• Tidak ada hasil yang ditemukan

MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

MATAHARI SEGITIGA

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

Penyunting:

Yohanes Adhi Satiyoko Herawati

Cetakan Pertama: Oktober 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan pertama kali oleh:

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Katalog Dalam Terbitan (KDT)

MATAHARI SEGITIGA; Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012, Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012

(xiii, 216 hlm.; 21cm) ISBN 978-979-188-191-3

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(4)

Kemakmuran dan kejayaan sebuah negara ditandai dengan semakin meningkatnya kegiatan intelektual. Dengan kegiatan intelektual, akan ditemukan “keajaiban-keajaiban” ilmu penge-tahuan yang senantiasa baru dan bermanfaat bagi kepentingan hidup manusia. Pemanfaatan ilmu pengetahuan diawali dari pen-catatan hasil-hasil penelitian yang dibukukan. Seorang penulis yang mumpuni tidak serta merta begitu saja menorehkan tinta di atas kertas. Berbagai pengalaman, perjalanan, dan rintangan yang pernah dihadapi penulis akan menjadi “cerita pengetahuan” bagi pembaca ketika diekspresikan dalam bentuk tulisan. Tidak lepas dari catatan, ketika tiga pujangga Surakarta; Raden Nga-behi Ranggasutrasna diutus menjelajahi wilayah Jawa bagian timur, Raden Ngabehi Yasadipura II diutus menjelajahi wilayah Jawa bagian barat, dan Raden Ngabehi Sastradipura diutus ke Mekah untuk memperdalam Islam, banyak sekali pengalaman dan pengetahuan lahir batin Jawa yang mereka peroleh. Banyak tempat persinggahan yang memberikan ilmu pengetahuan baru bagi mereka sehingga ketika mereka bertiga kembali ke Sura-karta, pengetahuan yang mereka bawa mereka gabungkan men-jadi satu buku dalam sebuah tulisan yang berisi ilmu pengetahu-an dpengetahu-an kebudayapengetahu-an Jawa ypengetahu-ang dikenal sebagai “ensiklopedi Ja-wa” bernama Suluk Tambanglaras atau Serat Centhini, sebuah

ma-PENGANTAR

KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI

DAERAH ISTIMEWAYOGYAKARTA

(5)

hakarya Jawa. Sebuah perjalanan, atau tepatnya catatan perja-lanan, menjadi sebuah “prosesi wajib inisiasi” bagi mereka yang ingin memperdalam dan “menyempurnakan” ilmu pengatahuan dalam bidang apa pun.

Begitu pula dengan aktivitas kreatif remaja yang telah ber-hasil masuk 10 nominasi penulisan esai dan cerpen dalam “Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja DIY tahun 2012” yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Karya-karya esai dan cerpen yang dimuat dalam antologi ini mencerminkan fragmen-fragmen hidup penulis yang tidak serta merta tertuang dalam lembaran kertas, tetapi merupa-kan intisari perjalanan hidup yang telah mereka lalui. Fragmen-fragmen kehidupan tersebut tertuang indah dalam MATAHARI SEGITIGA, antologi esai dan cerpen pemenang lomba penulisan esai dan cerpen tahun 2012. Sebagai karya kreatif, para penulis esai dan cerpen dalam antologi ini dianggap mempunyai masa depan yang bagus sehingga sangat diharapkan “Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja DIY tahun 2012” menjadi sebuah persinggahan yang bermanfaat untuk “meneguk ilmu” kepenulisan. Perjalanan para remaja penulis masih panjang, perhentian-perhentian yang dapat memperkaya diri menjadi penulis yang mumpuni masih dapat dijumpai di depan mata. Maka, jangan cepat berpuas diri. Teruslah maju membekali diri. Ini baru pijakan awal. Raihlah pijakan-pijakan lain untuk memperkaya ilmu. Selamat dan terus berkarya.

(6)

PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ...iii DAFTAR ISI ... v

ESAI

BIOSKOP SASTRA ... 3 Eni Puji Utami

APRESIASI ‘SASTRA PINGGIRAN’ DI SMA: PELUANG DAN TANTANGANNYA ... 14 Marcelline Gratia Sephira Taum

MEMBENTUK KARAKTER ANAK MELALUI CERITA PENGANTAR TIDUR ... 25 Rr. Risang Ayu Dewayani Putri

MALIOBORO, CAGAR BUDAYAKU TERCEMAR ... 36 Muhammad Ikhwan Anas

PERAN MUSIK SEBAGAI AGEN PERUBAHAN BAGI SEBUAH NEGARA ... 48 Kurniagung Nur Cahyono

SASTRA DAN REMAJA INDONESIA ... 57 Karina Umma

(7)

SASTRAKU KEMBALI BERSEMI ... 68 Denny Astiwi

GAMELAN, KEKAYAAN YANG TERSINGKIRKAN ... 76 Amalia Fitri Kurnia Dewi

MENULIS: ANTARA TEORI DAN KREATIVITAS... 89 Anita Meilani

DINAMIKA KEISTIMEWAAN DIY, SEBUAH

PEMBELAJARAN BUDAYA ... 100 Andang Kurniawan

CATATAN SINGKAT DEWAN JURI ESAI ... 111

CERPEN

MATAHARI SEGITIGA ... 117 Ambar Fidianingsih

URIP ... 126 Arlina Hapsari

GURU ... 133 Muhammad Zakky Nurrachman

PENGAMEN BISU ... 144 Beladiena Herdiani

KASIH IBU SELEMBAR BATIK ... 153 Dewi Oktaviani

GURU: SEBUAH ROMANTISME KEDEWASAAN ... 164 Mochammad Yan Pandu Akbar

(8)

TUHAN, MANA TUHAN? ... 185 Gan Michelle Amadeus

JIKA PUJANGGA MENDENDANG CINTA ... 195 Fitri Damayanti

TETAP ADA DAN TINGGAL ... 208 Suci Nurani Wulandari

(9)
(10)
(11)
(12)

Sudah berapa banyakkah novel sastra yang kita baca? Apa-kah kita lebih sering membaca buku-buku sastra (novel serius), atau malah tertarik pada novel populer? Mengapa novel-novel populer lebih tinggi oplahnya?

Di Indonesia, novel mungkin sudah menjadi buku yang pa-ling dinikmati oleh banyak pembaca. Novel adalah karya fiksi atau nonfiksi yang dituturkan dengan gaya bahasa yang relatif ringan sehingga pembaca mudah memahami isi cerita. Salah satu novel populer adalah teenlit, novel remaja yang sempat merajai pasar buku. Teen literature atau teenlit adalah salah satu jenis novel populer yang memang diperuntukkan bagi remaja, tetapi novel ini juga tentu boleh dibaca oleh siapa pun yang menyukai cerita-cerita ringan.

Hampir semua remaja tertarik dengan novel-novel populer. Mengapa demikian?

Dilihat dari sepak terjangnya, novel populer dapat disimpul-kan sebagai novel yang memiliki masanya dan penggemarnya, khususnya kalangan remaja. Memang, novel menampilkan ma-salah aktual dan sezaman, tetapi hanya permukaannya saja. Ce-ritanya tidak menampilkan kehidupan secara intens dan mere-sap. Untuk itu, novel populer akan cepat ketinggalan zaman, apalagi ada novel populer baru yang meledak. Sekitar tahun

BIOSKOP SASTRA

(13)

2004 pernah ada novel populer yang meledak, misalnya Dealova

hingga dibuatkan film. Penulisnya adalah Dian Nuranindya. Ada beberapa indikasi mengapa remaja lebih suka berima-jiner dengan novel-novel populer di antaranya adalah kedekatan mereka dengan cerita-cerita populer yang sarat dengan kisah cinta remaja. Dapat juga karena bahasa konotasi dalam karya-karya sastra yang menyiratkan pesan dengan berbagai intepre-tasi tersebut susah dipahami. Bahkan, ada juga yang berpendapat bahwa ketertarikan itu muncul ketika novel sudah difilmkan. Mereka dapat menangkap pesan yang akan disampaikan melalui visual, dan memang dengan cara itulah mereka bisa menikmati-nya. Bukan hanya novel-novel sastra, melainkan novel populer pun kerap mereka buru ketika sudah difilmkan. Begitu pula ba-nyak cara menikmati sebuah karya, terutama karya sastra.

Ciri-ciri yang tampak dalam novel populer adalah tokoh-tokohnya kaya, tampan, cantik, dicintai, dikagumi, serta sanggup mengatasi segala masalah dengan cepat. Contohnya adalah Dira dalam novel Dealova sebagai sosok yang kaya dan tampan atau Ibel, sosok yang tampan, banyak dikagumi karena menjadi ang-gota band.

Sastra hiburan hanya merangsang pembaca untuk membaca karena lebih mudah untuk dinikmati. Di samping itu, lebih me-ngejar selera pembaca, komersial, dan tidak menuntut untuk serius. Plot sengaja dibuat lancar dan sederhana karena hanya untuk memuaskan pembaca. Biasanya cerita berakhir happy ending, misal dalam Dealova, tokoh Karra yang ditinggal mati oleh Dira mengalami kesedihan, tetapi tetap menemukan keba-hagian di akhir cerita, yaitu hubungan cintanya dengan Ibel.

(14)

Tentu, lain halnya dengan novel serius. Novel serius

meng-ajak  pembaca untuk menafsirkan dengan bekal intelektualnya.

Untuk membaca novel serius diperlukan kemauan dan daya kon-sentrasi yang tinggi. Pengalaman kehidupan dihayati hingga menemukan nilai-nilai yang universal. Selain memberikan pengalaman yang berharga, novel serius mengajak pembaca un-tuk merenungkan dan meresapi permasalahan secara sungguh-sungguh.

