• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS. Oleh. Mulyadi /IKM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS. Oleh. Mulyadi /IKM"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

i

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

Oleh

Mulyadi 137032238/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN

2016

(2)

DISASTER MANAGEMENT POLICY IMPLEMENTATION IN THE FIELD OF HEALTH DISTRICT NORTH ACEH

THESIS

BY

MULYADI 137032238/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH PROGRAM STUDY FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA MEDAN

2016

(3)

i

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

Mulyadi 137032238/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(4)

Judul Tesis : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN ACEH UTARA

Nama Mahasiswa : Mulyadi Nomor Induk Mahasiswa : 137032238

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Manajemen Kesehatan Bencana

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes) (H. Abdul Muthalib Lubis, S.H, M.A.P Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

Tanggal Lulus : 26 Januari 2016

(5)

i Telah diuji

Pada Tanggal : 26 Januari 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes

Anggota : 1. H. Abdul Muthalib Lubis, S.H, M.A.P 2. Dr. Juanita, S.E, M.Kes

3. dr. Heldy B.Z, M.P.H

(6)

PERNYATAAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain. Kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2016

Mulyadi 137032238/IKM

(7)

i ABSTRAK

Masalah kesehatan yang terjadi akibat kedaruratan dan bencana menyebabkan timbulnya kerugian berupa gangguan kehidupan dan penghidupan manusia, kerusakan lingkungan dan sarana kesehatan yang pada gilirannya akan menghambat laju pembangunan nasional. Salah satu sektor yang membutuhkan kesiapsiagaan adalah sektor kesehatan. Bencana yang berkepanjangan dapat memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan, oleh karena itu kesiapsiagaan dalam sektor kesehatan merupakan hal yang harus diperhatikan secara khusus.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Model yang digunakan adalah studi kasus. Informan penelitian ini terdiri atas informan kunci yaitu : BPBD, Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit, sedangkan Informan pendukung terdiri atas Puskesmas, PMI dan tokoh masyarakat. Metode analisis data dalam penelitian ini difokuskan dalam proses penelitian di lapangan

Dinas kesehatan tergolong kurang patuh dalam mengimplementasikan kebijakan penanggulangan bencana pada saat pra bencana dan pasca bencana sebab masih ada aktivitas yang belum dilakukan. Pada saat bencana dinas kesehatan tergolong patuh karena dapat melaksanakan keseluruhan aktivitas penanggulangan bencana sesuai dengan Kepmenkes yang ditentukan. Komunikasi merupakan aspek yang sangat berkaitan erat dengan implementasi kebijakan penanggulangan bencana, komunikasi dalam bentuk kordinasi yang dibangun BPBD membantu dinas kesehatan dalam pelayanan kesehatan pada waktu pra, saat dan pasca bencana.

Dinas kesehatan harus melakukan pelatihan kepada stafnya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang belum dimiliki tenaga tesehatan dalam rangka penanggulangan bencana. Dinas kesehatan sebaiknya mengalokasikan pembiayaan penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung penanggulangan bencana bidang kesehatan

Kata Kunci :Implementasi Kebijakan, Penanggulangan Bencana , Kepatuhan

(8)

ABSTRACT

Health problems caused by emergencies and disasters cause disruption in the form of loss of human lives and livelihoods, damage to the environment and health facilities which in turn will hamper the pace of national development. One sector that requires preparedness is the health sector. Prolonged disasters can have a negative effect on health, therefore preparedness in the health sector is to be considered specifically.

This study used a qualitative approach. The model used is a case study. The informants consisted of key informants, namely: BPBDs, Department of Health and Hospitals, while supporting informants consisting of health centers, Red Cross and community leaders. Methods of data analysis in this research is focused in the research process in the field

Implementation of the policy at the time of the disaster has been made in accordance with existing policy. Communication is an aspect that is very closely linked to the implementation of disaster management policies, communication in the form of coordination is built BPBDs assist the health department in the ministry of health at the time of the pre, during and post-disaster.

Health authorities must undertake training to its staff to improve the knowledge and skills that have not held power in the context of disaster management tesehatan. Health authorities should allocate funding the provision of facilities and infrastructure to support disaster management in health

Keywords: Policy Implementation, Disaster Management, Compliance

(9)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis dipanjatkan kepada Allah SWT berkat Rahmat serta PertolonganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini yang judul " IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN ACEH UTARA”

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Managemen Kesehatan Bencana, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Subhilhar, Ph.D, selaku pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes, selaku ketua komisi pembimbing dan H. Abdul Muthalib Lubis, SH, M.A.P selaku anggota komisi pembimbing yang dengan

(10)

penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Dr. Juanita, S.E,M.Kes, sebagai ketua Komisi Penguji, dan dr. Heldy B.Z, M.P.H sebagai anggota komisi penguji, yang telah memberikan berbagai saran dan masukan.

6. Kepala Dinas Kesehatan Aceh Utara yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

7. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh Utara yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

8. Direktur Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

9. Ketua Palang Merah Aceh Utara yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

10. Kepala Puskesmas Lhoksukon yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

11. Kepala Puskesmas Buket Hagu yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

12. Kepala Desa Manyang Lhoksukon yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

13. Kepala Desa Blang Lhoksukon yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

(11)

v

14. Dosen dan staf pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Mangemen Kesehatan Becana, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

15. Orang tuaku tercinta, Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan kasih sayang,pertolongan dan doa selama ini.

16. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat angkatan 2013 Minat StudiManagemen Kesehatan Bencana.

Penulis menyadari segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Januari 2016 Penulis

Mulyadi 137032238/IKM

(12)

RIWAYAT HIDUP

Mulyadi lahir di Meunasah Manyang, Kecamatan lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara tanggal 07 Juni 1982, beragama Islam, bertempat tinggal di Kota Lhoksukon Aceh Utara, anak Ke enam dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Ismail Mahmud dan Ibu Ainsyah Ubit. Penulis belum menikah. Dimulai dengan pendidikan di Sekolah Dasar Meunasah Blang Lhoksukon (1989), SMP Neg 01 Lhoksukon (1995), SMU Neg 01 Lhoksukon (1998), Diploma III Keperawatan Pemda Aceh Utara (2000) dan Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah Lhokseumawe (2010).

