• Tidak ada hasil yang ditemukan

GURU: SEBUAH ROMANTISME KEDEWASAAN

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 173-186)

menurut filosofi Jawa “digugu lan ditiru” yang masing-masing mengandung makna memberi contoh dan dicontoh. Seorang guru harus bisa memberi contoh dan dicontoh bagi murid-mu- ridnya, termasuk murid bukan dalam artian sesungguhnya. Aaaahhh…. itu sangat klise. Ketika guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari. Jadi siapa yang salah, guru atau muridnya. Tetapi, sosok guru dimataku bernilai lebih. Well, aku ber- pikir sederhana, apa jadinya aku yang sekarang ini tanpa guru. Belum tentu aku bisa menikmati bangku SMA, membaca, meng- hitung, berbicara pun aku sangsi. Entah bagaimana aku bisa me- rasakan kehidupan di sekitarku ketika seorang guru tak sesaat pun menyentuh nuraniku, yang awalnya nihil. Apa jadinya otak- ku pula ini. Hufttt...

Ketika sebuah pertanyaan sederhana diajukan kepada aku dan teman-temanku di bangku sekolah dasar, besok kalau besar mau jadi apa. Satu-persatu mengangkat tangan dan mengatakan, ‘guru’. Alhamdulillah. Naik satu jenjang, SMP, dengan perta- nyaan yang sama. Jawaban ‘guru’ masih lumayanlah, ada lima sampai tujuh anak. Meskipun tidak proporsi dengan jumlah te- man sekelasku yang hampir tiga puluh kepala.

Sekarang SMA, tentu dengan pertanyaan yang sama dan senada, “pengen jadi apa kalian besok.” Tak habis pikir aku, hanya aku seorang yang menyebut guru. Bukannya aku bermak- sud sok bener sendiri, tetapi, aneh nggak. Setiap naik satu tingkat pendidikan, kok semakin sedikit yang berkeinginan jadi guru. Angin sepoi di penghujung Maret ini menjadi temanku. Terdu- duk seorang diri aku di bawah pohon di sudut tanah lapang. Rindangnya memecah keangkuhan sinar mentari. Bergesek mesra tertiup angin, satu demi satu, lepas dari tangkainya, terbawa angin, melenting jauh entah tahu kapan dan di mana angin kan membawa, apakah kembali ke tempatnya bermula atau….? Siang mulai mengelupas, hambar sinar mentari menjadi pertanda, sore kan segera menjelang maka saatnya untuk segera pulang.

(2)

Ketika aku bisa memulai berjalan dengan berlari, mengapa aku harus mulai dengan merangkak? Meski itu mustahil,

tetapi, biarkan aku mengatakan, aku bisa. ***

“Kamu itu aneh-aneh aja. Mau kuliah di teknik. Cuman pengen jadi guru aja, kok ribet. Mending uang ini bapak tabung buat adikmu. Semoga dia nggak kepingin jadi guru!”

Mimpi yang sudah kurancang dengan sejuta perhitungan matang, menguap, dihantam bapak. Ibuku hanya bisa pasrah, melihat anak sulungnya jadi bulan-bulanan bapaknya. Ibu hanya bisa memegang bahu bapak. Sedangkan bapak, bagai sedang memegang senapan api di tangan kanan dan granat aktif di ta- ngan satunya. Moncong senapan dengan liar diarahkan ke mu- lutku, seolah-olah hendak menyumpalku dengan butiran pelor- nya. Bak seorang ‘rambo’ rumahan, ia siap berperang melawan setiap kata ‘guru’ yang muncul, dan aku, bagaikan ayam kehu- janan, duduk terdiam tak berwujud di seberangnya. Setiap kata itu melesat, wussstt... ia siap menarik pelatuk dan “dor-dor- dor-dor” lenyap tersapu angin. Atau melemparkan granat aktif dan... “duarrrrr” satu demi satu, mimpi yang kubangun roboh. Mimpiku memang aneh. Guru lulusan jurusan teknik. Orang yang mendengar, pasti mengernyitkan dahi, dan bertanya sinis, “emang bisa?”. Sengaja tak kubalas pertanyaannya. Ku hanya ingin memberi bukti. Apa salahnya guru alumni jurusan teknik. Selama ini mayoritas orang berpikir, guru itu lulusan jurusan pendidikan, bukan teknik. Pendidikan berasal dari kata dasar didik mendapat awalan pe- dan akhiran -an. Sedangkan ‘didik’ sendiri dapat dimaknai sebagai usaha atau ikhtiar untuk mena- namkan suatu nilai budaya, tradisi, agama, dan ilmu pengeta- huan. Frasa ‘ilmu pengetahuan’ ini kiranya cocok untuk mende- finisikan guru di mata masyarakat Indonesia yang begitu sempit, guru itu mengajarkan pelajaran di sekolah. Cukup. Namun...

apakah manusia hidup hanya butuh mata pelajaran sekolahan saja? Buatku, sekali lagi itu terlalu sempit, terlalu ‘cethek’.

Dan, ini satu lagi, apakah mereka yang lulus dari jurusan pendidikan itu kesemuanya bisa membagi ilmunya. Itu yang pen- ting. Terkadang guru menyalahkan kalau nilai muridnya jelek, Tetapi apakah kadang juga guru bertanya, ‘apakah saya yang belum berhasil mengajar’. Dan ingat, seorang guru yang baik adalah guru yang menanamkan bukan hanya pelajaran di seko- lahan semata, tetapi juga pelajaran hidup, budaya, tradisi, dan agama. Sekali lagi, fakta mengatakan, banyak orang pintar di Indonesia, tetapi orang pintar yang berkarakter budaya bangsa ketimuran yang imannya kuat, apakah banyak.

Aksi ‘rambo rumahan’ itu pun berlanjut di ruang kuliah. Al- hamdulillah, impianku bergabung di jurusan teknik telah ter- wujud. Kota Bandung, kini menjadi persinggahanku. Di kota gadis ini, namaku terdaftar sebagai salah satu mahasiswa institut teknik ternama di Indonesia, di jurusan teknik fisika. Aku mampu tersenyum bangga, menepuk dada sendiri. Bukan bermaksud sombong, tetapi telah kubuktikan kalau aku bisa, meski ini baru setengah jalan.

Sudah dua tahun berlalu semenjak aku resmi menjadi maha- siswa institut ini, semua berjalan normal, meskipun belum tentu baik-baik saja, aku ikut kuliah, praktikkum, tugas menumpuk, nilai yang kadang naik-kadang turun, sampai dosen yang kurang cocok, dan tentunya tak lupa weekend untuk memusnahkan “ke- jahatan-kejahatan” di muka bumi. Memang pada tahun-tahun awal nilaiku belum memuaskan, tidak lebih dari dua. Sudah lima dosen mengatakan, aku salah pilih jurusan. Mereka bilang kalau cuman suka sama fisika, nggak harus masuk jurusan teknik, apa- lagi teknik fisika.

Sambil mempelajari lembar-demi lembar halaman diktat yang tebal, hatiku bertanya, apa bener kamu nggak cocok di jurusan ini? Hatiku meradang. Keringat menetes deras. Nadi- nadiku mengalirkan darah semakin cepat, serasa pembuluh

darah menyempit, jantungku pun berdetak semakin kencang. Seolah-olah kipas angin di sebelahku hanya menambah panas kamar ini. Diktat kututup. Kuremas rambutku, kepalaku terasa berputar. Di sudut meja, lembaran kertas nilai yang jauh dari kata memuaskan menambah keraguan ini.

‘Brakkkk’ tanpa sadar kugebrak meja ini. Aku hendak bang- kit, mengambil segelas air, atau kalau mungkin bergalon-galon air. Saat kaki ini melangkah menuju pintu, sebuah tulisan terpam- pang di pintu itu, ‘jika kamu ragu untuk melangkah ke depan, ingatlah tujuan awalmu datang ke sini’. Aku membeku seketika. Sekujur tubuhku dingin mendadak. Aku mengangguk, ‘guru’.

Pada suatu siang di sesi kuliah, seorang dosen berkaca mata, dengan rambut mulai jarang, membagi lembaran ujian rutin. Jan- tungku berdegup kencang. Semoga nilaiku kali ini memuaskan. Biarkan semester suram itu berlalu bersama lembaran kertas- kertas bernilai jelek. Saatnya melangkah ke depan. It’s time to move on. Saat selembar kertas yang tertera namaku hadir diha- dapanku, tanpa kuduga nilaiku sangat memuaskan! Subhnallah! Nilai tertinggi, mamen!