Darma (2004) menyatakan bahwa sastra serius adalah sastra interpretatif, yaitu untuk ditafsirkan. Untuk itulah novel serius akan bertahan dalam segala zaman dan akan terus menarik untuk diperbincangkan.

Dalam novel serius, misalnya Bumi Manusia, dikisahkan tokoh yang bernama Minke yang terkagum-kagum dengan se-orang nyai yang bernama Ontosoroh. Nyai, saat itu, dipandang sebagai manusia rendah, bodoh, budak seks, ataupun wanita yang merelakan tubuhnya untuk harta. Namun, Pramoedya da-lam novel tersebut menggambarkan Nyai Ontosoroh yang be-gitu terpandang, misalnya karena kemampuannya belajar mem-baca dan berbahasa Belanda dengan cepat. Selain itu, Nyai Onto-soroh mampu mengurus peternakan sapi dari Herman Mellema, suaminya, hingga maju dan berkembang.

Di sisi lain, novel Bumi Manusia juga menggambarkan tokoh Minke yang menolak tradisi Jawa, yang ketika bertemu orang penting atau priyayi harus berjongkok dulu. Minke adalah pri-bumi pertama yang mampu menerbitkan media surat kabar yang

pertama kali di Hindia atau Indonesia.  Banyak cerita pelik lagi

(15)

Anak Bangsa. Selain itu, tokoh Minke begitu menentang diskri-minasi kulit putih terhadap kulit berwarna, serta kolonialisme di negerinya sendiri. Ia juga diceritakan begitu kagumnya de-ngan kebangkitan bangsa Asia, misal, kemenade-ngan perang Je-pang atas Rusia. Tentu, novel serius seperti ini akan terus menarik diperbincangkan. Contoh novel serius yang lain adalah Jejak

Langkah, Rumah Kaca, Belenggu, Atheis,  Burung-burung Manyar, dan Para Priyayi.

Membaca teks sastra dalam arti paling sederhana adalah menikmatinya. Bila pada bagian awal teks pembaca tidak berhasil merengkuh kenikmatan, ia akan segera berhenti membaca, atau beralih ke bacaan lain yang lebih menjanjikan kenikmatannya. Sama halnya dengan novel sastra yang butuh imajinasi khusus untuk mengapresiasinya daripada novel-novel populer.

Akan tetapi, betapa tak beruntungnya nasib teks sastra bila terciptanya hanya untuk pemuasan hasrat para penikmat belaka. Betapa rendahnya martabat sastra bila hanya diukur de-ngan kadar nikmat yang dapat dihisap dari sebuah karya. “Nasib tulisan di tangan pembaca,” demikian kata Martin Walser. Ba-gaimana dengan pembaca yang tak peduli dengan teks? Kata-kanlah hubungan pembaca itu dengan teks, seperti alkoholisme dengan sebotol minuman keras. Ia tidak sempat menilai bahwa novel yang sedang dibacanya bagus sebab ia sudah telanjur ma-buk dan asyik masuk dalam membaca sehingga akan terlunta-luntalah nasib dan peruntungan teks sastra.

(16)

di dalamnya. Karya sastra bisa dikemas dalam balutan media yang sangat lekat dengan dunia pembaca yang semakin canggih, khususnya remaja.

Lalu, media apa yang lekat dengan remaja?

Sebut saja film, salah satu media lain yang dibuat agar publik tertarik untuk membaca karya sastra. Meskipun film yang dibuat berdasarkan novel tersebut sudah melalui tahap interpretasi oleh sutradara dan penulis naskah, penonton yang menyaksikan film itu merupakan penginterpretasi kedua. Ketika mononton film, mereka diharapkan tidak sekadar mengonsumsi film itu saja. Namun, mereka juga tergerak hatinya untuk harus membaca bukunya. Hal itu dimaksudkan agar publik menjadi penginter-pretasi pertama dari karya sastra tersebut.

Mengapa harus sastra yang dikemas menarik? Dalam wiki-pedia disebutkan bahwa sastra adalah pedoman, instruksi, dan ajaran. Seperti kita ketahui, karya sastra bukan sekedar teks fiksi yang mengembangkan ide untuk menembus pasar. Dalam karya-karya sastra terdapat jutaan pesan yang tersirat dengan berbagai aspek, mulai dari alam, politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, dan masih banyak lagi. Pesan-pesan tersebut dapat dika-takan sebagai gerakan perubahan atau pemberondika-takan. Selain itu, balutan teks-teks sastra dapat pula dikatakan sebagai hiburan edukatif. Tidak seperti novel-novel populer yang terkadang lekat dengan tendensi dan belum begitu jelas esensinya.

Pengemasan teks sastra serius agar terlihat lebih menarik dapat disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Dalam pe-ngemasan ini kita tidak bisa memaksa pembaca untuk meninggal-kan novel populer kemudian beralih untuk membeli novel-novel serius. Namun, kita ciptakan sesuatu untuk membalut no-vel-novel serius tersebut dengan kesenangan-kesenangan me-reka sehingga lama-kelamaan novel-novel serius akan digan-drungi oleh pembaca.

(17)

pem-baca. Hal itu mengingat banyaknya novel sastra yang semakin laku setelah novel tersebut difilmkan, bahkan novel populer pun begitu.

Secara tidak langsung, hubungan antara kualitas sastra dengan film di sebuah negara ditentukan oleh masyarakat yang menikmati kedua komoditas budaya tersebut. Masyarakat dalam ruang dan waktu yang sama akan dihadapkan pada sastra dan film yang tumbuh dan berkembang dari dinamika sezaman. Na-mun dalam perkembangannya, selera masyarakat turut dipenga-ruhi oleh kepentingan produsen, seperti yang terjadi pada si-netron di Indonesia.

Semakin terbuka masyarakat negara-bangsa, semakin besar potensi pengelolaan dan pengolahan film dan sastra setempat. Semakin berkembang kualitas sastra sebuah negara-bangsa, se-makin besar potensi positif perkembangan kualitas film negara-bangsa itu. Cukup banyak film berkualitas bagus hasil adaptasi dari sebuah novel.

Ketika Perpustakaan Menjadi Bioskop

“Perpustakaan menjadi bioskop” di sini maksudnya bukan menyulap perpustakaan atau toko buku menjadi bioskop, melain-kan menyulap penyajian sastra yang tadinya hanya sekedar teks ke dalam bentuk visual atau film.

Sehelai bulu ayam putih melayang-layang dibawa angin (da-lam film Forrest Gump), bunga-bunga mawar merah yang berta-buran di sekujur tubuh seorang laki-laki setengah baya (dalam film American Beauty), dan seorang tua renta yang duduk di kursi roda di bawah pohon yang dedaunnya berguguran (dalamfilm

(18)

se-suatu yang dapat dianggap sebagai pengganti sese-suatu yang lainnya secara signifikan.

Jika diperhatikan dengan saksama dan direnungkan, akan kita peroleh makna, bahkan makna ganda dalam setiap adegan tersebut. Hal itu akan timbul multitafsir bagi penonton. Dari sepuluh orang yang menonton, akan timbul lebih dari sepuluh pendapat dan makna. Film seperti inilah yang lazim disebut film seni, yang kemudian berkembang menjadi film puitis. Sebab, sebagaimana kekuatan puisi ada dalam bahasa (teks) sebagai tanda, adegan film atau keseluruhan film dengan bentuk bercerita yang puitis, dengan tanda-tanda, dapat kita kategorikan sebagai film puitis. Terdapat empat unsur sastra dalam film, yaitu sastra sebagai ide, sastra sebagai (teks) dialog, sastra sebagai teks (des-kripsi) skenario, dan sastra sebagai sumber.

Disebut sebagai ide karena sebuah karya sastra cuma dijadi-kan ide dasar pembuatan (cerita) film. Boleh jadi, sebuah karya sastra berupa puisi, cerpen, novel, naskah drama, yang pernah dibaca seorang penulis telah merangsang imajinasinya untuk menciptakan karya film (baru). Dalam hal ini, film tidak bertitik tolak terhadap karya sastra itu, malah mengembangkannya se-luas dan sebebasnya. Karya sastra hanya menjadi radar untuk menciptakan karya baru meskipun tidak dapat menyangkal bah-wa karya sastra akan memberi pengaruh baik atau buruk terha-dap karya film itu.

Hal ini dapat kita lihat dalam film Bulan di Atas Kuburan

(Asrul Sani) yang berangkat dari puisi sebaris Sitor Situmorang, “Malam Lebaran”. Cerpen Surat untuk Tuhan menjadi ide bagi Garin Nugroho untuk membuat film Surat untuk Bidadari, dan film Bulan Tertusuk Ilalang berangkat dari puisi “Bulan Tertusuk Ilalang”, D. Zawawi Imrom. Demikian pula film Ibunda tercipta karena Teguh Karya tergugah oleh sebuah puisi pendek yang pernah dibacanya.

(19)

diucapkan oleh pemain dalam film Saur Sepuh, tetapi dapat pula sepotong, sebait, sebuah puisi yang diucapkan pemain, seperti Rendra yang membacakan puisinya dalam film Yang Muda Yang Bercinta karya Sjumandjaja.

Meskipun jarang, sastra juga terdapat dalam deskripsi ske-nario, yaitu berupa teks puisi yang dapat menimbulkan multi-tafsir. Berbeda dari dialog, meskipun sama-sama tertulis dalam skenario, deskripsi tidak diucapkan pemain karena berfungsi sebagai keterangan adegan penuntun pemain (untuk berlakon) dan kreator film untuk membuat adegan. Deskripsi yang puitis ini banyak terlihat dalam skenario yang ditulis oleh sastrawan, seperti Arifin C. Noer dan Putu Wijaya. Tampaknya latar bela-kang sastrawan sangat mempengaruhi penyusunan deskripsi puitis tersebut.

