• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika penderita nomophobia berat - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Dinamika penderita nomophobia berat - USD Repository"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PENDERITA NOMOPHOBIA BERAT

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Ni Nyoman Indah Triwahyuni 149114010

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

SKRIPSI

DINAMIKA PENDERITA NOMOPHOBIA BERAT

Disusun oleh:

Ni Nyoman Indah Triwahyuni NIM: 149114010

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing,

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

DINAMIKA PENDERITA NOMOPHOBIA BERAT

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Ni Nyoman Indah Triwahyuni

NIM: 149114010

Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 22 Januari 2019

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Penguji Tanda Tangan

1. Penguji 1 : Prof. A. Supratiknya, Ph.D.

2. Penguji 2 : Dr. Tjipto Susana, M.Si.

3. Penguji 3 : R. Landung Eko Prihatmoko, M.Psi., Psi.

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Bekerjalah terus tanpa henti dan berikan yang terbaik atas

semua energi yang kamu miliki, serta persembahkan apa yang

kamu kerjakan untuk Tuhan dan orang-orang terdekatmu.

Maka, yakinlah apa yang kamu kerjakan akan memberikan

hasil yang terbaik bagi dirimu

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk

Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para Leluhur

Untuk Bapak, Mama, Kakak, dan Adik,

serta sahabat dan teman-teman,

Atas semangat, kasih, canda, dan penyertaannya selama ini

Untuk para kaum muda dan partisipan,

yang telah memberikan sudut pandang dan ceritanya terkait

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar acuan, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 Januari 2019 Penulis

(7)

vii

DINAMIKA PENDERITA NOMOPHOBIA BERAT

Ni Nyoman Indah Triwahyuni

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana dinamika penderita nomophobia berat. Data dikumpulkan dengan pendekatan mixed-method, diawali dengan penggunaan metode kuantitatif untuk mendapatkan responden dengan kategori nomophobia berat dan dilanjutkan dengan metode kualitatif. Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner nomophobia yang dimiliki Yildirim dan Correia (2015), sedangkan data kualitatif dikumpulkan melalui proses wawancara. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan metode analisis statistik deskriptif. Sementara data kualitatif dianalisis menggunakan analisis isi kualitatif (AIK) dengan pendekatan deduktif, yakni analisis terarah. Partisipan penelitian ini merupakan mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta. Pada Studi 1 berjumlah 221 orang dan pada Studi 2 berjumlah empat orang. Hasil yang ditemukan adalah dari 221 orang responden, semuanya mengalami nomophobia dan kaum perempuan lebih rentan mengalami nomophobia berat. Secara umum, kecemasan saat tidak bisa menggunakan smartphone muncul sejak kuliah dan SMA yang diduga disebabkan oleh pengalaman negatif yang diberikan dari orang terdekat. Gejala yang dominan muncul adalah cemas jika ada seseorang yang menghubungi, sehingga partisipan menganggap koneksi adalah hal yang penting untuk dapat uptodate dengan informasi di sosial medianya. Strategi coping yang dominan digunakan untuk mengalihkan kecemasan adalah berinteraksi sosial dan melakukan hobi.

(8)

viii

DYNAMICS OF SEVERE NOMOPHOBIA PATIENTS

Ni Nyoman Indah Triwahyuni

ABSTRACT

This study aims to explore how the dynamics of patients with severe nomophobia. Data were collected with a mixed-method approach, starting with the use of quantitative methods to get respondents with severe nomophobia category and followed by qualitative methods. The quantitative data were collected using questionnaires nomophobia owned Yildirim and Correia (2015), while the qualitative data collected through the interview process. Quantitative data analysis was conducted using descriptive statistical analysis. While the qualitative data were analyzed using qualitative content analysis with a deductive approach, the analysis focused. Participants of this study arestudents one of private Colleges in Yogyakarta. There were 221 people in study onewhile in Study two there were four people. Results are from 221 respondents. All of them experienced nomophobia where women were more susceptible to suffer from severe nomophobia. In general, anxiety when unable to use smartphones emerged since college and high school which is suspected to be caused by the negative experience came from significant others. The dominant symptoms appear is feeling anxious if someone contacted them, so that participants assume that connection is important in order to be up to date with information on social media. The most used coping strategy used to distract their anxiety was by interacting socially and doing hobbies.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Ni Nyoman Indah Triwahyuni

Nomor Mahasiswa : 149114010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul :

Dinamika Penderita Nomophobia Berat

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis, tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada Tanggal: 30 Januari 2019 Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Perjalanan yang tidak mudah untuk menyelesaikan pembuatan skripsi hingga harus menambah satu semester untuk dapat menyelesaikannya. Tidak hanya untuk mendapatkan tanda kelulusan atau ijazah, namun untuk menemukan sebuah pembelajaran dalam berproses membuat suatu karya yang baik dan benar. Proses ini tidak akan mudah untuk saya jalani sendiri. Begitu banyak orang-orang hebat dan luar biasa yang mendukung perjalanan saya. Setulus hati saya ingin mengucapkan terima kasih pada semua orang yang telah berperan serta membantu saya secara langsung ataupun tidak langsung.

1. Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang Maha Segalanya! Saya beryukur atas pengalaman dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk dapat berproses sedemikian rupa dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih sudah menjadi tempat saya berkeluh kesah saat saya merasakan ketidaknyamanan dalam hati saya. Terima kasih atas energi yang Engkau berikan kepada saya hingga saya bisa sampai pada titik ini.

2. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar dan memiliki dedikasi yang tinggi memberikan waktu serta segala hal yang dimilikinya untuk membantu kami menyelesaikan skripsi dengan baik. Terima kasih telah mengajari banyak hal untuk bisa membuat hasil karya yang baik dan benar. Terima kasih telah mengembangkan kami Bapak.

(11)

xi

yang diterapkan. Berproses di tempat ini membuat saya lebih berkembang dan lebih mampu memahami diri saya sendiri serta orang lain.

4. Terima kasih kepada Bapak Eddy Suhartanto M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan bantuannya dalam proses menyelesaikan administrasi kegiatan perkuliahan saya.

5. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si. dan Bapak R. Landung Eko Prihatmoko, M.Psi., Psi. selaku dosen penguji. Terima kasih atas diskusi dan masukan yang diberikan untuk membuat skripsi ini menjadi lebih baik.

6. Bapak Ketut Sumiartha, Ibu Wayan Sutri, Ayu Sri Adnyani, Aditya Jaya Permana, Ketut Sri Muliati, dan Krisna Yuliawan yang selalu memberikan semangat dan selalu mengingatkan saya bahwa skripsi adalah prioritas utama. 7. Terima kasih kepada Deva “Pabo” selaku teman kos sekaligus teman dekatku

yang selalu ada dalam segala situasi Mank Indah. Terima kasih telah menjadi teman bercerita, bermain, bercanda, menangis, dan segalanya. Aku sayang Pabo.

8. Kepada rekan diskusi yang sungguh luar biasa Dimas Maharani Parwanto (Kuncung). Terima kasih atas waktu dan pemikiran kritismu yang selalu membuatku mencari tahu lebih dalam terkait suatu hal.

(12)

xii

10. Teman-temanku OMI “Intan, Dea, dan Grace” yang selalu mendukungku, memahamiku, dan mengajak aku pergi untuk menghilangkan rasa suntukku. Terima kasih telah menerimaku yang apa adanya ini, aku sayang kalian. 11. Kepada teman-teman kelas A angkatan 2014 yang telah menemaniku sejak

semester awal. Terima kasih atas semangat dan kerjasamanya selama ini. 12. Terima kasih kepada semua teman-temanku dari PF 2015, AKSI 2016, PF

2017, AKSI 2018, dan P2TKP yang selalu memberikan semangat dan pengalaman berharga saat berdinamika dengan kalian.

13. Kepada adik-adikku, Anting, Brian, dan Alma, yang selalu menjadi teman-teman bercerita segala hal. Senang mengenal kalian, semangat penyusunan skripsi ke depan!!

14. Anak-anak Profesor yang menjadi teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas diskusi, canda, dan sedihnya. Tetaplah semangat dan yakinlah ketika kalian terus berusaha memberikan yang terbaik atas apa yang kalian miliki, pasti akan berujung baik. Semangat!!

