• Tidak ada hasil yang ditemukan

MATAHARI SEGITIGA Ambar Fidianingsih

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 126-135)

Tiba-tiba ia melihat sebuah celah di air terjun lalu iapun masuk ke dalamnya. Suasana lembab sangat terasa di bawah air terjun itu. Cha kembali menggigil kedinginan. Ia ingin pergi ke- luar, namun ia kembali teringat gemerisik daun-daun yang me- ngerikan. Ia melangkah ke belakang dan menginjak sesuatu yang aneh.

“Hey, Nona. Hati-hati jika berjalan!” ujar sesuatu di bawah Cha.

Cha menoleh ke bawah lalu dengan segera ia menutup mu- lutnya agar tidak berteriak. Namun apa daya, suara teriakannya tetap keluar.

“Kodok!”

“Nona, suaramu keras sekali!” ujar seekor kodok di bawah Cha menutup telinganya.

“Ini gila!” teriak Cha.

Kodok berbicara. Itu yang kini ada di hadapan Cha. Hewan tersebut terlihat seperti manusia mini berkulit hijau yang ber- wajah tak normal.

“Kau yang gila, anak muda. Tak bisakah kau menemukan perbedaan antara kodok dan katak? Aish... Ckckck,” katak hijau itu mengumpat pelan lalu melompat ke dalam kerumunan air dingin nan segar yang jatuh dari atas.

***

“Cha, sudah berapa kali kau harus diingatkan. Jangan tidur di dalam kelas. Bagaimana bisa kau selalu tidur di dalam kelas?” suara yang tegas itu menyakitkan telinga Cha.

Lalu, Cha melihat secercah cahaya putih dan ruang kelas Cha pun muncul. Oh, Cha ternyata tertidur di dalam kelas.

“Ya. Ah, maaf.”

Cha mengedip-kedipkan matanya karena silau dengan cahaya putih yang datang dari lampu kelas. Beberapa saat kemu- dian gemuruh tawa terdengar dari para siswa, kecuali Sala yang duduk di samping Cha. Siswi yang malang itu hanya dapat mene-

puk dahinya pelan, meratapi nasibnya yang harus duduk dengan anak “gila” versi para siswa di sekolahnya.

“Sudah parah kau mengidap disleksia. Kini kau juga

sleepsleksia, hah?” Ibu guru tampak kesal. Ibu guru bahkan me- nambahkan kata “sleepsleksia” yang sama sekali tak ada artinya hanya untuk menyindir kebiasaan tidur Cha di dalam kelas.

“Baiklah, sekarang jawab pertanyaan ibu. Apa yang kau ketahui tentang hewan amfibi?” ibu guru membombardir Cha dengan pelajaran biologi dasar.

Aneh, ini pelajaran matematika. Mengapa ibu guru memberi soal semacam itu.

“Amfibi? Katak? Euh, dia berkulit hijau, bermata besar, ber- kaki dua, berlengan dua, dan dia sangat galak,” jawab Cha pelan. Sedetik kemudian tawa kembali bergemuruh di kelas Cha. Cha pun tertunduk menyembuyikan semburat merah yang ke- luar dari pipinya karena malu. Ia hanya berkata apa yang ia ketahui. Katak itu galak, benarkan? Itulah yang Cha lihat da- lam...mimpinya.

Di siang hari yang terik, dengan tas yang bergoyang di punggung, Cha masuk ke dalam kamarnya. Ia melempar tasnya, sepatunya, hingga jaketnya. Lalu seperti biasa, Cha melempar dirinya ke sebuah lautan kapas berselimut seprai berwarna biru. “Kau sudah pulang?” tanya seorang wanita paruh baya dari balik pintu.

“Mmm...,” jawab anak berseragam sekolah itu yang kini terbaring di kasur.

“Kau tertidur lagi di kelas?” tanya wanita paruh baya yang merupakan Ibu kedua bagi Cha.

Ya, ibu kedua yang berarti pengasuh. Lalu kemanakah ibu pertama Cha. Ia sudah pergi ke surga semenjak Cha kecil. Begitu pula dengan Ayahnya.

“Aku yakin kau sudah tahu,” jawab Cha dengan nada malas. “Kalau begitu bangunlah dan segera pergi ke...”

“Psikiater lagi. Cih, Jangan harap. Aku tidak gila, Bibi Yen,” potong Cha pada pengasuhnya sejak kecil itu.

