• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah dan Perkembangan Kebayoran Baru 4.1.1 Tujuan Awal Pembangunan

Pasca Perang Dunia II, terjadi kenaikan arus urbanisasi di seluruh belahan dunia sehingga menyebabkan kenaikan kepadatan penduduk di daerah perkotaan. Namun hal ini tidak diimbangi dengan ketersediaan tempat tinggal. Bahkan situasi ini dipersulit dengan menyusutnya jumlah pemukiman akibat perusakan bangunan yang terjadi pada masa perang.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, kekurangan jumlah pemukiman mulai dirasakan terutama di DKI Jakarta, yang pada masa itu dikenal sebagai Kotapradja Djakarta. Selain diakibatkan oleh pemusnahan bangunan pada masa pendudukan Jepang, hal ini juga diperburuk oleh derasnya arus urbanisasi dan tingginya laju pertumbuhan penduduk.

Dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu pada rentang tahun 1940-1950 penduduk Kotapradja Djakarta bertambah sebanyak dua kali lipat dari kisaran semula sebesar 700.000 jiwa menjadi 1,5 juta jiwa. Dan pada tahun 1952, jumlah penduduk Jakarta diperkirakan membengkak menjadi 2,5 juta jiwa. Pada saat inilah kebutuhan perumahan dirasakan semakin mendesak.

Untuk mempertahankan jumlah rata-rata maksimal 6,5 orang penghuni per rumah di Jakarta, maka telah dihitung bahwa Jakarta mengalami kekurangan perumahan sekitar 8.000 unit. Akan tetapi hal yang kemudian menjadi permasalahan adalah bahwa Kotapradja Djakarta tidak mampu mengakomodasi kebutuhan lahan untuk pembangunan unit-unit perumahan tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, digagaslah rencana pembangunan sebuah kawasan pemukiman di luar area Kotapradja Djakarta. Hal ini juga dimaksudkan untuk memperkecil tingkat kepadatan penduduk di Ibukota. Lokasi yang terpilih berada di selatan Jakarta, di sebelah timur desa Kebayoran.

Lokasi ini dibatasi oleh dua buah sungai yaitu Kali Grogol dan Kali Krukut dan memiliki jenis tanah laterit atau tanah liat merah. Jumlah penduduk di area tersebut relatif sedikit sehingga tidak banyak pemukiman yang harus dikorbankan. Kemungkinan ketersediaan air minum dan listrik juga dapat disuplai

(2)

oleh area tersebut. Transportasi bahan bangunan juga sangat dimungkinkan mengingat telah adanya jalur kereta api yang melintas di sekitar daerah tersebut. 4.1.2 Konsep Awal Pembangunan

Dalam rencana awalnya, pembangunan Kotabaru Kebayoran diberi nama ‘Kota Satelliet Kebayoran’. Akan tetapi, penamaan kota satelit dirasa kurang tepat mengingat salah satu syarat kota satelit adalah berjarak ±15 Km dari kota utama sedangkan Kebayoran Baru hanya berjarak ±4,5 Km dari batas selatan Kotapradja Djakarta (Gambar 5). Oleh karena itu, berikutnya dalam tulisan ini, kawasan ini disebut sebagai Kotabaru Kebayoran seperti yang tertera dalam buku Pembangunan Kotabaru Kebajoran yang diterbitkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia.

Gambar 5. Jarak Antara Kotabaru Kebajoran dengan Kotapradja Djakarta (Sumber: Prof. K. Hadinoto)

Dalam perencanaan kawasan ini hal utama yang paling dipertimbangkan adalah aspek ekonomi karena pembangunan Kotabaru ini diperuntukkan bagi sebagian besar penduduk kelas menengah ke bawah. Selain itu Kotabaru ini juga diharapkan memiliki identitas khas Indonesia.

Dengan mengadaptasi konsep Garden City (kota taman) milik Ebenezer Howard, persentase RTH direncanakan mencapai 46% dari total luas area. RTH yang dimaksud dalam perencanaan kawasan ini mencakup areal pertanian, jalur hijau jalan dan taman-taman kota (Sudiro, 1953). Kawasan hijau yang membatasi Kotabaru Kebayoran dengan Ibukota juga dianggap perlu untuk dipertahankan.

(3)

Dalam perkembangan perencanaannya, konsep Kotabaru Kebayoran mengalami beberapa perubahan. Pada awalnya, rencana penggunaan lahan Kotabaru Kebayoran adalah sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 5. Sedangkan mengikuti perkembangan keadaan, rencana penggunaan lahan tersebut kemudian berubah. Rencana akhir penggunaan lahan Kotabaru Kebayoran dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 5. Rencana Awal Penggunaan Lahan Kotabaru Kebayoran

Penggunaan Lahan Jumlah Unit Luas (Ha)

Perumahan Rakyat

Perumahan Kelas Menengah Villa

Gedung / Bangunan Khusus Flats

Unit Perdagangan Industri Kecil Ruang Terbuka Hijau Jalan Areal Pertanian 6730 2198 834 152,5 69,8 55,1 75,2 6,6 17,0 20,9 118,4 181,5 33,0 Total 730

Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (1953)

Tabel 6. Rencana Akhir Penggunaan Lahan Kotabaru Kebayoran

Penggunaan Lahan Jumlah Unit Luas (Ha)

Perumahan Rakyat

Perumahan Kelas Menengah Gedung, Villa, Flat

Unit Perdagangan

Gedung / Bangunan Khusus Industri Kecil

Jalan

Fasilitas Olah Raga Ruang Terbuka Hijau Kuburan, Sawah, dsb. 2676 3197 1168 505 85,0 115,0 105,0 18,0 69,0 10,2 181,5 9,6 52,7 54,0 Total 730

(4)

Dalam perencanaannya, kawasan ini dibagi dalam beberapa blok mulai dari Blok A hingga Blok S. Akan tetapi belum ditemukan kriteria yang pasti dalam pembagian blok-blok tersebut. Penulis memperkirakan hal ini ditujukan untuk mempermudah proses pembangunan. Peta rencana pembangunan kawasan Kotabaru Kebayoran yang diperoleh dari data sekunder dapat dilihat pada Gambar 6. Peta identifikasi konsep awal kawasan yang merupakan hasil identifikasi penulis berdasarkan peta rencana dan peta tahun 1975 dapat dilihat pada Gambar 7. Sedangkan peta pembagian blok kawasan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 6. Peta Rencana Kotabaru Kebayoran

(Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (1953)

(5)
(6)
(7)

4.1.3 Sejarah Pembangunan

Rencana pembangunan Kotabaru Kebayoran mulai dibahas pada tanggal 1 Juni 1948. Rencana ini kemudian dibahas kembali pada tanggal 19 Juli 1948 dan disetujui oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 21 September 1948. Kotabaru ini direncanakan oleh Praktijk Ingenieur M. Soesilo dari Centrale Planologish Bureau dan peletakan batu pertama pembangunan dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 1949.

Pelaksanaan pembangunan Kotabaru Kebayoran diserahkan pada sebuah lembaga bernama Central Stichting Wederopbouw (CSW) yang didirikan pada tanggal 1 Juni 1948. Lembaga ini bertindak selaku badan hukum yang memiliki wewenang atas hak penggunaan lahan. Oleh karena itu setiap rencana penggunaan lahan baik untuk keperluan industri, komersial maupun perumahan harus mendapatkan ijin dari lembaga ini. Sedangkan dalam penyelenggaraan pembangunan kota, CSW membentuk organisasi setempat yang bernama Regional Opbouw Bureau Kebayoran.

Seiring dengan berjalannya pelaksanaan pembangunan, terjadi pergeseran wewenang atas proyek penggunaan lahan tersebut. Central Stichting Wederopbouw (CSW) beralih nama menjadi Jajasan Pemugaran Pusat dan pengaturan keuangan (financieringsregeling) yang sebelumnya menjadi wewenang CSW kemudian dikesampingkan. Lembaga-lembaga yang sebelumnya berada di bawah CSW kemudian melepaskan diri dari ikatan tersebut dan menjadi lembaga mandiri diantaranya Stichting Wederopbouw Oost Indonesia dan Plaatselijk Opbouwdiensten (POD).

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 65 Tahun 1951, Jajasan Pemugaran Pusat atau CSW dinyatakan dalam likuidasi. Segala hak kepemilikan dan hutang-piutang lembaga tersebut dialihkan sepenuhnya kepada Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan wewenang atas pembangunan Kotabaru Kebayoran diserahkan pada Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga.

Setelah serah terima kedaulatan atas proyek pembangunan tersebut, Menteri Perhubungan, Pekerjaan Umum dan Tenaga membentuk sebuah lembaga khusus untuk melanjutkan pembangunan Kotabaru tersebut, yaitu Djawatan Pekerdjaan Chusus Kotabaru Kebayoran. Dan terhitung mulai tanggal 1 Januari

(8)

1952, lembaga tersebut beralih menjadi Pembangunan Chusus Kotabaru Kebayoran, sebuah organisasi di bawah Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga yang memiliki anggaran sendiri. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya merupakan tanggung jawab CSW namun tidak termasuk dalam tugas Djawatan Pekerdjaan Chusus Kotabaru Kebayoran, dialihkan menjadi tanggung jawab Djawatan Perumahan Rakjat.