15. Para partisipan yang mengalami nomophobia, terima kasih atas partisipasi kalian. Tanpa kalian skripsi ini tidak akan berarti dan selesai.

16. Serta segala pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih telah membantu saya memberikan dukungan emosional, teknis, atau lainnya.

(13)

xiii

terutama kepada orangtua saya sebab mereka telah mengajarkan saya menjadi seorang yang mandiri dan pekerja keras.

Yogyakarta, 30 Januari 2019 Penulis

(14)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

B. Pertanyaan Penelitian ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

A. Remaja dan Teknologi Informasi ... 9

(15)

xv

d. Giving Up Convenience ... 17

3. Pengukuran Nomophobia ... 19

4. Dinamika Mahasiswa Penderita Nomophobia Berat... 21

C. Kerangka Konseptual ... 23

BAB III STUDI 1 ... 28

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 28

B. Variabel Penelitian & Definisi Operasional ... 28

C. Partisipan ... 29

D. Metode Pengambilan Data ... 30

E. Analisis dan Interpretasi Data ... 36

F. Hasil dan Pembahasan ... 37

BAB IV STUDI 2 ... 40

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 40

B. Fokus Penelitian ... 40

C. Partisipan ... 41

D. Peran Peneliti ... 42

E. Metode Pengambilan Data ... 43

F. Analisis dan Interpretasi Data ... 46

G. Penegakan Kredibilitas dan Dependibilitas Penelitian ... 48

H. Hasil dan Pembahasan... 49

1. Latar Belakang Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara ... 50

2. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 58

BAB V PEMBAHASAN UMUM ... 73

A. Keseluruhan Subjek Mengalami Nomophobia ... 73

B. Prevalensi Perempuan Lebih Tinggi Mengalami Nomophobia Berat ... 73

C. Asal-Usul Munculnya Kecemasan ... 74

D. Gejala dan Keluhan Terkait dengan Dimensi Nomophobia ... 75

(16)

xvi BAB VI

PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Keterbatasan penelitian ... 80

C. Saran ... 81

1. Bagi peneliti selanjutnya ... 81

2. Bagi praktisi psikologi ... 82

3. Bagi keluarga dan orang terdekat partisipan ... 82

4. Bagi partisipan ... 82

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Adaptasi Kuesioner Nomophobia Yildirim dan Correia (2015) .... 32

Tabel 2. Blue Print Kuesioner Nomophobia ... 35

Tabel 3. Koefisien Korelasi Setiap Item ... 36

Tabel 4. Norma Tingkat Nomophobia Menurut Yildirim dan Correia (2015) ... 37

Tabel 5. Sebaran Subjek Nomophobia Berat ... 38

Tabel 6. Partisipan Nomophobia Berat di Studi 2 ... 41

Tabel 7. Pedoman Wawancara ... 45

Tabel 8. Kerangka Analisis Asal-Usul Timbulnya Kecemasan ... 47

Tabel 9. Kerangka Analisis Dimensi Nomophobia ... 47

Tabel 10. Kerangka Analisis Strategi Coping untuk Mengatasi Kecemasan... 48

Tabel 11. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 49

Tabel 12. Hasil Analisis Asal-Usul Timbulnya Kecemasan ... 63

Tabel 13. Hasil Analisis Gejala dan Keluhan Terkait Dimensi Nomophobia ... 69

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orang Indonesia adalah pengguna smartphone nomor satu di dunia (“Orang Indonesia”, 2014). Lembaga riset digital Marketing atau Emarketer memperkirakan bahwa pada tahun 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia akan mencapai lebih dari 100 juta orang (Wahyudi, 2016). Di sisi lain, di tahun 2013, riset yang dilakukan Yahoo dan Midshare menemukan bahwa dari 41 juta orang di Indonesia yang menggunakan smartphone, 39% diantaranya adalah kaum muda dengan rentang usia 16 sampai 21 tahun (Wulandari, Darmawiguna, & Wahyuni, 2014). Diduga bahwa populasi anak muda yang menggunakan smartphone di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Peningkatan tersebut terlihat dari hasil observasi peneliti bahwa kaum muda tidak bisa terpisahkan dari smartphone yang mereka miliki dalam melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Hasil observasi ini dapat diperkuat dengan pemaparan Bragazii dan Puente (2014) yang menyatakan bahwa perubahan kebiasaan dan perilaku sehari-hari individu saat ini terjadi karena meningkatnya pemanfaatan dan penetrasi teknologi serta komunikasi virtual baru yang bersifat pribadi, dimana salah satu teknologi perantaranya adalah

smartphone. Pemanfaatan akan smartphone ini seperti dapat mengirim pesan

(21)

Namun, selain memberikan banyak manfaat, smartphone juga dapat memberikan dampak negatif. Menurut Hoffman (Bragazii dan Puente, 2014) penggunaan jangka panjang pada media baru ini mudah mengarahkan seseorang ke perilaku adiktif dan impulsif. Yildirim dan Correia (2015) menambahkan ada beberapa masalah terkait dengan penggunaan smartphone, salah satunya adalah

nomophobia. Nomophobia atau no mobile phone phobia adalah phobia yang

menggambarkan kecemasan atau ketidaknyamanan saat seseorang berada jauh atau tidak dapat kontak dengan smartphone atau komputer yang dimilikinya (King, Valenca, & Nardi, 2010, dalam Yildirim & Correia, 2015).

Yildirim dan Correia (2015) dalam hal ini mengungkapkan bahwa

nomophobia merupakan akibat interaksi individu dengan smartphone. Pernyataan

ini diungkapkan karena bertolak dari definisi King et al. (2010, dalam Yildirim & Correia, 2015) mengenai nomophobia. Menurutnya, nomophobia adalah fobia yang modern yang dihasilkan dari interaksi individu dengan teknologi baru. Kemudian, Yildirim dan Correia (2015) juga melihat bahwa smartphone semakin marak pada lima tahun terakhir, dimana telah mengambil alih pasar telepon selular bahkan hampir menggantikan frasa “telepon selular” (Yildirim & Correia, 2015).

Lalu, menurut Yildirim dan Correia (2015), nomophobia memiliki empat dimensi yaitu, not being able to communicate, losing connectedness, not being able to access information, and giving up convenience. Not being able to

communicate adalah perasaan kehilangan komunikasi ketika tidak dapat

(22)

kehilangan koneksi dan terputus dengan identitas online seseorang pada sosial media. Not being able to access information adalah munculnya rasa ketidaknyamanan yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengakses informasi melalui smartphone. Giving up convenience menggambarkan sebuah kenyamanan untuk tetap berada di dekat smartphone yang dimiliki.

Yildirim dan Correia (2015) menyatakan bahwa mengingat banyaknya penggunaan smartphone di kalangan mahasiswa, maka tidak mengejutkan bahwa mereka rentan dengan nomophobia. Pernyataan ini diperkuat dengan temuan penelitian yang dilakukan di Universitas Airlangga. Dari 380 responden, hanya 17 responden yang ditemukan tidak mengalami nomophobia. Sedangkan sisanya, masuk ke dalam beberapa kategori, yaitu 88 responden masuk kategori

nomophobia ringan, 148 responden masuk kategori nomophobia sedang, 92

masuk kategori nomophobia berat, dan 34 masuk kategori nomophobia sangat berat (Mulyar, 2016).

Temuan tersebut tentu mengkhawatirkan, sebab menurut Dixit et al. (2010, dalam Gezgin & Cakir, 2016) bahwa perilaku nomophobic dapat menyebabkan seorang individu merasakan efek kecemasan negatif yang berujung pada sulitnya berkonsentrasi saat melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, sebuah artikel berita menyebutkan terdapat dua orang anak yang mengalami guncangan jiwa akibat tidak diizinkan memegang atau menggunakan gadget oleh orangtuanya (Flora, 2018).

(23)

terdengar asing di kalangan masyarakat Indonesia, maka peneliti bertujuan melakukan penelitian secara lebih mendalam dengan mencari tahu dinamika dari penderita nomophobia berat. Dinamika penderita nomophobia berat yang dimaksud meliputi: (1) asal-usul munculnya kecemasan ketika tidak bersama

smartphone, (2) gejala dan keluhan apa saja terkait dengan empat dimensi

nomophobia yang dialami oleh penderita nomophobia berat, (3) strategi coping

untuk mengatasi kecemasan yang muncul ketika tidak bersama dengan smartphone.

