• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika terhadap Pekerja dalam Proses Kepailitan Perseroan Terbatas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika terhadap Pekerja dalam Proses Kepailitan Perseroan Terbatas"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBAHASAN

Sebelum mengkaji lebih dalam mengenai analisis penulis terkait

permasalahan atau problematika pekerja (kreditor) sebagai pemohon kepailitan

perusahaan tempatnya bekerja (debitor), penting untuk memahami konsep hukum

kepailitan. Oleh karena kepailitan digunakan sebagai pranata hukum untuk

menyelesaikan sengketa utang piutang oleh pekerja terhadap perusahaan, maka

pekerja harus memenuhi syarat pengajuan permohonan pailit baik syarat formil

maupun materil. Syarat formil dan materil digunakan sebagai kaidah untuk

menentukan apakah permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan ataupun

ditolak. Syarat formil terdiri dari dua komponen, yaitu kompetensi Pengadilan

Niaga dan pembuktian sederhana. Sedangkan syarat materil terdiri dari tiga

komponen, yaitu adanya debitor, adanya dua kreditor atau lebih dan tidak

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Dalam satu syarat materil, menyatakan bahwa salah satu pihak yang dapat

mengajukan permohonan pailit adalah kreditor.

Untuk dapat menjelaskan bahwa pekerja dapat menjadi kreditor oleh karena

tidak terpenuhinya hak normatif yang seharusnya diterima oleh karena Pemutusan

Hubungan Kerja oleh perusahaan sehingga besarnya hak normatif yang dapat

ditentukan dalam bentuk sejumlah uang tersebut dikategorikan sebagai utang

(2)

pembahasan mengenai hubungan antara tuntutan atas hak normatif pekerja dan

kedudukan kreditur dalam proses kepailitan, bagaimana kedudukan hukum bagi

pekerja sebagai kreditor dalam proses kepailitan. Sehingga apabila pekerja

mengajukan permohonan pailit, pekerja juga memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam proses kepailitan.

Oleh sebab itu, sistematika penulisan dalam bab ini dibagi dalam beberapa

bagian yakni sebagai berikut. Pertama, membahas mengenai latar belakang adanya lembaga kepailitan. Kedua, membahas konsep kepailitan yang diuraikan berdasarkan pendekatan etimologis, doktrin dan pendekatan UU. Ketiga, memuat uraian tentang hukum acara dalam kepailitan, yang terdiri dari dua, yaitu syarat

permohonan pailit dan acara pemeriksaan pailit. Syarat permohonan pailit yang

dimaksud adalah syarat formil dan materil termasuk uraian mengenai pekerja

sebagai pemohon pailit dan perseroan terbatas sebagai termohon pailit. Keempat,

memuat uraian tentang hasil penelitian terhadap kasus-kasus kepailitan. Kelima, memuat uraian tentang analisis yang terdiri dari tiga bagian, yaitu variasi

pertimbangan hakim dan amar putusan dalam memutus 10 (sepuluh) kasus

kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja, penetapan PHI yang

menentukan besarnya hak normatif yang diterima pekerja akibat PHK dan variasi

yang dapat dilakukan oleh pekerja agar permohonan kepailitan dapat dikabulkan.

A.

Latar Belakang Lembaga Kepailitan

Banyaknya kredit macet pada sejumlah bank pada akhir tahun 1997 telah

menandai awal krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia. Kondisi ini

(3)

Amerika, yang pernah mencapai titik terendah Rp. 15.000,00/1 US$. Seiring

dengan merosotnya nilai tukar rupiah tersebut, kemudian para debitor Indonesia

dalam membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo, baik dalam mata uang

asing ataupun rupiah juga ikut merosot. Permasalahan kredit macet ini dinilai,

selain merupakan sumber krisis moneter yang telah terjadi, juga merupakan faktor

penghambat perbaikan ekonomi Indonesia pasca krisis moneter tersebut.1

Pada tahun 1988, akibat terjadi krisis moneter di Indonesia berpengaruh

terhadap peraturan kepailitan. Faillisements Verordening (Staatsblad No. 217 Tahun 1905 Jo. Staatsblad No. 348 Tahun 1906) yang merupakan peraturan kepailitan yang berlaku pada saat itu di Indonesia dirasakan tidak mampu lagi

untuk menyelesaikan permasalahan kredit macet tersebut. Oleh karena itu, pada

tanggal 22 April 1998 pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah

pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas

Undang-Undang (peraturan) kepailitan. Perpu tersebut mengubah dan menambah

faillisements verordening (FV) dan tidak mencabut faillisements verordening

(FV), yang kemudian menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1998. Salah satu pokok penyempurnaan yang dilakukan oleh perpu

kepailitan yang disebutkan dalam penjelasan atas Undang-Undang Kepailitan

bagian umum adalah pembentukan Pengadilan Niaga yang khusus memeriksa

permohonan kepailitan dan sengketa bisnis.2

Pembentukan Pengadilan Niaga ini untuk mengatasi sistem hukum dan

kompetensi hakim pengadilan umum yang tidak mencukupi dalam memutuskan

1

Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta: Kumpulan makalah seri Workshop Kepailitan I - IV, Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, h. v.

2

(4)

sengketa-sengketa bisnis, terutama sengketa kepailitan. Selain itu, pembentukan

pengadilan khusus ini adalah untuk mengatasi citra negatif pengadilan umum di

Indonesia yang korup, tidak transparan dan lama dalam memutuskan suatu

perkara. Pengadilan Niaga diharapkan mampu untuk menegakkan prinsip-prinsip

keadilan, transparan, cepat, sederhana dan efektif bagi sengketa-sengketa

kepailitan. Akan tetapi setelah berjalan 6 tahun sejak awal berdiri tahun 1998

hingga 2003 minat masyarakat untuk menggunakan Pengadilan Niaga sebagai

tempat penyelesaian perkara kepailitan dirasakan mengalami penurunan.3 Hal ini

dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1.

Jumlah perkara kepailitan yang diterima Pengadilan Niaga dari Tahun 1998-2003

Tahun Jumlah perkara yang diterima Pengadilan Niaga

1998 38

1999 100

2000 84

2001 61

2002 39

2003 38

Salah satu yang diyakini menjadi penyebab kemunduran perkembangan

Pengadilan Niaga adalah banyaknya ketidakjelasan aturan yang terdapat dalam

UU No. 4 Tahun 1998. Oleh karena itu dilakukan perubahan terhadap UU No. 4

Tahun 1998 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan yang baru dan

3 Laporan Kegiatan 1998-2003,

(5)

masih diberlakukan hingga saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya

disebut UU No. 37 Tahun 2004). Beberapa perubahan pokok UU No. 4 Tahun

1998 adalah (a) Perubahan akan percepatan waktu; (b) Perubahan syarat

permohonan kepailitan; (c) Perubahan para pihak pemohon; (d) Perubahan pada

prosedur permohonan pailit. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan

berbagai penafsiran sehingga diberikan batasan secara tegas mengenai pengertian

utang, pengertian kepailitan, pembatasan dalam mengajukan permohonan pailit

pada Pasal 2 ayat (5) serta syarat-syarat dan prosedur pernyataan paiit.4

B.

