• Tidak ada hasil yang ditemukan

*Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi ** Dosen Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "*Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi ** Dosen Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

51

ANALISIS PERBEDAAN TARIF RIIL DENGAN TARIF INA-CBG’S PASIEN BEDAH BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN DI RUMAH SAKIT GUNUNG MARIA TOMOHON

Hanly Christian Walintukan*, S.L.H.V. Joyce Lapian**, Jimmy Panelewen** *Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi

** Dosen Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi

ABSTRAK

Jaminan Kesehatan Nasional perupakan pilihan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat Indonesia, sehingga mutu dan efisiensi menjadi hal yang harus diperhatikan di setiap rumah sakit untuk mencapai pelayanan yang berkualitas dan bermutu bagi setiap pasiennya. Peneliti tertarik untuk menganalisa perbedaan tarif riil dengan tarif rumah sakit untuk pasien dengan tindakan bedah yang berada di rumah sakit Gunung Maria Tomohon yang berlaku saat ini dimana tarifnya ditetapkan oleh rumah sakit dan kebijakan direktur Rumah Sakit, serta membandingkan juga dengan tarif berdasarkan INA-CBG’S dimana tarifnya ditetapkan oleh Tim Case Mix yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penelitian ini adalah kuantitatif, dengan metode observasi yang membandingkan antara tarif riil rumah sakit dengan tarif INA-CBG’S pada tindakan bedah di rumah sakit Gunung Maria Tomohon. Hal ini dilakukan dengan mengambil data sekunder berupa rekam medis dari pasien-pasien yang dilakukan tindakan operasi di rumah sakit Gunung Maria Tomohon, dan sampelnya adalah diagnosa appendicitis akut karena dari 10 diagnosa tertinggi appendicitislah yang merupakan diagnosa yang tertinggi. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa dampak perbedaan tarif yang ditetapkan oleh rumah sakit Gunung Maria Tomohon dan BPJS terletak pada pembebanan biaya, dan penetapan tarif rumah sakit yang masih mengikuti pola yang lama sehingga biaya jasa dokter masih cenderung tinggi yang mengakibatkan selisi negatif yang terlalu jauh dari tarif riil. Ketidak tersediaan Clinical Pathway juga menjadi satu masalah bagi rumah sakit untuk mengontrol pengeluaran yang terjadi di rumah sakit, keseragaman tindakan yang dilaksanakan dan pemantauan lama rawat inap bagi pasien yang dilakukan tindakan. Rumah sakit disarankan agar mengevaluasi lagi tarif rumah sakit dengan melihat kondisi yang ada saat ini agar tidak terjadi kesenjangan yang begitu tinggi dengan menerapkan prinsip efisiensi, melakukan standarisasi biaya dan pembayaran jasa medis yang sesuai sedangkan untuk rumah sakit mengubah cara pandang dan cara mengelola RS dan pasien dengan menerapkan kendali mutu dan kendali biaya yang mengarah pada pelayanan, perencanaan, pengadaan barang yang jasa yang efektif dan mengimplementasikan remunerasi berbasis kinerja dan dan penerapan clinical pathway.

ABSTRACT

National Health Security is an affordable choice in health service for Indonesians, hence the quality and efficiency of management has become an important issue in every hospital. The author main interest is to analyze the differences between real tariff and tariff in hospital which is determined by the hospital management and policy of the director for surgical patients in Gunung Maria Hospital in Tomohon, and then comparing those with INA-CBG’s tariff which is set-up by Case Mix Team from Indonesian Health Department. This quantitative research was conducted with observation method by comparing real tariff in hospital and INA-CBG’s tariff for surgical patients in Gunung Maria Hospital Tomohon. It was done by obtaining secondary data in the form of medical record of patients in Gunung Maria Hospital Tomohon. The samples were those who diagnosed with appendicitis acute, with the assumption that appendicitis is the highest of the ten most diagnosed cases. It is concluded that the impact of the differences in tariff determined by Gunung Maria Hospital Tomohon and the BPJS lie on the cost load and tariff set up by the hospital was is still an old pattern in which the cost of doctor services tend to be high and this result in high difference from the real tariff. An unavailability of Clinical Pathway is also one problem for the hospital to control the spending, the uniformity of medical action, and the control of duration of stay of each patient. It is suggested that the hospital has evaluate the tariff by looking at the present conditions by applying efficiency principle and by doing cost standardization and medical cost. Changing the way of thinking and management of hospital and patients by applying quality control and cost control for better service, plan, effectiveness of supplies and service, and implementing remuneration based on work load and clinical pathway are also suggested.

(2)

52

PENDAHULUAN

Kesejahteraan warga di suatu negara tidak hanya dilihat dari tingkat pendidikan yang dimiliki, tetapi juga bagaimana tingkat kesehatan warga di negara tersebut. Kesehatan merupakan kebutuhan manusia yang utama, oleh karena itu pembangunan di bidang kesehatan perlu dilaksanakan. Pembangunan kesehatan merupakan pembangunan nasional maka pemerintah sebagai institusi tertinggi yang bertanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan harus memenuhi kewajiban dalam penyediaan sarana pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pembangunan di bidang kesehatan melibatkan seluruh warga negara Indonesia, karena pembangunan kesehatan mempunyai hubungan yang dinamis dengan sektor lainnya (Anonim, 2014a, Anonim 2014b).