Penelitian terdahulu, baik di luar atau dalam negeri, belum banyak yang membahas nomophobia secara lebih mendalam. Sejauh ini, penelitian di luar negeri ada yang bertujuan mencari tahu prevalensi nomophobia di kalangan mahasiswa, seperti dilakukan di medical college di Bangalore (Pavithra, Suwarna, & Murthy, 2015) dan di Turkish college students (Yildirim, Sumuer, Adnan, & Yildirim, 2015). Lalu, ada pula yang mencari prevalensi nomophobia ini di kalangan pengguna smartphone di India (Kanmani, Bhavani, & Maragatham, 2017). Kemudian, penelitian lain ada yang berusaha mencari dimensi dari

nomophobia serta melakukan validasi kuesioner nomophobia yang telah dibuat

(Yildirim & Correia, 2015). Sementara penelitian di Indonesia lebih banyak mencari hubungan nomophobia dengan beberapa aspek psikologis, seperti kepercayaan diri (Sudarji, 2017), self esteem (Mayangsari & Ariana, 2015), dan the big five personality (Prasetyo & Ariana, 2016).

(24)

pengumpulan datanya berupa kuesioner (King et al., 2014; Yildirim et al., 2015; Pavithra et al., 2015; Mayangsari & Ariana, 2015; Gezgin & Cakir, 2016; Prasetyo & Ariana, 2016; Kanmani et al., 2017; Prasad, Patthi, Singla, Grupta, Saha, Kumor, Malhi, & Venisha, 2017; Sudarji, 2017; Wahyuni & Harmaini, 2017). Lalu, ada pula penelitian yang menggunakan desain kualitatif dan mix

method, yaitu penelitian yang dilakukan Yildirim dan Correia (2015). Mix method

yang dilakukan Yildirim dan Correia (2015) digunakan untuk mencari dimensi dan mengembangkan kuesioner untuk mengukur nomophobia. Tahap pertama yang dilakukan oleh Yildirim dan Correia (2015) adalah menggunakan desain kualitatif dengan wawancara sebagai instrumen yang dipilih untuk mengumpulkan data. Selanjutnya, mereka menggunakan desain kuantitatif dan kuesioner sebagai instrumennya. Dalam menggunakan desain mix method ini, Yildirim dan Correia (2015) lebih berfokus pada pengembangan kuesioner untuk mengukur

nomophobia. Sedangkan dari segi partisipan, sebagaian besar penelitian baik di

luar maupun di dalam negeri menggunakan partisipan yang memiliki rentang usia 17-35 tahun dengan mahasiswa sebagai profesi yang sebagian besar digunakan untuk sampel penelitian (Mayangsari & Ariana, 2015; Pavithra et al., 2015; Yildirim & Correia, 2015; Yildirim, Sumuer, Adnan, & Yildirim, 2015; Prasetyo & Ariana, 2016; Kanmani et al., 2017; Prasad, Patthi, Singla, Grupta, Saha, Kumor, Malhi, & Venisha, 2017; Sudarji, 2017).

(25)

nomophobic. Kedua adalah penelitian dari Yildirim et al. (2015). Mereka menemukan bahwa 42.6% kaum muda di Turki mengalami nomophobia. Ketiga, Kanmani et al. (2017) menemukan bahwa perempuan memiliki level nomophobia yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki dan mahasiswa (18-24 tahun) lebih rentan terkena nomophobia dibandingkan kalangan yang sudah bekerja. Lalu, penelitian di Indonesia hanya mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan antara

nomophobia dengan aspek psikologis yang diteliti, yaitu kepercayaan diri

(Sudarji, 2017), self esteem (Mayangsari & Ariana, 2015), dan the big five personality (Prasetyo & Ariana, 2016).

Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, peneliti menemukan beberapa defisiensi. Dari segi fokus penelitian, belum ada yang meneliti mengenai dinamika penderita yang mengalami nomophobia berat di luar maupun dalam negeri. Penelitian di Indonesia sebelumnya lebih banyak mencari keterkaitan

nomophobia dengan aspek psikologis. Dari segi desain penelitian, hanya satu

yang ditemukan menggunakan desain mix method dan berlokasi di luar negeri, yaitu Amerika Serikat. Desain tersebut digunakan dengan lebih dominan pada desain kuantitatif untuk dapat mengembangkan kuesioner yang mampu mengukur

nomophobia. Sisanya, lebih banyak yang menggunakan desain penelitian

(26)

Bertolak dari defisiensi yang dipaparkan itu, peneliti ingin menggunakan

mix method untuk mengetahui dinamika penderita nomophobia berat, dengan

subjek mahasiswa aktif di suatu Universitas. Tujuan dari penggunaan mix method adalah: pertama, menemukan subjek yang tergolong memperoleh skor kategori

nomophobia berat dengan metode kuantitatif dan kuesioner sebagai instrumen

pengumpulan datanya. Setelah itu, yang kedua, sampel subjek yang tergolong berat akan diwawancara menggunakan metode kualitatif. Hal ini dilakukan untuk dapat mengeksplorasi dinamika nomophobia berat yang dialami oleh subjek tersebut. Kemudian, data yang diperoleh akan dianalisis dengan analisis isi kualitatif.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan pokok: Bagaimana dinamika mahasiswa yang mengalami nomophobia berat?

Pertanyaan turunan:

1. Bagaimana asal-usul munculnya kecemasan ketika tidak bersama

smartphone?

2. Gejala dan keluhan apa saja terkait dengan empat dimensi nomophobia yang dialami oleh mahasiswa yang memiliki nomophobia berat?

3. Bagaimana strategi coping untuk mengatasi kecemasan yang muncul ketika tidak bersama smartphone?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengeksplorasi dinamika mahasiswa yang mengalami

(27)

1. Asal-usul munculnya kecemasan ketika tidak bersama smartphone

2. Gejala dan keluhan terkait empat dimensi nomophobia yang dialami mahasiswa yang memiliki nomophobia berat

3. Strategi coping yang digunakan untuk mengatasi kecemasan yang muncul ketika tidak bersama smartphone

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur khususnya kajian psikologis mengenai nomophobia di Indonesia, terutama berkaitan dengan dinamika penderita nomophobia berat, khususnya di kalangan mahasiswa.

2. Manfaat Praktis

(28)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, penulis akan mengawali penjelasan terkait dinamika mahasiswa yang masuk dalam golongan remaja dan hubungannya dengan teknologi. Lalu, penjelasan akan dilanjutkan pada apa yang dimaksud dengan

nomophobia. Penjelasan nomophobia tersebut melingkupi pengertian dan

dimensi-dimensi yang dimiliki oleh nomophobia, serta alat ukur atau kuesioner

nomophobia yang digunakan. Sesudah itu, peneliti berlanjut menjelaskan sedikit

mengenai strategi coping secara umum dan konteks penelitian yang dituju, yaitu mengenai mahasiswa dengan nomophobia berat, serta pemaparan maksud peneliti mengenai dinamika mahasiswa yang menderita nomophobia berat. Pada bagian akhir, peneliti akan memberikan sebuah bagan kerangka konseptual untuk membantu memperlihatkan alur berpikir penelitian ini.

A. Remaja dan Teknologi Informasi

(29)

menjadi trendi masyarakat (Oulasvirta et al., 2012, dalam Yildirim & Correia, 2015).

Tren tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya peningkatan yang signifikan pada pengguna smartphone di Indonesia. Pada tahun 2015 penggunanya sebesar 52,2 juta jiwa, kemudian pada tahun 2016: 69,4 juta jiwa, 2017: 86,6 juta jiwa, dan diperkirakan semakin memuncak pada tahun 2018, yakni sebanyak 103 juta jiwa (Wahyudi, 2017). Riset yang dilakukan Yahoo dan Midshare pada tahun 2013 menemukan bahwa dari 41 juta orang di Indonesia yang menggunakan smartphone, 39% diantaranya adalah kaum muda dengan rentang usia 16 sampai 21 tahun (Wulandari, Darmawiguna, & Wahyuni, 2014). Hasil tersebut mencerminkan bahwa di samping terjadinya peningkatan pengguna

smartphone di Indonesia secara umum dari tahun ke tahun, terdapat rentang usia

yang menguasai porsi terbesar dalam kepemilikan smartphone, yakni pada usia 16-21 tahun.

