• Tidak ada hasil yang ditemukan

Policy Paper

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Policy Paper"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Tim Penyusun

Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR Sektor Kelautan dan Perikanan

Penasehat

Prof. Armida S. Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Kepala Editor

U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas Koordinator ICCSR

Edi Effendi Tedjakusuma, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas Editor

Irving Mintzer, Syamsidar Thamrin, Heiner von Luepke, Tilman Hertz Laporan Sintesis

Koordinator Penyusun untuk Adaptasi: Djoko Santoso Abi Suroso Basis Saintiik dan Laporan Sektor

Penyusun: Hamzah Latief, M. Suhardjono Fitrianto Tim Pendukung Teknis

Chandra Panjiwibowo, Edi Riawan, Hendra Julianto, Leyla Stender, Tom Harrison, Ursula Flossmann-Krauss

Tim Administrasi

(4)
(5)

uCAPAn TeRimA KAsiH

Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) bertujuan untuk memberikan masukan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2009-2014 berkaitan dengan perubahan iklim, serta sebagai masukan pada RPJMN berikutnya hingga tahun 2030. Dokumen ini memberikan arahan detail dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor kehutanan, energi, industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Sudah merupakan kebijakan dari Bappenas untuk mengakomodasi peluang dan tantangan di sektor-sektor tersebut melalui perencanaan pembangunan dan koordinasi antara kementerian dan badan terkait secara efektif. Dokumen ini bersifat dinamis dan akan selalu diperbaharui berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang timbul dalam menghadapi perubahan ikllim di masa mendatang. Perubahan dan penyempurnaan dari dokumen ini akan dilakukan melalui konsultasi partisipatif antara para pemangku kepentingan.

Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Armida S. Alisyahbana selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas dukungan yang diberikan. Juga kepada Bapak Paskah Suzetta selaku mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappeanas yang menginisiasi dan member dukungan dalam pembuatan dokumen ICCSR, serta kepada Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang telah menginisiasikan dan mengkoordinasikan pembuatan dokumen ICCSR ini.

Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku kepentingan di bawah ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan dokumen ICCSR Sektor Kelautan dan Perikanan, dedikasi serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih setinggi-tingginya:

Komite Pengarah

Deputi Kerjasama Internasional, Kementerian Koordinasi Perekonomian; Sekretaris Menteri, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Deputi Menteri Bidang Kependudukan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Sekretaris Jenderal, Kementerian Kelautan dan

Perikanan; Sekretaris Utama, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geoisika; Deputi Bidang Ekonomi,

Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Kelompok Kerja

Kementerian Kelautan dan Perikanan

(6)

iv

Bambang Adi, M Yusron, Setiawan

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas

Sriyanti, Yahya R. Hidayat, Bambang Prihartono, Mesdin Kornelis Simarmata, Arum Atmawikarta, Montty Girianna, Wahyuningsih Darajati, Basah Hernowo, M. Donny Azdan, Budi Hidayat, Anwar Sunari, Hanan Nugroho, Jadhie Ardajat, Hadiat, Arif Haryana, Tommy Hermawan, Suwarno, Erik Amundito, Rizal Primana, Nur H. Rahayu, Pungki Widiaryanto, Maraita, Wijaya Wardhana, Rachmat Mulyanda, Andiyanto Haryoko, Petrus Sumarsono, Maliki

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geoisika

Edvin Aldrian, Dodo Gunawan, Nurhayati, Soetamto, Yunus S, Sunaryo Universitas dan Profesional

ITB: Safwan Hadi; Dishidros, TNI-AL: Letkol Ir. Trismadi, MSi.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun administrasi dalam proses penyelesaian dokumen ini.

(7)

Kata Pengantar menteri Perencanaan

Pembangunan nasional/ Kepala Bappenas

Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu

rata-rata global melebihi 2˚C, atau dengan kata lain menurunkan emisi

tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun 2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon

international yang solid – aksi kolektif untuk menghindari konl ik

antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.

Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua, emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi

geograi snya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian

yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko.

Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau

memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintii k yang tidak

terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa maupun individu.

(8)

vi

segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global

bumi. Kita telah meratiikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi

perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat penting. Namun sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan strategis dan penetapan prioritas.

Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR, dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.

Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,, yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor.

Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(9)

Kata Pengantar dari Deputi menteri Bidang sumber

Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas

Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan oleh sebagian pembangkit yang masih menggunakan bahan bakar tidak terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari intensitas energi kita yang tinggi.

Dengan lokasi geograi snya yang unik, di antara negara-negara di dunia kita termasuk salah satu negara

yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran terhadap hal ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut, banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan, maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air, penurunan hasil pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di daerah pesisir pantai.

Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentii kasi

upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang.

Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(10)

viii

DAFTAR isi

Tim Penyusun i

Ucapan Terima Kasih ii

Kata Pengantar dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas iv

Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan

Lingkungan Hidup, Bappenas vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR SINGKATAN xvi

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan dan Sasaran 5

1.3 Pendekatan 7

1.3.1 Kerangka Kerja 7

1.3.2 Analisis Saintiik 10

1.3.3 Proses Partisipasi Pemangku Kepentingan 11

2 KONDISI, PERMASALAHAN, DAN TANTANGAN

SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN 12

2.1 Wilayah Kelautan, Interaksi dan Fungsinya 12

2.2 Potensi Sektor Kelautan dan Perikanan 14

2.2.1 Potensi Perikanan 15

2.2.2 Potensi Jasa Kelautan dan Kemaritiman 20

2.3 Kondisi dan Permasalahan Sektor Kelautan dan Perikanan Saat Ini 24

(11)

2.3.2 Permasalahan Kelautan dan Perikanan 25

2.4 Respon Kapasitas terhadap Perubahan Iklim Saat Ini 27

2.4.1 Respon Kelembagaan Saat Ini 27

2.4.2 Kerangka Hukum dan Kebijakan Tingkat Nasional Saat Ini 30

2.5 Bahaya Perubahan Iklim terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan 32

2.5.1 Kenaikan Temperatur Udara dan Temperatur Permukaan Laut 35

2.5.2 Peningkatan Frekuensi dan Intensitas Kejadian Cuaca Ekstrim 38

2.5.3 Perubahan Pola Curah Hujan dan Limpasan Air Tawar yang Dipicu oleh

Perubahan Pola Variabilitas Iklim 42

2.5.4 Perubahan Pola Sirkulasi Angin dan Arus Laut yang Dipicu

oleh Perubahan Pola Variabilitas Iklim 46

2.5.5 Kenaikan Muka Air Laut 52

2.5.6 Catatan dan Ringkasan Analisis Bahaya 57

2.5.7 Resume Bahaya yang Dipicu oleh Perubahan Iklim di Setiap Wilayah 61

2.5.7.1 Wilayah I Pulau Sumatera dan Sekitarnya 61

2.5.7.2 Wilayah II Pulau Jawa-Madura-Bali dan Sekitarnya 64

2.5.7.3 Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara 67

2.5.7.4 Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya 70

2.5.7.5 Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya 71

2.5.7.6 Wilayah VI Kepulauan Maluku 73

2.5.7.7 Wilayah VII Pulau Papua Bagian Barat dan Sekitarnya 74

2.6 Isu-Isu Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan Terkait Perubahan Iklim 76

3 KERENTANAN SEKTOR KELAUTAN DAN

PERIKANAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM 81

(12)

x

3.2 Deskripsi Kuantitatif dan Kualitatif Kerentanan Sektor

Kelautan dan Perikanan di Setiap Wilayah 89

3.2.1 Wilayah I Pulau Sumatera 91

3.2.2 Wilayah II Pulau Jawa-Madura-Bali dan Sekitarnya 92

3.2.3 Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara 93

3.2.4 Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya 93

3.2.5 Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya 94

3.2.6 Wilayah VI Kepulauan Maluku 95

3.2.7 Wilayah VII Pulau Papua Bagian Barat dan sekitarnya 96

4 POTENSI DAMPAK DAN RISIKO PERUBAHAN

IKLIM TERHADAP SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN 98

4.1 Potensi Dampak 98

4.2 Analisis Risiko (Potensi Dampak Secara Kuantitatif) di Setiap Wilayah 102

4.2.1 Wilayah I Pulau Sumatera dan Sekitarnya 104

4.2.2 Wilayah II Pulau Jawa-Bali-Madura dan Sekitarnya 104

4.2.3 Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara 104

4.2.4 Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya 105

4.2.5 Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya 105

4.2.6 Wilayah VI Kepulauan Maluku 105

4.2.7 Wilayah VII Pulau Papua bagian Barat dan Sekitarnya 105

5 ARAHAN DAN TAHAPAN MENDATANG UNTUK

INTEGRASI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KE DALAM SEKTOR

KELAUTAN DAN PERIKANAN 106

5.1 Arahan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan 2010 – 2030 108

5.2 Tahapan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan tahun 2010–2030 110

(13)

5.2.2 Kegiatan Unggulan untuk Adaptasi 117

5.2.3 Pentahapan Kegiatan Prioritas 118

6 KESIMPULAN 127

DAFTAR PUSTAKA 128

Lampiran I Pelaksanaan Forum Group Discussion (FGD) dengan Para

Pemangku Kepentingan yang Terkait 131

Lampiran II Misi-Misi KKP yang Berkaitan Langsung dengan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim 132

Lampiran III Deskripsi Kerentanan 133

Lampiran IV Keterkaitan Potensi Dampak dan Strategi Adaptasi

dengan Bahaya dan Kerentanan Perubahan Iklim 136

(14)

xii

DAFTAR GAmBAR

Gambar 1.1 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun

Gambar 1.2 Posisi Roadmap Perubahan Iklim (RPI) di dalam sistem perencanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di tingkat nasional dan di tingkat daerah

Gambar 1.3 Kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan iklim (Diposaptono dkk, 2009)

Gambar 2.1 Peta perairan Indonesia berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996.