Pembangunan kesehatan yang dilakukan pemerintah saat ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya agar terwujud manusia Indonesia yang bermutu, sehat dan produktif. Setiap warga negara tanpa terkecuali masyarakat miskin dan rentan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan berkualitas sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar tahun

1945. Kesehatan menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode tahun 2010–2014 dan terus menjadi isu prioritas dalam RPJMN periode tahun 2015-2019 (Anonim, 2013).

Setiap negara memiliki asuransi kesehatan untuk masyarakat dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Seperti halnya dengan Singapura mereka memiliki filosofi sistem kesehatan dengan 3M (Medisave, medishield, dan

medifund). Medisave merupakan

asuransi kesehatan nasional dimana setiap orang menabung uang untuk kebutuhan kesehatan mereka, disimpan dari 7-9 persen dari gaji yang didapatkan perbulan dan dari perusahan juga memberikan kontribusi tersebut sebesar 13 persen. Medishield adalah untuk menunjang medisave untuk membantu anggota memenuhi Kelas B2 / C atau jika ada tagihan rawat inap besar sedangkan Medifund adalah seperti dana cadangan yang abadi yang dipersiapkan oleh pemerintah Singapura untuk orang-orang singapura yang tidak mampu untuk membayar tagihan rumah sakit (Anonim, 2015c, Yui 2012).

Ghana National Health Insurance System (NHIS) diperkenalkan pada tahun 2004, menjanjikan untuk memberikan Universal Health

(3)

53

Coverage. Namun setelah hampir

sepuluh tahun pelaksanaan, NHIS mencakup hanya 36 persen dari Ghanaians. Sisanya 64 persen dari populasi terus membuat kerugian terhadap pembayaran untuk mengakses layanan kesehatan bagi para anggotanya. NHIS meliputi biaya langsung pelayanan kesehatan dan obat-obatan untuk penyakit yang paling umum di Ghana. Skema ini dibiayai dari 2,5 persen retribusi PPN (70 persen), pemotongan gaji dari pekerja sektor formal (22 persen), dan kontribusi premi tahunan dari pekerja sektor informal (5%) (Amporfu, 2013).

Program Georgia Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Medical Insurance programe for the Poor) diluncurkan pada tahun 2006 untuk meningkatkan perlindungan keuangan untuk yang termiskin 20 persen dari populasi. MIP adalah pajak yang didanai dan dilaksanakan oleh perusahaan asuransi kesehatan swasta. Pada tahun 2011 MIP menyumbang 43 persen dari anggaran kesehatan. Anggota berhak untuk paket yang cukup komprehensif pelayanan kesehatan tanpa co-pembayaran. Namun, sebagian besar biaya obat tidak tercakup. Masalah dengan sistem kelayakan berarti bahwa sekitar setengah dari kuintil termiskin masih belum terdaftar dan beberapa pasien yang masih membayar untuk

layanan yang harus ditanggung oleh MIP. Kerugian pembayaran telah berkurang sedikit tapi tetap sangat tinggi di sekitar 70 persen dari total pengeluaran kesehatan, setidaknya setengah dari yang dihabiskan untuk pharmaceuticals. MIP tidak berdampak pada pemanfaatan atau dilaporkan status. kesehatan Sementara itu, perusahaan asuransi telah membuat keuntungan besar - pada tahun 2010 beberapa perusahaan yang membuat keuntungan hingga 50 persen (Smith, 2013).

Program JKN hadir dalam pelayanan kesehatan karena perintah peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan mengatur dengan rinci tujuan, prinsip, para pelaku, dan tata kelola JKN dalam satu kesatuan sistem penyelenggaraan program jaminan sosial, yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional. Penetapan hal-hal tersebut melalui proses penetapan kebijakan publik. (Anonim, 2014d, Anonim 2014e).

Penyatuan skema tersebut diharapkan menjadikan sistem pembayaran lebih efektif dan memberikan dampak yang lebih besar. Pada saat yang sama, model pembayar tunggal menempatkan tanggung jawab besar pada pembeli untuk mengembangkan sistem yang tepat dan adil. Indonesia telah menerapkan sistem

(4)

54

pembayaran pra-upaya berbasis kasus

(case-based) yang baru untuk

Jamkesmas beberapa tahun lalu yang disebut INA-CBGs (Indonesia

Case-Based Groups). Langkah berani

pemerintah menetapkan sistem pembayaran yang baik untuk mendorong efisensi teknis yang lebih besar patut dipuji (Anonim, 2014d, Anonim, 2014e).

Berdasarkan peraturan BPJS Tahun 2014, pembayaran pelayanan kesehatan oleh BPJS ke fasilitas tingkat lanjut dengan menggunakan tarif INA-CBG’s.Tarif paket INA CBG’s adalah sistem pembayaran berdasarkan diagnosa. Dalam pembayaran menggunakan sistem INA CBGs, baik Rumah Sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group). Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan (length of stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya disesuaikan dengan jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya (Anonim, 2015a, Anonim, 2013).