(30)

terkait penggunaan yang berlebihan pada smartphone (Yilmaz, Sar, & Cilvan, 2015; dalam Gezgin & Cakir, 2016). Smartphone dapat menyebabkan penggunaan kompulsif (Oulasvirta et al., 2012, dalam Yildirim & Correia, 2015) dan membuat ketagihan di kalangan remaja (Chiu, 2014; Lee et al., 2014; Salehan & Negahban, 2013, dalam Yildirim & Correia, 2015). Hal ini mungkin terjadi karena remaja cenderung menghabiskan sebagian besar waktu yang mereka miliki bersama

smartphone-nya.

Lebih bahayanya lagi, di zaman globalisasi, smartphone dapat memberi efek yang besar pada perkembangan sosial dan emosional remaja (Gezgin & Cakir, 2016). Samaha dan Hawi (2015) menemukan bahwa kecanduan

smartphone meningkatkan stres dan menurunkan kinerja akademik. Selain itu,

penelitian Lee, Kim, Ha, Yoo, Han, Jung, & Jang (2016) yang dilakukan di kalangan mahasiswa membuktikan bahwa ketergantungan smartphone dapat menimbulkan perasaan cemas. Hal tersebut diduga mampu membawa remaja lebih rentan pada kecanduan oleh smartphone dibandingkan orang dewasa (Kwon, Kim, Cho, dan Yang, 2013, dalam Gezgin & Cakir, 2016). Efek kecanduan inilah yang menyebabkan remaja rentan terkena nomophobia.

(31)

digunakan oleh peneliti adalah mereka yang berusia 18-24 tahun (Curtis, 2015) dan masuk dalam kategori nomophobia berat.

B. Nomophobia

1. Pengertian

Nomophobia atau disebut juga no mobile phone phobia merupakan sebuah

phobia yang menggambarkan kecemasan seseorang ketika berada jauh dari mobile

phone miliknya (SecurEnvoy, dalam Yildirim & Correia, 2015). Cheever et al. (Prasetyo & Ariana, 2014) juga menjelaskan bahwa nomophobia adalah phobia yang menggambarkan kondisi seseorang yang tidak dapat lepas dari telepon genggam miliknya. Oleh karena itu, Yildirim dan Correia (2015) mengungkapkan bahwa nomophobia memiliki keterkaitan dengan interaksi seseorang dengan

mobile phone. Kemudian, King et al. (2014) yang mengutip dari sebuah majalah

Nomophobia fear pada tahun 2012, menambahkan bahwa nomophobia adalah

sebuah ketakutan yang terjadi karena tidak dapat melakukan komunikasi melalui

mobile phone atau tidak dapat terhubung dengan internet.

Phobia yang memiliki keterkaitan dengan interaksi seseorang dengan

mobile phone ini menyebabkan seseorang memiliki kecemasan dan ketakutan

berlebih jika ia kehilangan atau jauh dari ponselnya (Wahyuni & Harmaini, 2017). Dixit et al. (Gezgin & Cakir, 2016) juga menyatakan hal yang sama bahwa individu yang memiliki perilaku nomophobic akan merasakan cemas saat individu tersebut kehilangan, kehabisan baterai, atau tidak mendapatkan koneksi pada

handphone-nya. Selain itu, individu dengan nomophobia juga mengalami

(32)

melewatkan informasi penting dari jejaring sosial (Mayangsari, 2012; dalam Sudarji, 2017).

Lebih lanjut, Sudarji (2017) juga menjelaskan orang yang mengalami

nomophobia selalu hidup dalam kekhawatiran dan kecemasan ketika ia

meletakkan atau menyimpan smartphone. Hal tersebut pula yang membuat orang yang menderita nomophobia selalu membawa smartphone-nya kemana pun ia pergi. Lalu, Sudarji (2017) kembali memaparkan bahwa penderita nomophobia dapat memeriksa smartphone mereka hingga 34 kali dalam sehari dan kerap membawanya hingga ke toilet. Maka, penjelasan King, Valenca, Silva, Baczynski, Carvalho, dan Nardi (2013) dapat memberikan kesimpulan bahwa nomophobia mengacu pada suatu ketidaknyamanan atau kecemasan yang disebabkan oleh tidak tersedianya ponsel, PC atau perangkat komunikasi virtual lainnya.

2. Dimensi Nomophobia

Menurut Yildirim dan Correia (2015), nomophobia memiliki empat dimensi yaitu, not being able to communicate, losing connectedness, not being

able to access information, dan giving up convenience.

(33)

memungkinkan saya berkomunikasi lebih mudah dengan seseorang. Jadi, jika jadwal saya diubah atau saya perlu bertanya dengan seseorang, saya dapat melakukannya dengan lebih mudah.” (Olivia). Ada pula yang mengatakan, “Anda bisa saja mengirimkan pesan teks ke grup untuk memberitahu dimana Anda akan bertemu.” (Lily). Satu partisipan juga menyatakan bahwa telepon sangat membantunya dalam berkomunikasi, Ted berkata, “Ketika saya pertama kali datang ke AS, saya merasa rindu rumah, tapi telepon saya dapat membantu saya untuk berkomunikasi dengan keluarga saya dan saya merasa lebih baik”.

Melalui kutipan pernyataan tersebut dapat ditunjukkan bahwa smartphone sebagai alat komunikasi begitu penting bagi orang dewasa muda. Para partisipan menyatakan bahwa ketika mereka tidak dapat menggunakan smartphone, mereka akan merasa cemas. Hal ini tergambar dari kutipan-kutipan pernyataan di bawah

ini: “Bagian yang paling disayangkan adalah ketika saya tidak dapat menerima

pesan atau e-mail apapun. Saya tidak dapat menghubungi orang yang perlu saya hubungi dan hal tersebut memunculkan perasaan tidak menyenangkan.” (Petrus). Pernyataan lain dari Lily seperti, “Uhmm..itu agak aneh, ketika saya tidak bisa mengirimkan pesan kepada teman sekamar saya. Saya seakan tidak bisa

berkomunikasi”.

Kemudian, Yildirim dan Correia (2015) menemukan bahwa komunikasi secara langsung atau yang dikatakan instan berarti bisa mendapatkan pesan teks dari seseorang dengan segera. Selain pesan teks, media komunikasi lain yang dilakukan oleh beberapa orang adalah pesan e-mail. Misalnya, partisapan Astrid

(34)

cemas karena saya tahu di akhir hari saya akan mendapatkan e-mail yang banyak. Di sisi lain, saya tidak dapat memeriksanya. Jika seseorang membutuhkan sesuatu, saya tidak dapat segera meresponnya.”. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa ada sebuah keinginan dari Astrid untuk segera merespon seseorang yang menghubunginya.

b. Losing Connectedness atau kehilangan koneksi adalah perasaan kehilangan koneksi pada smartphone dan terputus dengan identitas online khususnya pada sosial media yang dimiliki. Para peserta menjelaskan bahwa koneksi merupakan alasan utama kaum muda menggunakan smartphone. Hal tersebut dapat tergambarkan dari salah satu hasil wawancara Yildirim dan Correia dengan seorang mahasiswi yaitu, Astrid. Ia mengatakan bahwa smartphone memungkinkannya untuk tetap terhubung pada teman-temannya yang berada di negeri yang berbeda dan ia juga dapat mengikuti perkembangan dari teman-temannya. Selain itu, keterhubungan atau terkoneksi yang dijelaskan oleh peserta lainnya adalah ia mampu mengetahui arti dari notifikasi yang muncul melalui

smartphone miliknya. Hal ini seperti lampu berwarna ungu memiliki arti bahwa

(35)

Pernyataan-pernyataan tersebut menggambarkan pentingnya orang-orang muda memberikan sebuah tanda yang berfungsi untuk memastikan mereka melihat pemberitahuan yang masuk ke dalam smartphone mereka. Pemberitahuan tersebutlah yang membuat mereka memiliki keinginan untuk memeriksa

smartphone mereka. Tampaknya, melihat sebuah notifikasi yang ada di

smartphone merupakan salah satu cara memastikan keterhubungan. Jika mereka

melihat pemberitahuan, berarti mereka merasa tetap terhubung dengan identitas dan jaringan online yang mereka miliki. Selain itu, keterhubungan tersebut tidak hanya terkait dengan identitas online yang mereka miliki, namun juga dengan

smartphone itu sendiri. Pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Olivia yang

menyatakan bahwa ia merasa hampa ketika ia meninggalkan teleponnya di rumah. Kemudian ungkapan John juga mencerminkan hal yang sama, ia mengatakan akan merasa tidak nyaman ketika ia meninggalkan teleponnya.

c. Not Being Able to Access Information atau tidak dapat mengakses informasi adalah dimensi yang menggambarkan ketidakmampuan seseorang dalam mengakses informasi. Dimensi ini tercermin dengan adanya ketidaknyamanan ketika individu kehilangan akses untuk mendapatkan informasi dari smartphone. Mengakses informasi melalui smartphone ditemukan menjadi hal yang sangat penting dilakukan oleh para kaum muda.