Sejak tahun 2004 sampai dengan 2006 penulis bekerja sebagai Perawat di Rumah sakit umaum Cut Meutia Aceh Utara, tahun 2007 sampai saat ini bekerja sebagai salah satu tenaga Keperawatan di Puskesmas Blang Cut Kota Lhokseumawe,

Pada Tahun 2002 penulis menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Lhoksukon, tahun 2013 penulis menjadi pengurus Persatuan Berburu dan menembak Indonesia wilayah lhokseumawe, tahun 2015 penulis menjadi pengurus Ikatan Keluarga Anti Narkoba Lhokseumawe, tahun 2015 pula penulis menjadi pengurus Forum Bela Negara Rayon Lhokseumawe.

(13)

vii DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1.Bencana ... 11

2.2.Kesiapsiagaan Bencana ... 16

2.3.Kesiapsiagaan Bencana Bidang Kesehatan ... 19

2.4.Kebijakan ... 25

2.5.Analisis Kebijakan ... 39

2.6.Kerangka Pikir ... 40

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 42

3.1. Jenis Penelitian ... 42

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.3. Informan ( Sumber Informasi) ... 43

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 49

3.5. Definisi ... 50

3.6. Metode Analisis Data ... 51

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 54

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 54

4.2. Dukungan dalam Implementasi Penanggulangan Bencana ... 58

4.3. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana ... 71

(14)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 79

5.1. Analisis Dukungan Sumber Daya Manusia dalam Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan ... 79

5.2. Analisis Dukungan Sarana dan Prasarana dalam Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan ... 85

5.3. Analisis Dukungan Keuangan dalam Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan ... 84

5.4. Analisis Dukungan Komunikasi dalam Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan ... 88

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

6.1. Kesimpulan ... 92

6.2. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95 LAMPIRAN

(15)

ix

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1 . Daftar Informan Kunci……….. 43

3.2 . Daftar Informan Pendukung Penelitian………. 45

4.1 . Jumlah Personil BPBD Kabupaten aceh Utara………. 59

4.2 . Jumlah Perlengkapan yang dimiliki Stakeholder………. 62

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Daftar Panduan Wawancara ... 98

2. Surat Surve awal ... 111

3. Surat Keputusan Penetapan Pembimbing ... 112

4. Surat Keputusan Penetapan Penelitian ... 113

5. Keterangan telah Melaksanakan Penelitian ... 114

(17)

i ABSTRAK

Masalah kesehatan yang terjadi akibat kedaruratan dan bencana menyebabkan timbulnya kerugian berupa gangguan kehidupan dan penghidupan manusia, kerusakan lingkungan dan sarana kesehatan yang pada gilirannya akan menghambat laju pembangunan nasional. Salah satu sektor yang membutuhkan kesiapsiagaan adalah sektor kesehatan. Bencana yang berkepanjangan dapat memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan, oleh karena itu kesiapsiagaan dalam sektor kesehatan merupakan hal yang harus diperhatikan secara khusus.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Model yang digunakan adalah studi kasus. Informan penelitian ini terdiri atas informan kunci yaitu : BPBD, Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit, sedangkan Informan pendukung terdiri atas Puskesmas, PMI dan tokoh masyarakat. Metode analisis data dalam penelitian ini difokuskan dalam proses penelitian di lapangan

Dinas kesehatan tergolong kurang patuh dalam mengimplementasikan kebijakan penanggulangan bencana pada saat pra bencana dan pasca bencana sebab masih ada aktivitas yang belum dilakukan. Pada saat bencana dinas kesehatan tergolong patuh karena dapat melaksanakan keseluruhan aktivitas penanggulangan bencana sesuai dengan Kepmenkes yang ditentukan. Komunikasi merupakan aspek yang sangat berkaitan erat dengan implementasi kebijakan penanggulangan bencana, komunikasi dalam bentuk kordinasi yang dibangun BPBD membantu dinas kesehatan dalam pelayanan kesehatan pada waktu pra, saat dan pasca bencana.

Dinas kesehatan harus melakukan pelatihan kepada stafnya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang belum dimiliki tenaga tesehatan dalam rangka penanggulangan bencana. Dinas kesehatan sebaiknya mengalokasikan pembiayaan penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung penanggulangan bencana bidang kesehatan

Kata Kunci :Implementasi Kebijakan, Penanggulangan Bencana , Kepatuhan

(18)

ABSTRACT

Health problems caused by emergencies and disasters cause disruption in the form of loss of human lives and livelihoods, damage to the environment and health facilities which in turn will hamper the pace of national development. One sector that requires preparedness is the health sector. Prolonged disasters can have a negative effect on health, therefore preparedness in the health sector is to be considered specifically.

This study used a qualitative approach. The model used is a case study. The informants consisted of key informants, namely: BPBDs, Department of Health and Hospitals, while supporting informants consisting of health centers, Red Cross and community leaders. Methods of data analysis in this research is focused in the research process in the field

Implementation of the policy at the time of the disaster has been made in accordance with existing policy. Communication is an aspect that is very closely linked to the implementation of disaster management policies, communication in the form of coordination is built BPBDs assist the health department in the ministry of health at the time of the pre, during and post-disaster.

Health authorities must undertake training to its staff to improve the knowledge and skills that have not held power in the context of disaster management tesehatan. Health authorities should allocate funding the provision of facilities and infrastructure to support disaster management in health

Keywords: Policy Implementation, Disaster Management, Compliance

(19)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki sumber daya alam serta keanekaragaman hayati yang besar di dunia ini. Selain potensi alam tersebut ternyata Indonesia juga disertai dengan potensi bencana yang bersumber dari alam.