Gambar 2.2 Daerah perairan pantai NKRI dan sekitarnya

Gambar 2.3 Interaksi-interaksi di daerah perairan pantai (Latief dan Hadi, 2001)

Gambar 2.4 Potensi ekonomi yang terkait dengan sektor Kelautan dan Perikanan (Diolah dari data KKP, 2005)

Gambar 2.5 Distribusi daerah upwelling di perairan Indonesia (Nontji, 1993)

Gambar 2.6 Keterkaitan antara satu bahaya dengan bahaya lain yang dipicu oleh perubahan iklim terhadap sektor Kelautan dan Perikanan (diadopsi dari Australian Greenhouse

Ofice, 2005)

Gambar 2.7 Tren kenaikan temperatur udara di Jakarta dan Semarang

Gambar 2.8 (a) Posisi titik mooring pengukuran TPL, (b) hasil pengukuran (c) Laju kenaikan TPLuntuk setiap stasion (sumber data: Aldrin, 2008)

Gambar 2.9 Tren kenaikan TPL berdasarkan data NOAA OI (Soian, 2009)

Gambar 2.10 Tren kenaikan TPL berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) menggunakan model MRI_CGCM3.2 (Soian, 2009)

Gambar 2.11 Variasi musiman TPL (garis hitam) dan tren kenaikan TPL (garis biru) serta temperatur ambang terjadinya pemutihan karang (garis merah)

Gambar 2.12 Daerah terjadinya siklon tropis (diarsir merah); siklon ini tidak terjadi di wilayah Indonesia, tapi imbasnya berupa badai guruh dan angin kencang bisa terasa (catatan BBU=Belahan Bumi Utara, BBS=Belahan Bumi Selatan)

Gambar 2.13 Lintasan siklon tropis di Samudera Hindia (BOM Australia, 2006)

Gambar 2.14 Distribusi tinggi gelombang badai sebagai hasil simulasi model di pantai selatan

7

8

9

13 14 14

15

13

17

18 21

22 23

24

25

(15)

Pulau Jawa (N.S. Ningsih, 2009)

Gambar 2.15 Tinggi gelombang rata-rata pada bulan Januari (a) dan Agustus (b), serta gelombang maksimum (Soian, 2009)

Gambar 2.16 Pola curah hujan di atas wilayah Indonesia: (A) Tipe monsunal, (B) tipe ekuatorial, (C) tipe lokal (Tjasyono, 1999)

Gambar 2.17 Fenomena perubahan pola curah hujan (a) dan temperatur udara (b), di Pulau Lombok (Hadi, TW., 2008)

Gambar 2.18 Siklus tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia pada bulan Januari dan Agustus

Gambar 2.19 Pola angin dan suhu permukaan laut rata-rata di Indonesia pada bulan Januari dan Agustus (Soian, 2009)

Gambar 2.20 Distribusi tinggi muka air laut dan pola arus pada bulan Januari dan Agustus. Tinggi muka air laut dan pola arus adalah rata-rata bulanan selama 7 tahun, dari tahun 1993 sampai 1999 (Soian, 2009).

Gambar 2.21 Distribusi spasial TML dan arus permukaan pada bulan Januari dan Agustus. TML berdasarkan data altimeter, sedangkan arah dan kecepatan arus merupakan hasil estimasi model HYCOM (Hybrid Coordinate Ocean Model) (Soian, 2009)

Gambar 2.22 Time series altimeter sea level anomaly (TML anomali) (1993 – 2008). TML anomali turun sampai 20 cm pada periode El Niño kuat, dan naik 20cm pada periode La Niña kuat (Soian, 2009).

Gambar 2.23 Distribusi kloroil-a rata-rata pada bulan Januari dan Agustus, serta pada bulan Agustus 1997 pada saat terjadi El Nino (Soian, 2009).

Gambar 2.24 Proyeksi kenaikan muka air laut global berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 720ppm (Soian, 2009)

Gambar 2.25 Kenaikan TML sampai tahun 2100, relatif terhadap TML pada tahun 2000 (Soian, 2009).

Gambar 2.26 Contoh time-series TML data dari beberapa stasiun pasut yang ada di Indonesia dan sekitarnya (Soian, 2009).

Gambar 2.27 Proyeksi kenaikan muka air laut di beberapa lokasi mengggunakan data pasut yang diperoleh dari University of Hawaii Sea Level Center (UHSLC) (Soian,

2009).

Gambar 2.28 Tren kenaikan TML berdasarkan data altimeter dari Januari 1993 sampai

7

8

9

13

14

14

15

13

17

18

21

22

23

(16)

xiv

Desember 2008 dengan mengggunakan spatial trend analysis (Soian, 2009)

Gambar 2.29 Proyeksi tingkat kenaikan muka air laut di perairan Indonesia berdasarkan skenario IPCC SRESa1b dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 750ppm (Soian, 2009)

Gambar 2.30 Estimasi tingkat kenaikan TML di Perairan Indonesia berdasarkan model dengan penambahan dynamic ice melting pasca IPCC AR4 (Soian,2009)

Gambar 2.31 Contoh subsidence akibat Gempa Nias 2005 (Sumber: Danny N.H)

Gambar 2.32 Contoh uplift akibat Gempa Nias 2005 (Sumber: Kerry Sieh)

Gambar 2.33 Skematisasi bahaya-bahaya yang terkait dengan kenaikan muka laut (dalam hal ini tsunami tidak diperhitungkan)

Gambar 2.34 Peta kisaran pasut di Indonesia

Gambar 2.35 Tiga skenario dari penggenangan air laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang badai yang masing-masing disertai dengan kejadian air pasang tertinggi perigee

Gambar 2.36 Simulasi genangan pesisir di wilayah Sumatra

Gambar 2.37 Simulasi genangan pesisir di wilayah Jawa-Madura-Bali

Gambar 2.38. a Simulasi genangan air laut di pesisir utara Jawa Barat (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008)

Gambar 2.39 Simulasi genangan air laut di pesisir Jakarta Utara (Hadi, dkk., 2009)

Gambar 2.40 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kepulauan Nusa Tenggara

Gambar 2.41 Simulasi genangan pesisir di Pulau Lombok (KLH dan GTZ, 2009)

Gambar 2.42 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kalimantan dan sekitarnya

Gambar 2.43 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Sulawesi dan sekitarnya

Gambar 2.44 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kepulauan Maluku

Gambar 2.45 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Papua bagian Barat

Gambar 3.1 Peta elevasi (ketinggian, topograi) permukaan tanah

Gambar 3.2 Peta kelerengan (kemiringan) permukaan tanah

Gambar 3.3 Peta sebaran jumlah penduduk

7

8

9 13 14

14 15

13 17 18

21 22

(17)

Gambar 3.4 Proporsi data jumlah penduduk Indonesia tahun 2005 (a) dan proyeksinya pada tahun 2025 (b) (diolah dari data BPS)

Gambar 3.5 Peta sebaran kepadatan penduduk

Gambar 3.6 Peta kerentanan infrastruktur penting terhadap bahaya kenaikan muka air laut

Gambar 3.7 Peta sebaran penggunaan (tutupan) lahan

Gambar 3.8 Peta wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sebagai proksi potensi perikanan tangkap di Indonesia (Permen Kelautan dan Perikanan No. 01-MEN-2009)

Gambar 3.9 Peta persebaran terumbu karang di dunia (KKP, 2005)

Gambar 3.10 Peta persebaran hutan mangrove (warna merah) di Indonesia (KKP, 2005)

