• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAMEN BISU Beladiena Herdian

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 153-162)

juga sepeda. Setelah besar aku pun tidur di kamar bekasnya. Sebelumnya aku tidur di kamar mama. Harus menunggu Mbak Dita kuliah di luar kota, baru aku bisa punya kamar sendiri. Mengapa tak dibangun kamar khusus untukku? Walau tak sebe- sar kamar Mbak Dita, tetapi itu adalah kamarku. Aku ingin me- miliki sesuatu yang sejak awal memang diperuntukkan bagiku. “Tak apa kan saling berbagi dengan kakak? Yang tidak di- pakai Mbak Dita pakailah. Yang kamu tidak pakai biar di pakai Mbak Dita. Kenapa kamu egois sekali?”

Itu pertanyaan yang sangat menjengkelkan, maka kujawab pula dengan penuh kejengkelan.

“Mbak Dita, tuh yang egois. Dia, kan nggak pernah mau pakai baju bekasku. Aku semuanya bekas Mbak Dita!” ketus kusampaikan isi hati.

“Kan, Mbak Dita badannya lebih besar dari kamu, masa pakai baju kekecilan. Lagipula bajunya masih bagus dan layak pakai.”

“Selalu itu alasannya!”

Aku tetap ngotot. Sebelum mama membelikanku motor, aku selalu naik bus walaupun menghabiskan waktu lebih lama karena bus melewati jalan raya yang tentu saja lebih jauh, dan juga sangat boros. Mama harus menambah uang perjalananku selain uang saku atau aku tak mau bersekolah. Pokoknya, aku tak mau naik sepeda bekas Mbak Dita, walaupun waktu tempuh dengan sepeda ke sekolah hanya sepuluh menit lewat jalan pintas. Naik bus tidak capek, terhindar dari terik matahari dan guyuran hujan. Lagi pula aku tak minta motor model baru yang mahal, bekas pun tak apa, asal bukan bekas Mbak Dita. Tetapi itu motor yang dibelikan khusus untukku.

“Kamu kan belum cukup umur, tidak bisa dapat SIM. Lagi- pula uang mama belum banyak. Sabar setahun lagi kenapa sih? Sekarang naik sepeda dulu, sehat dan hemat, uang transpornya ditabung untuk tambahan beli motor,” kata mama tersenyum sabar.

“Pokoknya nggak mau pakai barang bekas Mbak Dita. Rasanya tak adil.”

Dulu waktu Mbak Dita seusiaku tak perlu susah-payah

nggenjot sepeda. Begitu masuk sekolah menengah atas mama langsung membelikannya sepeda motor. Tak perlu mengalami kejengkelan seperti yang aku rasakan saat ini.

***

Gerimis tak juga reda. Halte mulai sepi. Orang menghilang satu per satu, terangkut kendaraan umum yang lewat. Langit menggelap, mendung bergulungan, hawa dingin menguap basah. Dalam kepungan cuaca yang semakin muram aku mulai takut. Bagaimana bila tinggal aku sendiri di halte ini. “Oh, semoga ada teman seperjalanan.” Keluhku dalam hati.

Sementara itu, dari seberang jalan seorang lelaki tua bermata senyap, menenteng sebuah gitar yang tak kalah tua. Menengok kiri kanan sebelum akhirnya mencapai halte. Sehelai uban jatuh dan nyangkut di bahu kemeja lusuhnya. Kulit pipinya dipenuhi kerut kering hasil terpaan waktu. Jemarinya memetiki senar pelan-pelan. Aku segera tahu ia seorang pengamen yang hendak bekerja di dalam bus.

Sebuah bus berhenti menurunkan penumpang. Tetapi bukan bus dengan jalur yang kutunggu. Maka aku pun menggeleng ketika kernet bus mengacungkan jari padaku. Kulirik si penga- men. Kalau aku menaiki bus itu, berarti aku akan kembali sendiri di halte ini, terjebak dalam kungkungan gerimis yang makin menderas. Seandainya aku mau naik sepeda pasti aku telah sam- pai dirumah. Sesalku bertambah.

Tetapi aku lebih ingin naik motor. Pasti sampai rumah lebih cepat dari hujan. Kenapa Mbak Dita dulu diperbolehkan naik motor padahal ia juga belum punya surat izin mengemudi. Lalu kenapa aku sekarang dilarang. Aku tak mau naik sepeda seperti anak sekolah dasar. Aku sudah remaja kini. Malu bila masih bersepeda, apalagi sepeda bekas Mbak Dita yang modelnya su-

dah ketinggalan zaman dan warnanya kusam. Atau karena mama membedakan kami. Mama lebih sayang pada Mbak Dita.

