BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum mengkaji lebih dalam mengenai analisis penulis terkait
permasalahan atau problematika pekerja (kreditor) sebagai pemohon kepailitan
perusahaan tempatnya bekerja (debitor), penting untuk memahami konsep hukum
kepailitan. Oleh karena kepailitan digunakan sebagai pranata hukum untuk
menyelesaikan sengketa utang piutang oleh pekerja terhadap perusahaan, maka
pekerja harus memenuhi syarat pengajuan permohonan pailit baik syarat formil
maupun materil. Syarat formil dan materil digunakan sebagai kaidah untuk
menentukan apakah permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan ataupun
ditolak. Syarat formil terdiri dari dua komponen, yaitu kompetensi Pengadilan
Niaga dan pembuktian sederhana. Sedangkan syarat materil terdiri dari tiga
komponen, yaitu adanya debitor, adanya dua kreditor atau lebih dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Dalam satu syarat materil, menyatakan bahwa salah satu pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit adalah kreditor.
Untuk dapat menjelaskan bahwa pekerja dapat menjadi kreditor oleh karena
tidak terpenuhinya hak normatif yang seharusnya diterima oleh karena Pemutusan
Hubungan Kerja oleh perusahaan sehingga besarnya hak normatif yang dapat
ditentukan dalam bentuk sejumlah uang tersebut dikategorikan sebagai utang
pembahasan mengenai hubungan antara tuntutan atas hak normatif pekerja dan
kedudukan kreditur dalam proses kepailitan, bagaimana kedudukan hukum bagi
pekerja sebagai kreditor dalam proses kepailitan. Sehingga apabila pekerja
mengajukan permohonan pailit, pekerja juga memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam proses kepailitan.
Oleh sebab itu, sistematika penulisan dalam bab ini dibagi dalam beberapa
bagian yakni sebagai berikut. Pertama, membahas mengenai latar belakang adanya lembaga kepailitan. Kedua, membahas konsep kepailitan yang diuraikan berdasarkan pendekatan etimologis, doktrin dan pendekatan UU. Ketiga, memuat uraian tentang hukum acara dalam kepailitan, yang terdiri dari dua, yaitu syarat
permohonan pailit dan acara pemeriksaan pailit. Syarat permohonan pailit yang
dimaksud adalah syarat formil dan materil termasuk uraian mengenai pekerja
sebagai pemohon pailit dan perseroan terbatas sebagai termohon pailit. Keempat,
memuat uraian tentang hasil penelitian terhadap kasus-kasus kepailitan. Kelima, memuat uraian tentang analisis yang terdiri dari tiga bagian, yaitu variasi
pertimbangan hakim dan amar putusan dalam memutus 10 (sepuluh) kasus
kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja, penetapan PHI yang
menentukan besarnya hak normatif yang diterima pekerja akibat PHK dan variasi
yang dapat dilakukan oleh pekerja agar permohonan kepailitan dapat dikabulkan.
A.
Latar Belakang Lembaga Kepailitan
Banyaknya kredit macet pada sejumlah bank pada akhir tahun 1997 telah
menandai awal krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia. Kondisi ini
Amerika, yang pernah mencapai titik terendah Rp. 15.000,00/1 US$. Seiring
dengan merosotnya nilai tukar rupiah tersebut, kemudian para debitor Indonesia
dalam membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo, baik dalam mata uang
asing ataupun rupiah juga ikut merosot. Permasalahan kredit macet ini dinilai,
selain merupakan sumber krisis moneter yang telah terjadi, juga merupakan faktor
penghambat perbaikan ekonomi Indonesia pasca krisis moneter tersebut.1
Pada tahun 1988, akibat terjadi krisis moneter di Indonesia berpengaruh
terhadap peraturan kepailitan. Faillisements Verordening (Staatsblad No. 217 Tahun 1905 Jo. Staatsblad No. 348 Tahun 1906) yang merupakan peraturan kepailitan yang berlaku pada saat itu di Indonesia dirasakan tidak mampu lagi
untuk menyelesaikan permasalahan kredit macet tersebut. Oleh karena itu, pada
tanggal 22 April 1998 pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang (peraturan) kepailitan. Perpu tersebut mengubah dan menambah
faillisements verordening (FV) dan tidak mencabut faillisements verordening
(FV), yang kemudian menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998. Salah satu pokok penyempurnaan yang dilakukan oleh perpu
kepailitan yang disebutkan dalam penjelasan atas Undang-Undang Kepailitan
bagian umum adalah pembentukan Pengadilan Niaga yang khusus memeriksa
permohonan kepailitan dan sengketa bisnis.2
Pembentukan Pengadilan Niaga ini untuk mengatasi sistem hukum dan
kompetensi hakim pengadilan umum yang tidak mencukupi dalam memutuskan
1
Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta: Kumpulan makalah seri Workshop Kepailitan I - IV, Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, h. v.
2
sengketa-sengketa bisnis, terutama sengketa kepailitan. Selain itu, pembentukan
pengadilan khusus ini adalah untuk mengatasi citra negatif pengadilan umum di
Indonesia yang korup, tidak transparan dan lama dalam memutuskan suatu
perkara. Pengadilan Niaga diharapkan mampu untuk menegakkan prinsip-prinsip
keadilan, transparan, cepat, sederhana dan efektif bagi sengketa-sengketa
kepailitan. Akan tetapi setelah berjalan 6 tahun sejak awal berdiri tahun 1998
hingga 2003 minat masyarakat untuk menggunakan Pengadilan Niaga sebagai
tempat penyelesaian perkara kepailitan dirasakan mengalami penurunan.3 Hal ini
dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 1.
Jumlah perkara kepailitan yang diterima Pengadilan Niaga dari Tahun 1998-2003
Tahun Jumlah perkara yang diterima Pengadilan Niaga
1998 38
1999 100
2000 84
2001 61
2002 39
2003 38
Salah satu yang diyakini menjadi penyebab kemunduran perkembangan
Pengadilan Niaga adalah banyaknya ketidakjelasan aturan yang terdapat dalam
UU No. 4 Tahun 1998. Oleh karena itu dilakukan perubahan terhadap UU No. 4
Tahun 1998 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan yang baru dan
3 Laporan Kegiatan 1998-2003,
masih diberlakukan hingga saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya
disebut UU No. 37 Tahun 2004). Beberapa perubahan pokok UU No. 4 Tahun
1998 adalah (a) Perubahan akan percepatan waktu; (b) Perubahan syarat
permohonan kepailitan; (c) Perubahan para pihak pemohon; (d) Perubahan pada
prosedur permohonan pailit. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan
berbagai penafsiran sehingga diberikan batasan secara tegas mengenai pengertian
utang, pengertian kepailitan, pembatasan dalam mengajukan permohonan pailit
pada Pasal 2 ayat (5) serta syarat-syarat dan prosedur pernyataan paiit.4
B.