Konsep Kepailitan

Istilah “pailit” dapat dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Latin, Belanda,

Inggris dan Perancis. Kata pailit berasal dari bahasa Latin yaitu „failure‟, dalam

bahasa Belanda digunakan istilah „failiet‟, sedangkan dalam bahasa Inggris

dipergunakan istilah „to fail‟, serta Perancis menyebut pailit dengan menggunakan

istilah „failite‟ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan

pembayaran.5

Algra mendefinisikan bahwa kepailitan adalah “Faillissementis een

gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van zijn gezamenlijke schuldeiser”.6 (kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap

semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi

4

Edward Manik, Op.Cit., h. 14-29.

5 Sunarmi,

Op. Cit., h. 23.

6

(6)

utangnya kepada kreditor (si berpiutang)). Henry Campbell Black dalam Black‟s

Law Dictionary juga mendefinisikan bahwa:

Bankrupt is the state or condition of a person (Individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due.7 The term includes a person againts whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.

Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi

keuangan dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.8 Sedangkan

pengertian kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita

umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya

dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

Dalam pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepailitan adalah

pelaksanaan dari dua asas/prinsip dalam rezim hukum harta kekayaan yaitu

prinsip paritas creditorium (Pasal 1131 KUHPerdata) dan prinsip pari passu prorata parte (Pasal 1132 KUHPerdata). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik barang bergerak atapun barang tidak

bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di

kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban

debitor. Sedangkan prinsip pari passu prorata parte adalah harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus

dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor

7

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, 1979, h. 134.

8

(7)

itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima

pembayaran tagihannya.9

Walaupun dinyatakan bahwa seluruh harta kekayaan debitor (Pasal 21 UU

No. 37 Tahun 2004) menjadi jaminan bagi pelunasan utang kepada Kreditor, akan

tetapi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap:10

(a) Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang digunakan unuk kesehatan, tempat tidur, dan perlengkapannya yang digunakan oleh Debitor dan keluargannya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; (b) Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau (c) Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.

Ketentuan dalam UU Kepailitan bertujuan untuk melindungi hak dasar atau

hakiki yang dimiliki debitor sebagai manusia. Sehingga dengan dipailitkannya

debitor, tidak bermakna bahwa seluruh harta kekayaan debitor menjadi disita oleh

Pengadilan untuk membayar seluruh hutangnya kepada kreditor.

C.

Hukum Acara dalam Kepailitan

1. Syarat Agar Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima

Adapun syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit sehingga

dapat diterima terbagi menjadi dua, yaitu syarat formil dan syarat materil.

9

Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, 2001, dalam Rudhy A. Lontoh (ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, h. 168.

10

(8)

Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka permohonan pailit yang ajukan

oleh pemohon ditolak oleh Pengadilan Niaga dimana permohonan itu diajukan.

a. Syarat Formil

Terdapat 2 (dua) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat

diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004, yakni pengajuan permohonan pailit merupakan

kewenangan Pengadilan Niaga di tempat kedudukan debitor dan perkara

dapat dibuktikan secara sederhana.

1) Kompetensi Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga merupakan bagian dari Peradilan Umum

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang

perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum juncto Pasal 1 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004. Pengadilan Niaga mempunyai kompetensi (kewenangan) untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban

pembayaran utang. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1)

UU No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa :

Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor.

Selain itu, Pasal 300 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan

(9)

perkara lain di bidang perniagaan yang ditetapkan dengan

undang-undang. Pengadilan Niaga berwenang menangani perkara-perkara seperti

Hak Kekayaan Intelektual dan Lembaga Penjamin Simpanan.

2) Pembuktian sederhana

Syarat ini diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004

menyatakan bahwa:

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.

Dalam proses pembuktian hukum kepailitan, fakta dan kenyataan

yang terbukti secara sederhana yang dimaksud adalah adanya fakta dua

atau lebih kreditor dan adanya fakta utang yang telah jatuh waktu dan

tidak dibayar. Fakta dan kenyataan tersebut harus terbukti secara

sederhana dalam jangka waktu proses sejak pengajuan permohonan

hingga dikeluarkanya putusan yaitu selama 60 hari. Apabila fakta dan

kenyataan tidak terbukti sederhana atau dengan kata lain perlu jangka

waktu yang lama untuk dapat membuktikan bahwa terdapat sengketa

utang-piutang antara debitor dan kreditor, maka esensi dari kepailitan

akan hilang. Hal ini dikarenakan kepailitan termasuk sebagai proses

acara peradilan cepat. Apabila fakta dan kenyataan tidak sederhana, maka

pihak yang berkepentingan tersebut harus mengajukan gugatan

(10)

b. Syarat Materil

Ada 3 (tiga) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat diterima

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu:

Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

1) AdanyaDebitor

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau

Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.11

Debitor yang dimaksud adalah subjek hukum, baik orang perseorangan

atau orang alamiah (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechts persoon) seperti Perseroan Terbatas. Tanpa adanya perikatan maka tidak ada debitor sebagai si berutang yang memiliki kewajiban pembayaran

utang kepada Kreditor dan merupakan subjek utama dalam hukum

kepailitan.

2) Adanya dua Kreditor atau lebih

Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.12

Yang dimaksud dengan “kreditor” adalah baik kreditor konkuren,

kreditor separatis maupun kreditor preferen.13 Adanya dua kreditor atau

lebih yang dimaksud adalah untuk dapat mengajukan permohonan pailit

11

Pasal 1 Angka 3 UU No. 37 Tahun 2004.

12 Pasal 1 Angka 2 UU No. 37 Tahun 2004. 13

(11)

kepada debitor, maka debitor tersebut harus memiliki sekurangnya 2

(dua) kreditor. Jika debitor hanya berutang kepada seorang kreditor saja,

maka seluruh harta kekayaannya menjadi jaminan bagi pelunasan hutang

tersebut, serta pranata hukum yang digunakan adalah jalur gugatan

keperdataan di Pengadilan Negeri. Akan tetapi, jika debitor memiliki

lebih dari 1 (satu) kreditor maka harta kekayaan debitor haruslah dibagi

berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum kepailitan, seperti prinsip

paritas creditorum dan prinsip pari passu prorata parte.

3) Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu

dan dapat ditagih

Syarat ini dimaksudkan adalah apabila akan mengajukan permohonan

pailit, maka dari dua kreditor atau lebih tersebut harus memiliki minimal

adanya satu utang yang tidak dibayar lunas oleh debitor serta utang

tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Yang dimaksud dengan

“telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar

utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena

percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena

pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun

karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.14 Pengertian

“utang” sebagai syarat pengajuan permohonan pailit tercantum dalam

Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 yakni:

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau

14

(12)

kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

Dari definisi tersebut utang yang dimaksud dalam hukum kepailitan

adalah utang dalam arti luas atau tidak ada pembatasan, oleh karena

utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari perjanjian utang

-piutang dan pinjam-meminjam” tetapi juga “utang yang timbul karena

undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah

uang.”15

Selain itu, pengertian utang yang telah jatuh tempo dan dapat

ditagih atau kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu

yang dimaksud adalah karena percepatan waktu penagihan (klausula

Cross Dwolt), pengenaan sanksi atau denda serta karena putusan pengadilan atau arbitrase.

15 Mariske Myeke Tampi,

(13)

Bagan 2.

