• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Skeletal Vertikal Wajah - Gambaran Morfologi Vertikal Skeletal Wajah Berdasarkan Analisis Steiner Dan Jefferson

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Skeletal Vertikal Wajah - Gambaran Morfologi Vertikal Skeletal Wajah Berdasarkan Analisis Steiner Dan Jefferson"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan Skeletal Vertikal Wajah

Basis kranii anterior (Sella-Nasion) sering digunakan sebagai garis acuan untuk menentukan kemiringan bidang mandibula (MP). Individu dengan sudut MP-SN yang lebih besar akan cenderung memiliki wajah panjang karena rotasi mandibula menjauhi maksila sehingga menghasilkan pertambahan panjang vertikal wajah. Sebaliknya, individu dengan sudut MP-SN yang lebih kecil cenderung mempunyai wajah yang lebih pendek karena rotasi mandibula mendekati maksila.

Rotasi mandibula dapat terjadi dalam dua arah, yaitu searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Rotasi mandibula yang searah jarum jam mengarahkan pertumbuhan mandibula ke bawah dan ke belakang. Ini menyebabkan pengurangan overbite atau bahkan menjadi anterior open bite. Rotasi pertumbuhan mandibula yang berlawanan arah jarum jam mengarahkan pertumbuhan mandibula ke atas dan ke depan. Ini menyebabkan pertambahan overbite.

9,12

12,19

2.2. Tipe Pertumbuhan Vertikal Wajah

Schudy membagi tipe pertumbuhan vertikal wajah atas 2, yaitu : a. Hypodivergent

Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang pendek dan lebar, biasanya terdapat sudut bidang mandibular datar dan sudut gonial tertutup. Gigitan dalam (deep bite) sering dijumpai pada pasien dengan jenis wajah ini. Contoh dari jenis wajah yang mempunyai kepala yang pendek dan lebar adalah maloklusi klas II divisi 2.

b. Hyperdivergent 20,21

(2)

terbuka (open bite). Pola pertumbuhan ini akan mengakibatkan lengkung dentoalveolar yang panjang dan sempit pada lengkung rahang atas dan menghasilkan rotasi searah jarum jam mandibula selama pertumbuhan. 20,21

2.3. Radiografi Sefalometri

Radiografi sefalometri adalah metode standar untuk mendapatkan gambaran radiografi tulang tengkorak yang bermanfaat untuk membuat rencana perawatan dan memeriksa perkembangan dari pasien yang sedang menjalani perawatan ortodonti.2

2.3.1. Sejarah radiografi sefalometri

Penemuan sinar-X pada tahun 1985 oleh Rontgen berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kedokteran gigi. Penemuan tersebut telah memfasilitasi metode untuk memperoleh gambaran kranio fasial dengan akurasi yang baik. Pada tahun 1922, Paccini membuat suatu standarisasi posisi pengambilan foto radiografi kepala yaitu dengan memposisikan subjek terhadap kaset film sejauh 2 meter dari tabung sinar-X.17,22,23 Pada tahun 1931, Boardbent di Amerika Serikat dan Hofrath di Jerman

mempresentasikan suatu teknik sefalometri dengan menggunakan mesin sinar-X berkekuatan tinggi dan sebuah penopang kepala yang disebut cephalostat. Hasil dari foto sefalometri disebut sefalogram.17,22

2.3.2. Kegunaan radiografi sefalometri

Sefalometri merupakan salah satu pilar dalam diagnosis ortodontik dan dalam penentuan rencana perawatan. Adapun kegunaan sefalometri dalam bidang ortodonti yaitu:

a. Studi pertumbuhan kraniofasial. Sefalogram telah membantu menyediakan informasi tentang beragam pola pertumbuhan, gambaran struktur kraniofasial yang baik, memprediksi pertumbuhan, dan memprediksi kemungkinan dampak dari rencana perawatan ortodontik.