Konsep Kepailitan
Istilah “pailit” dapat dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Latin, Belanda,
Inggris dan Perancis. Kata pailit berasal dari bahasa Latin yaitu „failure‟, dalam
bahasa Belanda digunakan istilah „failiet‟, sedangkan dalam bahasa Inggris
dipergunakan istilah „to fail‟, serta Perancis menyebut pailit dengan menggunakan
istilah „failite‟ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan
pembayaran.5
Algra mendefinisikan bahwa kepailitan adalah “Faillissementis een
gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van zijn gezamenlijke schuldeiser”.6 (kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap
semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi
4
Edward Manik, Op.Cit., h. 14-29.
5 Sunarmi,
Op. Cit., h. 23.
6
utangnya kepada kreditor (si berpiutang)). Henry Campbell Black dalam Black‟s
Law Dictionary juga mendefinisikan bahwa:
Bankrupt is the state or condition of a person (Individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due.7 The term includes a person againts whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.8 Sedangkan
pengertian kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita
umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
Dalam pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepailitan adalah
pelaksanaan dari dua asas/prinsip dalam rezim hukum harta kekayaan yaitu
prinsip paritas creditorium (Pasal 1131 KUHPerdata) dan prinsip pari passu prorata parte (Pasal 1132 KUHPerdata). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik barang bergerak atapun barang tidak
bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di
kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban
debitor. Sedangkan prinsip pari passu prorata parte adalah harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus
dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor
7
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, 1979, h. 134.
8
itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima
pembayaran tagihannya.9
Walaupun dinyatakan bahwa seluruh harta kekayaan debitor (Pasal 21 UU
No. 37 Tahun 2004) menjadi jaminan bagi pelunasan utang kepada Kreditor, akan
tetapi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap:10
(a) Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang digunakan unuk kesehatan, tempat tidur, dan perlengkapannya yang digunakan oleh Debitor dan keluargannya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; (b) Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau (c) Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.
Ketentuan dalam UU Kepailitan bertujuan untuk melindungi hak dasar atau
hakiki yang dimiliki debitor sebagai manusia. Sehingga dengan dipailitkannya
debitor, tidak bermakna bahwa seluruh harta kekayaan debitor menjadi disita oleh
Pengadilan untuk membayar seluruh hutangnya kepada kreditor.
C.
Hukum Acara dalam Kepailitan
1. Syarat Agar Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima
Adapun syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit sehingga
dapat diterima terbagi menjadi dua, yaitu syarat formil dan syarat materil.
9
Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, 2001, dalam Rudhy A. Lontoh (ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, h. 168.
10
Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka permohonan pailit yang ajukan
oleh pemohon ditolak oleh Pengadilan Niaga dimana permohonan itu diajukan.
a. Syarat Formil
Terdapat 2 (dua) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat
diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004, yakni pengajuan permohonan pailit merupakan
kewenangan Pengadilan Niaga di tempat kedudukan debitor dan perkara
dapat dibuktikan secara sederhana.
1) Kompetensi Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga merupakan bagian dari Peradilan Umum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum juncto Pasal 1 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004. Pengadilan Niaga mempunyai kompetensi (kewenangan) untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban
pembayaran utang. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
UU No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa :
Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor.
Selain itu, Pasal 300 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan
perkara lain di bidang perniagaan yang ditetapkan dengan
undang-undang. Pengadilan Niaga berwenang menangani perkara-perkara seperti
Hak Kekayaan Intelektual dan Lembaga Penjamin Simpanan.
2) Pembuktian sederhana
Syarat ini diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004
menyatakan bahwa:
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.
Dalam proses pembuktian hukum kepailitan, fakta dan kenyataan
yang terbukti secara sederhana yang dimaksud adalah adanya fakta dua
atau lebih kreditor dan adanya fakta utang yang telah jatuh waktu dan
tidak dibayar. Fakta dan kenyataan tersebut harus terbukti secara
sederhana dalam jangka waktu proses sejak pengajuan permohonan
hingga dikeluarkanya putusan yaitu selama 60 hari. Apabila fakta dan
kenyataan tidak terbukti sederhana atau dengan kata lain perlu jangka
waktu yang lama untuk dapat membuktikan bahwa terdapat sengketa
utang-piutang antara debitor dan kreditor, maka esensi dari kepailitan
akan hilang. Hal ini dikarenakan kepailitan termasuk sebagai proses
acara peradilan cepat. Apabila fakta dan kenyataan tidak sederhana, maka
pihak yang berkepentingan tersebut harus mengajukan gugatan
b. Syarat Materil
Ada 3 (tiga) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat diterima
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu:
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
1) AdanyaDebitor
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.11
Debitor yang dimaksud adalah subjek hukum, baik orang perseorangan
atau orang alamiah (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechts persoon) seperti Perseroan Terbatas. Tanpa adanya perikatan maka tidak ada debitor sebagai si berutang yang memiliki kewajiban pembayaran
utang kepada Kreditor dan merupakan subjek utama dalam hukum
kepailitan.
2) Adanya dua Kreditor atau lebih
Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.12
Yang dimaksud dengan “kreditor” adalah baik kreditor konkuren,
kreditor separatis maupun kreditor preferen.13 Adanya dua kreditor atau
lebih yang dimaksud adalah untuk dapat mengajukan permohonan pailit
11
Pasal 1 Angka 3 UU No. 37 Tahun 2004.
12 Pasal 1 Angka 2 UU No. 37 Tahun 2004. 13
kepada debitor, maka debitor tersebut harus memiliki sekurangnya 2
(dua) kreditor. Jika debitor hanya berutang kepada seorang kreditor saja,
maka seluruh harta kekayaannya menjadi jaminan bagi pelunasan hutang
tersebut, serta pranata hukum yang digunakan adalah jalur gugatan
keperdataan di Pengadilan Negeri. Akan tetapi, jika debitor memiliki
lebih dari 1 (satu) kreditor maka harta kekayaan debitor haruslah dibagi
berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum kepailitan, seperti prinsip
paritas creditorum dan prinsip pari passu prorata parte.
3) Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih
Syarat ini dimaksudkan adalah apabila akan mengajukan permohonan
pailit, maka dari dua kreditor atau lebih tersebut harus memiliki minimal
adanya satu utang yang tidak dibayar lunas oleh debitor serta utang
tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Yang dimaksud dengan
“telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar
utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena
percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena
pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun
karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.14 Pengertian
“utang” sebagai syarat pengajuan permohonan pailit tercantum dalam
Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 yakni:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
14
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Dari definisi tersebut utang yang dimaksud dalam hukum kepailitan
adalah utang dalam arti luas atau tidak ada pembatasan, oleh karena
utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari perjanjian utang
-piutang dan pinjam-meminjam” tetapi juga “utang yang timbul karena
undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah
uang.”15
Selain itu, pengertian utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih atau kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu
yang dimaksud adalah karena percepatan waktu penagihan (klausula
Cross Dwolt), pengenaan sanksi atau denda serta karena putusan pengadilan atau arbitrase.