Dalam pelaksanaan pembangunan, Djawatan Pekerdjaan Chusus Kotabaru Kebayoran membawahi beberapa instansi yang memiliki deskripsi kerja yang lebih spesifik yaitu:

1. Perusahaan Gudang Perlengkapan

Instansi ini bertanggung jawab atas ketersediaan bahan bangunan. Tugasnya adalah mengumpulkan dan membuat bahan bangunan baik yang berasal dari dalam maupun luar negri dengan harga serendah-rendahnya. 2. Perusahaan Pabrik Kayu

Instansi ini bertanggung jawab atas pembuatan atribut bangunan yang berasal dari kayu, yaitu kusen, daun pintu dan jendela yang berasal dari kayu jati dan rangka atap (kaphout) yang berasal dari kayu agathis yang didatangkan dari Kalimantan.

3. Perusahaan Perbengkelan dan Alat-alat Besar

Instansi ini bertanggung jawab atas pengangkutan bahan-bahan bangunan serta pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan alat-alat berat. 4. Perusahaan Penggalian Batu dan Pasir

Instansi ini bertugas untuk melakukan penggalian batu dan pasir di daerah Serpong untuk memenuhi kebutuhan pembangunan jalan. Pada tahun 1951, instansi ini diserahkan pasa Biro Rekonstruksi Nasional. 5. Pabrik Beton dan Aspal

Instansi ini bertanggung jawab untuk mengolah campuran aspal dan beton untuk membuat jalan, jembatan, saluran air hujan, riolering, gedung, dsb. Pembiayaan instansi ini dimasukkan dalam anggaran pembuatan jalan, jembatan dan infraskruktur lain yang dibangunnya.

(9)

6. Perusahaan Tanah (Land-business)

Instansi ini ditugaskan untuk mengurus segala urusan jual beli serta sewa lahan di Kotabaru Kebayoran. Pembelian tanah yang dilakukan pemerintah adalah seluas 730 Ha, meliputi desa Grogol Udik, Pelapetogogan, Gandaria Utara, Senayan, kecamatan Kebayoran dan sebagian kabupaten Jatinegara. Jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk pembelian tanah ini seluruhnya mencapai Rp. 17.500.000

Pada awal perencanaan Kotabaru ini, akan dibangun ±6000 unit rumah. Pada akhir tahun 1951, jumlah hunian yang telah selesai dibangun mencapai 2.058 unit dan ±1.717 diantaranya disewakan dengan harga minimum sebesar Rp. 17,50 dan harga maksimum sebesar Rp. 100,00.

Akan tetapi, semenjak terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dimana ibukota dipindahkan kembali dari Yogyakarta ke Jakarta, diperlukan adanya tambahan tempat tinggal bagi para pegawai negri yang dimutasikan. Oleh karena itu pada akhir tahun 1950, mulai dibangun tambahan hunian sebanyak ±1000 unit di Kotabaru ini.

Untuk dapat mencapai tujuan akhir sebagai kota mandiri, diperlukan dukungan infrastruktur dan fasilitas yang memadai di Kotabaru ini. Sebagai area residensial bagi para pekerja yang bermata pencaharian di Jakarta, perlu adanya kemudahan aksesibilitas antara Kebayoran dan Jakarta. Hal ini diakomodir dengan pembangunan sebuah jalan besar dua arah untuk jalur cepat dan dua jalur lambat yang persis di sisi-sisinya. Kotabaru itu sendiri memiliki jalan-jalan dalam kota yang berbentuk radial.

Gambar 9. Jalan Besar Dua Arah (Sumber: Prof. K. Hadinoto)

(10)

Dalam perencanaannya, Kotabaru Kebayoran juga dibagi dalam beberapa blok perumahan. Setiap blok dilengkapi dengan sebuah sekolah dasar. Selain itu sebuah sekolah menengah pertama, sekolah menengah akhir, sekolah tinggi teknik, sekolah khusus putri dan sebuah sekolah internasional yang ditujukan bagi anak-anak kaum ekspatriat juga direncanakan untuk dibangun. Sedangkan untuk pelayanan kesehatan, perencanaan Kebayoran Baru dilengkapi dengan sebuah rumah sakit besar berkapasitas lebih dari 600 tempat tidur.

Dalam hal ekonomi, hanya ada satu pasar besar yang dibangun di jantung kota Kotabaru Kebayoran. Akan tetapi ada tiga lokasi pasar yang lebih kecil ditempatkan di bagian barat, timur dan selatan kawasan.

Gambar 10. Kawasan Perniagaan dan Bioskop Mayestik

(Sumber: Prof. K. Hadinoto (kiri), Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (kanan))

Pada masa itu, Ibukota Jakarta tidak dapat memberikan suplai pada Kotabaru ini, Jakarta sendiri mengalami kekurangan sumber air bersih. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan air bersih di kota Jakarta dan sekitarnya, pemerintah merencanakan pembangunan instalasi penjernihan air kali di Karet. Namun sebelum proyek tersebut selesai, untuk memenuhi keutuhan sementara di Kebayoran, dibangun 9 buah sumur artesis yang dapat memberikan suplai air sebesar 90 liter per detik dan diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan 15.000 orang penduduk.

(11)

Gambar 11. Sumur Artesis

(Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia) Sama halnya dengan masalah air minum, Ibukota Jakarta pada saat itu juga tidak mampu memberikan suplai energi bagi Kotabaru Kebayoran karena Jakarta sendiri mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan listrik dalam kota. Untuk mengatasi permasalahan kekurangan energi ini sekaligus untuk memberikan sumber suplai energi bagi Kotabaru Kebayoran, maka dibangunlah sentral listrik di Ancol, Karet dan Kebayoran. Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan energi sebelum proyek pembangunan sentral listrik itu selesai, Kotabaru Kebayoran mendapat suplai energi dari sebuah sentral yang dilengkapi dengan 3 mesin diesel kecil berkekuatan total ±560kw. Energi listrik ini kemudian disalurkan melalui sistem kabel diatas tanah yang memiliki tekanan 3.300 Volt.

Gambar 12. Sentral Listrik Sementara

(12)

4.1.4 Sejarah Perkembangan

Mutohar Sudiro (1953) dalam bukunya Pembangunan Kotabaru Kebajoran mengemukakan;

“Jalan raya ini pada waktu waktu risalah ini ditulis sudah selesai seluruhnya, tinggal menyempurnakan saja. Bagi Indonesia, jalan raya ini merupakan jalan modern dan indah megah nampaknya. Bagi orang yang baru dari Jakarta menuju Kebayoran melalui jalan raya ini ada perbedaan dalam rasa dan pandangan mata. Udara dan hawanya sejuk. Pemandangannya luas dan indah. Di atas jalan raya yang megah ini berlaku lalu-lintas teratur, lancar meluncur di tempatnya dan ke tempat tujuannya masing-masing. Tidak berdesak-desak dan hiruk pikuk seperti jalan-jalan raya dalan kota Jakarta yang kurang lebar itu. Kesemuanya tadi menimbulkan kelegaan, keamanan dan ketentraman hati”.

Pada awal pembangunannya (1949), Kebayoran Baru merupakan wilayah yang terpisah dari Ibukota Jakarta. Kota ini direncanakan sebagi kota satelit yang ditujukan untuk menampung 50.000 penduduk yang sebagian besar memiliki mata pencaharian di Jakarta. Akan tetapi pada tahun 1950 melalui Putusan Pemerintah mengenai luas dan batas-batas wilayah Kotapradja Djakarta, kawasan ini resmi menjadi bagian yang terintegrasi dengan Ibukota.

Pada periode 1950-1955, kegiatan pembangunan dipusatkan di sekitar Jl. Sisingamangaraja, Jl. Trunojoyo dan Jl. Kyai Maja. Pembangunan kota dititik beratkan pada pembangunan hunian serta infraktruktur pendukung kegiatan rumah tangga diantaranya instansi pengolahan dan penyaluran air bersih, sistem pembuangan limbah, serta instansi penyedia energi listrik. Ilustrasi tata guna lahan pada Tahun 1955 dapat dilihat dalam Gambar 13. yang didapat dari data sekunder Sedangkan ilustrasi proses pembangunan kawasan ini dalam rentang 1949-1954 dapat dilihat dalam Gambar 14.

(13)
(14)
(15)

Pada periode 1955-1965, kegiatan pembangunan mulai merambah kepada sarana yang lebih luas dan gedung-gedung khusus, mencakup Markas Besar Kepolisian, KOMDAK, PTIK, PLN, perbankan, perumahan flat dan lain-lain.

Gambar 15. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia

(Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia) Pada periode 1965-1980, pembangunan Kotabaru Kebayoran telah dianggap selesai. Kebayoran baru telah dapat berfungsi sebagai kota mandiri, dilengkapi dengan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos). Akan tetapi perkembangannya mulai tidak terencana dan tidak terkendali. Menanggapi hal itu, dikeluarkanlah keputusan gubernur DKI Jakarta No. D IV–6099/d/33/1975 tentang Penetapan Daerah Kebayoran Sebagai Lingkungan Pemugaran. Peta penggunaan lahan kawasan ini ketika ditetapkan sebagai kawasan pemugaran (Tahun 1975) dapat dilihat dalam Gambar 16.

Pada periode 1980-2009, akibat terus meningkatnya jumlah penduduk, perkembangan Ibukota Jakarta semakin meluas kearah selatan sehingga terjadi akses kuat menembus Kotabaru Kebayoran. Kotabaru Kebayoran kini telah menjadi bagian dari wilayah DKI Jakarta dan menjadi salah satu pusat kegiatan. Dampaknya, perkembangan kota semakin tidak terencana dan tidak terkendali.

(16)
(17)

4.2 Kondisi Aktual Kebayoran Baru 4.2.1 Wilayah Administratif

Akibat derasnya arus urbanisasi dan pertambahan penduduk, Kotabaru Kebayoran yang dulu direncanakan sebagai kota satelit yang terpisah dari Ibukota Jakarta kini telah mengalami konurbasi. Jalur hijau yang sebelumnya dipertahankan untuk membatasi antara Kotabaru Kebayoran dengan Jakarta kini telah berubah menjadi area terbangun. Hal ini terjadi terutama setelah Kotabaru Kebayoran diputuskan menjadi bagian dari Ibukota Jakarta pada tahun 1950. Kotabaru Kebayoran kini termasuk ke dalam wilayah kecamatan Kebayoran Baru, Kotamadya Jakarta Selatan. Secara administratif, batas-batas Kecamatan Kebayoran Baru adalah sebagai berikut:

• Utara : Kecamatan Tanah Abang, Kecamatan Setiabudi • Timur : Kecamatan Mampang Prapatan dan Kali Krukut • Selatan: Kecamatan Cilandak

• Barat : Kali Grogol dan Kecamatan Kebayoran Lama

Kecamatan Kebayoran Baru saat ini memiliki luas 1.291 Ha atau meluas sebesar 561 Ha dari luas awal Kotabaru Kebayoran. Wilayah Kotabaru Kebayoran sebelumnya kini menempati delapan kelurahan dalam lingkup Kecamatan Kebayoran Baru yaitu Kelurahan Selong, Rawa Barat, Petogogan, Melawai, Pulo, Gunung, Kramat Pela dan sebagian Kelurahan Senayan.

4.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi

Kebayoran Baru kini menjadi salah satu sentra perekonomian DKI Jakarta. Jumlah penduduk Kecamatan Kebayoran Baru saat ini diperkirakan mencapai 150.000 jiwa. Berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 2006, harga tanah per meter persegi paling rendah terdapat di Jalan Sawo Ujung Kelurahan Cipete Utara yakni Rp. 394.000. Di pasaran, tanah di daerah itu dihargai sekitar Rp 500.000. NJOP tertinggi, Rp 16.155.000 per meter persegi, adalah untuk lokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan Senayan. Harga pasarnya hampir dua kali lipat, sekitar Rp 30 juta per meter persegi.

(18)

4.2.3 Tata Guna Lahan

Meskipun Kecamatan Kebayoran Baru termasuk ke dalam kawasan pemugaran yang disahkan melalui Perda dan SK Gubernur DKI Jakarta, dalam perkembangannya terjadi banyak konversi lahan di Kotabaru Kebayoran. Terutama area pemukiman dan bangunan-bangunan umum kini didominasi oleh fungsi komersial. Contohnya di Jl. Panglima Polim Raya dan Jl. Iskandarsyah. Jumlah luas lahan dalam kawasan pemugaran yang telah terkonversi dalam rentang tahun 1975-2005 dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan peta tata guna lahan kawasan dapat dilihat dalam Gambar 17.

Tabel 7. Konversi Lahan Kawasan Pemugaran Kebayoran Baru Tahun 1975-2005. Penggunaan Tahun 1975 Penggunaan Tahun 2005 Luas (m2) Perumahan Bangunan Umum RTH

Perdagangan dan Jasa

Perumahan

Perdagangan dan Jasa Bangunan Umum RTH

Perumahan

Perdagangan dan Jasa Bangunan Umum RTH

Perumahan

Perdagangan dan Jasa Bangunan Umum RTH

Perdagangan dan Jasa Perumahan 3,581,529.61 371,975.51 117,375.48 42,804.31 80,131.87 156,328.6 695,198.24 22,495.05 70,558.74 3,779.51 132,388.59 418,988.5 125,041.7 990.63 Sumber: Laporan Evaluasi Lingkungan Cagar Budaya Daerah Kebayoran, Pusat Dokumentasi Arsitektur dan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, 2006

Akan tetapi data tersebut tidak mencakup wilayah bekas permanent belt of agriculture yang kini telah terkonversi menjadi area pemukiman. Namun meskipun greenbelt yang mengelilingi Kotabaru Kebayoran kini telah terkonversi menjadi kawasan terbangun, persentase taman kota dan jalur hijau masih relatif dapat dipertahankan hingga saat ini. Menurut hasil perhitungan penulis, jumlah luas taman kota dan median jalan dalam kawasan Kotabaru Kebayoran saat ini adalah 554535m2.

(19)
(20)

4.2.4 Kebijakan Yang Berlaku

Berdasarkan sejarah, aset dan potensi Kebayoran Baru dapat dikategorikan sebagai kawasan cagar budaya. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV-6099/d/33/1975 tentang penetapan daerah Kebayoran sebagai kawasan pemugaran. SK Gubernur ini kemudian ditindak lanjuti dengan diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta dan Perda No. 9 Tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya.

Dalam SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV-6099/d/33/1975, pengelolaan benda cagar budaya yang terdapat di Kota Taman Kebayoran Baru digolongkan menjadi empat golongan pemugaran yaitu kelas A, B, C dan D. Golongan kelas A merupakan situs yang harus dipertahankan sesuai bentuk aslinya dengan tindakan preservasi. Golongan kelas B merupakan situs yang dapat dipugar dengan cara rekonstruksi atau rehabilitasi. Golongan kelas C merupakan situs yang dapat dipugar dengan cara adaptasi atau revitalisasi dengan tetap mempertahankan tampak bangunan (fasad) utamanya. Sedangkan golongan kelas D merupakan situs yang dapat dibongkar karena kondisinya dianggap dapat membahayakan pengguna atau lingkungannya.

Peta golongan pemugaran bangunan dapat dilihat pada Gambar 18. Sedangkan luas lahan berdasarkan golongan pemugaran bangunan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Luas Lahan Berdasarkan Golongan Pemugaran

Golongan Pemugaran Luas (m2)

Golongan A Golongan B Golongan C Golongan D

Ruang Terbuka Hijau (RTH)

3,359.55 719,705.13 3,339,729.55 1,149,038.85 626,566.05 Sumber: Pusat Dokumentasi Arsitektur

(21)
(22)

Sedangkan dalam Perda No. 9 Tahun 1999, lingkungan cagar budaya Kebayoran Baru terbagi atas tiga golongan, yaitu:

1. Golongan I merupakan lingkungan dan bangunan yang tidak dapat diubah dari aslinya. Tujuannya ialah mempertahankan karakter lingkungan. Jenis tindakan pelestarian yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi dan restorasi.

2. Golongan II merupakan lingkungan yang ditata dengan tetap mempertahankan keaslian unsur lingkungan yang menjadi ciri khas kawasan. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan karakter lingkungan. Jenis tindakan yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi dan rekonstruksi.

3. Golongan III merupakan lingkungan yang ditata dengan penyesuaian terhadap rencana kota tanpa mengurangi unsur keaslian yang menjadi ciri khas kawasan. Tujuannya ialah untuk menata ulang secara optimal unsur-unsur karakter lingkungan yang masih ada. Jenis tindakan yang dapat dilakukan adalah rekonstruksi dan revitalisasi.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan, kebijakan yang diterapkan adalah SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV-6099/d/33/1975 serta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang berlaku. SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV-6099/d/33/1975 dapat dilihat pada Lampiran 1.

