• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUHAN, MANA TUHAN? Gan Michelle Amadeus

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 194-200)

mulut Jon dengan lemparan botol beling. Namun, ia urungkan niatan itu. Harjo tetap lanjut melangkah, dingin. Ia nyalakan mesin ‘si butut’, lantas memacunya pulang dengan kecepatan maksimal dan meninggalkan asap kelabu yang menyatu dengan gelap malam.

*** “Laksmi, Laksmi! Bukakan pintu!”

Pintu reot gubuk rombeng digedor keras. Laksmi, baru akan terlelap pasca meninabobokan kedua buah hatinya, seketika terlonjak. Ia pun was-was, merasakan arus kemarahan yang mengalir hingga ke dalam bilik sempit itu. Cepat-cepat, ia buka- kan pintu untuk si suami yang sudah tak sabar. Bau tajam alkohol menusuk hidung. Insting kewanitaannya bekerja.

“Darimana, Mas?” Laksmi melontar tanya.

Harjo diam saja. Sibuk melepas jaket kulit imitasi dari tu- buhnya.

“Minum-minum lagi?”

Harjo masih diam, tak bergeming. “Ah, jangan bilang kau berjudi lagi.”

Kiranya yang satu ini berhasil menggelitik Harjo. “Alah, mau tahu saja. Bukan urusanmu!”

“Aku berhak tahu, Mas. Aku istrimu,” sengaja Laksmi me- nekankan kata terakhir, kalau-kalau Harjo mulai amnesia atau bagaimana.

Harjo mendengus kesal. Cerewet, umpatnya dalam hati. Laksmi menghela nafas, tangannya terlipat di dada.

“Mau sampai kapan, Mas. Persediaan uang sudah makin menipis. Anak-anak mau makan apa. Aku hanyalah buruh jahit. Semenjak Mas dipecat. Semenjak Mas dipecat, hidup kita semakin sulit. Mengertilah, Mas!” makin tinggi nada Laksmi berucap de- ngan setengah marah dan setengah meratap.

“Oooh, jadi kau mau menyalahkan aku, Laksmi. Memang- nya aku yang minta agar dipecat. Salahkan sana, bos sialan itu.

Salahkan juga, Tuhan yang tak adil, yang sudah mempersulit hidup kita ini!” seru Harjo.

“Astaga, nyebut, Mas. Jangan sembarang bicara!” kata Laksmi sambil tersentak.

“Biar saja, aku sudah tak percaya Tuhan itu ada.”

“Mas, Tuhan selalu ada. Mungkin kita memang lagi tak ber- untung sekarang, Tetapi Tuhan pasti punya rencana indah suatu hari nanti. Ingat, Mas, kita bukan apa-apa tanpa-Nya!”

“Naif, kau, Laksmi! Sudah berapa kali, kita dibodohi makhluk abstrak yang disebut Tuhan itu. Kau, sekali lagi, kau membela Tuhan-mu itu ku…,” tangan Harjo siap melayang.

“Bapak sudah pulang?”

Muncul Darma dan Darmi, buah hati Harjo dan Laksmi yang tiba-tiba terbangun. Darma, si sulung dari kembar androgini

itu bertanya lugu sembari mengucek mata. Darmi, mengintip dari punggung kembarannya, lalu menguap.

“Cih,” umpat Harjo.

Dipakainya lagi jaket kulit imitasi, lantas ngeloyor pergi ber- sama ‘si butut’ menentang malam. Laksmi, masih ketakutan, ter- isak, mendekap Darma-Darmi yang kebingungan.

***

Harjo terdiam. Pandangannya menerawang ke arah ombak yang berdansa. Bulan tertawa di atas ubun-ubunnya. Dingin merasuk hinggga ke sumsum-sumsum tulang. Di tepi pantai, ia habiskan isi botol beling. Membiarkan tiap tegukan membasuh perih hati.

Harjo, namanya, pria berwajah garang, namun berhati lem- but, sedang duduk menanti dengan harap-harap cemas, di depan ruang kerja si Bos yang berpenjagakan dua orang bertubuh ke- kar. Ia dipanggil, entah ada apa gerangan. Yang pasti, ia hanya berharap tidak akan kejatuhan nasib sial seperti beberapa ka- wannya.

Harjo adalah seorang jujur dan ulet. Ia berpegang kuat akan keyakinan dan agamanya. Moto ora et labora bahkan sudah meng-

alir dalam urat nadinya dan ia detakkan di tiap detik kehidupan. Walaupun hanya menjabat pegawai rendahan bergaji pas-pasan, tak pernah berhenti ia mendaraskan syukur. Harjo tetap ikhlas demi kebahagiaan keluarga. Dia rela membanting tulang dan mandi keringat, tak lupa pula beribadah.

Perusahaan tempat Harjo bekerja tidak temasuk perusahaan gedongan. Apalagi krisis sedang melanda negeri, membuat per- usahaan tempatnya bekerja semakin ‘tercekik’, dan terancam mati bangkrut. Satu-satunya jalan ialah, mengurangi jumlah pe- kerja. Seperti yang dialami Bowo, Tomo, Sudi, Akhmad, dan teman-teman Harjo yang lain, serta beberapa pekerja setingkat- dua tingkat lebih tinggi. Mereka terpaksa melepas seragam kar- yawan, kehilangan sumber pencaharian. Inilah, yang membuat Harjo cemas bukan kepalang. Cemas yang makin menjalang da- lam hati, ketika dirinya dipersilahkan masuk.

Ruang itu, cukup sempit untuk ukuran kamar kerja kepala bagian pada umumnya. Dicat putih, dengan tatanan rapi, kaku, menunjukkan karateristik si Bos. Karpet lembut berwarna abu- abu, meja kerja coklat kayu, pendingin ruangan, tempat duduk, alat tulis, berkas-berkas, serta tiap sudut ruang seakan hangat menyapa Harjo. Sayang, kehangatan itu tak tersampaikan. Di hadapan bosnya yang terkenal bak seorang tiran, Harjo menciut seciut-ciutnya. Firasatnya semakin tak enak.

“Suraharjo,” sapa si bos penuh wibawa. “Ya, Pak?” segan-segan Harjo membalas. “Duduklah terlebih dahulu.”

Harjo hanya bisa pasrah dan menurut.

“Suraharjo, sudah cukup lama kau bekerja di sini. Kau tahu, kan, akhir-akhir ini krisis sedang melanda. Kita juga sama-sama tahu bahwa tempat ini bukanlah perusahaan besar dengan ke- untungan gigantik,” si Bos berhenti sejenak sambil menarik nafas agak dalam.

Mual Harjo rasanya. Tak mau ia dengar kelanjutan tutur si bos.

“Maka, dengan berat hati, saya harus melepas beberapa karyawan. Dan salah satunya adalah anda.”

Mengakhiri kalimat itu, si bos menyodorkan dua buah am- plop berisikan surat dan sejumlah pesangon. Sontak keringat dingin membanjiri kening lebar Harjo. Hatinya.

“Me, mengapa harus saya, Pak. Apa salah dan kurang saya?” getar suara itu terdengar dari suaranya.

“Yah, anda memang pekerja yang brilian, Suraharjo. Anda ulet, terampil, gigih, dan jujur dalam tutur serta laku. Tetapi, di atas langit masih ada langit. Sayangnya, di atas yang brilian pun ada yang lebih brilian lagi.”

“Itu sajakah alasan, Bapak. Tidak bisakah bapak memberi saya satu kesempatan lagi?”

“Sekali lagi, kutegaskan. Kita tahu sama tahu bahwa dalam kondisi seperti ini, kita harus menghemat anggaran perusahaan. Inilah satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Dan untuk itulah, aku harus memilih yang terbaik di antara yang terbaik, dan menyisihkan sisanya,” si bos menyeringai penuh makna.

“Satu kesempatan saja, Pak. Saya mohon.”

“Maaf, saudara Suraharjo. Keputusan saya sudah bulat,” tegas si bos sedingin es.

Segera ia pun bangkit dari tempat ia meletakkan pantat gemuknya, hendak membukakan pintu, mempersilahkan Harjo keluar.

“Tetapi, Pak, saya berjanji untuk lebih berusaha. Demi Tu- han, saya akan berupaya untuk jadi yang terbaik di mata bapak. Saya mohon, Pak. Saya punya keluarga yang harus dihidupi. Sa,sa,saya mohon belas kasihan bapak,” terbata-bata Harjo mengiba memelas sembari hampir berlutut di kaki kepala per- usahaannya itu.

Usahanya terhenti, kala tiba-tiba si Bos tertawa sangat keras. Tawa itu getir, mengerikan yang membuat bulu kuduk Harjo berdiri mendengarnya.