(3)

b. Diagnosis kelainan kraniofasial. Sefalogram digunakan dalam mengidentifikasi, menentukan gambaran dan melihat kelainan dentokraniofasial. Permasalahan utama dalam hal ini adalah perbedaan antara malrelasi skeletal dan dental.

c. Rencana Perawatan. Sefalogram digunakan untuk mendiagnosis dan memprediksi morfologi kraniofasial serta kemungkinan pertumbuhan di masa yang akan datang. Hal tersebut dilakukan dengan menyusun rencana perawatan yang baik dan benar.

d. Evaluasi Pasca Perawatan. Sefalogram yang diperoleh dari awal hingga akhir perawatan dapat digunakan dokter gigi spesialis ortodonti untuk mengevaluasi dan menilai perkembangan perawatan yang dilakukan serta dapat digunakan sebagai pedoman perubahan perawatan yang ingin dilakukan.

e. Studi kemungkinan relaps. Sefalometri membantu untuk mengidentifikasi penyebab relapse nya perawatan ortodonti dan stabilitas dari maloklusi yang telah dirawat.

2.3.3. Tipe sefalogram

Ada 2 jenis sefalogram yang dapat diperoleh yaitu:

a. Sefalogram Frontal 2

Gambar 1A menunjukkan gambaran tulang tengkorak kepala dari depan. b. Sefalogram Lateral

(4)

( A ) ( B )

Gambar 1. (A)Sefalogram Frontal, (B) Sefalogram Lateral2

2.3.4. Penggunaan titik-titik sefalometri dalam analisis jaringan keras Gambar 2 menunjukkan titik-titik sefalometri pada jaringan keras yang biasa digunakan dalam analisis sefalometri, yaitu:

a. Sella ( S ) : titik pusat geometric dari fossa pituitary. 2,22-24

b. Nasion ( N ) : titik yang paling anterior dari sutura fronto nasalis atau sutura antara tulang frontal dan tulang nasal.

c. Orbitale ( Or ) : titik paling rendah dari dasar rongga mata yang terdepan. d. Sub-spina ( A ): titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion, biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis maksila.

e. Supra-mental ( B ) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion dan biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis mandibula.

f. Pogonion ( Pog ) : titik paling depan dari tulang dagu. g. Gnathion ( Gn ) : titik di antara pogonion dan menton.

h. Menton ( Me ) : titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu.

(5)

j. Gonion ( Go ) : titik bagi yang dibentuk oleh garis bagi dari sudut yang dibentuk oleh garis tangen ke posterior ramus dan batas bawah dari mandibula.

k. Porion ( Po ) : titik paling superior dari meatus acusticus externus.

l. Pterygomaxilary ( PTM ) : Kontur fissura pterygomaxilary yang dibentuk di anterior oleh tuberositas retromolar maksila dan di posterior oleh kurva anterior dari prosesus pterygoid dari tulang sphenoid.

m. Spina Nasalis Posterior ( PNS ) : Titik paling posterior dari palatum durum.

n. Anterior nasal spine ( ANS ) : Ujung anterior dari prosesus maksila pada batas bawah dari cavum nasal.

o. Basion ( Ba ) : Titik paling bawah dari foramen magnum.

p. Bolton : Titik paling tinggi pada kecekungan fosa di belakang kondil osipital.

(6)

2.4. Analisis Sefalometri

Ada banyak analisis sefalometri dapat membantu menentukan hubungan antara fasial dengan skeletal, seperti Downs, Steiner, Koski, Ricketts dan sebagainya. Analisis yang digunakan harus dapat menilai hubungan anterior-posterior antara maksila dan mandibula dengan basis kranial, dan juga hubungan vertikal antara mandibula dengan basis kranial sehingga diagnosis yang dihasilkan akurat. Menurut Jefferson, analisis sefalometri yang ideal harus mudah di-tracing, mudah untuk mendiagnosis, efisien, universal (dapat digunakan pada individu siapapun tanpa melihat ras, jenis kelamin, umur, dan sebagainya), akurat, dan sesuai dengan proporsi biologis.2,4,17

2.4.1. Analisis Steiner

Steiner (cit, Singh 2007) mengembangkan analisis ini untuk memperoleh informasi klinis dari pengukuran sefalometri lateral. Steiner membagi analisisnya atas 3 bagian yaitu skeletal, dental dan jaringan lunak.2

1. Analisis skeletal mencakup hubungan rahang atas dan rahang bawah

terhadap tulang tengkorak.

