• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUTIARA KOLONG JEMBATAN Dyah Inase Sobr

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 186-194)

selembar kardus karton bekas pemberian ibu pemilik warung kelontong seberang jalan. Anehnya, penyakit seperti masuk angin dan pilek tak pernah menghampiri tubuhku.

Di pagi hari, saat anak-anak orang berpunya bangun, ber- dandan rapi dengan seragam yang tersetrika licin, sarapan se- lembar roti bakar yang dioles mentega atau selai kacang dite- mani dengan segelas susu hangat, kemudian berangkat menimba ilmu dengan menenteng tas berisi buku-buku tebal, aku, si anak jalanan beranjak dari “tempat tidur”, kemudianterjun ke jalanan. Aku mencari belas kasihan para pengemudi mobil mewah yang dandanannya serba mewah demi sesuap nasi.

Pagi selalu sama. Kulihat orang tua yang berdandan necis mengendarai mobil mengkilat keluaran terbaru mengantar buah hatinya ke sekolah. Cium pipi kanan, cium pipi kiri, kadang di- tambah dengan ciuman di kening sebagai bonus, seakan-akan mereka akan berpisah selamanya. Padahal itu mereka lakukan semata-mata hanya sebagai ritual perpisahan selama beberapa jam saja. Pemandangan yang selalu membuatku sesak, iri, sirik. Ya, aku memang iri dengan mereka. Aku iri dengan kebahagiaan mereka. Iri dengan kebersamaan mereka. Aku tak pernah me- rasakan hangat dan lembutnya kecupan seorang ibu. Tak pernah sekalipun. Bahkan mengetahui nama atau rupanya pun tidak. Aku hanya mendengar desas-desus dari orang-orang di sekeli- ling tentang asal-usul orang tuaku.

Ketika anak-anak yang sebaya denganku bermimpi tentang masa depannya, di saat itu pula aku bermimpi. Bukan mimpi akan cita-cita, tetapi bagaimana aku mencari uang untuk meng- ganjal perut hari ini. “Bah”…. cita-cita. Aku anak jalanan tak perlu memiliki cita-cita muluk, insinyur, dokter, atau bahkan presiden. Itu semua impian yang hanya dimiliki oleh orang ber- duit, bukan anak jalanan.

Pandanganku tentang hidup selalu sama. Aku selalu menilai sesuatu dari sudut pandang yang negatif sampai suatu ketika wanita itu datang dan mengubah hidupku. Layaknya kompas,

ia mengarahkanku ke jalan yang benar setelah sekian lama aku berjalan tak tentu arah. Ia membuka mataku, menunjukkan mata angin kehidupan. Ia ingin sang surya senantiasa menyinari, mem- bawaku keluar dari kegelapan, serta menghangatkan hidup. Ia yang meniupkan kembali nafas kehidupan ke dalam diriku.

Wanita itu masih cukup muda saat itu. Ia baru memasuki kepala tiga ketika aku pertama mengenalnya. Usia kami terpaut dua puluh tahun tetapi sikapnya padaku layaknya sikap seorang ibu pada anaknya. Ia yang telah mengajariku menggunakan ba- hasa isyarat, membaca, menulis, bahkan berkarya. Bertumpuk- tumpuk buku selalu ia bawa ketika bertemu denganku. Pernah aku menceritakan padanya tentang keputusasaan, penderitaan, dan penghinaan yang kualami. Ia hanya mendengarkan dengan seksama, tanpa memberi sepatah pun komentar atau sekadar mengekspresikan rasa simpati. Tetapi, seminggu kemudian ia kembali membawa setumpuk buku tentang kisah hidup Thomas Alfa Edison, seorang tuna rungu yang telah menemukan bola lampu. Buku lain yang tak kalah menarik dan membuka mata serta hatiku adalah kisah seorang wanita bernama Helen Keller. Buta, tuli, dan bisu sejak kecil tak dapat mematahkan semangat- nya dalam mengejar mimpi. Bayangkan, seseorang yang hanya memiliki dua indera normal mampu menelurkan karya-karya yang spektakuler. Mampu menjadi seorang aktivis politik, bah- kan menjadi dosen. Tak ada yang tak mungkin. Kata-kata bijak yang terngiang di benakku itu juga berlaku untuk orang cacat sekalipun. Kemudian ketika semangatku untuk mengejar mimpi kembali patah karena sebuah alasan klasik, aku hanya anak jalan- an, hanya seorang pengamen. Aku bahkan tak pernah menge- nyam pendidikan formal. Meski orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan menggembor-gemborkan wajib belajar sem- bilan tahun, sekolah gratis, BOS, atau apalah sampai mulut me- reka berbusa, kenyataan berkata lain. Kata-kata mereka tak per- nah menjadi kenyataan. Hanya seperti angin lewat, tak mening- galkan bekas. Dan wanita itu juga mengisahkan tentang perja-

