• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: FLO RENCE MARGARETH HILDA HAREFA DEPARTERMEN HUKUM PERDATA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW FAKULTAS HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Oleh: FLO RENCE MARGARETH HILDA HAREFA DEPARTERMEN HUKUM PERDATA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW FAKULTAS HUKUM"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 20 TAHUN 2016.

(PRODUK DODOL MEREK WERY di Kota GUNUNG SITOLI) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

FLO RENCE MARGARETH HILDA HAREFA 150200323

DEPARTERMEN HUKUM PERDATA

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul sripsi ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Merek Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 (Studi kasus Produk Dodol Merek WERY di Kota Gunungsitoli).

Untuk penulisan skripsi ini, penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini dapat memenuhi kriteria yang diharapkan, namun penulis menyadari adanya keterbatasan penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan diterima oleh penulis agar dapat memperbaiki kekurangan dalam skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I, yang telah menyediakan waktunya dalam memberikan bantuan,

(4)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Mohammad Siddik, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah menyediakan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan, dan juga arahan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini;

9. Bapak Amsali Putra Sembiring, SH., M.Hum., selaku Dosen Penasihat Akademik;

10. Seluruh Dosen dan Staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik serta membimbing penulis selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Ibu Yuslian Harefa selaku pemilikMerek Wery, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian pada mereknya dan meluangkan waktu untuk membantu penulisan skripsi ini;

12. Kedua Orang Tua serta saudara/i penulis yang sangat penulis kasihi, yang selalu memberikan arahan, semangat, dukungan dan selalu mendoakan

(5)

tante yang tak pernah berhenti untuk memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi serta Bapak RSPZ yang selalu memberi dorongan dan motivasi serta doa tiada henti kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

15. Kerabat penulis, Koba Dly, yang selalu semangat memberikan bantuan dan dorongan yang dibutuhkan selama pengerjaan skripsi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

16. Meydana, yang selalu memberikan bantuan yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini; serta

17. Moodbooster, Pesa, Tata, dan Risky yang selalu menemani penulis dalam hal Penulisan skripsi ini yang sangat saya sayangi.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Juli 2019.

Penulis ,

Flo Rence Margareth H. Harefa 150200323

(6)

Daftar Isi ... iv

Abstraksi ... vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penulisan... 10

D. Manfaat Penulisan ... 11

E. Metode Penelitian ... 11

F. Keaslian Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL ... 17

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual ... ... 17

B. Asas-Asas (Prinsip-Prinsip Dasar) Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ... 21

C. Dinamika Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia ... 34

D. Sistem Hukum Kekyaan Intelektual di Indonesia ... 39 BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG MEREK ... 45

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hak Merek ... 45

B. Sejarah Pengaturan Hak Merek di Indonesia ... 47

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Hukum Merek ... 50

(7)

F. Indikasi Geografis dan Indikasi

Asal... 57

BAB IV. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2016 (STUDI PRODUK DODOL MEREK WERY DI KOTA GUNUNGSITOLI) .. 60

A. Konsep dan Pelaksanaan UU No.20 Tahun 2016 Tentang Merek... ... ... 60

B. Bentuk Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Produk Dodol Merek Wery di Kota GunungSitoli ... 72

C. Faktor Kendala dalam Pendaftaran Merek dan faktor Kendala dalam Pelaksanaan Gugatan Terhadap Pelanggaran Merek (Produk Dodol Merek Wery di Kota GunungSitoli) ... 85

BAB V. PENUTUP ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA

(8)

Mohammad Siddik,S.H., M.Hum***

Merek merupakan salah satu bentuk kekayaan intelektual yang dilindungi oleh hukum. Perlindungan hukum atas Merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Merek berfungsi sebagai tanda pengenal dan pembeda bagi produk barang dan/atau jasa yang sejenis. Merek menggambarkan perbedaan kualitas produk satu dengan yang lain dimana menyebabkan adanya perbedaan nilai dan harga jual antara produk dan/atau jasa yang sejenis. Perlindungan hukum didapatkan setelah merek didaftarkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Perlindungan Merek mengakibatkan akibat hukum bagi pelaku pelanggaran Merek. Adapun dalam skripsi ini membahas tentang Konsep dan Pelaksanaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek, Bentuk upaya Perlindungan Hukum Terhadap Produk Dodol Merek Wery di Kota Gunungsitoli, serta Faktor Kendala dalam Pendaftaran Merek dan Faktor kendala dalam Pelaksanaan Gugatan Terhadap Pelanggaran Merek Produk Dodol Merek Wery di Kota Gunungsitoli.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dimana bahan yang digunakan adalah bahan-bahan kepustakaan hukum yang terkait dengan topik yang diteliti berupa buku-buku dan Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis serta Penelitian Empiris berupa studi lapangan dengan melakukan wawancara pada pemilik Merek Wery di kota Gunungsitoli.

Konsep dan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis tertuang dalam Pasal 1 UU Merek. Bentuk Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Dodol Merek Wery di Kota Gunungsitoli dilakukan dengan cara mendaftaran Merek kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia bagian Merek.

Merek Wery memiliki perlindungan hukum yang dibuktikan dengan sertifikat Merek Wery, Nomor Permohonan D022010043741. Faktor kendala Pendaftaran Merek dan Faktor Kendala Pelaksanaan Gugatan Terhadap Pelanggaran Merek Produk Dodol Merek Wery di Kota Gunungsitoli adalah, Proses Pendaftaran Merek yang membutuhkan waktu cukup lama; Manajemen; Keluarga; dan Kurangnya SDM. Faktor Kendala Pelaksanaan Gugatan Terhadap Pelanggaran Merek Produk Dodol Merek Wery di Kota Gunungsitoli, yakni : Budaya; Biaya dan Waktu.

Kata Kunci : Merek, Perlindungan Hukum, dan Faktor Kendala

*Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

(9)

Hak Kekayaan Intelektual atau Intellectual Property Right (IPR) saat ini telah menjadi isu global khususnya di kalangan negara- negara industri maju yang selama ini banyak melakukan ekspor produk industri kreatif berbasis HKI.

Menurut Hayyanul Haq, sesunguhnya teori yang menjadi dasar pengembangan Intellectual Property Right adalah berasal dari teori John Locke yang inti ajaranya sebagai berikut: 1) Tuhan telah menciptakan seluruh alam semesta ini untuk semua manusia; 2) Tuhan menciptakan manusia dengan segala potensi yang melekat dalam dirinya untuk bisa survive (mempertahankan diri); 3) setiap manusia berhak untuk melakukan intervensi atas alam guna mempertahankan surviveasnya; 4) setiap manusia berhak atas hasil-hasil yang diperoleh dari setiap interaksi antar personal-personal yang ada; 5) setiap orang harus menghormati hak itu sebagai hak personal.1

Jika ditelusuri lebih jauh, Hak Kekayaan Inttelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori, salah satu diantara kategori itu, adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapatlah dilihat batasan benda dalam pasal 499 KUHPerdata, yang berbunyi: Menurut paham undang- undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap- tiap barang dan tiap- tiap hak,

1 Hasbir Paserangi, 2011, Hak Kekayaan Intelektual, Perlindungan Hukum Hak Cipta Perangkat Lunak Program Komputer Dalam Hubungan Dengan Prinsip-Prinsip Dalam TRIPs Di Indonesia, Rabbani Press, Jakarta Selatan, hal.168.