2. Analisis dental mencakup hubungan insisivus rahang atas dan rahang bawah.

3. Analisis jaringan lunak mencakup keseimbangan dan estetika profil wajah bagian bawah.

Gambar 3 menunjukkan analisis skeletal Steiner dengan 5 sudut pengukuran yang digunakan antara lain:2

a. Sudut SNA

(7)

b. Sudut SNB

Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Sella - Nasion dan garis Nasion - titik B. Besar sudut SNB menyatakan hubungan antero-posterior mandibula terhadap basis kranium. Nilai normal rata-rata SNB adalah 80° ± 2°. Apabila nilai SNB lebih besar, maka mandibula diindikasikan mengalami prognasi. Apabila nilai SNB lebih kecil, maka mandibula diindikasikan mengalami retrognasi.

c.Sudut ANB

Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Nasion - titik A dan garis Nasion - titik B. Besar sudut ANB menyatakan hubungan maksila dan mandibula. Nilai normal rata-rata ANB adalah 2° ± 2°. Apabila nilai ANB lebih besar, maka diindikasikan kecenderungan hubungan klas II skeletal. Apabila nilai ANB lebih kecil, maka diindikasikan kecenderungan hubungan klas III skeletal.

d. Sudut MP-SN

Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Sella - Nasion dan dataran mandibula (Gonion-Gnathion). Nilai normal rata-rata sudut MP-SN adalah 32° ± 5°. Besar sudut MP- SN menyatakan indikasi pola pertumbuhan wajah seseorang. Nilai sudut MP-

SN yang lebih kecil mengindikasikan pola pertumbuhan wajah ke arah horizontal sedangkan nilai sudut MP-SN yang lebih besar mengindikasikan pola pertumbuhan wajah ke arah vertikal. Inklinasi bidang mandibula sangat menentukan dimensi vertikal wajah (tinggi, sedang atau pendek). Tipe vertikal wajah menurut Steiner dibagi menjadi 3 yaitu tipe pendek dengan besar sudut MP-SN <27°, tipe normal dengan MP-SN 27°-37° dan tipe panjang dengan MP-SN >37°.

e. Sudut Dataran Oklusal

(8)

Gambar 3. ( A ) Sudut SNA, ( B ) Sudut SNB, ( C ) Sudut ANB, ( D ) Sudut MP-SN,

(9)

2.4.2. Analisis Jefferson

Analisis Jefferson merupakan modifikasi dari analisis Sassouni, yang disebut juga analisis skeletal archial. Analisis ini diperkenalkan pada bulan Maret tahun 1990. Jefferson mengatakan bahwa analisis yang dibuatnya lebih praktis, cepat dan mudah dilakukan.

Gambar 4 menunjukkan batas anatomi pada analisis ini hampir sama dengan analisis Steiner. Landmarks yang digunakan yaitu:

4,17

d. Greater wing of sphenoid e. Ethmoid cribiform plate f. Lateral wall of orbit

Setelah semua batas anatomi telah digambar, kemudian ditentukan titik-titik sefalometri yang digunakan. Gambar 4 menunjukkan titik tersebut antara lain :17

1. SOr ( Supra Orbitale ) : titik paling anterior dari perpotongan bayangan

roof dengan kontur orbital lateralnya.

2. SI ( Sella Inferior ) : titik paling bawah dari sella tursica.

3. N ( Nasion ) : titik paling superior sutura frontonasal pada cekungan batang hidung.

4. ANS : titik paling anterior dari maksila.

5. PNS : titik paling posterior dari maksila pada dataran sagital. 6. P ( Pogonion ) : bagian paling anterior dari dagu.

7. M ( Menton ) : titik paling inferior dari dagu.

(10)

Gambar 4. Titik referensi pada analisis Jefferson17

Dalam analisisnya Jefferson menggunakan 4 dataran sebagai patokan pengukuran, sama dengan analisis Sassouni. Perbedaannya, Jefferson tidak menggunakan dataran paralel tetapi digantikan dengan dataran kranial. Adapun 4 dataran yang digunakan, yaitu:17

1. Dataran Kranial : dataran yang dibentuk dari garis dari SOr menuju SI. (gambar 5)

2. Dataran Palatal : dataran yang dibentuk dari garis dari ANS menuju PNS.

3. Dataran Oklusal : dataran yang dibentuk dari dataran oklusal fungsional melalui titik kontak premolar dan molar.

(11)

Gambar 5. Empat dataran pada analisis Jefferson17

Analisis Jefferson menggunakan 3 busur referensi untuk menentukan disharmoni hubungan skeletal dan wajah. Tiga busur tesebut adalah anterior arc, age 4 vertical arc, dan age 18 vertical arc. Anterior arc digunakan untuk menilai posisi antero-posterior maksila dan mandibula. Age 4 vertical arc menggambarkan tinggi vertikal wajah dari mandibula pada saat umur 4 tahun. Age 18 vertical arc menggambarkan tinggi vertikal wajah dari mandibula pada umur 18 tahun.