Sistem pembayaran dengan tarif paket INA-CBG’s pada program JKN ini dirasakan merugikan rumah sakit. Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin mengatakan, sebelumnya memang RS swasta sudah melakukan prediksi dalam pelaksanaan JKN banyak kerugian yang didapatkan (Anonim, 2014d).

Hal ini juga dipertegas dengan data evaluasi pasien bedah yang dilakukan operasi yang diperoleh dari rumah sakit Gunung Maria Tomohon terkait tindakan operasi bagian bedah dengan menggunakan jaminan kesehatan nasional tahun 2016 dengan kerugian didapatkan sebesar Rp. 3.515.794.420 itu didapatkan dari tarif riil rumah sakit sebesar Rp. 8.781.968.620 sedangkan tarif tarif INA-CBGS yang rendah Rp. 5.266.174.200.

Data tersebut menunjukkan perbedaan antara tarif riil keseluruhan dengan tarif INACBG’S untuk pasien bedah di Rumah Sakit Gunung Maria Tomohon yang mengalami selisih yang cukup signifikan untuk setiap bulannya. Selisih terbesar berada di bulan April sebesar -Rp. 402.328.052. Untuk bulan Oktober terdapat 2 mekanisme klaim yaitu memisahkan antara cara klaim yang pertama sebelum 25 Oktober dengan menggunakan INA-CBG’S lama

(5)

55

sedangkan yang satunya sesudah 26 Oktober dengan menggunakan INA-CBGS yang baru.

Kerugian bagi rumah sakit terutama rumah sakit swasta itu sangat mengganggu cash flow bagi rumah sakit. Oleh karena itu maka peneliti akan melakukan penelitian untuk menganalisis perbandingan tarif rill dengan tarif INA-CBGS untuk Pasien Bedah di Rumah Sakit Gunung Maria Tomohon.

METODE

Jenis penelitian ini merupakan penelitian analisis kuantitatif, dengan menggunakan metode observasi dimana penelitian ini membandingkan antara biaya riil rumah sakit dengan tarif INA-CBG’S pada tindakan bedah di rumah sakit Gunung Maria Tomohon. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – April 2017 di rumah sakit Gunung Maria Tomohon, dan yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah berkas rekam medis pasien JKN dengan kasus bedah yang di rawat inap pada bulan November 2016 – Januari 2017 dan yang menjadi sampel adalah diagnosa appendicitis karena merupakan diagnosa tertinggi dari 10 diagnosa yang di lakukan tindakan pada bulan tersebut. Dengan menggunakan instrument penelitiasn berkas rekam medis pasien dan variabelnya adalah Tarif riil rumah

sakit dan tarif INA-CBG’S dari BPJS. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan data primer dan data sekunder kemudian diolah dan di analisis terhadap tiap variable yang ada kemudia disajikan dalam distribusi frekwensi dalam bentuk prosentase dari tiap variabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebagian besar pasien pasien yang di lakukan operasi appendectomy berdasarkan penelitian ini sebagian besar pada usia 10-19 tahun dengan persentasi 30.61 persen, yang kedua pada kelompok umur 20-29 sebanyak 24.49 persen sedangkan usia dengan angka kejadian terendah di usia 30-39 dan usia 40-49 dengan persentasi masing-masing 14.29 persen.

Kasem Alubaidi (2016) pada pe nelitiannya yang dipublikasikan pada jurnal Diagnosis of Acute Appendicitis in Adults: Role of a Simple Clinical Diagnostic Triad mengatakan bahwa sebagian besar usia yang dilakukan tindakan appendectomy di Department of General and Colorectal Surgery, East Kent Hospitals Nhs Trust, William Harvey Hospital, Ashford, UK sebagian besar pasien yang dilakukan tindakan appendectomy berada pada usia 20-29 tahun. Lahunduitan (2016) berdasarkan penelitian di RSUP Prof Kandow Manado pada jurnal dengan jumlah

(6)

56

responden 650 orang diperoleh kelompok umur 0-9 tahun terdapat 43 pasien (7%), kelompok umur 10-19 tahun terdapat 164 pasien (25%), kelompok umur 20-29 tahun terdapat 224 pasien (34%), kelompok umur 30-39 tahun terdapat 66 pasien (10%), kelompok umur 40-49 tahun terdapat 56 pasien (9%), kelompok umur 50-59 tahun terdapat 52 pasien (8%), dan kelompok umur >60 tahun terdapat 45 pasien (7%).

Data menunjukkan bahwa 71.43 % yang dilakukan operasi appendektomi dari total keseluruhan pasien yang akan dioperasi appendektomi merupakan pasien dengan BPJS kelas III untuk rumah sakit Gunung Maria Tomohon, selanjutnya adalah pasien dengan kelas perawatan II sebesar 24,29% sedangkan kelas I hanya 4.8%.