15 Mariske Myeke Tampi,
Bagan 2.
Lima syarat agar permohonan pernyataan pailit dapat diterima
2. Pemohon Pailit
Pemohon pailit adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan
pailit ke Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat menjadi pemohon pailit adalah
debitor sendiri, satu atau lebih kreditor, atau oleh pihak ketiga, seperti
Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) maupun
Menteri keuangan.16 Dalam penulisan ini lebih memfokuskan pada dasar
hukum mengapa pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor sehingga
memiliki kedudukan hukum untuk menjadi pemohon pailit.
16
Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004. Lima Syarat Agar
Permohonan pernyataan pailit
dapat diterima
Syarat Materil Syarat Formil
Kompetensi Pengadlan Niaga
Pembuktian Sederhana
Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat tagih Adanya 2 Kreditor
a. Pekerja
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.17 Jika dilihat dalam UU Kepailitan tidak
disebutkan secara eksplisit bahwa pekerja dapat berkedudukan sebagai
kreditor. Hal ini dikarenakan pada Pasal 2 UU Kepailitan yang mengatur
pihak yang berkedudukan sebagai pemohon pailit, hanya mengatur kreditor
dalam arti luas atau tidak bersifat limitatif siapa yang dapat menjadi
kreditor. Akan tetapi, menurut Ricardo Simanjuntak18 pekerja termasuk
dalam salah satu golongan yang mendapat pembagian dari hasil penjualan
boedel pailit menurut urutan haknya, yaitu setelah hak preferensi separatis
dan sebelum hak preferensi khusus. Hak para kreditor untuk mendapatkan
pembagian dari hasil penjualan pailit dibagi dalam 7 (tujuh) tingkat mulai
dari hak yang paling tinggi (memiliki hak yang harus didahulukan) sampai
hak yang paling rendah yaitu sebagai berikut:
1) Hak retensi merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor atas kewenangan
yang diberikan kepadanya untuk melakukan perbaikan ataupun
penambahan nilai dari boedel pailit. Kreditor ini berhak untuk menahan
benda (boedel pailit) yang berada di bawah kekuasaannya sebelum biaya
perbaikan terhadap boedel pailit tersebut terlebih dahulu dilunasi,19 serta
17
Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003.
18
Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, h. 301-302.
19
biaya perkara yang dikeluarkan untuk pelelangan dan penyelesaian
warisan;20
2) Hak istimewa atas tagihan negara merupakan hak yang dimiliki kantor
pajak untuk mendapatkan pembayaran (tagihan pajak) dari boedel pailit
lebih dahulu dari kreditor lainnya,21 yaitu hak mendahulu untuk tagihan
pajak atas barang-barang Wajib Pajak (boedel pailit) kreditor;
3) Hak prefensi separatis merupakan hak yang dimiliki oleh
kreditor-kreditor yang memegang jaminan dalam bentuk hak tanggungan, hipotek,
gadai dan fidusia;22
4) Hak istimewa pekerja/buruh;23
5) Hak prefensi khusus bagi kreditor preferen khusus berdasarkan Pasal
1139 KUHPerdata;
6) Hak preferensi umum bagi kreditor preferen umum berdasarkan Pasal
1149 KUHPerdata;
7) Hak umum bagi kreditor konkuren untuk dibayarkan secara pro rata
berdasarkan Pasal 1132 KUHPerdata.
Dari penjelasan di atas, pekerja termasuk dalam salah satu golongan
yang mendapat pembagian dari hasil penjualan boedel pailit menurut urutan
haknya, yaitu hak yang diistimewakan oleh UU Ketenagakerjaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (4) yang berbunyi: ”Dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan
20
Pasal 21 ayat (3) huruf c UU No. 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 1139 ayat (1) dan Pasal 1149 ayat (1) KUHPerdata.
21
Pasal 21 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 1134 dan Pasal 1137 KUHPerdata.
22 Pasal 138 UU No. 37 Tahun 2004. 23
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
”
Dari pasal tersebut dapat dilihat secara jelas bahwa oleh karena hak pekerja merupakanutang, maka dalam hukum kepailitan pekerja dapat berkedudukan sebagai
kreditor oleh karena utang yang tidak dibayarkan oleh perusahaan. Utang
yang dimaksud adalah hak pekerja seperti hak atas pembayaran upah dan
hak-hak lainnya yang dimaksudkan adalah hak-hak normatif sebagaimana
diatur dalam Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003. Oleh sebab itu pekerja
dapat menjadi pemohon pailit dalam hukum kepailitan.
b. Serikat Pekerja
Walaupun tidak disebutkan secara ekspilisit dalam UU No. 37 tahun 2004
bahwa serikat pekerja dapat berkedudukan sebagai subjek yang dapat
menjadi pemohon pailit, akan tetapi berdasarkan pada Pasal 1 angka 1 UU
No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh yang
menyatakan:
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Jadi, serikat pekerja dapat mewakili pekerja untuk memperjuangkan
serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Serikat Pekerja memiliki hak
untuk mewakili pekerja dalam membuat perjanjian kerja bersama dengan
industrial24 untuk memenuhi kewajibannya melindungi dan membela
anggota (pekerja) dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan
kepentingannya.25 Penerapan pasal tersebut dapat dilihat dalam Putusan
Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung No. 080 PK/Pdt.Sus/2009
dimana:
Para pihak PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep Candra melawan Fakhur Khakam, dkk. sebagai Pimpinan Serikat Pekerja Nasional PT. AGB yang bertindak untuk dan atas nama seluruh anggota Serikat Pekerja Nasional yang berjumlah 1942 orang berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Nasional Nomor: KEP.83/A-INT/DPC SPN/III/07 dan berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Serikat Pekerja Nasional.
Dalam amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon pailit.
Dengan kata lain, majelis hakim menyimpulkan bahwa persyaratan
permohonan pailit oleh serikat pekerja telah terpenuhi. Dengan demikian
adanya pengakuan jika serikat pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor
atau pemohon pailit dengan mewakili anggotanya (pekerja) untuk
memperjuangkan serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Hak dan
kepentingan yang dimaksud adalah hak pekerja untuk menerima pemenuhan
hak normatifnya yang tidak dibayarkan oleh perusahaan sehingga
diperlukan upaya hukum untuk mengajukan permohonan pailit yang
diwakili oleh Serikat Pekerja.
24
Pasal 25 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh.