Dalam analisis anteroposterior Jefferson, perpanjangan keempat garis dataran kranial, palatal, oklusal dan mandibula akan diperoleh titik sentral “O”. Titik sentral “O” diperoleh dengan menentukan jarak vertikal yang paling dekat antara garis paling superior dan inferior yang dibentuk dari keempat dataran tersebut. Titik tengah dari jarak vertikal yang telah ditentukan tersebut adalah titik Center “O”. Anterior arc diperoleh dengan bantuan jangka yaitu meletakkan bagian tajam jangka pada titik O dan bagian pensil pada nasion kemudian rotasikan jangka sampai melewati dagu.

4,17

Dataran Kranial

Dataran Palatal

Dataran Oklusal

Dataran Mandibula Center

(12)

Dalam analisis vertikalnya, Jefferson menggunakan age 4 vertical arc dan age 18 vertical arc. Pertumbuhan vertikal wajah dimulai dari umur 4 tahun, dimana terjadi kenaikan tinggi wajah bagian bawah sebesar 0,75 mm setiap tahunnya dan berhenti pada saat umur 18 tahun. Age 4 vertical arc diperoleh dengan meletakkan bagian metal jangka pada titik ANS dan bagian pensil jangka pada titik SOr, kemudian rotasikan jangka ke bagian menton dan buat garis arc. Age 18 vertical arc diperoleh dengan menambahkan jarak 10 mm dari age 4 vertical arc.

Interpretasi vertikal dari analisis Jefferson adalah tinggi vertikal wajah dikatakan ideal apabila menton berada pada age 4 vertical arc ketika pasien berumur 4 tahun. Dan ketika pasien berumur 18 tahun atau di atas 18 tahun, menton berada pada age 18 vertical arc .

4,17

4,7,17

1. Tipe Pendek : apabila menton berada di atas age 18 vertical arc dengan jarak >2mm terhadap age 18 vertical arc.

Jefferson membagi tipe vertikal wajah menjadi 3.

yaitu:

2. Tipe Normal : apabila menton berada tepat atau masih dalam rentang jarak ± 2mm terhadap age 18 vertical arc.

3. Tipe Panjang : apabila menton berada di bawah age 18 vertical arc dengan jarak >2mm terhadap age 18 vertical arc.

Tipe vertikal wajah pendek dan panjang ditunjukkan pada gambar 6.

( A ) ( B )

Gambar

Gambar 1. (A)Sefalogram Frontal, (B) Sefalogram Lateral2
Gambar 2. Titik – titik sefalometri pada jaringan keras26
Gambar 3. ( A ) Sudut SNA, ( B ) Sudut SNB, ( C ) Sudut ANB, ( D ) Sudut MP-SN,
Gambar 4. Titik referensi pada analisis Jefferson17
+3

Referensi

Dokumen terkait

Distribusi tipe vertikal wajah pasien Suku Batak berdasarkan analisis

Jefferson menunjukkan hanya 34,5% prevalensi kesesuaian deskripsi antara analisis. Steiner

persentase tipe morfologi vertikal skeletal wajah pada pasien Suku Batak di RSGMP. FKG USU berdasarkan

mengenai morfologi vertikal skeletal wajah pasien Suku Batak di RSGMP

Individu dengan sudut MP- SN yang lebih besar akan cenderung memiliki wajah panjang karena rotasi mandibula menjauhi maksila sehingga menghasilkan pertambahan panjang

Distribusi tipe vertikal wajah suku Batak Klas III skeletal adalah 100% tipe pendek/ hypodivergent , 0% tipe normal/ normodivergent , dan 0% tipe panjang/

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa distribusi tipe vertikal skeletal wajah pada ras-ras di Indonesia khususnya suku Batak belum cukup banyak. Berdasarkan uraian

Pengukuran linear yaitu jarak antara Age 18 Vertical Arc.. terhadap menton menurut