Sastra dalam Film

Sastra sebagai sumber adalah sebuah karya sastra, seperti novel, naskah drama, dan kitab suci yang diangkat ke layar. Artinya, film lahir dengan mengadaptasi sebuah karya sastra. Film tercipta dengan sepenuhnya bertitik tolak terhadap karya sastra itu. Karya sastra merupakan pegangan utama kreator film. Oleh karena itu, perkembangan cerita dan pola film (diusahakan) tidak terlalu jauh melenceng. Dalam hal ini, karya sastra telah menetapkan garis yang harus diikuti, misalnya, film Ramayana dan Mahabharata yang diadaptasi dari karya sastra klasik. Se-kian banyak naskah drama William Shakespeare diadaptasi ber-ulang kali, misalnya Hamlet, Julius Caesar, Romeo and Juliet, dan

The Passion yang diadaptasi dari Injil.

Di Indonesia, persoalan adaptasi ini melejit bermula dari

Siti Nurbaya (diadaptasi dari roman Marah Roesli) dan Sengsara Membawa Nikmat (diadaptasi dari roman Tulis Sutan Sati) yang ditayangkan TVRI. Novel laris J.R.R. Tolkien, Lord of the Ring

(20)

sekian banyak piala bergengsi Academy Award. Persoalan adaptasi ini bukan hal baru sebab sudah tak terhitung banyak karya sastra yang diangkat ke film.

Hal itu seperti yang pernah dikatakan oleh Sapardi Djoko Damono “ingin mengatakan begitu tetapi dengan cara begini.” Berdasarkan pengertian ini sesungguhnya film yang memasuk-kan unsur sastra amemasuk-kan besar kemungkinan berhasil menjadi film puitis. Untuk menyampaikan adanya kerinduan terpendam, da-pat ditampilkan lewat adegan berduaan membentuk tanah liat (dalam film Ghost) atau “berdiri di antara jemuran kain yang diguyur hujan (dalam film Bulan Tertusuk Ilalang).

Rasanya tidak perlu ada adegan bergumul di ranjang bila adegan sepasang kuda berlari lebih kuat mengungkapkan gejolak percintaan sepasang anak manusia, seperti dalam film Natural Born Killer. Demikian pula, adegan burung gagak yang melayang di udara, dalam film Surat untuk Bidadari, berhasil menyampaikan pesan adanya kematian.

Saat ini pun sudah sering muncul video-video yang dapat dikatakan sebagai wujud apresiasi sastra. Sebut saja puisi “Hujan Bulan Juni”. Sastra visual yang bermula dari puisi Sapardi Djoko Damono tersebut berhasil menggaet perhatian publik secara in-ternasional. Dengan gambaran-gambaran berupa semiotika se-derhana, pesan dari puisi tersebut mampu ditangkap oleh penon-ton. Hal ini pun masih sama dengan berbagai intepretasi. Gambar yang disajikan juga tidak “vulgar” sehingga tidak menampakan pesan secara tersurat.

(21)

beralih pada film, melainkan mencoba menghadirkan sastra dengan wajah baru yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Sebenarnya, apresiasi sudah mulai tampak yang bukan ha-nya dari publik, melainkan juga dari sastrawan atau penulis yang karyanya sudah divisualisasikan. Sebut saja Ahmad Tohari yang novelnya Ronggeng Dukuh Paruk difilmkan oleh Ifa Isfansyah beberapa waktu lalu. Ahmad Tohari merasa bangga dengan ada-nya visualisasis sastra sebab dengan adaada-nya visualisasi sastra tersebut, karya-karyanya akan semakin dikenal publik dan pesan serta ajaran yang tersirat dalam teks sastra tersebut akan lebih mendapatkan apresiasi.

Supaya tidak mereduksi makna dari teks sastra, komunikasi yang baik diperlukan antara sutradara film dan penulis teks sastra tersebut, seperti dalam film Laskar Pelangi. Pemindahan teks ke dalam medium film, yang berhasil dieksekusi Riri misal-nya, adalah kecerdasannya dalam membeberkan data/fakta da-lam novel dada-lam alur yang tidak runut. Kronologis peristiwa diacak sedemikian rupa, tetapi tetap menghadirkan data dalam novel. Contohnya adegan Pak Harfan menempelkan poster Rhoma Irama sebagai tambalan dinding sekolah yang jebol, ade-gan penunjukan Kucai sebagai ketua kelas, adeade-gan Lintang yang dicegat buaya dan bertemu Bodenga ketika hendak mengikuti lomba cerdas cermat, dan adegan permainan perosotan dengan menggunakan pelepah pisang. Tidak runtut memang, tetapi tetap meramaikan isi cerita.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Howard, David. 2010. Bahasa, Citra, Media. Yogyakarta: Jalasutra. Damhuri, Muhammad. 2010. Darah Daging Sastra Indonesia.

Yogyakarta: Jalasutra.

BIODATA PENULIS

(23)

1. Pengantar

Istilah “sastra pinggiran” pertama kali saya dengar ketika menghadiri acara peluncuran buku Antologi Puisi Mbeling berjudul Suara-suara Yang Terpinggirkan (2012) di Bentara Budaya, Yogyakarta, tanggal 18 Mei 2012 yang lalu. Peluncuran buku yang dilaksanakan oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala itu sekaligus mengenang berpulangnya penyair Heru Emka yang merupakan inisiator dan editor buku tersebut. Ada dua pokok pembahasan yang menarik dalam tema pertemuan itu, yaitu “sastra pinggiran” dan “puisi mbeling.”

Sebagai siswa SMA yang mendapat pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di bangku sekolah, sejujurnya, saya belum per-nah mendengar kedua istilah tersebut. Oleh karena itu, muncul banyak pertanyaan dalam hati saya. Apa itu sastra pinggiran itu? Mengapa ada sastra yang dipinggirkan? Mengapa puisi mbeling dianggap sebagai sastra pinggiran? Mengapa sastra ping-giran tidak diajarkan di sekolah-sekolah? Apakah ada peluang bagi sastra pinggiran untuk diajarkan di sekolah-sekolah? Apa sajakah tantangannya jika puisi Mbeling diajarkan di sekolah-se-kolah? Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

APRESIASI ‘SASTRA PINGGIRAN’

DI SMA: PELUANG DAN

TANTANGANNYA

(24)

Istilah “sastra pinggiran” dalam diskusi buku itu mirip de-ngan istilah “sastra yang diremehkan” yang diberikan oleh Her-yanto (dalam Taum, 2012: 38--39). Menurut HerHer-yanto, sastra yang diremehkan adalah sastra yang disisihkan dari kritik dan sejarah kesusastraan. Termasuk dalam jenis “sastra yang dire-mehkan” adalah sastra pop, sastra hiburan, sastra remaja, sastra radio, dan puisi udara. Dalam tulisan ini, pengertian “sastra pinggiran” dibatasi pada puisi-puisi mbeling. Jadi, puisi-puisi

mbeling merupakan sejenis karya sastra yang tidak diperhitung-kan sebagai jenis karya sastra yang penting.

2. Puisi yang Standar

Dari pelajaran Bahasa Indonesia, saya mengetahui bahwa puisi memiliki kaidah, kriteria, standar, ukuran, dan rumusan tersendiri. Pengertian yang baku atau standar mengenai puisi dapat kita temukan dalam buku Kamus Istilah Sastra karangan Panuti Sudjiman (1990). Dalam buku itu disebutkan bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Hal ini berbeda dari prosa, yang didefinisikan sebagai bentuk karangan bebas. Oleh karena bahasa puisi terikat pada irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait itulah, menulis puisi menjadi sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Perhatikan puisi berikut ini yang tampaknya memenuhi kaidah dan kriteria tersebut.

DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam

(25)

tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yg tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah

(Chairil Anwar, 1997: 12)

Puisi seperti ini memenuhi standar pengertian puisi karena puisi ini dibangun dengan memperhitungkan irama (yaitu tinggi rendahnya suara, panjang pendeknya suara), rima (yaitu peng-ulangan bunyi berpola, dalam puisi ini terutama rima akhir), penyusunan larik (setiap larik terdiri atas empat kata), dan pe-nyusunan bait (tiap bait terdiri atas empat larik). Menulis puisi yang seperti itu tentu membutuhkan kemampuan bahasa dan kepekaan perasaan dari sang penyair.

Adanya standar, aturan, dan konvensi puisi yang semacam itu membuat kebanyakan orang, termasuk para pelajar pada umumnya segan, bahkan takut mengekspresikan pikiran dan perasaannya kepada masyarakat luas. Keengganan dan ketakut-an itu ada benarnya. Kenyataketakut-an seperti ini diungkapkketakut-an oleh Emka (2012: xxi) sebagai berikut.

(26)

istimewa terhadap kata-kata ini seakan dipertegas oleh ucap-an Chairil Anwar: “yucap-ang bukucap-an penyair tak ambil bagiucap-an.”

Menulis puisi sama artinya dengan menulis kalimat sakti yang memukau, menciptakan sebuah ‘adikarya yang canggih.’ Karena itu tidak semua orang dapat menjadi penyair, “yang bu-kan penyair tak ambil bagian.” Penyair adalah orang-orang isti-mewa, orang-orang pilihan.

3. Puisi Mbeling

Kenyataan bahwa menulis puisi merupakan sebuah kegiatan sakti yang menakutkan inilah yang ingin dilawan oleh ‘kaum pinggiran’. Kaum pinggiran itu adalah kelompok generasi muda yang menentang standar dan aturan-aturan baku penulisan puisi. Emka memberikan sebuah pemikiran yang berbeda tentang puisi, seperti dikutip di bawah ini.

