• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 8 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 8 Universitas Kristen Petra"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1 Service Quality

Produk yang diberikan oleh suatu perusahaan terdiri dari dua jenis, yaitu produk berbentuk barang dan jasa / layanan (service). Ada beberapa perbedaan utama antara layanan dan barang, salah satunya adalah sifat dari layanan yang tidak berwujud sedangkan barang berwujud. Karena layanan tidak berwujud, maka untuk mengukur kualitas layanan menjadi lebih rumit. Pengukuran kualitas layanan dapat dilakukan salah satunya melalui peninjauan mengenai seberapa banyak layanan yang diberikan yang telah memenuhi harapan pelanggan, Emel Kursunluoglu (2014).

Sependapat dengan (Lewis dan Mitchell, 1990; Dotchin dan Oakland, 1994a; Asubonteng et al., 1996; Wisniewski dan Donnelly, 1996) bahwa kualitas layanan / service quality merupakan sejauh mana suatu layanan memenuhi kebutuhan atau harapan pelanggan. Sehingga dapat dikatakan bahwa service quality adalah bagaimana kualitas layanan yang ditawarkan memenuhi standar harapan pelanggan. Dengan kata lain, sejak awal pelanggan sudah memiliki harapan terhadap suatu bentuk standar pelayanan, yang menjadi perdebatan adalah apakah harapan yang dimiliki oleh pelanggan benar - benar terpenuhi atau tidak. Sehingga cukup penting untuk mengetahui apa yang menjadi harapan dari para konsumen.

Agar konsumen selalu merasa terpuaskan dengan pelayanan yang diberikan, yang dianggap selalu memberikan layanan yang terbaik.

Sehingga melalui pemikiran ini, Parasuraman dkk (1985; 1988).

mengembangkan skala untuk mengukur service quality, yang populer dengan sebutan SERVQUAL. Skala ini mengoperasionalkan service quality dengan menghitung selisih antara harapan dan persepsi, sehingga terdapat lima dimensi service quality yang dikenal sebagai tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.

Tangibles

Bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya pada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan

(2)

prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Ini meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan lainnya), teknologi (peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan), serta penampilan pegawainya. Secara singkat dapat diartikan sebagai penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil, dan materi komunikasi.

Reliability

Kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Harus sesuai dengan harapan pelanggan berarti kinerja yang tepat waktu, pelayanan tanpa kesalahan, sikap simpatik dan dengan akurasi tinggi. Secara singkat dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memberikan layanan yang dijanjikan secara akurat, tepat waktu, dan dapat dipercaya.

Responsiveness

Kemampuan untuk membantu pelanggan dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat kepada pelanggan. Yaitu seberapa besar karyawan badan usaha memberikan pelayanan yang tanggap terhadap pelanggan bilamana pelanggan membutuhkan suatu informasi. Salah satunya adalah kesigapan dan ketulusan karyawan dalam menjawab pertanyaan atau permintaan pelanggan.

Assurance

Pengetahuan, keramahan para karyawan, dan kemampuan para karyawan untuk menciptakan kepercayaan dan keyakinan pelanggan. Ada 4 aspek dari dimensi assurance, yaitu keramahan, kompetensi, kredibilitas, dan keamanan.

Keramahan adalah salah satu aspek kualitas pelayanan yang paling mudah dirasakan oleh pelanggan. Dimana ramah disini berarti banyak senyum dan bersikap sopan kepada pelanggan. Aspek kedua adalah kompetensi artinya bagaimana seorang karyawan melayani pelanggan dengan ramah dan tepat dalam memberi jawaban yang baik pada setiap pertanyaan yang ditanyakan oleh para pelanggan, karena hal ini dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap kualitas pelayanan. Maka dari itu, sangat penting untuk terus memberikan training kepada karyawan, terutama karyawan yang berada pada baris depan mengenai

(3)

pengetahuan produk dan hal-hal lain yang sering menjadi salah satu tolak ukur pelanggan dalam penilaian layanan. Aspek yang ke empat dari dimensi ini adalah security artinya pelanggan mempunyai rasa aman dalam melakukan transaksi.

Aman karena perusahaan jujur dalam mentransaksi, mencatat, mengirim barang, dan melakukan penagihan sesuai dengan yang diminta dan dijanjikan.