(36)

itu, ketika seseorang bertanya mengenai suatu hal, maka mereka langsung dapat mencari jawabannya dengan segera. Mereka juga dapat mengecek ramalan cuaca, jadwal pertandingan bola, berita, dan lainnya. Berbagai manfaat tersebutlah yang membuat kaum muda merasakan bahwa dengan smartphone mereka bisa mendapatkan banyak informasi yang mereka inginkan. Terlebih lagi, tidak hanya dengan informasi yang berbasis online, mereka juga bisa mendapatkan informasi dari smartphone mereka karena aplikasi yang diberikan mampu membantu mereka dalam mencatat materi perkuliahan dan lainnya.

Kemudian, ketika para anak-anak muda ini ditanyai mengenai masalah yang didapatkan ketika mereka tidak bisa mengakses informasi melalui

smartphone, jawaban mereka adalah mereka merasa cemas. Misalnya Olivia, ia

mengatakan “Jika saya tidak dapat menjawab pertanyaan dengan segera dan tanpa

akses internet, hal itu akan membuat saya merasa tidak nyaman”. Peter pun juga menyatakan hal yang serupa. Ia berpendapat, “Saya akan merasa cemas ketika saya tidak mendapatkan informasi dari google”.

(37)

sangat nyaman dengan smartphone miliknya. Ia merasa benar-benar memiliki semua yang ia butuhkan di dalam sakunya.

Ketiadaan akses untuk dapat menggunakan smartphone membuat kaum muda merasakan kecemasan. Dari wawancara Yildirim dan Correia, ada yang mengemukakan bahwa smartphone hampir seperti sebuah kenyamanan yang selalu dapat dibawa bersama kemanapun kita pergi. Ia juga menganggap

smartphone tersebut seperti sebuah ketenangan pikiran. Selain itu, ada pula yang

mengatakan bahwa smartphone memberikan mereka semacam kebebasan. Kebebasan ini dirasakan karena dengan smartphone kita dapat bergerak kemana pun untuk mendapatkan internet dan mengakses segala sesuatu yang kita inginkan. Hal tersebut bisa dilakukan kapan saja. Di sisi lain, ketika kemudahan akses internet dirasakan tidak stabil, maka perasaan ketidaknyamanan akan muncul. Kemudian hal ini menyebabkan mereka selalu berusaha mencari tahu apakah mereka memiliki sebuah layanan atau dapat tersambung pada suatu layanan yang mirip.

(38)

Ia menyatakan hal tersebut dapat terjadi karena ia tidak merasakan kesepian. Maka, Ted pun mengatakan bahwa kontrol dari efek kesepian yang berhubungan dengan keluarga dan teman tersebut terkait dengan kemelekatannya pada

smartphone.

3. Pengukuran Nomophobia

Pada awalnya nomophobia diukur dengan kuesioner yang dibuat oleh King et al. yaitu Mobile Phone Use Questionnaire (MP-UQ) (2014, dalam Yildirim et al., 2015).. Akan tetapi, kuesioner ini tidak memiliki pengukuran psikometri yang baik mengenai validitas isi dan reliabilitasnya (Yildirim et al., 2015). Kuesioner ini tidak diperiksa struktur yang mendasarinya dengan analisis faktor dan konsistensi internalnya juga tidak diuji (Yildirim et al., 2015). Kemudian, Yildirim dan Correia (2015) menyusun sebuah kuesioner yang dapat mengukur perilaku nomophobic pada mahasiswa melalui penelitian mix method.

Kuesioner yang disusun oleh Yildirim dan Correia (2015) dikenal dengan

Nomophobia Questionnaire (NMP-Q). Saat ini nomophobia lazim diukur dengan

NMP-Q. Nomophobia Questionnaire (NMP-Q) disusun melalui dua tahap. Tahap

pertama menggunakan desain penelitian kualitatif mengenai dimensi nomophobia (Yildirim & Correia, 2015). Dimensi nomophobia yang ditemukan dalam penelitian tersebut yaitu not being able to communicate (tidak dapat berkomunikasi), losing connectedness (kehilangan koneksi), not being able to

access information (tidak dapat mengakses informasi), dan giving up convenience

(39)

Tahap kedua, kuesioner nomophobia disusun menjadi 20 item. Semua item NMP-Q disusun menggunakan skala Likert 7 poin, yaitu dengan 1 “Sangat

Tidak Setuju” dan 7 “Sangat Setuju”. Skor total didapatkan dengan cara menjumlahkan respon untuk setiap item, sehingga menghasilkan skor

nomophobia mulai dari 20 hingga 140. Skor yang lebih tinggi menyatakan bahwa

keparahan nomophobia terjadi lebih berat. Kategori skor tersebut terurai sebagai berikut: skor NMP-Q sama dengan 20 menunjukkan tidak adanya nomophobia; skor NMP-Q lebih dari 20 sampai dengan kurang dari 60 masuk dalam kategori

nomophobia ringan; skor NMP-Q lebih dari atau sama dengan 60 dan kurang dari

100 masuk dalam kategori nomophobia sedang; dan skor NMP-Q lebih besar dan atau sama dengan 100 masuk dalam kategori nomophobia berat.

Reliabilitas skala pada kuesioner nomophobia ini tergolong baik, yaitu

alpha Cronbach sebesar 0,945. Kemudian pada masing-masing dimensinya juga

(40)

scale dengan rentang 1 (sangat tidak setuju) sampai 7 (sangat setuju). Hasil yang ditemukan adalah r(299) = .710, p < .01. Artinya NMP-Q dan MPI-Q memiliki kemiripan dengan ditemukannya hubungan yang kuat antara dua skor kuesioner tersebut.

Peneliti memilih NMP-Q sebagai alat untuk mengukur nomophobia karena beberapa alasan. Pertama, Mobile Phone Use Questionnaire (MP-UQ) yang disusun oleh King et al. (2014) tidak memiliki kualitas psikometri yang baik. Kedua, NMP-Q memiliki hasil pengukuran psikometri yang baik dan NMP-Q merupakan kuesioner terbaru yang dapat mengukur nomophobia.

4. Dinamika Mahasiswa Penderita Nomophobia Berat

Dinamika dalam kamus psikologi memiliki makna umum sebagai suatu hal yang terkait dengan kondisi pergolakan atau mudah berubah-ubah (Reber & Reber, 2010), sedangkan makna khususnya memiliki arti sebuah label bagi sistem-sistem psikologi yang menekankan pada motivasi dan memfokuskan diri pada proses-proses bawah sadar. Di lain sisi, pada penelitian ini dinamika yang dimaksud peneliti adalah sebuah proses yang dialami mahasiswa penderita

nomophobia berat, yaitu meliputi : pertama, asal-usul dari munculnya kecemasan

ketika tidak bersama dengan smartphone. Kedua, gejala-gejala dan keluhan-keluhan terkait dengan empat dimensi nomophobia. Lalu yang ketiga mengenai cara mengatasi kecemasan (strategi coping) ketika ia tidak bersama smartphone.

Asal-usul dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asal mula dan penyebab mahasiswa bisa menjadi seseorang yang masuk dalam kategori

(41)

penderita nomophobia berat bisa mengalami kecemasan yang berlebih ketika ia jauh dari smartphone-nya. Terdapat tiga poin utama yang menjadi fokus peneliti dalam melihat asal-usul, yaitu waktu mulai mengalami kecemasan saat jauh dari

smartphone, siapa yang memicu timbulnya kecemasan, dan apa yang

menyebabkan mahasiswa penderita nomophobia berat mengalami hal ini.