“Mama pilih kasih!” gerutuanku tak berhenti di dalam hati. Sementara pengamen itu diam saja di tempatnya, bersandar pada tiang halte. Melewatkan beberapa bus yang lewat. Apakah seorang pengamen memiliki tujuan khusus atau jalur tertentu. Bukankah ia bebas memasuki bus manapun asal bisa menyanyi dan mendapat bayaran alakadarnya. Aku mulai mengamati pe- ngamen itu. Walau denting gitarnya tak berhenti sejak tadi, ia tak juga menyanyi. Matanya memandang jauh. Entah pada apa. Bola matanya tak terbawa oleh laju kendaraan yang bersliweran. Tak seperti aku yang menengok kiri kanan mengamati semua yang lewat. Sekedar mengusir jemu menunggu.

Pandangnya kaku. Seperti menembus pohon-pohon dan ba- ngunan, seakan semua yang ada di depannya adalah kekosong- an. Mungkin ia sedang ragu pada kehidupannya sekarang. Men- jadi pengamen dalam usia setua itu. Apakah tak terlalu berat untuk tubuh ringkihnya. Kuhembuskan nafas berat, aku merasa kasihan padanya. Lalu aku mulai menduga-duga apakah ia punya rumah, memiliki keluarga, anak atau saudara. Kalau ada kenapa mereka tega membiarkan lelaki setua ini berkeliaran di tengah hujan. Bagaimana bila ia jatuh sakit atau celaka di jalan.

Lalu teringat kekhawatiran mama padaku. Beruntungnya aku, memiliki seseorang yang peduli pada keadaanku. Dibanding pengamen itu, kondisi kami boleh sama sekarang. Sama-sama sendiri menunggu bus di tengah hujan, tetapi aku memiliki tuju- an. Ada keluarga yang menunggu. Aku memiliki rumah untuk pulang. Sedang ia, entahlah. Aku semakin ingin cepat pulang. Seperti menjawab keinginanku. Bus yang kutunggu mendekat. Mengapa begitu terlambat. Apakah hujan ini menghambat atau ada sebab lain yang tak kutahu. Tak penting semua pertanyaan itu. Sekarang aku bisa pulang. Tak kusangka, pengamen itu ikut naik dalam bus yang kutumpangi. Padahal bus ini sepi penum- pang. Untuk apa memasuki bus dengan segelintir manusia? Bu-

kankah tak menguntungkan bagi seorang pengamen memasuki bus yang kosong.

Sebelumnya tadi ada banyak bus padat penumpang yang lewat. Berapa banyak receh yang bisa dikumpulkan di bus yang lebih banyak orang daripada bus yang kunaiki ini. Hanya ada tiga orang lelaki dan dua perempuan termasuk aku. Berapa pen- dapatan yang bisa dikumpulkan dari sekian banyak orang. Ku- rasa ada yang tak beres pada pikiran pengamen tua ini, sudah pikun atau mengidap keterbelakangan mental. Dia tak bisa mem- bedakan mana bus penuh dan kosong. Mana yang bisa mengha- silkan uang lebih banyak, bus kosong atau berpenumpang penuh. Mungkin oleh sebab itu hidupnya begitu susah. Lagi-lagi aku menduga-duga.

Aku duduk di samping supir. Menjauh dari pengamen tua yang mengambil posisi di antara barisan kursi belakang. Ia me- metik gitar dengan keras dan cepat. Memainkan lagu asal-asalan yang tak ada judulnya. Aku menunggu sebuah lagu dinyanyikan olehnya. Ingin tahu seperti apa lagu yang diiringi petikan gitar seriuh itu. Namun hingga genjrengan gitarnya selesai, tak sebuah kata pun keluar dari mulutnya. Ia tak menyanyi. Sungguh kehe- ranan aku melihatnya.

“Bapak itu bisu,” terujar kata-kata dari si supir bus. Terhenyak aku dari khayalanku. Sepertinya ia tahu kehe- rananku. Dengan tenang ia memutar setir, berputar mengikuti kelokan jalan. “Orang bisu kok ngamen, sih. Bukankah seorang tuna wicara biasanya tuna rungu pula. Ia tak bisa menyanyi dan mendengar petikan gitarnya sendiri. Keherananku bertambah besar. Kurasa aku lupa berkedip.

“Siapa bilang orang bisu nggak boleh ngamen? Kan tidak ada aturannya,” supir bus menjawab santai, setengah bercanda seakan dia membaca keherananku.

Benar juga pikirku. Tetapi rasanya tak tepat seorang yang tak punya suara mencari nafkah dengan pekerjaan yang menge- luarkan suara. Nyanyian pengamen tak perlu bagus, boleh

alakadarnya. Asal nyanyi juga bisa, setidaknya mengeluarkan suara. Jelek juga tak apa.