(10)

yang dapat dikuasai oleh hak milik. Untuk pasal ini, kemudian Prof. Mahadi menawarkan, seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat sebagai berikut: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak.2

Benda immateriil atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tadi, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, hak kekayaan intelektual (intellectual property right) dan lain sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo, sebagaimana dikutip oleh prof. Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih hak immateriil itu tidak mempunyai benda (berwujud) sebagai objeknya.3

HKI adalah kekayan manusia yang tidak berwujud nyata tetapi berperan besar dalam memajukan peradaban umat manusia. Perlindungan hukum terhadap HKI diberikan oleh negara untuk merangsang minat para Pencipta, Penemu, Pendesain dan Pemulia agar mereka dapat lebih bersemangat menghasilkan karya-karya intelektual yang baru demi kemajuan masyarakat. Secara garis besar HKI terbagi dalam dua golongan, yaitu Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. 4

Di indonesia hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) memegang peranan yang vital bagi perlindungan terhadap penerapan ide yang memiliki nilai komersial sejak diratifikasinya standar perindungan yang ditetapkan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propery Righs, Including Trade in

2 OK.Saidin, 2015, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Rajawali Pers, Jakarta, hal.13.

3 Ibid.

4 Iswi Haryani, 2010, Prosedur Mengurus HAKI yang Benar, Pustaka Yustisia, Jakarta, hal.

6.

(11)

Counterfenity Goods (TRIP’s Agreement) seiring dengan era WTO (World Trade Organization) yang Indonesia merupakan peserta atau bagian didalamnya. Ada bermacam-macam pengertian tentang HaKI, namun pada dasarnya HaKI terdiri dari Hak Cipta dan Hak Terkait, merek dagang, indikasi geografis, desain industry, paten, tata letak (topografi) sirkuit terpadu, perlindungan informasi rahasia, control terhadap persaingan usaha tidak sehat dalam perjanjian lisensi.5

Salah satu contoh Hak atas Kekayaan Intelektual yang harus dilindungi ialah merek. Merek merupakan hal yang sangat penting dalam dunia bisnis.

Merek produk (baik barang maupun jasa) tertentu yang sudah menjadi terkenal dan laku di pasar tentu saja akan cenderung membuat produsenatau pengusaha lainnya memacu produk bersaing dengan merek terkenal, bahkan dalam hal ini akhirnya muncul persaingan tidak sehat. Merek dapat dianggap sebagai”roh” bagi suatu produk barang atau jasa.6

Merek (trademark) sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual pada dasarnya ialah tanda untuk mengidentifikasikan asal barang dan jasa (an indication of origin) dari suatu perusahaan dengan barang dan/atau jasa perusahaan lain. Merek merupakan ujung tombak perdagangan barang dan jasa. Melalui merek, pengusaha dapat menjaga dan memberikan jaminan akan kualitas (a guarantee of quality) barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan mencegah tindakan persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain yang bermaksud membonceng reputasinya.

Merek sebagai sarana pemasaran dan periklanan (a marketing and advertising

5Tim Lindsey, Tim, Hak Kekayaan Intelektual : suatu pengantar, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal 3.

6 Insan Budi Maulan, sukses bisnis melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 60.

(12)

device) memberikan suatu tingkat informasi tertentu kepada konsumen mengenai barang dan/atau jasa yang dihasilkan pengusaha.7

Pentingnya suatu merek dalam mempengaruhi berkembangnya bisnis suatu barang atau jasa dapat dilihat dari adanya keinginan masyarakat yang merupakan pembeli atau konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang memiliki merek terkenal.8 Tidak jarang dalam kehidupan sosial masyarakat ada anggapan bahwa merek barang atau jasa yang digunakan dapat menunjukkan status sosial pemakai merek. Keadaan seperti ini yang dimanfaatkan oleh para pengusaha yang tidak bertanggung jawab, sehingga banyak konsumen yang tertipu dengan dengan menggunakan merek yang sama tapi dengan kualitas yang berbeda.9 Ketidakmampuan rakyat kebanyakan untuk membeli merek teerkenal yang asli terseburt dipandang oleh para pedagang sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.10

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun 2016, ada beberapa unsur dalam merek, yaitu: (a) Tanda, (b) Memiliki daya pembeda, (c) Digunakan untuk perdagangan barang dan atau jasa. Sebuah merek dapat disebut merek apabila memenuhi syarat mutlak berupa adanya daya pembeda yang cukup (capable of distinguishing). Maksudnya tanda yang dipakai (sign) tersebut memiliki kekuatan untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi suatu perusahaan dari perusahaan lainnya. Untuk mempunyai daya pembeda ini, maka

7 Rahmi Jened, 2015, Hukum Merek (Trademark Law) Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi, Kharisma Putra Utama, Jakarta, hal. 3.

8 Tommy Hendra Purwaka, 2017, Perlindungan Merek, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal. 13.

9 Aulia Muthiah, Aspek Hukum Dagang dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jogjakarta:

Pustaka Baru Press, 2016, hal. 158.

10 Tommy Hendra Purwaka, Op.Cit., hal. 14.

(13)

merek itu harus dapat memberikan penentuan atau “individualishing” pada barang atau jasa yang bersangkutan.11

Merek dapat dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan reputasi dan kemahsyuran suatu merek, yakni merek biasa (normal marks), merek terkenal (well-known marks), dan merek termahsyur (famous marks).12 Semakin tinggi reputasi dan kemahsyurannya, semakin banyak pula peminatnya dan semakin banyak pula pengusaha yang menggunakan merek tersebut (disalahgunakan) untuk meraup untung.

Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek menyebutkan bahwa, “Hak atas merek adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya”13. Dalam Pasal 2 ayat 3 (tiga) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Merek yang dilindungi terdiri atas tanda berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang dan/atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Pasal 3 Tentang Merek tersebut, dinyatakan bahwa hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut didaftarkan”.14

11 Siti Marwiyah, “Pererlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal”, Jurnal De Jure Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2011, hal. 42.

12 Ibid, hal. 43.

13 Pasal 1 ayat 5 No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis

14 Pasal 2 ayat 3 dan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

(14)

Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 20 huruf (a) Undang-Undang No.

20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftarkan jika bertentangan dengan ideologi negara, peraturan per- Undang-Undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum. Pasal 21 Ayat (3) UU ini juga menyatakan bahwa “Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik”. Yang dimaksud “ Pemohon yang beriktikad tidak baik” adalah Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat,mengecoh, atau menyesatkan konsumen.15

Pendaftaran merek yang beritikad buruk ini seringkali diikuti juga dengan adanya pengajuan gugatan berupa pembatalan pendaftaran merek oleh pemilik hak atas merek yang asli. Adanya pendaftaran yang beritikad buruk dan gugatan pembatalan merek oleh pemilik merek yang asli menjadi dasar perlunya dilakukan penelitian untuk melihat kesesuaian penerapan prosedur pemberian hak atas merek di Ditjen HKI dengan hukum merek yang mengaturnya.16

Kondisi seperti ini dikarenakan pada merek terkenal biasanya melekat suatu reputasi yang tidak terbatas hanya pada produk tertentu. Kesuksesan dan tingginya reputasi suatu perusahaan dengan produk dan juga merek yang melekat pada produk tersebut, seringkali menggoda pihak-pihak lain yang beritikad buruk untuk membonceng dengan cara-cara yang melanggar etika bisnis, norma

15 Pasal 20 huruf (a) dan Pasal 21 Ayat (3) Penjelasan rancangan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis

16 Djoko Prakoso, Hukum Merek dan Paten di Indonesia, Dahara Prize, Semarang, 2005, hal.

75.