Setelah melihat asal-usul tersebut, peneliti mengeksplorasi gejala-gejala dan keluhan-keluhan terkait dengan empat dimensi nomophobia yang dirasakan. Eksplorasi dilakukan untuk melihat sejauh mana mahasiswa penderita

nomophobia berat mengalami kecemasan terkait dimensi tidak dapat

berkomunikasi, kehilangan koneksi, tidak dapat mengakses informasi, dan kehilangan kenyamanan yang diberikan oleh smartphone. Melalui kegiatan itu, peneliti juga ingin melihat apakah ada hal yang dilakukan penderita untuk dapat mengurangi perasaan cemasnya saat tidak bersama dengan smartphone-nya. Dengan kata lain, peneliti ingin melihat strategi coping yang digunakan mahasiswa penderita nomophobia berat ketika ia mengalami kecemasan saat jauh dari smartphone.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) coping adalah suatu respon untuk menghadapi stres yang menimbulkan efek kurang menguntungkan atau kurang nyaman baik secara fisiologis maupun psikologis. Terdapat dua strategi coping menurut Lazarus dan Folkman (1984) yaitu problem focused coping dan emotion

focused coping.

Problem focused coping disebut juga sebagai strategi coping yang

(42)

strategi coping ini menilai bahwa masalahnya masih dapat dikontrol dan diselesaikan (Lazarus dan Folkman, 1984). Strategi coping ini tidak dapat diterapkan untuk setiap situasi. Strategi ini akan berjalan secara efektif ketika sumber stres yang dirasakan berasal dari tekanan saat sedang ingin mencapai suatu tujuan (Folkman & Lazarus, 1980). Salah satu stressor yang dirasa efektif jika dipecahkan menggunakan problem focused coping adalah permasalahan manajemen waktu.

Lain daripada itu, emotion focused coping atau strategi coping yang berfokus pada emosi adalah suatu usaha-usaha yang dilakukan seseorang untuk mengalihkan fokus dan perhatian dari sumber masalah. Misalnya menuliskan masalah yang dihadapinya atau berdoa. Strategi ini dirasa kurang efektif dalam menyelesaikan permasalahan jangka panjang, justru cenderung membuat seseorang melakukan penundaan untuk menyelesaikan masalahnya. Oleh karena itu, emotion focused coping justru menambah masalah dan stres yang berujung pada perilaku destruktif, seperti menggunakan obat-obat terlarang, menggunakan alkohol, atau merokok (Genco, Ho, Grossi, Dunford, & Tedesco, 1999).

C. Kerangka Konseptual

(43)

kecanduan smartphone (Kwon, Kim, Cho, dan Yang, 2013, dalam Gezgin & Cakir, 2016). Kecanduan ini juga dapat menggiring mahasiswa masuk ke dalam kondisi nomophobia, yaitu ketika mahasiswa merasa tidak nyaman/cemas saat ia tidak berada dekat dengan smartphone-nya.

Peneliti memiliki harapan agar nomophobia tidak semakin meluas terjadi di kalangan muda maupun tua. Maka, untuk mencegah hal tersebut, alangkah lebih baik jika terdapat sebuah informasi mengenai penyebab dan proses terjadinya nomophobia ini. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi dinamika mahasiswa yang mengalami nomophobia berat. Dalam mengeksplorasi dinamika ini, peneliti harus melalui langkah penentuan mahasiswa yang menderita

nomophobia berat terlebih dahulu.

Mahasiswa nomophobia yang dimaksud peneliti, yaitu remaja perempuan dan laki-laki yang memiliki ketidaknyamanan tinggi ketika tidak bersama dengan

smartphone-nya. Ketidaknyamanan yang dialami oleh mahasiswa nomophobia ini

dapat berupa tidak mampu berkomunikasi, kehilangan koneksi, tidak dapat mengakses informasi, ataupun kehilangan kenyamanan yang diberikan oleh

smartphone. Lalu, untuk meneliti hal tersebut secara akurat, peneliti menyebarkan

NMP-Q ke populasi mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi Swasta di

(44)

akan dipilih beberapa orang yang kemudian digali pengalamannya untuk mengeksplorasi dinamika sebagai mahasiswa dengan nomophobia berat.

Maka, untuk mengeksplorasi dinamika atau proses yang dialami penderita

nomophobia berat tersebut, peneliti berfokus pada tiga poin besar. Pertama,

penelitiakan mencari asal-usul mahasiswa menjadi penderita nomophobia berat. Asal-usul yang ditekankan peneliti ada tiga hal, yaitu waktu mulai mengalami kecemasan, seseorang yang mungkin menyebabkan timbulnya kecemasan, dan penyebab atau peristiwa yang menimbulkan kecemasan ketika jauh dari

smartphone.

Setelah itu, peneliti akan mengeksplorasi gejala-gejala dan keluhan-keluhan terkait empat dimensi nomophobia. Dimensi-dimensi ini bertolak dari teori dimensi nomophobia yang ditemukan Yildirim dan Correia (2015). Dimensi tersebut meliputi tidak dapat berkomunikasi, kehilangan koneksi, tidak dapat mengakses informasi, dan kehilangan kenyamanan yang diberikan oleh

smartphone (Yildirim & Correia, 2015). Gejala yang dimaksud peneliti dalam hal

ini misalnya, perasaan cemas yang muncul dari subjek akibat tidak bisa berkomunikasi dengan keluarganya karena smartphone yang dimilikinya jauh darinya. Selebihnya, keluhan dalam penelitian ini yang dimaksudkan seperti, subjek mengeluhkan bahwa perasaan cemas yang ia miliki membuat ia menjadi tidak tenang.

Kemudian yang ketiga, peneliti mencoba mencari tahu terkait strategi

coping yang digunakan mahasiswa penderita nomophobia berat untuk mengurangi

(45)

mahasiswa penderita nomophobia berat ini lebih cenderung menggunakan

problem focused coping atau emotional focused coping.

Melalui pemaparan mengenai dinamika mahasiswa yang menderita

nomophobia berat tersebut, diharapkan mampu memberikan gambaran pada

berbagai pihak khususnya para orangtua yang kemudian mampu mencari tindakan untuk para remaja, khususnya mahasiswa yang menderita nomophobia. Agar dapat memudahkan melihat kerangka berpikir peneliti, peneliti membuat bagan kerangka konseptual, seperti di Gambar 1. Bagan Kerangka Konseptual.

(46)
(47)

28

BAB III

STUDI 1

A. Jenis dan Desain Penelitian

Studi pertama dalam penelitian ini untuk menentukan subjek berkategori

nomophobia berat. Pada studi ini metode yang digunakan adalah metode

kuantitatif dengan desain survei. Dalam penelitian kuantitatif, data yang dihasilkan berupa angka-angka dan dianalisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2013). Sementara itu, desain survei mampu memberikan informasi dengan mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan datanya. Atas pertimbangan tersebut, metode ini dirasa cocok digunakan karena mampu berfungsi untuk menentukan subjek dengan instrumen yang sesuai, yaitu kuesioner nomophobia.

B. Variabel Penelitian & Definisi Operasional

Variabel merupakan atribut atau karakteristik pada individu atau organisasi yang dapat diobservasi atau diukur dan berbeda-beda pada setiap individu (Creswell, 2009, dalam Supratiknya, 2015). Variabel pada studi pertama ini adalah nomophobia. Melalui variabel tersebut, peneliti berharap mendapatkan subjek yang masuk dalam kategori nomophobia berat.

Yildirim dan Correia (2015) menyatakan bahwa nomophobia mempunyai empat dimensi, meliputi:

(48)

dengan orang lain. Hal tersebut meliputi perasaan tidak bisa menghubungi atau dihubungi.

2. Kehilangan koneksi ialah perasaan kehilangan koneksi pada smartphone dan terputus dengan identitas online khususnya pada sosial media yang dimiliki. 3. Tidak dapat mengakses informasi adalah dimensi yang menggambarkan

ketidakmampuan seseorang dalam mengakses informasi. Ketidakmampuan ini dicerminkan dengan adanya ketidaknyamanan ketika individu kehilangan akses untuk mendapatkan informasi dari smartphone.

4. Kehilangan kenyamanan merupakan dimensi yang berkaitan dengan perasaan kehilangan kenyamanan yang diberikan oleh sebuah smartphone. Hal ini mencerminkan suatu keinginan untuk dapat memanfaatkan kenyamanan dalam memiliki smartphone.