Dalam RTRW DKI Jakarta Tahun 2005-2010, untuk memudahkan penyusunan manajemen pemanfaatan kawasan, maka setiap kecamatan dibagi dalam empat tipologi kawasan dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Kawasan Mantap (KM)

Perkembangan Kawasan : Sudah terbangun Perkembangan Fungsi : Tidak berubah Struktur Fisik : Umumnya baik Tingkat Pelayanan : Memadai

(23)

b. Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) Perkembangan Kawasan : Sudah terbangun Perkembangan Fungsi : Sedikit sekali berubah Struktur Fisik : Sebagian besar cukup baik Tingkat Pelayanan : Kurang memadai

Penataan Kawasan : Umumnya terencana c. Kawasan Peralihan Menuju Dinamis (KPD)

Perkembangan Kawasan : Sebagian terbangun Perkembangan Fungsi : Kurang berkembang/statis Struktur Fisik : Umumnya kurang baik Tingkat Pelayanan : Tidak memadai Penataan Kawasan : Kurang terencana d. Kawasan Dinamis (KD)

Perkembangan Kawasan : Sebagian terbangun, sebagian belum Perkembangan Fungsi : Berubah dan berkembang dengan cepat Struktur Fisik : Sebagian baik, sebagian belum

Tingkat Pelayanan : Sebagian memadai, sebagian belum Penataan Kawasan : Sebagian terencana, sebagian belum

Kawasan Kotabaru Kebayoran saat ini yang merupakan bagian dari Kecamatan Kebayoran Baru hanya termasuk dalam tiga kriteria yaitu Kawasan Mantap (KM), Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) dan Kawasan Peralihan Menuju Dinamis (KPD). Pembagian tipologi kawasan berdasarkan RTRW DKI Jakarta Tahun 2005-2010 ini dapat dilihat pada Gambar 19.

(24)
(25)

Bagian Kotabaru Kebayoran yang termasuk ke dalam Kawasan Mantap (KM) adalah bagian yang kini termasuk ke dalam Kelurahan Gunung, Kelurahan Selong, Kelurahan Rawa Barat, Kelurahan Petogogan, Kelurahan Melawai, Kelurahan Pulo dan Kelurahan Kramat Pela. Area-area yang termasuk ke dalam Kawasan Mantap ini pada umumnya adalah kawasan perumahan atau kawasan pemugaran. Kawasan ini mempunyai nilai arsitektur sehingga akan dipertahankan fungsinya sebagai kawasan perumahan. Kawasan ini juga dibangun secara terencana, dinilai memenuhi kriteria perencanaan kota, perancangan bangunan dan lingkungan.

Gambar 20. Pemukiman di Kawasan Mantap

Bagian Kotabaru Kebayoran yang termasuk ke dalam Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) merupakan kawasan yang mengalami perubahan intensitas bangunan dengan fungsi tetap. Kawasan ini dibangun secara terencana, dinilai memenuhi kriteria perencanaan kota, perancangan bangunan dan lingkungan. Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) yang berupa kawasan perkantoran pemerintah berada pada:

1. sebagian wilayah Kelurahan Selong yaitu Kantor Walikota lama, MABAK, Kantor Sekretariat ASEAN, Kantor BPN, Gedung Telkom serta Kantor Departemen Pekerjaan Umum.

2. Sebagian wilayah Kelurahan Melawai yaitu gedung PLN dan PTIK 3. Sebagian wilayah Kelurahan Kramat Pela yaitu Kejaksaan Agung RI

dan bekas Percetakan Negara.

(26)

Gambar 21. Kawasan Peralihan Menuju Mantap; Gedung PTIK (kiri atas), Gedung PLN Bulungan (kanan atas), Gedung ASEAN (kiri bawah), Gedung TELKOM (kanan bawah)

Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) yang berupa kawasan perdagangan dan jasa yaitu sepanjang Jl. Panglima Polim dan Jl. Fatmawati serta sebagian Kelurahan Melawai yaitu kawasan Blok M dan sekitarnya. Sedangkan Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) yang berupa kawasan perumahan dan kuburan berada di antara Jl. Wijaya Timur dan Kali Krukut, sekitar Pasar Santa dan kuburan Blok P.

Sedangkan bagian Kotabaru Kebayoran yang termasuk ke dalam Kawasan Peralihan Menuju Dinamis (KPD) berada pada Kelurahan Kramat Pela dan Kelurahan Gunung yaitu di sepanjang Kali Grogol hingga Kompleks Pertamina. Kawasan ini kini didominasi oleh pemukiman.

(27)

Gambar 22. Pemukiman di Kawasan Menuju Dinamis

Area Kecamatan Kebayoran Baru yang digolongkan ke dalam Kawasan Dinamis dalam RTRW 2005-2010 umumnya adalah area yang tidak direncanakan dalam pembangunan Kotabaru Kebayoran dan umumnya merupakan area yang mengalami konurbasi. Area yang dimaksud diantaranya adalah area SCBD, Kelurahan Gandaria dan Kelurahan Cipete Utara.

4.3 Analisis

4.3.1 Analisis Penerapan Konsep Garden City Dalam Perencanaan

Berbeda dengan pembuatan kota taman Menteng, arsitek Ir. M. Soesilo tidak menerapkan secara utuh konsep Garden City milik Ebenezer Howard ke dalam perencanaan Kotabaru Kebayoran. Konsep Garden City hanya diterapkan sebagian karena disesuaikan dengan kebutuhan dan budaya masyarakat setempat.

Kotabaru Kebayoran dibangun dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pemukiman dengan anggaran yang terbatas. Oleh karena itu konsep limitasi penduduk sebesar 32.000 jiwa per 1000 acre yang menjadi esensi konsep Garden City tidak dapat diterapkan. Ditambah lagi dengan adanya peristiwa pemindahan Ibukota Negara yang menyebabkan kebutuhan pemukiman semakin meningkat. Dalam konsep awalnya, Kotabaru Kebayoran direncanakan untuk menampung 50.000 penduduk dan pasca pemindahan Ibukota, Kotabaru Kebayoran dipersiapkan untuk menampung sekitar 65.000 penduduk.

Kotabaru Kebayoran memiliki pola jalan berbentuk radial namun tidak berbentuk lingkaran sempurna. Pada konsep awalnya, Kotabaru Kebayoran memiliki taman pusat kota berbentuk lingkaran namun luasannya tidak mencapai 2.2 Ha melainkan hanya berupa traffic island. Sedangkan konsep enam boulevard

(28)

yang memusat pada pusat kota juga tidak diterapkan dalam konsep. Menurut panulis, hal ini memiliki dua kemungkinan alasan. Yang pertama, arsitek M. Soesilo mencoba menyesuaikan dengan budaya lokal masyarakat Indonesia yang lebih berorientasi pada empat arah mata angin yaitu Utara, Selatan, Timur dan Barat. Kemungkinan yang kedua, Ir. M. Soesilo mengambil pelajaran dari pembangunan kota taman Menteng yang pola jalannya menuai banyak kritik karena dinilai tidak cocok dengan masyarakat Indonesia atau penduduk Jakarta pada umumnya. Pola kota taman Menteng mengadaptasi pola jalan Ebenezer Howard yang memiliki banyak pertigaan di pusat kota dan menghasilkan banyak sudut tajam dan tumpul dalam pola radial sehingga menciptakan masalah lalu lintas (Heuken dan Pemungkas, 2001) . Namun demikian, Kotabaru Kebayoran menerapkan standar lebar boulevard sebesar minimal 37 meter. Dalam perencanaannya, boulevard yang membelah Kebayoran dari utara ke selatan memiliki dua jalur dalam satu lajur yaitu jalur cepat dan jalur lambat. Perencanaan boulevard ini terbukti dapat mengakomodir kebutuhan lalu lintas yang padat hingga saat ini.

Gambar 23. Boulevard Utara - Selatan yang membelah Kebayoran (Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia)

Pada pusat kota terdapat bangunan-bangunan umum yang besar seperti gedung PLN, kantor walikota, gedung sekretariat ASEAN juga fasum dan fasos seperti terminal dan taman kota yang dapat diakses dengan mudah. Karena pusat kota tidak berbentuk radial maka Kotabaru Kebayoran juga tidak memiliki crystal

(29)

palace. Akan tetapi fungsi crystal palace diakomodir dalam sebuah sentra perdagangan di selatan pusat kota. Hal ini juga disesuaikan dengan budaya masyarakat Indonesia yang biasa melakukan aktivitas jual beli secara terpusat dalam satu tempat yang biasanya berupa pasar.

Pemisahan Zona 2 dan Zona 3 dengan grand avenue selebar 128 m juga tidak diterapkan dalam perencanaan Kotabaru Kebayoran. Arsitek M. Soesilo mengintegrasikan keberadaan rumah besar dan rumah kecil dalam satu blok. Yang besar di luar, di tepi jalan besar dan yang kecil di dalam, mengelilingi taman lingkungan (Hakim, 2002). Akan tetapi keberadaan taman lingkungan dan adanya pepohonan dan jalur hijau di jalan perkotaan diadopsi dalam konsep ini serta keberadaan tempat ibadah dan sekolah yang disekitarnya terdapat taman dan tempat bermain (Gambar 24).

Gambar 24. Sarana Ibadah; Geraja Katolik (kiri) dan Masjid (Kanan)

Dikarenakan peruntukkannya sebagai kawasan hunian, Kotabaru Kebayoran tidak direncanakan untuk mengakomodir kebutuhan industri. Oleh karena itu kawasan industri yang terdapat dalam Zona 4 yang terdapat dalam konsep Garden City tidak diterapkan dalam konsep perencanaannya. Begitu pula dengan keberadaan stasiun dan jalur kereta api yang dinilai cukup dekat dengan kawasan yaitu di Kebayoran Lama dan Senayan. Meskipun terdapat di luar kawasan, lokasi stasiun dan jalur kereta api dinilai cukup dekat dengan Kotabaru Kebayoran. Sedangkan area perdagangan di pinggir kota atau dalam Zona 4 yang terdapat dalam konsedp Garden City, kembali direalisasikan dalam bentuk pasar yang berskala lebih kecil daripada yang terdapat di pusat kota. Pasar-pasar ini

(30)

adalah Pasar Mayestik di sebelah barat (Gambar 25), Pasar Santa di sebelah timur dan Pasar Blok A di selatan kawasan.

Gambar 25. Pertokoan di Pasar Mayestik

Satu hal yang menonjol dalam konsep awal perencanaan Kotabaru Kebayoran adalah diadopsinya keberadaan permanent belt of agriculture. Meskipun tidak mengelilingi kota secara keseluruhan, greenbelt yang awalnya ditujukan sebagai area pertanian warga mendapat porsi yang cukup besar dan sekaligus berfungsi sebagai sempadan Kali Krukut dan Kali Grogol. Secara umum, penerapan konsep Garden City dalam perencanaan kawasan Kotabaru Kebayoran dapat dilihat dalam Tabel 9.

(31)

Tabel 9. Penerapan Konsep Garden City Dalam Perencanaan Kawasan Kotabaru Kebayoran Zona

(Rings) Ukuran Struktur Elemen

Zona I

• Luas pusat kota kurang dari 405 Ha • Taman di pusat kota hanya berupa

traffic island

• Lebar boulevard 37 m

• Luas taman publik kurang dari 59 Ha

Crystal Palace berupa pasar di pusat kota

• Pusat kota tidak berbentuk lingkaran

• Bangunan-bangunan publik yang besar berada di pusat kota namun tidak mengelilingi taman • Empat buah boulevard berbentuk

radial memusat pada satu titik (pusat kota) melintangi kota dari pusat ke wilayah sekitarnya

• Ruang terbuka berupa taman di pusat kota • Bangunan-bangunan publik yang besar terdapat

pada pusat kota

• Taman publik, terdiri atas lahan rekreasi dengan akses mudah

• Fungsi Crystal Palace diakomodir dalam bentuk pasar

Zona II

• Terdiri dari 7.000 bangunan perumahan

• Populasi 65.000 penduduk

Terdapat berbagai jalan masuk ke perumahan (berbentuk radial), atau terletak di depan boulevard dengan jalan menuju satu titik yaitu pusat kota.

• Pepohonan atau jalur hijau yang selalu hadir di berbagai jalan perkotaan

• Rumah mewah dan rumah sederhana diintegrasikan dalam satu blok dengan desain yang beragam.

Zona III

• Lebar jalan raya utama dan jalur hijau kurang dari 128 m • Panjang jalur hijau 4.827 m • Luas taman 47 Ha

• Luas sekolah dan gereja masing-masing 1.6 Ha

Terintegradi dengan Zona 2 • Pepohonan atau jalur hijau yang selalu hadir di berbagai jalan perkotaan

• Taman

• Sekolah yang dikelilingi oleh tempat bermain dan taman

• Tempat ibadah seperti masjid dan gereja Zona IV

• Tidak terdapat jalur kereta api • Tidak terdapat jalur kereta api

• Pasar terdapt di Blok A (selatan), Mayestik (barat) dan Santa (timur).

(32)

4.3.2 Analisis Keutuhan dan Integritas

4.3.2.1 Analisis Keutuhan dan Integritas Visual

Meskipun telah ditetapkan sebagai lingkungan pemugaran, dalam kurun waktu 60 tahun semenjak awal pembangunannya, Kotabaru Kebayoran yang kini disebut dengan Kebayoran Baru mengalami banyak perubahan baik secara visual maupun fungsi lahan di berbagai tempat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Dokumentasi Arsitektur pada tahun 2005, banyak terjadi perubahan karakter bangunan di wilayah yang ditetapkan sebagai golongan pemugaran B dan C. Kawasan Kotabaru Kebayoran memiliki warisan gaya arsitektur yang khas. Salah satunya adalah gaya rumah Jengki serta berbagai tipe rumah tropis lainnya. Menurut Anggraeni (2007), istilah Jengki mungkin diambil dari kata Yankee yaitu sebutan untuk orang-orang New England yang tinggal di bagian Utara Amerika Serikat. Arsitektur jengki memiliki beberapa perbedaan dengan arsitektur kolonial pada umumnya. Karakter arsitektur jengki ditandai dengan atap pelana dengan kemiringan atap 35º. Penggunaan atap pelana menghasilkan tembok depan yang lebar sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tampak depan bangunan. Tembok depan yang dikenal dengan gewel ini menjadi sarana kreativitas arsitek. Pengolahan tampak depan bangunan juga diperkuat dengan kehadiran dinding yang berkesan miring dan membentuk geometri segi lima terhadap tampak bangunan. Ilustrasi rumah Jengki dapat dilihat dalam Ggambar berikut ini:

Gambar 26. Rumah Jengki

(33)

Beberapa tipe bangunan asli yang terdapat dalam kawasan Kotabaru Kebayoran dapat dalam dilihat Lampiran 2. Oleh karena banyaknya perubahan fasad bangunan yang juga disertai dengan perubahan fungsi bangunan, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta mengeluarkan Pedoman Teknis Pemugaran. Akan tetapi pedoman tersebut hanya menitikberatkan pada bangunan dan kurang mengkaji mengenai pemugaran lingkungan dan RTH. Oleh karena itu pemugaran taman yang dilakukan kurang mempertimbangkan desain awal taman itu sendiri sehingga mengurangi nilai integritas kawasan dan terkesan kurang menyatu dengan taman-taman lainnya. Contoh kasus adalah Taman Ayodya atau yang biasa dikenal dengan Taman Barito (gambar 27). Desain yang terlalu modern tidak selaras dengan Taman Leuser yang ada di sebelahnya dan juga tidak harmonis dengan lingkungan di sekitarnya yang masih memiliki ciri visual khas Kebayoran (Gambar 28).

Gambar 27. Taman Ayodya

Gambar 28. Kawasan di Sekitar Taman Ayodya; view dari Jl. Leuser menuju ke arah traffic island serta taman leuser di kiri jalan.

(34)

Selain taman-taman yang masih mempertahankan desain asli, visual kawasan Kotabaru Kebayoran saat juga dibentuk oleh keberadaan vegetasi asli terutama pohon-pohon peneduh yang mengisi jalur hijau jalan. Oleh karena itu penebangan pohon di sebagian kawasan turut menurunkan keharmonisan area tersebut dengan bagian kawasan lainnya. Contoh visual lanskap jalan yang masih mempertahankan vegetasi asli dapat dilihat pada Gambar 29. Sedangkan contoh visual lanskap jalan yang telah kehilangan ciri khasnya sebagai kota taman dapat dilihat pada Gambar 30.

Gambar 29. Visual Lanskap Jalan Berintegritas Tinggi; Jl. Brawijaya 8 (kiri) dan Jl. Sriwijaya Raya (kanan)

Gambar 30. Visual Lanskap Jalan Berintegritas Rendah; Jl. Wolter Monginsidi (kiri) dan Jl. Suryo (kanan)

Saat ini luas Ruang Terbuka Hijau publik yang masih ada hanya tersisa 45% dari total luas awal. Data mengenai lokasi dan luas taman dan jalur hijau yang masih terdapat dalam kawasan ini dapat dilihat dalam Lampiran 3 dan 4.

(35)

4.3.2.2 Analisis Perubahan Landuse

Sebagian perubahan fasad bangunan juga diikuti dengan perubahan fungsi bangunan itu sendiri. Menurut Laporan Evaluasi Lingkungan Cagar Budaya Kebayoran, hingga tahun 2005 konversi penggunaan lahan di kawasan pemugaran Kebayoran Baru mencapai 99,8 Ha atau sebesar 14 persen dari luas kawasan. Konversi penggunaan lahan yang paling mencolok adalah dari area non-komersial menjadi area komersial yaitu sebesar 53,2 Ha seperti yang dapat dilihat pada Gambar 31.