lanan hidup seorang maestro legendaris hidup Indonesia, Iwan Fals. Ia bilang bahwa pria itu dulunya adalah seorang pengamen, sama sepertiku. Pergi kesana-kemari menggendong gitar sebagai alat mencari uang. Kini ia telah ‘naik pangkat’ menjadi pengamen di acara televisi atau konser dengan gemerlap lampu panggung. “Hidup itu seperti roda yang berputar. Kadang kita berada di bawah, kadang di atas. Hanya usaha dan kerja keraslah yang akan membuat roda itu berputar sehingga seseorang dapat kem- bali ke atas, atau sekadar mempertahankan posisinya yang sudah berada di puncak. Helen Keller, Thomas Alfa Edison, dan Iwan Fals telah membuktikannya. Dan kini saatnya bagimu untuk mengikuti jejak mereka,” pesan wanita itu dulu.

Suara lembutnya bagaikan suara seorang ibu yang hendak menidurkan anaknya. Membuatku terbuai dalam angan-angan memiliki seorang ibu.

***

Wanita itu bernama Sulastri Widyaningrum. Bu Lastri, begitu ia biasa dipanggil. Perawakannya tinggi langsing. Ia selalu berpakaian santai namun rapi. Tangannya yang kurus selalu men- jinjing tas, buku bacaan, alat tulis, bahkan makanan untuk kami. Rambut panjangnya selalu digelung dan diikat menggunakan karet. Wajahnya yang berseri-seri masih menampakkan semangat ala remaja yang menggelora meski usianya telah memasuki ke- pala tiga. Samar-samar sepasang kantung mata terlihat di bawah matanya yang sayu. Agaknya ia terlalu banyak bekerja dan me- lupakan waktu tidurnya. Hidungnya yang mungil namun ram- ping menyempurnakan wajah Bu Lastri.

Seminggu dua kali ia datang, memanggil salah satu anak yang terlihat di sekitar kolong jembatan, menyuruhnya mengum- pulkan anak-anak lain, dan memulai pelajaran layaknya di seko- lah. ‘Ka-mi a-da-lah a-nak ja-la-nan yang ra-jin be-la-jar!’ adalah kata-kata yang menggema di bawah jembatan layang pada ming- gu-minggu pertama kedatangan wanita itu. Anak-anak berusia tujuh hingga belasan tahun masih mempelajari materi yang seha-

rusnya dipelajari oleh anak TK. Kadang, ada segerombolan anak SMP lewat dan menertawakan kami. Mereka mengejek kami yang masih belajar mengeja. Malu, memang. Tetapi tak apa. Tak ada kata terlambat bagi sesorang untuk belajar. Kelak perjuangan kami itu akan terbayar.

Bu Lastri yang tahu bahwa aku memiliki kebutuhan khusus memberiku pelajaran khusus pula. Bukan pelajaran mengeja seperti anak-anak lain, melainkan bahasa isyarat yang lumayan rumit. Agaknya ia pun kesulitan dengan bahasa ini karena ia belum pernah menggunakannya. Setelah lancar, ia mulai melan- jutkan misinya dengan memberi buku bacaan anak-anak yang ringan, novel sastra kesukaanku, sampai buku ilmu pengetahuan yang membuatku mengernyitkan dahi setiap membukanya.

Aku mempunyai mata tajam dan normal. Mata ini sering aku gunakan untuk mengawasi kedatangan petugas yang datang untuk menciduk kami, anak jalanan. Secara harfiah aku memang tidak buta. Meskipun begitu, mataku seakan tidak ada gunanya ketika dihadapkan dengan sebuah buku. Ya, aku buta, buta ak- sara. Aku tidak bisa membaca dan menulis, bahkan berkomuni- kasi sebelum Bu Lastri muncul dalam hidupku.