Gambar 3.11 Peta persebaran padang lamun (warna pink) di Indonesia (KKP, 2005)

Gambar 3.12 Peta kerentanan terhadap bahaya kenaikan muka air laut

Gambar 4.1 Kerangka kerja kerentanan (USAID, 2009; Daw, et.al., 2009)

Gambar 4.2 Skematisasi dampak perubahan iklim pada berbagai sektor/bidang

Gambar 4.3 Tiga skenario dari risiko perubahan iklim berupa penggenangan air laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang badai yang masing-masing disertai dengan kejadian air pasang tertinggi perigee

Gambar 5.1 Urutan tujuh langkah dalam proses adaptasi perubahan iklim (Diposaptono dkk, 2009)

7

8 9

13 14

14 15 13 17 18 21 22

(18)

xvi

DAFTAR TABeL

Tabel 2.1 Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditas Utama 15

Tabel 2.2 Proyeksi kejadian El-Nino dan La-Nina menggunakan

skenario SRES a1b (Sumber: Soian, 2009) 45

Tabel 2.3 Ringkasan bahaya dan proyeksi perubahan iklim 57

Tabel 2.4 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah I 62

Tabel 2.5 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah II 64

Tabel 2.6 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah III 68

Tabel 2.7 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah IV 70

Tabel 2.8 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah V 70

Tabel 2.9 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VI 73

Tabel 2.10 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VII 75

Tabel 3.1 Deskripsi elemen dan parameter kerentanan sektor kelautan

dan perikanan terhadap perubahan iklim 83

Tabel 3.2 Elemen dan parameter yang diperhatikan dalam analisis kerentanan

terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir (dicuplik dari Tabel III.1) 89

Tabel 3.3 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah I (Sumatra dan sekitarnya) 91

Tabel 3.4 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah II (Jawa-Madura-Bali) 92

Tabel 3.5 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah III (Nusa Tenggara) 93

Tabel 3.6 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah IV (Kalimantan) 94

Tabel 3.7 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah V (Sulawesi) 95

Tabel 3.8 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah VI (Kepulauan Maluku) 96

Tabel 3.9 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah VII (Pulau Papua bag. barat) 97

(19)

Tabel 5.1 Sembilan Kegiatan Prioritas untuk adaptasi perubahan iklim

sektor kelautan dan perikanan 110

Tabel 5.2 Penjabaran kegiatan-kegiatan prioritas adaptasi terhadap

perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan 112

Tabel 5.3. Lima Kegiatan Unggulan untuk adaptasi perubahan iklim 117

Tabel L.1 Daftar Forum Group Discussion (FGD) yang telah dilaksanakan 131

Tabel L.2 Misi-Misi dari Rencana Strategis KKP Tahun 2005-2009 132

Tabel L.3 Deskripsi kerentanan sektor terhadap perubahan iklim (sumber: KKP, 2005) 133

Tabel L.4 Potensi dampak dan alternatif adaptasi yang terkait secara spesiik

dengan bahaya dan kerentanan perubahan iklim 136

(20)

DAFTAR sinGKATAn

AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ASEAN. Association of Southeast Asia Nations

Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bakosurtanal Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

BMKG Badan Meteorologi Klimatologi dan Geoisika

BMKT Barang Muatan Kapal Tenggelam

BOM Australia Bureau of Meteorology Australia

COREMAP Coral Reef Rehabilitation and Management Program

CRV Climate Resilience Village

KKP Kementerian Kelautan dan Perikanan

DPP Daerah Perairan Pantai

ENSO El-Nino Southern Oscillation

FGD Forum Group Discussion

GRK Gas Rumah Kaca

GTZ Germany Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit

HHWL Highest High Water Level

IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change

IPCC AR4 Intergovernmental Panel on Climate Change The Fourth Assessment Report

IPO Interdecadal Paciic Oscillation IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

ITF Indonesian Throughlow atau Arus Lintas Indonesia (Arlindo) KML Kenaikan Muka Laut atau Sea Level Rise (SLR)

KP3K Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil KTPL Kenaikan temperatur air laut

(21)

LAPAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional MCRMP Marine and Coastal Resource Management Project

MOD Manado Ocean Declaration

MSL Mean Sea Level : muka laut rata-rata

MRI_CGCM Meteorological Research Institute - Coupled General Circulation Model

NOAA National Oceanic and Atmospheric Administration

PMEL Paciic Marine Environmental Laboratory OTEC Ocean Thermal Energy Conversion

PEMP Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir PKCE Peningkatan frekuensi dan intensitas Kejadian Cuaca

Ekstrim

PVI-AAM Perubahan pola Variabilitas Iklim alamiah untuk Pola Perubahan Angin dan Arus LAut

PVI-CH Perubahan pola Variabilitas Iklim alamiah untuk pola perubahan Curah Hujan

RADPI Rencana Aksi Daerah Perubahan Iklim RANPI Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim

PDB Pendapatan Domestik Bruto

RPI Roadmap Perubahan Iklim

RPJP Rencana Pembangunan Jangka Panjang

(22)

xx

RTRN Rencana Tata Ruang Nasional

RTRD Rencana Tata Ruang Daerah

RZWKP Rencana Zonasi Wilayah Kelautan dan Perikanan SLR Sea Level Rise atau Kenaikan Muka Laut (KML) SRES Special Report on Emissions Scenarios

SS Storm Surge

SRTM Shuttle Radar Topography Mission

TML Tinggi Muka Laut

TPL Temperatur Permukaan Laut

UNCLOS United Nations Convention on Law of the Sea

UNHCC United Nations Framework Convention on Climate Change

UN-ISDR United Nations - International Strategy for Disaster Reduction

USAID United States Agency for International Development USGS United States Geological Survey

WOC World Ocean Conference

WPP Wilayah Potensi Perikanan

WP3K Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(23)

PenDAHuLuAn

(24)

2

1.1. Latar Belakang

Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan chlorolurocarbon (CFC) ke atmosfer bumi.

Telah diketahui radiasi matahari yang sampai ke atmosfer sebagian diteruskan dan diserap oleh bumi dan sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer oleh bumi dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Dalam proses pemantulan tersebut sebagian panas diserap oleh gas-gas rumah kaca sehingga menahan panas yang keluar dari atmosfer. Efek penyerapan panas oleh gas-gas rumah kaca ini disebut efek rumah kaca. Akibat efek rumah kaca ini temperatur di permukaan bumi dan atmosfer terus bertambah sampai mencapai keseimbangan baru. Jumlah panas yang masuk dan keluar atmosfer tidak berubah, tetapi jumlah panas yang tersimpan di bumi dan atmosfer semakin meningkat dan berperan dalam menaikkan temperatur bumi (Hadi, dkk, 2009).

Pemanasan global akibat efek rumah kaca mengakibatkan terjadinya ekspansi thermal di laut terutama di lapisan permukaan (efek sterik) dan mencairnya glasier dan tudung es (ice cap) serta lapisan es (ice sheet) di kutub, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya. Laporan IPCC (2007) menyebutkan dalam periode 1961-2003 permukaan laut global naik 1,8 mm (1,3-3,0 mm) pertahun sementara dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 laju kenaikannya lebih tinggi yaitu 3,1 mm (2,4-3,8 mm) pertahun. Disini terlihat adanya variabilitas laju kenaikan muka laut jangka panjang. Hasil riset dalam IPCC AR4 menyatakan ekspansi thermal berkontribusi sekitar 70 % terhadap kenaikan permukaan laut global dan mencairnya es 30 %. Berkurangnya daerah yang tertutup es akan meningkatkan penyerapan

gelombang pendek sinar matahari oleh daratan dan lautan dan pengurangan releksi oleh permukaan es.

(25)

Gambar 1.1 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun (http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect16/Sect16_2.html)

Permukaan laut dapat mengalami perubahan dalam jangka waktu yang panjang dan jangka waktu pendek:

a. Perubahan permukaan laut jangka panjang

Perubahan permukaan laut jangka panjang disebut juga perubahan sekular. yang dikategorikan menjadi dua berdasarkan faktor penyebabnya. Perubahan pertama adalah perubahan eustatik atau perubahan volume air laut, dan yang kedua adalah perubahan lokal. Perubahan lokal ini diantaranya adalah kenaikan atau penurunan muka tanah atau disebut juga efek isostasi. Efek isostasi ini ada beberapa jenis diantaranya adalah isostasi thermal akibat perubahan temperatur atau densitas dari interior bumi, isostasi glacio yang berhubungan dengan keberadaan es, hidro-isostasi yang berhubungan dengan keberadaan air, isostasi vulkanik akibat ekstrusi magma, isostasi sedimen yang berhubungan dengan deposisi dan erosi.