Bencana yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat Indonesia, termasuk dampak bagi kesehatan masyarakat.

Secara geografis Indonesia berada di kawasan rawan bencana alam, akibat kegagalan teknologi dan akibat ulah manusia lainnya. Selain itu juga diperberat dengan adanya potensi krisis multidimensi termasuk kerusuhan sosial bernuansa SARA, kecelakaan transportasi dan industri serta Kejadian Luar Biasa akibat wabah penyakit menular. Masalah kesehatan yang terjadi akibat kedaruratan dan bencana menyebabkan timbulnya kerugian berupa gangguan kehidupan dan penghidupan manusia, kerusakan lingkungan dan sarana kesehatan yang pada gilirannya akan menghambat laju pembangunan nasional (Depkes RI, 2002).

Oleh sebab itu, agar dampak yang ditimbulkan tidak meluas dan parah maka kita harus mampu menanggulangi terjadinya bencana tersebut melalui berbagai upaya yang terintegrasi dan terencana. Penanggulangan bencana adalah bagian integral dari pembangunan nasional dalam rangka melaksanakan amanat UUD 1945, sebagaimana dimaksud di alinea ke-IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (BNPB, 2011).

1

(20)

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Begitu juga dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penanggulangan bencana dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak bencana.

Berdasarkan undang – undang nomor 24 tahun 2007 di atas diketahui juga bahwa terdapat 3 tahapan dalam menanggulangi bencana. Salah satu yang terpenting adalah tahap pra bencana yang terdiri atas pra bencana saat tidak ada bencana dan pra bencana saat ada potensi bencana. Menurut Rahadrdja (2009) penanggulangan bencana saat ini mengalami perubahan orientasi dari penanggulangan resiko berubah menjadi pengurangan risiko bencana, yang artinya penyelenggaraan penanggulangan bencana saat ini berorientasi pada tahap pra bencana daripada tahap tanggap darurat.

Begitu juga dengan kebijakan dan strategi nasional upaya penanggulangan bencana saat ini yang lebih menitiberatkan pada upaya sebelum terjadinya bencana, yang salah satunya adalah kegiatan kesiapsiagaan.

Menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (melalui pelatihan, gladi, penyiapan sarana dan prasarana, SDM, logistik dan

(21)

3

pembiayaan). Kesiapsiagaan yang tepat dan cepat dapat meminimalisir jumlah korban dan kerusakan (Ristrini, 2012).

Salah satu sektor yang membutuhkan kesiapsiagaan adalah sektor kesehatan.

Kesehatan merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian besar bagi tim penanggulangan bencana. Bencana yang berkepanjangan dapat memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan, oleh karena itu kesiapsiagaan dalam sektor kesehatan merupakan hal yang harus diperhatikan secara khusus.

Penanggulangan bencana tersebut merupakan tugas dan tanggung-jawab pemerintah dan pemerintah daerah bersama-sama masyarakat luas. Bentuk tanggung- jawab tersebut harus memenuhi kebutuhan masyarakat yang diakibatkan oleh bencana. Hal ini juga merupakan salah satu wujud perlindungan negara kepada warga negara. Termasuk juga dalam memberikan pelayanan kesehatan, struktur organisasi bidang kesehatan yang saat ini sudah terbentuk dari berbagai jenis tenaga kesehatan merupakan pelaksana pemberi pelayanan kesehatan yang juga harus diperhatikan kesiapsiagaannya sesuai dengan kebijakan yang sudah ditentukan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1653 tahn 2005 tentang pedoman penanganan bencana bidang kesehatan ( Kepmenkes RI, 2005).

Penanganan bencana di lapangan sangat bergantung pada stakeholdernya, misalnya BPBD dan khusus di bidang kesehatan ada kordinator tanggap darurat kesehatan yang dikordinir oleh dinas kesehatan, serta ada rumah sakit. Ketiga pihak ini mempunyai peran yang berbeda-beda di lapangan.

(22)

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008, BPBD merupakan kordinator utama yang bertanggungjawab mengkordinasikan seluruh elemen termasuk kesehatan dalam menangani bencana. Bila kondisi bencana terjadi maka BPBD akan memberikan intruksi sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan, sehingga bila informasi lapangan yang disampaikan salah maka akan berpengaruh terhadap penyediaan sumber daya bidang kesehatan. Kemudian dinas kesehatan yang bertanggung jawab sebagai kordinator bidang kesehatan, dinas kesehatan bertanggung jawab dalam mempersiapkan dan menyediakan seluruh sumber daya bidang kesehatan (sdm, peralatan medis, obat-obatan) yang digunakan untuk persiapan dalam menghadapi bencana.

Kemudian Rumah Sakit merupakan institusi akhir dalam pelayanan kesehatan.

Rumah sakit harus siap siaga dalam menampung korban bencana yang membutuhkan pelayanan lanjutan. Kesiapsiagaan rumah sakit dalam menampung korban bencana menentukan nyawa korban bencana, sebab korban yang dibawa ke rumah sakit adalah korban yang tidak dapat lagi ditangani di lapangan ataupun membutuhkan pelayanan lanjutan, sehingga apabila tidak siap maka berpotensi menimbulkan kematian bagi korban.

Salah satu provinsi yang pernah mengalami bencana dahsyat adalah Provinsi Aceh merupakan provinsi berada di ujung barat Indonesia. Berdasarkan Indeks Resiko Bencana tahun 2013 yang dikeluarkan oleh BNPB diketahui bahwa Provinsi Aceh tergolong ke dalam salah satu provinsi yang memiliki nilai indeks yang tinggi.

(23)

5

Salah kabupaten yang juga memiliki indeks di atas rata-rata Provinsi Aceh sebesar 160 sedangkan Kabupaten Aceh Utara dengan nilai indeks 175 (BNPB,2013).

Salah satu ancaman bencana alam sering terjadi adalah bersifat hidro- meteorologi seperti banjir, angin puting beliung, dan kekeringan, dan yang bersifat geologi seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api dan tanah longsor. Sebagian besar bencana yang sering terjadi adalah hidro-meteorologi, yaitu banjir dan angin puting beliung (DRRA, 2011).