***

Pernah suatu hari aku lari tergopoh-gopoh dan bersembu- nyi di belakang punggung Bu Lastri yang sedang sibuk menata buku bacaan.

“Razia?” tanya Bu Lastri tanpa menoleh ke arahku. Seakan itu bukan merupakan hal baru baginya. Aku meng- angguk pelan. Aku tak yakin ia melihatnya. Tiba-tiba tangan Bu Lastri berhenti mengurusi buku.

“Kau mengais makanan di sampah restoran cepat saji itu lagi?” kali ini ia menatap lurus ke mataku.

Pandangannya menyelidik. Aku tahu ia akan marah kalau tahu aku mengais makanan di tempat sampah. Tetapi mau bagai- mana lagi, aku lapar. Sedangkan uangku habis dipalak oleh pre- man bertato yang tubuhnya lebih besar dariku. Memang menji-

jikkan mengaduk-aduk isi tempat sampah dan memakan ma- kanan yang telah dibuang. Tetapi aku tidak punya pilihan. Aku tidak mau mati kelaparan. Lumayanlah, restoran itu selalu mem- buang sosis ukuran besar yang masih utuh. Meskipun karyawan mengelupas bungkusnya sebelum dibuang, tetapi paling tidak sosis itu belum mencapai masa kadaluwarsa dan cukup untuk mengganjal perut yang meronta sejak kemarin.

Seakan tahu jawaban apa yang akan aku ucapkan, Bu Lastri menyodorkan sebungkus roti semir padaku.

“Makanlah,” perintahnya, “lain kali jangan mengais makan- an lagi. Tidakkah kau ingat kejadian yang menimpa Arang?”

Arang. Ya, Aku masih ingat betul kejadian yang menimpa Arang, sahabatku. Ia meregang nyawa gara-gara keracunan ma- kanan yang ia kais. Nahas. Sebenarnya aku ingin membawanya ke rumah sakit, tetapi apa daya. Aku tak punya cukup uang untuk membayar biaya perawatannya. Meskipun kami para anak jalanan mengumpulkan semua penghasilan kami untuk menye- lamatkan Arang, Tetapi percuma. Biaya rumah sakit terlampau tinggi. Tak mampu kami menanggungnya. Mau tak mau, kami harus merelakan kepergian Arang.

“Ini, gunakanlah untuk membeli nasi bungkus!”

Bu Lastri kembali menyodorkan sesuatu kepadaku. Kali ini sebuah lembaran uang bergambar W.R. Soepratman yang menyembul dari tangannya.

“Aku tidak bisa menerimanya. Ibu sudah banyak memban- tuku.”

Aku menggerak-gerakkan jari sebagai isyarat penolakan. Bu Lastri tersenyum. Ia tidak merasa tersinggung sedikit pun.

“Kau suka karya-karya sastra yang ibu bawa, kan?” Aku mengangguk penuh semangat. Bagiku, karya sastra begitu indah. Puisi, syair, cerpen, novel, bahkan gurindam dapat menghilangkan rasa penat setelah seharian berada di jalanan. Idolaku dari dunia sastra adalah Chairil Anwar, W.S. Rendra, dan A.A Navis. Mereka adalah orang yang luar biasa, terlebih

A.A. Navis karena aku sangat meyukai cerpen. Robohnya Surau Kami adalah karyanya yang tak bosan kubaca berkali-kali meski itu merupakan karya sastra lama.

“Bagaimana kalau Kau mencoba menulis cerpen. Kau bisa mendapatkan uang dari menulis, Ucok. Kau tak perlu mengais makanan di tumpukan sampah lagi,” kata Bu Lastri meyakinkan.

Mendengar tawaran beliau, aku merenung sejenak. “Tak ada salahnya mencoba,” kataku lirih.

Sejak saat itu, aku mulai berlatih menulis. Memang awalnya hanya sebuah karya remeh temeh yang tercipta, namun lama kelamaan kualitas karyaku meningkat. Itu semua tak lepas dari bantuan Bu Lastri yang senantiasa membimbingku menulis, me- ngoreksi karyaku, dan membantuku mengirimkannya ke surat kabar atau perlombaan.