Lima syarat agar permohonan pernyataan pailit dapat diterima

2. Pemohon Pailit

Pemohon pailit adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan

pailit ke Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat menjadi pemohon pailit adalah

debitor sendiri, satu atau lebih kreditor, atau oleh pihak ketiga, seperti

Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) maupun

Menteri keuangan.16 Dalam penulisan ini lebih memfokuskan pada dasar

hukum mengapa pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor sehingga

memiliki kedudukan hukum untuk menjadi pemohon pailit.

16

Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004. Lima Syarat Agar

Permohonan pernyataan pailit

dapat diterima

Syarat Materil Syarat Formil

Kompetensi Pengadlan Niaga

Pembuktian Sederhana

Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu

dan dapat tagih Adanya 2 Kreditor

(14)

a. Pekerja

Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain.17 Jika dilihat dalam UU Kepailitan tidak

disebutkan secara eksplisit bahwa pekerja dapat berkedudukan sebagai

kreditor. Hal ini dikarenakan pada Pasal 2 UU Kepailitan yang mengatur

pihak yang berkedudukan sebagai pemohon pailit, hanya mengatur kreditor

dalam arti luas atau tidak bersifat limitatif siapa yang dapat menjadi

kreditor. Akan tetapi, menurut Ricardo Simanjuntak18 pekerja termasuk

dalam salah satu golongan yang mendapat pembagian dari hasil penjualan

boedel pailit menurut urutan haknya, yaitu setelah hak preferensi separatis

dan sebelum hak preferensi khusus. Hak para kreditor untuk mendapatkan

pembagian dari hasil penjualan pailit dibagi dalam 7 (tujuh) tingkat mulai

dari hak yang paling tinggi (memiliki hak yang harus didahulukan) sampai

hak yang paling rendah yaitu sebagai berikut:

1) Hak retensi merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor atas kewenangan

yang diberikan kepadanya untuk melakukan perbaikan ataupun

penambahan nilai dari boedel pailit. Kreditor ini berhak untuk menahan

benda (boedel pailit) yang berada di bawah kekuasaannya sebelum biaya

perbaikan terhadap boedel pailit tersebut terlebih dahulu dilunasi,19 serta

17

Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003.

18

Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, h. 301-302.

19

(15)

biaya perkara yang dikeluarkan untuk pelelangan dan penyelesaian

warisan;20

2) Hak istimewa atas tagihan negara merupakan hak yang dimiliki kantor

pajak untuk mendapatkan pembayaran (tagihan pajak) dari boedel pailit

lebih dahulu dari kreditor lainnya,21 yaitu hak mendahulu untuk tagihan

pajak atas barang-barang Wajib Pajak (boedel pailit) kreditor;

3) Hak prefensi separatis merupakan hak yang dimiliki oleh

kreditor-kreditor yang memegang jaminan dalam bentuk hak tanggungan, hipotek,

gadai dan fidusia;22

4) Hak istimewa pekerja/buruh;23

5) Hak prefensi khusus bagi kreditor preferen khusus berdasarkan Pasal

1139 KUHPerdata;

6) Hak preferensi umum bagi kreditor preferen umum berdasarkan Pasal

1149 KUHPerdata;

7) Hak umum bagi kreditor konkuren untuk dibayarkan secara pro rata

berdasarkan Pasal 1132 KUHPerdata.

Dari penjelasan di atas, pekerja termasuk dalam salah satu golongan

yang mendapat pembagian dari hasil penjualan boedel pailit menurut urutan

haknya, yaitu hak yang diistimewakan oleh UU Ketenagakerjaan

sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (4) yang berbunyi: ”Dalam hal

perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan

20

Pasal 21 ayat (3) huruf c UU No. 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 1139 ayat (1) dan Pasal 1149 ayat (1) KUHPerdata.

21

Pasal 21 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 1134 dan Pasal 1137 KUHPerdata.

22 Pasal 138 UU No. 37 Tahun 2004. 23

(16)

perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Dari pasal tersebut dapat dilihat secara jelas bahwa oleh karena hak pekerja merupakan

utang, maka dalam hukum kepailitan pekerja dapat berkedudukan sebagai

kreditor oleh karena utang yang tidak dibayarkan oleh perusahaan. Utang

yang dimaksud adalah hak pekerja seperti hak atas pembayaran upah dan

hak-hak lainnya yang dimaksudkan adalah hak-hak normatif sebagaimana

diatur dalam Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003. Oleh sebab itu pekerja

dapat menjadi pemohon pailit dalam hukum kepailitan.

b. Serikat Pekerja

Walaupun tidak disebutkan secara ekspilisit dalam UU No. 37 tahun 2004

bahwa serikat pekerja dapat berkedudukan sebagai subjek yang dapat

menjadi pemohon pailit, akan tetapi berdasarkan pada Pasal 1 angka 1 UU

No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh yang

menyatakan:

Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Jadi, serikat pekerja dapat mewakili pekerja untuk memperjuangkan

serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Serikat Pekerja memiliki hak

untuk mewakili pekerja dalam membuat perjanjian kerja bersama dengan

(17)

industrial24 untuk memenuhi kewajibannya melindungi dan membela

anggota (pekerja) dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan

kepentingannya.25 Penerapan pasal tersebut dapat dilihat dalam Putusan

Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung No. 080 PK/Pdt.Sus/2009

dimana:

Para pihak PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep Candra melawan Fakhur Khakam, dkk. sebagai Pimpinan Serikat Pekerja Nasional PT. AGB yang bertindak untuk dan atas nama seluruh anggota Serikat Pekerja Nasional yang berjumlah 1942 orang berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Nasional Nomor: KEP.83/A-INT/DPC SPN/III/07 dan berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Serikat Pekerja Nasional.

Dalam amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon pailit.

Dengan kata lain, majelis hakim menyimpulkan bahwa persyaratan

permohonan pailit oleh serikat pekerja telah terpenuhi. Dengan demikian

adanya pengakuan jika serikat pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor

atau pemohon pailit dengan mewakili anggotanya (pekerja) untuk

memperjuangkan serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Hak dan

kepentingan yang dimaksud adalah hak pekerja untuk menerima pemenuhan

hak normatifnya yang tidak dibayarkan oleh perusahaan sehingga

diperlukan upaya hukum untuk mengajukan permohonan pailit yang

diwakili oleh Serikat Pekerja.

24

Pasal 25 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh.

25

(18)

3. Hubungan Pekerja dan Kepailitan

a. Kedudukan Hukum Sebagai Kreditor

UU Kepailitan tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai

kedudukan pekerja sebagai kreditor. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan

golongan kreditor yang terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu kreditor konkuren,

kreditor preferen dan kreditor separatis26 pekerja memiliki kedudukan

sebagai kreditor preferen umum. Golongan kreditor yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

1) Kreditor konkuren

Kreditor konkuren diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Kreditor

konkuren adalah para kreditor yang mendapatkan pelunasan setelah hak

dari kreditor separatis dan kreditor preferen telah terpenuhi. Kreditor

konkuren mendapatkan pelunasan berdasarkan prinsip pari passu pro rata parte, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada

besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka

secara keseluruhan, terhadap seluruh kekayaan debitor tersebut. Dengan

demikian, para kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas

pelunasan utang dari harta debitor tanpa ada yang didahulukan.