Kabupaten Aceh Utara adalah salah satu wilayah rawan bencana dalam Provinsi Aceh. Kabupaten ini merupakan kawasan rawan bencana alam banjir yang terjadi pada setiap tahun pada skala rendah, menengah dan tinggi disebabkan oleh curah hujan diatas normal sehingga sistim pengaliran air alamiah yang terdiri dari sungai dan anak sungai dan saluran drainase tidak mampu menampung akumulasi air hujan. Ancaman bencana alam dan non alam lainnya yang sering terjadi dalam Kabupaten Aceh Utara antara lain berupa tanah longsor, angin kencang/topan, pasang purnama, abrasi, erosi dan kebocoran Amonia serta bencana-bencana berupa kecelakaan boat nelayan dan korban tenggelam di perairan lautan dan sungai ( BPBD Kabupaten Aceh Utara, 2011).

Melihat potensi bencana yang bisa kapan saja muncul maka dibutuhkan tim penanggulangan bencana yang dapat memberikan pelayanan dalam menanggulangi bencana. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Utara dengan Qanun No 3 tahun 2010 yang telah ditetapkan pada bulan Maret tahun 2010.

(24)

Sektor kesehatan merupakan salah satu sektor yang sudah dipersiapkan dalam menghadapi bencana, hal ini terlihat dari tim kesehatan yang sudah terbentuk dan terlibat dalam penanggulangan bencana yang sering terjadi di Kabupaten Aceh Utara.

Hal ini terlihat dari laporan BPBD yang menunjukkan peran serta petugas kesehatan dalam menanggulangi bencana (BPBD Kabupaten Aceh Utara, 2011).

Tim kesehatan sebagai bagian dari tim penanggulangan bencana selaku penyelenggara penanggulangan bencana di daerah yang meliputi tahap pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana dituntut untuk memiliki kesiapsiagaan yang baik, khususnya kesiapsiagaan petugas yang terlibat langsung dalam penanggulangan bencana termasuk bidang kesehatan. Berdasarkan survey awal yang dilakukan diketahui bahwa tim kesehatan sudah terlibat aktif dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, khususnya bencana banjir yang kerap menimpa kabupaten Aceh Utara.

Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana sudah dirumuskan dalam undang- undang dan peraturan pemerintah sekaligus didukung oleh peraturan daerah. Apabila kebijakan yang sudah ada tersebut diimplementasikan, maka permasalahan bencana dapat di atasi secara baik. Akan tetapi banyak hal (ketersediaan logisti, dana) yang menyebabkan implementasi tersebut tidak berjalan sesuai dengan kebijakan yang diputuskan.

Menurut Ripley (1986) bahwa implementasi kebijakan terdiri atas dua pendekatan yaitu kepatuhan dan pendekatan faktual. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan

(25)

7

oleh kemampuan implementor, dalam mengikuti apa yang ditetapkan kebijakan, dan kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1653 tahun 2005 diketahui bahwa salah satu upaya yang dilakukan tim kesehatan adalah melakukan inventarisasi berbagai sumber daya termasuk obat-obatan sesuai dengan potensi bahaya yang ditimbulkan. Akan tetapi hal tersebut tampak belum berjalan maksimal.

Berdasarkan penelusuran dokumen laporan penilaian kebutuhan kesehatan tim penanggulangan diketahui bahwa tim kesehatan sering mengalami kekurangan peralatan bantuan medis, transportasi dan obat-obatan. Kondisi ini sering terjadi pada setiap bencana banjir, hal ini mengakibatkan pelayanan kesehatan di pengungsian jadi terhambat karena pemenuhan kebutuhan obat tidak tersedia secepat mungkin.

Selain itu berdasarkan wawancara dengan dinas kesehatan bahwa dana yang tersedia untuk mengatasi bencana juga menjadi faktor yang menghambat penyediaan material pendukung pelayanan kesehatan, sehingga tak jarang dinas kesehatan memanfaatkan dahulu material fisik dan obat-obatan yang lazimnya digunakan untuk kebutuhan sehari-sehari di Puskesmas, dan sering jumlahnya juga terbatas.

Keputusan Menteri Kesehatan di atas juga mengisyaratkan bahwa tim kesehatan juga harus mampu melakukan kordinasi lintas sektor dengan berbagai lembaga yang ada di kecamatan, akan tetapi sejak tahun 2011 kerjasama yang terbangun belum dapat terealisasi ke dalam berbagai kegiatan yang melibatkan peran

(26)

serta masyarakat. Hasil penelitian Ristrini (2012) menunjukkan bahwa Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat kesiapsiagaan tim dalam menghadapi bencana baik karena dinas kesehatan telah membangun kerjasama dengan berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah.

Menurut Edward dalam Supriyatno (2010) bahwa salah satu yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan adalah faktor komunikasi, salah satu bentuk komunikasi yang yang bersifat formal dalam organisasi adalah kordinasi antar lembaga melalui rapat antar institusi. Bila kordinasi yang terbangun baik maka implementasi kebijakan juga akan berjalan baik.

Kordinasi merupakan sebuah upaya yang harus dilakukan stakeholder dalam mengendalikan kondisi bencana, peran ini dipegang oleh BPBD selaku komando tanggap darurat dalam menghadapi bencana. Akan tetapi dalam praktiknya, kordinasi dalam bentuk rapat, intruksi melalui surat sering terlambat dilakukan antar stakeholder saat terjadi bencana, sehingga tim kesehatan mengalami keterlambatan dalam penyediaan sumber daya. Kemudian saat kondisi tidak ada bencana sangat jarang dilakukan pertemuan lintas stakeholder untuk menghadapi bencana. Sehingga tim kesehatan tidak mempunyai rencana yang matang dalam menghadapi bencana.

Fenomena di atas mengindikasikan bahwa kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana belum berjalan maksimal sesuai dengan kebijakan yang sudah ditetapkan.