Ringan atau beratnya nomophobia yang dialami seseorang dapat dilihat melalui skor total NMP-Q. Jika skor total yang diperoleh subjek tinggi, maka subjek masuk dalam kategori nomophobia berat dan subjek dianggap memiliki kecemasan yang tinggi ketika ia jauh dari mobile phone-nya. Semakin rendah skor total pengisian NMP-Q, maka subjek masuk dalam kategori nomophobia ringan atau bahkan tidak masuk dalam kategori nomophobia. Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa perasaan cemas subjek ketika jauh dari mobile phone sangat kecil.

C. Partisipan

(49)

menyebarkan kuesioner NMP-Q melalui google form. Proses ini dilakukan agar mempermudah peneliti mendapatkan subjek dalam jangka waktu yang tidak lama. Proses ini merupakan cara yang conventional dan masuk pada jenis proses

non-random sampling. Non-random sampling artinya sampel dapat dipilih berdasarkan

kemudahan dalam mengaksesnya (Supratiknya, 2015). Jumlah total sampel pada Studi 1 yang didapatkan peneliti adalah 221 yang terdiri dari 25,8% laki-laki dan 74,2% perempuan, berusia antara 18-23 tahun.

D. Metode Pengambilan Data

Peneliti menggunakan kuesioner nomophobia (NMP-Q) yang berasal dari United State of America (USA). Bahasa yang dimiliki oleh kuesioner ini adalah Bahasa Inggris. Maka, untuk dapat menggunakan kuesioner ini di Indonesia, kuesioner ini diadaptasi dengan berpedoman pada beberapa tahap

back-translation menurut Brislin (1970, dalam Supratiknya, 2018). Langkah-langkah

proses adaptasi yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Kuesioner ini diadaptasi oleh peneliti setelah melalui proses perizinan dari Caglar Yildirim, selaku pemilik kuesioner. File asli kuesioner ini dikirimkan langsung oleh Caglar Yildirim melalui email resminya.

2. Peneliti mencari dua orang penerjemah yang menguasai Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang menjadi fokus peneliti. Penerjemah merupakan seseorang lulusan Pendidikan Bahasa Inggris dan Sastra Inggris yang aktif menggunakan smartphone.

(50)

Bahasa Indonesia. Kemudian, penerjemah kedua diminta peneliti secara buta menerjemahkan kembali instruksi pengerjaan dan item-item tersebut dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris.

4. Peneliti bersama dosen pembimbing memeriksa versi orisinal (bahasa Inggris), versi sasaran (bahasa Indonesia), dan versi terjemahan kembali (bahasa Inggris) untuk melihat kesesuaian hasil terjemahan dengan versi asli. Hasilnya mengungkapkan, dari 20 item terdapat 16 item yang dinyatakan sesuai dan 4 item perlu direvisi karena terdapat penggunaan kata yang kurang tepat. Pada bagian petunjuk pengerjaan juga terdapat kalimat yang dinilai kurang baku. Lalu, peneliti melakukan revisi pemilihan kata terkait petunjuk pengerjaan dan 4 item yang kurang tepat.

5. Peneliti menyusun petunjuk pengerjaan dan 20 item pernyataan menjadi bentuk jadi kuesioner yang akan disebarkan. Selanjutnya, peneliti mengujicobakan kuesioner kepada 6 responden supaya peneliti mengetahui kejelasan format, petunjuk, dan pernyataan yang disusun peneliti. Hasilnya, terdapat beberapa hal yang masih kurang dipahami atau dirasa sulit oleh responden terkait petunjuk dan beberapa kata-kata pada item pernyataan.

6. Hasil uji coba yang dijelaskan pada poin 5, lalu peneliti revisi dan diskusikan bersama dengan dosen pembimbing peneliti. Revisi ini dilakukan untuk memudahkan subjek dalam memahami petunjuk dan menjawab item-item yang ada, tanpa mengurangi arti atau maksud dari petunjuk dan item yang sesungguhnya.

(51)

Petunjuk Bahasa Inggris

Please indicate how much you agree or disagree with each statement in relation

to your smartphone.

Petunjuk Bahasa Indonesia

Berikut ada 20 pernyataan terkait dengan smartphone. Tunjukkanlah seberapa Anda setuju atau tidak setuju pada setiap pernyataan dengan cara memilih bilangan yang telah disediakan.

Tabel 1

Hasil Adaptasi Kuesioner Nomophobia Yildirim dan Correia (2015)

No. Versi Bahasa Inggris Versi Bahasa Indonesia

1 I would feel uncomfortable without

constant access to information through my smartphone.

Saya akan merasa tidak nyaman ketika tidak mengakses informasi secara terus menerus melalui

smartphone saya.

2 I would be annoyed if I could not

look information up on my

smartphone when I wanted to do so.

Saya akan merasa kesal jika tidak bisa melihat informasi pada

smartphone saya ketika saya ingin

smartphone saya akan merasa

gugup.

4 I would be annoyed if I could not

use my smartphone and/or its capabilities when I wanted to do so.

Saya akan merasa kesal jika saya tidak bisa menggunakan

smartphone dan/atau

kemampuannya ketika saya ingin melakukannya.

5 Running out of battery in my

smartphone would scare me.

(52)

No. Versi Bahasa Inggris Versi Bahasa Indonesia

Jika saya tidak memiliki sinyal data atau tidak bisa terhubung ke Wi-Fi, maka saya akan terus menerus memeriksa untuk melihat apakah saya memiliki sinyal atau bisa

smartphone saya untuk sementara

waktu, saya merasa seperti

smartphone saya, saya akan merasa

cemas karena saya tidak bisa

khawatir karena keluarga dan/atau teman-teman saya tidak bisa menghubungi saya.

12 If I did not have my smartphone

with me, I would feel nervous because I would not be able to receive text messages and calls.

Jika saya tidak membawa with my family and/or friends.

Jika saya tidak membawa

smartphone saya, saya akan cemas

(53)

No. Versi Bahasa Inggris Versi Bahasa Indonesia seseorang telah mencoba untuk menghubungi saya.

cemas karena hubungan konstan (terus-menerus) dengan keluarga

nyaman karena saya tidak bisa tetap

up-to-date dengan media sosial dan memeriksa notifikasi terbaru dari aplikasi smartphone saya (pesan, panggilan, media sosial, games, dll).

19 If I did not have my smartphone

with me, I would feel anxious because I could not check my email messages.

with me, I would feel weird because I would not know what to do.

Jika saya tidak membawa

smartphone, saya akan merasa aneh

(54)

Item-item pernyataan terkait dengan dimensi nomophobia ini disusun dengan menggunakan skala likert 7 poin, yaitu dengan poin 1 berarti “Sangat

Tidak Setuju” dan meningkat sampai poin 7 yang berarti “Sangat Setuju”.

Susunan item-item pada kuesioner nomophobia ini sebagai berikut: Tabel 2

Blue Print Kuesioner Nomophobia

No. Dimensi No. Ketersebaran Item

Selain item-item utama tersebut, peneliti menyusun kuesioner dengan memberikan sejumlah pernyataan terkait data demografis, seperti: nama, jenis kelamin, usia, prodi, tahun angkatan, nomor handphone/WhatsApp, ID Line, dan

e-mail. Data demografi ini disusun peneliti agar dapat mempermudah peneliti

menghubungi kembali subjek yang memenuhi syarat untuk menanyakan kesediaan sebagai partisipan pada Studi 2.

Setelah penyusunan selesai dilakukan, peneliti melakukan tryout kepada 221 orang subjek yaitu mahasiswa dan mahasiswi dengan cara disebarkan melalui

google form. Tujuan dilakukan tryout pada tahap ini adalah untuk memeriksa

(55)

Hasilnya adalah sebagai berikut. Reliabilitas kuesioner nomophobia memiliki koefisien Alpha Cronbach yang tinggi, yaitu 0,938. Hasil tersebut membuktikan bahwa reliabilitas kuesioner ini memuaskan. Setiap itemnya juga memiliki skor koefisien korelasi item-total lebih dari 0,4, artinya butir-butir item pada instrumen tersebut baik. Supratiknya (2014) menyatakan instrumen tes yang baik idealnya memiliki item-item yang skor koefisien korelasi item-totalnya di atas 0,20.