Empathy

Memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki suatu pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. Dimensi empathy terdiri dari tiga sub dimensi, yaitu Access (Akses), tingkat kemudahan untuk dihubungi dan ditemuinya pihak penyedia jasa kepada pelanggannya. Communication (Komunikasi), kemampuan pihak penyedia jasa untuk selalu menginformasikan sesuatu dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh pelanggan dan pihak penyedia jasa selalu mau mendengarkan apa yang disampaikan oleh pelanggan.

Understanding Customer (Mengerti Pelanggan), tingkat usaha pihak penyedia jasa untuk mengetahui dan mengenal pelanggan beserta kebutuhan-kebutuhannya.

2.2 Retail Service Quality

Karena service quality dalam ritel berbeda dari lingkungan layanan pada umumnya (Finn, 2004), maka pengukuran kualitas dalam ritel tidak dapat didekati dengan cara yang sama seperti perspektif layanan biasa. Dalam layanan ritel, perlu untuk melihat kualitas baik dari segi harapan terhadap layanan maupun harapan terhadap barang (Mehta et al., 2000). Kedua pernyataan berikut juga disetujui oleh Nadiri dan Tümer (2009) yang menyatakan dari hasil studi bahwa memang model SERVQUAL telah menjadi dasar dari pengukuran layanan pada ritel, namun dimensi pada SERVQUAL tidak dapat benar-benar valid untuk mengukur layanan pada lingkungan ritel sehingga membutuhkan dimensi yang lebih kompleks. Dalam

(4)

ritel menawarkan berbagai macam hal, yaitu campuran antara barang dagangan dan layanan. Dan pengalaman konsumen di toko ritel juga termasuk didalamnya, melibatkan kegiatan seperti kemudahan menemukan barang yang dicari, berinteraksi dengan berbagai personil toko, dan mengembalikan barang yang tidak memuaskan. Semuanya memiliki pengaruh langsung pada penilaian pelanggan mengenai kualitas layanan (Nadiri dan Tümer., 2009).

Finn dan Lamb telah menguji instrumen ‚SERVQUAL dalam empat toko ritel yang berbeda, tetapi karena mereka tidak dapat menemukan kecocokan yang baik antara data mereka dan struktur kelima faktor instrumen. Sehingga Nadiri dan Tümer (2009) menyimpulkan bahwa‚ SERVQUAL tanpa modifikasi, tidak dapat digunakan sebagai instrumen pengukuran dalam retail service quality. Dengan alasan ini Dabholkar dkk. (1996) mengembangkan Retail Service Quality Scale (RSQS) untuk menangkap dimensi penting bagi pelanggan ritel yang terdiri dari lima dimensi dasar, yaitu

Aspek Fisik (Physical Aspect)

Dimensi aspek fisik merupakan peralatan dan perlengkapan, fasilitas fisik, bahan yang terkait dengan toko. Hal ini juga memperhitungkan baik penampilan maupun kenyamanan yang ditawarkan kepada pelanggan oleh tata letak fasilitas fisik. Bitner (1992) merujuk pengantara fisik menggunakan istilah "servicescape"

yang merupakan kombinasi dari layanan dan pemandangan, dan itu termasuk: a) Ambient condition- suhu, kualitas udara, dan kebisingan b) Ruang dan fungsi-tata letak, peralatan c) Tanda dan simbol, gaya dekorasi, dan artefak pribadi.

Reliabilitas (Reliability)

Dimensi ini mencakup penepatan janji untuk melakukan sesuatu, menyediakan layanan yang tepat, ketersediaan barang dagangan, dan transaksi penjualan tanpa kesalahan dan catatan.

Interaksi pribadi (Personal Interaction)

Dimensi interaksi pribadi mencakup karyawan yang memiliki pengetahuan untuk menjawab pertanyaan pelanggan, menginspirasi, memiliki kepercayaan diri,

(5)

memberikan layanan yang cepat, kesediaan untuk menanggapi permintaan pelanggan, memberikan perhatian khusus kepada pelanggan, menunjukkan rasa hormat kepada pelanggan dan memperlakukan mereka dengan sopan baik interaksi secara langsung maupun interaksi melalui media lain.

Pemecahan Masalah (Problem Solving)

Dimensi pemecahan masalah dari ritel termasuk kesediaan ritel untuk menangani pengembalian dan penukaran barang, menunjukkan niat yang tulus ketika ada masalah dan dalam menangani keluhan pelanggan.