Kepatuhan terhadap aturan dan kemampuan tenaga kesehatan dalam menentukan aktivitas merupakan bagian dari implementasi kesiapsiagaan harus dilihat mata rantai

(27)

9

hubungannya dengan faktor lain seperti sumber dana, sarana prasarana, komunikasi serta pemahaman tenaga kesehatan tentang standar yang sudah ditetapkan.

1.2 Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana dukungan kebijakan penanggulangan bencana bidang kesehatan di Kabupaten Aceh Utara.

2. Bagaimana kepatuhan stakeholder sesuai dengan tugas pokok masing-masing 3. Bagaimana koordinasi diantara stakeholder (Dinas Kesehatan, Rumah Sakit,

dan BPBD) dalam menghadapi bencana.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis dukungan kebijakan kesiapsiagaan penanggulangan bencana bidang kesehatan di Kabupaten Aceh Utara.

2. Mengetahui tingkat kepatuhan stakeholder dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi institusinya.

3. Mengetahui model koordinasi stakeholder dalam penanggulangan bencana bidang kesehatan.

(28)

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pengembangan teori implementasi kebijakan khususnya dalam implementasi kebijakan penanganan bencana

2. Sebagai bahan masukan bagi dinas kesehatan dan stakeholder terkait untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

(29)

11 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bencana

2.1.1. Definisi Bencana

Berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana diartikan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologi (BNPB, 2007).

Menurut Webster’s Dictionary dalam Nurjannah, dkk (2012) bencana dimaknai sebagai “a sudden acalitous event proucing raet material damage, loss, and distress” . Sedangkan menurut BNPB (2007) bencana merupalakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.

Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia

11

(30)

yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan terror.

2.2.2. Jenis Bencana

Berdasarkan Undang-undang No.24 Tahun 2007, bencana diklasifikasi atas 3 jenis sebagai berikut :

1. Bencana Alam yaitu bencana yang bersumber dari fenomena alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, meteor, pemanasan global, banjir, topan, dan tsunami

2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror.

Menurut BNPB (2009), jenis-jenis bencana dapat digolongkan antara lain :

1. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, aktifitas gunung api atau runtuhan batuan.

2. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktifitas vulkanik yang dikenal dengan istilah “erupsi”. Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar.

(31)

13

3. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan (“tsu”

berarti lautan, “nami” berarti gelombang ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena ada pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi.

4. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.

5. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat.

6. Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai.

7. Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi & lingkungan. Adapun yang dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan adalah kekeringan yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lain- lain) yang sedang dibudidayakan.

8. Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan korban dan kerugian harta.

9. Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan

(32)

seringkali menyebabkan bencana asap yang dapat mengggangu aktifitas dan kesehatan masyarakat sekitar.

10. Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam sehingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5 menit).

11. Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras.

12. Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi.

13. Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi yang terjadi di darat, laut dan udara.

14. Kecelakaan industri adalah kecelakaan yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi yang berbahaya (unsafe conditions). Adapun jenis kecelakaan yang terjadi sangat bergantung

(33)

15

pada macam industrinya, misalnya bahan dan peralatan kerja yang dipergunakan, proses kerja, kondisi tempat kerja, bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya.

15. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004.

16. Konflik sosial atau kerusuhan sosial atau huru hara adalah suatu gerakan massal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada, yang dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya dan ekonomi yang biasanya dikemas sebagai pertentangan antar suku, agama, ras (SARA).

17. Aksi Teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda, mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik internasional

18. Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh melalui subversi, penghambatan, pengacauan dan penghancuran. Dalam perang, istilah ini digunakan untuk mendiskripsikan aktivitas individu atau grup yang tidak berhubungan dengan militer, tetapi dengan spionase. Sabotase dapat dilakukan

(34)

terhadap beberapa struktur penting, seperti infrasruktur, struktur ekonomi, dan lain-lain ( BNPB, 2009).

Menurut United Nation for Development Program (UNDP) mengelompokkan bencana atas 3 (tiga) jenis yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

1. Bencana alam (natural disaster) antara lain berupa gempa bumi, letusan gunung api, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa (benda-benda angkasa).

2. Bencana non alam antara lain kebakaran hutan yang disebabkan oleh manusia, kecelakaan transportasi, kegagalan kontruksi (teknologi), dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan, dan kegiatan keantariksaan.

3. Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan dan konflik sosial dalam masyarakat yang sering terjadi termasuk bencana akibat peperangan.

2.2. Kesiapsiagaan Bencana

Menurut BNPB (2007) mekanisme upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, meliputi kegiatan:

a) Pra Bencana (Pencegahan, Mitigasi dan Kesiapsiagaan)

Pencegahan bencana adalah tindakan-tindakan untuk menghambat ancaman / bahaya yang menyebabkan terjadinya bencana. Kegiatannya meliputi menyusun prosedur tetap/ pedoman, melakukan analisis resiko, penyebarluasan

(35)

17

informasi (Depkes, 2006). Selain itu, pencegahan bencana dapat pula diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.

Mitigasi adalah kegiatan-kegiatan yang lebih menitikberatkan pada upaya untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan bencana. Kegiatannya meliputi struktural (pembangunan dan pengadaan fisik) dan non struktural (menyusun standar pelayanan, menyusun perencanaan, menyusun peraturan relokasi, jalur evakuasi, retro fitting) (Depkes, 2006). Mitigasi juga dapat diartikan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (BNPB, 2007).

b) Saat Bencana (Tanggap Darurat)

Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana (Depkes, 2006)

c) Pasca Bencana (Rehabilitasi dan Rekonstruksi)

Rehabilitasi adalah kegiatan untuk memulihkan dan memfungsikan kembali sumberdaya kesehatan guna mengurangi penderitaan korban (Depkes, 2006).

Rehabilitasi juga diartikan sebagai upaya perbaikan dan pemulihan pada semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah

(36)

pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana (BNPB, 2007).