Adanya patahan yang menyebabkan lempang tektonik naik atau turun dapat mempengaruhi muka laut dengan pengaruh 1 sampai 3 mm/ tahun. Kompaksi sedimen dapat menyebabkan daratan menjadi terkompresi, atau subsidence ekstraksi minyak dan air tanah.

Efek eustatik diantaranya adalah perubahan basin laut (ocean basin) akibat pemekaran lantai dasar samudra, perubahan elevasi lantai dasar samudra, dan sedimentasi di dasar laut. Selain itu perubahan massa air laut yang merupakan akibat dari melelehnya es di kutub, pelepasan air dari interior bumi, dan pelepasan serta akumulasi dari reservoir termasuk perubahan eustatik.

b. Perubahan permukaan laut jangka pendek,

(26)

4

storm surge terjadi bersamaan dengan saat pasang tinggi yang dikenal sebagai storm tide. Perubahan ini memiliki jangka waktu antara harian sampai mingguan.

Fenomena El Nino dan La Nina juga mempengaruhi muka laut dalam jangka waktu yang pendek. Pada saat terjadinya El Nino permukaan air laut di perairan Indonesia mengalami penurunan sebaliknya pada saat La Nina permukaan air laut mengalami kenaikan. Disamping itu banjir pada musim-musim tertentu juga merupakan variasi musiman yang dapat mempengaruhi muka laut dalam jangka pendek, dimana terjadi pertambahan runoff dari sungai menuju ke laut dan menambah ketinggian muka laut. Perubahan ini terjadi dalam kurun waktu musiman sampai tahunan. Selain itu osilasi permukaan laut yang terjadi di pelabuhan atau di teluk yang dikenal sebagai seiche merupakan faktor yang mempengaruhi permukaan air laut jangka pendek. Perubahan ini dapat terjadi dalam kurun waktu antara menit sampai jam.

Gempa bumi yang menyebabkan deformasi muka tanah dapat menyebabkan perubahan relatif permukaan laut. Gempa dapat mengakibatkan penurunan muka tanah (subsidence) dan atau penaikan muka tanah (uplift), dimana secara relatif mengubah tinggi muka laut terhadap tanah.

Disamping fenomena di atas, pemanasan global juga mempengaruhi secara otomatis pada kenaikan temperatur udara dan menyebabkan perubahan tekanan atmosfer serta variabel iklim lainnya seperti angin dan curah hujan. Fenomena–fenomena ini akan memicu sederetan bahaya alam yang berpotensi memberi tekanan dan menimbulkan dampak terhadap wilayah pesisir. Dampak tersebut semakin diperkuat dengan meningkatnya elemen-elemen kerentanan di wilayah, pesisir dan laut seperti: ledakan pertumbuhan penduduk dan problem kemiskinan, eksploitasi sumberdaya secara berlebihan, serta polusi udara dan perairan.

Perhatian yang serius terhadap dampak perubahan iklim ini perlu dilakukan sejak dini. Meskipun perubahannya bersifat perlahan-lahan (gradual) namun potensi dampaknya bersifat pasti (very likely) dan meluas ke seluruh permukaan bumi. Di lain pihak, masyarakat baik yang tinggal maupun yang beraktivitas di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil telah menderita kerugian akibat berbagai bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim tersebut. Pemukiman, perkantoran tempat bekerja, dan dermaga pelabuhan semakin sering merasakan dampak genangan banjir rob dan terjangan gelombang badai; para petambak dan petanai di pesisir telah merasakan semakin tidak teraturnya siklus musim hujan dan kemarau akibat pengaruh fenomena El-Nino dan La-Nina; para nelayan harus semakin menjauhi pantai dalam upayanya mencari ikan; dan masih banyak dampak-dampak lain yang ditimbulkannya.

Antisipasi terhadap perubahan iklim pada sektor Kelautan dan Perikanan ini lebih difokuskan untuk menyiapkan kegiatan-kegiatan adaptasi sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim dan mencari peluang untuk memanfaatkan dampak positif melalui berbagai upaya responsif dan terencana

terhadap aspek-aspek sosial budaya, ekonomi, potensi sumberdaya, dan lingkungan isik. Upaya tersebut

(27)

dan rehabilitasi hutan mangrove serta budidaya rumput laut.

Untuk itulah diperlukan penyusunan roadmap pengarus-utamaan isu perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional (selanjutnya disingkat “Roadmap Perubahan Iklim, RPI”) khususnya terhadap sektor Kelautan dan Perikanan. Kandungan dari RPI ini adalah penentuan arah kebijakan dan kegiatan yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2010-2030 dengan memperhatikan proyeksi perubahan iklim global.

1.2. Tujuan dan Sasaran

Tujuan utama dari penyusunan Roadmap Perubahan Iklim (RPI) adalah untuk menentukan kegiatan-kegiatan prioritas dan unggulan sebagai wujud upaya adaptasi (disertai dengan mitigasi) terhadap perubahan iklim pada sektor Kelautan dan Perikanan. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dijabarkan secara bertahap agar dapat diarus-utamakan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2010-2030 yang memperhatikan proyeksi perubahan iklim global. Posisi RPI di dalam sistem perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan di

tingkat daerah dapat dilihat pada Gambar I.2 (dimodii kasi Diposaptono, 2009) berikut.

(28)

6

Gambar I.2 di atas menunjukkan bahwa peran penting dan posisi RPI di tingkat nasional dan daerah, baik jangka panjang (RPJPN dan RPJPD) maupun jangka menengah (RPJPN dan RPJMD) dan rencana strategis dan rencana aksi sektor Kelautan dan Perikanan tingkat nasional dan daerah (RANPI dan RADPI). Selanjutnya RPI ini diimplementasikan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Nasional dan Daerah (RTRN dan RTRD), serta Rencana Strategis Wilayah Kelautan dan Perikanan (RSWKP), Rencana Zonasi Wilayah Kelautan dan Perikanan (RZWKP), dan Rencana Pengelolaan Wilayah Kelautan dan Perikanan (RPWKP).

Sasaran dari kegiatan ini adalah:

1. Mengidentiikasi kondisi dan problema pada saat ini serta tantangan di masa datang dari sektor

Kelautan dan Perikanan berupa bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim, elemen-elemen kerentanan

berdasarkan bahaya yang telah diidentiikasi dan mengenalisis potensi dampak dan gambaran risiko

akibat bahaya dan kerentanan yang telah dikenali.

2. Merumuskan arah strategi dan pentahapan integrasi adaptasi perubahan iklim terhadap sektor Kelautan dan Perikanan yang meliputi beberapa hal yaitu:

a. Arah strategi pembangunan jangka panjang (periode tahun 2010-2030),

b. Integrasi kebijakan dan kegiatan ke dalam tahapan pembangunan jangka menengah (periode lima tahunan), dan

c. Isu-isu lintas sektoral.

1.3. Pendekatan

Kegiatan-kegiatan adaptasi serta mitigasi perubahan iklim tersebut secara umum disusun melalui kombinasi dua proses yang berlawanan arah yaitu:

1. Proses top-down yaitu dengan analisis dan kajian saintiik, serta

2. Proses bottom-up yaitu dengan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan sektor ini.

(29)

1.3.1. Kerangka Kerja

Adaptasi perubahan iklim merujuk pada upaya intervensi sebagai respon terhadap perubahan iklim yang sedang dan akan terjadi, yang didesain untuk mengurangi risiko dan potensi dampak terhadap komunitas dan ekosistem, dan berusaha untuk mengeksploitasi peluang yang dapat menguntungkan yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Upaya yang dilakukan adalah tindakan penyesuaian pada individu atau kelompok baik yang bersifat reaktif maupun antisipatif untuk menghadapinya. Pada dasarnya upaya ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkat kerentanan dengan cara:

• mengurangi keterpaparan dan sensitivitas sosial-ekonomi dan lingkungan

• menguatkan daya tahan dan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bahaya-bahaya tersebut.

Sedangkan mitigasi perubahan iklim adalah upaya intervensi antropogenik di dalam sistem iklim yang didesain untuk mereduksi gaya-gaya antropogenik dari sistem iklim yang menyebabkan pemanasan global dengan cara mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari sumbernya dan meningkatkan kemampuan alam dalam menyerap emisi tersebut. Strategi adaptasi yang disertai dengan mitigasi inilah yang perlu diarusutamakan ke dalam perencanaan pembangunan nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang.

Diposaptono dkk (2009) mengajukan suatu kerangka kerja untuk mengkaji dan menyusun konsep adaptasi dan mitigasi perubahan iklim seperti pada Gambar I.3.