Perhitungan tarif pada INACBGS menggunakan alat bantu berupa software yang telah ditentukan oleh Kementerian Kesehatan, sehingga keluaran tarifnya sudah sesuai dengan database yang telah di tetapkan. Namun human eror bisa terjadi pada semua kasus, tapi untuk penelitian ini dapat dipastikan ketepatannya karena hanya satu diagnosa yang digunakan. Ketepatan pengodean diagnosis dan prosedur akan mempengaruhi ketepatan tarif pada INACBGS, dengan demikian

selisihnya juga akan dipengaruhi oleh ketepatan pengodean tersebut.

Penelitian ini diambil selama 3 bulan dan bulan yang di ambil adalah November 2016 sampai Januari 2016, ini disebabkan oleh terjadinya perubahan sistem di aplikasi kode INACBG’S karena sesuai dengan peraturan pemerintah.Tanggal 26 Oktober 2016 merupakan tanggal batas untuk penggunaan system lama sedangkan tanggal sesudah itu menggunakan sistem baru. Data yang di teliti untuk penelitian ini adalah data dimana menggunakan sistem yang baru, karena kedepan sistem lama akan ditinggalkan atau tidak dipergunakan lagi.

Menggunakan diagnosa tertinggi berdasarkan index dari 10 diagnosa tertinggi untuk pasien bedah yang dioperasi dan menjadikan diagnosa tertinggi itu sebagai sampel. Diagnosa yang digunakan adalah diganosa appendicitis akut dengan tindakan

appendectomy karena persentasinya

berturut-turut dari bulan November 2016 sampai Januari 2017 adalah 27,78%, 13,92% dan 18,49%. Mengapa ini di angkat, karena dari rekapan data rekapitulasi antara tarif riil dengan tarif BPJS terlalu significan mencapai minus Rp. 3.515.794.420 untuk sepanjang tahun 2016. Selisih terbesar berada di

(7)

57

bulan April 2016 sebesar Rp. 402.328.051.

Selisih tersebut di Rumah Sakit ditanggulangi dari subsidi silang pasien-pasien dari bagian bagian yang lain yang mengalami surplus. Biasanya di subsidi dari bagian-bagian medik dimana bagian medik tersebut jarang menggunakan tindakan, sehingga rumah sakit dapat menanggulangi dan mengsubsidi dari selisih tarif positif tersebut. Pasien-pasien yang menggunakan tindakan bedah, rata-rata mengalami kerugian karena tarif INACBGS tidak mencukupi untuk disandingkan dengan tarif riil yang notabene merupakan tarif pasien umum.

Dapat dibayangkan, bagaimana jika kondisi ini terjadi untuk beberapa tahun kedepan, kerugian tiap tahun untuk pasien bedah sekitar Rp. 3.500.000.000 jika kondisi ini terjadi dalam jangka 5 tahun maka jika rumah sakit tidak ada perubahan kemungkinan kerugian untuk tindakan bedah ini mencapai Rp. 17.500.000.000, jika program ini bertahan sampai 10 tahun dan rumah sakit tetap nyaman dengan kondisi ini, hanya berharap dari cross subdisidi dari pasien-pasien medis , maka kerugian bagi rumah sakit akan menyebabkan rumah sakit nantinya collapse dan pada akhirnya tutup.

Data untuk pasien bedah yang diambil di Rumah Sakit Gunung Maria

Tomohon di tahun 2016 dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2017 menunjukan selisih negatif di setiap bulannya. Untuk pasien bedah tidak ada yang selisih positif. Selisih negatif ini setelah ditelurusi per jenis pembayaran sesuai dengan biling yang di dapat dari bagian keuangan rumah sakit gunung maria Tomohon, pengeluaran terbesar ada pada tindakan bedah yang dilaksanakan oleh dokter spesialis bedah yang bersangkutan.

Perbandingan untuk tarif dokter spesialis bedah untuk pasien yang dilakukan tindakan appendectomy kelas I rata-rata sebesar Rp. 6.931.000, ruang perawatan adalah biaya yang kedua terbesar di biling pasien yaitu Rp. 1.300.000, obat-obatan Rp. 398.000 dari situ saja dapat dilihat selisihnya sudah terlalu jauh, sedangkan untuk klaim yang akan dibayarkan untuk pasien BPJS kelas I sebanyak Rp. 4.072.000.

Perbandingan untuk tarif dokter spesialis bedah untuk pasien yang dilakukan tindakan appendectomy kelas II rata-rata sebesar Rp.4.770.833, ruang perawatan adalah biaya yang kedua terbesar di biling pasien yaitu Rp. 1.633.333, obat-obatan Rp. 673.739 dari situ dapat dilihat selisihnya sudah terlalu jauh, sedangkan untuk klaim yang akan dibayarkan untuk pasien BPJS kelas II sebanyak Rp. 3.490.800.