Kebijakan (Policy)

Dimensi kebijakan mencakup kualitas barang dagangan, kenyamanan parkir dan jam operasi dan apakah pihak ritel menyediakan fasilitas kartu kredit.

2.3 Perceived Quality

Kualitas kini telah dipandang secara luas, dimana tidak hanya menekankan pada hasil saja, tetapi juga mencakup sebuah proses, lingkungan, dan sumber daya manusia (Goetsch dan Davis yang dikutip Yamit (2010)). Kualitas merupakan suatu proses didalam penilaian suatu produk atau jasa yang akan dirasakan langsung dari pelanggan atau si penerima pelayanan itu sendiri. Sehingga cukup perlu untuk memperhatikan dalam menyediakan kualitas yang terbaik dalam suatu produk. Dan untuk persepsi sendiri memiliki arti sebagai suatu proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan dengan menggunakan indra-indra yang dimiliki sehingga seseorang dapat menyimpulkan dari informasi yang didapat dan menafsirkan pesan (Desiderato dalam Rakhmat (2005)).

Perceived quality menjadi salah satu faktor penunjang bagi suatu perusahaan untuk dapat terus eksis dalam dunia bisnis. Karena Mei, Yoon dan Kim (2011, p. 273) menyebutkan, bahwa perceived quality mengacu pada evaluasi atau penilaian pelanggan terhadap suatu produk atau merek yang memenuhi harapan individu. Hal serupa juga dikemukakan oleh Jiang dan Wang, (2006) yang mendefinisikan perceived quality sebagai evaluasi konsumen terhadap kinerja

(6)

layanan yang diterima setelah dibandingkan dengan ekspektasi mereka. Sehingga tingkat perceived quality yang berbeda dari konsumen memiliki pengaruh yang berbeda pula terhadap minat pembelian mereka. Dengan kata lain, perceived quality yang positif akan berpengaruh positif juga terhadap minat pembelian,begitu juga sebaliknya. Hal ini didukung oleh pernyataan (Yang & Wang, 2010; Wu et al., 2011; Jaafar & Laip, 2012) yang menegaskan bahwa perceived quality adalah salah satu kriteria paling penting yang mempengaruhi minat pembelian konsumen terhadap produk. Mengacu kepada pendapat David A. Garvin (Durianto, 2004:98) dimensi perceived quality dibagi menjadi tujuh, yaitu:

● Kinerja, melibatkan berbagai karakteristik operasional utama.

● Pelayanan, mencerminkan kemampuan memberikan pelayan kepada produk tersebut.

● Ketahanan, mencerminkan umur ekonomis dari produk atau jasa tersebut.

● Keandalan, konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya.

● Karakteristik produk atau jasa, bagian-bagian tambahan dari produk yang memberi penekanan bahwa perusahaan memahami kebutuhan pelanggannya yang dinamis sesuai perkembangan.

● Kesesuaian dengan spesifikasi, merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah teruji.

● Hasil, mengarah kepada kualitas yang dirasakan melibatkan enam dimensi sebelumnya.

2.4 Customer Satisfaction

Sedikit mengulas mengenai satisfaction / kepuasan adalah pengalaman

"pasca konsumsi" yang membandingkan kualitas yang dirasakan dengan kualitas yang diharapkan (Anderson & Fornell, 1994; Parasuraman et al., 1985). Namun yang dimaksud dengan pasca konsumsi ini kemudian dibagi menjadi dua, yaitu kepuasan terhadap transaksi tertentu dan kepuasan secara umum atau keseluruhan.

Maka menurut Chen dan Tsai (2007) kepuasan dalam transaksi tertentu

(7)

dimaksudkan untuk menjadi pengalaman yang dirasakan setelah pembelian konsumen pada waktu tertentu, sementara kepuasan secara keseluruhan dimaksudkan sebagai pengalaman yang dirasakan dari seluruh proses selama transaksi dengan penyedia layanan. Sehubungan dengan kasus ini, akan lebih mengarah pada kepuasan secara keseluruhan.