(15)

kesusilaan maupun hukum. Perbuatan yang mencoba meraih keuntungan dengan cara membonceng reputasi merek yang sudah dikenal di masyarakat sehingga dapat menyebabkan tipu muslihat atau penyesatan dikenal dengan passing off.17

Istilah passing off secara kepustakaan hukum Indonesia belum dikenal, namun dapat diartikan sebagai suatu perbuatan pemboncenganreputasi merek yang sudah dikenal. Hal ini merupakan suatu perbuatan melawan hukum (action for tort of passing off) yang dikenal di negara-negar civil law (common law system) seperti Australia, Inggris, Malaysia, Amerika Serikat dan lain-lain. Di negara-negara ini, passing off berkembang sebagai bentuk praktek persaingan curang (unfair competition) dalam hal perdagangan produk dengan merek yang membonceng merek yang sudah dikenal di masyarakat.18

Perlindungan hukum terhadap merek juga diberikan sesuai dengan ketentuan dan diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, yaitu sebagaiman yang termuat dalam Pasal 83 ayat (1)

Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:

a. Gugatan ganti dan/atau

b. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan merek tersebut.

17 Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung, Alumni, 1977, hal. 106.

18 Untung Suropati, Hukum Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Satya Wacana, Salatiga, 2003, hal. 56.

(16)

Dalam penjelasan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Pasal 83 ayat (2) menyatakan bahwa, Pemberian hak untuk mengajukan gugatan perdata berdasarkan perbuatan curang yang dilakukan oleh pihak lain dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemilik Merek terkenal meskipun belum terdaftar.19 Perlindungan hukum juga diberikan dalam bentuk ketentuan Pidana yang tercantum dalam Pasal 100 – 103 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Menurut Rahmi Janed, umumnya hak atas merek diperoleh melalui prosedur pendaftaran, walau di beeberapa negara dikenal juga merek yang tidak terdaftar (unregistered trademark) yang dilindungi berdasarkan tradisi common law yang disebut equity. Common Law adalah tradisi hukum yang diwarisi dari Anglo Saxon yang berasal dari kerajaan Inggris beserta koloninya, sementara Civil Law merupakan tradisi yang diwarisi dari hukum Romawi yang dimulai pada 450 Sebelum Masehi.20

Fungsi pendaftaran merek diatas menunjukkan hak eksklusif yang timbul karena adanya pendaftaran merek. Hak ekslusif penggunaan merek tersebut berfungsi seperti suatu monopoli, hanya berlaku untuk barang atau jasa tertentu.

Oleh karena suatu merek memberi hak ekslusif pada yang bersangkutan, maka hak itu dapat dipertahankan terhadap siapapun.21 Perlindungan terhadap hak atas merek bagi pemegang merek di Indonesia ini akhir-akhir ini masi sering dijumpai

19 Pasal 83 ayat (2) Penjelasan rancangan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

20 Rahmi Jened, Perlindungan Hukum Terhadap Merek, Pikiran Rakyat, Yogyakarta, 2004, hal. 6.

21 Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 232.

(17)

adanya pelanggaran terhadap hak atas merek tersebut. Pelanggaran tersebut terjadi sejak dahulu sampai sekarang dengan menggunakan teknologi yang lebih maju dan dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.22

Salah satu produk yang membutuhkan perlindungan terhadap hak atas merek adalah hasil produksi kuliner. para pengusaha-pengusaha di bidang kuliner di zaman perkembangan globalisasi yang pesat ini berlomba-lomba meningkatkan hasil produksinya dalam segi kualitas maupun kwantitas demi meningkatkan daya beli produsen, usaha di bidang kuliner merupakan suatu hal yang menjanjikan apalagi hasil kuliner yang membawa nama suatu daerah asal kuliner tersebut yang dapat menjadi suatu ciri khas suatu daerah, hal ini lah yang terdapat pada produk kuliner yang bermerek Dodol Wery yang merupakan kuliner yang membawa suatu nama daerah di sebuah Kota di Kepulauan Nias Kota Gunung Sitoli, dodol Wery Khas Gunung Sitoli. Merek Dodol Wery tersebut merupakan suatu Merek Kuliner yang mana telah memperoleh hak atas Merek melalui pendaftaran pada tahun 2014 di Kantor Merek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.23

Berdasarkan Latar Belakang di atas penulis memilih Judul Perlindungan Hukum Terhadap Merek Menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis (Studi Kasus Merek Dodol Weri di Kota Gunung Sitoli).

B. Permasalahan

22 Hariyan Iswi, Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2010, hal.88.

23 Wawancara dengan Y. Harefa selaku pemilik merek , Gunungsitoli, Minggu, 12 Mei 2019, Pukul 19.00

(18)

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka secara lebih konkrit masalah penelitian yang penulis dapat rumuskan adalah sebagai berikut

1. Bagaimanakah Konsep dan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek ?

2. Bagaimanakah Bentuk Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Produk Dodol Merek Wery di Kota Gunungsitoli ?

3. Apa faktor Kendala Dalam Pendaftaran Merek dan Faktor Kendala dalam Pelaksanaan Gugatan Terhadap Pelanggaran Merek Produk Dodol Merek Wery di Kota Gunungsitoli ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pokok permasalahan diatas, ada beberapa tujuan yang melandasi penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui Bagaimana Konsep dan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek.

2. Untuk mengetahui Bagaimana Bentuk Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Produk Dodol Merek Wery di Kota Gunungsitoli.

3. Untuk mengetahui Apa faktor Kendala Dalam Pendaftaran Merek dan Faktor Kendala dalam Pelaksanaan Gugatan Terhadap Pelanggaran Merek Produk Dodol Merek Wery di Kota Gunungsitoli.

D. Manfaat Penulisan

(19)

Diharapkan dalam penulisan karya ilmiah ini terdapat manfaat dan kegunaan yang dapat diambil serta dijadikan acuan dalam penelitian lainnya.

Adapun manfaat yang diperoleh pada penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis

Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan pemikiran serta pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hak merek di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

2. Manfaat praktis

Sebagai bahan yang diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan dan informasi bagi pengusaha dan pemerintah sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk melengkapi penelitian yang diteliti menggunakan penelitian empiris. Penelitian empiris (empirical law research) adalah penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku (behaviour) anggota masyarakat dalam hubungan hidup masyarakat.24 Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris yang dilakukan dengan data primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari perpustakaan.

2. Sifat Penelitian

24 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 55.