(8)

58

Perbandingan untuk tarif dokter spesialis bedah untuk pasien yang dilakukan tindakan appendectomy kelas III rata-rata sebesar Rp.3.240.179, ruang perawatan adalah biaya yang kedua terbesar di biling pasien yaitu Rp. 420.000, obat-obatan Rp. 394.224 dari situ saja dapat dilihat selisihnya sudah terlalu jauh, sedangkan untuk klaim yang akan dibayarkan untuk pasien BPJS kelas III sebanyak Rp. 2.909.000

Dilihat dari rata-rata yang telah dipaparkan, terlihat hasil-hasil yang nominalnya cukup ganjil. Dimana itu juga dipengaruhi oleh tidak adanya clinical pathway yang cukup untuk pelayanan pasien, itu juga dapat menyebabkan terjadi perbedaan pemberian pelayanan kepada pasien.

Clinical pathway sangatlah

penting untuk Rumah Sakit sebagai sarana untuk mengontrol pasien dari bebagai sisi, terutama yang dipentingkan disini adalah efisiensi dari tiap pasien yang di tangani oleh rumah sakit dan juga agar tidak terjadi keragaman tindakan untuk satu jenis diagnosa.

Dengan menggunakan Clinical pathway ini juga mengkontrol kapan pasien harus pulang, sehingga Length Of Stay atau lama rawat dari pasien dapat terkontrol, jika terjadi pemanjangan LOS dari pasien, maka rumah sakit dapat melakukan analisa terhadap kondisi pasien yang mengalami

pemanjangan lama rawat. Penyebab lama rawat ini jika disebabkan karna komplikasi setelah operasi, itu bisa ditambahkan kode diagnosis/tindakan ke aplikasi untuk penambahan biaya klaim dari BPJS.

Lama rawat inap juga berpengaruh pada pasien dengan Length Of Stay atau lama rawat yang cukup tinggi. Lama rawat yang tinggi menyebabkan pembengkakan biling ruang perawatan, jadi harus ada kepastian berapa lama rawat yang ideal tanpa menyampingkan kondisi pasien. Lama rawat inap pasien untuk diagnosa stersebut untuk satu hari, atau untuk tiga hari bahkan untuk sepuluh hari harga paketnya akan sama saja, tidak akan ada penambahan tarif dari BPJS jika tidak ada penghambat atau komplikasi yang di timbulkan. Jika kita dengan sengaja menaikkan diagnosa karena melihat tarif dari INA-CBG’S itu hanya kecil itu akan dianggap kecurangan oleh BPJS atau Fraud dan akan berakibat fatal kepada rumah sakit.

Menurut Australian Hospital Data, AIHW, Australia, LOS untuk appendicitis akut di Australia selama 3,2 hari sedangkan menurut Hospital Episode Statistics, Department of Health, England, LOS untuk appendicitis akut di Inggris selama 4,4 hari (Anonim, 2010). Rahma (2016) pada penelitiannya di Universitas

(9)

59

Gadjah Mada didapatkan perhitungan LOS rata‐rata pada penyakit appendicitis 4,3 hari. Hasil ini mendekati data LOS penyakit appendicitis akut di Inggris.

Pada penelitian ini untuk lama rawat pasien bedah appendectomy yang di totalkan sebelum dan setelah operasi di rumah sakit Gunung Maria Tomohon yang terlama ada di kelas II dengan rata-rasa sekitar 4,6 hari per pasien, sedangkan yang kedua adalah dengan hak kelas perawatan III yaitu 4.2 hari dan yang paling kecil adalah kelas I dengan lama perawatan 2 hari per pasien. Pada penelitian ini LOS berbeda untuk setiap kelas tapi sudah mendekati untuk LOS dari penelitian internasional maupun penelitian nasional yang telah dilakukan.

Banyak perbedaan yang menyolok antara kedua tarif ini. Menurut Thabarany (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi biaya kesehatan adalah komponen inflasi biaya rumah sakit, kebijakan pemerinta, pembayaran pihak ketiga, maupun tenaga kesehatan sendiri.

Penelitian Gabby (2015) juga mengatakan ada pengaruh Staf verifikator BPJS Kesehatan. Mereka harus memiliki pemahaman dan kemampuan yang baik terkait ICD-10 untuk verifikasi diagnosis, ICD-9 CM untuk verifikasi prosedur penyakit serta bagaimana mengaplikasikan aplikasi

INA CBGs agar keluar tarif INA CBGs yang harus dibayarkan oleh BPJS Kesehatan. Selanjutnya, terdapat ketentuan dalam administrasi manajemen klaim oleh BPJS Kesehatan yaitu BPJS Kesehatan wajib membayar fasiltas kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada PPK paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak dokumen klaim diterima lengkap di Kantor BPJS Kesehatan. Padahal sebagian besar staf verifikator BPJS Kesehatan merupakan staf yang baru saja direkrut saat BPJS Kesehatan terbentuk, yaitu satu tahun lalu.