Gambar 31. Lahan Pemukiman Terkonversi Menjadi Lahan Perdagangan dan Jasa; sepanjang Jl. Mahakam (kiri) dan The Dharmawangsa Square (kanan) Selain perubahan ke arah kawasan komersial, perubahan penggunaan lahan juga menyebabkan hilangnya greenbelt di sekeliling kota yang kini terkonversi menjadi area pemukiman. Menurut perhitungan penulis, luasan RTH Kota yang terkonversi termasuk greenbelt adalah sebesar 55% dari total luas awal atau menyusut menjadi 7,5% dari total luas kawasan. Hal ini diantaranya disebabkan oleh:

1. Meningkatnya jumlah kebutuhan perumahan di Jakarta

2. Kebijakan pemugaran yang berlaku belum menguraikan secara jelas mengenai lingkungan pemugaran maupun lingkungan cagar budaya. Pembahasan dalam SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV-6097/d/33/1975 lebih menitikberatkan pada pemugaran bangunan.

3. Kurangnya sosialisasi kebijakan kepada masyarakat. Hal ini dapat disimpulkan dari hasil polling yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta pada tahun 2005, penduduk Kebayoran Baru

(36)

yang tidak mengetahui bahwa tempat tinggalnya telah ditetapkan sebagai kawasan pemugaran mencapai 76,25 persen.

4. Kurangnya konsistensi aparat dalam menerapkan kebijakan yang berlaku. 5. Tidak adanya kompensasi terhadap pemilik lahan apabila mereka

melaksanakan kebijakan pemugaran yang berlaku. Berdasarkan hasil polling yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta pada tahun 2005, 82,50 persen penduduk bersedia melaksanakan tindakan pelestarian apabila diberikan kompensasi berupa keringanan PBB, 6,25 persen mengharapkan keringanan retribusi listrik dan air, sedangkan 5 persen mengharapkan kompensasi berupa kredit lunak untuk merenovasi rumah.

Besarnya konversi lahan pada kawasan ini dapat dilihat pada Gambar 32, 33, 34, 35 dan 36. Akan tetapi berdasarkan kriteria untuk penilaian keaslian dan fungsi kota sebagaimana yang dapat dilihat kembali pada Tabel 3, didapatkan hasil penilaian bahwa kawasan Kebayoran Baru saat ini masih dapat mempertahankan originalitas atau keaslian kawasan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Penilaian Kawasan Kebayoran Baru Berdasarkan Kriteria Penilaian Keaslian dan Fungsi Kota.

Kriteria Garden City Kondisi Eksisting Kebayoran Baru Skor Luasan Luasan tetap atau berubah <25% 4 Pola Distrik Karakter, pola, elemen dan fungsi kota berubah atau

berubah 26-50% 3

Sistem RTHK • Memiliki ruang terbuka dalam jumlah 50-75% dari yang ditetapkan dalam standar garden city.

• Karakter, struktur, elemen dan fungsi ruang terbuka berubah 51-75%.

2

Sistem Jalur Hijau dan Permanent Belt.

• Tidak memiliki jalur hijau atau permanent belt atau hanya tersisa 25-50 % dari konsep awal.

• Karakter, struktur, elemen dan fungsi jalur hijau atau permanent belt berubah 50-75%

2

TOTAL 11

Keterangan:

∑ Nilai 4-6 = Tidak original 7-10 = Kurang original 11-13 = Original 14-16 = Sangat original

(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)

Sedangkan berdasarkan kriteria penilaian keunikan seperti yang dapat dilihat dalam Tabel 4, didapatkan hasil bahwa Kotabaru Kebayoran memiliki keunikan dan originalitas. Hasil penilaian tersebut dapat dilihat dalam Tabel 11. Tabel 11. Penilaian Keunikan Kotabaru Kebayoran

Kriteria Keunikan Konsep Kebayoran Baru Skor Nilai Kesejarahan • Mengadaptasi sebagian konsep Garden City

• Memiliki nilai sejarah

3 Kekhasan/Keunikan

• Kelangkaan

• Arsitektur

• Memorial

• Karakter dan struktur elemen bersifat khas namun dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu dan memiliki nilai sejarah.

• Jumlahnya cukup banyak

3

Integritas

• Fisik

• Fungsi

• Visual

• Karakter, struktur dan fungsi elemen menyatu dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya.

• Kondisi visual dan tata ruang kota berubah sebagian dari konsep awal.

3

TOTAL 9

Keterangan:

∑ Nilai 3-4 = Tidak original 5-7 = Kurang original 8-10 = Original 11-12 = Sangat original

Selain penilaian berdasarkan keaslian dan fungsi serta keunikan kawasan, dilakukan juga penilaian integritas kawasan berdasarkan blok yang dapat dilihat dalam Tabel 12. Penilaian ini ditujukan untuk memetakan bagian mana dari kawasan tersebut yang masih memiliki tingkat integritas tinggi dan bagian yang memiliki integritas rendah untuk kemudian dianalisis bentuk-bentuk upaya pelestarian yang dapat dilakukan dengan lebih spesifik.

Penilaian yang terdapat dalam Tabel 12 adalah penilaian integritas karakter, elemen, fungsi, pola, RTH dan visual kawasan. Penilaian karakter dilakukan dengan melihat keutuhan sebagai kawasan pemukiman dengan kelestarian arsitektur dan lanskap jalan khas Kebayoran. Penilaian elemen dilihat dari keutuhan keberadaan bangunan, taman dan jalur hijau. Penilaian fungsi dinilai dari besarnya perubahan landuse. Penilaian RTH dilihat dari perubahan total luas RTH baik taman maupun jalur hijau. Sedangkan visual dinilai dari keharmonisan suatu elemen dengan lingkungan sekitarnya atau suatau blok dengan bagian kawasan lainnya.

(43)

Selain mempertimbangkan keutuhan, penilaian pada Tabel 12 juga dilakukan dengan mempertimbangkan peruntukan kawasan. Misalnya kawasan komersial dapat memiliki nilai visual dan elemen yang tinggi meskipun integritasnya rendah karena memang kawasan tersebut telah direncanakan sebagai kawasan yang dinamis selama kawasan tersebut masih dapat mempertahankan ciri khas kawasan yang lainnya dan desain baru yang terdapat pada kawasan tersebut masih dapat menyatu harmonis dengan lingkungan di sekitarnya. Penilaian pada Tabel 12 ini secara spasial dapat dilihat pada Gambar 37. Sedangkan representasi visual kawasan berdasarkan hasil penilaian dapat dilihat pada Gambar 38, 39, 40 41, 42 dan 43.

Tabel 12. Penilaian Integritas Kawasan Per Blok

Blok Karakter Elemen Fungsi Pola RTH Visual Total

A 1 3 3 4 2 1 14 B 2 2 3 4 4 2 19 C 2 3 2 4 4 2 17 D 2 2 3 4 3 3 17 E 3 3 3 4 4 4 21 F 3 4 3 4 3 3 20 G 3 4 4 4 3 3 21 H 3 2 3 4 3 3 18 I 3 3 4 4 3 4 21 K 2 4 4 4 4 2 20 L 3 3 4 4 4 3 21 M 2 4 4 3 4 2 18 N 3 3 3 4 4 2 19 O 3 3 3 4 4 3 18 P 3 3 3 4 2 3 18 Q 2 3 3 4 3 2 17 R 3 3 4 4 4 3 21 S 3 3 3 4 1 3 17 PBT 1 1 1 1 1 1 6 PBB 1 1 1 1 1 1 6 Total 50 57 61 73 61 50 Keterangan:

PBT = Permanent Belt Timur PBB = Permanent Belt Barat Penilaian Hasil Per Blok Hasil Per Kriteria 1 = Berubah >75% 6-10 = Tidak Original 20-34 = Tidak Original 2 = Berubah 50-75% 11-15 = Kurang Original 35-40 = Kurang Original 3 = Berubah 25-50 % 16-20 = Original 50-64 = Original 4 = Berubah <25% 21-24 = Sangat Original 65-80 = Sangat Original

(44)
(45)

Gambar 38. Benda Cagar Budaya di Kawasan Kebayoran Baru; Masjid Agung Al Azhar di Blok K (kiri)

dan Masjid Syarif Hidayatullah di Blok N(kanan)

Gambar 39. Area Sangat Original;

Rumah Jengki di Blok E (atas), Rumah Peninggalan Alm. Ibu Fatmawati dan Rumah Tipe Asli di Blok I (tengah), Jalan Pemisah

(46)

Gambar 40. Area Original;

Taman Lingkungan di Blok O (kiri atas), Jalan Pemisah Blok M dan Blok N (kanan atas), Rumah Tipe Asli di Blok P (kiri bawah) dan

Kawasan Perniagaan di Blok M (kanan bawah)

Gambar 41. Area Kurang Original di Blok A

(47)

Gambar 43. Bangunan Bersejarah di Kawasan Kebayoran Baru; Rumah Peninggalan Alm. Jend. DI Panjaitan (kiri) dan

Rumah Peninggalan Alm. Ibu Fatmawati (kanan

Selain itu, dengan tolak ukur Perda DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999, didapatkan hasil analisis sebagai berikut:

Tabel 12. Analisis Kelayakan Lingkungan Cagar Budaya Kebayoran Kriteria Perda No. 9 Tahun 1999 Kebayoran Baru Nilai sejarah Peristiwa perjuangan,

ketokohan, politik, budaya yang menjadi simbol nilai kesejarahan.