Dalam pasar yang kompetitif dimana bisnis bersaing untuk mendapatkan pelanggan, kepuasan pelanggan / customer satisfaction dianggap sebagai pembeda utama dan semakin menjadi elemen kunci strategi bisnis (Belas & Gabcova, 2014;

Belas, Cipovova & Demjan,2014; Chavan & Ahmad, 2013). Sehingga perusahaan harus mulai memikirkan bagaimana menciptakan pengalaman yang memuaskan atau memenuhi harapan dari konsumen setelah mereka ‘mengkonsumsi’ produk dari perusahaan. Sehingga hal ini dapat menciptakan sebuah perasaan puas bagi konsumen. Hal ini didukung dengan pendapat dari Kotler (2005) bahwa customer satisfaction adalah perasaan senang atau kecewa seseorang, yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap layanan yang dirasakan atau hasil suatu barang dan jasa dari harapan-harapannya. Berdasarkan pengukuran dimensi kepuasan pelanggan yang dilakukan oleh Zeithaml (2006) mengatakan terdapat 3 dimensi dalam Customer satisfaction yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Satisfaction as fulfillment.

Pelanggan akan merasa puas apabila kebutuhan mereka tercukupi atau terpenuhi. Disaat pelanggan merasa kebutuhannya sudah terpenuhi dengan cukup baik, maka kecenderungan pelanggan akan lebih bersifat acuh dan memiliki respon pelanggan yang pasif. Sehingga contentment merupakan komponen dari satisfaction as fulfillment dan juga menjadi dampak dari satisfaction as fulfillment.

2. Satisfaction as pleasure.

Pelanggan merasa sangat senang dapat bertransaksi dengan perusahaan.

Seluruh kebutuhannya tercukupi dan sangat memuaskan pelanggan. Satisfaction as pleasure merupakan gabungan dari satisfaction as delight, karena pelanggan merasa senang dan puas dan membuat perusahaan tidak memiliki citra yang buruk

(8)

di mata pelanggan. Sehingga satisfaction as pleasure dan satisfaction as delight merupakan hasil hubungan yang positif antara perusahaan dengan pelanggan.

3. Satisfaction as relief

Dalam beberapa situasi, dimana konsumen mengesampingkan hal negatif mengarah pada kepuasan, konsumen dapat mengaitkan kelegaan terhadap hal tersebut dengan kepuasan yang dirasakan.

2.5 Minat Berkunjung Ulang

Pengertian minat menurut Kotler dan Susanto (2000: 165) bahwa minat merupakan dorongan, yaitu rangsangan internal yang kuat yang memotivasi tindakan, dimana dorongan ini dipengaruhi oleh stimulus dan perasaan positif akan produk. Minat menunjukkan keinginan seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku. Dari pandangan ini, perilaku yang dimaksud adalah niat pengunjung untuk mengunjungi kembali dalam setahun dan kesediaan mereka untuk sering melakukan perjalanan ke tujuan yang sama (Baker & Crompton, 2000). Sehingga Revisit Intention dapat didefinisikan sebagai kesediaan konsumen untuk membeli produk atau jasa yang sama, dan hal tersebut merupakan prediktor yang sederhana, obyektif, dan merupakan perilaku pembelian dimasa mendatang yang dapat diamati (Lin dan Liang, 2011; Jones dan Sasser, 1995; Seiders et al., 2005, dalam Kuo et al., 2013:170).

Sebuah studi menunjukkan bahwa ketika pengunjung mengalami pengalaman yang lebih menyenangkan dan mengesankan dari yang diharapkan, maka lebih besar kemungkinan mereka untuk kembali ke tujuan yang sama dimasa depan. Pernyataan ini diambil dari penelitian yang dilakukan di Kepulauan Balearic yang menyatakan bahwa respon yang positif dari pengunjung, akan meningkatkan kemungkinan niat mereka untuk kembali (Juaneda 1996). Menurut Baker dan Crompton dalam Chung-Hslen Lin (2012) terdapat dua dampak yang dapat menimbulkan niat berkunjung ulang, yaitu:

(9)

Intention To Recommend

Yaitu sebuah keinginan dari dalam diri seseorang atau konsumen untuk merekomendasikan kepada orang lain.

Intention To Revisit

Yaitu sebuah keinginan dari dalam diri seseorang atau konsumen untuk melakukan kunjungan kembali.