Penelitian Muttaqien (2014) tentang perbandingan tarif appendectomy adalah perbandingan tarif berdasarkan (1) Relative Value Unit (RVU), (2) tarif Indonesia Case Based Group (INA-CBG) dan (3) tarif jasa kolegium ditambah dengan biaya satuan berdasarkan setiap jenis tindakan dan sub diagnostic di kamar operasi, dengan biaya satuan berdasarkan ketiga jenis double distibution yakni dengan DDI untuk Unit Cost I, DDII untuk Unit Cost II dan dengan menggunakan pendekatan DDIII atau Unit Cost III. Tabel 3 menunjukkan perbandingan tarif berdasarkan DDI untuk sub diagnosis Incidental Appendectomy menggunakan tarif kolegium maka besarnya tarif Rp.6.623.466 (CRR=149,7%), dengan memakai tarif INA-CBG Rp.2.155.803

(10)

60

(CRR=48,7%) namun jika memakai RVU tarif sebesar Rp.4.423.466 dengan tingkat pengembalian biaya sebesar 100%. Perbandingan tarif berdasarkan DDII untuk sub diagnosis Laparoscopic Incidental Appendectomy menggunakan tarif kolegium maka besarnya tarif Rp.7.761.870 (CRR=177,9%), dengan memakai tarif INACBG Rp.2.225.256 (CRR=51,0%) namun jika memakai RVU tarif sebesar Rp.4.361.870 dengan 7 tingkat pengembalian biaya sebesar 100%. Perbandingan tarif berdasarkan DDIII untuk sub diagnosis Other incidental appendectomy menggunakan tarif kolegium maka besarnya tarif Rp.7.819.531 (CRR=163,1%), dengan memakai tarif INA-CBG Rp.3.667.456 (CRR=76,5%) namun, jika memakai RVU tarif sebesar Rp.4.795.531 dengan tingkat pengembalian biaya sebesar 100%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan untuk tarif tindakan operasi untuk appendectomy, tarif INACBGS jauh lebih kecil dibandingkan dengan tarif kolegium ataupun tarif relatif value unit. (Achmad, 2015).

Salah satu upaya Pemerintah untuk menekan anggaran kesehatan pada program Jamkesmas adalah digunakannya sistem pembayaran prospektif yaitu Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs). Pada sistem ini pemberi pelayanan ikut menanggung resiko finansial apabila tidak efisien

dalam melaksanakannya. Permasalahan pelaksanaan INA-CBGs, diantaranya terdapat selisih negatif pada kasus-kasus tertentu (Achmad, 2015)

Widyastuti, (2013) meneliti Evaluasi Implementasi INA-CBGS Kasus Diabetes Mellitus Pasien Jamkesmas Rawat Inap Di RSUD A.Wahab Sjahranie Samarinda. Peneliti melakukan evaluasi implementasi INA-CBGs pada kasus diabetes mellitus (DM) pasien Jamkesmas rawat inap di RSUD A.Wahab Sjahranie terhadap pengendalian biaya dan mutu. Variabel yang diteliti yaitu pemahaman dokter PPK tentang sistem pembayaran INA-CBGs, kebijakan RS yang mendorong kendali biaya dan mutu, menilai kelengkapan rekam medis (RM), kepatuhan peresepan sesuai formularium, kesesuaian koding, Perbedaan ALOS dengan ALOS CBGs, selisih tarif RS dengan tarif INA-CBGs. Subyek penelitian adalah dokter PPK, Manajemen RS, rekam medis dengan kriteria inklusi pasien DM dengan kode INA-CBGs 1-41-5 (PRI/BP Gangguan pembuluh darah perifer dan lain) dan resep. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa bahwa dokter PPK kurang memahami tentang sistem pembayaran INA-CBGs karena sosialisasi yang kurang mendalam. Kebijakan RS untuk mengendalikan biaya dan mutu, yaitu 1) Melakukan

(11)

61

sosialisasi. 2) Memberikan kewenangan otorisasi dan pengendalian kepada Tim Pengelola JPKM, Askes dan Jamsostek. 3) Mewajibkan dokter meresepkan obat sesuai formularium Jamkesmas. 4) Adanya prosedur tetap medis akan tetapi belum ada clinical pathways. 5) Mengalihkan pasien DM dengan gangguan sirkulasi perifer rawat inap ke rawat jalan apabila secara medis memungkinkan. Proses dinilai dari rekam medis yang tidak lengkap sebesar 74,98%, kepatuhan penulisan resep yang sesuai dengan formularium Jamkesmas sebesar 97,48%. Peneliti juga menemukan bahwa didapatkan koding yang tidak sesuai 11,36% menyebabkan besaran klaim menjadi lebih rendah. Persentase perbedaan rerata lama hari rawat inap (ALOS) pasien dengan ALOS INA-CBGs sebesar 68,18%. Terdapat selisih negatif (defisit) 67,35% antara tarif RS dan tarif INA-CBGs yaitu sebesar Rp 326.052.522,00. Peneliti menyimpulkan bahwa manajemen RSUD A. Wahab Sjahranie sudah berupaya untuk mengendalikan biaya dan mutu melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, akan tetapi belum efektif pada kasus DM dengan kode INA-CBGs 1-4-15 pasien rawat inap Jamkesmas tahun 2011. Hal tersebut dapat dikarenakan pemahaman dokter PPK tentang INA-CBGs yang kurang, rekam medis yang belum

lengkap terutama dalam penulisan diagnosis sekunder (50%), ALOS pasien jamkesmas lebih lama dari ALOS INA-CBGs (68,64%), sehingga masih didapatkan defisit sebesar Rp 326.052.522,00.

Wijayanti dan Sugiarsi (2013) meneliti Analisis Perbedaan Tarif Riil Dengan Tarif Paket INA-CBGs Pada Pembayaran Klaim Jamkesmas Pasien Rawat Inap Di RSUD Kabupaten Sukoharjo. Peneliti menemukan bahwa terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan antara tarif riil dan tarif paket INA-CBG pada pembayaran klaim Jamkesmas pasien rawat inap di RSUD Kabupaten Sukoharjo (p = 0,001); terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan antara tarif riil dan tarif paket INA-CBG pada pembayaran klaim Jamkesmas pasien rawat inap pelayanan Penyakit Dalam (p = 0,001) serta pelayanan Bedah (p = 0,001) di RSUD Kabupaten Sukoharjo. Peneliti menyimpulkan faktor-faktor yang menimbulkan perbedaan tarif riil dengan tarif klaim Jamkesmas paket INA-CBG pada pelayanan pasien rawat inap di RSUD Kabupaten Sukoharjo, antara lain karena a). Perbedaan standar tarif riil dengan tarif INA-CBG; b). Perbedaan Lama Dirawat (Length of Stay); c). Keberadaan software; d). Ketepatan pengodean diagnosis; e). RSUD belum memiliki clinical pathway.

(12)

62

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian analisis perbedaan tarif riil Rumah Sakit Gunung Maria Tomohon dengan tarif INACBGS dari BPJS untuk pasien bedah secara keseluruhan didapati selisi negatif.

1. Secara keseluruhan untuk kasus bedah yang dilakukan appendectomy selisih yang ditimbulkan hampir separuh dari total tarif rumah sakit yaitu - 49.81 persen, atau subsidi rumah sakit terhadap tindakan ini adalah sebesar Rp - 150.650.993

2. Komponen-komponen biaya paket kelas BPJS pada operasi appendektomi subsidi yang diberikan pihak RS untuk kelas 1 sebesar Rp. 5.830.926,- untuk kelas sebesar 2 Rp. 7.407.381 dan untuk kelas 3 sebesar Rp. 2.214.725,-. Secara rata-rata selisih terbesar di kelas II.

3. Perbedaan antara tarif riil keseluruhan dengan tarif INACBG’S untuk pasien bedah di Rumah Sakit Gunung Maria Tomohon mengalami selisih yang cukup signifikan untuk setiap bulannya. Selisih terbesar berada di bulan April sebesar - 402.328.052. Untuk bulan Oktober terdapat 2 mekanisme klaim yaitu memisahkan

antara cara klaim yang pertama sebelum 25 Oktober dengan menggunakan INACBGS lama sedangkan yang satunya sesudah 26 Oktober dengan menggunakan INACBGS yang baru.

4. Selisih tarif riil dengan tarif INACBGS untuk pasien bedah dengan kelas perawatan kelas II, selisih tertinggi di bulan Juli sebesar -113.164.250. Selisih terkecil berada di bulan Desember sebesar -31.416.894. Total selisih untuk kelas II adalah - 1.008.674.189

5. Untuk klaim BPJS dengan Tarif Riil Rumah Sakit untuk kasus Appendectomy bulan November 2016 mengalami selisih negatif sebesar 53%, sedangkan bulan Desember 2016 dan Januari 2017 masing masing 48 dan 46 persen. Selisih negatif ini diambil setelah dilakukan verifikasi dari tim verifikator BPJS di rumah sakit Gunung Maria Tomohon.

6. Selisi negatif terbesar berada pada kelas perawatan BPJS ke III karena jumlah pasien yang banyak dan LOS yang cenderung kurang terkontrol. 7. Secara rata-rata menurut

komponen-komponen biaya paket kelas BPJS pada operasi appendektomi subsidi yang diberikan pihak RS untuk kelas 1 sebesar Rp. 5.830.926,- untuk kelas sebesar 2 Rp. 7.407.381 dan

(13)

63

untuk kelas 3 sebesar Rp. 2.214.725,- selisih terbesar di kelas II.

8. Kelebihan dan kekurangan menggunakan tarif INACBGS :

a. Kelebihannya adalah seluruh lapiasan masyarakat dapat menikmati keuntungan layanan rumah sakit dengan biaya yang sangat murah.

b. Kekurangannya adalah presentasi nilainya dibawah nilai dari besaran biaya yang dikeluarkan rumah sakit sehingga pihak rumah sakit mengalami defisit.

9. Efisiensi pola tarif terhadap provider a.Tidak efisien jika rumah sakit

tidak membuat clinical pathway dan tidak merevisi atau mencari solusi penggajian atau pembayaran tindakan bedah ini karena tindakan ini masih menggunakan pola yang lama di kala rumah sakit hanya pasien umum semua tanpa asuransi BPJS.

b. Dampak perbedaan tarif yang ditetapkan BPJS mengarahkan ke remunerasi dan kesejahteraan pegawai yang ada di RS baik tenaga medis, non medis

Saran

1. RS Gunung Maria Tomohon perlu membentuk tim kendali mutu dan kendali biaya.

2. RS Gunung Maria Tomohon perlu membuat dan menerapkan clinical pathway sebagai pedoman rumah sakit dalam pelayanan khususnya pada pasien kasus bedah.

3. RS Gunung Maria Tomohon harus memperhatikan LOS (Length Of Stay) dari setiap pasien yang di rawat di rumah sakit, karena LOS yang tinggi menyebabkan selisi negatif yang lebih tinggi.

4. RS Gunung Maria Tomohon perlu meningkatkan tipe kelas rumah sakit supaya tarif INA-CBG’S tidak rendah.

5. RS Gunung Maria Tomohon perlu

DAFTAR PUSTAKA

Achmad R. M. Al-Maidin, dkk. 2013. Perbandingan Tarif Tindakan Operasi Berdasarkan Relative Value Unit (RVU), Indonesia Case Based Groups (INA-CBG’S) dan Tarif Kolegium. RSUD Embung Fatimah Kota Batam Kepulauan Riau.

Anonimous. 2015a. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Kementerian Kesehatan RI.Jakarta. http://www.depkes.go.id/resource

(14)

64

s/download/pusdatin/profil-kesehatan-in. Diakses pada 3 Desember 2016.

Anonimous. 2015b. Satu Tahun Pelaksanaaan Jaminan Kesehatan Nasional. Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.

Anonimous. 2015c. Singapore Health Care System. Singapore Actuarial Society

Anonimous. 2014a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs).Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Amporfu, E. 2013. Equity of the premium of the Ghanaian national health insurance scheme and the implications for achieving universal coverage, International Journal for Equity in Health, 12:4.

Creswell, J. W. 2013. Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif

dan Mixed. Edisi Ketiga. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Kassem Alubaidi, dkk . 2016. Diagnosis

of Acute Appendicitis in

Adults:Role of a Simple Clinical Diagnostic Triad. Scientific Research Publising : Surgical Science, 2016, 7, 191-194 Published Online April 2016 in SciRes. http://www.scirp.org/journal/ss http://dx.doi.org/10.4236/ss.2016. 74026 Rismawati. 2015. Pelayanan BPJS Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Karang Asam Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda. eJournal Ilmu Administrasi Negara. Vol 3 (5) : 1668 – 1682.

Saputra, M. 2015. Program Jaminan Kesehatan Nasional Dari Aspek Sumber Daya Manusia Pelaksana Pelayanan Kesehatan. Jurnal Kesehtan Masyarakat Universitas Negeri Malang, KEMAS. Vol 2 (1).ISSN : 1858 – 1196. Hal 32 – 42.

Smith, O. 2013. ‘UNICO studies series 16: Georgia’s Medical Insurance

(15)

65

Program for the Poor’ The World Bank: Washington D.C.

Sulistyo, H. R. 2015. Pedoman Penyusunan Panduan Praktek Klinis dan Clinical Pathway Dalam Asuhan Terintegrasi Sesuai Standar Akreditasi Rumah Sakit 2012. Jakarta : Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.

Sutoto dan D. B. Wibowo. 2013. Inovasi PERSI Dalam Mutu Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Dalam Skema Jaminan Kesehatan Nasional. Forum Mutu IHQN- 2013. Jakarta.

Wijayanti, A. I. dan Sugiarsih, S. 2012. Analisis Perbedaan tarif Riil Dengan tarif Paket INA-CBGS Pada Pembayaran Klaim Jamkesmas Pasien Rawat Inap Di RSUD Kabupaten Sukoharjo. Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Yu Bai, dkk. 2012. Health System in Singapore. e-paper Singapore Health Insurance

Yulianto, R. 2013. Implementasi pola tarif INA-CBG Dalam Era Jaminan

Kesehatan Nasional. Nasional Casemix Center Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dengan riset Anugrah pada tahun 2013 di Semarang, pada peneltian itu terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dan kapasitas vital paru, juga riset yang

Pasien ke pasien Infeksi dapat berasal dari kontak tidak langsung pada peralatan kedokteran gigi yang tidak dilakukan sterilisasi dengan sempurna dan permukaan

Dari 65% ibu hamil, yang memiliki indeks kejadian periodontitis kategori ringan sebesar 52,4% dan yang memiliki indeks kejadian periodontitis kategori berat sebesar 12,6% dan

Setelah dijelaskan secara terperinci dalam latar belakang tersebut, maka uraian di atas membuat peneliti tertarik untuk menganalisis penempatan Undang-Undang Nomor

Dari hasil pengukuran kelelahan kerja didapatkan hasilpada shift pagi terdapat 1 perawat dengan tingkat kelelahan kerja normal (8,3%), 10perawat mengalami kelelahan

Kesimpulan penelitian ini yaitu faktor iklim organisasi, kepemimpinan dan disiplin kerja terdapat hubungan yang bermakna antara iklim organisasi dengan efektivitas

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara umur, tradisi, promosi kesehatan, dan kebijakan instansi dengan

Kandou Manado Hasil analisis hubungan antara faktor supervisi dengan penerapan universal precaution oleh perawat, menunjukkan bahwa responden dengan beban kerja