Kemudian melihat hasil reliabilitas yang memuaskan dan skor koefisien korelasi item-total yang baik pada setiap butir item, peneliti memutuskan untuk langsung menggunakan data tryout sebagai data penelitian yang sesungguhnya.

E. Analisis dan Interpretasi Data

(56)

cara mendeskripsikan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat sebuah kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono, 2014). Selebihnya, untuk menentukan kategori nomophobia ringan, sedang, atau berat, peneliti berpedoman dengan norma skoring yang telah dibuat oleh Yildirim dan Correia (2015).

Tabel 4

Norma Tingkat Nomophobia Menurut Yildirim dan Correia (2015) Skor Tingkat Nomophobia

Skor NMP-Q = 20 Tidak ada

21 ≤ Skor NMP-Q < 60 Ringan

60 ≤ Skor NMP-Q < 100 Sedang

100 ≤ Skor NMP-Q ≤ 140 Berat

F. Hasil dan Pembahasan

Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa-mahasiswi pengguna

smartphone yaitu sejumlah 221 orang. Usia minimal subjek yang mengisi

kuesioner ini adalah 18 tahun, sedangkan usia maksimalnya adalah 23 tahun. Berdasarkan frekuensinya, mahasiswa-mahasiswi yang menggunakan smartphone terdapat 14 orang yang berusia 18 tahun, 34 orang berusia 19 tahun, 52 orang berusia 20 tahun, 68 orang berusia 21 tahun, 45 orang berusia 22 tahun, dan 8 orang berusia 23 tahun. Berdasarkan sebaran data jenis kelamin, dari 221 orang subjek tersebut, 57 orang atau 25,8% di antaranya berjenis kelamin laki-laki dan 164 orang sisanya atau sejumlah 74,2% berjenis kelamin perempuan.

(57)

dalam beberapa kategori, yaitu 44 orang atau 19,9% masuk dalam kategori

nomophobia ringan dengan skor total terendahnya adalah 27, 149 orang atau

67,4% masuk kategori nomophobia sedang, dan 28 orang lainnya atau 12,7% masuk ke dalam kategori nomophobia berat dengan skor total tertingginya menyentuh 137. Kemudian, penelitian ini juga menemukan bahwa 22 dari 164 sampel perempuan mengalami nomophobia berat (13,4%). Sementara laki-laki yang mengalami nomophobia berat adalah 6 dari 57 orang (10,5%). Hasil tersebut dapat disimpulkan perempuan cenderung lebih rentan masuk dalam kategori

nomophobia berat. Hasil penelitian ini mirip dengan yang dilakukan oleh

Kanmani et al. (2017), dimana mereka menemukan bahwa perempuan memiliki level nomophobia yang lebih tinggi daripada laki-laki. Penemuan tersebut diduga akibat durasi penggunaan internet yang tinggi pada perempuan (Gezgin & Cakir, 2016).

Tabel 5

Sebaran Subjek Nomophobia Berat

No. Nama Inisial Jenis Kelamin Usia Skor NMP-Q

1 A R K N. Perempuan 18 112

2 G R B D R. Laki-laki 19 131

3 J A Perempuan 21 105

4 F Perempuan 22 104

5 D A D S P.A. Perempuan 19 114

6 A Laki-laki 22 106

7 R R A Perempuan 22 103

8 M Perempuan 18 100

9 A I Perempuan 21 100

(58)

No. Nama Inisial Jenis Kelamin Usia Skor NMP-Q

11 Ay Perempuan 21 102

12 M N Perempuan 20 106

13 A D T Laki-laki 21 135

14 M A Perempuan 22 116

15 A M Perempuan 20 117

16 P A S Perempuan 20 102

17 D M L P Laki-laki 22 109

18 P M I G N I. Laki-laki 20 102

19 D G K M. Perempuan 18 102

20 K Perempuan 20 116

21 N L P G. V D. Perempuan 19 112

22 T R Perempuan 21 119

23 O Y Laki-laki 18 137

24 N P I R Perempuan 20 103

25 Y P Perempuan 20 103

26 D A V A Perempuan 19 131

27 L A D P Perempuan 20 122

28 R K Perempuan 21 112

(59)

40

BAB IV

STUDI 2

A. Jenis dan Desain Penelitian

Studi kedua merupakan penelitian mengenai dinamika penderita nomophobia berat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan analisis isi kualitatif sebagai desain penelitiannya. Analisis isi kualitatif yaitu sebuah penafsiran secara subjektif dari isi data yang berupa teks dengan proses klasifikasi sistematis berupa coding atau disebut juga pengkodean dan pengidentifikasian berbagai tema dan pola (Hsieh & Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015).

B. Fokus Penelitian

(60)

C. Partisipan

Pengambilan sampel pada Studi 2 dipilih berdasarkan kriteria tertentu atau

criterion-based. Partisipan pada studi 2 ini dipilih dari 22 orang perempuan dan 6

orang laki-laki yang dalam Studi 1 ditemukan masuk pada kategori nomophobia berat. Peneliti mengurutkan skor nomophobia berat partisipan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Setelah itu, peneliti mengambil terlebih dahulu salah satu partisipan yang masuk dalam kategori nomophobia berat yang tergolong rendah dan setelah itu berlanjut pada kategori nomophobia berat yang tergolong tinggi. Berikut adalah data partisipan yang dipilih peneliti untuk proses wawancara pada Studi 2:

Tabel 6

Partisipan Nomophobia Berat di Studi 2

No. Nama Inisial Jenis Kelamin Usia Skor NMP-Q

1 J A Perempuan 21 105

2 O Y Laki-laki 18 137

3 A D T Laki-laki 21 135

4 L A D P Perempuan 20 122

(61)

keempat partisipan sudah dalam dan beragam (Patton, 1990, dalam Marrow, 2005, dalam Supratiknya, 2018).

D. Peran Peneliti

Pada studi kedua ini, peneliti memiliki peran penting yaitu sebagai instrumen kunci. Artinya, peneliti memiliki peranan yang penting dalam pengambilan data. Peneliti juga berperan untuk menangkap suara partisipan dan mengolahnya. Dalam hal ini, peneliti turun langsung ke lokasi penelitian untuk mengumpulkan data dengan mewawancarai partisipan yang dibantu adanya sebuah protokol, yakni instrumen pengumpulan data berupa pedoman wawancara atau pedoman observasi, namun tetap peneliti sendiri yang benar-benar mengumpulkan data (Supratiknya, 2015).

Pada penelitian ini, peneliti tidak memiliki ikatan kedekatan dengan partisipan, hanya saja peneliti dan partisipan berasal dari universitas yang sama. Peneliti memilih salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta sebagai lokasi penelitian karena merupakan tempat peneliti menuntut ilmu dan peneliti juga belum menemukan ada penelitian sejenis di tempat peneliti berkuliah.

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka Konseptual ..............................................................
Gambar 1. kecemasan Bagan Kerangka Konseptual
Tabel 1  Hasil Adaptasi Kuesioner Nomophobia Yildirim dan Correia (2015)
Tabel 2  Blue Print Kuesioner Nomophobia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil perhitungan untuk hipotesis ketiga, menunjukkan nilai koefisien regresi untuk variabel ukuran perusahaan mempunyai hubungan negatif terhadap struktur modal sebesar -

memiliki seorang apoteker. Dengan adanya apoteker lebih dari satu maka kegiatan pelayanan kefarmasian berjalan sesuai dengan ketentuan karena saat pelayanan kefarmasian

Peningkatan tersebut, seperti telah disebutkan sebelumnya berasal dari penerimaan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) yang diberikan pada bulan Juni

4) Banyaknya kunyahan makanan per menit pada masing-masing kelompok umur  Sedangkan untuk menentukan perbedaan lamanya waktu yang diperlukan untuk merumput dan lamanya

Menilai kesesuaian pelaksanaan proses evaluasi dokumen untuk mengimplementasikan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran sampai dengan tersusunnya laporan hasil evaluasi, yang

Internet dan web (halaman informasi) adalah salah satu contoh teknologi informasi yang banyak memberikan fasilitas dan kemudahan dalam menyelesaikan

26.1.6 Setelah scrutineering, jika mobil ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi teknis dan/atau peraturan keselamatan, maka Pengawas Perlombaan dapat menetapkan

(6) Surplus anggaran tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan saldo kas yang berasal dari selisih lebih antara PNBP dan hibah dengan belanja BLU, di luar APBN