“Menulis puisi tidaklah harus beranjak dari tema yang selalu serius seperti yang biasa muncul pada puisi yang tertulis dengan narasi besar, melainkan bisa juga bermula dari sekadar keisengan belaka untuk melukiskan sesuatu secara spontan, seperti anak-anak yang dengan seketika itu juga menggores-kan kapurnya untuk mencoretmenggores-kan sesuatu di sebidang lantai yang dihadapinya” (Emka, 2012: xxi-xxii).

(27)

DANG DUT

(Sri Indarit Sulistyawati, 1972)

gendang gendut tali kecapi kenyang perut karna korupsi

DI BAWAH STOPAN BANG JO

(Sri Indarit Sulistyawati, 1972) Polisi menanti rejeki

PUISI

(Baron Muhammad, 1972) kotak

katik kata

Puisi berjudul “Dangdut” karangan Sri Indarit Sulistyawati hanya mengubah dua larik terakhir dari karmina (atau pantun kilat) yang sudah sangat dikenal para pelajar Indonesia, yang berbunyi /Gendang gendut tali kecapi//Kenyang perut senanglah hati/. Penulisan puisi menjadi sekadar mengubah karmina tetapi mampu memberikan kritikan tajam pada para koruptor yang kenyang perutnya. Judul puisi “Di Bawah Stopan Bang Jo” (Sri Indarit Sulistyawati) menunjukkan penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Jawa sehingga menjadi bahasa Indonesia yang tidak baku. Istilah “Stopan Bang Jo” adalah isti-lah bahasa Jawa (tempat berhentinya kendaraan karena ada tan-da lalu lintas “Abang – Ijo” atau ‘merah-hijau’). Dalam bahasa Indonesia yang baku, judul tersebut seharusnya “Di Perempatan Lampu Merah”. Puisi tersebut hanya berisi satu larik, /Polisi mencari rejeki/. Meskipun hanya berisi satu larik, puisi mbeling

(28)

yaitu betapa seringnya polisi mengambil keuntungan dari para pelanggar lalu lintas di jalan raya. Puisi yang berjudul Puisi karya Baron Muhammad mencoba mendefinisikan apakah puisi itu. Puisi bagi Baron Muhammad hanyalah sekadar “kotak katik kata” dan hal itu terwujud dalam puisi-puisi mbeling.

4. Dari Puisi Mbeling ke Puisi Lugu

Istilah mbeling memang dapat menimbulkan masalah. Menurut KBBI (2008: 892), kata mbeling berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘nakal’. Istilah itu pertama kali digunakan oleh Remy Silado (2012: xv-xx) di tahun 1972. Menurut Remy Silado, mbeling

adalah istilah Jawa yang berarti ‘nakal’, tetapi nakal yang positif. Nakal yang positif adalah nakal dengan konotasi pintar, mem-punyai tanggung-jawab, mengerti sopan santun, dan mengetahui aturan. Hal inilah yang menyebabkan sekelompok kaum muda membangun kelompok sastra yang kemudian disebut sebagai “Puisi Mbeling” pada tahun 1972. Nama mbeling mula-mula dia gunakan untuk menyebut rubrik baru di Majalah Aktuil di Ban-dung tahun 1972.

Menurut Remy Silado, istilah mbeling digunakan untuk me-lawan konsep WS Rendra yang membangun model perme-lawanan budaya mapan dengan cara urakan”. Kata urakan dalam bahasa Jawa berkonotasi jelek; tidak sopan, tidak tahu aturan, kurang ajar. Mbeling dan urakan sama-sama mengungkapkan adanya per-lawanan. Perlawanan pada istilah mbeling memiliki konotasi po-sitif, sedangkan urakan memiliki konotasi lebih keras dan tidak tahu aturan. Mbeling tidak berarti urakan.

Dengan penjelasan tersebut, puisimbeling sesungguhnya ti-dak perlu ditakuti, seolah-olah akan mengajarkan orang menjadi “nakal” melalui puisi mbeling. Untuk menghilangkan konotasi

nakal dalam istilah mbeling itu, Remy Silado kemudian mengubah nama puisimbeling menjadi “puisi lugu”. Rubrik pada puisimbeling

(29)

peng-amatan apa adanya, dengan sikap lugu, tanpa dibebani pikiran tentang baik-buruknya, bersih-kotor, serta indah-jelek.

“Bagi kami puisi yang berbicara apa-adanya seperti puisi-puisi lugu inilah, puisi-puisi yang kontemplatif. Segalanya terbuka, tak pakai dewangga, tak pakai kerudung, tak pakai tabir. Jika orang bertanya siapa avant garde dalam puisi kiwari Indonesia, tak susah carinya, sebab jawabnya: Kami-lah itu!” (Sylado dalam Damono, 1978).

Yang dimaksud dengan puisi lugu adalah puisi yang polos, yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif sehingga puisinya mirip dengan bahasa se-hari-hari (Waluyo, 1987: 140). Puisi semacam ini mudah sekali dihayati maknanya. Ada kesan bahwa penyairnya belum mampu mengharmoniskan bentuk fisik untuk makna puisinya. Menurut Waluyo, penyair kurang memiliki kepekaan yang tepat dalam takaran lambang, kiasan, majas. Puisi di atas sangat mudah dipa-hami, seperti puisi anak-anak dan puisi para pemula. Beberapa karya Yudhistira Ardinugraha, seperti “Sajak Sikat Gigi” dan “Biarin” termasuk puisi lugu.

SAJAK SIKAT GIGI

(Yudhistira Ardi Nugraha)

Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur Di dalam tidurnya ia bermimpi

Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka

Ketika ia bangun pagi hari Sikat giginya tinggal sepotong Sepotong yang hilang itu agaknya

Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

(30)

humor sehingga pembaca merasa terhibur. Pesan puisi ini pun jelas agar anak-anak menggosok giginya sebelum tidur.

BIARIN!

(Yudhistira Ardi Nugraha)

kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin

kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin

kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin

habisnya, terus terang saja, aku nggak percaya sama kamu tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana cuma karena kamu merasa asing saja makanya kamu selalu bilang seperti itu

kamu bilang aku bajingan. Aku bilang biarin kamu bilang aku perampok. Aku bilang biarin

soalnya, kalau aku nggak jadi bajingan mau jadi apa, coba, lonte?

aku laki-laki. Kalau kamu nggak suka kepadaku sebab itu aku rampok hati kamu. Toh nggak ada yang nggak perampok di dunia

ini. Iya nggak? Kalau nggak percaya tanya saja sama polisi

habisnya, kalau nggak kubilang begitu mau apa coba bunuh diri? Itu lebih brengsek daripada membiarkan hidup ini berjalan

seperti kamu sehari sekarang ini

(31)

Puisi berjudul “Biarin” karya Yudhistira Ardi Nugraha ini menggunakan bahasa percakapan sehari-hari. Terhadap persoal-an hidup ypersoal-ang dikemukakpersoal-an pun, penyair memilih bersikap polos dan apa adanya. Ia tidak mengajukan argumen dan bantahan yang “berat-berat”, tetapi sebaliknya memilih bersikap terus-terang, polos, dan apa adanya.

Dua buah puisi berikut ini merupakan puisi lugu. Tidak diperlukan perenungan untuk memahami maknanya karena mengartikan ‘pesan’ ibu sebagai sebuah persoalan sehari-hari (puisi “Pesan Anak pada Ibunya”, karya Jeihan) dan memaknai ‘cinta’ tidak dengan pengertian yang rumit-rumit, melainkan dalam pengertian praktis (puisi “Cinta”, karya Jeihan).

PESAN ANAK PADA IBUNYA

(Jeihan) Bu! Ibu!

(Aktuil No. 120/1973)

CINTA

(Jeihan)

di bibir hangat di dahi hangat

5. Penutup

(32)

mengapa puisimbeling atau puisi lugu perlu diajarkan di sekolah-sekolah.

Pertama, kebanyakan pelajar belum memiliki kemampuan untuk menulis puisi yang setara dengan Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan WS Rendra. Sebaliknya, apabila para pelajar diper-kenalkan dengan model puisimbeling, yang secara polos dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara spontan tanpa diikat oleh aturan-aturan yang ketat, saya percaya bahwa para pelajar memiliki banyak peluang untuk menjadi penyair mbeling. Setelah terbiasa menulis puisi secara spontan, barangkali kita dapat meningkatkan mutu puisi dengan menulis puisi yang meng-ikuti standar. Dengan demikian, menulis puisimbeling dapat men-jadi sarana belajar bagi kita untuk menulis puisi yang lebih serius, sesuai dengan standar puisi.

Kedua, usia para pelajar merupakan “usia nakal” karena se-cara psikologis mereka berada dalam tahap pencaharian jati diri. Sementara itu, sekolah-sekolah formal tidak memiliki atau me-nyediakan wadah ataupun sarana bagi murid-muridnya untuk menyalurkan kenakalan mereka. Sekolah justru menjadi sarana pendisiplinan dan tidak memberikan toleransi sedikit pun terha-dap kenakalan remaja. Akan tetapi, yang terjadi justru para pel-ajar, khususnya pada tingkat SLTA, mencari jalan penyalurannya sendiri. Sebagian dari mereka melakukan tawuran, vandalisme, bahkan juga melakukan tindak-tindak kriminal yang lebih berat, seperti mencuri, merampok, membunuh, dan terlibat dalam penggunaan atau pengedaran narkoba.

(33)

DAFTAR BACAAN

Damono, Sapardi Djoko. 1978. “Puisi Mbeling: Suatu Usaha Pembebasan” dalam Majalah Bahasa dan Sastra, tahun IV No.3/1978. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pengem-bangan Bahasa Depdikbud.

Emka, Heru. 2012. Antologi Puisi Mbeling: Suara-Suara yang Terpinggirkan. Semarang: Kelompok Studi Sastra Bianglala. Taum, Yoseph Yapi. 2012. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sylado, Remy. 2012. “Kata Pengantar: Mbeling Masih Berlanjut” dalam Heru Emka (Ed),

2012. Antologi Puisi Mbeling: Suara-Suara yang Terpinggirkan.

Semarang: Kelompok Studi Sastra Bianglala.

Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

BIODATA PENULIS

(34)

Apa yang dimaksud dengan cerita pengantar tidur? Menga-pa cerita pengantar tidur bisa membentuk karakter anak? Perta-nyaan itulah yang berada di benak kita setelah membaca judul ini. Menurut pengertian dari wikipedia, cerita pengantar tidur atau dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemi-kiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceri-takan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Terkadang kisah dongeng bisa membawa pendengarnya terhanyut ke dalam dunia fantasi, tergantung cara penyampaian dongeng tersebut dan pesan moral yang disampaikan.

Kisah-kisah dongeng yang sering diangkat dari kebanyakan sastrawan dan penerbit biasanya dimodifikasi menjadi dongeng modern agar tidak membosankan. Salah satu dongeng yang dari dahulu sampai sekarang masih diminati anak-anak ialah kisah 1001 malam dengan tokohnya bernama Abunawas. Sekarang kisah asli dari dongeng tersebut hanya diambil sebagian saja, kemudian dimodifikasi dan ditambah, bahkan ada yang diganti sehingga melenceng jauh dari kisah dongeng aslinya. Kisah asli-nya seakan telah ditelan zaman. Sementara itu, cerita yang berisi

MEMBENTUK KARAKTER ANAK

MELALUI CERITA PENGANTAR

TIDUR

(35)

tokoh para hewan disebut dengan fabel. Salah satunya, yaitu dongeng si kerbau dan burung yang mengajarkan kepada anak-anak untuk saling membantu orang yang sedang mengalami kesusahan.

Cerita pengantar tidur biasanya dibacakan seorang ibu atau ayah untuk mengantar anaknya terlelap menuju mimpi yang in-dah. Dari cerita tidur itulah, anak dapat mengambil manfaatnya yang juga berpengaruh pada pembentukan karakter dirinya. Membacakan cerita pengantar tidur atau mendongeng sudah menjadi hal yang wajib, bahkan menjadi tradisi bangsa Indonesia ini. Terlebih lagi saat zaman belumlah secanggih seperti ini banyak orang tua atau kakek nenek yang menceritakan berbagai cerita untuk anaknya atau cucunya sebelum mereka tidur.

Akan tetapi, membacakan buku atau menceritakan dongeng pada anak sebelum tidur mungkin sudah jarang dilakukan orang tua masa kini. Karena kesibukan yang begitu padat, para orang tua tidak sempat melakukannya. Dan, juga sekarang ini sudah banyak teknologi yang memadai sehingga orang tua cenderung malas atau menyuruh anak mencari cerita sendiri atau

mende-ngarkan cerita melalui internet.  Amat disayangkan memang,

padahal ada banyak manfaat positif yang tidak diketahui orang tua yang bisa diperoleh jika anak didongengkan, bukan hanya

untuk membuatnya cepat tidur. Entah itu cerita nyata, tidak

nya-ta, atau pengalaman orang tua, yang penting cerita itu membuat anak bahagia, dan sesuai untuk anak.

Mungkin, sebagian dari kita menganggap mendongeng se-belum tidur terkesan kuno. Padahal, momen kebersamaan inilah yang paling ditunggu dan dikenang anak dari orang tuanya. Apalagi, mendongeng sebelum tidur tidak hanya bermanfaat bagi bayi dan orang tuanya. Anak-anak hingga remaja juga bisa

mendapatkan keuntungan lebih dari mendengar dongeng. Salah

(36)

aneh, tetapi kegiatan ini sangat berpengaruh terhadap perkem-bangan otak bayi dengan menyerap suara ibu.

Hal ini juga membantu memperkuat ikatan batin antara ibu dan anak. “Membacakan cerita mendorong perkembangan bicara dan bahasa anak. Selain itu, membantu anak-anak belajar kete-rampilan keaksaraan dengan cara yang menyenangkan,” kata Dr. Sung Min dari Institute of Mental Health di Singapura. Untuk meningkatkan kemampuan berbahasa atau keterampilan ber-bahasa anak, dongeng dapat disertai dengan ber-bahasa Inggris atau bahasa lainnya.

Manfaat lainnya, mendongeng juga dapat menenangkan anak saat menangis. Pernyataan ini mungkin masih membingung-kan, tetapi membaca cerita merupakan cara yang efektif untuk menghilangkan stres anak dan orang tua. Dan, bila stres terlalu sering, sistem imun tubuh anak akan menurun dan menjadi

ren-tan terhadap penyakit.  ”Ketika anak-anak merasa nyaman dan

santai, membaca cerita dengan suara yang keras kepada mereka dapat menurunkan tingkat stres mereka,” tulis Patti Jones (dalam www.child.com.htm). Dramatisasi adegan dapat dilakukan untuk mempercepat menenangkan anak, seperti membaca dengan suara yang berbeda sesuai tokoh dalam cerita atau menggunakan sebuah gerakan agar membuatnya lebih menarik.

Mendongeng juga dapat membantu meningkatkan kecer-dasan anak. Ketika membacakan cerita kepada seorang anak yang baru belajar bicara, membaca buku atau cerita yang sama secara rutin dapat mengajarkan kemampuan bahasa anak dan itu bagus untuk meningkatkan memori otaknya. Anak-anak juga dapat mengembangkan imajinasi dan kemampuan daya pa-hamnya.

(37)

memperha-tikan pola dan urutan cerita,” kata Virginia Walter Ph.D., seorang profesor bidang studi pendidikan dan studi informasi di Uni-versity of California.

Membacakan cerita pengantar tidur menjadi latihan anak untuk memahami pelajaran akademis. “Lakukan dengan cara yang positif dan menyenangkan agar hasilnya bermanfaat,” ujar Sung. “Orang tua tidak harus mencoba menguji kemampuan membaca anak atau memaksa anak untuk membaca materi yang sebenarnya dia tidak siap. Orang tua sebaiknya jangan memaksa untuk menikmati cerita dan berbicara dengan si anak mengenai informasi atau cerita .

Anak-anak mempunyai tahap-tahap perkembangan psiko-logi. Awal masa kanak-kanak berlangsung dari dua sampai enam tahun. Anak-anak masa ini oleh para ahli psikologi disebut se-bagai usia penjelajah dan usia bertanya karena anak-anak pada masa ini gemar menjelajahi lingkungan dan memiliki dorongan ingin tahu mengenai apa yang ada di sekitarnya. Pada masa ini pula dapat terjadi bahaya fisik maupun bahaya psikologis se-hingga sangat tepat untuk pemberian cerita pengantar tidur. Anak memiliki bahasa fisik yang penting yaitu sakit, kematian karena kecelakaan, mudah terserang penyakit terutama penyakit pernafasan, serta tangan kidal karena masa ini merupakan masa penentuan penggunaan tangan terutama mulai memusatkan pada

keterampilan satu tangan. 

Setelah masa anak-anak awal berakhirnya, yaitu masa anak sekolah yang berlangsung dari umur enam tahun sampai umur dua belas tahun. Para pendidik menyebut masa ini dengan “usia sekolah dasar” karena anak pada umur-umur ini mengikuti pen-didikan di sekolah dasar dengan harapan memperoleh dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang penting artinya untuk keberhasilan penyesuaian hidup ketika dewasa nanti yang juga didukung oleh peran dan perhatian orang tua.

(38)

da-sarnya seorang anak memiliki empat masalah besar yang tampak jelas di mata orang tuanya dalam kehidupannya, yaitu pertama

out of law/tidak taat aturan (misalnya, susah belajar, susah men-jalankan perintah). Kedua, yaitu kebiasaan jelek (bad habit) (misal-nya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek). Ketiga adalah penyimpangan (maladjustment) perilaku. Dan terakhir, yaitu masa bermain yang tertunda (pause playing delay). Keempat masalah di atas sedikit banyak akan mempengaruhi hubungan antara anak dan orang tuanya. Walaupun keduanya menyadari bahwa mereka memiliki masalah, tampaknya mereka (baik orang tua maupun anak) cenderung untuk saling mempertahankan hak-hak mereka, dan bukan mempertahankan kewajiban mereka.

Oleh karena itu, sangatlah penting membentuk karakter anak masa dini. Pada usia dini yaitu 0—6 tahun, otak berkem-bang sangat cepat hingga 80%. Pada usia tersebut otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa perkembangan fisik, mental, dan spiritual anak akan mulai terbentuk. Oleh karena itu, banyak yang menyebut masa tersebut sebagai masa-masa keemasan anak (golden age).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli per-kembangan dan perilaku anak dari Amerika yang bernama Bra-zelton menyebutkan bahwa pengalaman anak terjadi pada bulan dan tahun pertama kehidupannya. Pada saat itu ia akan menun-jukkan semangat tinggi untuk belajar dan berhasil dalam pekerja-annya. Dengan demikian, sangatlah penting adanya bimbingan dari orang tua.

(39)

Secara umum kesuksesan seseorang juga didukung oleh tiga hubungan yang pasti dialami setiap manusia (trianglerelationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak mema-hami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif. Untuk itu, tumbuhkan pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini, salah satunya dengan cara memberikan kepercayaan pada anak untuk ambil keputusan untuk dirinya sendiri, membantu anak meng-arahkan potensinya dengan begitu mereka lebih mampu untuk bereksplorasi dengan sendirinya, tidak menekannya, baik secara langsung maupun secara halus, dan seterusnya.

Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkung-an sekitar. Pilihlingkung-an terhadap lingkunglingkung-an slingkung-angat menentuklingkung-an pembentukan karakter anak. Seperti kata pepatah bergaul dengan penjual minyak wangi akan ikut wangi, bergaul dengan penjual ikan akan ikut amis. Seperti itulah, lingkungan baik dan sehat akan menumbuhkan karakter sehat dan baik, begitu pula sebaliknya. Dan, yang tidak bisa diabaikan adalah membangun hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual yang terimplementasi pada kehidupan sosial. Nah, sekarang kita memahami mengapa membangun pendidikan karakter anak usia dini itu penting. Usia dini adalah usia emas, maka manfaatkan usia emas itu sebaik-baiknya seperti dengan cara membacakan cerita pengantar tidur untuk mereka.

(40)

masih bersifat umum dan sederhana. ‘’Artinya, minat dan kege-marannya akan suatu hal masih situasional, misalnya, anak me-nyukai es krim rasa cokelat dibandingkan strauberi atau anak lebih menyukai bermain playstation dibanding permainan lego

atau seperti kasus di atas,’’ katanya. Biasanya anak hanya bisa merasakan, tetapi belum dapat mengemukakan alasannya secara nyata dan jelas seleranya pada sesuatu.

Psikolog Klinik Anak RS Pondok Indah, Dra Endang Retno Wardani, Psi., memiliki pendapat mengenai anak-anak yang memiliki selera lebih kepada peminatan akan sesuatu. Misalnya, lingkungan yang memiliki kebiasaan membaca akan membuat anak punya minat lebih pada bidang ini, sekalipun seiring per-tambahan umur dan pengalaman anak akan terbentuk peminatan lain, misalnya, ketika masuk ke dalam lingkungan sekolah, anak memilih ekskul di luar kebiasaannya di rumah. Endang menam-bahkan, jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari, pembentukan selera tak lepas dari keputusan orang tua, misalnya, orang tua membiasakan mengklasifikasikan jenis pakaian, yaitu pakaian untuk berpergian, di rumah, dan tidur, maka lambat laun anak bisa menempatkan dirinya dalam berpenampilan. Selain itu, pem-bentukan selera sudah bisa diterapkan pada anak sedini mung-kin melalui pembiasaan-pembiasaan, seperti jika ingin pergi anak diminta menggunakan baju rapi, mencuci tangan sebelum makan, atau memberikan permainan edukatif. Seiring pertambahan usia, aturan akan lebih kompleks dan pemahaman anak sejalan dengan perkembangan kognitifnya.

Dengan adanya cerita pengantar tidur yang beraneka ragam maka dari orang tua harus selektif memilih cerita yang tepat untuk anak. Dan, cerita yang dipakai juga harus tidak membuat anak bosan atau terkesan monoton. Dengan demikian, terlebih dahulu kita harus mengenal apa saja yang berhubungan dengan cerita pengantar tidur.

(41)

me-ngontrol perilaku anak karena cerita digunakan sebagai media untuk menumbuhkan kedisiplinan anak, menumbuhkan sikap toleransi terhadap orang lain, dan efek lainnya pada perilaku. Sikap disiplin pada anak-anak sering diharapkan, seperti men-curi, berbohong. Kedua, membangkitkan emosi karena cerita memiliki kekuatan dalam memegang peranan untuk membang-kitkan emosi anak. Seperti cerita humor yang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain tertawa, serta cerita-cerita dramatis yang membuat bergidik karena takut. Ketiga, memberi inspirasi. Maksudnya yang berisi pengalaman hidup seseorang dan bagai-mana cara mengatasi permasalahan, kesulitan, dan tetap bertahan sehingga dapat mendapatkan informasi. Keempat ialah memun-culkan perubahan. Maksudnya adalah cerita yang mengandung inspirasi memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan. Bahkan, dalam suatu organisasi masyarakat jika ada orang yang sukses, hal tersebut menjadi inspirasi. Kelima ialah menumbuh-kan kekuatan pikir tubuh. Maksudnya adalah cerita memiliki kekuatan fisik yang luar biasa. Seorang ahli psikologi menceri-takan pengalamannya mendatangi sebuah pulau kecil di Fiji-Pa-sifik. Di sana ia mendatangi Beqa, sebuah kampung halaman pejalan di atas bara api. Pada akhir perjalanan, ia menemukan bahwa kelompok pejalan di atas bara api, tiap kali mereka ber-jalan di atas bara, maka Beti (sebutan pendeta yang berber-jalan di atas bara api) akan membawa cerita untuk para pejalan. Kekuatan cerita yang dibawakan Beti memiliki kekuatan fisik untuk para pejalan. Dan, ketika pejalan berjalan kaki di atas bara api tidak ada luka sedikitpun di kaki mereka. Keenam ialah kekuatan ce-rita menyembuhkan. Maksudnya adalah cece-rita memiliki efek me-nyembuhkan berbagai hal, seperti kecemasan, fobia, depresi, dan memberi kesan menenangkan.

(42)

anak bahwa ada banyak solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ketiga, yaitu membantu anak mendiskusikan secara bebas masalahnya. Keempat, yaitu membantu anak merenca-nakan penyelesaian masalah-masalah yang mungkin akan da-tang. Kelima, yaitu mengembangkan konsep pada anak. Keenam, yaitu meredakan tekanan dan emosional. Ketujuh, yaitu memu-puk kejujuran pada anak mengenai dirinya sendiri. Kedelapan, yaitu membangun jalan bagi anak untuk menemukan keterta-rikan di luar dirinya. Terakhir kesembilan, yaitu meningkatkan pemahaman anak mengenai bentuk-bentuk perilaku, dan mo-tivasi manusia.

Jenis-jenis cerita pengantar tidur untuk anak juga harus me-miliki kategori pemilihan yang tepat. Menurut definisi Asosiasi Perpustakaan Amerika, buku anak adalah buku yang sesuai de-ngan tingkat kemampuan membaca dan minat anak-anak dari kelompok umur tertentu atau tingkatan pendidikan, mulai prase-kolah hingga kelas enam seprase-kolah dasar. Nancy Andreson menge-lompokkan bacaan anak menjadi enam kategori. Pertama, yaitu buku bergambar prasekolah (pengenalan konsep seperti huruf, angka, warna, dan sebagainya, buku dengan kalimat berirama dan berulang, dan buku tanpa kata-kata). Kedua, yaitu sastra tradisional (mitos, dongeng, cerita rakyat, legenda, sajak). Keti-ga, yaitu fiksi (fantasi, fiksi modern, fiksi sejarah). Keempat, yaitu biografi dan autobiografi. Kelima, yaitu ilmu pengetahuan, dan keenam, yaitu puisi dan syair.

(43)

gambar dan tanpa kata-kata. Jumlah ilustrasi dalam buku anak juga lebih banyak dibandingkan ilustrasi buku sastra dewasa. Karena semakin muda target pembaca, maka semakin banyak pula ilustrasi yang diberikan agar mudah dipahami.

Manfaat dari cerita pengantar tidur yang kita ceritakan kepada anak-anak, yaitu pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan imajinasinya. Anak dapat membentuk visualisasi dan imajinasinya sendiri dari cerita yang didengarkan. Ia dapat mem-bayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut. Lama-kelamaan anak dapat mengasah daya pikirnya dengan cara ini.

Kedua, cerita atau dongeng merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai dan etika kepada anak, bahkan untuk menumbuhkan rasa empati. Misalnya, nilai-nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang ber-bagai kebiasaan sehari-hari. Anak juga diharapkan dapat lebih mudah menyerap berbagai nilai tersebut karena di sini tidak bersikap memerintah atau menggurui, sebaliknya para tokoh cerita dalam dongeng tersebutlah yang diharapkan menjadi contoh atau teladan bagi anak.

Ketiga, dongeng dapat menjadi langkah awal untuk me-numbuhkan minat membaca anak dan membantu anak untuk cinta terhadap buku. Setelah tertarik pada berbagai dongeng yang diceritakan, anak diharapkan mulai menumbuhkan keterta-rikannya pada buku. Diawali dengan buku-buku dongeng yang kerap didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain, se-perti buku pengetahuan, agama.

(44)

atau bahkan licik. Oleh karena itu, kita perlu milih cerita yang tepat. Selain pemilihan cerita, yang terpenting adalah adanya dampingan moral dari orang lain. Terutama dampingan dari orang tua sendiri. Walaupun mereka mungkin sibuk dengan pe-kerjaannya, mereka tak dapat meluangkan waktunya bisa disebut orang tua yang mungkin gagal dalam mendidik anak.

Para orang tua meluangkan waktu sejenak untuk mendo-ngeng pada putra-putri Anda. Akan lebih baik lagi, ibu dan ayah bersama-sama mendampingi si anak sehingga si anak bisa me-rasakan kehangatan kasih sayang kedua orang tuanya. Walaupun hanya sepuluh menit, ibu dan ayah meluangkan waktu akan menghasilkan manfaat bagi anak hingga ia dewasa, bahkan se-umur hidupnya. Akan tetapi, jika tidak memungkinkan, kita da-pat menggunakan jasa media lain, seperti DVD dan variasi do-ngeng lainnya yang mengasyikkan.Variasi dodo-ngeng dapat dilaku-kan dengan penggantian nama tokoh, seperti tokoh-tokoh film atau kartun yang disukai oleh anak sehingga anak akan merasa senang dan tidak merasa jenuh.

Akan tetapi, alternatif tersebut dapat dikatakan tidak efektif karena anak bisa menonton cerita tersebut. Jika dibiarkan me-nonton dongeng melalui media televisi, dapat merusak kesehatan mata sang anak karena ada gelombang yang berbahaya dari televisi untuk mata. Berbeda jika anak dibacakan dongeng, anak tersebut akan mengetahui apa saja yang ada di dalam cerita. Anak akan lebih fokus mendengarkannya dan anak akan mem-perhatikan pola dan alur cerita.

BIODATA PENULIS

(45)

A. Pendahuluan

Sebuah cagar budaya seharusnya dibangun dan dirawat dengan tujuan agar masyarakat luas dapat menikmati dan mema-hami serta menyelami sejarah serta fungsi dari cagar budaya tersebut. Hal ini tidak lepas dari tanggung jawab pengelolaan serta kesadaran tentang pentingnya melestarikan cagar budaya itu agar tidak cepat rusak karena aktivitas masyarakatnya.

Bagi masyarakat Yogyakarta khususnya, serta pelancong dari berbagai daerah dan negara yang pernah mengunjungi provinsi yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X ini, kawasan Malioboro tidak akan asing di telinga.

Asal mula kata Malioboro memiliki banyak sekali referensi, antara lain: Malioboro berasal dari bahasa Sanskerta yang ber-arti ‘karangan bunga’. Konon, jalan ini memang selalu dipenuhi bunga saat perayaan atau upacara tertentu. Arti lain ada yang mengatakan berasal dari istilah Mulyane Saka Bebara, yang artinya ‘kemuliaan dan kejayaan hidup yang dicapai lewat perilaku ke-prihatinan’. Namun, dari istilah-istilah yang dilontarkan, semua-nya menunjuk pada sepenggal jalan yang sama, yaitu dari per-empatan Pangurakan sampai di depan Hotel Garuda.

MALIOBORO,

CAGAR BUDAYAKU TERCEMAR

(46)

Pada awalnya, tiga jalan, yaitu Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Malioboro, serta Jalan A. Yani adalah jalan yang tergabung menjadi satu. Namun, sekarang Jalan Pangeran Mangkubumi dipisahkan oleh keberadaan rel kereta api yang sebenarnya me-ngurangi esensi dari nilai sejarah awal yang seharusnya dari Tugu Jogja hingga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terhu-bung oleh satu jalan lurus yang tidak terputus.

Pada tahun 1980-an, Malioboro masih terasa suasana kuno dengan adanya gedung-gedung serta bangunan tua peninggalan zaman Belanda. Namun, menginjak tahun 2000-an, Malioboro mulai berubah cepat. Suasana kunonya terkikis dengan kemun-culan banyak sekali lapak serta kios-kios juga karena semakin ramainya dikunjungi wisatawan. Malioboro kini dikenal sebagai Malioboro yang modern, tetapi semrawut.

Tidak heran kemudian banyak orang yang mengatakan bah-wa Malioboro telah banyak tercemar. Kondisi semrawut tampak di Malioboro cukup meresahkan karena tempat ini terlihat sangat penuh sepanjang hari.

Penataaan kawasan cagar budaya Malioboro menjadi sangat susah dilakukan sebab semakin banyaknya kios serta lahan parkir yang menyebar sehingga mengurangi kenyamanan wisatawan ketika ingin menikmati jalan-jalan sepanjang kawasan ini. Apa-lagi di setiap event kebudayaan, jalan ini selalu menjadi lokasi utama yang dilalui, baik itu kesenian-kesenian maupun upacara adat, serta berbagai kebudayaan kontemporer.

B. Pencemaran Malioboro

(47)

1. Pencemaran oleh Sampah Visual

Gambar 1. Reklame Malioboro yang tidak tertata

Pencemaran yang disebabkan oleh sampah visual sudah di-dengung-dengungkan dari beberapa tahun terakhir. Sampah visual yang dimaksud, seperti keberadaan baliho, papan reklame, serta spanduk dan tulisan-tulisan yang digantung lainnya.

Di luar fungsinya sebagai alat promosi serta menunjukkan

(48)

yang tertanam, melainkan malah sebaliknya. Yang akan terlihat adalah berbagai macam sampah visual yang saling menutupi satu sama lain.

Keadaan seperti ini diperparah oleh penataan media terse-but dengan sangat tidak tertata. Banyak reklame ditempatkan mengarah ke badan jalan. Hal seperti ini selain mengurangi kein-dahan juga membahayakan pengguna jalan apabila sewaktu-waktu reklame itu jatuh. Walaupun pemilik reklame telah men-jamin reklame mereka aman dan tidak membahayakan, itu hanya-lah dugaan manusia. Area trotoar pun semakin menyempit ka-rena sudah terlalu banyak dipancangi tiang penyangga media-media tersebut.

Ironisnya pemasangan papan reklame ini pun tidak semua-nya memiliki izin, dan tidak sedikit yang melanggar, seperti dikutip dari Kedaulatan Rakyat (21/06/2012), “Sebanyak 32 papan reklame di kawasan Malioboro diketahui tidak mengantongi izin. Selain itu, ditemukan beberapa reklame yang melanggar aturan terkait ukuran serta lokasi pemasangan. Diketahuinya reklame tak berizin setelah Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta melakukan pendataan re-klame di Malioboro.”

(49)

maupun yang tidak kalah buruknya bahaya yang mengancam sewaktu-waktu, seperti ambruknya reklame.

2. Pencemaran oleh Penataan Kios

Gambar 2. Kios kanan-kiri jalan untuk pejalan kaki

Sebagai sebuah kawasan cagar budaya yang sudah sangat terkenal, tak heran jika orang-orang yang berlalu lalang di se-panjang jalan Malioboro terhitung ribuan. Oleh sebab itu, keber-adaan kios-kios segala produk sangatlah lekat.

(50)

Untuk keberadaan kios pun tidak dapat dilihat dari sisi pedagang atau pemiliknya saja. Keberadaan lapak dagangan ini juga harus dilihat dari pandangan konsumen.

Pada kenyataannya, peletakan kios-kios di sepanjang Malio-boro ditempatkan di kanan-kiri area pejalan kaki yang berada di depan toko-toko. Sudah tentu dengan penataan semacam ini,

fleksibilitas para pengguna jalan menjadi terganggu. Pengguna jalan satu harus berdesak-desakan dengan pengguna jalan lainnya ditambah dengan sempitnya area jalan yang dipenuhi kios-kios buah tangan(cenderamata).

3. Pencemaran oleh Penempatan Area Parkir Kendaraan

Gambar 3. Parkir sepeda motor yang mengganggu pejalan kaki

(51)

kiri area digunakan untuk penempatan kendaraan, khususnya sepeda motor.

Karena permasalahan tersebut, menjadikan ruang gerak pe-makai jalan hanya selebar satu hingga satu setengah meter. Hal ini tentu menyulitkan mereka membawa bawaan yang lumayan besar. Akibatnya, barang bawaan itu akan sulit untuk melewati sela-sela barisan parkir kendaraan.

Padahal di samping lahan yang dijadikan tempat parkir ter-sebut ialah jalan raya yang digunakan oleh pengguna kendaraan bermotor sehingga tidak dapat begitu saja orang yang membawa barang melewati jalan tersebut.

Kondisi semacam ini memperparah kesan semrawut Malio-boro sehingga dapat menimbulkan anggapan-anggapan negatif masyarakat luar Yogyakarta, seperti penataan kurang diperhi-tungkan, parkir illegal. Padahal apabila penataan lahan parkir le-bih bisa terkoordinasi, hal itu akan membuka wajah asli Malioboro. Hal ini menjadi pekerjaan rumah tambahan bagi instansi terkait.

4. Pencemaran oleh Polusi Kendaraan Bermotor

(52)

Gambar 4. Kemacetan di Malioboro

Apalagi di waktu-waktu tertentu seperti musim liburan, Malioboro bisa dipastikan macet. Seperti dikutip dari www.radarjogja.co.id.htm, “Berdasarkan informasi yang dihim-pun Radar Jogja dari pos Operasi Lilin di titik nol kilometer, ke-macetan di Malioboro pada libur Natal yang lalu mencapai tiga jam. Hal tersebut karena banyaknya kendaraan luar Yogyakarta yang membawa wisatawan berlibur.”

Selain disebabkan volume kendaraan yang memasuki kawasan ini, kemacetan juga disebabkan karena akses jalan di Malioboro masih tergolong sempit alias tidak sepadan dengan arus lalu lintas yang selalu ramai.

5. Pencemaran oleh Sampah yang Sebenarnya

(53)

sam-pah. Dan, sampah untuk poin terakhir ini merupakan sampah yang sebenarnya. Dengan kata lain, sampah yang dimaksud adalah yang berasal dari kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Gambar 5. Penampung kotoran kuda dari karung goni

Andong bukanlah hal yang asing lagi bagi yang pernah ber-kunjung ke kawasan Malioboro. Ini adalah salah satu transportasi tradisional dan legal yang ada di tempat ini. Meskipun legal, kesadaran dari pemilik andong untuk menjaga kebersihan tidak sepenuhnya dijalankan. Banyak ditemukan di beberapa lokasi Malioboro, bau sangat menyengat kotoran kuda, hewan yang digunakan sebagai sumber tenaga andong. Hal ini tentu saja mengurangi kenyamanan para pengunjungnya.

(54)

stan-dardisasi alat penampung kotoran yang biasanya digantung di bawah pantat kuda. Fakta yang ada memperlihatkan bahwa wa-dah penampung kotoran hanya menggunakan bahan seadanya semacam karung goni dan sejenisnya. Hal tersebut tidak menghe-rankan jika kotoran yang sudah ditampung, sebagian ada yang jatuh ke jalan sehingga menimbulkan bau tidak sedap. Dengan standardisasi, selain penampungan lebih terjamin tidak mudah tumpah, juga dapat didesain layaknya aksesoris andong sehingga tidak terlihat sebagai sebuah benda menggantung yang menji-jikkan.