(20)

Adapun sifat penelitian yang akan diteliti berdasarkan fokus kajian diatas, maka sifat penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat empiris (sosiologis), yakni penelitian hukum yang memperoleh datanya dari masyarakat.25 Penelitian yang bersifat empiris diperoleh berdasarkan fakta dan kenyataan melalui pengamatan (observasi) yang didapat langsung dalam masyarakat.

3. Sumber Data

Materi dalam penelitian ini menggunakan beberapa data, yaitu data primer, data sekunder, dan data tersier.

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama dan bersifat mengikat seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2016 dan hasil wawancara langsung.

b. Data Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan mengenai data hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, karya ilmiah, artikel, tesis, atau pendapat pakar hukum yang dimana berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.

c. Data Tersier, yaitu suatu sumber data dimana merupakan data pendukung untuk data primer dan data sekunder seperti, katalog perpustakaan, direktori, wikipedia.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap

25 Ronny Hanitijo Soemitro. Dalam bukunya Mukti Fajar dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian hukum (normative dan empiris), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, 2010, hal. 154.

(21)

bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian.26

b. Penelitian Lapangan (field Research)

Penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan narasumber. Wawancara dilakukan dengan pemilik dodol Wery di Kota Gunungsitoli.

5. Analisis data

Data yang berhasil dikumpulkan, data primer,sekunder, dan tersier kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut diatas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada.

Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.27

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,tidak ditemukan tulisan tentang, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 (Studi kasus Produk Dodol Merek WERY di Kota Gunungsitoli)”. Adapun beberapa judul yang memiliki

26 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Swebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, 2009), Hal. 54.

27 Ibid, hal. 25.

(22)

kesamaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain :

Irwansyah Ockap Halomoan ( 2009), dengan judul penelitian, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang Terkenal Asing Dari Pelanggaran Merek Di Indonesia

Dermawan Chahyadi (1990), dengan judul penelitian, Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Merek Menurut Undang-Undang no. 19 Tahun 1992.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan suatu karya ilmiah yang baik , maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis . Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab membahas dan menguraikan serta menjelaskan masalahnya secara tersendiri, namun memiliki kaitan antara bab satu dengan bab lainnya. Penulis membuat sistematika penulisan skripsi ini dengan membaginya kedalam lima bab terperinci, adapun rinciannya adalah sebagi berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini diawali dengan latar belakang, permasalahan, tinjauan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Bab ini berisi Pengertian dan Ruang Lingkup HKI, Asas-asas (prinsip -

(23)

prinsip dassar) Perlindungan HKI, Dinamika Perlindungan HKI di Indonesia dan Sistem Hukum Kekayaan Intelektual di Indonesia.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MEREK

Bab ini berisikan Pengertian dan Ruang Lingkup Hak Merek, Sejarah Pengaturan Hak Merek di Indonesia, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Hukum Merek, Persyaratan dan Prosedur Pendaftaran Merek, Penolakan Permintaan Pendaftaran Merek, dan Indikasi Geografis dan Indikasi Asal.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK MENURUT

UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2016 DI KOTA

GUNUNGSITOLI

Bab ini berisikan Konsep dan Pelaksanaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek, Bentuk Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Produk Dodol Merek WERY di Kota Gunungsitoli, serta Faktor Kendala Dalam Pendaftaran Merek dan Faktor Kendala Dalam Pelaksanaan Gugatan Terhadap Pelanggaran Merek Produk Dodol WERY di Kota Gunungsitoli.

BAB V PENUTUP

Merupakan bagian terakhir dalam skripsi ini, dimana memuat saran dan kesimpulan dari seluruh uraian penulisan pada bab-bab sebelumnya.

(24)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Pengertian dan Ruang Lingkup HKI

Hak Kekayaan Intelektual merupakan terjemahan resmi dari intellectual Property Rights.Hak Kekayaan Intelektual lahir setelah Revolusi Industri, dimulai dari Paris Convention for the Protection of Artistic and Literaty works di abad ke 19.28 Hak Kekayaan Intelektual memuat perlindungan terhadap para pencipta dan penemu dari suatu benda immateriil,sehingga menjamin Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri yang dimana bernuansa ekonomi, sehingga bersifat universal dan diminati oleh banyak negara.

Hak Kekayaan Intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar.itu pada satu sisi, di sisi lain adapula hasil kerja emosional.

Hasil kerja hati dalam bentuk abstrak yang dikenal dengan rasa perpaduan dari hasil kerja rasional dan emosional itu melahirkan sebuah karya yang disebut karya intelektual. Hasil kerjanya itu berupa benda immateriil. Benda tidak berwujud.29 Demikian pula hasil kerja otak (intelektual) manusia dalam bentuk penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga merumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual.30

Dengan uraian diatas, tampaklah titik terang asal-usul kata intellectual property rights itu. Asal muasal, kata intelektual yang dilekatkan pada hak

28 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005, hal vii.

29 Ok. Saidin, 2015, Op.Cit, hal. 10.

30 Ibid, hal 11.

(25)

kekayaan. Hak itu lahir atas hasil perjuangan kerja otak dengan pertimbangan kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional.31

Oleh karna itu, hak milik immateriil itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Selanjutnya dikatakan pula bahwa, hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak absolut yang objeknya bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nam aHak Kekayaahn Intelektual (Intellectual Property Rights).32

HKI merupakan hak eksekutif yang diberikan negara kepada seseorang, sekelompok orang, maupun lembaga untuk memegang kuasa dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari kekayaan intelektul yang dimilikiatau diciptakan.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization).

Pengertian Intellectual Property Rights sendiri adalah pemahaman mengenai hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia, yang mempunyai hubungan dengan hak seseorang secara pribadi yaitu hak asasi manusia (human right).33

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan Hak Kekayaan Intelektual ini adalah, terpisahnya antara Hak Kekayaan Intelektual itu dengan hasil materiil yang menjadi bentuk jelmaannya. Yang disebut terakhir ini adalah benda berwujud (benda materiil). Suatu contoh dapat dikemukakan misalnya hak cipta dalam bidang ilmu pengetahuan (berupa HKI) dan hasil materiil yang menjadi bentuk

31 Ibid.

32 Mahadi, Hak Milik Immateriil, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985 hal. 4.

33 Firmansyah Hery, Perlindungan Hukum Terhadap Merek (Panduan memahami dasar hukum penggunaan dan perlindungan merek), Pustaka Yustisia, 2011, hal. 6.

(26)

jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan (istilah undang-undang invensi) dalam bidang paten (bagian HKI), dan hasil benda materi yang menjadi bentuk jelmaannya adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi, yang dilindungi dalam kerangka HKI adalah haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut.jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh hukum benda dalam kategori benda materiil (benda berwujud).34

Hak Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya- karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.