Rekonstruksi adalah kegiatan untuk membangun kembali berbagai kerusakan akibat bencana secara lebih baik dari keadaan sebelumnya dengan telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana di masa yang akan datang (Depkes,2006). Rekonstruksi juga dapat diartikan sebagai upaya pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan pereknomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana (BNPB, 2007).

Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) memaparkan faktor-faktor kritis parameter kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana yaitu:

1. Pengetahuan dan Sikap terhadap resiko bencana (Knowledge and Attitude) merupakan pengetahuan dasar dan sikap petugas mengenai bencana seperti jenis dan faktor bencana, bencana banjir, serta prosedur, lokasi dan jalur evakuasi bencana.

2. Kebijakan dan Panduan (Policy Statement) yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana seperti tersedianya draft, renstra, protap, tempat evakuasi, panduan pemenuhan kebutuhan dasar.

(37)

19

3. Rencana Tanggap Darurat (Emergency Planning) adalah rencana/ tindakan yang diperlukan untuk menangani keadaan darurat dalam hal kesiapsiagaan menghadapi bencana seperti pembuatan peta, penampungan sementara, nomor hotline informasi, posko, gladi pelatihan/ simulasi, analisis resiko, perencanaan kontijensi.

4. Sistem Peringatan Bencana (Warning System) merupakan serangkaian sistem untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana meupun tanda-tanda alam lainnya. Dalam hal ini berkaitan dengan sistem informasi, penyampaian informasi, pengembangan sistem peringatan dini, pelatihan dan simulasi

2.3. Kesiapsiagaan Bencana Bidang Kesehatan 2.3.1. Permasalahan Kesehatan Saat Bencana

Pedoman teknis penaggulangan krisis kesehatan akibat bencana yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan tahun 2011, menyatakan masalah kesehatan pada korban bencana dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sebagai akibat langsung dan tidak langsung. Akibat langsung merupakan dampak primer yang dialami korban di daerah bencana pada saat bencana terjadi kasus-kasus, antara lain:

a. Trauma

Trauma terjadi akibat terkena langsung benda-benda keras / tajam atau tumpul.

Contoh trauma, antara lain: luka robek, luka tusuk, luka sayat, dan fraktur. Pada umumnya kasus trauma perlu penanganan balk ringan maupun berat (lanjut).

Kasus-kasus trauma banyak terjadi pada korban bencana semacam gempa bumi,

(38)

tsunami, tanah longsor, banjir, angin puyuh, kerusuhan, kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, tindakan teror born, dan lain-lain.

b. Gangguan pernapasan

Gangguan pernapasan terjadi akibat trauma pada jalan napas, misalnya masuknya partikel debu, cairan dan gas beracun pada saluran pernapasan. Kasus-kasus gangguan pernapasan banyak terjadi pada korban bencana semacam tsunami, gunung meletus, kebakaran, kecelakaan industri, dan lain-lain.

c. Luka bakar

Luka bakar terjadi akibat terkena langsung benda panas/api/ bahan kimia. Kasus- kasus luka bakar banyak terjadi pada korban bencana semacam kebakaran, gunung meletus, kecelakaan industri, kerusuhan, tindakan teror born, dan lain-lain.

d. Keluhan psikologis dan gangguan psikiatrik (stres pascatrauma)

Stres pascatrauma adalah keluhan yang berhubungan dengan pengalaman selama bencana terjadi. Kasus ini sering ditemui hampir di setiap kejadian bencana.

e. Korban meninggal

Disaster Victim Identification (DVI) semakin dirasakan perlu untuk mengidentifikasi korban meninggal pasca bencana baik untuk kepentingan kesehatan maupun untuk kepentingan penyelidikan. Untuk kecepatan dan ketepatan pertolongan maka setiap korban bencana perlu diklasifikasikan sebagai berikut: a. Kasus gawat darurat, b. Kasus gawat tidak darurat, c. Kasus tidak gawat tidak darurat (non gawat darurat) dan d. Kasus mati

(39)

21

Akibat tidak langsung merupakan dampak sekunder yang dialami korban bencana pada saat terjadinya pengungsian. Masalah kesehatan yang sering terjadi antara lain:

a. Kuantitas dan kualitas air bersih yang tidak memadai.

b. Kurangnya sarana pembuangan kotoran, kebersihan lingkungan yang buruk (sampah dan limbah cair) sehingga kepadatan vektor (lalat) menjadi tinggi, sanitasi makanan di dapur umum yang tidak higienis, dan kepenuhsesakan (overcrowded). Penyakit menular yang sering timbul di pengungsian akibat faktor risiko di atas antara lain, diare, tipoid, ISPA/pneumonia, campak, malaria, DBD, dan penyakit kulit.

c. Kasus penyakit sebagai akibat kurangnya sumber air bersih dan kesehatan lingkungan yang buruk. Kasus-kasus yang sering terjadi antara lain, diare, ISPA, malaria, campak, penyakit kulit, tetanus, TBC, cacar, hepatitis, cacingan, tifoid, dan lain-lain.

d. Kasus gizi kurang sebagai akibat kurangnya konsumsi makanan. Kasus-kasus yang sering terjadi antara lain, KEP, anemia dan xeroftalmia.

e. Masalah kesehatan reproduksi yang sering terjadi seperti gangguan selama kehamilan dan persalinan, terjadinya kehamilan yang tidak diharapkan, menyebarnya infeksi menular seksual (IMS), kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan lain-lain.

(40)

f. Berbagai bentuk keluhan psikologis dan gangguan psikiatrik yang berhubungan dengan pengalaman yang dialami selama bencana terjadi seperti stres pascatrauma, depresi, ansietas, dan lain-lain.