25
3. Hubungan Pekerja dan Kepailitan
a. Kedudukan Hukum Sebagai Kreditor
UU Kepailitan tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai
kedudukan pekerja sebagai kreditor. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan
golongan kreditor yang terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu kreditor konkuren,
kreditor preferen dan kreditor separatis26 pekerja memiliki kedudukan
sebagai kreditor preferen umum. Golongan kreditor yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1) Kreditor konkuren
Kreditor konkuren diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Kreditor
konkuren adalah para kreditor yang mendapatkan pelunasan setelah hak
dari kreditor separatis dan kreditor preferen telah terpenuhi. Kreditor
konkuren mendapatkan pelunasan berdasarkan prinsip pari passu pro rata parte, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada
besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka
secara keseluruhan, terhadap seluruh kekayaan debitor tersebut. Dengan
demikian, para kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas
pelunasan utang dari harta debitor tanpa ada yang didahulukan.
26
2) Kreditor preferen
Kreditor preferen (yang diistimewakan), yaitu kreditor yang oleh
undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya mendapatkan pelunasan
terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai
hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang yang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi
daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata karena sifat
piutangnya (Pasal 1134 KUHPerdata). Kreditor preferen terdiri atas
kreditor preferen umum dan kreditor preferen khusus.
a) Kreditor preferen khusus
Kreditor preferen khusus adalah kreditor yang piutang-piutangnya
diistimewakan menurut prefensi khusus (Pasal 1139 KUHPerdata).
Prefensi khusus tersebut antara lain:
(1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu
penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun
tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda
tersebut, bahkan lebih dahulu daripada gadai dan hipotik;
(2) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya
perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segala apa
yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa;
(3) Harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar;
(4) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
(5) Biaya untuk melakukan pekerjaan suatu barang, yang masih harus
(6) Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah
penginapan sebagai demikian sebagai seorang tamu;
(7) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan;
(8) Apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan
lain-lain;
(9) Penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai
yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian,
kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam
jabatannya.
b)Kreditor preferen umum
Kreditor preferen umum adalah kreditor yang piutang-piutangnya
diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak yang
disebut prefensi umum (Pasal 1149 KUHPerdata). Adapun prefensi
umum didasarkan pada urutan sebagai berikut:
(1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan oleh
pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini
didahulukan daripada gadai dan hipotek;
(2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan
hakim untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi;
(3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang
(4) Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah
dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang
kenaikan upah menurut Pasal 1602 KUHPerdata;27
(5) Piutang karena penyerahan baha-bahan makanan yang dilakukan
kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam
bulan yang terakhir;
(6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun
yang penghabisan;
(7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang
terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka.
3) Kreditor separatis (secured creditor)
Kreditor separatis (secured creditor) yaitu kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yaitu gadai, hipotek, hak tanggungan dan fidusia.
Hak yang dimiliki kreditor separatis adalah hak untuk dengan
kewenangan sendiri menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa putusan
pengadilan.
Selain itu, pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-VI/2008
pekerja juga diakui memiliki kedudukan sebagai kreditor. Kreditor terbagi
menjadi empat macam, yaitu :
1) Kreditor istimewa, yaitu hak mendahului negara atas utang pajak
(penjelasan pasal 41 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004);
27
2) Kreditor separatis, yaitu kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya atau
kreditor dengan jaminan (pasal 55 ayat 1 UU. No 37 Tahun 2004);
3) Kreditor preferen dengan privilege khusus, yaitu kreditor yang memiliki hak istimewa oleh karena pembelian barang yang belum dibayar, jasa
tukang dan lain-lain;
4) Kreditor preferen dengan privilege umum, yaitu kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas seperti pekerja (Pertimbangan hakim 3.18
dalam Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008 Jo. Putusan PK MA No. 080 PK/Pdt.Sus/2009);
5) Kreditor konkuren, yaitu kreditor yang tidak memiliki hak jaminan
kebendaan atau hak istimewa termasuk kreditor yang terikat perjanjian
sebelum dinyatakan pailit (Pasal 37 ayat (1) UU. No 37 Tahun 2004).
Dalam Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008 memuat bahwa diperlukan
adanya peranan negara dalam bentuk kebijakan konkret untuk memberikan
perlindungan hak pekerja dalam hal terjadi kepailitan, dengan kata lain
dalam Putusan MK tersebut tetap mengakui bahwa kedudukan pekerja
sebagai kreditor preferen dengan privilege umum walaupun mengajukannya tidak menghapuskan kedudukan kreditor separatis oleh karena pekerja tidak
kehilangan hak-hak atau upahnya. Akan tetapi dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pekerja memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat berstatus sebagai kreditor, yaitu sebagai kreditor preferen
b. Hak Normatif Pekerja Yang Dikategorikan Sebagai Utang Dalam Arti
Luas
Pekerja memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat berstatus sebagai pemohon pailit, yaitu sebagai kreditor preferen dengan
privilege umum oleh karena tidak dipenuhinya hak normatif oleh perusahaan akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hak normatif
yang dimaksud tercantum dalam Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yaitu : “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan
kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima.” Dalam hukum kepailitan, besarnya hak normatif sebagai
kewajiban perusahaan yang dinyatakan dalam jumlah uang dikategorikan
sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena besarnya hak normatif dapat
dikategorikan sebagai utang, maka pekerja dapat berkedudukan sebagai
kreditor untuk mengajukan permohonan pailit.
Akan tetapi, hak normatif pekerja dapat dianggap sebagai utang
apabila terlebih dahulu telah ditentukan berdasarkan kesepakatan antara
perusahaan dan pekerja atau ditentukan oleh putusan pengadilan mengenai
besarnya uang yang harus dibayarkan debitor kepada pekerja (berkedudukan
sebagai kreditor).28 Yang dimaksud dianggap sebagai utang berdasarkan
kesepakatan antara debitor dan pekerja dapat dilihat dalam kasus PT.
Unggul Summit Particle Board Industry (selanjutnya disingkat PT. USPBI)
melawan Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit
28 Sutan Remy Sjahdeini,
Particle Board Industry.29 Dalam perkara tersebut, PT. USPBI telah
melakukan kesepakatan dengan Serikat Pekerja dalam bentuk Surat
Perjanjian Bersama tanggal 14 Mei 2013 yang memuat kewajiban
membayar uang pesangon, uang penggantian hak dan upah terakhir. Namun
besarnya hak normatif tersebut belum dibayarkan oleh PT. USPBI sehingga
dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan mengabulkan
permohonan. Dalam kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa majelis hakim
menyimpulkan bahwa persyaratan permohonan pailit oleh Serikat Pekerja
telah terpenuhi. Hal ini dikarenakan hak normatif sebagai kewajiban debitor
yang dinyatakan dalam sejumlah uang berdasarkan surat perjanjian bersama
tersebut yang belum dibayarkan oleh PT. USPBI dapat dikategorikan
sebagai utang.