2.6 Hubungan Antar Konsep

Berdasarkan teori pendukung di atas, variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Retail Service Quality, Perceived Quality, Customer Satisfaction, dan Minat Berkunjung Ulang. Untuk mengetahui pengaruh dari setiap hubungan tersebut dalam membentuk Minat Berkunjung Ulang, dibutuhkan adanya hubungan antar konsep. Berikut adalah beberapa hal yang menurut peneliti dapat mempengaruhi Minat Berkunjung Ulang.

2.6.1 Hubungan Retail Service Quality dengan Customer Satisfaction

Antreas (1997) menemukan bahwa customer satisfaction merupakan fungsi akibat dari service quality yang dirasakan oleh konsumen. Sehingga dampak yang dihasilkan pun akan serupa, dengan kata lain service quality yang baik, akan berdampak baik juga terhadap customer satisfaction dan begitu pula sebaliknya.

Hal ini didukung oleh pernyataan Ekinci (2003) yang menyatakan bahwa evaluasi kualitas layanan mengarah pada kepuasan pelanggan. Selain itu, dari hasil penelitian Tamara, Jaroslav, dan Janka (2013), juga telah menunjukkan bahwa terdapat dampak signifikan antara retail service quality terhadap customer satisfaction.

Sehingga mengukur dan mengelola retail service quality adalah penting karena secara signifikan mempengaruhi customer satisfaction, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Tamara, Jaroslav dan Janka (2013). Dan telah sedikit disinggung diatas bahwa dalam kasus ini, kepuasan yang akan lebih dibahas dari kedua jenis kepuasan yaitu kepuasan transaksi tertentu dan kepuasan secara keseluruhan yang dikemukakan oleh Chen dan Tsai (2007), adalah kepuasan secara keseluruhan atau merupakan pengalaman pasca konsumsi yang dirasakan

(10)

konsumen setelah melalui serangkaian proses transaksi dengan penyedia layanan pada ritel.

2.6.2 Hubungan Retail Service Quality dengan Perceived Quality

Turel dan Serenko, (2004) berpendapat bahwa perceived quality adalah penilaian yang tercipta dari pengalaman nyata pelanggan tentang layanan. Sehingga perusahaan harus memperhatikan detail dari layanan yang mereka berikan kepada konsumen. Karena hal sekecil apapun dapat berdampak kepada persepsi yang nantinya akan tercipta dibenak konsumen. Seperti contoh layanan yang disampaikan oleh (Reimann, Lünemann dan Chase, 2008) bahwa penyampaian layanan yang lebih cepat akan dianggap sebagai kualitas layanan yang tinggi atau baik, sementara pengiriman yang lebih lambat akan dianggap sebagai kualitas layanan yang rendah atau kurang.

Oleh karena itu Hamer, (2006), menyarankan bahwa jika perusahaan ingin meningkatkan perceived quality, perusahaan harus mengurangi adanya kesenjangan antara kualitas yang diharapkan dengan kualitas layanan yang sesungguhnya diterima konsumen. Hal ini didukung oleh pernyataan Mont dan Plepys, (2003) bahwa perceived quality yang tinggi diperoleh ketika kualitas layanan yang diterima memenuhi harapan konsumen. Dan adanya hubungan antar variabel juga telah terbukti melalui penelitian yang telah dilakukan oleh Harris Setiono (2013) bahwa terdapat hubungan yang positif antara Retail service quality dengan perceived quality, dengan dimensi policy yang dipersepsikan paling positif.

2.6.3 Hubungan Perceived Quality dengan Customer Satisfaction

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa perceived quality merupakan evaluasi konsumen terhadap kinerja layanan yang diterima setelah dibandingkan dengan ekspektasi mereka, Jiang dan Wang, (2006). Sedangkan customer satisfaction adalah perasaan senang atau kecewa seseorang, yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap layanan yang dirasakan atau hasil suatu barang dan jasa dari harapan-harapannya Kotler (2005). Kedua hal ini sama - sama merupakan efek dari pra konsumsi layanan yang diterima.