2.3.2. Sistem Kordinasi dan Pengorganisasin Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan

Menurut Depkes RI (2002) pengorganisasian penanggulangan bencana di bidang kesehatan dapat dilihat pada gambar berikut ini,

Terlihat bahwa sistem kordinasi dan penggorganisasian penanggulangan bencana di bidang kesehatan selaras dengan sistem kordinasi dalam bidang kesehatan lazimnya. Dimana sistem tersebut melibatkan dinas kesehatan sebagai kordinator institusi di bawahnya seperi Puskesmas dan Rumah Sakit. Selain itu juga tidak terlepas dari peran masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat

Gambar 2.1. Sistem Kordinasi Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan

(41)

23

dalam bidang kesehatan. Sistem kordinasi ini terstandarisasi secara nasional mengikuti pola kordinasi pembangunan di bidang kesehatan.

Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 145 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan, bahwa pengorganisasian dalam bidang kesehatan terdiri atas berbagai tingkat, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan. Sedangkan tingkat Kabupaten Kota terdiri atas :

1. Penanggung jawab kesehatan di tingkat ini adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Bila diperlukan dapat meminta bantuan Provinsi yang melaksanakan tugas di bawah koordinasi Satuan Pelaksanaan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) yang dikordinir oleh Bupati/walikota.

2. Pelaksanaan tugas penanggulangan bencana di lingkungan Dinas Kesehatan dikordinir oleh unit yang ditunjuk Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui Surat Keputusan.

2.3.3. Pelaksanaan Kegiatan Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan

Kepmenkes RI Nomor 145 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan juga mengatur kegiatan-kegiatan secara hirarki. Pada tingkatan Kabupaten/Kota kegiatan yang dilakukan antara lain

1. Pra Bencana

Pada saat pra bencana yang dilakukan antara lain :

a) Membuat rencana kegiatan upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan b) Membuat peta deomedik daerah rawan bencana

c) Membuat rencana kontingensi

(42)

d) Menyelenggarakan pelatihan

e) Membentuk dan mengembangkan tim reaksi cepat

f) Menginventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang mungkin terjadi

g) Melakukan kordinasi lintas sektor

h) Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penanggulangan bencana

2. Saat Bencana

Pada saat bencana yang dilakukan antara lain : a) Berkordinasi dengan anggota Satlak PB / BPBD

b) Mengaktifkan Pusdalops Penanggulangan bencana bidang kesehatan di kabupaten/kota

c) Berkordinasi dengan Rumah Sakit Kabupaten/Kota

d) Menyiapkan dan mengirim tenaga kesehatan, perbekalan dan obat-obatan e) Menghubungi Puskesmas di sekitar lokasi untuk mengirimkan tenaga

kesehatan

f) Melakukan penilaian kesehatan cepat terpadu g) Penanggulangan gizi darurat

h) Pemberian imunisasi campak pada anak di bawah usia 15 tahun i) Melakukan Sureveilans

j) Apabila penanggulangan bencana melebihi kapasitas maka penanggulangan bencana bidang kesehatan jadi tanggung jawab dinas kesehatan provinsi

(43)

25

3. Pasca Bencana

Pada saat pasca bencana yang dilakukan antara lain

a) Mendukung upaya pelayanan kesehatan dasar terutama pencegahan KLB, pemberantasan penyakit menular, perbaikan gizi

b) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan rujukan

c) Melakukan analisis dan evaluasi dampak terhadap kesehatan d) Menentukan strategi intervensi berdasarakan penilaian status gizi

e) Menyediakan pelayanan kesehatan dan sanitasi dasar di penampungan sementara

f) Melakukan kordinasi lintas sektor g) Melakukan pemulihan pada korban

2.4. Kebijakan

Kebijakan merupakan terjemahan dari “policy” dalam bahasa inggris. Kata tersebut mempunyai akar kata bijak yang dapat disamakan dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise dalam bahasa Inggris. Dengan pengertian ini sifat bijaksana dibedakan orang dari sekedar pintar (clever) atau cerdas (smart).

Pintar bisa berarti ahli dalam satu bidang ilmu, sementara cerdas biasanya diartikan sebagai sifat seseorang yang dapat berpikir cepat atau dapat menemukan jawaban bagi suatu persoalan yang dihadapi secara cepat. Orang yang bijaksana mungkin tidak pakar dalam sesuatu bidang ilmu, namun memahami hampir semua aspek kehidupan (Abidin, 2004).

(44)

Nakamura dan Smallwood dalam Wahab (1991) kebijakan merupakan keputusan yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu, berupa serangkaian instruksi dan pembuatan keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara mencapai tujuan. Menurut Hoogerwerf dalam Winarno, 2007 pada hakekatnya pengertian kebijakan merupakan semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah.

Menurut James E. Anderson dalam Winarno (2007), memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideology dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu Negara.

2.4.1. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan.

Daniel A. Mazamanian dan Paul A. Sabatier dalam Agustino (2006) menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa: “Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimya, keputusan tersebut mengidentifikasikan

(45)

27

masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.”

Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2006) mengemukakan implementasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu- individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam sebuah keputusan.

Selain itu, implementasi kebijakan dapat juga dikatakan sebagai suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan, dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Sedangkan menurut Ndraha dalam Tachjan (2006) berpendapat bahwa konsep implementasi kebijakan lebih luas dibandingkan dengan konsep pelaksanaan. Dalam konsep implementasi kebijakan terkandung pengaturan dan pengelolaan lebih lanjut kebijakan (manajemen kebijakan) termasuk di dalamnya adalah standard an tujuannya, sedangkan yang dimaksud dengan pelaksanaan kebijakan adalah pelaksanaan operasional.

Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni;

pendekatan top down dan bottom up. Pendekatan top down dapat disebut sebagai pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan, walaupun dikemudian hari diantara pengikut pendekatan ini terdapat perbedaan- perbedaan, sehingga menelurkan pendekatan bottom up, namun pada dasarnya

(46)

mereka bertitik tolak pada asumsi-asumsi yang sama dengan mengembangkan kerangka analisis tentang studi implementasi. Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut “street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran (target group). Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementor (Agustino, 2006).