Secara garis besar HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:

1. Hak Cipta (copyright);

2. Hak kekayaan industri (Industrial Property Rights), yang mencakup:

a. Paten (patent);

b. Desain industri (industrial design);

c. Merek (trademark);

d. Penanggulangan praktek persaingan curang (repression of unfair competition);

e. Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit);

34 Ok. Saidin, 2015, Op.Cit, hal. 15.

(27)

f. Rahasia dagang (trade secret).35

Adapun dari definisi diatas, HKI selalu dikaitkan dengan tiga elemen berikut ini:

a. Adanya sebuah hak eksekutif yang diberikan oleh hukum;

b. Hak tersebut berkaitan dengan usaha manusia yang didasarkan pada kemampuan intelektual;

c. Kemampuan intelektual tersebut memiliki nilai ekonomi.36

Sedcara substansif, pengertian HKI dapat di deskripsikan sebagai hak atas kekayaan intelektual yang timbul dan lahir berdasarkan proses kemampuan intelektual manusia.37

Hak Kekayaan Intelektual berasal dari karya-karya bernilai yang dimana nilai itu sendiri menonjolkan nilai ekonomi, dimana bermanfaat untuk menghasilkan kekayaan bagi pemegang hak eksekutif atas karya yang dihasilkan sang pemilik hak. Tujuan utama Hukum Kekayaan Intelektual itu sendiri adalah memberikan perlindungan hukum atas setiap karya intelektual yang dihasilkan agar setiap pihak yang menggunakan hak ataupun karya tersebut tanpa ijin dari pemegang hak eksekutif, mendapatkan sanksi tegas. Sehingga mendukung persaingan sehat yang mendorong kreatifitas dalam masyarakat.

35 https://penelitian.ugm.ac.id/pengertian-hki, diakses pada tanggal 28 Maret 2019.

36 Tomy Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal. 2.

37 Afrillya Purba, Andrian Krisnawati dan Gazalba Shach, TRIPs-WTO dan Hukum HKI Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta 2005, hal. 13.

(28)

B. Asas- asas (Prinsip-Prinsip Dasar) Perlindungan HKI

Dalam rangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, maka dari segi subtansif, norma hukum yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual itu tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh suatu negara tertentu, tetapi juga terikat pada norma-norma hukum internasional. Disini kita lihat hakikat hidupnya sistem hukum itu. Ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntutan perkembangan peradaban dunia.38

Dua lembaga multilateral yang penting berkaitan dengan Haki adalah WIPO dan WTO. Secara hukum, tidak ada hubungan antara kedua lembaga tersebut.

Meskipun demikian, antara keduanyadibuat perjanjian kerjasama yang bersifat formal pada tahun 1995 (Persertujuan Antara WIPO dan WTO, disepakati di Jenewa pada bulan Desember 1995), yang mengatur bidang-bidang kerjasama praktis yang bermanfaat bagi permasalahan hukum yang bersifat mendasar dan Direktur Jendral masing-masing membuat program kerja sama bantuan teknis berkaitan dengan HaKI untuk negara-negara berkembang pada tahun 1998.39

Munculnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights (IPR) sebagai bahan pembicaraan dalam tatanan nasional, regional dan bahkan internasional tidak lepas dari pembentukan organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). Pembentukan WTO sendiri mempunyai sejarah yang cukup panjang, yakni ditandai dengan masalah perundingan tarif dan perdagangan General Agreement Tariff and Trade (GATT). Dalam putaran terakhir pada tahun 1994 di Maroko (Marrakesh) ditandatangani oleh sejumlah

38 OK.Saidin, 2006, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 23.

39 Tim Lindsey, Op.Cit, hal.28.

(29)

negara peserta konfrensi pembentukan WTO. Indonesia sendiri telah meratifikasi dengan Undang-Undang nomor 70 Tahun 1995. Salah satu bagian yang cukup penting dalam dokumen pembentukan WTO adalah lampiran 1 C yakni tentang Hak Kekayaan Intelektual dikaitkan dengan perdagangan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs).40

Oleh karena itu negara-negara yang turut dalam kesepakatan internasional, harus menyesuaikan peraturan dalam negrinya dengan ketentuan internasional, yang dalam kerangka GATT/WTO (1994) adalah kesepakatan TRIPs, sebagai salah satu dari Final Act Embodying The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation, yang ditandatangani di Marakesh, pada bulan April 1994 oleh 124 negara dan 1 wakil masyarakat Ekonomi Eropa. Indonesia termasuk salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan itu dan ratifikasinya telah telah dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Akibatnya Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat peraturan yang extra-territorial yang menyangkut tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, dan semua isu yang terdapat dalam kerangka WTO Indonesia harus mengakomodirnya paling tidak harus memenuhi (pengaturan) standart minimum.41

Meskipun demikian, terjadi tumpang-tindih dari segi substansi di antara traktat-traktat utama WIPO dengan persetujuan TRIPs WTO, sehingga penting untuk dipahami hubungan organik antar kedua lembaga. Secara khusus, Persetujuan TRIPs mewajibkan semua anggota WTO untuk menetapkan hukum

40 Sentosa Sembiring, prosedur dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual dIbidang Hak Cipta Paten dan Merek, CV Yrama Widya, Bandung,2002, hal. 11.

41 OK.Saidin, 2006, Loc. Cit.

(30)

nasional yang isisnya sesuai dengan aturan-aturan baik dalam Konvensi Paris maupun Konvensi Bern, terlepas dari apakah negara-ngara tersebut telah atau belum menjadi peserta dalam kedua konvensi tersebut. TRIPs juga mengikuti dan mengadaptasi isi pengaturan dalam Konvensi Roma (International Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organizations, yang ditandatangani di Roma pada tanggal 26 Oktober 1961) serta Traktat WIPO tentang sirkuit terpadu (Treatyon Intellectual Property in Respect of Integrated Circuit/IPIC Treaty, ditandatangani di Washington pada tanggal 26 Mei 1989). Standart yang diatur oleh TRIPs dalam beberapa bidang HaKI secara langsung merujuk pada standart WIPO yang dikembangkan, dijabarkan, dan dilaksanakan secara lebih jelas. Beberapa contoh dari hubungan ini adalah:

a) Perlindungan terhadap informasi rahasia (TRIPs menetapkan ini sebagai suatu penerapan secara khusus dari aturan-aturan umum Konvensi Paris dalam hal persaingan usaha tidak sehat).

b) Perlindungan terhadap merek dagang terkenal ( Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh TRIPs dan diperluas sehingga mencakup merek jasa).

c) Perlindungan piranti lunak komputer (TRIPs menetapkan bahwa piranti lunak komputer harus dilindungi sebagai sebuah karya literatur berdasarkan standar dalam Konvensi Bern), dan

d) Aturan-aturan mengenai indikasi geografis (naskah TRIPs mengacu pada unsur-unsur naskah Perjanjian Lisbon (Lisbon Agreement for the Protection of Appellations of Origin and their International Registration; sebagai contoh Pasal 23.1 dipengaruhi oleh bunyi Pasal 3 Perjanjian Lisbon) meewajibkan untuk

(31)

menyediakan upaya-upaya hukum bilamana indikasi geografis dipergunakan dalam persaingan usaha tidak sehat berdasarkan Konvensi Paris).