26

(19)

2) Kreditor preferen

Kreditor preferen (yang diistimewakan), yaitu kreditor yang oleh

undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya mendapatkan pelunasan

terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai

hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan

kepada seorang yang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi

daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata karena sifat

piutangnya (Pasal 1134 KUHPerdata). Kreditor preferen terdiri atas

kreditor preferen umum dan kreditor preferen khusus.

a) Kreditor preferen khusus

Kreditor preferen khusus adalah kreditor yang piutang-piutangnya

diistimewakan menurut prefensi khusus (Pasal 1139 KUHPerdata).

Prefensi khusus tersebut antara lain:

(1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu

penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun

tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda

tersebut, bahkan lebih dahulu daripada gadai dan hipotik;

(2) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya

perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segala apa

yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa;

(3) Harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar;

(4) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;

(5) Biaya untuk melakukan pekerjaan suatu barang, yang masih harus

(20)

(6) Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah

penginapan sebagai demikian sebagai seorang tamu;

(7) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan;

(8) Apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan

lain-lain;

(9) Penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai

yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian,

kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam

jabatannya.

b)Kreditor preferen umum

Kreditor preferen umum adalah kreditor yang piutang-piutangnya

diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak yang

disebut prefensi umum (Pasal 1149 KUHPerdata). Adapun prefensi

umum didasarkan pada urutan sebagai berikut:

(1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan oleh

pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini

didahulukan daripada gadai dan hipotek;

(2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan

hakim untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi;

(3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang

(21)

(4) Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah

dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang

kenaikan upah menurut Pasal 1602 KUHPerdata;27

(5) Piutang karena penyerahan baha-bahan makanan yang dilakukan

kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam

bulan yang terakhir;

(6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun

yang penghabisan;

(7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang

terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka.

3) Kreditor separatis (secured creditor)

Kreditor separatis (secured creditor) yaitu kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yaitu gadai, hipotek, hak tanggungan dan fidusia.

Hak yang dimiliki kreditor separatis adalah hak untuk dengan

kewenangan sendiri menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa putusan

pengadilan.

Selain itu, pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-VI/2008

pekerja juga diakui memiliki kedudukan sebagai kreditor. Kreditor terbagi

menjadi empat macam, yaitu :

1) Kreditor istimewa, yaitu hak mendahului negara atas utang pajak

(penjelasan pasal 41 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004);

27

(22)

2) Kreditor separatis, yaitu kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak

tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya atau

kreditor dengan jaminan (pasal 55 ayat 1 UU. No 37 Tahun 2004);

3) Kreditor preferen dengan privilege khusus, yaitu kreditor yang memiliki hak istimewa oleh karena pembelian barang yang belum dibayar, jasa

tukang dan lain-lain;

4) Kreditor preferen dengan privilege umum, yaitu kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas seperti pekerja (Pertimbangan hakim 3.18

dalam Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008 Jo. Putusan PK MA No. 080 PK/Pdt.Sus/2009);

5) Kreditor konkuren, yaitu kreditor yang tidak memiliki hak jaminan

kebendaan atau hak istimewa termasuk kreditor yang terikat perjanjian

sebelum dinyatakan pailit (Pasal 37 ayat (1) UU. No 37 Tahun 2004).

Dalam Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008 memuat bahwa diperlukan

adanya peranan negara dalam bentuk kebijakan konkret untuk memberikan

perlindungan hak pekerja dalam hal terjadi kepailitan, dengan kata lain

dalam Putusan MK tersebut tetap mengakui bahwa kedudukan pekerja

sebagai kreditor preferen dengan privilege umum walaupun mengajukannya tidak menghapuskan kedudukan kreditor separatis oleh karena pekerja tidak

kehilangan hak-hak atau upahnya. Akan tetapi dari uraian di atas, dapat

disimpulkan bahwa pekerja memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat berstatus sebagai kreditor, yaitu sebagai kreditor preferen

(23)

b. Hak Normatif Pekerja Yang Dikategorikan Sebagai Utang Dalam Arti

Luas

Pekerja memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat berstatus sebagai pemohon pailit, yaitu sebagai kreditor preferen dengan

privilege umum oleh karena tidak dipenuhinya hak normatif oleh perusahaan akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hak normatif

yang dimaksud tercantum dalam Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, yaitu : “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan

kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang

penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya

diterima.” Dalam hukum kepailitan, besarnya hak normatif sebagai

kewajiban perusahaan yang dinyatakan dalam jumlah uang dikategorikan

sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena besarnya hak normatif dapat

dikategorikan sebagai utang, maka pekerja dapat berkedudukan sebagai

kreditor untuk mengajukan permohonan pailit.

Akan tetapi, hak normatif pekerja dapat dianggap sebagai utang

apabila terlebih dahulu telah ditentukan berdasarkan kesepakatan antara

perusahaan dan pekerja atau ditentukan oleh putusan pengadilan mengenai

besarnya uang yang harus dibayarkan debitor kepada pekerja (berkedudukan

sebagai kreditor).28 Yang dimaksud dianggap sebagai utang berdasarkan

kesepakatan antara debitor dan pekerja dapat dilihat dalam kasus PT.

Unggul Summit Particle Board Industry (selanjutnya disingkat PT. USPBI)

melawan Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit

28 Sutan Remy Sjahdeini,

(24)

Particle Board Industry.29 Dalam perkara tersebut, PT. USPBI telah

melakukan kesepakatan dengan Serikat Pekerja dalam bentuk Surat

Perjanjian Bersama tanggal 14 Mei 2013 yang memuat kewajiban

membayar uang pesangon, uang penggantian hak dan upah terakhir. Namun

besarnya hak normatif tersebut belum dibayarkan oleh PT. USPBI sehingga

dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan mengabulkan

permohonan. Dalam kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa majelis hakim

menyimpulkan bahwa persyaratan permohonan pailit oleh Serikat Pekerja

telah terpenuhi. Hal ini dikarenakan hak normatif sebagai kewajiban debitor

yang dinyatakan dalam sejumlah uang berdasarkan surat perjanjian bersama

tersebut yang belum dibayarkan oleh PT. USPBI dapat dikategorikan

sebagai utang.

Sedangkan yang dimaksud dianggap sebagai utang berdasarkan

putusan pengadilan yang menentukan besarnya uang yang harus dibayarkan

debitor kepada pekerja adalah dikeluarkannya putusan Pengadilan

Hubungan Industrial yang menyatakan hak normatif dalam bentuk sejumlah

uang. Misalnya dalam kasus PT. Indah Pontjan melawan Rohani, dkk.30

Dalam perkara tersebut, oleh karena PHK yang dilakukan secara sepihak

oleh perusahaan, maka para mantan pekerja mengajukan gugatan

Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) ke Pengadilan Negeri Medan.

Berdasarkan pada putusan PHI No. 04 G/2008/PHI Mdn. yang menghukum

PT. Indah Pontjan untuk membayar hak-hak mantan pekerja sebesar Rp.