“Tuhan, Tuhan lagi. Kenapa semua orang berkata ‘Ya Tu- han’, ‘Demi Tuhan’, dan segala tetek bengek lain tentang Tuhan- Tuhan itu. Sehebat apakah, Dia. Apa benar Ia ada,” ucap si bos yang membuat Harjo tertegun.

“Kalau Tuhan itu ada, negeri ini sudah jadi negeri kaya raya, Suraharjo. Perusahaan ini akan menjadi perusahaan raksasa dengan gedung pencakar langit, bukan bangunan bertembok retak begini. Dan, kalau Tuhan itu ada, kau tidak akan sial dan dipecat, Suraharjo. Tidak ada Tuhan. Tuhan tidak ada.”

‘Ctaarrrr’. Sebuah cambuk bagai mendera benak Harjo yang tengah rapuh. Tepat sasaran.

“Sekarang, silakan anda keluar dari ruangan saya, saudara Suraharo. Saya tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang begitu berharga hanya untuk meladeni anda. Saya tidak boleh memper- tahankan anda, karena saya tak mau perusahaan ini malah hancur jadinya. Saya juga punya istri dan anak yang harus diberi makan,” dengus kesal si bos.

“Tetapi…,” sahut Harjo, namun terpotong. “Penjaga!”

Datanglah dua penjaga, menyeret keluar Harjo yang me- ronta-ronta.

*** “Tuhan tidak ada.”

Kalimat itu terngiang di telinga Harjo. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya melayang. Tiga kali sudah ia dikejutkan dengan bunyi klakson kendaraan lain, karena dia dan ‘si butut’ seakan sedang tak sinkron dengan liarnya jalanan. Untunglah, dia berhasil sampai di rumah dengan selamat.

Di depan pintu reot itu, Harjo berdiri lesu, dirundung galau gundah gulana yang sangat. Di tangannya, tergenggam dua am- plop sialan tadi. Akhirnya, ragu-ragu, ia mengetuk pintu. Na- mun, Laksmi, istrinya yang lugu dan ayu dengan aura selembut cahaya rembulan, menyambutnya.

“Eh, Mas. Njanur gunung. Kok sudah pulang jam segini. Ayo lekas istirahat dulu. Mas pasti capek, kan?” berondong Laksmi.

Dipijatnya pelan-pelan kedua pundak sang suami. Terharu hati Harjo.

“Makan dulu, ya, Mas. Kebetulan, aku baru saja selesai ma- sak makanan kesukaan Mas, sayur asem, ikan asin, dan sambal goreng tempe. Sebentar, ya, kuambilkan.”

Harjo menahan Laksmi.

“Mana Darma-Darmi?” suara Harjo tersedak.

Tak sanggup rasanya ia mengungkapkan kenyataan yang menyedak di pangkal tenggorokannya.

“Baru main di rumah tetangga, Mas. Nanti juga pulang. Kenapa, Mas?” Laksmi menangkap ada yang janggal dari suami- nya. Dilihatnya tangan Harjo.

“Itu amplop apa, Mas?” “Ini…,” suara Harjo parau.

Disodorkannya amplop-amplop itu pada Laksmi. Laksmi lantas membukanya. Terkejutlah ia ketika membaca isi surat ter- sebut. Matanya seakan tak percaya. Dipeluknya Harjo. Ia elus punggung Harjo, pelan, hendak menghiburnya. Walaupun, ia sendiri lara, tersedu pelan. Harjo pun menyambut dekap istri yang amat ia sayangi itu. Nelangsa mengoyakkan batin Harjo. Ingin ia ikut menangis, namun egonya sebagai lelaki tak meng- izinkannya.

*** “Tuhan tidak ada.”

Sebenarnya, Harjo masih tidak ragu menerima pernyataan yang mulai menghipnotis itu. Ia masih terus berusaha mencari Tuhan di tengah dan sudut kota, desa, hingga sudut hati. Pikir- nya, Tuhan hanya sedang bersembunyi atau apa. Mungkin jijik dengan dirinya yang hanya wong cilik, dekil, banyak dosa. Ber- bagai cara, dari yang logis hingga yang nekat, sudah ia coba, untuk menemukan Yang Esa, atau agar Ia mau keluar sebentar saja dari ‘persembunyian’. Pernah, sampai-sampai Harjo mencuri,

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 194-200)