Cha sudah sering pergi ke ahli syaraf untuk terapi dislek- sianya. Hubungan antara Cha dan ahli syaraf itupun tidak terlalu baik. Bibi Yen pun terlalu panik karena perkembangan terapi Cha yang tak kunjung membaik. Akhirnya bibi Yen yang kini berada ditengah ketakutan akan gunjingan tetangga tentang Cha memutuskan untuk membawa Cha ke seorang psikiater. Tentu saja hal ini membuat Cha merasa sedikit terhina.

“Jika kau tidak pergi, kau tidak akan mendapat makan ma- lam,” ancam bibi Yen dengan tegas.

“A…apa, aish. Baiklah.”

Cha akhirnya terpaksa mengalah karena tak mau santapan makan malamnya lenyap. Di ruangan serba putih, Cha duduk diam tak bergeming. Ia hanya memperhatikan jarum jam dinding yang terus berputar. Sementara sosok di depan Cha hanya ter- diam menyaksikan pemandangan di depannya.

“Baiklah. Kita sudah bertemu selama seminggu ini, Nak. Kau pun jarang membuka mulutmu untuk berbicara. Katakan, apakah kepalamu sekeras batu. Aku rasa kini aku mengerti me- ngapa bibimu menganggapmu kurang waras,” ujar sosok di de- pan Cha.

Cha hanya melirik sebentar ke arah psikiater di depannya lalu kembali memfokuskan pandangannya pada jam dinding.

“Bibi tidak pernah peduli padaku. Aku tak seharusnya ada di sini. Ia mengantarku ke sini hanya karena takut akan gunjingan tetangga tentangku. Oh, apa paman akan percaya pada setiap perkataanku?” tanya Cha dengan pelan.

“Hmm, kau tadi bilang apa?” psikiater bijak itu kurang me- ngerti.

“Ah, aku tak suka mengulang pertanyaan yang sama. Jadi tolong dengarkanlah. Apakah Paman akan percaya pada setiap perkataanku?” seru Cha dengan sedikit keras.

“Hei, anak berkepala batu. Tentu saja aku akan percaya,” ujar Paman To lalu tertawa.

“Apa paman percaya bahwa katak dapat berbicara?” “Sama seperti saat kau bertanya apakah matahari berbentuk segitiga. Tentu saja tidak. Katak tak bisa berbicara, Nak.”

“Kalau begitu apakah paman percaya bahwa setiap aku membaca, semua huruf-huruf tampak berlari. Itu semua sangat membingungkan,” ujar Cha dengan nada pelan.

“Hahaha. Apa yang kau bica….,” seketika Paman To meng- hentikan perkataanya.

Ia tampak mengingat sesuatu. Huruf-huruf tampak berlari? ***

Cha adalah seorang siswi yang sedikit normal menurut te- man-temannya itu kini duduk di kursi. Sedikit normal? Oh, ya tentu saja. Disleksia telah membuatnya dijuluki anak bodoh. Mes- kipun sebenarnya disleksia yang diderita Cha tidak terlalu parah. Ia hanya kesulitan dalam membaca dan menulis, selebihnya baik- baik saja. Ia juga anak yang keras kepala sehingga julukan “anak bodoh” tak terpakai lagi. Semua teman Cha kini telah menemu- kan julukan lain yang lebih ekstrim. Gila. Cha adalah anak “gila”. Ya, itu sudah menjadi nasib Cha. Seorang murid kelas 1 SMP yang masih belum bisa membaca dengan benar. Kebiasaan tidur di kelas sudah menjadi permakluman bagi semua teman dan gurunya, bahkan semua penghuni kelas sudah pasti meng- acuhkannya. Jangan lupakan tentang imajinasinya yang sejauh galaksi andromeda itu.

Sesuatu yang misterius adalah mengapa Cha bisa menginjak ke bangku SMP padahal ia masih terbata dalam membaca. Banyak yang mengira bahwa Cha bekerja sama dengan seorang paranor- mal ketika ujian berlangsung supaya mendapat nilai yang baik. Padahal itu semua tidak benar. Bibi Yenlah dalang di balik semua ini. Ia dengan rela selalu memohon pada guru-guru Cha untuk memberi nilai lebih tanpa sepengetahuan Cha. Karena guru-guru merasa kasihan pada Cha, maka merekapun melakukannya.

Cha kini sedang mengamati buku yang ada di depannya. Dengan sampul kuning dan gambar kalkulator, buku itu terlihat bersih dan rapi. Hal itu menunjukkan bahwa buku tersebut ja- rang dibuka. Jarang dibuka bukan berarti tidak pernah. Matema- tika, begitulah judul buku itu. Namun, Cha tetap tak mengerti mengapa semua orang melafalkan tulisan tersebut dengan “ma- te-ma-ti-ka”. Baginya sepuluh huruf alfabet itu terkadang bertu- liskan “mati ke mata”. Lalu setiap melihatnya, mata Cha akan terasa perih. Angka-angka tak jelas yang berjejeran dan simbol- simbol tak jelas berkumpul menjadi satu. Semenit kemudian mata Cha segera terpejam dan ia masuk ke dalam kehidupan lain yang menurutnya agak mengerikan.

“Cha! Cha! Ayo bangun!” Sala menggoyangkan punggung Cha dengan sedikit keras.

Cha terbangun dengan sedikit bingung. Oh! Dia tertidur lagi di kelas.

“Cha pulanglah lebih awal! Ada yang menunggumu,” ujar ibu Guru pada Cha.

Cha yang kebingungan sekaligus senang hanya menuruti perkataan ibu Guru untuk segera pulang.

“Maaf telah mengganggu pelajaranmu,” sambut Paman To dengan senyuman bijak.

“Permintaan maaf telah diterima,” balas Cha dengan singkat.

Paman To tersenyum mendengar balasan pedas dari Cha. “Hmmm..., sejauh ini semua orang berkata bahwa kau anak gila. Bahkan bibimu juga berkata begitu. Padahal itu semua tidak benar. Kau hanya terperangkap,” ujar Paman To membuka pem- bicaraan.

Memang benar. Cha bukan orang gila. Dia hanya terjebak dalam suasana tak menguntungkan yang merembet ke berbagai masalah, disleksia. Ya, itu karena disleksia.

“Aku rasa itu benar,” ujar Cha sambil menyamankan posisi- nya di sofa ruang tamu rumahnya.

“Aku akan memberitahumu sebuah rahasia,” ujar Paman To pelan.

Seketika mata Cha membulat mendengar kata ‘rahasia’. “Ceritakanlah,” ujar Cha singkat dengan nada penasaran. “Semua orang hebat pernah merasa gila. Kau juga orang yang hebat, Cha,” ujar Paman To mengambil sebuah buku dari dalam tasnya.

“Jadi secara halus kau ingin berkata bahwa aku gila?” jawab Cha dengan nada menyindir.

“Suatu hari, seorang lelaki.”

“Ya, Paman. Apakah kau akan mendongeng? Hentikanlah!” ujar Cha dingin.

“Kau masih belum lancar dalam membaca, Cha. Jadi biar- kanlah aku yang bercerita,” ujar paman To lalu mulai bercerita. Cha diam untuk sejenak dan memutuskan untuk mende- ngarkan.

***

Suatu hari, seorang raja yang bernama Hiero II memerin- tahkan ahli emas untuk membuatkannya mahkota. Namun, se- telah mendapatkan mahkotanya, Raja Hiero II merasa ragu apa- kah mahkotanya terbuat dari emas asli atau mendapat campuran dari perak. Iapun meminta seorang lelaki bernama Archimedes untuk menelitinya. Archimedes sangat bingung dengan keada- annya sekarang. Iapun memutuskan untuk berendam di peman- dian umum. Saat ia termenung di dalam bak, ia menyadari bahwa air di dalam baknya tumpah keluar sesuai dengan besar badan- nya. Iapun menyadari bahwa efek ini dapat memecahkan masa- lah yang di hadapi Raja Hiero II. Saking senangnya, Archimedes langsung melompat dari bak tanpa mengenakan pakaian dan berteriak ‘Eureka’. Semua orang terheran-heran melihat tingkah sintingnya itu. Namun, Archimedes tak mempedulikannya. Sam- pai di istana, Archimedes memulai eksperimennya. Ia memasuk- kan emas asli bermassa sama dengan mahkota yang diinginkan

Raja ke dalam air. Ia juga memasukkan mahkota raja yang diang- gap palsu.

“Wah! Mahkota ini hanya sedikit menumpahkan air se- dangkan emas ini menumpahkan air lebih banyak. Itu berarti massa jenis mahkota ini berbeda dengan massa jenis emas murni.” Archimedes pun menyimpulkan bahwa pembuat mahkota telah berbuat curang dengan menambahkan bahan tambahan untuk mahkota raja. Selain berjasa pada raja Hiero II, Archime- despun telah berjasa menemukan berbagai rumus yang berguna bagi kehidupan manusia.