Persetujuan TRIPs juga mengakui adanya pengecualian terhadap prinsip- prinsip mendasar seperti halnya prinsip perlakuan nasional (National Treatment) dan prinsip negara-negara yang diuntungkan (Most Favoured Nations/MFN) yang mungkin diperlukan sebagai akibat tunduknya negara-negara anggota WTO terhadap traktat-traktat WIPO tertentu (Pasal 3.1, 4(b) dan 5 TRIPs).42

Terbentuknya persetujuan TRIPs ini dalam Putaran Uruguay pada dasarnya merupakan dampak dari kondisi perdagangan dan eknomi internasional yang dirasas semakin menglobal sehingga perkembangan teknologi sebagai pendukungnya tidak lagi mengenal batas-batas negara. Persetujuan ini terbentuk pada mulanya atas antisipasi Amerika Serikat (juga beberapa negara Eropa) yang menilai bahwa WIPO yang bernaung dibawah PBB, tidak mampu melindungi HKI mereka di pasar internasional, dan berpendapat bahwa ketidakmampuan ini mengakibatkan neraca perdagangan mereka menjadi negatif. Argumentasi mereka mengenai kelemahan-kelemahan WIPO ini antara lain :

1. WIPO hanya merupakan suatu organisasi yang anggotanya terbatas (tidak banyak), sehingga ketentuan-ketentuannya tidakk dapat diberlakukan terhadap non anggotanya.

2. WIPO tidak memiliki mekanisme untuk menyelesaikan dan menghukum setiap pelanggaran dibidang HKI.

42 Tim Lindsey, 2006, Op. Cit, hal. 29-30.

(32)

3. Disamping itu, WIPO dianggap juga tidak mengadaptasi perubahan struktur perdagangan internasional dan perubahan tingkat inovasi teknologi.

Atas dasar diatas, sejak tahun 1982 Amerika Serikat berusaha memasukkan permasalahn HKI ini keforum perdagangan GATT. Bagi negara-negara berkembang pemasukan HKI ini mulanya ditentang. Mereka berpendapat bahwa pembicaraan HKI dalam GATT tidaklah tepat (kompeten). GATT merupakan forum perdagangan multilateral, sedangkan HKI tidak ada kaitannya dengan perdgangan. Namun, setelah adanya argumentasi bahwa kemajuan perdagangan internasional suatu negara bergantung kepada kemajuan atau keunggulan teknologinya termasuk perlindungan HKI-nya, sehingga terjadi hubungan erat diantara keduanya, akhirnya mereka bisa menerimanya.43

Ciri-ciri pokok pesetujuan TRIPs ini pada dasarnya berpola pada tiga hal, yaitu:

1. TRIPs lebih berpola pada norma-norma dan standar-standar yang berbeda dari persetujuan-persetujuan internasional lain, terutama perjanjian-perjanjian dibidang perdagangan barang (trade in goods), yang lebih banyak berpola pada aspek-aspek yang konkret seperti akses ke pasar dan tarif.

2. Sebagai persyaratan minimal, TRIPs menetapkan sebagai salah satu cirinya, yaitu full compliance terhadap beberapa perjanjian internasional di bidang HKI.

3. TRIPs memuat ketentuan-ketentuan mengenai penegakan hukum yang ketat berikut mekanisme penyelesaian sengketa yang diberi sarana berupa hak

43Fidel S. Djaman, Beberapa Aturan dan Kebijakan Penting di Bidang Hak Milik Intelektual, IKAHI Varia Peradilan No. 106, Jakarta 1995, hal. 135.

(33)

bagi negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan-tindakan balasan dibidang perdagangan secara silang (cross-retaliation).

Selain ketiga ciri diatas, ada juga tiga unsur yang terkandung dalam TRIPs yang perlu dicermati oleh negara-negara yang bermaksud untuk menyesuaikan perundang-undangan nasionalnya dibidang HKI. Ketiga unsur dimaksud adalah unsur-unsur yang berupa norma-norma baru, standar-standar yang lebih tinggi dan penegakan hukum yang ketat.44

Pandangan globalisasi sebagai satu sistem dunia disegala bidang, tidak realistik dan rentan terhadap konflik sosial dan budaya, bahkan dapat mempengaruhi pembentukan hukum dan penegakan hukum. Selain hal tersebut, di era globalisasi ekonomi saat ini, tampak bahwa ekses kapitalisme yang berbuah materialisme telah menguasai kehidupan masyarakat Indonesia. Contoh nyata sisi negatif dari paham materialisme ini tampak dari kasus-kasus persaingan curang dan monopoli dunia usaha tanpa peduli terhadap nasib pebisnis kecil lokal dan menengah, baik pada level domestik maupun pada level transaksi bisnis internasional. 45 Maka dari itu, walaupun Indonesia meratifikasi konvensi internasional, Indonesia seharusnya teteap menjaga nilai-nilai nasionalismenya dalam menghadapi perkembangan globalisasi.

Prinsipdalam Perlindungan HKI tidak terlepas dari Konvensi Internasional dan Perjanjian Internasional yang telah di ratifikasi, salah satu Perjanjian Internasional yang paling berpengaruh dalam prinsip Perlindungan HKI adalah

44 Eddy Damian, Analisis Dampak Yuridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (OPD/WTO), Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 88.

45 Romli Artasasmita, Teori Hukum Integratif Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukukm Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012, hal. 101.

(34)

TRIPs. Prinsip-prinsip dasar dari TRIPs Agreement dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu prinsip-prinsip hukum TRIPs Agreement yang bersumber dari konvensi pembentukan WTO dan prinsip-prinsip hukum yang bersumber dari TRIPs Agreement itu sendiri.

Prinsip hukum TRIPs Agreement yang bersumber dari konvensi pembentukan WTO adalah sebagai berikut :

1. Prinsip ketundukan utuh (full compliance, Article XVI.5). setiap anggota diharuskan memastikan penyesuaian hukum ini, peraturan dan prosedur administratif dengan kewajiban-kewajibannya sebagaimana yang tertera dalam perjanjian.

2. Prinsip pembalasan silang 9cross retalliation, Article 22.3 Dispute Settlement Understanding/DSU). Ungkapan cross retalliation adalah istilah untuk menggambarkan dimana negara yang merasa dirugikan melakukan pembalasan, misalnya melalui penundaan konsensi atau penundaan lainnya dibawah sektor atau perjanjian yang telah dilanggar oleh negara lain.

3. Prinsip penyelesaian sengketa melalui mekanisme WTO (Article 64).

TRIPs Agreement sebagai bagian dari kesepakatan WTO memberlakukan ketentuan penyelesaian sengketa sesuai mekanisme WTO sepanjang tidak diatur secara khusus dalam TRIPs Agreement.

Prinsip hukum yang bersumber dari TRIPs Agreement adalah sebagai berikut:

1. Prinsip teritorial (Article 1.1). perlindungan HKI berlaku secra tertorial sesuai yurisdiksi masing-masing negara anggota. Negara anggota bebas menetukan

(35)

metode paling sesuai untuk menjabarkan TRIPs Agreement kedalam sistem dan praktik hukum masing-masing.

2. Prinsip standar minimum (minimum standart, Article 1.1). ketentuan TRIPs Agreement merupakan prinsip minimum yang wajib diterapkan oleh setiap negara anggota.

3. Prinsip pemberian hak yang sama (national treatment, Article 3). Setiap negara anggota wajib menerapkan perlakuan yang sama kepada warga negaranya sendiri.