Dari beberapa defenisi di atas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu:

1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan

2. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan 3. Adanya hasil kegiatan

Dapat pula disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sesaran kebijakan itu sendiri. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart Jr., dimana mereka berpendapat bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir, yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Merille Grindle dalam Agustino (2006) sebagai berikut: Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan memertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada

(47)

29

action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai.

Menurut Hogwood dan Gun dalam Tachjan (2006) berpendapat bahwa untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu, sebagai berikut:

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak menimbulkan gangguan/kendala yang serius.

b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber daya yang memadai.

c. Perpaduan sumber daya yang diperlukan benar-benar tersedia.

d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal.

e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

g. Pemahaman mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

h. Tugas-tugas terinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapat kepatuhan yang sempurna.

(48)

Menurut Van Metter dan Van Horn dalam Agustino 2006 ada enam variable yang mempengaruhi kinerja kebijakan, yaitu:

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realisits dengan sosi-kultur yang mengada pada level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memangmerealisasikan kebijakan public hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumberdaya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat terbantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tetapi di luar sumberdaya manusia, sumberdaya-sumberdaya lain yang perlu diperhitungkan juga adalah sumber daya financial dan sumberdaya waktu.

Ketiga sumber daya ini akan saling mendukung dalam implementasi sebuah kebijakan.

3. Karaktaristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan public. Hal ini sangat penting kerena kinerja implementasi akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah

(49)

31

implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

4. Sikap/Kecenderungan Para Pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan public. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan diimplementasikan adalah kebijakan

“dari atas” yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.

5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan dalam perspektif yang ditawarkan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan

(50)

kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

Sementra itu, dalam pendekatan yang diteoremakan oleh Edward III dalam Agustino ( 2006), terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu : (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.

1. Komunikasi

Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan menurut Edward III adalah komunikasi. Komunikasi sangat menentukan keberhasilan suatu pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik.

Keberhasilan implementasi kebijakan masyarakat agar implementator mengetahui apa yang harus dilakukan, apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan mensyaratkan agar implementator mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

Komunikasi amatlah penting peranannya karena suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksananya. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi atau transmisi kejelasan dari informasi tersebut.

(51)

33

2. Sumber daya

Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya. Sumberdaya merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementator dan sumberdaya financial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumerdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

Sumberdaya meliputi empat komponen yaitu: staf yang cukup, informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab, serta fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.

3. Disposisi

Variabel ketiga yang juga mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi sebuah kebijakan adalah disposisi. Disposisi adalah watak dan karaktaristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis.

Apabila implementator memiliki posisi yang baik, maka dia akan menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementator memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

(52)

Sikap dan komitmen dari para pelaksana terhadap program khususnya dari para pelaksana yang menjadi implementor dari program, dalam hal ini adalah aparatur Negara.

4. Struktur Birokrasi

Variable keempat yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan yang tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi.

Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik, karena ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber-sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan.

Struktur birokrasi merupakan standar prosedur operasional yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan program.

Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan penting dari keseluruhan proses kebijakan. Keputusan kebijakan yang merupakan sebuah harapan ideal diwujudkan dalam kenyataan melalui implementasi. Terdapat kesenjangan yang ditemukan dalam implementasi yaitu suatu keadaan dimana dalam proses kebijakan akan terbuka kemungkinan terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan yang senyatanya tercapai.

(53)

35

Menurut Ripley dalam Imronah memperkenalkan pendekatan “kepatuhan”

dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kebijakan. Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi.

Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak

faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.

Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor

eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif.

Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor nonorganisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu:

(54)

(1) kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat

sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non- organisasional, atau pendekatan faktual.

Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.

2.4.2. Evaluasi Implementasi Kebijakan

Menurut Dunn (2004) evakuasi bersifat menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif, diantaranya

1. Fokus Nilai

Evaluasi difokuskan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi.

(55)

37

2. Interdependensi Faktor Nilai

Tuntutan evaluasi tergantung baik ”fakta” maupun ”nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.

3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau

Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-permis nilai , bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).

4. Dualitas Nilai

Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstriksik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.

(56)

Menurut William N. Dunn (2004), bahwa dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan digunakan tipe kriteria yang berbeda-beda untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Di bawah ini adalah beberapa kriteria evaluasi:

1. Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu kebijakan mencapai hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektivitas ini berkaitan dengan rasionalitas teknik, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau moneternya.

2. Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha. Ukuran-ukuran yang digunakan dalam kriteria efisiensi adalah jangka waktu pelaksanaan kebijakan, sumber daya manusia yang diberdayakan untuk melaksanakan kebijakan,

3. Kecukupan (adequacy), berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria ini menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.

4. Kesamaan atau perataan (equity), berhubungan erat dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok- kelompok yang berbeda dalam masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Tak pelak, berbagai pemikir Ilmu HI yang memiliki simpati terhadap potensi emansipatif Marxisme berusaha untuk memperkuat posisi perspektif ini dengan cara

b) Mengelompokkan hasil terjemahan film kartun umar a min as- sam a' khalq al - shir a’ ' ala al-hukm wa hikmah sulaim a n yang sesuai dengan

Ovaj sustav koristi aktivne infracrvene odašiljače koji konstantno emitiraju zračenje kroz cijeli radni prostor. Meta, u našem slučaju stanica za punjenje, je

Berdasarkan hasil studi awal yang dilakukan di Pasar Pringgan Medan, masih ditemukan pedagang pasar yang tidak paham tentang pentingnya menggunakan masker untuk mencegah Covid-

Penelitian ini tentang nilai-nilai akhlak dalam perspektif pendidikan Islam (Kajian tafsir surat Al-Hujurat ayat 11-13) bahwa akhlak Islam adalah nilai-nilai yang utuh,

Kedua, sasaran selanjutnya dari Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah ini adalah dalam rangka memberikan penguatan terhadap kelembagaan Lembaga Adat Melayu Provinsi Kepulauan Riau

Husein mengemukakan pengertian surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh jaksa penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas