• Tidak ada hasil yang ditemukan

KASIH IBU SELEMBAR BATIK Dewi Oktavian

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 162-173)

tara mereka mengenakan baju serba tertutup dan tudung bagi kaum wanita yang mereka beri nama jilbab.

Kulitku yang putih dan kedua mataku yang hampir segaris, nampak mencolok di antara mereka. Namun sebagai pendatang, tak kurasakan kegelisahan yang biasanya membelenggu benak ketika setiap ragaku datang ke negeri orang. Kuhirup udara untuk kesekian kalinya. Udara yang khas, udara kehangatan yang meresap tanpa sisa oleh alveolusku. Udara yang merengkuh jiwaku yang sempat melayang akibat ayunan pesawat yang membuatku tertidur di sepanjang penerbangan. Matahari berada disinggasananya, jemari-jemarinya terbuka dan sinarnya me- nerpa pipiku begitu bersahabat. Akhirnya, aku kembali ke kota ini, Yogyakarta.

***

“Aku benar-benar selalu menyulitkan.”

Namja itu tersenyum, senyum yang ramah seramah kota kelahirannya. Namja adalah bahasa Korea yang berarti anak muda. Namanya Arjuna, namja asli Yogyakarta dengan aksen Jawanya yang khas meskipun fasih berbahasa Inggris.

“Sama sekali tidak, kawan. Justru aku sangat senang, ada seseorang yang mau singgah di rumahku yang sederhana itu, ya, walaupun hanya sementara,” katanya sambil memasukan koperku ke mobil silvernya yang terlihat tua namun mengkilat.

“Bagaimana kabar Korea?” “Baek Yeol telah menikah.”

Arjuna tertawa. Matanya akan selalu menyipit setiap ia mele- barkan mulutnya.

“Bagus sekali anak itu dapat beranjak dewasa juga. Tak mungkin aku lupa akan sifatnya yang kekanak-kanakan ketika kita di universitas dulu.”

“Jung Min, dia sekarang bekerja di Amerika,” kataku lagi, “profesor Park telah menikah seminggu yang lalu.”

“Astaga, aku benar-benar banyak ketinggalan info selama setahun belakangan ini, “Arjuna terkekeh.

“Dan kau sibuk mempersiapkan pernikahanmu yang tinggal sebulan lagi.”

Arjuna melirikku sekilas, ia tersenyum. Senyum yang selalu ditorehkannya setiap ia akan mengatakan itu.

“Bagaimana denganmu Myung Soo-sshi?”

Aku berdehem singkat, lebih tepatnya tak tahu harus men- jawab apa.

“Dari awal pertemanan kita di Universitas Seoul, aku belum pernah melihatmu bersama seorang wanita.”

Kali ini aku tersedak dan Arjuna sontak tertawa. Itulah reaksi Arjuna setiap berhasil membuatku kikuk tentang masalah

yeoja, sebutan bagi wanita dalam bahasa Korea.

“Kau tampan, pintar, dan materi tak perlu dipertanyakan. Sebenarnya tipe seperti apa yang kau cari?” katanya seakan mengajaku memilih tipe mobil atau rumah.

Aku menghela nafas. Aku bukanlah namja yang sibuk memi- kirkan tipe yeoja idamanku. Karena memikirkannya saja amat sulit. Bagiku tak ada yang mengisi kekosongan hatiku selain

omma, sebutan bagi ibu dalam bahasa Korea.

“Berhentilah menjelajah dunia ini,” kata Arjuna tanpa me- natapku.

Tangannya menggengam stir mobil dengan tegas, matanya terfokus pada jalan raya yang merapat. Kulihat dari kaca mobil, kami telah memasuki kawasan Malioboro. Kawasan ini tak ber- ubah, tetap ramai seperti saat setahun lalu aku mengunjunginya. “Mungkin benar kawan,” aku menunduk, sedikit berfikir, lalu berkata mantap,”aku telah memutuskan untuk menetap di kota kelahiranmu ini.”

Arjuna tak mengatakan apapun. Ia menggosok pelipisnya dan matanya menyipit. Mungkin ia sedang menimbang antara aku sedang mabuk atau sedang bergurau.

“Tidak, tidak. Bahasa Indonesia saja kau belum paham be- tul, Myung Sho-sshi.”

“Aku akan belajar! Lagi pula aku berbahasa Inggris dengan fasih.”

“Kau gila!” Arjuna menggelengkan kepalanya tak percaya. “Aku menyukai kota ini,” kataku sekali lagi mencoba meya- kinkannya.

“Kenapa? Ada jutaan kota indah di dunia ini. Kenapa harus Yogyakarta. Kenapa kau tidak memutuskan untuk memanfaatkan kepintaranmu untuk kota kelahiranmu saja kawan?”

Aku tahu Arjuna akan bertanya seperti itu. Pertanyaan itu amat mudah terlintas di benak seorang yang amat kritis seper- tinya. Setahuku, Arjuna adalah satu-satunya mahasiswa asing di Universitas Seoul yang memutuskan untuk kembali ke nega- ranya setelah kelulusan. Ia bercita-cita menjadi seorang menteri keuangan. Setelah menikah, dengan berbekal beasiswa ia akan melanjutkan S-1 di Universitas Gadjah Mada.

Ommaku pernah berkata, ‘cinta adalah sebuah perasaan yang tumbuh tanpa syarat’,” kataku dengan penuh percaya diri, “mungkin itulah yang kurasakan pada kotamu ini.”

“Aku tahu ada sesuatu yang belum terjawab olehmu, dan kau rasa hanya akan menemukan jawabannya di kota ini.”

“Ini semua salahmu,” kataku sedikit kesal, “kaulah yang memperkenalkan batik padaku.”

Arjuna tersenyum puas.

“Jangan salahkan aku. Adrenalinmulah yang bergerak,” katanya membuatku tertegun, “akhirnya aku tahu, kenapa kau tak rela untuk menikah.”

Ia menunjuk dahinya dengan jari telunjuk kanannya. “Bukan di sini yang salah, tetapi di sini,” ia menyentuh da- danya sendiri, “hatimulah yang terlalu beku, Kim Myung Soo.”

“Maksudmu?”

“Aku tidak bodoh kawan,” Arjuna mendengus singkat. Sejenak raut wajahnya berubah menjadi serius, tak kalah se- riusnya dengan Einsten yang mencoba menemukan rumus atom.

“Semenjak ibumu meninggal, kau berubah. Lebih tepatnya, hatimu berubah. Aku sempat menyerah. Kupikir tak ada yang dapat mencairkan hatimu. Ternyata aku salah, tak kusangka se- lembar batiklah yang dapat melunakan hatimu itu.”

Kali ini aku tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Ar- juna dapat menebak jelas apa yang sedang kupikirkan. Sebuah pertanyaan yang selama setahun terakhir tak kutemukan jawab- nya. Pertanyaan itu tercipta ketika aku pertama kali mengunjungi kota tua ini.

Akhirnya kami memasuki sebuah lapangan yang cukup luas, Arjuna menghentikan mobilnya. Kemudian aku dan Arjuna turun dari mobil. Kami memutuskan untuk berjalan kaki melewati jalan setapak. Jalan setapak ini telihat basah, mungkin semalam hujan telah mengguyur kampung ini. Kulihat kanan dan kiri jalan se- tapak ini dibatasi oleh pagar-pagar rumah yang terbuat dari bambu. Bambu-bambu itu dibuat menyilang sengaja dipotong hingga selutut kira-kira tingginya. Aku benar-benar telah me- masuki kampung Arjuna. Ia bilang namanya Ngasem, ya, ia ting- gal di daerah Ngasem.

Langit yang cerah, sekonyong-konyong mendung. Aku tak dapat menyalahkan siapapun. Kudengar dari berita TV, cuaca di dunia ini memang sedang tidak stabil. Tak hanya di Yogya- karta, terakhir kali aku ke Busan, kota tempat aku dilahirkan. Kira-kira empat bulan yang lalu lamanya. Cuaca di sana sedang tak menentu dan sering kali membuatku resah meskipun aku tak mempunyai keluarga lagi yang tinggal di sana. Ah, tentu saja, keluargaku satu-satunya adalah mendiang ibuku. Ibuku ada- lah orang tua, kakak sekaligus adikku yang telah membesar- kanku dan menyayangiku.

“Bagaimanapun juga, besok aku akan mengajakmu ketempat kau bisa menemukan jawaban dari pertanyaanmu itu.”

Aku menatap Arjuna yang berjalan berdampingan dengan- ku. Ya, semoga saja, kuharap aku segera menemukan jawaban- nya.

“Aku tak dapat berharap lebih,” kataku, “setahun aku memi- kirkan jawabanya, tetapi tetap saja buntu.”

“Sekarang lebih baik kau istirahat,” kata Arjuna ramah. Dan akupun tersadar, kami telah memasuki pekarangan ru- mah Arjuna. Sebuah halaman luas yang dapat dipakai para cong- gak bermain bola disore hari. Conggak adalah sebutan bagi anak muda Korean dan tentu saja, sebuah pohon mangga yang men- colok.

“Bagaimana rasa buahnya sekarang. Apakah semanis dulu?” Arjuna tertawa lagi.

“Kau akan merasakannya nanti,” katanya mengiming- imingiku sehingga membuat air liurku terasa bergetar.

Kubayangkan buah mangga yang manis itu berubah menjadi semangkuk patbingsoo. Rumah Arjuna sederhana, ukiran-ukiran tempo dulu dan lampu terasnya terkesan kuno. Kursi bambu terletak leluasa di teras rumahnya, sungguh terlihat nyaman. Ruang tamunya tak berubah, foto-foto keluarganya tergantung rapi di tembok dan di rak. Salah satu yang memikat mataku adalah foto almarhum kakek Arjuna. Arjuna pernah bercerita, katanya beliau dulu adalah seorang pahlawan di masa penjajahan Jepang.

***

“Bagaimanapun aku telah berjanji untuk mencoba menjawab pertanyaanmu itu?” tanya Arjuna.

Dia kemudian menatapku, berjalan dengan hati-hati, se- langkah demi selangkah membuatku menjadi penasaran.

“Ada seorang teman kecilku, Ratih namanya.”

Arjuna kemudian menatap jalan setapak ini lagi. Ia terse- nyum kepada seorang halmeoni yang memetik cabai di peka- rangan rumahnya sendiri. Halmeoni adalah sebutan bagi nenek dalam bahasa Korea. Aku mencoba menghargai adat kotanya yang tak jauh beda dengan adat Korea dengan sedikit mem- bungkuk dan tersenyum.

“Ini rumahnya?” tanyaku ketika kulihat Arjuna mendekati sang halmeoni.

Ia memasuki halaman rumah yang penuh dengan pohon cabai tersebut. Arjuna mengangguk, ia mendahuluiku. Ia berjabat tangan dengan halmeoni itu sebentar, dan aku mengikutinya, se- bagaimanapun caranya agar aku menjaga sikapku di kota orang. Mataku menyapu keseluruh perkarangan. Perkarangannya tidak begitu luas. Namun rumah yang terbuat dari bambu itu menarik perhatian mataku. Rumah itu terlihat lebih tinggi diban- dingkan rumah-rumah di sekitarnya. Bangunan rumah itu tidak menghadap persis ke selatan. Berbeda sekali dengan adat kami, rumah menurut kepercayaan leluhur kami harus dibangun berla- wanan dengan gunung dan menghadap selatan untuk menerima sebanyak mungkin cahaya matahari.

“Inggih.”

Mataku memperhatikan sosok tegap Arjuna yang tengah bercakap-cakap sebentar dengan halmeoni itu. Aku kurang me- ngerti apa yang mereka katakan. Bahasa Jawa mereka benar- benar sangat fasih, sedangkan aku baru mempelajari Bahasa Jawa sedikit sekali. Jujur saja, aku baru hafal hitungan satu sampai sepuluh dalam bahasa Jawa. Namun, kudengar Arjuna menyebut nama Ratih. Mungkin dia mencari teman wanitanya itu.

“Ayo masuk, Ratih menunggu kita.”

Aku menggangguk dan mengikutinya memasuki rumah bambu itu. Rumah bambu dengan gaya klasiknya menawan dengan ubinnya yang beraksen tua, ubin yang dicetak secara manual. Kudengar ubin semacam ini sudah sangat langka karena proses pembuatanya yang relatif lama. Karena kelangkaan pem- buatannya, harga perubinnya menjadi beberapa kali lipat dari harga ubin yang dicetak oleh mesin.

“Tempat apakah ini?”

Aku salah terka. Ini bukan rumah. Rumah bambu ini, terlihat lebih seperti sebuah industri rumahan. Puluhan lembaran batik dengan aksen beragam nampak terlipat dan berplastik. Batik-

batik itu tertumpuk di pojok ruangan. Sementara ruangan yang kurang lebih seluas 6x9 meter itu penuh dengan para yeoja yang melipat dan membungkus batik. Mereka terlihat cekatan. Ta- ngan-tangan yeoja yang terlihat lincah, kuat dan tangkas. Hal ini membuatku teringat pada mendiang omma-ku. Beliau sangat cekatan ketika melipat seragam SMA-ku. Tidak ada kata menge- luh, tangannya selalu terlihat kuat namun lembut saat membelai kepalaku. Tangan yang akan kuingat sepanjang waktuku.

“Perkenalkan ini temanku Ratih.”

Aku memandang gadis jawa tulen itu. Rupanya cantik dan wajahnya berkilau. Kulitnya kuning langsat. Ia tersenyum dan kami berjabat tangan.

“Apa dia bisa berbahasa Inggris?” bisikku pada Arjuna. Namun sepertinya Ratih mendengarnya dan yeoja itu terse- nyum.

“Tentu” jawab Ratih, membuatku tersenyum lega.

“Jadi, apa sekarang dia bisa menjawab pertanyaanku?” ta- nyaku pada Arjuna, dan kali ini Ratih lagi yang menjawab.

“Tentu,” Ratih pun mengajak kami dengan sopan, “mari ikut saya.”

Kami mengikutinya hingga belakang rumah bambu itu. Ba- nyak tongkat penyangga bergelantungan, tempat lembaran-lem- baran kain putih tergeletak dan nantinya akan dihias. Seperti sebuah metamorfosis. Kain putih kekuningan itu bertransformasi menjadi batik-batik yang indah dan berharga dengan membayar harga waktu yang tidak singat.

“Apa arti tatapan wanita terhadap batik?”

Kutatap Ratih yang kali ini tersenyum, meraih sebuah batik yang belum selesai dicanting. Kemudian, kepalaku menoleh ke Arjuna. Namja itu terdiam dan hanya memperhatikan Ratih yang kini berada satu langkah di depan kami.

“Sejak kecil, kasih sayang seorang ibu telah kami terima tanpa imbalan. Para ibu di adat kami seringkali menggendong anaknya dengan batik. Terkadang, hingga batik itu kusam

karena sudah dicuci berulang kali. Warna indahnya memudar oleh tangis dan kotoran kami sewaktu bayi. Para ibu tak akan mengeluh. Mereka akan mencuci batik itu lagi. Dengan tegar dan dengan kedua tangannya sendiri, beliau membersihkan dan menenangkan anak mereka yang menangis.”

Ratih membalik badannya. Wajahnya terlihat bercahaya. Ia pun berkata, “Mungkin makna sebuah batik, telah berge- ser di zaman modern ini. Kalian hanya memandangnya tak lebih dari sebuah seni. Namun, bagi para wanita Jawa zaman dahulu, batik adalah lambang kasih sayang dan perjuangan ibu terhadap anaknya.”

Aku menelan ludah. Omma?. Mungkinkah? Mungkinkah so- sok yang selama ini aku cari hingga penjuru dunia adalah, sosok

omma?

“Walaupun tersirat, namun nyata,” dapat kudengar Arjuna bergumam,”tak kusangka, makna selembar batik lebih dari mak- na ‘indah’.”

Sinar mata namja itu berubah. Terlihat begitu syahdu mata- nya dan dapat kumengerti ia mulai memahami apa yang kura- sakan.

“Kasih sayang seorang ibu, kau tak dapat membelinya. Na- mun kau dapat merasakannya dari lembaran batik.”

Ini semua terdengar begitu menyentuh. Ternyata aku salah jika aku menggambarkan proses pembuatan batik adalah sebuah proses metamorfosis. Namun kini aku menyadari semuanya. Ke- tika kita melihat proses pembuatan batik, seakan melihat proses bagaimana sentuhan dan turun tangan omma dapat membentuk kita yang polos hingga menjadi berharga. Kini aku terhanyut. Pikiranku melayang pada setahun yang lalu, saat pertama kali kuinjakan kaki di bumi Yogyakarta. Kulihat tangan seorang hal- moni yang telah keriput dan kurus. Dengan kuat tetapi lembut, ia mengangkat cantingnya tinggi-tinggi, menorehkan kesabaran dan keindahan, dalam kain polos yang nampak tak berharga itu. Namun raut wajahnya terlihat tidak tegang, dan tidak gusar.

Wajah itu terlihat penuh makna, pandangan mata yang seakan berarti sebuah teguran. Ternyata, sorot mata itu, bukan sorot mata seorang pecanting. Bukan juga sorot mata seorang halmoni

yang kelelahan. Namun, sorot mata seorang omma.

Semuanya terdengar begitu melegakan. Lega karena akhir- nya aku menyadari apa yang selama ini membelenggu hatiku. Aku, seorang namja yang telah berkelana kesana kemari untuk mencari sesuatu yang tak kuketahui apa. Dan kini aku menemu- kannya pada selembar batik, yaitu kasih sayang seorang omma. Aku mendongak. Langit nampak berawan. Sang raja api yang biasanya berkuasa dengan cambuk-cambuk cahayanya, kini terlihat bersembunyi ketakutan dibalik awan.

Bibirku merekah, tanpa sadar aku telah tersenyum. Senyum yang sama ketika omma menceritakan kisah humor yang menu- rutku tidaklah lucu. Senyum yang sama ketika omma memberiku sepotong kue sedangkan ia menahan lapar. Senyum yang sama ketika omma dipanggil ke sekolah karena kenakalanku. Senyum yang sama ketika omma membelai kepalaku lembut tatkala aku tak kunjung tidur. Senyum yang sama, tulus dan apa adanya. Aku menggeleng tak percaya. Merasa terharu, tetapi juga me- nyadari ini semua membuatku nampak bodoh. Bodoh benar aku. Bodoh karena akhirnya aku menemukan jawaban yang tak sesulit dari perkiraan. Akalku benar-benar telah mengelabuhi perasaan- ku. Kurasakan setetes air mata menggelitik pipi kiriku. Setetes air mata pertama yang keluar setelah kepergian omma.

Omma, apa kau melihatnya?”

Awan di atas sana bergerak kecil seakan mereka berusaha mendengar apa yang kubisikan.

Nareul bwa, lihatkah anakmu ini telah menangis hanya karena selembar batik.”

Tanganku bergerak, menyeka air di ujung mataku. Senyum kini merebak. Rasa gundah gulana dan resah yang selalu memba- yangi langkahku kini pergi. Mereka menghilang tanpa jejak dan

membawa segala penat yang menyelimuti mimpiku setiap ma- lam. Kini hatiku bergetar dengan leluasa dan bebas.

“Arjuna,” aku menatap Arjuna.

Namja itu menepuk pundakku ringan. “Ya, kawan?”

“Aku begitu rindu untuk kembali ke rumah.”

Kulihat Arjuna tersenyum lega. Ia menepuk pundakku lagi, namun kali ini benar-benar keras. Sungguh, bagai ia sedang me- mukulku dengan sebongkah batu. Aku mengaduh kesakitan se- kaligus kaget bukan main. Namun kudapati Arjuna justru ter- tawa.

“Kini Myung Soo yang asli nampaknya telah kembali,” Arjuna terkekeh dengan senangnya.

Aku menggeleng sebal.

Aigo, anak ini benar-benar mau mati rupanya.” ***

BIODATA PENULIS

Dewi Oktaviani lahir di Yogyakarta, 5 Oktober 1994. Dewi bersekolah di SMA BOPKRI 2, Jalan Jenderal Sudirman No. 87, Yogyakarta. Alamat rumah di JalanTeratai No. 23 Yogyakarta, telepon 087838295695

(1)

Mimpiku mungkin terlampau jauh, tinggi menyentuh langit di ujung titik ke tujuh. Membawaku melayang, menyapu luasnya

angkasa. Indah, seindah kuncup melati yang hendak tersenyum. Meski sebenarnya, mimpiku... hanya sederhana,

aku ingin menjadi guru ***

Guru. Kata nista macam apa yang membuat kedua orang tuaku begitu antipati mendengarnya.

“Kamu tahu kan berapa gaji guru. Mau kamu kasih makan apa anak istrimu. Buku. Sampai ubanmu menjamur. Apa setiap hari kamu mau makan kapur?”

Sejenak, aku ikut berpikir. Gaji guru berapa sih. Apa cukup buat makan dan kebutuhan sehari-hari besok. Trus kalau anakku minta ini itu. Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu hadir mem- bayangi. Memang kuakui, gaji guru tidaklah banyak, ya... Faktanya memang benar, gaji bapakku, bisa sepuluh kali lipat dari gaji guru-guruku yang bahkan besok sore sudah pensiun. Nahas, aku tersenyum pahit.

Tetapi, entah mengapa, aku terpanggil untuk menjadi se- orang guru. Tak peduli apa yang orang lain katakan tentangn guru yang kurasa aku begitu tergila-gila dengan mereka yang

GURU: SEBUAH ROMANTISME

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 162-173)