Mulanya aku bingung bagaimana menulis alamatku. Akan terdengar aneh jika aku menuliskan ‘Ucok di Kolong Jembatan Layang’. Tetapi dengan bermodal nekat, aku kirimkan karyaku menggunakan alamat itu. Ternyata Pak Pos berseragam jingga dengan mudah menemukan alamatku. Saat kutanya bagaimana beliau dapat menemukan alamat yang tidak jelas seperti ala- matku, beliau menceritakan padaku bahwa beliau dulu meng- habiskan masa kecilnya sebagai seorang anak jalanan yang hidup di kolong jembatan layang ini. Sama sepertiku.

Berkali-kali mengirim, berkali-kali ditolak, dan berkali-kali aku tersenyum bangga melihat karya-karyaku dimuat di surat kabar. Kini, Pak Pos yang baik hati itu selalu datang berkunjung, membawakan satu atau dua buah amplop coklat yang ditujukan kepada ‘Ucok di Kolong Jembatan Layang’.

***

Rasanya jarum jam bergerak sangat cepat. Seorang panitia datang menjemputku untuk duduk di depan tamu yang hadir. Saatnya telah tiba, tetapi beliau belum juga datang. Ia pasti sibuk, batinku menghibur diri. Kuputuskan untuk memulai acara tanpa kehadirannya.

Presentasi isi buku aku lakukan dengan bantuan laptop. Kuceritakan pada hadirin kisah masa kecilku, perjuanganku, hingga kesuksesanku. Semuanya tertuang dalam sebuah novel yang sarat emosi. Novel yang bisa membawa pembaca merasakan penderitaan dan kebahagiaanku. Novel yang sanggup meng- aduk-aduk emosi pembaca. Inilah novel keduaku. Riuh rendah tepuk tangan penonton menggema di seluruh ruangan setelah presentasi selesai. Tiba-tiba pandanganku terpaku pada seorang wanita berambut putih pendek yang muncul dari balik pintu. Ia duduk di sebuah kursi roda yang didorong oleh seorang wanita muda. Senyuman hangatnya tak pernah berubah. Aku tersenyum membalas senyumannya. Aku segera mengetik sebuah kalimat di laptop yang bertengger di depanku, ‘hadirin, inilah inspirator, motivator, sekaligus ibuku, Bu Lastri’. Kemudian ruangan kem- bali dipenuhi dengan suara tepuk tangan yang meriah.

***

BIODATA PENULIS

Dyah Inase Sobri lahir di Bantul, 16 Janurai 1995. Dyah bersekolah di SMA N 2 Bantul, Jalan R.A. Kartini Trirenggo, Bantul. Alamat rumah di Bejen RT 03 Bantul, Yogyakarta, telepon 085743773660

“Tidak ada yang namanya Tuhan, tidak adaaa,” teriak Harjo makin membahana, “puahhh”

Sembur lelaki itu. Sudah kesekian kali minuman keras mem- bara di kerongkongannya. Malam semakin larut. Para kalong, kucing garong, serta tikus got mengintip sembunyi-sembunyi dalam keremangan, penuh ingin tahu. Seperti malam-malam yang lalu, entah mengapa Dewi Fortuna enggan berpihak padanya.

“Bagaimana, Harjo. Masih mau main lagi?”

Lelaki kekar bertato ular naga di lengan, Jon namanya, ter- kekeh-kekeh. Sementara, dia yang dipanggil Harjo, pria berwa- jah garang itu mendesis geram. Matanya merah manyala, seturut dengan warna yang tak hendak surut dari wajahnya kini. Tak bisa ia terima kemenangan Jon, si preman pasar ikan. Terlebih lagi, dia harus menerima kenyataan bahwa uangnya harus mela- yang lagi. Harjo pun membanting sisa kartu di tangan, lantas hendak beranjak, membawa botol beling berisi alkohol seperem- pat penuh turut bersamanya.

“Harjo, Harjo, nasibmu memang tak se-slamet namamu,” ujar Jon terpingkal-pingkal bersama para kaki tangannya.

“’Ayam sayur’, besok-besok mampirlah ke sini lagi, kau, ya!” Harjo, yang sudah setengah jalan menuju motor bututnya, berhenti sejenak. Ingin rasanya ia berbalik, lalu membungkam

TUHAN, MANA TUHAN?

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 186-194)