4. Prinsip tanpa diskriminasi (The most favoured nation, Article 4). Diskriminasi perlakuan terhadap warga negara tertentu untuk mendapatkan keuntungan, kemanfaatan, atau perlakuan istimewa dillarang oleh TRIPs Agreement.

5. Prinsip pengutamaan komersialisasi HKI (konsidera TRIPs Agreement).

6. Prinsip exhausting of Intellectual Property Rights (Article 6). Prinsip yang membatasi pemilik HKI dalam melaksanakan haknya untuk mengotrol produk HKI setelah produk tersebut telah dijual oleh otoritas pemilik HKI.

7. Prinsip tanpa persyaratan (no reservation, Article 72). Setiap negara anggota tidak diperkenankan melakukan reservasi terhadap ketentuan TRIPs Agreement tanpa persetujuan dari negara anggota lainnya.

8. Prinsip perlakuan khusus terbatas pada negara berkembang dan terbelakang (Article 65,66). Negara berkembang diberikan waktu penundaan selama empat tahun untuk memberlakukan ketentuan TRIPs Agreement.

9. Prinsip alih teknologi (Article 7 dan 66.22). TRIPs Agreement mengakui pentingnya alih teknolgi dengan tetap memperhatikan kepentingan produsen dan

(36)

penggunanya dalam rangka menunjang kesejahtraan sosial dan ekonomi serta keseimbangan hak dan kewajiban. Negara maju wajib menyediakan kemudahan agar perusahaan besar dan lembaga di negaranya meningkatkan ahli teknologi kepada negara-negara tertinggal.

10. Prinsip kepentingan umum (Article 8). Membolehkan setiap negara anggota mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengann perlindungan kesehatan gizi masyarakat, serta demi kepentingan masyarakat pada sektor tertentu yang sangat penting untuk mendukung pembangunan sosial, ekonomi, teknologi.

11. Prinsip kerjasama internasional (Article 67 dan 69). Kewajiban bagi negara- negara maju memberikan kerjasama teknik dan finansial yang menguntungkan negara berkembang dan tertinggal. Kerjasama internasional juga dilakukan dalam menghapus kegiatan perdagangan terhadap barang-barang hasil pelanggaran HKI.

12. Prinsip Amandemen (Article 71). Dewan TRIPs dapat melakukan peninjauan apabila ada perkembangan baru yang sifatnya mendasar sehingga memerlukan amandemen terhadap TRIPs Agreement.

Prinsip hukum yang bersumber dari Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan realitas sosial bangsa Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Prinsip keseimbangan hak individu dan hak masyarakat (kepentingan umum).

Hak individu tetap diakui dan dilindungi hukum, namun dalamtata kehidupan bermasyarakat hak individu tidak berlaku mutlak, tetapi dibatasi oleh kepentingan masyarakat. Maka pengaturan HKI di Indonesia harus dapat memberikan keseimbangan antara hak individu dengan hak masyarakat

(37)

2. Prinsip keadilan.

Keadilan pada konteks pengaturan HKI lebih terarah pada kegiatan pemanfaatan HKI untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (komersialisasi).

Prinsip ini tidak menghalangi pemilik HKI memperoleh manfaat ekonomi, sepanjang hal tersebut dilakukan dengan tidak menimbulkan kerugian terhadap kepentingan masyarakat luas.

3. Prinsip HKI untuk kesejahteraan manusia (humanisme).

Setiap invensi/ciptaan yang dihasilkan harus memberi kebaikan dan kemanfaatan bagi manusia. Pengaturan HKI harus memperhatikan kepentingan masyarakat luas, tidak terlalu berorientasi pada perlindungan kepentingan individu (pemilik HKI) semata.

4. Prinsip kewenangan negara melaksanakan HKI demi kepentingan nasional.

Prinsip ini bersumber dari sila ketiga Pancasila yang melahirkan prinsip nasionalisme dan tujuan Negara Republik Indonesia alinea Ke-empat pembukaan UUD 1945. Prinsip ini lahir karna adanya kewajiban pemerintah yang diamanatkan oleh konstitusi agar memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan rakyat (pasal 31 ayat (5) UUD 1945).

5. Prinsip perlindungan HKI berdimensi moralitas, kesusilaan dan agama.

Tidak semua invensi/ciptaan dilindungi Undang-Undang HKI. Disamping kita harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan (misalnya orisinalitas, baru (novelty), tidak sama dengan invensi/ciptaan yang telah ada

(38)

sebelumnya, mengandung langkah inventif), suatu invensi/ciptaan juga tidak boleh bertentangan dengan moralitas, kesusilaan dan agama.

6. Prinsip kebebasan berkarya.

Setiap orang bebas berkarya dan menghasilkan HKI sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Tidak seorangpun boleh menghalangi seseorang untuk menghasilkan suatu karya, sepanjang sesuai dengan aturan perundang- undangan yang berlaku. Kebebasan tersebut dilindungi oleh pasal 28 UUD 1945.

7. Prinsip perlindungan HKI.

Karya intelektual (kekayaan intelektual) tidak mudah untuk dihasilkan. Tidak semua orang memiliki kemampuan, keahlian, waktu, fasilitas (peralatan, laboratorium, sarana LITBANG) dan biaya yang cukup untuk menghasilkan suatu invensi/ciptaan. Artinya banyak hal yang harus disiapkan sampai suatu invensi/ciptaan berhasil dibuat. Oleh sebab itu, hukum memberi perlindungan terhadap inventor/pencipta dan invensi/ciptaannya tersebut agar kepentingannya terlindungi (hak ekonomi dan moral).

8. Prinsip kemanfaatan HKI.

HKI sebagai produk dari IPTEK harus dapat memberi kemanfaatan kepada manusia, makhluk lain dan lingkungan hidup. Artinya invensi/ciptaan harus memiliki sifat fungsional dalam kehidupan.

9. Prinsip ekonomi.

HKI merupakan hak yang bersumber dari kreativitas intelektual manusia.

Hanya orang-orang kreatif, inovatif dan progresiflah yang mampu menghasilkan invensi/ciptaan yang bermanfaat. Maka hukum wajib memberi perlindungan

(39)

kepada orang-orang tersebut agar pengorbanan yang telah dikeluarkan dapat dikembalikan dan memperoleh manfaat secara ekonomi.

10. Prinsip perlindungan kebudayaan nasional.

Perlindungan HKI di Indonesia tidak semata-mata berorientasi pada aspek ekonomi (komersial), tetapi juga berkaitan dengan pelestarian budaya bangsa, baik berupa pengetahuan tradisional (obat-obatan, kearifan lokal) maupun ekspresi budaya bangsa lainnya (kususastraan kuno, musik, lagu, tarian, cerita/hikayat, batik, wayang, tenunan, dan sebagaimya). Tidak semua hal tersebut dapat diperhitungkan secara ekonomi. Rezim HKI khususnya TRIPs Agreement tidak mampu melindungi aset budaya bangsa Indonesia tersebut, karena TRIPsAgreement bersifat individual, mengutamakan kebaruan (novelty), dan berdasarkan pendaftaran, sedangkan aset budaya tersebut bersifat komunalistik, sudahada sejak zaman dahulu kala dan sulit memenuhi persyaratan-persyaratan rezim HKI. Kelemahan inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh negara-negara maju untuk mengklaim suatu paten yang sumber asalnya dari kekayaan budaya bangsa, misalnya paten beberapa produk kosmetika Jepang (Shiseido) berasal dari tumbuh-tumbuhan Indonesia walaupu kemudian dibatalkan.