“Ehem...” si dosen berdehem palsu.

Kami semua pun melempar atensi ke arahnya.

“Nilai kalian buat bapak tidak begitu memuaskan. Rata- ratanya masih rendah.”

Mata tuanya mengamati ke sisi kelas. Bagai seekor elang yang sudah puluhan tahun tak terisi perutnya, ia menampilkan keliarannya, bersiap menerkam seorang mahasiswa yang kurang beruntung.

“Kamu!” tiba-tiba ia menunjuk ke arahku. “Saya, Pak?” tanyaku ragu.

Ia mengangguk.

“Saya perhatikan, nilaimu dari hari-ke hari ada progres po- sitif,” katanya mengambil nafas.

Bagai seorang penyidik KPK, dosenku yang terhormat mu- lai menanyaiku bermacam-macam. Inilah, itulah, A sampai Z.

“Kalau saya boleh tahu, kamu pengen kerja apa?”

Aku terdiam. Matanya masih mengawasi dengan ganas. Seisi ruangan menatap ke arahku yang memang duduk tepat di tengah ruangan tepat di tempat dinginnya AC dari ketiga sisi mengarah. Semuanya nampak penasaran dengan pekerjaan ma- cam apa yang diingini bocah introvert macam aku ini.

“Guru SMA, Pak,” jawabku singkat.

Suasana masih hening. Beberapa kudengar suara bisik-bisik, entah apa yang mereka bicarakan. Si dosen tua pun masih ada di tempatnya berdiri, seolah-olah menatapku tak percaya. Satu demi satu orang-orang di sampingku saling berbisik. Pelan, pelan, dan bagiku terasa seperti deru bom atom yang meluncur bebas ke sasaran tembaknya, Hiroshima. Semakin mendekati target suaranya semakin jelas, dan... ‘bluarrrrrrrrrr’ jatuhlah bom atom itu di kelasku, seisi ruangan tertawa terbahak-bahak tak percaya. Dua orang yang duduk di kananku, sampai-sampai tak mampu menahan air mata dan memegangi perut mereka. Yang lainnya memukul-mukul meja dan ada juga yang kakinya meng- hentak-hentak lantai. Pak dosen, mulutnya terkatup, tetapi wa- jahnya tak mampu berdusta. Aku merasa seperti badut Ancol yang celananya mlorot di hadapan ribuan bahkan ratusan penon- ton. Mereka menertawaiku.

“Kamu masuk teknik dan cuman pengen jadi guru?” seorang mahasiswa menanyaiku dari arah belakang.

Aku menengok dan mengangguk. Apa salahnya. Memang salah sarjana teknik jadi guru. Seperti biasanya, aku meyakinkan diriku sendiri. Di tengah tawa semper mereka aku bergumam di hatiku, ‘kalau aku bisa mulai berjalan dengan berlari, kenapa aku harus mulai dengan merangkak?’

(3)

Aku tak berusaha lari dari kenyataan. Apalagi sembunyi. Mustahil kata orang. Tetapi, mungkin aku bisa bermain dengan kenyataan. Bisa kan, aku mengubah sesuatu yang

katanya ‘nggak nyata’, menjadi nyata, dan ini, –akhirnya– kutunjukkan pada kalian.

***

“Selamat datang di Stasiun Tugu, Kota Yogyakarta, harap periksa kembali barang bawaan anda. Jangan sampai ada yang tertinggal di kereta!”

Alhamdulillah, Jogja, aku pulang. Hufft... setahun terasa lama, semenjak terakhir kali aku menginjakkan kaki di stasiun ini. Dingin. Aku ragu, apa sekarang Jogjaku yang istimewa ini memang dingin, atau karena aku masih terbawa suhu Bandung. Tetapi, ya, ini memang dingin. Jam bulat yang tergantung di stasiun menunjukkan pukul 04.05 “WIJ” alias waktu Indonesia bagian Jogja. Hahaha…. Beberapa pedagang dan porter yang ke- lelahan seharian menantang kerasnya matahari, nampak pulas terlelap di atas bangku-bangku besi panjang yang sebenarnya diperuntukkan untuk menunggu kereta. Beberapa dari mereka langsung terjaga, saat kereta bisnis yang kutumpangi menepi di Stasiun Tugu. Jogja.

Oke, ini masih pagi. Terlampau pagi. Kalau mau pulang jam segini rasanya agak sulit. Taksi dan ojek pun nampaknya akan sulit ditemui. Baiklah, saat menunggu, minimal, sampai azan shubuh. Jadi, musala menjadi perhentian selanjutnya. Ter- nyata musalla juga sudah banyak yang menunggui. Tak beda dengan pemandangan di kursi tunggu. Beberapa buruh kasar terlelap di atas lantai musala. Yahh... alhamdulillah, aku masih bisa menikmati kuliah, tanpa harus memeras keringat lebih da- lam lagi. Mungkin ada dari mereka ini yang belum seberuntung aku, Alhamdulillah…. Untuk menemani euforia di pagi yang dingin ini, kupakai headset, kupilih lagu yang selalu diputar saat aku mulai rindu kampung halaman keduaku, sebuah lagu ke- nangan, Yogyakarta oleh Kla Project.

Matahari mulai menyingsing. Bismillah, dengan menum- pang motor seorang teman, aku minta diantar ke SMA-ku dulu.

Selama perjalanan, ia bercerita banyak tentang SMA-ku yang kini katanya sudah berubah.

“Sekarang udah lantai tiga semua, lho. Parkirannya saiki

sudah ngerong, udah ada basement-nya! Laboratoriumnya apa lagi, wuihhh serba canggih. Belum lagi kantinnya, sudah tingkat dua. Tetapi, makannya tetep maknyuss. Info yang aku dapet juga, perpusnya sekarang yang terbaik di DIY. Oh iya, belum lagi prestasinya. Tahun ini aja, udah dua tim berangkat ke Amerika sama Roma. Hebat nggak. Waktu tahun kita dulu belum seperti ini. Sekarang udah punya ruang pamer bagi penelitian adik-adik kelas kita. Nggak sedikit juga yang udah dapet hak paten!”

Temanku ini menjelaskan panjang lebar. Lengkap sekali. Apa aku bakalan bisa jadi guru di sana ya? Wahh... mereka pasti butuhnya guru-guru berpengalaman, lha aku ini, mahasiswa yang baru lulus kemarin sore. Waduh, kenapa kemarin aku nggak tanya dulu, mereka butuh guru atau nggak. Bayang-bayang kega- galan entah kenapa sudah menggelayuti pikiranku. Kamu belum tahu apakah kamu berhasil atau gagal, sampai kamu mencoba- nya. Yahh... itu kata-kata yang sering aku baca di buku-buku motivasi. Lagipula apa salahnya gagal. Toh dengan gagal kita tahu letak kesalahan kita.

Setelah bernostalgia dengan para mantan guruku yang ma- sih bertugas, aku dipertemukan dengan kepala sekolahnya lang- sung. Ohh... sekarang ini kepala sekolahnya. Rambutnya sudah memutih, kumisnya tebal, sebagian pun sudah memutih. Ia ma- suk ke dalam ruangan dengan santai, atau tepatnya berwibawa. Ia tersenyum saat aku pun tersenyum padanya. Ia duduk di hadapanku.

“Mas-nya ini, alumnus sini, ya. Eh, maaf, namanya siapa?” “Angga, Pak. Satria Windraya Rananggana. Saya lulus em- pat tahun yang lalu.”

Ia mengangguk, artinya paham. Dilanjutkkan pertanyaan- pertanyaan meluncur untukku. Ia menanyakan dimana aku ku-

liah, apa jurusan kuliahku, mengapa aku milih jurusan itu, ba- gaimana nilai-nilaiku. Tak ketinggalan ditanyakannya pula pengalamanku menjadi guru. Dari semua yang kutangkap inti- nya sama, yaitu kepala sekolah ini ragu aku bisa menangani nilai Fisika yang hancur lebur. Ia malah lebih tertarik membahas ke- napa seorang alumnus institut teknik ternama dari Bandung, bahkan dengan nilai cum laude ingin menjadi guru SMA. Mengapa tidak menjadi dosen atau pegawai perusahaan. Menurutnya, dengan nilai yang sangat bagusseperti ini pasti banyak perusa- haan besar dan ternama yang bakal mau menerima aku. Me- mang, aku pernah menolak sebuah tawaran perusahaan alat lis- trik asal Jepang yang bermarkas di Singapura, Tetapi bulat sudah tekadku untuk kembali ke kampung dan mengabdi sebagai pah- lawan tanpa tanda jasa.

“Kenapa jauh-jauh ke Bandung, Mas. Kalau cuman pengen jadi guru saja, kuliah di Jogja aja bisa. Nggak perlu buang-buang tenaga dan uang banyak. Apa enggak eman ijazahnya?” pertanya- annya sangat menyudutkanku.

Aku hanya terdiam dan dengan khidmat mendengar- kannya.

“Mas Angga, SMA ini dari tahun ke tahun masih mengalami krisis nilai Fisika. Apalagi sebagai bekas murid sini, tentu sadar dan paham betul, fisika itu dianggap sulit oleh murid-murid. Yang, kuliah di pendidikan fisika aja menyatakan diri belum berhasil. Apalagi ini Mas Angga yang, maaf, ya Mas, hanya tahu fisika-nya saja, nggak tahu cara ngajar. Yakin bisa ngajar?”

Benar juga apa dikatakannya. Sejak dulu, memang Fisika itu sulit, apalagi karena kompetensi guru di SMA ini kurang memadai. Apa aku yang masih anak ingusan ini bisa berhasil. Oh iya, aku belum belajar bagaimana menghadapi murid-murid bandel. Aku ini siap nggak sih. Lagi. Aku ragu.

“Coba Mas Angga pikir baik-baik dulu, karena memang ke- betulan kami butuh guru fisika. Tahun ini ada guru yang pen- siun.”

Seolah-olah orang satu ini masih saja meragukan kemampu- anku. Oke mari kubuktikan. Janjiku dalam hati. Setelah setuju dengan ini-itu ini-itu. Akhirnya, tibalah hari pertamaku masuk kelas, kelas sebelas. Wajar, sebagai guru baru, di tahun ajaran baru, adatnya sesi perkenalan.

“Perkenalkan, nama saya Satria Windraya Rananggana, ka- lian bisa panggil saya Angga,” jelasku sambil menuliskan nama- ku di papan tulis.

Aku mulai menjelaskan latar belakangku, asalku, hobiku, alamatku, nomer hapeku, dan tiba-tiba seorang anak bertanya, tentang kuliahku. Ya, aku jelaskan apa adanya, termasuk di mana aku kuliah dulu.

Tanpa babibu seorang murid nyletuk, “Kenapa alumnus dari Bandung kok jadi guru? Nggak laku ya di pasaran?”

Bagai ditusuk pedang ulu hatiku, aku seketika terbungkam oleh pertanyaan anak tadi. Kelas menjadi hening. Sialan ini anak. Untung dia sekarang muridku, kalau nggak. Aku hanya terse- nyum dan berusaha menentramkan perasaanku yang kacau. Oke, biarkan anak itu terus mengoceh, saatnya berpikir bagaimana menjadi guru.

Metode gethok tular, alias penyampaian informasi dari mulut ke mulut memang sangatlah efektif. Buktinya? Dari sembilan kelas yang harus kuisi, pasti ada saja yang bertanya dengan per- tanyaan senada, “Kenapa guru? Kok gak yang lain? Gak laku ya?” Begitu sakit pertanyaan itu saat sampai ke telingaku. Tetapi aku harus tetap bertahan. Ini kenyataannya, bukan waktunya untuk lari atau sembunyi, tetapi, pasti ada cara untuk memper- mainkan kenyataan ini. Tetapi bagaimana.

Setelah berusaha tegar untuk menahan diri mendengar per- tanyaan-pertanyaan yang mengiris-iris hati. Masih saja ada co- baan bagiku. Kini bukan datang dari siswa, tetapi dari guru. Guru SMA lain.

“Sekarang SMA Bangsa, menerima guru yang nggak ber- hasil kuliah, ya. Masak dari lulusan teknik kok jadi guru. Mungkin nilainya antara jelek sampai pas-pasan.”

Meskipun tanpa memandang ke arahku, aku tahu aku yang mereka maksud. Aku hanya bisa mengelus dada. Ya Allah, tabah- kanlah hati hamba. Tetapi, ya, aku harus bertahan, ini jalan yang telah aku pilih, guru. Aku lantas berpikir, pada mulanya, banyak orang selalu meragukan dan menyangsikan keputusan yang aku buat. Mulai dari kuliah di Bandung, kemudian masuk jurusan teknik fisika, dan menjadi guru, semuanya yang mendengar ke- putusan itu pasti ragu, tak percaya, seolah-olah mereka ingin bertanya, “Are you crazy?”. Tetapi, well, aku bisa mempermainkan kenyataan. Ketika orang lain mengatakan itu mustahil, tetapi lihat, aku buktikan aku bisa. Aku sudah berada di titik ujung yang jauh, sangat jauh. Tak ingin kusia-siakan perjalanan ini men- jadi kesia-siaan belaka.

(4)

Hidup itu Indah. Tak peduli betapa berat pun cobaan silih menghampiri. Syukur akan menjadi oase di padang pasir,

meskipun hanya bulir setetes, namun menyegarkan. ***

Saatnya weekend. Masuk ke dashboard blog ku tercinta. Klik ‘Tulisan Baru’

“Hidup itu indah, meskipun banyak cobaan dan rintangan. Aku percaya, semuanya akan mencapai sebuah titik akhir, titik tuju dari setiap perjalanan, yaiyu kesuksesan. Kesuksesan tak datang dengan tiba-tiba, butuh usaha, doa, dan tak sedikit air mata. Kesuksesan itu relatif. Relatif indah bagi kita yang banyak bersyukur. Karena kesuksesan seseorang itu tak diukur dari se- berapa banyak prestasi dan penghargaan yang telah diraih, tetapi lebih tepatnya seberapa besar dan sering ia bersyukur.

Meskipun banyak caci maki dan cercaan menjelang, dengan bersyukur aku menjadi tersadar. Itulah cara Allah mendewasa- kanku. Kini terjawablah sudah, teka-teki nasihat guruku, ‘setiap orang pasti dewasa’. Tetapi, semuanya bergantung bagaimana Allah menunjukkan jalan kedewasaan itu’. Dewasa. Guru. Apa salahnya menjadi guru. Bukankah guru juga pekerjaan yang halal. Bukankah guru juga perkerjaan yang mulia. Guru kan tidak men- curi, tetapi justru membagi. Dengan menjadi seorang guru aku banyak belajar, aku banyak melihat wajah-wajah baru yang pe- nuh keoptimisan, tetapi miskin pengharapan. Sebagai guru, aku lebih mengerti, bagaimana untuk lebih banyak bersyukur, ber- latih menjaga nurani dan pikiran.

Setiap muridku berbeda. Ya, ada yang mudah menerima pelajaran, ada juga yang perlu kesabaran dan ketelatenan. Ada yang berasal dari keluarga mampu, tetapi juga tidak sedikit dari yang keluarga tak berpunya. Adakalanya aku harus marah, ada- kalanya juga aku harus tertawa. Yah... kini baru kupahami bagai- mana untuk menjadi dewasa. Ternyata setelah lima tahun berlalu, kini baru aku pahami.

Benarkan, semuanya mungkin. Seorang sarjana teknik pun, bisa menjadi guru fisika. Hahaha….bukan materi yang kukum- pulkan, tetapi, kepuasan batin. Puas saat melihat satu-persatu murid-muridku meraih mimpinya. Aku bangga pada kalian. Ingat, jangan lupakan guru kalian. Sekecil apa pun yang telah mereka bagi untuk kalian.

@pakguruAngga”

Klik ‘Terbitkan’.

Alhamdulillah, selamat murid-muridku, kalian telah bukti- kan padaku, pada semuanya. Kalian bisa. Jangan pernah menun- da belajar. Kututup laptop dan saatnya istirahat. Besok pagi, akan kumulai setiap perjalanan ini dengan keoptimisan dan se- nyum. Kata ibuku, bagikan satu senyuman, untuk sejuta tawa.

BIODATA PENULIS

Mochamad Yan Pandu Akbar lahir di Bantul, 14 Januari 1995. Yan bersekolah di SMAN 1 Yogyakarta, Jalan HOS Cokroaminoto, Yogyakarta. Alamat rumah di Perum Permata Griya Mandiri D-1, Kasihan, Bantul, telepon 081904022797

Aku duduk menyendiri di sudut lobi hotel. Kedua kakiku tak bisa tenang, tak bisa berhenti mengetuk lantai marmer yang telah jernih dipel oleh dua orang cleaning service. Mataku men-

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 173-186)