Tidak hanya kotoran, air seni kuda sebaiknya juga dibuat-kan tempat penampungan semacam WC khusus kuda. Hal ter-sebut akan sangat membantu apabila diterapkan mengingat pe-ngunjung juga membutuhkan kenyamanan bernapas sewaktu berwisata.

Pencemaran sampah yang lain adalah sisa-sisa aktivitas ma-nusia sekitar Maliooro, seperti bungkus makanan atau produk, sayuran, serta dagangan busuk. Di beberapa titik, sampah-sam-pah tersebut hanya ditumpuk begitu saja sehingga memberikan kesan yang tidak enak.

Tempat sampah di kawasan Malioboro juga tergolong masih terlalu sedikit dan kecil serta jaraknya terlalu berjauhan dan belum semua sampah dipisah. Oleh sebab itu, kadang tempat sampah akan langsung penuh padahal petugas pengambil sam-pah bekerja secara berkala sehingga sarana penting yang sudah tersedia seperti ini rasanya tidak sebanding. Pertimbangkan pula rasio jumlah kunjungan orang ke Malioboro sehingga bisa lebih bijak dalam peletakan alat kebersihan ini.

C. Penutup

(55)

dilakukan, “Kami akan melakukan rekayasa infrastruktur untuk menjadikan Malioboro sebagai tujuan wisata yang ramah bagi pejalan kaki. Unsur budaya juga menjadi tolok ukur utama.” Penataan ini akan mulai dilakukan tahun 2012, dimulai dengan penertiban sampah visual di sepanjang Jalan Malioboro. Penataan reklame pun akan dilakukan sejajar dengan bangunan. Harapan-nya semoga setelah penataan ini selesai, ketika memandang lurus ke depan sepanjang jalan Malioboro, yang terlihat bukan lagi papan-papan, spanduk-spanduk dan sebangsanya yang meng-ganggu pandangan.

Selain penertiban sampah visual, hal lain yang perlu dila-kukan adalah membuat kawasan Malioboro sebagai area yang ramah pejalan kaki. Rencana pengembangan seperti ini sempat diungkapkan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan In-formatika (Dishubkominfo) DIY, Tjipto Haribowo, dikutip dari www.radarjogja.co.id.htm., mengatakan bahwa masalah kema-cetan tidak bisa dipisahkan dari perparkiran. Malioboro tidak memiliki kantong parkir yang memadai. Akibatnya, kendaraan kerap melebar di bahu jalan. “Idealnya Malioboro memang untuk kawasan pedestrian (pejalan kaki, Red). Namun, hal tersebut belum dapat dilakukan karena belum ada kantong parkir.”

(56)

DAFTAR PUSTAKA

www.forumkami.net/sejarah/24867.htm. Asal Usul Kata Malioboro. (Diakses 22 Juni, 2012).

www.blogspot.com.htm Asyiknya Wisata Sejarah di Malioboro (Diakses 22 Juni, 2012).

www.rasanrasan.wordpress.com.htm. Malioboro dari Kematian Tugu Waktu Sampai Politik Tanda Mata (Diakses 22 Juni, 2012).

www.yogyakartahistory.blogspot.com.htm. Malioboro Yogya-karta. (Diakses 22 Juni, 2012).

www.radarjogja.co.id.htm. Malioboro Macet Lagi. (Diakses 25 Juni, 2012).

www.dagadu.co.id.htm. Katamata. (Diakses 25 Juni, 2012).

BIODATA PENULIS

(57)

A. Pendahuluan

Musik adalah bagian dari hidup kita. Kita tidak dapat mele-pas musik dari bagian hidup kita karena ia telah melekat, seperti pohon dengan akarnya. Selain itu, musik merupakan hasil karya olah pikir manusia yang memiliki nilai guna yang tinggi bagi yang dapat memanfaatkannya. Akan tetapi, saat ini mayoritas manusia hanya memanfaatkan musik sebagai hiburan semata. Padahal, musik juga memiliki peran lebih, salah satunya dalam mengubah suatu keputusan negara yang dirasa tidak cocok dila-kukan atau tidak adil.

Saat ini pemuda lebih senang menggunakan kekerasan dan keanarkisan dalam menentang atau menolak sebuah keputusan negara yang tidak cocok atau tidak adil. Hal itu merupakan tindakan yang salah karena dapat merugikan diri sendiri dan banyak pihak. Padahal, terdapat cara lain yang lebih baik dan memberi dampak positif untuk menentang suatu keputusan negara yang tidak cocok atau tidak adil, selain dengan kekerasan dan keanarkisan. Cara tersebut adalah dengan musik. Musik selain sebagai hiburan, juga dapat digunakan sebagai sebuah bentuk perlawanan yang sehat kepada pemerintah terhadap ke-putusan yang tidak cocok atau tidak adil yang ditetapkannya.

PERAN MUSIK SEBAGAI AGEN

PERUBAHAN BAGI SEBUAH

NEGARA

(58)

Dikatakan perlawanan yang sehat karena dengan musik kita tidak akan melakukan tindakan anarkis atau kekerasan, tetapi akan mengolah otak kita untuk merangkai kata menjadi lirik agar dapat digunakan sebagai bentuk penolakan terhadap ke-putusan yang tidak cocok atau tidak adil, yang diputuskan oleh negara atau pemerintah. Hal ini dapat dibuktikan, pada tahun 1976, pemerintah Inggris mengubah kebijakannya tanpa adanya kekerasan karena satu grup musik di Inggris sex pistol mampu memprovokasi kelas pekerja melalui lagunya yang berjudul “Anarchy in The UK” dan “God Save The Queen” yang berisi tentang ejekan terhadap rezim monarki Inggris. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan peran musik sebagai agen perubahan bagi se-buah negara dalam esai ini.

B. Isi

Akhir-akhir ini, musik dapat menjadi sebuah media untuk menyalurkan aspirasi atau gagasan seseorang mengenai suatu masalah yang sedang ramai dibahas. Sebenarnya, hal seperti itu bukanlah hal baru karena sudah ada sejak pertengahan abad ke-20. Orang-orang di berbagai belahan dunia sudah mengguna-kan musik sebagai media untuk menyampaimengguna-kan pendapat, dan tak jarang juga isi dari lagu yang mereka buat berisi tentang “sindiran” dan perlawanan terhadap sesuatu. Mulai dari meng-kritik sebuah kebijakan penguasa, hingga mengmeng-kritik gaya hidup yang dianggap tidak wajar olah si penulis lagu. Di dalam esai ini, penulis mencoba untuk bisa memaparkan peran musik se-bagai sebuah agen perubahan bagi sebuah negara.

1. Musik sebagai Media untuk Mengkritik Perilaku Para Pemimpin yang Terkadang Tidak Patut Dicontoh.

(59)

pemimpin yang perilakunya kurang beradab tanpa melukai pe-rasaan orang yang disindir, seperti lagu Iwan Fals berjudul “De-mokrasi Nasi” tahun 1978, yang berisikan tentang supremasi hukum yang lemah di Indonesia.

Hal ini dapat dilakukan di tengah kondisi Indonesia saat ini yang banyak bermunculan perilaku-perilaku dari para pemim-pin kita yang tidak patut untuk dicontoh. Bahkan, perilaku ter-sebut bisa dikatakan sebagai perilaku yang “biadab” yang di-benci oleh setiap orang, misalnya, korupsi, perselingkuhan, skan-dal video porno, dan perebutan kekuasaan. Permasalahan terse-but seolah-olah telah menjamur di hati para pemimpin kita yang menjabat sebagai petinggi bumi pertiwi ini. Kemudian, masalah semacam itu menimbulkan semangat bagi para warga sipil, ter-utama pemuda untuk bisa mengingatkan pemimpin mereka yang lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang seha-rusnya jujur, amanah, dan dapat dicontoh oleh warga yang di-ayominya. Namun, permasalahan yang kedua selain ketidakbe-cusan pemimpin saat ini, warga sipil terutama pemuda dalam mengingatkan pemimpin mereka atau menolak keputusan pemimpin menggunakan tindakan anarkis dan kekerasan. Hal tersebut malah menjadikan permasalahan semakin keruh dan sulit untuk diselesaikan.

Gambar

Gambar 1. Reklame Malioboro yang tidak tertata
Gambar 2. Kios kanan-kiri jalan untuk pejalan kaki
Gambar 3. Parkir sepeda motor yang mengganggu pejalan kaki
Gambar 4. Kemacetan di Malioboro
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kelemahan dari pelaksanaan zakat sehingga masih terjadi kesenjangan kehidupan dalam masyarakat adalah dana zakat yang diberikan kepada para mustahik masih berupa dana zakat

Tujuan Dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa pengaruh perilaku konsumen gaya hidup, kelas sosial, dan kepribadian berpengaruh signifikan terhadap keputusan

tercermin dalam sikap da prilau orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh anak. Dalam hubungan ini Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa “Rasa cinta, rasa bersatu dan

Dari alternatif jawaban yang disediakan, alternatif jawaban yang paling benar adalah (E) Jumlah murid kelas lanjutan yang mendapat nilai 10 naik lebih banyak dibanding murid

Pembuktian hipotesis dapat diketahui dari pengolahan dan analisis skor data Dari label 7 dapat diketahui bahwa murid yang dapat memahami makna simbolis cerita rekaan adalah

daerah lain.. co-eksistensial, simbiosis-mutualistik dan kekeluargaan, sehingga pada gilirannya akan meminimalisir potensi munculnya masalah-masalah sosial yang

Rataan tekstur telur asin dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan dan faktor tunggal lama

4.1.3 Perkembangan Economic Value Added (EVA) pada Industri Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2012.. Economic Value Added (EVA) merupakan suatu