11. Prinsip hak ekslusif terbatas.

HKI sebagai hak ekslusif tidak berlaku mutlak. Pemilik HKI dibatasi oleh kewajiban menghormati hak asasi manusia orang lain dan pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk menjamin terciptanya keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan kepentingan negara.

12. Prinsip HKI berfungsi Sosial.

(40)

Konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang bersifat komunalistik, konsep hak milik pun bercirikan hak milik yang mengabdi pada kepentingan masyarakat.

Sifat komunalistik ridak menganggap HKI seseorang merupakan hak miliknya semata tetapi untuk semua anggota masyarakat.

13. Prinsip Kolektivisme.

Perlindungan hukum HKI terkait dengan pembangunan ekonomi Indonesia, terutama menyangkut kebutuhan akan teknologi tinggi untuk mendukung pembangunan nasional. Maka pengaturan HKI perlu diletakkan dalam konteks pembangunan ekonomi, sehingga tidak bisa dilepaskan dari prinsip kebersamaan, efisiensi, keadilan, keberlanjutan, berwawasan lingkungan serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (pasal 33 ayat (4)).

Artinya pengaturan HKI merupakan bagian dari pembangunan ekonomi, dan apabila memang dibutuhkan maka pemilik HKI harus dengan rela membiarkan pemerintah menggunkan HKI-nya untuk kepentingan ekonomi nasional. Disinilah kepentingan individu mengabdi kepada kepentingan bersama (negara).46

Pengaruh TRIPs terhadap sistem hukum HKI adalah bahwa hukum HKI Indonesia menundukkan diri pada standar-standar TRIPs yang meliputi sebagai berikut :

1. Penambahan jangka waktu perlindungan paten, dalam UU Paten Indonesia;

2. Memperluas lingkup teknologi yang dapat dipatenkan, dalam UU Paten Indonesia;

3. Mendefinisikan kembali lingkup dari hak paten, dalam UU Paten Indonesia;

46 Candra Irawan, Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia Kritik Terhadap WTO/TRIPs Agreement dan Upaya Membangun Hukum Kekayaan Intelektual Demi Kepentingan Nasional, Mandar Maju, Bandung,2011, hal. 267-272.

(41)

4. Meningkatkan perlindungan terhadap merek terkenal, dalam UU Merek Indonesia;

5. Mengatur mengenai penyewaan program komputer dan karya-karya audiovisual, dalam UU Hak Cipta Indonesia.47

Pada hakekatnya, Hak Kekayaan Intelektual dipengaruhi oleh TRIPs Agreement dan nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan realitas sosial bangsa Indonesia serta beberapa perjanjian Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun, Indonesia sendiri harus dapat mempertahankan nilai-nilai dasarnya dibandingkan nilai yang terkandung dalam Perjanjian Internasional yang sifatnya lebih mengarah pada nilai individualisme daripada kepentingan umum nasionalisme yang dianut oleh Indonesia dalam penerapan hukum HKI di Indonesia.

C. Dinamika Perlindungan HKI di Indonesia

Sama seperti Belanda yang hukumnya ditransplantasi dari hukumPrancis, dan hukum itu dapat diberlakukan dan diterima oleh masyarakat Belanda, maka di Indonesia hukum perdata dan hukum dagangnya di transplantasi dari hukum Belanda. Akan tetapi perbedaannya hukum perdata Belanda tidak semuanya dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Hukum tentang perusahaan misalnya, telah dikeluarkan dari Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang sesungguhnya bersumber dari Wetboek van Koophandel yang berakar pada tradisi Code de

47 O.C. Kaligis, Teori dan Praktik Hukum Merek Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2008, hal. 7.

(42)

Commerce Prancis yang berpangkal pada Corpus Juris Civilis buatan Kaisar Justinian yang disusun secara sistematis pada masa Kekaisaran Romawi.48

1. Perlindungan HKI Pada Masa Penjajahan

Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Pada tahun 1885, pengaturan tentang Merek versi Hindia Belanda mulai diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial di Indonesia.

Berikutnya pada tahun 1912 dalam Reglement Industrial Eigendom yang dimuat dalam Statblad No. 545 tahun 1912 dikeluarkan pengaturan tentang merek yang diberlakukan di wilayah Hindia Belanda. Pada tahun yang sama pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Octroi Wet yang dimuat dalam Statblad No. 313 tahun 1910 mengatur tentang Paten. Dua tahun kemudian pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tentang Hak Cipta yang dimuat dalam Statblad No. 600 tahun 1912 tentang Auterswet 1912. Dalam skala internasional Pemerintah Belanda berikut negara jajahannya tueut meratifikasi Bern Convention tahun 1886 (ratifikasi tahun 1914) tentang Hak Cipta dan Paris Convention tahun 1883 tentang Paten (diratifikasi tahun 1888). Pada masa pendudukan Jepang, peraturan dibidang Hak Kekayaan Intelektual peninggalan Kolonial Belanda tersebut tetap terus diberlakukan. Kebijakan pemberlakuanperaturan Hak Kekayaan Intelektual produk Kolonial ini tetap dipertahankan sampai saat Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Akan tetapi khusus mengenai pengaturan tentang Paten yang dimuat dalam Octroi Wet Staatsblad No. 313 tahun 1910 itu dikecualikan pemberlakuannya karena ada salah satu pasal yang

48 Ok. Saidin, 2015, Op.Cit, hal. 27.

(43)

bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara Republik Indonesia yang ketika itu baru saja merdeka.49

2. Perlindungan HKI Sesudah Masa Kemerdekaan

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak demikian dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten diajukan di kantor paten yang berada di Batavia ( sekarang Jakarta ), namun pemeriksaan permohonan paten tersebut dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda.

Pada tanggal 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 7 tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta, perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat. Pada tanggal 13 Oktober 1989 DPR menyetujui RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989 (UU Paten 1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989.

UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten 1989 mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam

49 Ditjen HKI dan ECAP II, Buku Panduan Hak Kekayaan IntelektualDilengkapi dengan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Dtjen HKI dan ECAP II, Jakarta hal. 9.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pengaturan PERUM DAMRI diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Perusahaan Umum (PERUM) DAMRI. PERUM DAMRI berpedoman pada Undang-Undang

Pemilik hak merek dapat menempuh gugatan secara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menyatakan

Selain UU ITE, cybersquatting juga diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan bahwa pemilik merek terdaftar

Merek terkenal diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang merek dan Indikasi Geografis dan kriteria merek terkenal dijelaskan dalam

Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan hak istri. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diatas para pencari keadilan yang selalu

Baik undang-undang dan lembaga terkait dengan peraturan ini telah memberikan peraturan yang jelas mengenai tanggung jawab produsen terkait produk pangan, namun

Jika di Indonesia dengan menggunakan ketentuan pasal 100 ayat 2 Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis yang mengatur bahwa : “Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek

Pasal 100 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menjelaskan bahwa: “Setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai