• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MUSIKAL DAN MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI FALUAYA YANG DIPERTUNJUKKAN SANGGAR FANAYAMA PADA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS MUSIKAL DAN MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI FALUAYA YANG DIPERTUNJUKKAN SANGGAR FANAYAMA PADA"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MUSIKAL DAN MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI FALUAYA YANG DIPERTUNJUKKAN SANGGAR FANAYAMA PADA BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA: METRAIKAN NATANAEL LAOLI NIM : 120707036

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

ii

ANALISIS MUSIKAL DAN MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI FALUAYA YANG DIPERTUNJUKKAN SANGGAR FANAYAMA PADA BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN

OLEH :

NAMA : METRAIKAN NATANAEL LAOLI

NIM : 120707036

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari,M.Hum.,Ph.D. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. NIP 196512211991031001 NIP 196605271994032001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

iii DITERIMA OLEH :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk, melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan

Dr. Budi Agustono, M.S NIP. 196008051987031001

Panitia Ujian : Tanda Tangan

1. Drs. Muhammad Takari,M.Hum.,Ph.D. ( )

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )

3. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si ( )

4. Drs. Fadlin, M.A. ( )

(4)

iv DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

(5)

v

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2016

(6)

vi ABSTRAK

ANALISIS MUSIKAL DAN MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI FALUAYA YANG DIPERTUNJUKKAN SANGGAR FANAYAMA PADA

BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN

Skripsi ini akan mengkaji tentang struktur musik dan makna teks hoho

dalam Tari Faluaya yang dipertunjukkan oleh Sanggar Fanayama pada budaya masyarakat Nias di Kota Medan. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif. Adapun dalam proses kerjanya, penulis akan melakukan pengumpulan dan pengolahan data dengan beberapa cara yaitu studi kepustakaan (termasuk pustaka online), kerja lapangan, wawancara, perekaman data visual dan audio, serta kerja laboratorium. Penelitian ini akan menggunakan teori weighted scale untuk menganalisis struktur musik vokal hoho dan teori semiotika untuk menganalisis makna teks hoho yang terdapat dalam Tari Faluaya. Hasil yang diperoleh adalah bahwa hoho dalam Tari Faluaya memiliki tangga nada dan nada dasar yang berbeda pada setiap jenis hoho nya dengan gaya bernyanyi call and respons, counter frase, maupun counter motif. Keseluruhan teks hoho dalam Tari Faluaya ini memiliki makna baik konotatif maupun denotatif untuk membakar semangat dan ajakan untuk tetap menjunjung tinggi persatuan dan kebersamaan.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Segala pujian dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas kasih dan kemurahan-Nya yang begitu besar dan telah rela mati untuk seluruh umat manusia. Penulis bersyukur atas segala berkat, kekuatan, penghiburan, pertolongan dan perlindungan Tuhan yang tidak pernah berhenti dalam proses penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul Analisis Musikal dan Makna Tekstua

Hoho Dalam Tari Faluaya Yang Dipertunjukkan Sanggar Fanayama Pada Budaya Masyarakat Nias di Kota Medan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mempersembahkan skripsi ini dan mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai, Ayahanda tercinta Pdt. Daniel S. Laoli, S.Th dan Ibunda Adilniat Larosa. Terimakasih atas segala cinta kasih serta ketulusan kalian sehingga penulis bisa seperti sekarang ini. Terimakasih untuk perhatian yang tak pernah berhenti terkhusus selama proses pengerjaan skripsi ini. Terimakasih untuk motivasi serta semangat yang kalian berikan pada penulis. Terimakasih juga untuk segala doa yang kalian panjatkan kepada Tuhan sehingga penulis memperoleh kekuatan dan penghiburan dari Tuhan. Penulis juga berterimakasih kepada kakak dan abang yang penulis kasihi dan sayangi, kakak Simfhoni Laoli (Ina Rensa), abang Yason Hulu (Ama Rensa), kakak Licahaya Laoli, abang Otniel Laoli, dan kakak Anjani Zai. Terimakasih untuk perhatian, semangat, kasih sayang, serta doa yang telah kalian berikan kepada penulis.

(8)

viii

Terimakasih juga kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. selaku Ketua Departemen Etnomusikologi serta sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk nasehat, ilmu, perhatian serta pengalaman yang telah bapak berikan selama penulis kuliah di Jurusan Etnomusikologi. Kiranya Tuhan selalu membalaskan kebaikan bapak. Terimakasih juga kepada yang terhormat Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. selaku Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Budaya USU, Sekretaris Departemen Etnomusikologi, Dosen Pembimbing II, dan Dosen Penasihat Akademik penulis selama selama kuliah di Departemen Etnomusikologi. Terimakasih untuk segala nasehat, ilmu, perhatian serta pengalaman yang telah ibu berikan, kiranya Tuhan membalaskan semua kebaikan ibu.

(9)

ix

dan pendidikan selanjutnya. Kiranya Tuhan membalaskan semua jasa-jasa serta kebaikan bapak dan ibu sekalian.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Hubari Gulo, S.Sn., M.Sn selaku dosen praktik tari Nias di Departemen Etnomusikologi USU yang telah banyak membagikan ilmu serta pengalaman kepada penulis selama kuliah. Terimakasih juga karena telah berkenan menjadi salah satu informan dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih untuk semua jasa, informasi, bantuan dan arahan yang sangat berguna untuk penyelesaian skripsi ini. Kiranya Tuhan membalaskan semua kebaikan bapak. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada bapak Ariston Manao, bapak Dasa Manao, bang Michael Hura, bang Hendrik Zega, bang Febri Maruao, serta seluruh penari di sanggar Fanayama Simalingkar Medan. Terimakasih atas segala informasi dan bantuan dari bapak dan abang sekalian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kiranya Tuhan membalaskan semua kebaikan bapak dan abang sekalian.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh teman-teman di jurusan Etnomusikologi stambuk 2012. Terimakasih untuk tahun-tahun yang telah lalui bersama. Biarlah jalinan kasih dan persahabatan kita tidak terputus dan terus berlanjut hingga ke masa mendatang. Harapan penulis, kiranya kelak kita menjadi orang-orang hebat dan berhasil. Terimakasih juga kepada seluruh Senior dan Junior di jurusan Etnomusikologi untuk hari-hari yang indah dan bersemangat selama kuliah di Etnomusikologi.

(10)

x

merupakan sebuah wadah organisasi yang luar biasa yang pernah penulis temukan. Terimakasih untuk pengalaman memimpin serta pengalaman organisasi yang penulis dapatkan melalui wadah ini. Kiranya kelak kita semua menjadi pemimpin-pemimpin hebat untuk Nias maupun Indonesia.

Penulis juga mengucapkan terimakasih untuk setiap orang yang mengasihi, mendoakan, serta mendukung saya selama ini dimanapun berada. Kiranya Tuhan membalaskan kebaikan kalian.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi disiplin ilmu pengetahuan Etnomusikologi.

Medan, Agustus 2016 Penulis,

(11)

xi DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... v

ABSTRAKSI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 9

1.4 Konsep dan Teori ... 10

1.4.1 Konsep ... 10

1.4.2 Teori ... 12

1.5 Metode Penelitian ... 15

1.5.1 Studi Kepustakaan ... 16

1.5.2 Kerja Lapangan ... 16

1.5.3 Wawancara ... 17

1.5.4 Perekaman Data Visual dan Audio ... 17

1.5.5 Kerja Laboratorium ... 17

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian ... 18

BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN 2.1 Keadaan Geografis Kota Medan ... 19

2.1.1 Demografi ... 20

2.1.2 Wilayah Administrasi Pemerintahan ... 22

2.2 Gambaran Umum dan Adaptasi Masyarakat Nias di Kota Medan ... 24

2.3 Gambaran Umum Kebudayaan Masyarakat Nias Termasuk di Kota Medan ... 28

2.3.1 Asal-Usul Masyarakat Nias ... 28

2.3.2 Bahasa ... 32

2.3.3 Sistem Kepercayaan dan Agama ... 33

2.3.4 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial ... 37

2.3.5 Sistem Mata Pencaharian ... 41

2.3.6 Sistem Kekerabatan ... 43

2.3.7 Teknologi Tradisional ... 45

2.3.8 Kesenian ... 48

BAB III ANALISIS MAKNA TEKSTUAL HOHO DALAM TARI FALUAYA 3.1 Sejarah Tari Faluaya ... 51

3.2 Identifikasi Struktur Tari Faluaya ... 53

(12)

xii

3.2.1.1 Busana ... 55

3.2.1.2 Peralatan Tari ... 58

3.2.2 Ragam Gerak …... 61

3.3 Analisis Tekstual Hoho Pada Tari Faluaya ... 66

3.3.1 Analisis Teks Fohuhugö ……... 71

3.3.2 Analisis Teks Hivfagö ..... 72

3.3.3 Analisis Teks Fu’alö …... 73

3.3.4 Analisis Teks Siöligö …... 79

3.3.5 Analisis Teks Fadolihia ... 89

BAB IV ANALISIS STRUKTUR MUSIK HOHO DALAM TARI FALUAYA 4.1 Transkripsi dan Notasi …….……… 93

4.2 Analisis Struktur Musik Hoho Fohuhugö ……… 94

4.2.1 Tangga Nada ...……… 94

4.2.2 Nada Dasar …..……… 95

4.2.3 Wilayah Nada .……… 95

4.2.4 Jumlah Nada ……… 95

4.2.5 Interval ……… 96

4.2.6 Pola Kadensa ..……… 96

4.2.7 Formula Melodi ..……… 97

4.2.8 Kontur .……… 98

4.3 Analisis Struktur Musik Hoho Hivfagö …...……… 98

4.3.1 Tangga Nada ..……… 98

4.3.2 Nada Dasar ….……… 99

4.3.3 Wilayah Nada .……… 99

4.3.4 Jumlah Nada ……… 100

4.3.5 Interval ……… 100

4.3.6 Pola Kadensa ...……… 101

4.3.7 Formula Melodi ...……… 101

4.3.8 Kontur ..……… 102

4.4 Analisis Struktur Musik Hohö Fu’alö ……..……… 103

4.4.1 Tangga Nada ……… 104

4.4.2 Nada Dasar …..……… 104

4.4.3 Wilayah Nada ..……… 105

4.4.4 Jumlah Nada ……… 105

4.4.5 Interval ……… 105

4.4.6 Pola Kadensa ...……… 106

4.4.7 Formula Melodi ...……… 107

4.4.8 Kontur ..……… 109

4.5 Analisis Struktur Musik Hoho Siöligö ……… 109

4.5.1 Tangga Nada ..……… 111

4.5.2 Nada Dasar ….……… 112

4.5.3 Wilayah Nada .……… 112

4.5.4 Jumlah Nada ...……… 112

4.5.5 Interval ……… 113

4.5.6 Pola Kadensa ...……… 114

(13)

xiii

4.5.8 Kontur ..……… 118

4.6 Analisis Struktur Musik Hoho Fadolihia ….……… 119

4.6.1 Tangga Nada ……… 120

4.6.2 Nada Dasar …..……… 120

4.6.3 Wilayah Nada ..……… 121

4.6.4 Jumlah Nada ……… 121

4.6.5 Interval ……… 121

4.6.6 Pola Kadensa ……….. 122

4.6.7 Formula Melodi ……….. 123

4.6.8 Kontur ………. 124

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ……… 126

5.2 Saran ……… 127

DAFTAR PUSTAKA ……… 129

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di antara ciptaan lain. Manusia diberikan akal budi guna mempertahankan kelangsungan hidupnya. Akal budi menuntun manusia untuk menciptakan berbagai hal yang dianggap penting dan berguna untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari. Tentu saja perbedaan wilayah dan kondisi geografis daerah yang ditempati mempengaruhi setiap ciptaan dari manusia. Manusia dalam arti luas terikat oleh satu kebudayaan yang mereka anggap sama, membentuk sebuah komunitas yang lazim disebut masyarakat.1

Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang sangat plural dipandang dari sisi kebudayaannya. Di Sumatera Utara sendiri terdapat suku-suku natif dan pendatang yang memilki kebudayaan yang berbeda dan memilki wilayah kebudayannya masing-masing. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan memiliki tujuh unsur yang universal, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian

(15)

2

hidup, sistem religi, dan kesenian. Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki seluruh unsur-unsur kebudayaan tersebut (Koentjaraningrat 1986).

Demikian juga halnya dengan setiap suku bangsa yang berdiam di Sumatera Utara tentulah memiliki ketujuh unsur kebudayaan tersebut di atas. Suku Nias adalah salah satu suku yang berdiam dan memiliki wilayah kebudayaan tersendiri di Sumatera Utara. Secara geografis, suku Nias merupakan suku bangsa yang berdiam di sebuah pulau yang disebut Pulau Nias (Tano Niha) dan sekitarnya, yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera. Suku Nias menamakan diri mereka sebagai Ono Niha yang artinya (Ono artinya anak atau keturunan dan

Niha artinya manusia).

Masyarakat Nias yang pada dasarnya berdiam di Pulau Nias melakukan perpindahan ke berbagai daerah karena perkembangan zaman. Perpindahan masyarakat Nias ini menuju ke berbagai daerah seperti: Tapanuli, Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu, dan bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Melaka, Negeri Sembilan, Pulau Pinang). Perpindahan atau migrasi tersebut bertujuan untuk mencari pekerjaan dan untuk kepentingan lainnya. Migrasi yang dilakukan oleh Masyarakat Nias telah berlangsung lama dan diperkirakan telah terjadi dari abad ke-17 yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab dan bangsa Cina serta Hindia Belanda (Usman Pelly 1994:81).2

Kota Medan tanpa terkecuali menjadi daerah tujuan masyarakat Nias yang berpindah untuk mencari pekerjaan dan untuk kepentingan lainnya. Suku Nias merupakan salah satu suku pendatang yang pada akhirnya menetap di Kota

2

(16)

3

Medan. Suku bangsa lain juga merupakan suku yang menetap di Medan terbagi atas: (1) suku bangsa tempatan (natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly 1994:84), dengan alasan bahwa suku Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Medan, (2) suku pendatang antara lain: Batak Toba, Batak Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Pesisir (Sibolga dan Tapanuli Tengah), dan Mandailing. Tibanya orang Nias di Kota Medan dan tinggal menetap dan melakukan aktivitas budaya dengan berbagai cara.

Suku Nias merupakan masyarakat yang terbiasa hidup di lingkungan adat dan kebudayaan yang memilki nilai-nilai yang khas. Kebudayaan yang bernilai khas ini juga pada akhirnya terbawa oleh masyarakat Nias ke tempat mereka berpindah di luar pulau Nias. Hal ini dapat kita lihat melalui beberapa ciri – ciri fisik seperti munculnya gereja suku masyarakat Nias, hadirnya organisasi sosial masyarakat Nias, dan bentuk-bentuk lainnya.

Keragaman budaya masyarakat Nias juga dapat kita lihat dari sisi kesenian nya seperti alat musik tradisional, tarian, serta nyanyian tradisionalnya. Ada terdapat banyak alat musik tradisional yang dimilki masyarakat Nias, antara lain: göndra (gendang besar), faritia (canang), mamba (gong), lagia (rebab spike fiddle), nduri dana, doli-doli, tamburu, dan masih banyak lagi yang lainnya. Alat musik tersebut biasanya selalu digunakan pada hampir setiap upacara kebudayaan pada masyarakat Nias serta untuk mengiri tarian tradisional.

(17)

4

dipertunjukkan pada acara pernikahan, owasa, dan penyambutan tamu yang dihormati, tari Moyo yang merupakan tarian yang menyerupai gerakan elang dan biasanya dipertunjukkan untuk penyambutan tamu. Kemudian tari Ya’ahowu

yang merupakan tari kreasi baru yang sudah menjadi salah satu tarian yang cukup sering dipertunjukkan pada acara penyambutan tamu. Demikian pula tari Faluaya

yang merupakan sebuah tarian yang menyerupai gerakan para prajurit sedang berada di medan perang.

Tari Faluaya merupakan sebuah tarian kolosal yang melibatkan penari dengan jumlah yang tidak terbatas (dalam realitasnya berjumlah ganjil seperti 5, 7, 13, dan seterusnya) dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang memberikan komando. Gerakan dalam tarian ini memperagakan gerakan-gerakan layaknya para prajurit perang yang sedang berada di medan perang. Tarian ini menurut sejarahnya merupakan ungkapan sukacita dari para prajurit setelah meraih kemenangan di medan perang.

(18)

5

Hoho dalam berbagai versi merupakan salah satu tradisi lisan Nias yang dapat dijadikan rujukan dalam memahami kebudayaan lama mereka. Hoho ini telah berurat berakar dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seluruh kehidupan masyarakat Nias pada zaman dahulu diatur oleh Hoho yang dituturkan ini (Hammerle, 1999:25). Hoho dalam tari Faluaya merupakan salah satu bagian dari beberapa jenis hoho yang ada pada kebudayaan masyarakat Nias.

Tari Faluaya awalnya hanya merupakan sebuah rangkaian gerakan yang dirangkai sedemikian rupa untuk mengekspresikan sukacita atas kemenangan di medan perang. Pada masa kini, tari Faluaya selalu dipertunjukkan pada hampir setiap acara kebudayaan, termasuk di Kota Medan sendiri. Tari Faluaya

dipertunjukkan oleh pemuda-pemuda Nias yang berada di Kota Medan agar tetap terjaga dan tidak tergilas oleh arus akulturasi dan globalisasi di tengah daerah Kota Medan yang cukup plural dengan kebudayaannya. Kita dapat menyaksikan pertunjukan Tari Faluaya di Kota Medan pada acara-acara yang bertemakan kebudayaan dan acara-acara besar lainnya.

(19)

pendekatan-6

pendekatan keilmuan (khususnya) etnomusikologi, dalam mengembangkan Tari

Faluaya dan seni Nias lainnya di Medan. (3) Sanggar Fanayama ini menurut pengamatan awal penulis cukup sering diundang untuk mengisi acara-acara seminar, pembukaan pameran, ulang tahun organisasi sosial, peresmian gedung, dan lain-lainnya, baik di Kota Medan atau kota-kota lain di Sumatera Utara.

Sebuah hal yang unik dan menarik untuk dikaji dapat kita temukan dalam Tari Faluaya ini mengingat bahwa tarian ini tidak diiringi oleh satu alat musik pun. Pengiring dalam tarian ini hanya serangkaian Hoho yang dituturkan. Hoho

tersebutlah yang menjadi pengatur tempo, siklus gerak serta pola lantai pada Tari

Faluaya ini. Hoho yang dituturkan ini mengisahkan tentang keperkasaan, ketangkasan, dan ketangguhan para personil yang mempertunjukkan Tari Faluaya

ini. Dalam syair-syair Hoho yang dituturkan itu menceritakan tentang keberhasilan para prajurit sepulangnya dari medan perang.

Melihat fenomena tarian ini seperti terurai di atas, maka penulis tertarik untuk mengkajinya dari sudut keilmuan, khususnya melalui disiplin etnomusikologi. Dalam konteks perkembangan disiplin etnomusikologi masa kini, penjelasan mengenai apa itu etnomusikologi adalah seperti kutipan dari laman web resmi Society for Ethnomusicology sebagai berikut.

(20)

7

history. Ethnomusicologists generally employ the methods of ethnography in their research. They spend extended periods of time with a music community, observe and document what happens, ask questions, and sometimes learn to play the community’s types of music. Ethnomusicologists may also rely on archives, libraries, and museums for resources related to the history of music traditions. Sometimes ethnomusicologists help individuals and communities to document and promote their musical practices.Most ethnomusicolo-gists work as professors at colleges and universities, where they teach and carry out research. A significant number work with museums, festivals, archives, libraries, record labels, schools, and other institutions, where they focus on increasing public knowledge and appreciation of the world’s music.Many colleges and universities have programs in ethnomusicology. To see a list of some of these programs, visit our guide to Program in Ethnomusicology (http://webdb.iu.edu)

Dalam situs web tersebut dijelaskan dengan tegas bahwa etnomusikologi adalah kajian keilmuan yang menjangkau terbentuknya musik di seluruh dunia ini, dari masa dahulu hingga sekarang. Etnomusikologi mengeksplorasi segala gagasan, kegiatan, alat-alat musik, dan suara yang dihasilkan (alat-alat musik atau vokal), dengan masyarakat yang menghasilkan musik tersebut. Musik klasik Eropa dan China, tarian Cajun, nyanyian masyarakat Kuba, hip hop, juju dari Nigeria, gamelan Jawa, ritual penyembuhan penyakit masyarakat Indian Navaho, nyanyian keagamaan Hawaii, adalah beberapa contoh kajian terhadap musik di seluruh dunia, yang dilakukan oleh para etnomusikolog.

(21)

8

dimensi waktu dan komunitas pendukungnya, mengamati, mengumpulkan dokumen tentang apa yang terjadi, bertanya tentang apa yang diteliti, dan juga turut terlibat memainkan musik seperti yang dilakukan komunitasnya. Para etnomusikolog juga melakukan studi terhadap arsip, perpustakaan, dan museum, untuk mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan sejarah musik. Kadangkala etnomusikolog melakukan dokumentasi dan mempromosikan pertunjukan musik. Sebahagian besar etnomusikolog biasanya menjadi ilmuwan di berbagai jenis pendidikan dan universitas. Sejumlah karya penting mereka berkaitan dengan museum, festival, arsip, perpustakaan, label rekaman, sekolah, berbagai institusi, di mana mereka memfokuskan pencerahan untuk ilmu pengetahuan dan apresiasi musik di seluruh dunia. Beberapa perguruan tinggi dan universitas mempunyai program etnomusikologi.

Uraian mengenai etnomusikologi di atas, menurut penulis relevan dalam mengkaji Tari Faluaya dan teks Hoho di dalam kebudayaan masyarakat Nias di Kota Medan. Etnomusikologi mencakup kajiannya terhadap tari, musik sebagai fenomena bunyi, dan sekaligus juga teks nyanyian. Di dalam skripsi ini dikaji tiga aspek utama fenomena Tari Faluaya dan teks Hoho, yaitu: struktur tari, struktur musik, dan teks Hoho dalam penyajian tari tersebut.

(22)

9 1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana struktur musikal Hoho dalam Tari Faluaya pada masyarakat Nias

di Kota Medan?

2. Bagaimana struktur teks dan makna Hoho dalam Tari Faluaya pada masyarakat Nias di Kota Medan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana struktur musikal hoho dalam

Tari Faluaya pada masyarakat Nias di Kota Medan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana struktur teks dan makna

Hoho dalam Tari Faluaya pada masyarakat Nias di Kota Medan.

3. Untuk mengetahui bagaimana struktur tari Faluaya pada masyarakat Nias di Kota Medan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:

(23)

10

3. Agar menjadi bahan dokumentasi dasar bagi peneliti, terutama etnomusikolog untuk dikembangkan berikutnya.

4. Agar menjadi bahan dokumentasi dasar untuk pelestarian kebudayaan Nias.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1Konsep

Konsep adalah pengertian abstrak dari jumlah konsepsi-konsepsi atau pengertian, pendapat (paham) yang telah ada dalam pikiran (Bachtiar, 1990). Analisa adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Kamus Besar Bahasa Indonesia

2002:43). Analisis yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah menelaah dan menguraikan struktur musikal dan makna tekstual Hoho pada Tari Faluaya.

(24)

11

Online). Dalam tulisan ini makna yang ingin dikaji adalah makna teks daripada

Hoho dalam tari Faluaya.

Hoho adalah salah satu dari tradisi lisan yang ada pada kebudayaan masyarakat Nias. Selain hoho, jenis lain dari tradisi lisan yang dimiliki masyarakat Nias seperti : hendri-hendri, manö-manö, hiwö-hiwö, dan lainnya (Hubari Gulö, 2011). Setiap jenis tradisi lisan ini merupakan bentuk syair namun berbeda ide serta fungsi penggunaannya. Hoho merupakan tradisi lisan yang berbentuk syair yang dilagukan yang menceritakan atau mengisahkan berbagai peristiwa sosial-budaya di kalangan masyarakat Nias. Beberapa jenis hoho ini seperti : hoho asal-usul leluhur masyarakat Nias, hoho fabolosi (syair kematian yang dinyanyikan oleh perempuan), hoho faluaya (hoho yang dituturkan pada tari

faluaya), dan lainnya.

Hoho ini telah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Nias sehari-hari. Seluruh kehidupan masyarakat Nias pada zaman dahulu diatur oleh hoho

yang dituturkan ini. Itulah sebabnya mereka sering membedakan antara agama, pemerintah dan adat. Istilah yang sering terdengar yaitu sara lala agama, sara fareta, sara lala hada (lain cara agama, lain cara pemerintah, dan lain cara adat) (Hammerle 1999). Hoho merupakan tradisi lisan masyarakat Nias yang adalah warisan budaya masa lampau. Bentuk dari Hoho ini adalah syair yang dilagukan secara puitis untuk mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan asal-usul kejadian, sejarah, hukum adat, dan hal lain yang berhubungan dengan tata kemasyarakatan (Zebua, 1991).

(25)

12

Hoho dalam tari Faluaya merupakan salah satu bagian dari beberapa jenis hoho

yang ada pada masyarakat Nias, dan khususnya hanya ada di daerah Nias Selatan.

Hoho jenis ini disajikan untuk merefleksikan suatu kekuatan yang dimiliki masyarakat Nias Selatan dalam mempertahankan wilayah mereka dari serangan musuh.

Tari Faluaya adalah salah satu tarian kolosal yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat Nias. Tarian ini menggambarkan ungkapan sukacita atas kemenangan di medan perang. Tari Faluaya pada hakikat nya merupakan tarian yang dipertunjukkan dalam upacara adat pada masyarakat Nias zaman dulu. Namun oleh perkembangan zaman, tarian ini saat sekarang sering dipertunjukkan untuk kebutuhan hiburan dengan menonjolkan aspek estetika yang terkandung didalamnya. Masyarakat Nias yang berpindah ke daerah lain diluar Pulau Nias masih melestarikan tarian ini guna mempertahankan kebudayaannya. Dalam tulisan ini penulis akan melihat dan menganalisis bagaimana struktur musikal serta makna tekstual Hoho dalam Tari Faluaya yang terdapat pada masyarakat Nias di Kota Medan. Analisa ini akan didasari dengan teori-teori yang akan dijelaskan dalam bagian dibawah ini.

1.4.2 Teori

(26)

13

sebabnya teori harus dibangun terstruktur, sejalan dengan apa saja yang mungkin akan digunakan (Suwardi 2006:107).

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan teori William P. Malm (1977:15) untuk menganalisis Hoho, yang membahas scale (tangga nada), nada dasar, range (wilayah nada), frequency of notes (jumlah nada-nada), prevalent interval (interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic formula (formula melodi), dan contour (kontur). Penulis juga melakukan pendekatan seperti yang ditawarkan Bruno Nettl (1964), yaitu: (1) menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan apa yang kita dengar itu diatas kertas, dan kemudian mendeskripsikan apa yang kita lihat itu.

Untuk mengkaji makna-makna yang terkandung dalam teks Hoho pada Tari Faluaya, digunakan teori semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya merupakan tanda-tanda. Semiotik mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memilki arti. (Takari dan Fadlin, 2014:19). Secara saintifik, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion. Dengan menggunakan pendekatan semiotik , seseorang bisa bisa menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan sehari-hari.

(27)

14

tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant)

dan (3) objek. Pierce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks dan simbol.

Dalam semiotik terdapat hubungan tiga segi antara lambang, objek, dan makna. Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerima menghubungkan lambang dengan objek dan makna, disebut interpretant, yang berfungsi sebagai perantara antara lambang dengan objek yang dilambangkan. Oleh karena itu, makna lambang hanya wujud dalam pikiran interpretant, selepas saja interpretan menghubungkan lambang dengan objek.

Berdasarkan kepada Bagan 1.1 Segitiga Makna Ogden dan Richards (1923) berikut ini maka dapat dikaji bahwa tidak ada hubungan secara langsung atau isyarat dengan objek yang menjadi rujukan. Hubungan seperti yang ditunjukkan seperti pada bagan berikut menunjukkan bahwa pemikiran seseorang akan menginterpretasi (menafsir) makna lambang dengan objek atau peristiwa yang dirujuk. Ini bermakna bahwa pikiran seseorang mengkonseptualisasikan sesuatu objek yang dirujuk berdasarkan rupa bentuk lambang atau isyarat tertentu. Hubungan antara pemikiran, lambang, dan objek yang dirujuk itu akan menghasilkan makna.

Pemikiran (Rujukan)

---

Lambang / Simbol Objek / Peristiwa (Isyarat) yang dirujuk (Referent)

Bagan 1.1

(28)

15

Dalam mengkaji struktur tari Faluaya, penulis akan mendeskripsikan bagaimana gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Faluaya tersebut. Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari. Ditambah dengan penyesuaian ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, semuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut

koreografi (Djelantik, 1990:23). Koreografi yang dimaksud dalam hal ini adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada tari Faluaya. Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan dan nilai keindahan serta memiliki ciri khas tertentu. Gerakannya dilakukan secara simbolis dan memiliki makna tertentu.

1.5 Metode Penelitian

(29)

16 1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan sebuah penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, artikel, jurnal, laporan penelitian, dan lain-lain.

Sebagai langkah pertama yang penulis lakukan untuk studi kepustakaan adalah dengan cara membaca dan mempelajari tulisan – tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian. Dalam hal ini penulis membaca dan mempelajari skripsi sarjana yang pernah ditulis oleh alumni Departemen Etnomusikologi FIB USU. Selain itu, penulis juga membaca dan mempelajari tesis pascasarjana yang pernah ditulis oleh alumni Pasca Sarjana Penciptaan dan Pengkajian Seni.

Disamping itu, penulis juga melakukan pengumpulan data dengan memanfaatkan teknologi internet yang memuat informasi dan data-data yang penulis butuhkan dalam penelitian ini. Seluruh kepustakaan yang diperoleh akan penulis jadikan sebagai acuan dan pelengkap untuk keberhasilan penelitian ini.

1.5.2 Kerja Lapangan

(30)

17 1.5.3 Wawancara

Wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang (Bachtiar, 1990). Dalam proses wawancara, penulis mengacu pada metode yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1981), yaitu: wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview), dan wawancara sambil lalu (casual interview).

1.5.4 Perekaman Data Visual dan Audio

Perekaman data baik itu visual maupun audio merupakan salah satu bagian terpenting yang akan digunakan penulis untuk mengumpulkan data dan informasi yang penulis butuhkan. Perekaman data dalam bentuk visual akan dilakukan dengan menggunakan kamera digital Sony dan untuk perekaman data dalam bentuk audio akan dilakukan dengan menggunakan laptop dan didampingi oleh handphone Lenovo. Seluruh hasil perekaman data tersebut kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diolah dan dianalisis sesuai tujuan penelitian.

1.5.5 Kerja Laboratorium

Keseluruhan data yang diperoleh dari lapangan, selanjutnya diproses dan diolah dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data dalam bentuk gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya.

(31)

18

fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut, dan (2) menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial tersebut. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisis.

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian difokuskan di tempat aktivitas Sanggar Fanayama yaitu Perumnas Simalingkar, Medan Tuntungan. Adapun alasan penulis memilih daerah tersebut karena informan dan para seniman tari yang menjadi sumber informasi penting dalam penelitian ini memusatkan kegiatannya di tempat tersebut. Namun demikian, sebagai sebuah penelitian kualitatif yang mencoba menggali makna-makna di sebalik tari dan musik yang dipertunjukkan, maka penulis juga mengikuti kegiatan-kegiatan Sanggar Fanayama dalam konteks memenuhi undangan di berbagai tempat pertunjukan di Medan dan Sumatera Utara. Tujuan kegiatan penelitian sebagai participant observer (pengamat terlibat) ini adalah bahagian dari teknik penelitian yang mendalami bagaimana si peneliti menjadi bagian dari kebudayaan yang diteliti, dapat memahaminya, melakukannya, dan mentransmisikan nilai-nilai di balik kegiatan budaya. Teknik penelitian seperti ini juga disarankan di dalam etnomusikologi, dengan istilah bimusicality

(32)

19 BAB II

ETNOGRAFI MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN

2.1 Keadaan Geografis Kota Medan

Kota Medan merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Sebagai kota terbesar di pulau Sumatera, Kota Medan merupakan pintu gerbang wilayah Indonesia bagian barat. Secara geografis, Kota Medan terletak pada 3°35’ - 3°58’ Lintang Utara dan 98°35’ - 98°44’ Bujur Timur. Kota Medan berada di bagian utara provinsi Sumatera Utara dan berada pada ketinggian 3 – 27 Meter diatas permukaan laut. Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar (www.wikipedia.com).

(33)

20 2.1.1 Demografi

Berdasarkan data statistik kependudukan pada tahun 2014 yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan, penduduk kota Medan diperkirakan telah mencapai 2.135.516 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria (1.082.123 jiwa > 1.053.393 jiwa). Selain itu, Kota Medan juga merupakan daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis, dengan latar belakang yang berbeda pula. Di siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga sekitar 2,5 juta jiwa dengan dihitungnya jumlah penglaju (komuter).

Sebagian besar penduduk Medan berasal dari kelompok umur 0-19 dan 20-39 tahun (masing-masing 41% dan 37,8% dari total penduduk). Dilihat dari struktur umur penduduk, Medan dihuni lebih kurang 1.377.751 jiwa berusia produktif, (15-59 tahun). Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan demikian, secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri manufaktur.

(34)

21

berketurunan Indonesia, 8.269 berketurunan Tionghoa, dan 139 lainnya berasal dari ras timur lainnya.

No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Medan Tuntungan 40.097 42.437 82.534 2 Medan Selayang 49.525 51.532 101.057 3 Medan Johor 62.331 64.336 126.667 4 Medan Amplas 57.918 59.004 116.922 5 Medan Denai 71.750 71.100 142.850 6 Medan Tembung 65.761 68.882 134.643

7 Medan Kota 35.422 37.700 73.122

8 Medan Area 48.054 49.200 97.254

9 Medan Baru 17.667 22.150 39.817

10 Medan Polonia 26.460 27.413 53.873 11 Medan Maimun 19.524 20.379 39.903 12 Medan Sunggal 55.717 57.927 113.644 13 Medan Helvetia 71.586 74.805 146.391 14 Medan Barat 34.931 36.406 71.337 15 Medan Petisah 29.526 32.701 62.227 16 Medan Timur 52.906 56.539 109.445 17 Medan Perjuangan 45.405 48.683 94.088 18 Medan Deli 86.937 85.014 171.951 19 Medan Labuhan 57.635 55.679 113.314 20 Medan Marelan 75.066 73.131 148.197 21 Medan Belawan 49.175 47.105 96.280

TOTAL 1.053.393 1.082.123 2.135.516

Sumber : BPS Kota Medan, Medan Dalam Angka 2014

Tabel 2.1

(35)

22

Etnis Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000

Jawa 24,89% 29,41% 33,03%

Batak 2,93% 14,11% 20,93%*

Tionghoa 35,63% 12,8% 10,65%

Mandailing 6,12% 11,91% 9,36%

Minangkabau 7,29% 10,93% 8,6%

Melayu 7,06% 8,57% 6,59%

Karo 0,19% 3,99% 4,10%

Aceh -- 2,19% 2,78%

Sunda 1,58% 1,90% --

Lain-lain 14,31% 4,13% 3,95%

Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut

*Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai suku bangsa, total Simalungun

(0,69%), Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93% Bangsa Punjabi

dan lainnya (3,95%)

Tabel 2.2

Perbandingan Etnis di Kota Medan Pada Tahun 1930, 1980, 2000

2.1.2 Wilayah Administrasi Pemerintahan

Secara administratif, Kota Medan berbatasan langsung dengan beberapa kecamatan – kecamatan yang menjadi wilayah administratif pemerintah Kabupaten Deli Serdang, kecuali di bagian utara nya yang berbatasan dengan Selat Malaka. Perbatasan wilayah ini lebih jelas seperti dibawah ini.

- Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka

(36)

23

- Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang)

- Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa (Kabupaten Deli Serdang)

Adapun beberapa kecamatan yang berada di wilayah pemerintahan Kota Medan yaitu antara lain: Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan Timur, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan S e l a y a n g , Kecamatan Medan Deli, Kecamatan Medan Baru, Kecamatan Medan Belawan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Perjuangan, Kecamatan Medan Sunggal, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Marelan, Kecamatan Medan Helvetia, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Kota, Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Labuhan. Kota Medan terdiri dari dua puluh satu kecamatan, yaitu seperti yang terurai di dalam Tabel 2.3 sebagai berikut.

No Kecamatan Luas (Km2)

1 Medan Tuntungan 20,68 2 Medan Selayang 12,81

3 Medan Johor 14,58

4 Medan Amplas 11,19

5 Medan Denai 9,05

6 Medan Tembung 7,99

7 Medan Kota 5,27

8 Medan Area 5,52

9 Medan Baru 5,84

10 Medan Polonia 9,01

(37)

24

12 Medan Sunggal 15,44 13 Medan Helvetia 13,16

14 Medan Barat 6,82

15 Medan Petisah 5,33

16 Medan Timur 7,76

17 Medan Perjuangan 4,09

18 Medan Deli 20,84

19 Medan Labuhan 36,67 20 Medan Marelan 23,82 21 Medan Belawan 26,25

TOTAL 265,1

Sumber : BPS Kota Medan 2014

Tabel 2.3

Kecamatan-kecamatan dan Luasnya dalam Kilometer di Kota Medan Tahun 2014

2.2 Gambaran Umum dan Adaptasi Masyarakat Nias di Kota Medan

Masyarakat Nias merupakan satu kelompok masyarakat yang pada dasarnya bermukim di Pulau Nias. Pulau Nias adalah salah satu pulau terbesar yang ada di wilayah Sumatera Utara. Pulau Nias memiliki luas sebesar 5.625 km2 atau 7,26% dari seluruh luas pulau Sumatera. Pulau Nias terletak di antara 0,12° LU – 1,32°LU dan 90° BT - 98° BT. Pulau Nias berbatasan dengan, (1) Samudera Indonesia di sebelah barat, (2) Pulau Mursala (kepulauan Tapanuli Tengah) disebelah timur, (3) Kepulauan Banyak (Nanggroe Aceh Darrusalam) disebelah utara, dan (4) Kepulauan Mentawai (Sumatera barat) disebelah selatan.

(38)

25

dan satu kotamadya untuk mempercepat laju perkembangan nya. Wilayah administrasi pemerintahan di Pulau Nias terdiri dari Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kabupaten Nias Selatan. Pulau Nias merupakan daerah yang beriklim tropis dengan sebagian besar wilayahnya merupakan hutan karena masuh kurangnya penggarapan secara menyeluruh.

Masyarakat Nias seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sebagian pergi dari pulau Nias dikarenakan berbagai hal, melakukan migrasi keberbagai daerah dengan tujuan dan kepentingan yang bermacam-macam dan menuju ke daerah-daerah seperti, Tapanuli, Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu, dan bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Malaka, Negeri Sembilan, pulau Pinang), India, dan Madagaskan. Migrasi ataupun perpindahan yang dilakukan oleh orang Nias sudah berlangsung lama dan diperkirakan sudah terjadi dari abad ke-17 yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab dan bangsa Cina serta Hindia Belanda.

(39)

26

mengunjungi daerah-daerah lain seperti Aceh pada waktu pemerintah Raja Iskandar Muda yang berlangsung pada tahun 1624 hingga 1626. Pada kisaran tahun tersebut banyak orang Nias dibawa ke Aceh untuk dijadikan prajurit perang dan ada juga yang dijadikan pekerja atau budak bagi pria, dan wanita dijadikan istri.

Pada waktu membuka perkebunan di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu) banyak pemuda-pemuda Nias yang dipekerjakan di wilayah-wilayah perkebunan di luar pulau Nias, kemudian menetap dan bergenerasi di wilayah tersebut hinga sekarang. Masyarakat suku Nias yang tinggal di Kota Medan (dahulunya Sumatera Timur) diperkirakan dimulai sejak dibukanya

onderneming perkebunan tembakau dan perkebunan karet yang dikenal dengan HVA. Banyak orang Nias bekerja di perkebunan-perkebunan, pada waktu itu karet menjadi “primadona” oleh orang Belanda. Sehingga pohon karet oleh orang Nias disebut hafea, yang tak lain adalah penyebutan lain untuk HVA yang berada di Sumatera Timur (Augusman Tafönaö, 2012).

(40)

27

Masyarakat Nias yang datang ke kota Medan beradaptasi dengan cara berbaur dengan etnis-etnis lain yang ada di kota Medan. Suku Nias merupakan salah satu suku pendatang yang menetap di kota Medan. Suku bangsa lain juga merupakan suku yang menetap di Medan terbagi, (1) suku bangsa tempatan (natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly, 1994), dengan alasan bahwa suku Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Medan, (2) suku pendatang antara lain: Batak Toba, Batak Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Pesisir Sibolga, Mandailing. Suku pendatang ini merupakan etnis yang wilayah teritorialnya paling dekat dengan Kota Medan dan tergolong dalam satu struktur pemerintahan setingkat propinsi dengan Medan menjadi pusat pemerintahannya. Juga etnis seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, serta kelompok kecil etnis Nusantara lainnya serta etnis datang dari luar nusantara seperti etnis yang datang dari Cina, India, dan yang lain dalam jumlah kecil.

(41)

28

2.3 Gambaran Umum Kebudayaan Masyarakat Nias Termasuk Di Kota Medan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada pendahuluan, bahwa masyarakat Nias merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki kebudayaan tersendiri dengan ciri dan nilai yang terkandung didalamnya. Kebudayaan masyarakat Nias ini telah ada dan terjaga sejak masyarakat Nias berada di Pulau Nias dan pada akhirnya juga terbawa dan tetap dilestarikan oleh masyarakat itu sendiri yang sebagian telah berpindah dan menetap diluar Pulau Nias. Masyarakat Nias yang ada di Kota Medan juga salah satu kelompok masyarakat yang masih tetap menjalankan nilai-nilai budaya yang nyatanya telah mereka bawa dari tempat asal mereka. Subbab ini akan menjelaskan tentang bagaimana gambaran umum kebudayaan masyarakat Nias sehari-hari yang tentunya juga meliputi unsur-unsur kebudayaan yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Nias. Penjelasan dalam subbab ini meliputi asal-usul orang Nias, bahasa, sistem kepercayaan, sistem kemasyarakatan, sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan, teknologi tradisional, dan keseniannya.

2.3.1 Asal – Usul Masyarakat Nias

(42)

29

penelitian arkeologi dan antropologi pernah memusatkan penelitian nya di Pulau Nias untuk mengungkap asal-usul masyarakat Nias ini.

Dalam buku yang ditulis oleh Ketut Wiradnyana (2010), dikatakan bahwa manusia sudah mulai ada di Pulau Nias sejak masa Paleolitik dan berlanjut hingga ke masa berikutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Medan pada tahun 1999 menghasilkan temuan berupa peralatan batu dan sisa pengerjaannya, masing-masing berupa 3 buah kapak perimbas, 3 buah kapak genggam, sebuah serpih dengan retus3, 2 buah serpih tanpa retus dan sebuah batu inti. Peralatan tersebut memiliki morfologi dan terknologi yang hampir sama dengan peralatan-peralatan yang ditemukan pada situs-situs masa Paleolitik di Indonesia. Temuan tersebut ditemukan pada dasar Sungai Muzöi, di Pekan Muzöi yang terletak di Dusun Hiliwaele I, Kecamatan Hiliduho, Kabupaten Nias. Hal ini mengiindikasikan adanya aktifitas manusia ditempat ini pada Masa Paleolitik.

Penelitian ini juga menemukan adanya peninggalan artefak dan ekofak4 di Gua Tögi Ndrawa yang terletak di Dusun II, Desa Lolowonu Niko’otano, Kecamatan Gunungsitoli dan di Gua Tögi Bögi yang terletak di Desa Binaka, Kecamatan Gunungsitoli Idanoi. Artefak dan ekofak yang ditemukan berupa tulang, tanduk, kapak batu, alat serpih yang menyerupai mata panah, sisa cangkang moluska (kerang) sebagai bahan makanan, dan debu sisa pembakaran. Hasil penemuan ini mengiindikasikan adanya aktifitas manusia pada masa

3

Upaya penyerpihan yang dilakukan untuk mendapatkan tajaman dari sebuah alat.

(43)

30

Mesolitik di Pulau Nias. Selain penemuan diatas, gerabah juga merupakan salah satu temuan yang ditemukan pada kedua Gua ini. Adanya gerabah menggambarkan evolusi kebudayaan dari tradisi Mesolitik ke Neolitik. Masa Neolitik ditandai dengan pola hidup manusia yang sudah menetap, adanya tradisi pembuatan alat-alat batu yang diupam halus, sudah menggunakan teknologi pengolahan logam, dan sudah menggunakan peralatan berbahan tanah liat pada masa bercocok tanam. Masa Neolitik ini memilki rentang waktu berkisar 3.000 SM sampai 4 M. Penemuan Kalabubu5 berbahan perunggu yang dipenuhi berbagai ornamen bercirikan budaya Dong Son (Vietnam) di bagian Utara Pulau Nias menandakan masa Neolitik yang pernah ada di Pulau Nias.

Kebudayaan Megalitik yang sekarang masih dapat kita temukan peninggalan nya di Pulau Nias diperkirakan telah berusia 600 tahun yang lalu atau sekitar abad ke-14 Masehi (Ketut Wiradnyana 2010:113). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Medan dan Institut de Recherche Pour Ie Developpement (IRD) Perancis menemukan beberapa daerah Boronadu di bagian Selatan Pulau Nias telah dihuni sekitar 576 ± 30 BP, yaitu sekitar 600 tahun yang lalu. Kebudayaan Megalitik ini dibawa oleh manusia dari kelompok migrasi kedua yang menempati wilayah selatan Pulau Nias. Sementara manusia yang masih bertahan dengan tradisi Neolitik yang terdapat di wilayah utara Pulau Nias merupakan kelompok migrasi pertama yang memasuki Pulau Nias.

Kebudayaan Megalitik yang berkembang pertama sekali di wilayah selatan Pulau Nias ini pada perkembangannya mulai diikuti oleh manusia dengan

(44)

31

kebudayaan Neolitik yang berada di wilayah utara Pulau Nias. Hal ini dibuktikan dengan penemuan situs Hili Gowe di wilayah utara Pulau Nias yang diperkirakan baru berusia sekitar 260 tahun yang lalu. Kedua kelompok manusia yang bermigrasi ke Pulau Nias ini didominasi oleh ras Mongoloid yang juga sama dengan ras manusia yang bermigrasi ke seluruh bagian Barat Indonesia pada masa itu. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, diperkirakan bahwa leluhur masyarakat Nias yang ada saat ini telah hidup sekitar 12.000 tahun sebelum Masehi dan merupakan golongan dari ras Mongoloid dengan ciri kebudayaan yang mirip dengan Dong Son (Vietnam) yang mulai terlihat dari peninggalan kebudayaan megalitik sekitar 600 tahun yang lalu.

Dalam berbagai mitos dan juga didukung oleh folklor lisan berupa hoho

(45)

32 2.3.2 Bahasa

Bahasa merupakan salah satu dari unsur kebudayaan yang dimiliki oleh setiap suku bangsa di dunia ini. Lewat bahasa memungkinkan setiap manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya dan membuat proses sosialisasi menjadi lebih mudah. Demikian halnya dengan masyarakat Nias yang juga memiliki bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Bahasa Nias dikenal dengan sebutan

Li Niha. Dr. Lea Brown, seorang ahli linguistik dari Australia menulis disertasi doktoralnya yang berjudul “A Grammar of Nias Selatan”, mengatakan bahwa “Barangkali misteri terpenting dari yang paling menarik bagi para ahli bahasa adalah ciri khas gramatikal Li Niha yang hingga sekarang tidak dikenal dalam bahasa-bahasa lain di dunia” (Chical Teodali Telaumbanua, 2012:37).

(46)

33

Penggunaan morfologi lebih banyak terjadi karena ada perubahan bunyi secara sintaksis bukan semantik.

Bahasa Nias sebagai bahasa daerah saat ini masih digunakan oleh masyarakat Nias dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara-upacara adat sebagai alat komunikasi. Interferensi bahasa juga tidak terlepas dari bahasa Nias pada perkembangannya. Dewasa ini, bahasa Nias mulai mengalami perubahan baik dari sisi kosakata dan juga elemen-elemen lainnya. Dalam penulisan di bahasa Nias harus memiliki ciri dan ketentuan seperti : penulisan kata yang memiliki huruf double harus mengunakan tanda pemisah (‘) seperti kata Ga’a, hal ini dimaksudkan untuk mempertegas penekanan bunyi pada kata tersebut. Ciri yang lainnya yaitu seluruh kata dalam bahasa Nias selalu diakhiri atau ditutup dengan huruf vokal.

2.3.3 Sistem Kepercayaan dan Agama

(47)

34

paling bawah dari antara semuanya. Konsep kosmologi yang menganut 9 tingkatan langit tersebut terlihat seperti dibawah ini.

1. Tuha Sihai

2. Lawalangi, roh baik, roh buruk

3. Fuli, Tuha Baregedano

4. Golu Banua

5. Tarewe Kara

6. Hulunogia

7. Drundru Tanö

8. Sirao

9. Alam Manusia

Konsep kosmologi ini memiliki keterkaitan dalam hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Nias zaman dahulu. Sembilan tingkatan langit ini dapat dikaitkan dengan proses berkembangnya bayi dalam kandungan yang memerlukan waktu selama 9 bulan untuk lahir kembali. Hal ini dianut oleh masyarakat Nias dengan menghubungkannya dengan 9 tingkatan owasa (upacara adat) yang dimiliki oleh masyarakat Nias, yang mana bila seluruh tingkatan

owasa itu telah dilaksanakan maka dia akan berada dalam tingkatan langit yang tertinggi dan akan lahir kembali (Ketut Wiradnyana, 2010:146-148).

(48)

35

Nuwu, Adu Lawölö, Adu Siraha Horö, Adu Horö, dan lainnya. Patung-patung ini terbuat dari bahan batu atau kayu dan disimpan dalam rumah. Masyarakat Nias zaman dahulu juga percaya terhadap kekuatan supranatural yang terdapat pada pohon-pohon besar dan gunung. Oleh karena masyarakat Nias mempercayai banyak dewa, menyembah patung leluhur, dan kekuatan supranatural lainnya, maka sering disebut bahwa masyarakat Nias menganut kepercayaan politeisme. Dalam sistem kepercayaan masyarakat Nias, kepercayaan ini sering disebut

Sanömba Adu. Kata-kata ini secara etimologis bila diartikan yaitu : sanömba

berarti menyembah atau memuja, dan adu berarti patung yang terbuat dari bahan batu atau kayu yang dipercayai sebagai media tempat roh bersemayam (Daniel Zai, 2014).

Gambar 2.1

Patung (Adu) yang terbuat dari bahan Kayu

(49)

36

Gunungsitoli. Sebelum masuk ke Pulau Nias, Denninger telah belajar bahasa Nias dan bergaul dengan orang Nias yang ada di Padang. Orang Nias yang berada di Padang pada saat itu berjumlah sekitar 3000 orang dan merupakan pendatang di daerah itu. Dari mereka inilah Denninger belajar dan mengetahui kebiasaan-kebiasan serta adat-istiadat masyarakat Nias dan tertarik untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Kristen ke Pulau Nias dan ternyata membuahkan hasil yang baik.

Misi selanjutnya diteruskan oleh Thomas yang datang ke Nias pada tahun 1873. Masa terpenting pada penyebaran agama Kristen di Pulau Nias terjadi pada rentang tahun 1915 – 1930 dimana pada tahun-tahun ini terjadi pertobatan massal yang kerap disebut Fangesa Dödö Sebua oleh masyarakat Nias. Hal ini ditandai dengan sikap masyarakat Nias yang sudah mulai berani menghanyutkan patung-patung nenek moyang mereka, menhir, patung-patung dewa, dan benda-benda peninggalan leluhur lainnya. Keberhasilan penyebaran agama Kristen di Pulau Nias didukung oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser. Seperti ritual famaoso dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal) digantikan dengan ritual fananö buno (menanam bunga) yang sarat akan nilai-nilai Kristen.

(50)

37

juga ditandai dengan berdirinya rumah-rumah ibadah di Pulau Nias seperti gereja, mesjid, dan rumah ibadah agama lainnya. Di Kota Medan sendiri masyarakat Nias juga mendirikan rumah ibadah tempat berkumpul seperti Gereja BNKP (Banua Niha Keriso Protestan). Keberadaan gereja ini dapat dijadikan sebagai bukti fisik adanya kebudayaan dan masyarakat Nias di daerah tersebut.

2.3.4 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial

Masyarakat Nias sejak zaman dahulu telah terstruktur dalam sistem kemasyarakatan yang tersusun sedemikian rupa. Struktur masyarakat ini juga merupakan simbol dari kosmologis yang dipercaya masyarakat yang memiliki pola makna, baik itu berbentuk fisik maupun nonfisik, yang merupakan milik bersama dan memiliki tujuan tertentu, diantaranya melestarikan struktur masyarakat. Sistem struktur sosial masyarakat Nias umumnya mengenal tiga bagian kelompok, yaitu : kelompok bangsawan (si’ulu, si’ila, salawa), kelompok masyarakat biasa (sato), dan kelompok budak (sawuyu, harakana). Namun, dalam melaksanakan sistem pemerintahan tradisionalnya, masyarakat Nias membagi masyarakat atas empat bagian, yaitu : kelompok bangsawan (si’ulu, salawa), kelompok penasehat (si’ila), kelompok masyarakat biasa (sato), dan kelompok budak (sawuyu, harakana) . Sedangakan dalam kegiatan religi, masyarakat Nias memiliki empat struktur pelapisan masyarakat, yaitu : si’ulu

(bangsawan), ere (pemuka agama), ono mbanua/sato (rakyat biasa), dan sawuyu

(budak).

Beberapa kelompok menyatakan bahwa lapisan masyarakat si’ulu

(51)

38

(bangsawan kebanyakan). Ono mbanua juga terbagi menjadi dua golongan, yaitu

si’ila (para ahli dan pemuka rakyat), dan sato (rakyat kebanyakan). Sawuyu juga terbagi menjadi tiga golongan, yaitu binu (budak yang kalah perang atau diculik), sondrara hare (budak karena tak mampu bayar hutang), dan hölitö

(budak yang ditebus orang lain setelah mendapatkan hukuman mati)6. Lapisan-lapisan masyarakat tersebut diatas bersifat eksklusif, perubahan hanya terjadi pada lapisan antar golongan saja. Kalau masyarakat ingin menaikkan status sosialnya maka yang bersangkutan harus terlebih dahulu melaksanakan upacara

owasa/faulu yang tingkatannya disesuaikan dengan besaran upacara.

Dalam struktur masyarakat Nias zaman dahulu juga terdapat hukum adat yang menjadi pengatur setiap tatanan kehidupan masyarakat pada masa itu. Hukum adat ini disebut dengan fondrakö oleh masyarakat Nias. Menurut sejarahnya yang dilihat dari folklor yang berkembang pada masyarakat, fondrakö

pada awalnya ditetapkan oleh 2 orang raja yang wilayahnya ditengah-tengah Pulau Nias, yaitu Balugu Samono Bauwa Danö yang memerintah di Talu Idanoi (Marga Harefa), dengan Balugu Tuha Badanö yang memerintah di Laraga (Marga Zebua). Fondrakö ini sewaktu-waktu dapat dirubah sesuai dengan kebutuhan, namun harus tetap berdasarkan peraturan lama yang sudah digariskan. Pada setiap akhir perubahan fondrakö selalu dilakukan pendirian bangunan batu (gowe).

Masyarakat Nias zaman dahulu juga memiliki beberapa upacara-upacara adat yang kerap dilakukan dan berhubungan dengan kehidupan

6 Informasi didapatkan pada saat wawancara dengan Ariston Manao, pada tanggal 28 Januari 2016 di Desa Bawomataluo, Nias Selatan. Ariston Manao merupakan kepala desa

(52)

39

hari. Upacara-upacara tersebut berisikan tahapan-tahapan yang memiliki ketentuan dan proses yang telah disusun sebelumnya pada masyarakat itu. Upacara yang kerap dilakukan berupa Upacara Kelahiran, Upacara Perkawinan, Upacara Kematian, Upacara Owasa/Fa’ulu, Upacara Fome’ana, dan Upacara

Fondrakö. Beberapa dari upacara tersebut dewasa ini sudah jarang kita temukan dikarenakan oleh perkembangan zaman, termasuk karena berubahnya sistem religi dan sistem kemasyarakatan yang dianut saat ini.

Masyarakat Nias zaman dahulu juga telah mengenal sistem organisasi sosial pada masyarakatnya. Didalam organisasi sosial terdapat serangkaian hubungan antara individu satu sama lainnya, yang masing-masing menduduki posisi-posisi tertentu. Posisi seseorang ditentukan oleh besaran upacara dan juga kedekatan garis keturunan dengan leluhur (Georges Balandier, 1986 dalam Ketut Wiradnyana, 2010). Dalam masyarakat Nias, kelompok organisasi sosial yang terkecil disebut gana. Kelompok organisasi tradisional ini terdiri dari beberapa keluarga batih dari satu marga, atau dapat juga dari beberapa marga yang di dalam desa itu tidak cukup banyak anggotanya dalam membentuk gana tersebut. Kumpulan dari beberapa gana disebut nafolu dan kumpulan dari beberapa nafolu

disebut banua, yang dapat diidentikkan dengan desa dengan pemimpinnya disebut salawa di Nias bagian Utara dan si’ulu di Nias bagian Selatan. Sedangkan kumpulan dari beberapa banua disebut öri (negeri) dan dipimpin oleh

(53)

40

Di Kota Medan sendiri, organisasi sosial masyarakat Nias saat ini banyak kita temui. Tetapi organisasi sosial yang terdapat di Kota Medan telah mengalami perubahan dari organisasi sosial yang ada pada masyarakat Nias zaman dahulu. Organisasi sosial masyarakat Nias yang terdapat di Kota Medan bermacam-macam bentuk organisasinya dan bermacam-macam pula acuan dasar pembentukannya. Ada terdapat organisasi sosial yang terbentuk didasarkan dari kampung asal nya di Pulau Nias, seperti PERMASGOM (Persatuan Masyarakat Gomo), STM Boronadu (Masyarakat Nias yang berasal dari desa Boronadu), dan organisasi lainnya. Ada juga terdapat organisasi sosial yang terbentuk berdasarkan marga (mado), seperti STM Marga Larosa, STM Marga Mendrofa, STM Marga Zalukhu, STM Marga Telaumbanua, dan organisasi lainnya. Selain itu ada juga organisasi sosial yang terbentuk berdasarkan kedekatan tempat tinggal mereka di Medan, seperti STM Saradödö, STM Faomakhöda, STM Sehati, STM Kasih Karunia, yang kesemuanya beranggotakan masyarakat Nias yang tinggal di daerah yang berdekatan. Organisasi sosial yang general dan bersifat umum dan dapat beranggotakan seluruh masyarakat Nias tanpa melihat dari marga, asal daerahnya, dan daerah tempat tinggalnya, seperti HIMNI (Himpunan Masyarakat Nias), FORMANI (Forum Masyarakat Nias), PMN (Persatuan Masyarakat Nias), dan organisasi sosial lainnya.

(54)

41

Sari Mutiara, Generasi Muda Nias (GEMA NIAS) dan organisasi mahasiswa Nias lainnya. Baru-baru ini juga telah dideklarasikan pembentukan organisasi masyarakat Nias yang berdasarkan bidang pendidikan dan profesi, yaitu PESTANI (Persatuan Sarjana Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Nias) yang berpusat di Kota Medan. Budaya berorganisasi ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Nias sejak dulu dan terbawa ketempat mereka berpindah dan menetap, walaupun dengan orientasi dan dasar pembentukan yang berubah, namun tujuannya tetap untuk wadah persatuan dan komunikasi.

2.3.5 Sistem Mata Pencaharian

Masyarakat Nias merupakan masyarakat yang pada awalnya menggantungkan hidupnya pada alam. Hal ini terlihat dari pola hidup masyarakat Nias pada zaman dahulu yang memenuhi kebutuhannya dengan mengusahakan dan mengolah sumber daya alam yang ada. Masyarakat Nias didukung oleh iklim dan kondisi alam yang menjadikan masyarakat Nias lebih mudah mencukupi kebutuhannya dari alam. Bercocok tanam merupakan salah satu cara masyarakat Nias untuk mencukupi kebutuhannya. Masyarakat Nias telah mengenal sistem bercocok tanam sejak masa leluhur dahulu kala. Bercocok tanam yang dimaksud seperti membuka ladang, sawah, menanam buah-buahan, menyadap karet, dan lain sebagainya.

(55)

42

masyarakat Nias yang telah bermukim diluar Pulau Nias. Disamping beternak, masyarakat Nias juga terbiasa berburu ke hutan. Hewan-hewan buruan yang ada di Nias zaman dahulu seperti rusa, babi hutan, kijang, dan lain sebagainya. Masyarakat Nias yang hidup di pesisir pantai juga memanfaatkan laut dan pantai untuk memenuhi kebutuhannya, seperti halnya menjadi nelayan Semua hal-hal diatas dilakukan oleh masyarakat Nias zaman dahulu sebagai mata pencaharian mereka guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini juga terkandung dalam hoho

asal-usul leluhur masyarakat Nias yang menyebutkan bahwa ketika Hia Walangi Adu diturunkan dari langit, kepadanya disertakan berbagai keperluan ekonomi berupa babi (jantan dan betina), bibit padi, timbangan, dan beberapa bibit hewan dan tanaman lainnya. Inilah yang dipercayai masyarakat Nias sebagai cikal bakal keahlian masyarakat Nias dalam bercocok tanam dan beternak.

(56)

43

Lembaga Pendidikan atau TNI / POLRI, serta menjadi buruh lepas dengan pekerjaan yang tidak menetap.

Masyarakat Nias yang telah mempunyai ketetapan dan merasa nyaman tinggal di Kota Medan pada akhirnya berbaur dengan masyarakat lainnya dan melakukan perkawinan antara orang Nias maupun orang dari etnis lain. Pada saat ini diperkirakan jumlah orang Nias yang tinggal dan menetap di Kota Medan sekitar 25.000 jiwa yang tersebar di wilayah Medan seperti Belawan, Perumnas Mandala, Perumnas Simalingkar, Padang Bulan, Helvetia, serta daerah lainnya dalam jumlah kecil (BPS Kota Medan 2014).

2.3.6 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Nias memiliki sistem kekerabatan sebagai salah satu unsure kebudayaan yang masih melekat kuat hingga saat ini dimanapun masyarakat Nias berada. Kelompok kekerabatan yang terkecil yang ada pada masyarakat Nias adalah keluarga batih yang disebut fangambatö (di bagian Utara Nias) atau

(57)

44

Masyarakat Nias memiliki sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) dan mado (marga) menjadi lambang dan klasifikasi keluarga seseorang. Mado (marga) dari ayah pada masyarakat Nias selalu diturunkan kepada anak-anaknya dan selalu diletakkan dibelakang nama lahir yang diberikan dan menjadi satu kesatuan utuh dari nama tersebut sampai kapanpun. Masyarakat Nias juga memiliki sebutan dalam bahasa Nias untuk memanggil kerabat-kerabatnya, seperti : Ama (untuk menyebut Ayah), Ina

(untuk menyebut Ibu), Ga’a (untuk menyebut Abang), Akhi atau Nakhi (untuk menyebut Adik), Sibaya (untuk memanggil saudara laki-laki dari Ibu), Dua atau

Tua (untuk menyebut Kakek), Gawe (untuk menyebut Nenek), Ina Lawe (untuk menyebut Tante), Gasiwa (untuk menyebut Sepupu), Onombene’ö (untuk menyebut keponakan), dan masih ada yang lainnya.

Perkawinan bagi masyarakat Nias bersifat monogami, sekalipun poligami diijinkan, hanya saja pada umumnya dilakukan oleh kelompok bangsawan tertentu pada zaman dahulu. Perkawinan dari satu garis keturunan patrilineal dapat dilakukan jika pasangan tersebut paling tidak sudah dalam tingkatan 9 generasi. Begitu juga dengan perkawinan dalam bentuk cross causin,

yaitu mengawini anak paman tidak boleh dilakukan. Jika perkawinan yang dilakukan kurang dari 9 generasi, maka perkawinan itu dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, di antaranya dengan memisahkan perrtalian kesatuan patung leluhur (Zebua, 1987:315).

(58)

45

Bidaya, Bulolo, Baewa Ba'i Menewi, Boda Hili, Dakhi, Daeli, Dawolo, Daya, Dohare, Dohona, Duha, Duho, Fa’u, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana, Famaugu, Fanaetu, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, Laia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, Lazira, Lawolo, Lawelu, Laweni, Lasara, L

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2
Gambar 2.1
Gambar 2.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini rumusan masalah berkaitan dengan simbol dan makna gerak tari Zapin Penyengat, simbol dan makna busana yang digunakan dan simbol dan makna iringan

Judul dari penelitian ini adalah Tari Persembahan Sekapur Sirih di Sanggar Karya Seni Kabupaten Belitung yaitu menyangkut tentang bagaimana Latar Belakang

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ STUDI DESKRIPTIF ANALITIS IDENTITAS MUSIKAL NIAS YANG TERKANDUNG DALAM ZINUNÖ BNKP ”. Skripsi

aspek identitas musikal masyarakat Nias dalam sebuah kumpulan nyanyian.. berbahasa Nias yang menjadi materi utama didalam kebaktian keagamaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses penyajian ende marhaminjon, untuk menganalisis makna-makna tekstual yang terkandung dalam ende marhaminjon, serta

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses penyajian ende marhaminjon, untuk menganalisis makna-makna tekstual yang terkandung dalam ende marhaminjon, serta

Skripsi ini bertajuk ―Analis is musikal, tekstual dan fungsi Nanga-nanga Mehumasa Pada Masyarakat Simeulue di desa Salur, kecamatan Teupah Barat, Kabupaten

Berkenaan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji tari Puspanjali pada aspek latar belakang penciptaannya, elemen tarinya serta eksistensinya karena telah mampu