Di luar, hujan mengetuk-ngetuk kaca depan bus kota. Te- tesannya meleleh lalu diseka sepasang wiper yang bergoyang cepat ke kanan kiri berkali-kali. Berkali-kali pula berbagai pikiran tentang pengamen itu muncul. Pertanyaan yang sedari tadi me- menuhi pikiranku semakin berjejalan. Mencari jawab kepada siapa. Lagi pula apakah perlu aku mempertanyakan sesuatu yang sebenarnya tak ada hubungannya denganku. Sementara denting gitar kembali terdengar dari balik punggungku. Ternyata, si pengamen telah pindah tempat. Sekarang ia tepat di belakangku. “Kalau tak ada uang tak diberi juga nggak apa-apa, kok. Ia mengamen tak semata demi uang,” supir bus menyarankan.

“Ada, kok Pak. Saya cuma nggak habis pikir saja.”

Aku menyodorkan receh sisa uang jajan kepada pengamen tua yang disambut dengan anggukkan kepala tanda terima kasih. “Mau turun mana. Jangan melamun nanti rumahnya kele- wat, lho,” supir bus mengingatkanku yang masih termenung- menung.

“Kalau tak demi uang untuk apa ngamen, lagipula nggak bisa nyanyi. Kenapa nggak jadi pengemis saja?” kulontarkan se- buah pertanyaan pada supir bus.

“Pantang baginya mengemis. Selama masih ada yang bisa diperbuat, ia akan melakukannya. Apa saja yang penting halal. Asal tidak meminta-minta. Mengemis sementara badan pikiran bisa bekerja, itu perbuatan orang malas,” jawab supir bus tenang. Aku merasa malu. Teringat kemarahanku pada Mama. Ma- ma benar. Aku egois. Aku tak mau bersabar dengan permintaan yang pasti akan dipenuhi bila sudah waktunya. Selama ini semua kudapat dengan mudah tanpa harus melakukan apa-apa. Dan aku selalu lupa berterima kasih setelahnya, sedang pengamen bisu itu, dalam kerentaan dan kecacatannya saja, tak mau memin- ta-minta. Terus berusaha ia dengan kekuatan sendiri. Ia bersabar

dengan apa yang didapat walau tak seberapa. Pada recehan yang kuberikan pun ia berterima kasih.

“Ia pribadi yang mandiri, tak mau merepotkan siapapun. Ia juga seorang bapak yang hebat bagi anak-anaknya, menjadi pendorong untuk selalu berbuat lebih. Kecacatannya tak meng- hambat untuk berbuat,” supir bus menceritakan kisah sang pe- ngamen bisu padaku.

Supir bus menceritakan bagaimana pengamen bisu tersebut telah mengerahkan seluruh kemampuannya yang terbatas untuk ketiga anaknya. Terbayang olehku, betapa beratnya seorang ca- cat membesarkan tiga anak sendirian. Istri sang pengamen me- ninggal saat melahirkan anak ketiga. Keadaan perekonomian yang serba kekurangan membuat proses kelahiran menjadi tak tertolong. Makan saja susah, mana ada biaya ke rumah sakit. Akibatnya satu nyawa menjadi korban. Miris aku mendengar kisah itu. Aku terlahir dalam keluarga yang tak lengkap. Hanya ada aku, mama dan kakakku. Papa telah lama meninggalkan kami, bercerai dari mama. Hidupku tak sesulit si pengamen bisu dan ketiga anaknya. Aku bersyukur, mamaku wanita yang hebat, wanita karier yang tangguh. Aku tak pernah merasakan lapar atau kekurangan, hanya saja aku telah begitu manja dan tak tahu diri. Sekarang aku menyadari kesalahanku. Kalau aku diperlaku- kan berbeda dengan Mbak Dita, itu pasti karena kebutuhan kami yang tak sama. Bukan karena pilih kasih atau tak adil. Sekolah Mbak Dita jauh. Naik sepeda bisa berjam-jam. Tak dilewati jalur bus pula. Jadi keputusan Mama memperbolehkan Mbak Dita naik motor walau belum punya SIM itu terpaksa dilakukan ka- rena mama tak mungkin mengantar-jemput. Ia harus ke kantor. Aku yakin Mbak Dita sendiri pun tak nyaman mengendarai ken- daraan tanpa surat izin karena itu melanggar hukum. Tetapi mau bagaimana lagi, tak ada jalan lain. Lagi pula walau tanpa SIM, Mbak Dita tetap taat lalu lintas. Sewaktu naik kelas dua, Mbak Dita punya SIM dan ia sering mengajakku jalan-jalan keli-

ling kota. Aku jadi kangen Mbak Dita. Kalau bertemu nanti aku ingin memeluknya lama sekali.

Bus berhenti di depan pasar. Pengamen bisu hendak turun. Ia menghampiri supir. Kukira hendak membayar ongkos per- jalanan. Tetapi ia hanya memberikan tangan kosong yang disambut dengan salam sungkem oleh supir bus. Aku melongo melihat adegan cium tangan supir bus kepada lelaki tua itu.

“Dia bapak saya,” ujar supir bus itu.

Aku terhenyak sejenak mendengar suara supir tersebut. Namun, segera aku berusaha menghilangkan raut muka heranku. Jelaslah bagiku mengapa supir bus begitu paham akan kisah si pengamen bisu. Juga mengapa lelaki tua itu begitu pemilih pada bus yang akan dinaiki. Aku menangkap gambaran kasih sayang seorang orang tua pada anak, pun sebaliknya. Sejenak aku di- rundung keharuan yang begitu dalam. Apa yang telah kulakukan pada mama pagi ini. Aku membentaknya.

Jendela bus berembun oleh hujan, begitupun mataku oleh airmata yang mengambang di kelopak. Aku didera rasa bersalah yang luar biasa pada mama dan kakakku. Tuduhanku pada me- reka tidaklah benar. Mbak Dita memang selalu mendapat lebih dulu, tetapi Mbak Dita pun memberi hanya untukku. Cuma aku yang dibawakan oleh-oleh bila ia pulang kala liburan. Entah itu cokelat atau sebatang pensil. Dan Mama, bukankah ia selalu me- nyediakan makanan kesukaanku. Aku selalu mendapatkannya kapan pun aku mau, saat sarapan atau pun, makan malam,tanpa perlu aku menyebut nama makanannya. Aku memang tak bisa lebih dulu dari Mbak Dita untuk mendapat pemberian mama. Tetapi dalam hal kasih sayang dan perhatian mereka selalu men- dahulukanku. Bagaimana bisa aku melupakan semua itu. Setelah kuingat-ingat aku tak pernah memberikan apapun pada kedua- nya. Yang kulakukan selama ini hanyalah mengeluh saja. Kesa- daran membuat hatiku terasa ringan. Tak ada lagi beban keingin- an yang menyiksa. Kepada mama dan Mbak Dita ingin segera kusampaikan kata maaf.

Tertinggal oleh deru bus kota, seorang lelaki renta terseok memanggul gitar tua. Terus berjalan dalam nyanyi sunyi. Ber- sama debu-debu yang telah berubah menjadi jamur musim hujan. Ia melangkah dengan denting gitar tanpa lagu. Menuju batas usia tanpa kata-kata.

***

BIODATA PENULIS

Beladiena Herdiani lahir di Yogyakarta, 10 November 1995. Beladiena bersekolah di MAN Maguwoharjo, Depok, Sleman Yogyakarta. alamat rumah di Pogung Dalangan SIA XVI VII/178, Jalan Kaliurang Km. 5, Yogyakarta, telepon 083867631160

Mereka bilang, seharusnya aku pergi ke Pulau Bali. Sebuah pulau kecil yang kata mereka mempunyai panorama sunset yang tak kalah indahnya seperti di pulau Jeju. Atau, seharusnya aku ke Jakarta, sebuah ibu kota dengan gedung-gedung pencakar langit yang tak kalah tinggi dan gagah seperti di Seoul. Ah, tentu tak luput dengan Sumatra Utara yang terkenal dengan Danau Toba.

Senyum kecil tertoreh di bibirku begitu saja. Banyak tempat yang indah dan mencengangkan di Indonesia, bahkan di dunia. Sebagai laki-laki dengan jiwa petualang sejati, sesuatu dalam diriku selalu bergejolak untuk mengunjungi kota-kota terindah di dunia. Namun tetap saja, pada akhirnya aku memilih untuk kembali mengunjungi kota tua ini. Kota ini tetap terlihat klasik di tengah berkembangnya teknologi. Kota dengan bangunan tua yang menyebar dari ujung ke ujung. Kota dengan matahari- nya yang mencoba untuk selalu tersenyum menyapa rakyat mes- ki dimusim penghujan. Kota yang penuh dengan kesederhanaan, namun sangat merindukan. Di sana aku sekarang. Berjalan tanpa gentar bak pahlawan, disongsong oleh decit suara kecil yang berasal dari koperku, disapa oleh puluhan curi pandang mata manusia yang rata-rata berkulit sawo matang. Beberapa di an-

KASIH IBU SELEMBAR BATIK

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 153-162)