148.263.300,00 (seratus empat puluh juta dua ratus enam puluh tiga ribu

29 Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 17/Pailit/2015/PN-Niaga-SBY, 26 Nopember 2015. 30

(25)

tiga ratus rupiah) tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan

permohonan pailit, yakni besarnya hak yang seharusnya diterima tetapi

tidak dibayarkan tersebut dianggap sebagai utang. Walaupun dalam putusan

tersebut permohonan pailit ditolak dengan pertimbangan hakim

membenarkan dalil PT. Indah Pontjan bahwa belum selesainya proses

eksekusi.

4. Termohon Pailit

Termohon pailit adalah pihak yang diajukan permohonan pernyataan pailit ke

Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat menjadi termohon pailit adalah debitor.

Debitor yang dimaksud adalah subjek hukum baik orang alamiah (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (recht persoon) seperti Perseroan Terbatas. Selain itu, subjek hukum yang dapat menjadi debitor adalah bank, Perusahaan

Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan

dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,

atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.31

Akan tetapi, dalam penulisan ini lebih memfokuskan pada Perseroan Terbatas

sebagai debitor atau pihak yang berkedudukan sebagai temohon pailit.

Perseroan Terbatas

Semula Perseroan Terbatas diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang

Perseroan terbatas. Tetapi kemudian diganti dengan UU No. 40 Tahun 2007

yang memberikan definisi Perseroan Terbatas pada Pasal 1 angka (1), yaitu:

Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan

31

(26)

memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.

Perseroan Terbatas memiliki status sebagai badan hukum (legal entity) dengan penekanan sebagai persekutuan modal. Ini berarti, PT merupakan

subjek hukum namun bersifat artificial. Sementara itu, badan hukum ini

merupakan persekutuan modal. Sama seperti halnya subjek hukum orang

perseorangan, badan hukum memiliki sifat dapat melakukan perbuatan hukum

– yaitu perbuatan yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga dapat

dituntut maupun menuntut di muka pengadilan. Namun oleh karena badan

hukum tidak memiliki sifat alamiah yang sama dengan subjek hukum alamiah

(orang perseorangan), untuk dapat mengaktualisasikan tindakan badan hukum

memerlukan suatu organ yang berfungsi sebagai representasi.32 Fungsi

representative sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UU No. 37 Tahun 2004

untuk mewakili perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan sebagai

persona standi in judicio adalah wewenang direksi33 (kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar perseroan).

5. Acara Pemeriksaan Pailit

Asas acara pemeriksaan kepailitan adalah acara cepat maka proses

kepailitan menggunakan proses pembuktian sederhana (sumir). Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terbukti secara sederhana (sumir) bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana yang disyaratkan

dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan terpenuhi,34

yakni terpenuhinya syarat formil dan materil. Kekhususan persidangan dalam

32

Tri Budiyono, Op. Cit., h. 31-33.

33

Ibid, h. 173.

34

(27)

kepailitan adalah hanya pembuktian apakah debitor mempunyai utang yang

telah jatuh tempo dan tidak dibayar serta adanya minimal dua kreditor.35

Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan,

maka pekerja (kreditor) atau pemohon lainnya dapat mengajukan permohonan

ke pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh

kekayaan debitor dan menunjuk kurator sementara untuk mengawasi

pengelolaan usaha debitor dan mengawasi pembayaran kepada kreditor,

pengalihan, atau penjaminan kekayaan debitor yang dalam rangka kepailitan

memerlukan persetujuan kurator. Apabila setelah sita jaminan dijatuhkan dan

ada pihak ketiga yang mengklaim sebagai pemilik barang yang disita, maka

bantahannya harus diajukan ke Pengadilan Niaga tersebut.36

Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan proses beracara

permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dan pada tingkat kasasi di

Mahkamah Agung berdasarkan pada Pasal 6 -14 UU No. 37 Tahun 2004.

35

Ibid, h. 125.

36

(28)

Bagan 3.

Proses beracara permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga

Permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan

Pendafataran permohonan pernyataan pailit oleh Panitera

Panitera menyampaikan permohonan kepada ketua Pengadilan (max. 2 hari)

Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang (max. 3 hari)

Sidang Pemeriksaaan permohonan pailit (max. 20 hari)

Penundaan sidang (max. 25 hari) Pemanggilan

debitor & kreditor

Dikabulkan

Terbukti secara sederhana bahwa persyaratan Pasal 2 ayat (1) telah

dipenuhi

Putusan diucapkan (max. 60 hari)

(29)

Bagan 4.

Proses beracara dalam upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung

Setelah proses pemeriksaan terhadap permohonan dilakukan, maka

hakim Pengadilan Niaga harus menetapkan putusannya paling lambat 60 hari

sejak permohonan tersebut didaftarkan di Pengadilan.37 Sifat putusan pailit

adalah uit vorbaar bij voorrad atau putusan serta-merta, yaitu putusan dalam

37

Pasal 6 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004.

Upaya hukum: Peninjauan Kembali Berlaku mutatis mutandis Proses kasasi

Permohonan kasasi diajukan (max. 8 hari) dengan mendaftarkan ke Panitera Pengadilan

Pendaftaran permohonan oleh Panitera

Panitera mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak termohon kasai (max. 2 hari)

Termohon kasasi mengajukan kontra memori kasasi (max. 7 hari) Penyampaian memori kasasi oleh pemohon kasasi

MA mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang (max. 2 hari)

Paniter menyampaikan permohonan, memori, kontra memori kasasi beserta berkas perkara ke MA (max. 14 hari)

Sidang pemeriksaan (max. 20 hari)

(30)

kepailitan pada prinsipnya dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap

putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.38 Hal ini dikarenakan tujuan

kepailitan adalah melakukan pembagian aset untuk membayar utang-utang

debitor terhadap kreditor, sehingga jika para kreditor telah terlanjur terbayar

karena putusan pailit tersebut dibatalkan, maka pembayaran tersebut pada

hakikatnya tidak merugikan debitor pailit itu sendiri karena utang pada

prinsipnya harus dibayar baik sekarang atau nanti hanya persolalan waktu saja.

Selain itu, dengan dibatalkannya putusan pailit tidak menjadikan hapusnya

utang-utang debitor terhadap kreditor.39

Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika telah

dikeluarkannya putusan Pengadilan Niaga, akan tetapi pada upaya hukum

kasasi dibatalkan oleh karena pekerja (kreditor) sebagai pemohon pailit yang

mengajukan permohonan atas Perseroan Terbatas (debitor) sebagai termohon

pailit adalah BUMN? seperti pada kasus PT. Merpati Nusantara Airlines

(Persero)40 dan Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero).41 Amar putusan

pada tingkat kasasi membatalkan putusan Pengadilan Niaga dengan

pertimbangan yang harus mengajukan permohonan pailit adalah Menteri

Keuangan. Jika dibatalkannya putusan pailit tidak menjadikan hapusnya

utang-utang debitor terhadap kreditor, maka siapakah yang akan membayar? apakah

negara atau PT jenis BUMN tersebut? Dengan demikian maka perlunya

penjelasan khusus terkait putusan serta-merta dalam hukum acara kepailitan.

38

Pasal 8 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004.

39

M. Hadi Shubhan, Op. Cit., h. 126.

40

Putusan Pengadilan Niaga No. 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt Pst Jo. Putusan Kasasi MA No. 447 K/Pdt.Sus/2016.

41 Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst

(31)

D.