(30)

8

Secara konseptual kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan iklim setidaknya terdiri dari (7) tujuh langkah yang bersifat siklus (Gambar I.3), yaitu:

(1) Kajian variabilitas iklim dan dan bahaya-bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim serta dampak yang ditumbulkannya,

(2) Kajian tekanan lainnya seperti aktivitas manusia,

(3) Penyajian informasi (fakta) dan penyadaran atas adanya perubahan iklim dan lingkungan, baik yang dipicu oleh perubahan iklim maupun oleh aktivitas manusia,

(4) Desain perencanaan meliputi kriteria kebijakan dan arah pembangunan serta identii kasi

pilihan-pilihan aksi adaptasi dan mitigasi,

(5) Mengimplementasikan aksi adaptasi dan mitigasi,

(6) Memonitor dan mengevaluasi hasil implementasi aksi adaptasi dan memitigasi,

(7) Dari hasil monitoring dan evaluasi, selanjutnya didesain suatu manajemen penanganan dan pengelolaan dengan: (i) pendekatan adaptasi untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh tekanan perubahan iklim dan tekanan lainnya; (ii) pendekatan mitigasi dengan mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan penyerapan gas-gas rumah kaca.

Konsep tersebut diwujudkan di dalam struktur laporan sebagaimana terlihat pada Tabel I.1.

Tabel 1.1 Struktur laporan berdasarkan kerangka kerja Gambar I.3

No Butir Deskripsi Bab

1 Pengenalan dan pendekatan masalah

Pendekatan kajian; kondisi dan permasalahan; respon kapasitas pada saat ini; serta tantangan ke depan; isu-isu strategis yang diharapkan akan dikaji sebagai dasar utama perumusan kebijakan dan kegiatan

I, II 2 Identii kasi bahaya

perubahan iklim

Perubahan lingkungan i sik yang dipicu oleh pemanasan global;

kondisi saat ini dan proyeksi hingga tahun 2030; dan bahaya lain

yang bisa timbul sebagai konsekuensi perubahan i sik tersebut II

3 Identii kasi elemen dan parameter kerentanan

Keterpaparan; sensitivitas; dan kapasitas adaptasi terhadap bahaya perubahan iklim (UN-ISDR, 2004) III 4 Identii kasi potensi

dampak dan risiko

Potensi dampak dan risiko diperoleh dari analisis bahaya dan

kerentanan IV 5

Identii kasi

alternatif-alternatif strategi adaptasi dan penentuan kegiatan-kegiatan adaptasi

Alternatif-alternatif strategi adaptasi diperoleh dari potensi-potensi dampak dan isu-isu strategis; pemilihan strategi adaptasi yang selaras dengan strategi pembangunan nasional; pengelompokan strategi menjadi kegiatan prioritas adaptasi; pengerucutan kegiatan prioritas menjadi kegiatan unggulan; pentahapan kegiatan adaptasi selama lima tahunan (2010-2030)

(31)

Dalam konteks kewilayahan dimana Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, pengkajian dan penyusunan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ini diimplementasikan pada tujuh wilayah pembangunan nasional yang telah ditetapkan oleh Bappenas, yaitu:

(1) Sumatra dan sekitarnya,

(2) Jawa-Madura-Bali dan sekitarnya, (3) Nusa Tenggara,

(4) Kalimantan dan sekitarnya, (5) Sulawesi dan sekitarnya, (6) Maluku,

(7) Papua bagian Barat dan sekitarnya.

Penerapan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga memperhatikan adanya klaster-klaster di dalam sektor sektor kelautan dan perikanan, antara lain:

• Tujuh Jasa Kelautan dan Perikanan, yaitu: (1) Perhubungan Laut, (2) Industri Maritim, (3) Perikanan, (4) Wisata Bahari, (5) Energi Kelautan dan Sumber-daya Mineral, (6) Bangunan Laut, (7) Jasa Kelautan

• Sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu: (1) WPP-571: Selat Malaka dan Laut Andaman; (2) WPP-572: Samudra Hindia sebelah barat Sumatra dan Selat Sunda; (3) WPP-573: Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, Laut Timor bagian barat; (4) WPP-711: Selat Karimata, L. Natuna, L. Cina Selatan; (5) 712: Laut Jawa; (6) 713: Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali; (7) WPP-714: Teluk Tolo dan Laut Banda; (8) WPP-715: Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Teluk Berau; (9) WPP-716: Laut Sulawesi, sebelah utara Pulau Halmahera; (10)

WPP-717: Teluk Cendra-wasih, Samudra Pasiik; (11) WPP-718: Laut Aru, Laut Arafuru, Laut

Timor bagian timur.

(32)

10

1.3.2. Analisis Saintifi k

Analisis saintii k dilakukan dengan pengumpulan, analisis dan sintesis terhadap berbagai data dan

informasi (dokumen, konsultasi, diskusi) yang lebih diperinci sebagai berikut:

• Data dan informasi yang bersifat internal diperoleh melalui diskusi intern dengan sub-tim basis

saintii k dan sektor-sektor lainnya;

• Data dan informasi yang bersifat nasional diperoleh melalui penelusuran dokumen dan peta-peta di berbagai instansi yang berkaitan seperti KKP, Bakosurtanal, BMKG, dan LAPAN;

• Data dan informasi yang bersifat internasional yaitu berupa dokumen-dokumen kajian dan laporan dari lembaga seperti IPCC, UNHCC, USGS, dan sebagainya yang diperoleh melalui internet dan diskusi dengan seorang pakar perubahan iklim, yaitu Dr. Irving Mintzer pada bulan Maret 2009. Data dan informasi tersebut kemudian dianalisis dengan tiga jenis analisis yaitu:

• Analisis dasar saintii k (scientii c basis) terhadap data-data meteorologi dan oseanograi yang bertujuan

untuk menyajikan informasi potensi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim. Hasil analisis ini akan disajikan pada Bab II.

• Analisis kerentanan dan potensi dampak dimaksudkan untuk menyajikan informasi faktor-faktor apa saja yang menimbulkan kerentanan dan potensi dampak di wilayah pesisir dan perairan Indonesia terhadap perubahan iklim. Hasil-hasil analisis ini akan disajikan berturut-turut pada Bab III dan Bab IV.

• Analisis strategi dan penentuan kegiatan-kegiatan adaptasi perubahan iklim. Hasil analisis ini akan dideskripsikan pada Bab V.

1.3.3 Proses Partisipasi Pemangku Kepentingan

Partisipasi pemangku kepentingan diikutsertakan dalam proses penyusunan RPI ini melalui beberapa cara diantaranya:

• Konsultasi dan diskusi dengan pejabat, peneliti dan pakar dari instansi terkait

• Partisipasi tidak langsung melalui situs internet KKP (www.KKP.go.id), yaitu diperolehnya dokumen Rencana Strategis KKP tahun 2005 – 2009

(33)

KOnDisi,

PeRmAsALAHAn, DAn

TAnTAnGAn seKTOR

KeLAuTAn DAn

PeRiKAnAn

(34)

12

Sektor Kelautan dan Perikanan melingkupi aspek kewilayahan, lingkungan dan potensinya. Permasalahan yang dihadapi sektor mencakup masalah internal sektor dan masalah eksternal dengan lintas sektor yang terkait, serta respon kapasitas dalam bentuk kebijakan-kebijakan dalam mengantisipasi perubahan iklim. Adapun pembahasan mengenai tantangan sektor ini diwujudkan berupa kajian bahaya, kerentanan serta dampak perubahan iklim dan upaya adaptasi dan mitigasi serta penjabaran isu-isu penting lain yang terkait di dalamnya.

2.1. Wilayah Kelautan, Interaksi dan Fungsinya

TerbitnyaUnited Nations Convention on Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) dan kemudian diratii kasi

oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 di Indonesia, membawa konsekuensi logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang harus dilaksanakan. Mandat tersebut menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan Indonesia harus berdasarkan pada hukum internasional. Hal ini juga memberikan dampak

positif terhadap peningkatan luas wilayah pengelolaan kelautan NKRI dimana secara geograi s Indonesia

merupakan negara maritim, yang memiliki luas laut seluas 5,8 Juta km² (Gambar II.1) yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0.8 juta km², laut nusantara 2.3 juta km² dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta km². Disamping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km. (KKP, 2008). Kemudian sekitar 50% dari luas wilayah laut Indonesia (5.8 juta km²) merupakan daerah perairan pantai (DPP) yang memiliki potensi sangat penting karena sekitar 70% sumber daya ikan menghabiskan waktu hidupnya di DPP , dan sekitar 90% dari hasil biomassa laut berasal dari DPP. Daerah perairan pantai adalah wilayah perairan yang berada antara ujung paparan benua dengan kedalaman laut sekitar 200 m sampai garis pantai (Gambar II.2). Di dalamnya terdapat ekosistem mangrove, terumbu karang, estuari, padang lamun, sumber hayati dan nonhayati, serta fasilitas-fasilitas seperti pelabuhan dan pemukiman dan panorama pesisir.