Sedangkan yang dimaksud dianggap sebagai utang berdasarkan
putusan pengadilan yang menentukan besarnya uang yang harus dibayarkan
debitor kepada pekerja adalah dikeluarkannya putusan Pengadilan
Hubungan Industrial yang menyatakan hak normatif dalam bentuk sejumlah
uang. Misalnya dalam kasus PT. Indah Pontjan melawan Rohani, dkk.30
Dalam perkara tersebut, oleh karena PHK yang dilakukan secara sepihak
oleh perusahaan, maka para mantan pekerja mengajukan gugatan
Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) ke Pengadilan Negeri Medan.
Berdasarkan pada putusan PHI No. 04 G/2008/PHI Mdn. yang menghukum
PT. Indah Pontjan untuk membayar hak-hak mantan pekerja sebesar Rp.
148.263.300,00 (seratus empat puluh juta dua ratus enam puluh tiga ribu
29 Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 17/Pailit/2015/PN-Niaga-SBY, 26 Nopember 2015. 30
tiga ratus rupiah) tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan
permohonan pailit, yakni besarnya hak yang seharusnya diterima tetapi
tidak dibayarkan tersebut dianggap sebagai utang. Walaupun dalam putusan
tersebut permohonan pailit ditolak dengan pertimbangan hakim
membenarkan dalil PT. Indah Pontjan bahwa belum selesainya proses
eksekusi.
4. Termohon Pailit
Termohon pailit adalah pihak yang diajukan permohonan pernyataan pailit ke
Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat menjadi termohon pailit adalah debitor.
Debitor yang dimaksud adalah subjek hukum baik orang alamiah (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (recht persoon) seperti Perseroan Terbatas. Selain itu, subjek hukum yang dapat menjadi debitor adalah bank, Perusahaan
Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,
atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.31
Akan tetapi, dalam penulisan ini lebih memfokuskan pada Perseroan Terbatas
sebagai debitor atau pihak yang berkedudukan sebagai temohon pailit.
Perseroan Terbatas
Semula Perseroan Terbatas diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan terbatas. Tetapi kemudian diganti dengan UU No. 40 Tahun 2007
yang memberikan definisi Perseroan Terbatas pada Pasal 1 angka (1), yaitu:
Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
31
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.
Perseroan Terbatas memiliki status sebagai badan hukum (legal entity) dengan penekanan sebagai persekutuan modal. Ini berarti, PT merupakan
subjek hukum namun bersifat artificial. Sementara itu, badan hukum ini
merupakan persekutuan modal. Sama seperti halnya subjek hukum orang
perseorangan, badan hukum memiliki sifat dapat melakukan perbuatan hukum
– yaitu perbuatan yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga dapat
dituntut maupun menuntut di muka pengadilan. Namun oleh karena badan
hukum tidak memiliki sifat alamiah yang sama dengan subjek hukum alamiah
(orang perseorangan), untuk dapat mengaktualisasikan tindakan badan hukum
memerlukan suatu organ yang berfungsi sebagai representasi.32 Fungsi
representative sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UU No. 37 Tahun 2004
untuk mewakili perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan sebagai
persona standi in judicio adalah wewenang direksi33 (kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar perseroan).
5. Acara Pemeriksaan Pailit
Asas acara pemeriksaan kepailitan adalah acara cepat maka proses
kepailitan menggunakan proses pembuktian sederhana (sumir). Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terbukti secara sederhana (sumir) bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana yang disyaratkan
dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan terpenuhi,34
yakni terpenuhinya syarat formil dan materil. Kekhususan persidangan dalam
32
Tri Budiyono, Op. Cit., h. 31-33.
33
Ibid, h. 173.
34
kepailitan adalah hanya pembuktian apakah debitor mempunyai utang yang
telah jatuh tempo dan tidak dibayar serta adanya minimal dua kreditor.35
Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan,
maka pekerja (kreditor) atau pemohon lainnya dapat mengajukan permohonan
ke pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh
kekayaan debitor dan menunjuk kurator sementara untuk mengawasi
pengelolaan usaha debitor dan mengawasi pembayaran kepada kreditor,
pengalihan, atau penjaminan kekayaan debitor yang dalam rangka kepailitan
memerlukan persetujuan kurator. Apabila setelah sita jaminan dijatuhkan dan
ada pihak ketiga yang mengklaim sebagai pemilik barang yang disita, maka
bantahannya harus diajukan ke Pengadilan Niaga tersebut.36
Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan proses beracara
permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dan pada tingkat kasasi di
Mahkamah Agung berdasarkan pada Pasal 6 -14 UU No. 37 Tahun 2004.
35
Ibid, h. 125.
36
Bagan 3.
Proses beracara permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga
Permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan
Pendafataran permohonan pernyataan pailit oleh Panitera
Panitera menyampaikan permohonan kepada ketua Pengadilan (max. 2 hari)
Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang (max. 3 hari)
Sidang Pemeriksaaan permohonan pailit (max. 20 hari)
Penundaan sidang (max. 25 hari) Pemanggilan
debitor & kreditor
Dikabulkan
Terbukti secara sederhana bahwa persyaratan Pasal 2 ayat (1) telah
dipenuhi
Putusan diucapkan (max. 60 hari)
Bagan 4.
Proses beracara dalam upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung
Setelah proses pemeriksaan terhadap permohonan dilakukan, maka
hakim Pengadilan Niaga harus menetapkan putusannya paling lambat 60 hari
sejak permohonan tersebut didaftarkan di Pengadilan.37 Sifat putusan pailit
adalah uit vorbaar bij voorrad atau putusan serta-merta, yaitu putusan dalam
37
Pasal 6 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004.
Upaya hukum: Peninjauan Kembali Berlaku mutatis mutandis Proses kasasi
Permohonan kasasi diajukan (max. 8 hari) dengan mendaftarkan ke Panitera Pengadilan
Pendaftaran permohonan oleh Panitera
Panitera mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak termohon kasai (max. 2 hari)
Termohon kasasi mengajukan kontra memori kasasi (max. 7 hari) Penyampaian memori kasasi oleh pemohon kasasi
MA mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang (max. 2 hari)
Paniter menyampaikan permohonan, memori, kontra memori kasasi beserta berkas perkara ke MA (max. 14 hari)
Sidang pemeriksaan (max. 20 hari)
kepailitan pada prinsipnya dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.38 Hal ini dikarenakan tujuan
kepailitan adalah melakukan pembagian aset untuk membayar utang-utang
debitor terhadap kreditor, sehingga jika para kreditor telah terlanjur terbayar
karena putusan pailit tersebut dibatalkan, maka pembayaran tersebut pada
hakikatnya tidak merugikan debitor pailit itu sendiri karena utang pada
prinsipnya harus dibayar baik sekarang atau nanti hanya persolalan waktu saja.