Hasil Penelitian

Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai 10 (sepuluh) kasus kepailitan

yang didasarkan pada adanya permohonan pailit dimana pekerja berkedudukan

sebagai pemohon untuk mempailitkan Perseroan Terbatas yang mempekerjakan

para pekerja tersebut. Harapannya analisis terhadap kasus-kasus kepailitan ini

dapat menjawab problematika pekerja dalam proses kepailitan Perseroan Terbatas.

Problematika yang hendak dijawab yaitu bagaimana variasi pertimbangan hakim

dalam memutus kasus-kasus kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja,

variasi yang sebagai solusi bagi pekerja sebelum mengajukan permohonan

kepailitan serta apakah proses permohonan kepailitan melindungi hak para pekerja

yang mana para pekerja memohon untuk mempailitkan perusahaan sendiri di

tempat mereka bekerja. Berikut ini uraian mengenai sepuluh kasus tersebut.

1. Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Perusahaan Pengelola Aset

(Persero) melawan Heryono, Nugroho dan Sayudi

Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Perusahaan Pengelola Aset

(Persero) melawan Heryono, Nugroho dan Sayudi memperoleh kekuatan

hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian putusan terhadap tingkat

pertama dan tingkat kasasi :

a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga

No.41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst

Indikator Uraian

Pemohon Pailit 1)Heryono (Prmohon I);

(32)

3)Sayudi (Permohon III).

Termohon Pailit PT. Dirgantara Indonesia (Persero)

Pertimbangan Hakim Debitor memiliki dua

kreditor atau lebih

Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit

pemohon maka terungkap fakta bahwa pemohon dalam perkara ini

adalah para pekerja termasuk dari 6.561 pekerja yang di PHK oleh

termohon berdasarkan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan Pusat (Putusan P4 Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004

tanggal 29 Januari 2004. Selain itu, termohon juga mempunyai hutang

kepada Sdri. Nelly Ratnasari sebesar ± Rp. 12.701.489,25; Sdr.

1) Bahwa pemohon dalam dalil permohonannya berdasarkan Putusan

Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Putusan P4

Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004,

dengan amar Putusan P4 Pusat mewajibkan kepada Pengusaha PT.

DIRGANTARA INDONESIA untuk memberikan kompensasi

pensiun dengan nilai tagihan masing-masing:

a) Heryono sebesar Rp. 83.347.862,82;

b) Nugroho sebesar Rp. 59.258.079,22;

c) Sayudi sebesar Rp. 74.040.827,91.

2) Terbukti sebagai hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih

sejak putusan P4P tanggal 29 Januari 2004 dengan bukti

teguran/peringatan kepada Termohon :

a) Surat teguran Depnakertrans RI No.B.169/DJPPK/IX/2004;

b) Penetapan teguran/peringatan Ketua PN Jakarta Pusat No.

079/2005.EKS;

c) Hasil kesepakatan Direksi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)

dan SP FKK PT. Dirgantara Indonesia (Persero).

Hingga gugatan pailit, termohon tidak ada realisasi maupun

pembayaran, walaupun hutang terseut telah jatuh tempo dan dapat

(33)

3) Selain itu, penggugat dalam permohonannya juga mendalilkan

bahwa termohon mempunyai utang kepada kreditor lain, yaitu:

a) Sdri. Nelly Ratnasari sebesar ± Rp. 12.701.489,25;

b) Sdr. Sukriadi Djasa sebesar ± Rp. 79.024.764,81;

c) BANK MANDIRIsebesar Rp. 125.658.033.228.

Atas permohonan

sendiri maupun atas

permintaan seorang

atau lebih kreditor

Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan

pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa

permohonan pailit ini diajukan oleh para pekerja termasuk dari 6.561

orang pekerja selaku kreditur dari termohon pailit yang di PHK oleh

termohon berdasarkan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan Pusat (Putusan P4 Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004

tanggal 29 Januari 2004.

Terdapat fakta atau

keadaan yang terbukti

secara sederhana

Berdasarkan fakta, ternyata termohon telah memiliki utang kepada

pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi

termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun telah

ditagih oleh pemohon.

Putusan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

Menyatakan bahwa termohon PT. DIRGANTARA INDONESIA

(Persero) pailit dengan segala akibat hukumnya.

Tanggal Putusan Selasa, 4 September 2007

b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 075 K/Pdt.Sus/2007

Indikator Uraian

Pemohon Kasasi 1) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) - Pemohon Kasasi I;

2) PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) - Pemohon Kasasi II.

Termohon Kasasi 1)Heryono (Termohon I);

2) Nugroho (Termohon II);

3) Sayudi (Termohon III).

Pertimbangan Hakim

Kesalahan dalam

penerapan hukum

Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan kasasi dari Pemohon

(34)

dengan pertimbangan:

1) Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam

hal Debitor adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di

bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit

hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan;

2) Yang dimaksud BUMN yang bergerak di bidang kepentingan

publik sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun

2004 adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan

tidak terbagi atas saham;

3) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) adalah BUMN yang

keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara, yang pemegang

sahamnya adalah Menteri Negara BUMN dan Menteri Keuangan

RI;

4) Perusahaan Perseroan/Persero menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 19

Tahun 2003 tentang BUMN adalah BUMN berbentuk Perseroan

Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya

dimiliki oleh Negara RI, atau BUMN berbentuk PT yang

modalnya terbagi dalam saham yang paling sedikit 51% sahamnya

dimiliki oleh Negara RI;

5) Terbaginya modal Pemohon Kasasi I atas saham yang

pemegangnya adalah Menteri Negara BUMN dan Menteri

Keuangan RI adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1)

dan ayat (3) UU No. 1 Tahun 1995 tentang PT yang mewajibkan

pemegang saham suatu perseroan sekurang-kurangnya dua orang,

karena itu terbaginya modal atas saham yang seluruhnya dimiliki

oleh Negara tidak membuktikan bahwa Pemohon Kasasi I adalah

BUMN yang tidak bergerak di bidang kepentingan Publik;

6) Dalam lampiran Peraturan Menteri Perindustrian RI No.

03/M-IND/PER/2005 disebutkan bahwa PT. DI adalah objek vital

industri, dan yang dimaksud dengan objek vital industri adalah

kawasan lokasi, bangunan / instalasi dan atau usaha industri yang

(35)

dan/atau sumber pendapatan Negara yang bersifat strategis;

7) Oleh karena itu Pemohon Kasasi I sebagai BUMN sebagai BUMN

yang keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara dan merupakan

objek vital industri, adalah BUMN yang bergerak di bidang

kepentingan publik yang hanya dapat dimohonkan pailit oleh

Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (5)

UU No. 37 Tahun 2004;

8) Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

melarang pihak manapun untuk melakukan penyitaan terhadap

antara lain uang atau surat berharga, barang bergerak dan barang

tidak bergerak milik Negara, sehingga kepailitan menurut Pasal 1

angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 merupakan sita umum atas semua

kekayaan Debitor Pailit, apabila kekayaan Debitor pailit tersebut

adalah kekayaan Negara tentunya tidak dapat diletakkan sita,

kecuali permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri

Keuangan selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan

negara yang dipisahkan dan bendahara umum negara (Pasal 6 ayat

(2) Jo. Pasal 8 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara);

Putusan Mengadili:

Mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi, yaitu

PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dan PT. Perusahaan Pengelola

Aset (Persero);

Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 4

September 2007.