• Merupakan kawasan yang dikonsepkan sebagai kota satelit pertama di Indonesia

• Kota Taman kedua di DKI Jakarta

• Terdapat rumah bersejarah milik Jend. DI Panjaitan dan Alm. Ibu Fatmawati

• Terdapat bangunan cagar budaya Masjid Agung Al-Azhar Umur Batas usia

sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun.

• Dibangun pada tahun 1949 dan ditetapkan sebagai lingkungan pemugaran pada tahun 1975. Pada saat penetapan baru berusia 26 tahun namun pada saat ini sudah berusia lebih dari 60 tahun.

Keaslian Keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun stuktur, material, tapak bangunan dan bangunan di sekitarnya.

• Seluruh kawasan masih dibentuk oleh struktur blok-blok hunian, dengan pola jalan pembentuk lingkungan yang juga masih asli yaitu radiosentris dan sirkular.

• Desain arsitektur bangunan pada setiap blok sebagian besar sudah berubah.

• Jenis vegetasi dan pola taman lingkungan belum banyak berubah Kelangkaan Keberadaan sebagai

satu-satunya atau yang terlengkap dari jenisnya yang masih ada.

• Masih terdapat bangunan perumahan dan komersial dengan gaya arsitektur yang khas Kebayoran

• Terdapat bangunan bergaya arsitektur ‘Jengki”

(48)

4.3.3 Analisis Sebagai Identitas Kota

Sedangkan dari kriteria identitas kota menurut Relph (1976), Kotabaru Kebayoran yang kini berada dalam Kecamatan Kebayoran Baru dapat memenuhi beberapa kriteria pembentuk identitas kota, yaitu:

1. Existential Insideness

Sebagai salah sentra perekonomian Jakarta Selatan, Kotabaru Kebayoran merupakan kawasan yang dinamis, khususnya di wilayah Blok M.

Gambar 44. Wilayah Blok M 2. Behavioral Insideness

Kotabaru Kebayoran menghadirkan suasana yang khas dengan pola keruangan yang lebih tertata dan lebih teduh dari daerah-daerah di sekitarnya terutama pada wilayah-wilayah pemukiman yang memiliki nilai integritas yang cukup tinggi yaitu Blok B, C, D, E, F, G, H, I, K, L, N, O, P, Q, R dan S.

Gambar 45. Wilayah Pemukiman yang Teduh; Blok O (kiri) dan Blok K (kanan)

3. Objective Outsider

Dalam kawasan Kotabaru Kebayoran terdapat area Blok M yang menjadi salah satu area paling dikenal di Jakarta Selatan. Selain itu terdapat

(49)

bangunan penting yang mengarahkan persepsi publik atas Jakarta Selatan ke dalam kawasan ini yaitu Kantor Walikota Jakarta Selatan.

Gambar 46. Area yang Mengarahkan Persepsi Publik; Kantor Walikota Jakarta Selatan (kiri) dan Wilayah Blok M (kanan)

4. Mass Identity of Place

Keberadaan pohon-pohon peneduh sepanjang jalan serta gaya arsitektur khas Kebayoran termasuk tipe rumah Jengki seakan menjadi salah satu penanda batas kawasan Jakarta Selatan.

Gambar 47. Pohon Peneduh di Sepanjang Jalan Utama; Perbatasan Blok M dan Blok N (kiri) dan Perbatasan Blok E (kanan) 5. Empathetic Insideness

Sebagai salah satu titik awal perkembangan DKI Jakarta ke arah selatan, Kotabaru Kebayoran menyimpan nilai sejarah pembangunan dan perkembangan Ibukota Jakarta.

(50)

6. Existential Outsideness

Kawasan ini merefleksikan keberhasilan membangun kota baru yang saat ini masih terus berkembang dan menjadi salah satu kawasan penting di Jakarta.

Gambar 48. Hasil Perencanaan Jalan yang Baik; Jl. Sisingamangaraja terbukti lebih mampu mengakomodir mobilitas warga Ibukota hingga saat

ini 4.3.4 Analisis Keberlanjutan

Sebagai urban heritage, keberlanjutan Kebayoran baru dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal dapat dibagi menjadi Kekuatan (Strength) dan Kelemahan (Weakness). Sedangkan faktor eksternal dapat dibagi menjadi Peluang (Opportunity) dan Hambatan (Threat). Secara rinci, faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kekuatan (Strength)

• Kawasan ini memiliki nilai kesejarahan, keunikan keaslian dan integritas yang cukup tinggi.

• Terdapat dua Benda Cagar Budaya (BCB) yang terdapat dalam kawasan ini.

• Telah ditetapkan sebagai lingkungan pemugaran melalui Keputusan Gubernur Nomor DIV.6099/d/33/1975.

• Adanya keinginan dari warga setempat untuk mendukung upaya pelestarian.

2. Kelemahan (Weakness)

• Telah banyak lahan yang terkonversi baik secara penggunaan lahan maupun secara visual

(51)

• Penduduk setempat masih belum mendapatkan informasi yang cukup mengenai pentingnya pelestarian kawasan tempat tinggal mereka.

• Kebijakan yang berlaku masih memerlukan revisi atau penyesuaian kembali dan dinilai sudah tidak dapat memenuhi perkembangan kota saat ini.

3. Peluang (Opportunity)

• Telah dikeluarkannya Undang Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang menetapkan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit tiga puluh persen dari total luas kota dan dua puluh persen diantaranya adalah ruang terbuka hijau publik (pasal 29).

• Telah diundangkannya Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 135 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Kawasan Kebayoran Baru sebagi tindak lanjut dari Undang No. 26 Tahun 2007 dan upaya revisi dari kebijakan-kebijakan yang telah berlaku sebelumnya (Lampiran 5).

• Ditetapkannya kawasan Kebayoran Baru sebagai daerah resapan bagi Kota Administratif Jakarta Selatan dalam RTRW 2005-2010. 4. Hambatan (Threat)

• Derasnya peningkatan jumlah penduduk yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan permukiman sehingga memicu laju konversi lahan RTH menjadi kawasan pemukiman.

• Meningkatnya nilai lahan, baik NJOP maupun beban pajak lahan sehingga mendorong pemilik lahan untuk menggunakan lahan tersebut untuk tujuan komersial.

• Belum adanya implementasi kebijakan yang nyata yang dilakukan oleh pemerintah.

• Lemahnya penegakan hukum yang terjadi di lapangan.

• Kebijakan yang berlaku masih menitikberatkan pada pemugaran bangunan dan belum mengkaji secara detail mengenai pemugaran lingkungan.

(52)

4.4 Usulan Pelestarian

Sebagai identitas kota sekaligus sebagai pusat aktivitas perdagangan dan pemerintahan kota, perlu dilakukan tindakan pelestarian yang terencana dengan memperhatikan faktor eksternal maupun internal kawasan. Sebagai solusi dari potensi dan permasalahan diatas, dapat diusulkan upaya pelestarian sebagai berikut:

1. Melakukan revisi kebijakan yang menegaskan kembali kawasan Kebayoran Baru sebagai kawasan pemugaran secara lebih holistik dan terintegrasi dalam konsep pembangunan kota yang juga mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan historis. Untuk itu diusulkan pembagian zona kawasan menjadi zona inti dan zona penyangga sebagai solusi dari kebutuhan komersial dan pemukiman yang semakin meningkat. Zona inti diterapkan pada kawasan yang dinilai perlu untuk dipertahankan karena tidak mengalami banyak perubahan tata guna lahan dan masih banyak bangunan asli yang dilestarikan. Sedangkan zona penyangga adalah bagian kawasan yang telah banyak mengalami perubahan baik secara visual maupun perubahan tata guna lahan. Zona penyangga ini berfungsi sebagai area pengaman dari tekanan eksternal terutama penetrasi komersial. Usulan pembagian zonasi dapat dilihat pada Gambar 49.

Pembagian zonasi didasarkan pada kecenderungan perubahan lahan yang terjadi dewasa ini di dalam kawasan terutama perubahan menjadi area komersial, perubahan menjadi area pemukiman mewah (apartemen) serta area permanent belt of agriculture yang kini telah terkonversi menjadi pemukiman dengan KDB tinggi.

Menurut hasil pengamatan, kecenderungan terjadinya penetrasi komersial tersebut banyak terjadi di sepanjang Jl. Radio Dalam, Jl. KH. Ahmad Dahlan dan daerah bekas permanent belt of agriculture yang kini dikenal sebagai Wijaya Barat dan Wijaya Timur serta area residensial Pakubuwono dan Gandaria. Sebagian besar dari area yang terkonversi ini tercatat sebagai kawasan pemukiman hingga tahun 2008 namun pada penerapannya, area tersebut banyak digunakan sebagai lahan komersial.