Selain itu, dengan dibatalkannya putusan pailit tidak menjadikan hapusnya
utang-utang debitor terhadap kreditor.39
Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika telah
dikeluarkannya putusan Pengadilan Niaga, akan tetapi pada upaya hukum
kasasi dibatalkan oleh karena pekerja (kreditor) sebagai pemohon pailit yang
mengajukan permohonan atas Perseroan Terbatas (debitor) sebagai termohon
pailit adalah BUMN? seperti pada kasus PT. Merpati Nusantara Airlines
(Persero)40 dan Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero).41 Amar putusan
pada tingkat kasasi membatalkan putusan Pengadilan Niaga dengan
pertimbangan yang harus mengajukan permohonan pailit adalah Menteri
Keuangan. Jika dibatalkannya putusan pailit tidak menjadikan hapusnya
utang-utang debitor terhadap kreditor, maka siapakah yang akan membayar? apakah
negara atau PT jenis BUMN tersebut? Dengan demikian maka perlunya
penjelasan khusus terkait putusan serta-merta dalam hukum acara kepailitan.
38
Pasal 8 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004.
39
M. Hadi Shubhan, Op. Cit., h. 126.
40
Putusan Pengadilan Niaga No. 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt Pst Jo. Putusan Kasasi MA No. 447 K/Pdt.Sus/2016.
41 Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst
D.
Hasil Penelitian
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai 10 (sepuluh) kasus kepailitan
yang didasarkan pada adanya permohonan pailit dimana pekerja berkedudukan
sebagai pemohon untuk mempailitkan Perseroan Terbatas yang mempekerjakan
para pekerja tersebut. Harapannya analisis terhadap kasus-kasus kepailitan ini
dapat menjawab problematika pekerja dalam proses kepailitan Perseroan Terbatas.
Problematika yang hendak dijawab yaitu bagaimana variasi pertimbangan hakim
dalam memutus kasus-kasus kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja,
variasi yang sebagai solusi bagi pekerja sebelum mengajukan permohonan
kepailitan serta apakah proses permohonan kepailitan melindungi hak para pekerja
yang mana para pekerja memohon untuk mempailitkan perusahaan sendiri di
tempat mereka bekerja. Berikut ini uraian mengenai sepuluh kasus tersebut.
1. Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Perusahaan Pengelola Aset
(Persero) melawan Heryono, Nugroho dan Sayudi
Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Perusahaan Pengelola Aset
(Persero) melawan Heryono, Nugroho dan Sayudi memperoleh kekuatan
hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian putusan terhadap tingkat
pertama dan tingkat kasasi :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga
No.41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1)Heryono (Prmohon I);
3)Sayudi (Permohon III).
Termohon Pailit PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
Pertimbangan Hakim Debitor memiliki dua
kreditor atau lebih
Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit
pemohon maka terungkap fakta bahwa pemohon dalam perkara ini
adalah para pekerja termasuk dari 6.561 pekerja yang di PHK oleh
termohon berdasarkan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (Putusan P4 Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004
tanggal 29 Januari 2004. Selain itu, termohon juga mempunyai hutang
kepada Sdri. Nelly Ratnasari sebesar ± Rp. 12.701.489,25; Sdr.
1) Bahwa pemohon dalam dalil permohonannya berdasarkan Putusan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Putusan P4
Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004,
dengan amar Putusan P4 Pusat mewajibkan kepada Pengusaha PT.
DIRGANTARA INDONESIA untuk memberikan kompensasi
pensiun dengan nilai tagihan masing-masing:
a) Heryono sebesar Rp. 83.347.862,82;
b) Nugroho sebesar Rp. 59.258.079,22;
c) Sayudi sebesar Rp. 74.040.827,91.
2) Terbukti sebagai hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
sejak putusan P4P tanggal 29 Januari 2004 dengan bukti
teguran/peringatan kepada Termohon :
a) Surat teguran Depnakertrans RI No.B.169/DJPPK/IX/2004;
b) Penetapan teguran/peringatan Ketua PN Jakarta Pusat No.
079/2005.EKS;
c) Hasil kesepakatan Direksi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
dan SP FKK PT. Dirgantara Indonesia (Persero).
Hingga gugatan pailit, termohon tidak ada realisasi maupun
pembayaran, walaupun hutang terseut telah jatuh tempo dan dapat
3) Selain itu, penggugat dalam permohonannya juga mendalilkan
bahwa termohon mempunyai utang kepada kreditor lain, yaitu:
a) Sdri. Nelly Ratnasari sebesar ± Rp. 12.701.489,25;
b) Sdr. Sukriadi Djasa sebesar ± Rp. 79.024.764,81;
c) BANK MANDIRIsebesar Rp. 125.658.033.228.
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa
permohonan pailit ini diajukan oleh para pekerja termasuk dari 6.561
orang pekerja selaku kreditur dari termohon pailit yang di PHK oleh
termohon berdasarkan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (Putusan P4 Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004
tanggal 29 Januari 2004.
Terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti
secara sederhana
Berdasarkan fakta, ternyata termohon telah memiliki utang kepada
pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi
termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun telah
ditagih oleh pemohon.
Putusan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa termohon PT. DIRGANTARA INDONESIA
(Persero) pailit dengan segala akibat hukumnya.
Tanggal Putusan Selasa, 4 September 2007
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 075 K/Pdt.Sus/2007
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi 1) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) - Pemohon Kasasi I;
2) PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) - Pemohon Kasasi II.
Termohon Kasasi 1)Heryono (Termohon I);
2) Nugroho (Termohon II);
3) Sayudi (Termohon III).
Pertimbangan Hakim
Kesalahan dalam
penerapan hukum
Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan kasasi dari Pemohon
dengan pertimbangan:
1) Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam
hal Debitor adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di
bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan;
2) Yang dimaksud BUMN yang bergerak di bidang kepentingan
publik sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun
2004 adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan
tidak terbagi atas saham;
3) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) adalah BUMN yang
keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara, yang pemegang
sahamnya adalah Menteri Negara BUMN dan Menteri Keuangan
RI;
4) Perusahaan Perseroan/Persero menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 19
Tahun 2003 tentang BUMN adalah BUMN berbentuk Perseroan
Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya
dimiliki oleh Negara RI, atau BUMN berbentuk PT yang
modalnya terbagi dalam saham yang paling sedikit 51% sahamnya
dimiliki oleh Negara RI;
5) Terbaginya modal Pemohon Kasasi I atas saham yang
pemegangnya adalah Menteri Negara BUMN dan Menteri
Keuangan RI adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1)
dan ayat (3) UU No. 1 Tahun 1995 tentang PT yang mewajibkan
pemegang saham suatu perseroan sekurang-kurangnya dua orang,
karena itu terbaginya modal atas saham yang seluruhnya dimiliki
oleh Negara tidak membuktikan bahwa Pemohon Kasasi I adalah
BUMN yang tidak bergerak di bidang kepentingan Publik;
6) Dalam lampiran Peraturan Menteri Perindustrian RI No.
03/M-IND/PER/2005 disebutkan bahwa PT. DI adalah objek vital
industri, dan yang dimaksud dengan objek vital industri adalah
kawasan lokasi, bangunan / instalasi dan atau usaha industri yang
dan/atau sumber pendapatan Negara yang bersifat strategis;
7) Oleh karena itu Pemohon Kasasi I sebagai BUMN sebagai BUMN
yang keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara dan merupakan
objek vital industri, adalah BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik yang hanya dapat dimohonkan pailit oleh
Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (5)
UU No. 37 Tahun 2004;
8) Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
melarang pihak manapun untuk melakukan penyitaan terhadap
antara lain uang atau surat berharga, barang bergerak dan barang
tidak bergerak milik Negara, sehingga kepailitan menurut Pasal 1
angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 merupakan sita umum atas semua
kekayaan Debitor Pailit, apabila kekayaan Debitor pailit tersebut
adalah kekayaan Negara tentunya tidak dapat diletakkan sita,
kecuali permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri
Keuangan selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan dan bendahara umum negara (Pasal 6 ayat
(2) Jo. Pasal 8 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara);
Putusan Mengadili:
Mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi, yaitu
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dan PT. Perusahaan Pengelola
Aset (Persero);
Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 4
September 2007.
Mengadili sendiri:
Menolak permohonan pailit dari para Pemohon Heryono, Nugroho,
Sayudi.
2. Kasus PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep Candra
melawan Fakhur Khakam, dkk.
Kasus PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep Candra
melawan Fakhur Khakam, dkk. memperoleh kekuatan hukum tetap pada tahap
peninjauan kembali. Berikut ini uraian putusan terhadap kasus tersebut pada
tingkat pertama, kasasi dan tingkat peninjauan kembali :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga
No.14/Pailit/2008/PN.Niaga.Sby
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1) Fakhur Khakam (Pemohon I);
2) Misman (Pemohon II);
3) Fatchul Mubin (Pemohon III);
4) Nur Ali (Pemohon IV);
5) Komariyah (Pemohon V);
6) Ismoyo (Pemohon VI);
7) Miadi (Pemohon VII);
8) Surya (Pemohon VIII);
9) Nuryani (Pemohon IX);
Termohon Pailit PT. Arta Glory Buana
Pertimbangan Hakim Debitor memiliki dua
kreditor atau lebih
Debitor memiliki dua kreditor atau lebih sebagaimana bukti dan dalil
yang diajukan oleh Pemohon Pailit, yakni bahwa :
1) Permohonan pernyataan pailit oleh Pemohon Pailit bertindak untuk
dan atas nama 1.942 pekerja, dimana setiap karyawan/pekerja
merupakan subjek hukum yang berbeda, memiliki jumlah tagihan
yang berbeda sehingga dapat dianggap memiliki legal standing yang
berbeda.
2) Selain itu, Termohon Pailit juga mempunyai utang kepada:
b) PT. Coats Rejo Indonesia;
c) PT. Buana Label Indah;
d) PT. Lidya Ivana Collection;
e) PT. Indonesia Taroko Zain,
f) PT. Bank Danamon Indonesia Tbk;
g) PT. Bank Niaga Tbk;
h) PT. Bank DBS Indonesia.
Debitor tidak
membayar sedikitnya
satu hutang yang
telah jatuh tempo dan
dapat ditagih
Berdasarkan dalil yang diajukan oleh Pemohon Pailit, yakni bahwa:
1) Termohon pailit mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih kepada pemohon Pailit antara lain:
a) Upah Pekerja bagian produksi dan staff sebanyak 1.942 pekerja yang belum dibayar selama antara 3 s/d 6 bulan yaitu sejak
tanggal 4 Desember 2007 s/d tanggal 30 Agustus 2008 : ± Rp.
7.000.000.000,-
b) Upah lembur Pekerja : ± Rp. 470.000.000,-
c) Tunjangan uang makan lembur Pekerja sejak tahun 2006 s/d desember 2008 : ± Rp. 40.000.000,-
d) Tunjangan Hari Raya (THR) : ± Rp. 268.000.000,-
e) Penggantian (Claim) atas biaya pengobatan dan perawatan Pekerja : ± Rp. 20.000.000,-
f) Iuran Organisasi SPN sejak Agustus 2006 s/d Desember 2006 : ± Rp. 31.180.200,-
g) Denda atas keterlambatan pembayaran gaji/upah, upah lembur, uang makan, THR, iuran SPN dan uang berobat yang seluruhnya
sebesar ± Rp. 7.829.180.200,- x 8% = ± Rp. 626.334.416,-
2) Selain itu, terdapat tagihan lain yang belum dibayar yaitu:
a) Iuran Jamsostek sejak bulan Januari 2007 s/d Agustus 2008 sebesar ± Rp. 2.594.764.556,40,-
b) Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak yang nilai tagihan baru bisa diketahui apabia
Temohon telah dinyatakan Pailit, diverifikasi dalam rapat
3) Terbukti sebagai hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
sejak putusan P4P tanggal 29 Januari 2004 dengan bukti
teguran/peringatan kepada Termohon :
a) Surat teguran Depnakertrans RI No.B.169/DJPPK/IX/2004;
b) Penetapan teguran/peringatan Ketua PN Jakarta Pusat No.
079/2005.EKS;
c) Hasil kesepakatan Direksi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
dan SP FKK PT. Dirgantara Indonesia (Persero).
Termohon mengakui adanya utang-utang kepada Pemohon Pailit dalam
Surat Termohon Pailit No : 01/PSL-BLS/D02008 tertanggal 2
September 2008 dan kepada kreditur lain, sehingga berdasarkan
pertimbangan hukum tersebut maka majelis hakim berpendapat syarat
debitor tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih telah terpenuhi.
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa
permohonan pailit ini diajukan oleh Pimpinan Serikat Pekerja Serikat
Pekerja Nasional (PSP SPN) PT. AGB berdasarkan SK Dewan
Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Nasional No. KEP.83/A-INT/DPC
SPN/III/07 dan berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Serikat Pekerja Nasional sah bertindak untuk dan atas nama
Berdasarkan fakta, bahwa Termohon Pailit mengakui adanya
utang-utang kepada Pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan
tetapi termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun
telah ditagih oleh pemohon, sehingga berdasarkan pertimbangan
hukum tersebut maka majelis hakim berpendapat syarat terdapat fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana telah terpenuhi.
Putusan Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
pailit dengan segala akibat hukumnya.
Tanggal Putusan Kamis, 20 November 2008
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 917 K/Pdt.Sus/2008
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Arta Glory Buana
Termohon Kasasi 1) Fakhur Khakam (Termohon I);
2) Misman (Termohon II);
3) Fatchul Mubin (Termohon III);
4) Nur Ali (Termohon IV);
5) Komariyah (Termohon V);
6) Ismoyo (Termohon VI);
7) Miadi (Termohon VII);
8) Surya (Termohon VIII);
9) Nuryani (Termohon IX);
Pertimbangan Hakim Kesalahan dalam
penerapan hukum
Tidak terdapat kesalahan Penerapan Hukum/Beracara serta kekhilafan
Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, yakni benar bahwa status para
Termohon Kasasi yang mewakili kepentingan seluruh para
karyawan/buruh.
Putusan Mengadili:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. ARTA
GLORY BUANA.
Tanggal Putusan Selasa, 13 Januari 2009
c. Tingkat Peninjauan Kembali: Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah AgungNo. 080 PK/Pdt.Sus/2009
Indikator Uraian
Pemohon Peninjauan
Kembali
Termohon
Peninjauan Kembali
1) Fakhur Khakam (Termohon I);
2) Misman (Termohon II);
3) Fatchul Mubin (Termohon III);
4) Nur Ali (Termohon IV);
Tidak terdapat kekeliruan yang nyata/kekhilafan Hakim dalam putusan
judex juris maupun judex facti, pertimbangannya telah tepat; Terpenuhinya syarat
dalam Pasal 2 ayat
(1) UU No. 37
Tahun 2004
1) Pemohon PK dinyatakan pailit karena telah terbukti mempunyai
dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sebagaimana disebut
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004;
2) Keberatan Pemohon PK tentang status para pemohon pailit sebagai
kreditor telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun
2004, bahwa yang dimaksud kreditur dalam ayat ini adalah baik
kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen.
Dengan demikian keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Putusan Mengadili:
Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari PT. ARTA
GLORY BUANA.
Tanggal Putusan Rabu, 23 Maret 2010
3. Kasus PT. Lidi Manunggal Perkasa melawan Slamet Riyadi, dkk
Kasus PT. Lidi Manunggal Perkasa diwakili oleh Edhiyanto Prasetia selaku
Direktur memberikan kuasa kepada Sabar M. Simamira, SH., MH dkk
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian
putusan terhadap tingkat pertama dan tingkat kasasi :
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga
No.12/Pailit/2009/PN.NIAGA.SMG
Indikator Uraian
Pemohon Pailit 1) Slamet Riyadi;
2) Triyanto;
3) Bambang Wijonarko;
4) Purwanto; dan
5) Sutejo.
Termohon Pailit PT. Lidi Manunggal Perkasa
Pertimbangan Hakim Debitor memiliki
dua kreditor atau
lebih
Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit
pemohon maka terungkap fakta bahwa para pemohon pailit dalam
perkara ini adalah karyawan/pekerja yang bekerja pada termohon pailit
dengan upah/gaji setiap bulannya Rp. 460.000,- (empat ratus enam
puluh ribu rupiah). Para pemohon pailit menerima gaji terakhir pada
bulan Oktober 2006, hal ini terbukti sejak bulan November 2006
hingga bulan Agustus 2007 atau sama dengan 10 bulan para pemohon
pailit tidak menerima gaji dari Termohon pailit.
Termohon pailit mempunyai utang lain selain hutang kepada para
pemohon pailit yaitu kepada:
1) Bapak Fredy/Toko Mega Kutoarjo sebesar Rp. 50.000.000;
2) Toko Irama Remaja sebesar Rp. 60.000.000;
3) UD. Usaha Muda sebesar Rp. 18.000.000.
Debitor tidak
membayar
sedikitnya satu
hutang yang telah
jatuh tempo dan
1) Pada bulan Agustus 2007, termohon pailit melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak tanpa pemberitahuan dahulu
sebelumnya dan tanpa menyelesaikan kewajibannya kepada
pemohon pailit, dengan besaran hak gaji yang tertunggak yang
dapat ditagih 2007 dengan perhitungan masing-masing:
a) Slamet Riyadi sebesar Rp. 4.600.000;
b) Triyanto sebesar Rp. 4.600.000;
c) Bambang Wijonarko sebesar Rp. 4.600.000;
d) Purwanto sebesar Rp. 4.600.000;
e) Sutejo sebesar Rp. 4.600.000;
Sehingga kewajiban termohon pailit membayar kepada para
pemohon pailit seluruhnya adalah sebesar Rp. 4.600.000,- x 5 =
Rp. 23.000.000,- (dua puluh tiga juta rupiah) yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih.
2) Selain itu kepada para pemohon pailit, termohon pailit juga
mempunyai kewajiban/hutang kepada 315 orang pekerja/
karyawannya. Gaji tertunggak yang belum dibayarkan adalah sejak
November 2006 s/d Agustus 2007 masing-masing adalah sebesar
Rp. 460.000,- x 315 orang x 10 bulan = Rp.1.449.000.000,- (satu
milyar empat ratus empat puluh sembilan juta rupiah).
Atas permohonan
sendiri maupun atas
permintaan seorang
atau lebih kreditor
Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa
permohonan pailit ini diajukan oleh para pekerja yang di PHK secara
sepihak oleh termohon pailit pada bulan Agustus 2007, yang selama 10
bulan sejak bulan November 2006 hingga bulan Agustus 2007 para
pemohon pailit tidak menerima gaji dari Termohon pailit.
Terdapat fakta atau
keadaan yang
terbukti secara
sederhana
Berdasarkan fakta, ternyata termohon telah memiliki utang kepada
pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi
termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun telah
ditagih oleh pemohon.
Putusan Menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon pailit
untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa termohon pailit PT. LIDI MANUNGGAL
PERKASA pailit dengan segala akibat hukumnya.
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 897 K/PDT.SUS/2009
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Lidi Manunggal Perkasa
Termohon Kasasi 1) Slamet Riyadi;
2) Triyanto;
3) Bambang Wijonarko;
4) Purwanto; dan
5) Sutejo.
Pertimbangan Hakim Kesalahan dalam
penerapan hukum
Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan kasasi dari Pemohon
Kasasi oleh karena judex facti telah salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan:
Posita dari para pemohon pailit adalah tuntutan tentang tidak
dibayarnya upah para pemohon pailit selaku karyawan dari termohon
pailit adalah merupakan sengketa/perselisihan hubungan industrial
yang termasuk kompetensi dari Pengadilan Hubungan Industrial/bukan
wewenang Pengadilan Niaga
Putusan Mengadili:
Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : PT. Lidi
Manunggal Perkasa;
Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Semarang No. 12/Pailit/2009/PN.Niaga.Smg tanggal 26 Oktober
2009.
Mengadili Sendiri:
Menyatakan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang
tidak berwenang mengadili perkara a quo.
Tanggal Putusan Senin, 3 Mei 2010
4. Kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil melawan Letti, dkk
Kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil memberikan kuasa kepada