(11)

Iglesias dan Guille'n, (2004) mengungkapkan bahwa perceived quality memiliki pengaruh langsung dan positif pada tingkat customer satisfaction. Karena menurut Parasuraman dkk, (1988), customer satisfaction sendiri terbentuk dari hasil perceived quality dengan ekspektasi konsumen. Dengan kata lain, customer satisfaction merupakan dampak dari perceived quality yang dialami oleh konsumen. Selain itu, menurut teori American Customer Satisfaction Index (ACSI) dan penelitian Saif Mullah (2012), terungkap bahwa perceived quality dianggap sebagai penentu pertama dari customer satisfaction secara keseluruhan. Dan dalam kasus ritel, kedua hal ini juga memiliki hubungan. Terbukti dengan adanya penelitian sebelumnya diritel konvensional yang menyimpulkan bahwa perceived quality memiliki efek positif pada kepuasan pelanggan (Cronin, et al, 2000; Johnson

& Fornell, 1991; Chris Teneson et al, 1999). Hasil yang serupa juga dikemukakan dari hasil studi Rizwan,Javed, Aslam, Khan & Bibi (2014).

2.6.4 Hubungan Customer Satisfaction dengan Minat Berkunjung Ulang Kim et al. (2011) mengungkapkan bahwa konsumen mengunjungi pusat perbelanjaan tidak hanya untuk mencari produk tertentu, tetapi mereka juga melihat kunjungan ini sebagai aktivitas hiburan yang memberikan kenikmatan dan kesenangan dari pengalaman berbelanja. Dan juga selain bertujuan untuk berbelanja, konsumen mengunjungi pusat perbelanjaan juga untuk tujuan hiburan seperti menonton film, merayakan acara-acara khusus, dan untuk makan di luar.

Sehingga dengan tujuan - tujuan tersebut, perusahaan perlu untuk memaksimalkan segala bentuk layanannya agar dapat memenuhi ekspektasi konsumen, sehingga menimbulkan kepuasan. Detail dari kepuasan ini didasarkan pada argumen Kozak bahwa motivasi dari satu orang dengan orang lain berbeda meskipun dalam kelompok yang sama, atau dari satu grup dengan grup lain dengan aktivitas yang sama.

Selain itu menurut Baker dan Crompton (2000) dengan mengukur kepuasan pengunjung, dari sini dapat diketahui minat di masa depan atau apakah konsumen tersebut memiliki niat untuk melakukan kunjungan ulang. Hal ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Valle, Silva, Mendes dan Guerreiro (2006),

(12)

bahwa konsumen dengan tingkat kepuasan yang tinggi, juga memiliki kesediaan yang tinggi untuk berkunjung kembali, dan mereka dengan tingkat kepuasan rendah, memiliki niat yang lemah untuk berkunjung kembali.

2.6.5 Hubungan Perceived Quality dengan Minat Berkunjung Ulang

Perceived quality yang dimiliki oleh konsumen akan berpengaruh terhadap kesediaan / motivasi konsumen tersebut untuk membeli sebuah produk, ini berarti bahwa semakin tinggi nilai yang dirasakan oleh konsumen, maka semakin tinggi pula kesediaan / motivasi konsumen tersebut untuk akhirnya membeli. Hal ini didukung oleh pernyataan Kotler (1991) bahwa persepsi akan situasi memengaruhi aksi orang yang termotivasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Linda, Yennike, Eri (2015) menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi mutu pelayanan dengan minat kunjungan ulang. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tri (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan persepsi mutu dengan minat kunjungan ulang di RS Ortopedi dr R. Soeharso Surakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kesesuaian dengan teori yang telah dikemukakan oleh Parasuraman, dkk (1988) bahwa terdapat hubungan secara langsung antara perceived quality dengan minat kunjungan ulang.

Dan juga didukung melalui penelitian Babin, Chebat, dan Michon (2004) yang meneliti mengenai penentu yang memengaruhi pemilihan ritel konsumen di Amerika Serikat. Mereka menemukan ketika kesesuaian perseptual menurun, pengaruh positif menurun, pemberian peringkat kualitas lebih rendah, dan persepsi nilai pembelanjaan pribadi lebih rendah maka lebih sedikit perilaku pendekatan.

Sehingga dengan kata lain, ketika perceived quality menurun, maka motivasi atau minat berkunjung ulang juga akan ikut menurun.

