berhenti. Bosan karena membawakan berita story telling-nya enggak sebagus Catch Me Up. Kalau Catch Me Up kan anak muda banget, itu kan memang tujuan mereka mencampurkan bahasa Jaksel.

Mungkin target audiens mereka orang yang sehari-hari menggunakan bahasa seperti itu. Jadi lebih relate dengan apa yang ada di sekitar dan lebih senang mengikuti beritanya.

Lintang: Setiap awal pekan Catch Me Up membawakan rangkuman berita COVID-19 selama sepekan. Apakah kamu sadar dengan rangkuman itu? Ada segmen domestik dan internasional. Bagaimana pendapatmu soal rekap berita tersebut?

Julius: Aku sadar dengan rekap itu. Updatenya pun kan enggak cuma lokal, tapi ada foreign juga. Menurut aku itu efektif banget karena di masa sekarang enggak setiap saat untuk ikutin, udah enggak seheboh dulu.

Orang makin lama makin bosan dengan berita COVID-19. Dulu kan heboh banget waktu di awal. Kalau kita update setidaknya mingguan, tahu bagaimana progress dan kebijakan pemerintah lokal maupun di luar, menurutku kita harus tahu. Ujung-ujungnya kan kita yang merasakan dampaknya.

Lintang: Dalam kegiatan sehari-hari, ada enggak dampak yang dirasakan secara langsung? Misal kuliah online, enggak bisa pulang ke Indonesia

Julius: Jelas kerasa banget enggak bisa pulang ke Indonesia. Aku rasa pulang itu udah hampir 1,5 tahun lalu sebelum COVID-19. Dari pemerintah Singapura juga enggak menganjurkan untuk pulang ke Indonesia karena takutnya susah untuk pulang lagi. Mayoritas pelajar Indonesia di Singapura juga tahan dulu kangen pulang ke

Referensi

Dokumen terkait

5 Juni 2020 Kala Pemilik Ulayat di Papua Meninggal Usai Protes Lahan Tergusur Perusahaan

PODCAST COBA DENGAR SUDAH MENGUMPULKAN CURHATAN PENGGUNA SOCIAL MEDIA MENGENAI BAGAIMANA SOCIAL MEDIA MEMPERNGARUHI EMOSI MEREKA// INI DIA TANGGAPANNYA//.. *Penayangan

1’ Bridging Topik • Podcaster memberikan resume atau ringkasan pembahasan di episode 1. • Podcaster menjelaskan isu atau topik yang akan dibahas di episode 2. •

executive nya harus mengetahui tahapan tahapan melayani customer seperti awal customer masuk kita melakukan greetings terlebih dahulu setelah itu kita menemani customer

Terus kemudian kalau tadi webinar itu terkait dengan acara Taniversary nya jadi orang yang diundang kan tadi KOL, influencer, terus kemudian ada artis gitu ya oke itu

V: Pak, sama saya mau nanya satu lagi, masih bersangkutan pak, nah podcast Cek Fakta KBR ini kan dalam satu episode ada Top 5 Chart, nah dari judul ny memang

Kalau saat ini kamu merasa baik- baik saja ketika menjalani hubungan yang toxic dengan pasanganmu, kamu harus mengecek ulang ke dalam dirimu, nih. Nyatanya,

KEBUGARAN JASMANI KALIAN / HOTEL KURETAKESO JUGA MENYEDIAKAN GYM LOH SOBAT TRAVEL // NAMUN DI MASA PANDEMI SEKARANG INI ADA PROTOKOL KESEHATAN YANG DI TETAPKAN /