***

“Tingkah Archimedes yang mungkin tergolong sinting itu ternyata membuahkan hasil yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, Cha. Lalu bagaimana denganmu. Apa kau merasa sin- ting?” Paman To mengakhiri ceritanya.

“Aku merasa sinting harus mendengarkan sejarah seperti itu,” ujar Cha pelan tampak ragu.

“Jika kau mau, aku akan bercerita lagi tentang ibumu yang juga pernah terjebak dalam situasi tak menguntungkan seperti dirimu,” Paman To menambahkan.

Kali ini Cha tertawa seperti menyadari sesuatu. Apakah itu berarti ibu Cha juga pernah menderita disleksia? Tetapi setahu Cha, ibu Cha adalah sosok hebat yang tak memiliki kesulitan apapun, termasuk membaca. Bahkan beliau sering mendongeng untuk Cha. Lalu apakah itu berarti Cha dapat terlepas dari dislek- sia seperti ibunya? Cha pun tersenyum.

“Tidak perlu. Aku sudah tahu apa yang akan kulakukan,” ujar Cha dengan pasti.

“Berendam seperti Archimedes?” canda Paman To. “Tentu saja bukan itu,” kilah Cha.

“Pertama, aku akan berbaikan dan menemui paman ahli syaraf waktu itu,” ujar Cha dengan mantap.

Ia menatap ke arah jendela yang telah diterobos oleh cahaya hangat matahari lalu tersenyum sehangat cahaya itu.

“Begitulah aku menghabiskan waktu empat tahun untuk membuat huruf-huruf yang berlari itu berhenti. Itu sangat mele- lahkan. Kini semua tulisan tampak normal bagiku. Begitu pula denganku. Aku tampak sedikit normal bagi orang lain.

Hal yang kini masih kupercaya adalah matahari itu segitiga. Aku percaya, seberapa pun orang menyangkalnya. Aku percaya bahwa katak dapat berbicara. Aku percaya itu semua seberapa pun orang mengira aku masih menyisakan secangkir sinting da- lam diriku.

Pembaca yang sinting, maksudku terhormat, percayalah bahwa matahari itu berbentuk segitiga. Tetapi itu hanyalah kias- an. Maksudku percayalah bahwa hal yang tak mungkin... mungkin akan terjadi.

~Tertanda Cha~ “

Cha menutup buku karangannya yang kini menjadi best- seller di hampir seluruh kota. Ia tersenyum dan kembali teringat pada ucapan Paman To. Setiap orang hebat mungkin pernah merasa gila. Dalam hal ini, gila berarti frustrasi. Cha pun pernah merasakannya. Satu hal yang selalu Cha katakan pada orang lain, yaitu matahari itu segitiga yang berarti hal mustahil mungkin akan terjadi.

***

BIODATA PENULIS

Ambar Fidianingsih lahir di Pasuruhan, 1 Februari 1997. Ambar bersekolah di SMA N 1 Sedayu, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Alamat rumah di Sungapan, Argodadi, Sedayu, Bantul, Yogyakarta, telepon 082137334739

Di emperan toko aku masih berdiri, tak bergeming, meman- dang deraian hujan yang dengan antusias turun membasahi kotaku. Dinginnya angin yang membuatku menggigil, mendo- rongku tuk membuat sedikit kehangatan dengan menggosok- gosokkan kedua telapak tanganku. Menyesal sekali diriku me- ninggalkan payung hitam di ruang tamu. Andaikan kurela ber- susah payah sedikit untuk membawanya, pastilah saat ini sudah sampai diriku di tempat tujuan. Aku terdorong untuk menerobos hujan, tetapi ah, kerentaanku membuatku hanya bisa menatap jemari kakiku yang keriput yang tersiksa karena terus-menerus kutekan untuk meredam rasa dingin yang bertubi-tubi menyer- buku.

Sepasang remaja berdiri di sampingku ikut berteduh. Me- reka saling bergandengan tangan dan bercakap hal yang lucu hingga membuat tawa yang sesekali terlepas dari bibir mereka. Senang rasanya melihat kemesraan manis mereka, tetapi lama- lama iri juga diriku. Aku pernah merasakan manisnya madu per- nikahan bersama biduaniata pujaanku, Sumiyati. Tahun pertama, tahun kedua, hingga tahun ketiga kunakhodai bahtera rumah tanggaku dengan mulus, badai-badai yang sesekali menerjang bisa kami redam dengan baik. Sayang seribu sayang, di awal tahun keempat pernikahan kami, Sumiyati memutuskan untuk

URIP

Dalam dokumen MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp (Halaman 126-135)