(13)

2.7 Kerangka Konseptual

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Sumber: Olahan Penulis

2.8 Hipotesa

H1 :Retail Service Quality berpengaruh terhadap Perceived Quality H2 :Retail Service Quality berpengaruh terhadap Customer Satisfaction H3 :Perceived Quality berpengaruh terhadap Customer Satisfaction H4 :Perceived Quality berpengaruh terhadap Minat berkunjung ulang H5 :Customer Satisfaction berpengaruh terhadap Minat berkunjung ulang

H2 Retail Service Quality

1. Physical aspects

2. Reliability

3. Personal interaction

4. Problem solving

5. Policy Dabholkar (1996)

Retail Service Quality

Customer satisfaction

Minat berkunjun

g ulang H1

Customer satisfaction 1. Satisfaction as

fulfillment 2. Satisfaction as

pleasure

3. Satisfaction as relief Zeithaml (2009)

Perceived Quality

H4 H3

Perceived quality

1. Kinerja

2. Pelayanan

3. Ketahanan

4. Keandalan

5. Kesesuaian dengan spesifikasi

6. Karakteristik produk

7. Hasil

David A. Garvin (Durianto, 2004)

Minat berkunjung ulang 1. Intention to recommend 2. Intention to revisit Baker dan Crompton dalam Chung-Hslen Lin (2012)

H5

(14)

2.9 Kerangka Berpikir

Latar Belakang

- Kini manusia mempunyai alternatif berbelanja di mall sebagai pendukung pemenuh kebutuhan.

- Tidak berfokus pada barang kebutuhan saja, pelayanan yang diberikan oleh pihak mallpun juga turut andil dalam

menciptakan minat.

Rumusan Masalah

1. Apakah Retail Service Quality berpengaruh terhadap Perceived Quality pada Galaxy Mall Surabaya?

2. Apakah Retail Service Quality berpengaruh terhadap Customer satisfaction pada Galaxy Mall Surabaya?

3. Apakah Perceived Quality berpengaruh terhadap Customer satisfaction pada Galaxy Mall Surabaya?

4. Apakah Perceived Quality berpengaruh terhadap Minat berkunjung ulang pada Galaxy Mall Surabaya?

5. Apakah Customer satisfaction berpengaruh terhadap Minat berkunjung ulang pada Galaxy Mall Surabaya?

(15)

Gambar 2.2.Kerangka Berpikir Sumber: Olahan Penulis

H2 Retail Service

Quality

Customer satisfaction

Minat berkunjung

ulang

H5 H1

Perceived Quality

H4

H3

Sampel & Alat Analisa Sampel

-. Metode : Kuantitatif

-. Kriteria : pengunjung yang berdomisili di Surabaya dan pernah mengunjungi Galaxy Mall Surabaya setidaknya dua kali dalam kurun waktu tiga bulan terakhir pada saat pengisian kuesioner (januari 2018- maret 2018) dan melakukan interiaksi dengan karyawan mall

(satpam,resepsionis,petugas parkir,dll).

-. Jumlah :100 responden Alat Analisa

-. PLS

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Hariadi (2005) key success factor adalah variabel-variabel penting dalam lingkungan intern maupun ekstern perusahaan yang sangat mempengaruhi kesuksesan perusahaan dalam

Sebuah perusahaan yang sukses adalah yang telah menemukan salah satu cara untuk menciptakan nilai bagi pelanggan, yaitu cara untuk membantu pelanggan mendapatkan sesuatu

Selain itu, dengan semakin tinggi usaha sebuah perusahaan menjaga kepercayaan konsumen mereka, semakin tinggi level brand trust yang mereka upayakan, maka akan

Tanpa mengecilkan atau mengurangi arti penting dari definisi-definisi budaya organisasi, peneliti merangkum definisi bahwa budaya organisasi adalah kebiasaan-kebiasaan yang terjadi

Jadi brand personality adalah suatu cara yang bertujuan untuk menambah daya tarik merek dengan memberi karakteristik pada merek tersebut, yang bisa didapat melalui

Dari berbagai definisi intellectual capital diatas, dapat disimpulkan bahwa IC merupakan modal yang penting yang harus dimiliki perusahaan karena merupakan aset

Sebelumnya, strain ratio diperhitungkan terlebih dahulu sebagai perbandingan antara deformasi yang terjadi pada VSL Gensui damper (δ) terhadap tebal karet damper

Komunikasi dapat menumbuhkan motivasi dalam organisasi karena dalam suatu organisasi, individu-individu berkomunikasi baik dari atasan kepada bawahan (downward