(53)

Selain mengalami perubahan fungsi, bangunan di daerah ini juga mengalami perubahan visual yang sebagian besar dipugar dengan tidak mengindahkan kebijakan pemugaran.

Sedangkan daerah yang telah terkonversi sebelumnya atau yang telah terkonversi lebih dari 20 tahun terutama di sekitar blok M yaitu Jl. Iskandarsyah, Jl. Hasanuddin, Jl. Panglima Polim dan Jl. Melawai Raya dimasukkan ke dalam zona inti karena kawasan ini telah memberi karakter tersendiri ke dalam wilayah Kebayoran dalam jangka waktu yang lama. Kawasan Blok M juga dimasukkan ke dalam zona inti karena meskipun memiliki integritas visual yang rendah karena terdapat bangunan-bangunan komersial baru dengan desain modern, namun kawasan ini dinilai dapat mewakili kasawan komersial yang telah direncanakan sejak awal. Selain itu masih terdapat beberapa bangunan komersial yang masih melestarikan desain awalnya.

Sedangkan untuk daerah yang dulunya merupakan permanent belt of agriculture seperti daerah Wijaya Timur dan Barat serta sekitar Jalan Gandaria dan Pakubuwono dimasukkan ke dalam zona penyangga karena selain telah mengalami konversi lahan menjadi area terbangun dengan KDB cukup tinggi, daerah-daerah tersebut juga tidak direncanakan sebagai areal terbangun. Khusus untuk wilayah ini, diharapkan adanya penambahan vegetasi dan ruang publik yang ditujukan untuk menyatukan karakter sebagai bagian dari kota taman dan mengembalikan ciri area tersebut yang pada awalnya direncanakan sebagai RTH.

Sebagai tindak lanjut dari revisi kebijakan tersebut, perlu dilakukan penyusunan golongan pemugaran yang baru yang tidak hanya berorientasi pada bangunan namun juga RTH yang bernilai historis dan memiliki nilai integritas tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga karakter kota taman yang pada akhirnya merupakan perwujudan identitas kota. Kebijakan baru ini diharapkan dapat mempertimbangkan karakter atau identitas kawasan ini sebagai Kota Taman dan tingkat integritas kawasan serta peruntukannya sebagai daerah resapan dalam RTRW DKI Jakarta 2005-2010 yang akan dilakukan sebagai acuan dalam tindakan selanjutnya.

(54)
(55)

2. Sebagai tindak lanjut dari revisi kebijakan yang diusulkan pada poin pertama, perlu dilakukan upaya melengkapi aspek legal termasuk penetapan insentif dan disinsentif atas upaya pemugaran yang telah dilakukan oleh masyarakat. Insentif yang disarankan untuk diberikan adalah berupa keringanan PBB. Sedangkan disinsentif yang dimaksud adalah berupa sanksi hukum atas pelanggaran yang terjadi. Pelanggaran yang dimaksud dapat berupa upaya mengkonversi peruntukan lahan maupun upaya pemugaran bangunan yang tidak sesuai dengan kebijakan yang berlaku.

Selain itu perlu dilakukan pula penyusunan petunjuk teknis untuk diimplementasikan dalam kawasan sesuai dengan yang telah ditetapkan pada revisi kebijakan.

Acuan petunjuk teknis yang diusulkan dalam studi ini yaitu:

• Untuk mengimplementasi kebijakan RTH dan kebijakan penetapan kawasan sebagai daerah resapan air serta meningkatkan karakter sebagai kota taman, perlu dilakukan upaya sebagai berikut:

a) Meningkatkan presentase RTH.

b) Merehabilitasi RTH yang ada dengan memperhatikan desain awal dan visual lingkungan sekitarnya.

c) Menambah vegetasi peneduh.

d) Melestarikan vegetasi asli terutama pohon-pohon peneduh di tepi jalan yang menjadi salah satu ciri kawasan selama keberadaannya tidak membahayakan pengguna.

e) Meningkatkan KDH dan jumlah vegetasi pada area pemukiman yang pada awalnya dikonsepkan sebagai permanent belt of agriculture.

f) Melakukan rekonstruksi RTH semaksimal mungkin dapat mendekati seperti yang telah direncanakan dalam konsep awal, terutama RTH dalam kota. Misalnya dengan melakukan penertiban bangunan atau fasilitas yang berada pada wilayah RTH baik jalur hijau maupun taman.

(56)

Gambar 50. Contoh Upaya Penertiban Fasilitas Umum yang Berada pada kawasan RTH; penutupan SPBU di Blok N • Tindakan pelestarian lingkungan yang disarankan pada zona inti

adalah:

a) Mempertahankan landuse dan melakukan penertiban terhadap penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW yang berlaku

b) Mempertahankan pola blok dan jarak jalan

c) Mempertahankan proporsi dan tipologi bangunan asli

d) Mengembalikan fungsi RTH publik yang saat ini telah terkonversi menjadi area perdagangan dan jasa

e) Melestarikan vegetasi asli terutama pohon-pohon peneduh di sepanjang jalan selama keberadaannya tidak membahayakan pengguna

f) Mempertahankan dominasi vegetasi besar dan kanopi pohon yang rapat

g) Melakukan rehabilitasi RTH, semaksimal mungkin mengikuti konsep awal pembangunan dengan memperhatikan desain awal dan kondisi visual saat ini

h) Menambah jumlah pohon peneduh terutama di wilayah-wilayah yang jumlah vegetasinya telah berkurang seperti di Jl. Senopati, Jl. Suryo, Jl. Sisingamangaraja, Jl. Wolter Monginsidi, Jl. Panglima Polim serta jalan-jalan lainnya untuk memperkuat ciri khas kota taman serta memberikan kesatuan karakter (unity) dengan wilayah lainnya

(57)

i) Untuk kawasan komersial, bangunan yang tidak memiliki niai kesejarahan dapat dipugar dengan memperhatikan desain awal dan visual lingkungan di sekitarnya.

• Tindakan pelestarian lingkungan yang disarankan pada zona penyangga adalah:

a) Perubahan penggunaan lahan harus mengacu pada RTRW yang berlaku

b) Perubahan fasad bangunan harus mengikuti kebijakan penggolongan pemugaran bangunan

c) Mempertahankan pola blok

d) Bangunan yang masih mempertahankan bergaya arsitektur asli perlu dilestarikan (di Blok A, B dan C)

e) Keberadaan RTH ditingkatkan

f) Mempertahankan dan merawat RTH yang ada

g) Menambah vegetasi peneduh dan melestarikan vegetasi asli terutama di jalan-jalan utama

h) Mengeluarkan dan mensosialisasikan pedoman teknis pemugaran untuk masyarakat

3. Sebagai tindak lanjut dua poin usulan diatas, perlu dilakukan sosialisasi kebijakan dan guidelines yang telah ditetapkan baik kepada masyarakat maupun kepada aparatur terkait. Selain itu perlu juga dilakukan koordinasi dalam upaya implementasi serta penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi.

Gambar

Gambar 10. Kawasan Perniagaan dan Bioskop Mayestik
Gambar 11. Sumur Artesis
Gambar 13. Ilustrasi Landuse Tahun 1955 (Sumber: Prof. K. Hadinoto)
Gambar 14. Proses Pembangunan Kawasan 1949-1954 (Sumber: Prof. K. Hadinoto
+7

Referensi

Dokumen terkait

Isolat L4 mengalami mutasi pada nukleotida 795, G menjadi A, yang terletak pada kodon 265, TTG menjadi TTA, tetapi tidak menyebabkan perubahan asam amino sehingga dapat dipastikan

Pengujian kedua dilakukan perubahan sheet alignment dari pengujian pertama , pada pengujian pertama hanya dilakukan penurunan nilai toleransi menjadi 0,05mm pada pengujian kedua

Peningkatan luas area tertinggi pada tutupan lahan pemukiman atau urban sekitar 15 % dari tahun 2000-2006, sebaliknya tutupan lahan yang dapat mempengaruhi kondisi

Pada hasil post-test tetap tidak terdapat perubahan dalam kategori rendah (0%) dan terjadi penurunan jumlah subyek pada kategori sedang menjadi hanya sebanyak 1

Perubahan nama dan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dari BJA menjadi PT Bank Syariah BRI (BSBRI) didasarkan pada Pernyataan Keputusan Persetujuan Bersama

Berdasarkan tabel 4.10 dan tabel 4.11 dapat dijelaskan bahwa keputusan pembelian susu bubuk dewasa berkalsium Produgen didasarkan pada adanya reputasi yang baik

4.230.000,- yaitu merupakan kawasan pemukiman (Bangunan/Pekarangan) yang mempunyai fasilitas umum seperti sekolahan, pasar dan komplek perumahan, sehingga kenaikan harganya

Jika kecenderungan menabung berubah naik menjadi 0.80 yang berarti kecenderungan mengkonsumsi turun menjadi 20 persen ternyata grafik laju perubahan modal per kapita