(35)

Gambar 2.2 Daerah perairan pantai NKRI dan sekitarnya

Dalam konteks ruang dan interaksinya, DPP merupakan pertemuan wilayah darat dan laut, dimana

parameter-parameter i sis, kimia dan biologi dari darat, perairan pantai dan perairan laut dalam, atmosfer

dan dasar laut, saling berinteraksi dengan sistem yang sangat kompleks. Interaksi ini juga dipengaruhi oleh gaya tarik benda-benda langit (Gambar II.3). Disamping itu terjadi interaksi yang sangat intensif dan dinamis serta saling mempengaruhi antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Daerah ini sangat rentan terhadap tekanan perubahan iklim global kenaikan permukaan laut, ENSO, gelombang badai (storm surges), badai pasang (storm tide atau rob), serta aktivitas manusia baik di darat, seperti pembangunan fasilitas perumahan dan industri di belakang pantai, pembuangan limbah, penggundulan hutan mangrove, erosi, dsb, maupun aktivitas manusia di laut seperti pembuanagn limbah kapal, tumpahan minyak, perusakan terumbu karang, dan sebagainya. Oleh sebab itu pengelolaan wilayah laut tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan wilayah darat.

(36)

14

Secara tradisional, DPP merupakan suatu daerah dengan aktivitas ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Beberapa fungsi yang dimilikinya yakni: (1) fungsi dasar: produksi pangan, suplai air dan energi; (2) fungsi sosial: perumahan dan rekreasi; (3) fungsi ekonomi: transportasi niaga, pertambangan, dan pengembangan industri; serta (4) fungsi publik: transportasi publik, pertahanan, penyaluran air buangan, dan sebagainya. Daerah ini juga merupakan sumber energi yang dapat diperbahurui seperti: konversi energi panas laut (OTEC), energi arus laut, energi gelombang laut, energi pasang surut, konversi energi dari gradien salinitas, energi dari oceanic bioconvertion. Sedangkan energi yang tidak dapat diperbaharui berupa sumber daya mineral seperti pertambangan terbuka di pesisir dan dasar laut.

2.2. Potensi Sektor Kelautan dan Perikanan

Sektor kelautan dan perikanan telah menunjukkan peningkatan kontribusinya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Nasional, dengan memiliki potensi ekonomi secara keseluruhan senilai US$ 136,5 milyar dengan kontribusi besar dari perikanan, pesisir lestari, bioteknologi laut, wisata bahari dan minyak bumi (KKP, 2005) sebagaimana dapat dilihat pada Gambar II.4

.

Gambar 2.4 Potensi ekonomi yang terkait dengan sektor Kelautan dan Perikanan (Diolah dari data KKP, 2005)

2.2.1. Potensi Perikanan

(37)

Tabel 2.1 Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditas Utama (Kementerian Kelautan dan Perikananl, 2008)

KOMODITAS 2004 2005 2006 2007 2008*) Rata-rata peningkatan(%)

2004 - 2008 2007 - 2008

EKSPOR

Volume (Ton) 902.358 857.782 926.478 854.328 845.939 -1,43 -0,98

Udang 142.098 153.900 169.329 157.545 179.409 6,31 13,88

Tuna 94.221 90.589 91.822 121.316 125.992 8,37 3,85

Mutiara 2 13 2 13 16 309,94 21,47

Rumput laut 51.011 69.264 95.588 94.073 95.125 18,33 1,12

Lain-lain 615.027 544.015 569.736 481.381 445.397 -7,45 -7,48

Value (US$ 1000) 1.780.833 1.912.926 2.103.471 2.258.920 2.708.678 11,17 19,91

Shrimp 892.452 948.121 1.115.963 1.029.935 1.220.428 8,68 18,50

Tuna 243.938 245.375 250.557 304.348 337.896 8,80 11,02

Mutiara 5.866 10.735 13.409 12.644 12.694 25,65 0,39

Rumput laut 25.296 57.515 49.586 57.522 105.639 53,31 83,65

Lain-lain 613.281 651.180 673.957 854.470 1.032.021 14,31 20,78

Catatan : *) Angka sementara

a. Potensi Perikanan Tangkap Secara Umum di Indonesia

Potensi sumberdaya ikan laut yang diperinci berdasarkan komoditas dan wilayah perairannya di Indonesia (B.E. Priyono, dkk., 1997), yaitu :

Sumberdaya ikan pelagis besar.

Penyebaran ikan pelagis besar jenis madidihang, tuna mata besar, albakora dapat ditemui di perairan barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda, Laut Flores dan Selat Makasar, Laut Maluku dan Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan utara Irian Jaya, serta Arafura. Untuk jenis tuna sirip biru dapat ditemukan di perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda, Laut Flores dan Selat Makasar, serta Laut Maluku dan Teluk Tomini. Sedangkan ikan jenis cakalang bisa ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia kecuali di Laut Jawa, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan. Untuk ikan tongkol penyebarannya berada pada daerah-daerah dekat pantai dan terdapat di semua perairan. Musim penangkapan ikan tuna, cakalang, dan tongkol dapat berlangsung sepanjang tahun.

Sumberdaya ikan pelagis kecil.

(38)

16

Ikan teri dapat ditemukan di perairan barat Sumatera, Selat Malaka, selatan dan utara Sulawesi dan timur Sumatera sedangkan ikan tembang terutama di perairan selatan Sulawesi, utara Jawa, Bali/NTT/Timor Timur, Timur Sumatera dan selatan dan barat Kalimantan. Ikan julung-julung banyak ditemukan di perairan Maluku dan Irian Jaya.

Sumberdaya ikan demersal

Ikan demersal adalah jenis ikan yang hidup di dasar laut dari perairan dengan kedalaman kurang dari 100 m dan menyukai daerah yang berlumpur dan relatif datar. Di Indonesia, perairan yang diduga memiliki potensi ikan demersal tinggi adalah di Teluk Tolo (Sulawesi Tengah) yang merupakan perairan dengan kedalaman relatif dangkal dan luas, kemudian di Laut Arafura yang mempunyai daerah penangkapan ikan demersal yang sangat luas, dan di perairan utara Papua.

Sumberdaya udang

Potensi sumber daya udang penaeid di Indonesia terdapat di Laut Arafura (Papua) dan merupakan daerah terluas dan terbaik yang dimiliki Indonesia dalam penangkapan udang penaeid sedangkan potensi terbesar udang karang terdapat di Samudera Hindia.

Sumberdaya ikan konsumsi perairan karang

Sumberdaya ikan konsumsi perairan karang belum dimanfaatkan secara merata, masih terbatas pada daerah-daerah yang mudah dijangkau dan terhadap komunitas tertentu saja. Hanya beberapa jenis yang telah dimanfaatkan secara intensif karena nilai komersialnya tinggi, mudah ditangkap dan kepadatannya tinggi seperti ikan ekor kuning dan ikan pisang-pisang (Caessionidae). Potensi ikan karang terbesar di Indonesia terdapat di selatan Sulawesi.

Tingkat pemanfaatan sebagian besar sumberdaya ikan di perairan kawasan barat Indonesia, khususnya di kawasan pantai, dinilai sudah mendekati tingkat maksimum daya dukung sumber dayanya, sebagian sumberdaya bahkan sudah dimanfaatkan secara berlebihan. Sementara itu, sebagian besar sumberdaya ikan di lepas pantai, kawasan timur Indonesia dan di ZEEI sebagian besar belum dimanfaatkan secara optimal.

b. Produktivitas Primer Sebagai Indikator Lokasi Penangkapan Ikan

Untuk mendukung industri perikanan tangkap maka pengetahuan tentang lokasi di mana ikan-ikan berkumpul adalah faktor yang sangat penting. Lokasi ini merupakan daerah perairan dengan tingkat kesuburan tinggi yang ditandai dengan produktivitas primer. Makin tinggi produktivitas primer di suatu daerah maka tingkat kesuburan perairan tersebut makin tinggi pula.

Menurut Nybakken (1992), pengertian produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Jadi produktivitas primer merupakan padanan fotosintesis, meskipun sejumlah kecil produktivitas primer dihasilkan oleh bakteri kemosintetik.

(39)

bagian terbesar energi, meskipun itoplankton hanya berada pada suatu lapisan air permukaan yang tipis

dimana cukup terdapat sinar matahari.

Produktivitas primer di suatu perairan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: cahaya, zat hara (nutrien), dan

faktor oseanograi yang akan diuraikan di bawah ini.

Faktor Cahaya

Fitoplankton hanya terdapat pada lapisan-lapisan atas di mana intensitas cahaya matahari cukup untuk berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya matahari di wilayah tropik yang lautnya cerah dan tidak banyak mengandung partikel dapat menembus sampai kedalaman 100 – 120 m dimana mungkin masih cukup besar bagi berlangsungnya fotosintesis (Nybakken, 1992).

Faktor Zat Hara (Nutrien)

Zat-zat hara anorganik utama yang diperlukan itoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak ialah

nitrogen (sebagai nitrat, NO3) dan fosfor (sebagai fosfat, PO42-). Kedua unsur utama tersebut mempunyai

arti yang penting karena kadarnya dalam laut relatif kecil dan oleh karenanya menjadi pembatas bagi

produktivitas itoplankton. Samudera yang tersubur hanya mengandung 0.00005 % nitrogen, jumlah ini

sama dengan 1/10000 jumlah nitrogen yang terdapat dalam tanah (Nybakken, 1992). Zat hara hanya dapat dimanfaatkan pada zona fotik yang merupakan suatu persediaan yang sangat berarti dan dapat meningkatkan produksi.

Faktor Oseanograi

Persediaan zat hara dalam jumlah yang sangat besar terdapat di bawah zona fotik. Zat hara ini hanya dapat

(40)

18

Gambar 2. 5 Distribusi daerah upwelling di perairan Indonesia (Nontji, 1993)

c. Pola Waktu Potensi Penangkapan Ikan di Indonesia

Daerah upwelling di Indonesia selalu bergerak mengikuti perubahan angin monsun mengingat wilayah laut yang sangat luas tersebut dipengaruhi oleh iklim monsun. Menurut Susanto (2000), daerah upwelling di laut sebelah barat Sumatra dan sebelah selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dipengaruhi oleh dua musim, yaitu monsun tenggara dan monsun barat laut, yaitu pada kondisi normal.

Pada monsun tenggara (Mei-September) berhembus angin yang bergerak sejajar dengan pantai selatan Pulau Jawa yang bertiup dari Australia ke arah khatulistiwa. Tiupan angin ini menyebabkan gerakan massa air permukaan ke arah lepas pantai selatan Jawa. Akibatnya terjadi kekosongan massa air di sebagian besar pantai selatan Jawa. Sebagai kompensasi, maka massa air dari bagian bawah bergerak ke atas (upwelling) mengganti kekosongan massa air tersebut. Pergerakan massa air ke atas ini tentu disertai pula dengan naiknya zat hara ke permukaan. Dengan demikian produktivitas primer di daerah tersebut akan tinggi. Kejadian ini dimulai intensif pada sekitar bulan Mei–Juni di pantai selatan Jawa Timur. Pada bulan berikutnya yaitu antara Agustus sampai Oktober angin monsun tenggara semakin menguat. Penguatan angin tenggara ini menyebabkan pusat upwelling bergerak ke pantai barat Sumatera. Pusat upwelling lalu beralih di sekitar Pulau Enggano.

(41)

2.2.2. Potensi Jasa Kelautan dan Kemaritiman

Potensi dan kondisi pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman saat ini serta kendala dan permasalahan yang dihadapi dipaparkan berikut ini (KKP, 2009b):

a. Perhubungan Laut

Jasa perhubungan laut mempunyai nilai strategis dalam mewujudkan konsep wawasan nusantara dan mengokohkan ketahanan nasional. Dari potensi jasa ini sebesar 20 milyar USD per tahun, armada asing mendominasi sekitar 92,9% untuk pangsa pasar ekspor impor, dan 71% untuk pangsa pasar domestik. Jasa ini mengimplementasikan dua macam pendekatan untuk mengelola kepelabuhan yaitu optimalisasi keseimbangan suplai dan kebutuhan pada suatu pelabuhan (pendekatan mikro) dan optimalisasi beban jaringan antar pelabuhan (pendekatan makro). Namun upaya-upaya tersebut menghadapi beberapa kendala seperti masih kurangnya sarana dan prasarana keselamatan pelayaran dan implementasi dari standar keselamatan transportasi laut, yang berakibat aksesibilitas ke pulau-pulau kecil dan pesisir terpencil belum memadai.

b. Industri Maritim

Inti dari industri maritim adalah industri pembuatan kapal, pemeliharaan dan perbaikan kapal, serta penunjang perkapalan yaitu peralatan navigasi, komunikasi dan keselamatan, instalasi pembersihan air balas. Industri maritim ini berkembang seiring dengan meningkatnya aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumber migas di lepas pantai.

Saat ini sekitar 240 industri perkapalan nasional telah menyumbang ekspor produk kapal dan komponennya dengan nilai sekitar 211 juta USD, tapi hal itu masih belum sepadan dengan nilai impornya yang lebih besar yaitu sekitar 803 juta USD (tahun 2006). Minat perusahaan swasta untuk berinvestasi di bidang ini masih kurang mengingat tidak cukupnya permintaan dan pasokan pasar relatif terhadap investasi besar yang harus ditanamkan. Akibatnya kebutuhan perkapalan nasional untuk mencakup seluruh wilayah yang sangat luas (termasuk ZEEI) dan seluruh pulau kecil yang banyak sekali masih belum bisa dipenuhi. c. Perikanan

Jasa perikanan ini meliputi industri perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan perikanan, dan bioteknologi kelautan. Perairan Indonesia memiliki potensi lestari sumberdaya ikan sekitar 6,4 juta ton per tahun dimana 80 persennya adalah jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Potensi perikanan tangkap dan budidaya masing-masing sekitar 15 milyar USD dan 31 milyar USD. Produksi perikanan bertambah dari 6,87 juta ton (2006) menjadi 8,71 juta ton (2008) sehingga meningkatkan jumlah Unit Pengolahan Ikan dari 45% (2005) menjadi 55,2% (2008). Namun demikian industri pengolahan perikanan di Indonesia masih jauh tertinggal terhadap negara-negara di kawasan ASEAN.

(42)

dari nelayan sehingga mereka kurang memanfaatkan IPTEK untuk mengeksplorasi besarnya potensi perikanan. Di samping itu terdapat masalah-masalah antara lain penangkapan ikan secara berlebihan (overishing) yang terjadi di Laut Jawa dan Selat Malaka, kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masalah pendangkalan pada pelabuhan-pelabuhan perikanan tradisional. Sementara itu bioteknologi laut

diidentiikasi memiliki potensi sebesar 40 milyar USD per tahun. Dalam realisasinya, dari potensi sekitar 35

ribu spesies biota laut untuk bahan obat-obatan, baru sekitar sepertujuhnya saja yang bisa dimanfaatkan. Beberapa jenis budidaya sudah mulai diteliti dan dikomersialkan antara lain: koral, rumput laut, dan kerang mutiara. Kendalanya adalah keterbatasan informasi ilmiah yang dimiliki untuk memanfaatkan

dan mengelola sumberdaya hayati laut, serta adanya konlik kepentingan antara tujuan konservasi dan

pemanfaatan industri bioteknologi laut. d. Wisata Bahari

Pada dasarnya wisata bahari dilaksanakan untuk memanfaatkan keindahan alam Indonesia. Bentuk-bentuk wisata bahari antara lain: sailing, boating, suring, scuba diving, ishing, ishing village, tropical gardens, ocean front walking trains, dan wisata kapal pesiar. Potensi wisata bahari ini telah diidentiikasi senilai 2 milyar USD.

Potensi wisata ini didukung oleh beberapa faktor antara lain tersedianya kawasan konservasi yang memiliki

keanekaragaman tinggi dan spesiik, adanya 700 jenis terumbu karang seluas 50 ribu km2 yang dihuni oleh

263 jenis ikan hias, situs arkeologi bawah air. serta keunggulan komparatif yang berupa: bentuk negara kepulauan, keanekaragaman hayati, keindahan alam, keanekaragaman budaya dan kesenian, biaya hidup rendah.

Namun demikian sektor ini memiliki masalah antara lain kerusakan lingkungan karena pencemaran,

tingginya aktivitas manusia, eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, dan bencana alam, serta konlik

pemanfaatan ruang perairan untuk wisata bahari dan perikanan tradisional. e. Energi Kelautan dan Sumberdaya Mineral

Energi kelautan merupakan energi alternatif atau nonkonvensional yang dihasilkan dari konversi gaya mekanik, gaya potensial, dan perbedaan temperatur air di permukaan dan kedalaman laut. Jumlah potensi energi tersebut sebenarnya cukup besar, misalnya energi pasut sekitar 3 ribu MW, energi panas laut (OTEC) sekitar 240 ribu MW, energi arus laut sekitar 80-90 MW, energi gelombang sekitar 4,3 KW. Namun demikian upaya pemanfaatan energi nonkonvensional dari laut ini masih sebatas riset murni yang dilakukan oleh perguruan tinggi, institusi litbang, dan lembaga penelitian sub sektor kelistrikan. Komersialisasi hasil-hasil penelitian tersebut belum dilakukan. Pemanfaatan energi alternatif yang dilakukaan pemerintah adalah mendistribusikan pembangkit-pembangkit listrik skala mikro seperti energi angin dan energi surya di daerah-daerah terpencil.