Mengadili sendiri:

Menolak permohonan pailit dari para Pemohon Heryono, Nugroho,

Sayudi.

(36)

2. Kasus PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep Candra

melawan Fakhur Khakam, dkk.

Kasus PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep Candra

melawan Fakhur Khakam, dkk. memperoleh kekuatan hukum tetap pada tahap

peninjauan kembali. Berikut ini uraian putusan terhadap kasus tersebut pada

tingkat pertama, kasasi dan tingkat peninjauan kembali :

a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga

No.14/Pailit/2008/PN.Niaga.Sby

Indikator Uraian

Pemohon Pailit 1) Fakhur Khakam (Pemohon I);

2) Misman (Pemohon II);

3) Fatchul Mubin (Pemohon III);

4) Nur Ali (Pemohon IV);

5) Komariyah (Pemohon V);

6) Ismoyo (Pemohon VI);

7) Miadi (Pemohon VII);

8) Surya (Pemohon VIII);

9) Nuryani (Pemohon IX);

Termohon Pailit PT. Arta Glory Buana

Pertimbangan Hakim Debitor memiliki dua

kreditor atau lebih

Debitor memiliki dua kreditor atau lebih sebagaimana bukti dan dalil

yang diajukan oleh Pemohon Pailit, yakni bahwa :

1) Permohonan pernyataan pailit oleh Pemohon Pailit bertindak untuk

dan atas nama 1.942 pekerja, dimana setiap karyawan/pekerja

merupakan subjek hukum yang berbeda, memiliki jumlah tagihan

yang berbeda sehingga dapat dianggap memiliki legal standing yang

berbeda.

2) Selain itu, Termohon Pailit juga mempunyai utang kepada:

(37)

b) PT. Coats Rejo Indonesia;

c) PT. Buana Label Indah;

d) PT. Lidya Ivana Collection;

e) PT. Indonesia Taroko Zain,

f) PT. Bank Danamon Indonesia Tbk;

g) PT. Bank Niaga Tbk;

h) PT. Bank DBS Indonesia.

Debitor tidak

membayar sedikitnya

satu hutang yang

telah jatuh tempo dan

dapat ditagih

Berdasarkan dalil yang diajukan oleh Pemohon Pailit, yakni bahwa:

1) Termohon pailit mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan dapat

ditagih kepada pemohon Pailit antara lain:

a) Upah Pekerja bagian produksi dan staff sebanyak 1.942 pekerja yang belum dibayar selama antara 3 s/d 6 bulan yaitu sejak

tanggal 4 Desember 2007 s/d tanggal 30 Agustus 2008 : ± Rp.

7.000.000.000,-

b) Upah lembur Pekerja : ± Rp. 470.000.000,-

c) Tunjangan uang makan lembur Pekerja sejak tahun 2006 s/d desember 2008 : ± Rp. 40.000.000,-

d) Tunjangan Hari Raya (THR) : ± Rp. 268.000.000,-

e) Penggantian (Claim) atas biaya pengobatan dan perawatan Pekerja : ± Rp. 20.000.000,-

f) Iuran Organisasi SPN sejak Agustus 2006 s/d Desember 2006 : ± Rp. 31.180.200,-

g) Denda atas keterlambatan pembayaran gaji/upah, upah lembur, uang makan, THR, iuran SPN dan uang berobat yang seluruhnya

sebesar ± Rp. 7.829.180.200,- x 8% = ± Rp. 626.334.416,-

2) Selain itu, terdapat tagihan lain yang belum dibayar yaitu:

a) Iuran Jamsostek sejak bulan Januari 2007 s/d Agustus 2008 sebesar ± Rp. 2.594.764.556,40,-

b) Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang

penggantian hak yang nilai tagihan baru bisa diketahui apabia

Temohon telah dinyatakan Pailit, diverifikasi dalam rapat

(38)

3) Terbukti sebagai hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih

sejak putusan P4P tanggal 29 Januari 2004 dengan bukti

teguran/peringatan kepada Termohon :

a) Surat teguran Depnakertrans RI No.B.169/DJPPK/IX/2004;

b) Penetapan teguran/peringatan Ketua PN Jakarta Pusat No.

079/2005.EKS;

c) Hasil kesepakatan Direksi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)

dan SP FKK PT. Dirgantara Indonesia (Persero).

Termohon mengakui adanya utang-utang kepada Pemohon Pailit dalam

Surat Termohon Pailit No : 01/PSL-BLS/D02008 tertanggal 2

September 2008 dan kepada kreditur lain, sehingga berdasarkan

pertimbangan hukum tersebut maka majelis hakim berpendapat syarat

debitor tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo

dan dapat ditagih telah terpenuhi.

Atas permohonan

sendiri maupun atas

permintaan seorang

atau lebih kreditor

Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan

pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa

permohonan pailit ini diajukan oleh Pimpinan Serikat Pekerja Serikat

Pekerja Nasional (PSP SPN) PT. AGB berdasarkan SK Dewan

Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Nasional No. KEP.83/A-INT/DPC

SPN/III/07 dan berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

Tangga Serikat Pekerja Nasional sah bertindak untuk dan atas nama

Berdasarkan fakta, bahwa Termohon Pailit mengakui adanya

utang-utang kepada Pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan

tetapi termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun

telah ditagih oleh pemohon, sehingga berdasarkan pertimbangan

hukum tersebut maka majelis hakim berpendapat syarat terdapat fakta

atau keadaan yang terbukti secara sederhana telah terpenuhi.

Putusan Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;

(39)

pailit dengan segala akibat hukumnya.

Tanggal Putusan Kamis, 20 November 2008

b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 917 K/Pdt.Sus/2008

Indikator Uraian

Pemohon Kasasi PT. Arta Glory Buana

Termohon Kasasi 1) Fakhur Khakam (Termohon I);

2) Misman (Termohon II);

3) Fatchul Mubin (Termohon III);

4) Nur Ali (Termohon IV);

5) Komariyah (Termohon V);

6) Ismoyo (Termohon VI);

7) Miadi (Termohon VII);

8) Surya (Termohon VIII);

9) Nuryani (Termohon IX);

Pertimbangan Hakim Kesalahan dalam

penerapan hukum

Tidak terdapat kesalahan Penerapan Hukum/Beracara serta kekhilafan

Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, yakni benar bahwa status para

Termohon Kasasi yang mewakili kepentingan seluruh para

karyawan/buruh.

Putusan Mengadili:

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. ARTA

GLORY BUANA.

Tanggal Putusan Selasa, 13 Januari 2009

c. Tingkat Peninjauan Kembali: Putusan Peninjauan Kembali

Mahkamah AgungNo. 080 PK/Pdt.Sus/2009

Indikator Uraian

Pemohon Peninjauan

Kembali

(40)

Termohon

Peninjauan Kembali

1) Fakhur Khakam (Termohon I);

2) Misman (Termohon II);

3) Fatchul Mubin (Termohon III);

4) Nur Ali (Termohon IV);

Tidak terdapat kekeliruan yang nyata/kekhilafan Hakim dalam putusan

judex juris maupun judex facti, pertimbangannya telah tepat; Terpenuhinya syarat

dalam Pasal 2 ayat

(1) UU No. 37

Tahun 2004

1) Pemohon PK dinyatakan pailit karena telah terbukti mempunyai

dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sebagaimana disebut

dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004;

2) Keberatan Pemohon PK tentang status para pemohon pailit sebagai

kreditor telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun

2004, bahwa yang dimaksud kreditur dalam ayat ini adalah baik

kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen.

Dengan demikian keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan.

Putusan Mengadili:

Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari PT. ARTA

GLORY BUANA.

Tanggal Putusan Rabu, 23 Maret 2010

3. Kasus PT. Lidi Manunggal Perkasa melawan Slamet Riyadi, dkk

Kasus PT. Lidi Manunggal Perkasa diwakili oleh Edhiyanto Prasetia selaku

Direktur memberikan kuasa kepada Sabar M. Simamira, SH., MH dkk

(41)

memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian

putusan terhadap tingkat pertama dan tingkat kasasi :

a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga

No.12/Pailit/2009/PN.NIAGA.SMG

Indikator Uraian

Pemohon Pailit 1) Slamet Riyadi;

2) Triyanto;

3) Bambang Wijonarko;

4) Purwanto; dan

5) Sutejo.

Termohon Pailit PT. Lidi Manunggal Perkasa

Pertimbangan Hakim Debitor memiliki

dua kreditor atau

lebih

Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit

pemohon maka terungkap fakta bahwa para pemohon pailit dalam

perkara ini adalah karyawan/pekerja yang bekerja pada termohon pailit

dengan upah/gaji setiap bulannya Rp. 460.000,- (empat ratus enam

puluh ribu rupiah). Para pemohon pailit menerima gaji terakhir pada

bulan Oktober 2006, hal ini terbukti sejak bulan November 2006

hingga bulan Agustus 2007 atau sama dengan 10 bulan para pemohon

pailit tidak menerima gaji dari Termohon pailit.

Termohon pailit mempunyai utang lain selain hutang kepada para

pemohon pailit yaitu kepada:

1) Bapak Fredy/Toko Mega Kutoarjo sebesar Rp. 50.000.000;

2) Toko Irama Remaja sebesar Rp. 60.000.000;

3) UD. Usaha Muda sebesar Rp. 18.000.000.

Debitor tidak

membayar

sedikitnya satu

hutang yang telah

jatuh tempo dan

1) Pada bulan Agustus 2007, termohon pailit melakukan Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak tanpa pemberitahuan dahulu

sebelumnya dan tanpa menyelesaikan kewajibannya kepada

pemohon pailit, dengan besaran hak gaji yang tertunggak yang

(42)

dapat ditagih 2007 dengan perhitungan masing-masing:

a) Slamet Riyadi sebesar Rp. 4.600.000;

b) Triyanto sebesar Rp. 4.600.000;

c) Bambang Wijonarko sebesar Rp. 4.600.000;

d) Purwanto sebesar Rp. 4.600.000;

e) Sutejo sebesar Rp. 4.600.000;

Sehingga kewajiban termohon pailit membayar kepada para

pemohon pailit seluruhnya adalah sebesar Rp. 4.600.000,- x 5 =

Rp. 23.000.000,- (dua puluh tiga juta rupiah) yang telah jatuh

tempo dan dapat ditagih.

2) Selain itu kepada para pemohon pailit, termohon pailit juga

mempunyai kewajiban/hutang kepada 315 orang pekerja/

karyawannya. Gaji tertunggak yang belum dibayarkan adalah sejak

November 2006 s/d Agustus 2007 masing-masing adalah sebesar

Rp. 460.000,- x 315 orang x 10 bulan = Rp.1.449.000.000,- (satu

milyar empat ratus empat puluh sembilan juta rupiah).

Atas permohonan

sendiri maupun atas

permintaan seorang

atau lebih kreditor

Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan

pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa

permohonan pailit ini diajukan oleh para pekerja yang di PHK secara

sepihak oleh termohon pailit pada bulan Agustus 2007, yang selama 10

bulan sejak bulan November 2006 hingga bulan Agustus 2007 para

pemohon pailit tidak menerima gaji dari Termohon pailit.

Terdapat fakta atau

keadaan yang

terbukti secara

sederhana

Berdasarkan fakta, ternyata termohon telah memiliki utang kepada

pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi

termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun telah

ditagih oleh pemohon.

Putusan Menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon pailit

untuk seluruhnya;

Menyatakan bahwa termohon pailit PT. LIDI MANUNGGAL

PERKASA pailit dengan segala akibat hukumnya.

(43)

b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 897 K/PDT.SUS/2009

Indikator Uraian

Pemohon Kasasi PT. Lidi Manunggal Perkasa

Termohon Kasasi 1) Slamet Riyadi;

2) Triyanto;

3) Bambang Wijonarko;

4) Purwanto; dan

5) Sutejo.

Pertimbangan Hakim Kesalahan dalam

penerapan hukum

Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan kasasi dari Pemohon

Kasasi oleh karena judex facti telah salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan:

Posita dari para pemohon pailit adalah tuntutan tentang tidak

dibayarnya upah para pemohon pailit selaku karyawan dari termohon

pailit adalah merupakan sengketa/perselisihan hubungan industrial

yang termasuk kompetensi dari Pengadilan Hubungan Industrial/bukan

wewenang Pengadilan Niaga

Putusan Mengadili:

Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : PT. Lidi

Manunggal Perkasa;

Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Semarang No. 12/Pailit/2009/PN.Niaga.Smg tanggal 26 Oktober

2009.

Mengadili Sendiri:

Menyatakan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang

tidak berwenang mengadili perkara a quo.

Tanggal Putusan Senin, 3 Mei 2010

4. Kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil melawan Letti, dkk

Kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil memberikan kuasa kepada

Gambar

Tabel 1. Jumlah perkara kepailitan yang diterima Pengadilan Niaga dari Tahun
Tabel 2. Sepuluh kasus kepailitan yang dikabulkan dan ditolak
tabel sebagai berikut.
Tabel 4. Delapan kasus kepailitan yang ditolak
+2

Referensi

Dokumen terkait

Adapun maksud si Pemohon atau orang yang bertindak atas nama Pemohon tersebut adalah untuk; (1) membayar kepada atau atas perintah dari seorang pihak ketiga (

Tanggung jawab organ perseroan pada dalam kepailitan. didasarkan pada batas Tanggung Jawab

SPK * diterima Salesman SPK Menyiap kan SPK SPK* Pengisian SPK dilakukan oleh konsumen F D FC kwitansi DP FC BSTK DP Kwitansi tagihan Menghitung sisa pembayaran konsumen

pihak menyatakan bahwa kerugian yang diderita Penggugat Asal adalah. karena belum dilunasinya sisa pembayaran L/C oleh Tergugat Asal II

Oleh karena hubungan kerja yang sudah berakhir, maka pekerja harus. mendapat hak – hak akibat dari PHK tersebut, yaitu berupa

Kepailitan (Analisa Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan), Bandung 2012.. Munir, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek,

subjek hukum sehingga bila suami istri yang terikat dalam perkawinan melakukan. penyetoran modal maka adanya unsur harta bersama yang disetorkan di

Hasil penelitian menyebutkan Kedudukan harta isteri dengan perjanjian kawin sebagai boedel pailit dalam kepailitan Perseroan Terbatas adalah bahwa dalam hal