Beberapa kendala antara lain: belum ada regulasi yang mengoordinasikan dan mengarahkan riset energi kelautan, belum adanya pemetaan rinci potensi energi kelautan di Indonesia secara menyeluruh, masih rendahnya penguasaan IPTEK konversi energi kelautan, dan belum tersedianya teknologi konverter yang

(43)

memungkinkan rasio elektriikasinya layak jual

Sementara itu dasar lautan Indonesia juga mengandung potensi yang berupa kondisi geologi dasar laut yang terdiri dari berbagai jenis mineral polymetallic nodule dan polymetallic crust dengan konsentrasi tinggi, deposit pasir laut dengan mineral kuarsa tinggi sekitar 90%, dan deposit hidrothermal mengandung ikatan sulfur dan mineral emas. Problemnya adalah survei potensi mineral belum optimal dan fokus karena membutuhkan dana yang besar dan belum berjalannya koordinasi antar institusi kebumian dan kelautan. Potensi mineral garam juga tidak kalah pentingnya dimana terdapat lahan penggaraman sekitar 37 ribu ha. Namun potensi tersebut baru setengahnya yang telah dimanfaatkan mengingat berbagai kendala antara lain: rendahnya tingkat produktivitas, belum terpenuhinya standar kualitas produksi garam, kurangnya infrastruktur, modal, dan penguasaan teknologi, disertai luas lahan yang terbatas dan lokasi ladang garam yang tersebar.

f. Bangunan Laut

Bangunan laut terdiri dari dermaga pelabuhan, anjungan minyak lepas pantai, kabel dan pipa bawah laut, bangunan penahan gelombang. Sebagai gambaran, pada saat ini terdapat 450 anjungan lepas pantai dan sekitar 968 pelabuhan perikanan. Bangunan-bangunan laut tersebut mengalami permasalahan teknis seperti belum adanya pedoman teknis penataan bangunan laut, serta belum diperhitungkannya potensi dampak perubahan iklim terhadap elevasi bangunan dan kekuatan struktur fasilitas/bangunan laut. g. Jasa Kelautan

Jasa-jasa kelautan lainnya meliputi pencarian dan pengangkatan barang muatan kapal tenggelam (BMKT), pemanfaatan air laut dalam, dan reklamasi pesisir. Potensi BMKT pada saat ini adalah terdapatnya 463 lokasi kapal tenggelam, di antaranya 245 kapal VOC. Namun pemanfaatannya terkendala oleh beberapa faktor seperti belum adanya pemahaman, harmonisasi, dan sinkronisasi dari berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan BMKT, serta belum terkoordinasinya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan BMKT.

Pemanfaatan air laut dalam sebagai bahan baku disalinasi untuk air minum sudah mulai diteliti, yaitu pada

jalur Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa air laut dalam dari Samudra Pasiik ke Samudra

Hindia. Lokasi potensi air laut dalam ini terdapat di Laut Sulawesi, Selat Makasar, Selat Lombok, Laut Flores, Selat Ombay, Laut Banda, Papua bagian utara, Laut Maluku, Samudra Hindia. Namun upaya ini mendapat kendala berupa kebutuhan dana yang besar untuk riset dan eksploitasinya serta belum dikuasainya data dan IPTEK yang terkait air laut dalam.

(44)

lahan pesisir hasil reklamasi, belum adanya dokumen perencanaan zonasi wilayah pesisir, dan potensi timbulnya masalah lingkungan di sekitar kawasan reklamasi selama dan sesudah proses reklamasi

2.3. Kondisi dan Permasalahan Sektor Kelautan dan Perikanan Saat Ini 2.3.1. Kondisi Sektor Kelautan dan Perikanan

Kondisi lingkungan sektor kelautan dan perikanan dapat dilihat dari ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil karena pengaruhnya pada tingkat produktivitas sumberdaya (KKP, 2005). Ekosistem tersebut meliputi terumbu karang, mangrove, estuaria dan padang lamun, dan budidaya laut. Secara umum kondisi

ekosistem tersebut telah mengalami degradasi isik dengan laju yang dapat mengancam keberlanjutan

sumberdaya. Sebagai contoh: Terumbu karang yang mencapai luas lebih dari 60.000 km2 telah rusak sekitar

40%. Faktor penyebabnya adalah: (i) kegiatan manusia (penangkapan ikan dengan alat yang merusak, pencemaran, eksploitasi yang berlebihan, dan sebagainya), dan (ii) faktor alam (El-Nino dan La-Nina, badai, gempa bumi, dan banjir). Demikian pula hutan mangrove yang berkurang luasannya dari 5,21 juta ha menjadi 2,5 juta ha pada kurun waktu 12 tahun (1982–1993), antara lain karena konversi menjadi lahan tambak khususnya di Sumatra bagian selatan, Sulawesi bagian selatan dan Kalimantan Timur, serta menjadi lahan industri terutama di Jawa dan Bali.

Kondisi sosial sektor Kelautan dan Perikanan didominasi oleh masyarakat nelayan, pembudidaya perikanan, dan masyarakat pesisir lainnya. Kepedulian masyarakat pada pembangunan sektor ini ditandai dengan meningkatnya partisipasi dan kerjasama antara pemerintah dan pemerintah daerah dengan berbagai pihak seperti masyarakat pesisir itu sendiri, LSM, perguruan tinggi, dan media massa.

Pada kondisi perekonomian, KKP telah dan sedang melaksanakan pembangunan untuk mewujudkan 3 (tiga) pilar pembangunan (KKP, 2009), yaitu pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-job (penyerapan tenaga kerja), dan pro-growth (pertumbuhan ekonomi). Terdapat 3 (tiga) outcome yang ditargetkan pada tahun 2009 ini untuk masing-masing strategi tersebut, yaitu: (1) peningkatan pendapatan masyarakat pesisir melalui program pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan dan program pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau kecil yang telah menjangkau lebih dari 200 kab/kota, (2) peningkatan penyerapan tenaga kerja kumulatif yang mencapai 7,69 juta orang, dan (3) pertumbuhan ekonomi sektor Kelautan dan Perikanan sebesar 5,7%. KKP berusaha menjadikan sektor ini sebagai prime-mover pembangunan nasional ke depan, dengan mengusulkannya menjadi bidang pembangunan sendiri dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010–2014. Oleh sebab itu KKP telah menambah dua pilar lagi pada Rencana Strategis tahun 2010 – 2014, yaitu strategi pro-business dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang kelautan dan perikanan dan pro-sustainable melalui pemulihan dan pelestarian lingkungan perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global.

Gambar

Gambar 1.1  Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun (http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect16/Sect16_2.html)
Gambar 1.2 Posisi Roadmap Perubahan Iklim (RPI) di dalam sistem perencanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di tingkat nasional dan di tingkat daerah
Gambar 2.6 Keterkaitan antara satu bahaya dengan bahaya lain yang dipicu oleh perubahan iklim terhadap sektor Kelautan dan Perikanan (diadopsi dari Australian Greenhouse Ofi ce, 2005)
Gambar 2.8 (a)  Posisi titik mooring pengukuran TPL, (b) hasil pengukuran (c)  Laju kenaikan TPLuntuk setiap stasion (sumber data: Aldrin, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

sebagai alat pengukuran untuk mengecek kualitas dari hasil sebuah Enterprise Arsitektur, dapat dilakukan dengan membuat pertanyaan dan melakukan wawancara sesuai

Luas total lahan kering 144,5 juta ha dan yang sesuai untuk pertanian seluas 99,6 juta ha yang pada umumnya telah digunakan untuk pertanian eksisting baik tanaman pangan

Sebagaimana yang telah dibuktikan bahwa adanya peranan guru dalam menerapkan dan melaksanakan tata tertib sekolah di SD Swasta Harapan 2 Medan terlaksana dengan

mendefinisikan Electronic Health Record ( EHR) adalah catatan rekam medik pasien seumur hidup pasien dalam format elektronik tentang informasi kesehatan

Xenograft digunakan sebagai material untuk mengisi defek yang kecil pada rahang dan klinisi pada umumnya menegaskan bahwa graft ini tidak memberikan efek osteogenik tetapi

Juni Juli Agust us Sept ember Okt ober Nopember Desember.

Saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan analisis kelayakan usaha peternakan ayam