• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2 - Gambaran Umum Kondisi Kabupaten Sidoarjo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2 - Gambaran Umum Kondisi Kabupaten Sidoarjo"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

BAB

II

GAMBARAN

UMUM

KONDISI

KABUPATEN

SIDOARJO

II.1. Aspek Geografi dan Demografi II.1.1. Aspek Geografi

II.1.1.1. Karakter Lokasi dan Wilayah

Kabupaten Sidoarjo merupakan Kabupaten di Jawa Timur yang terletak diantara dua sungai besar yaitu Sungai Porong dan Sungai Surabaya sehingga terkenal dengan sebutan kota Delta. Dilihat bentang alam, secara makro, terdiri dari kawasan pantai dan pertambakan di sebelah timur dan daerah permukinan dan pertanian di bagian tengah dan barat. Secara geografis letak Kabupaten Sidoarjo adalah antara 112o5’ – 112o9’ Bujur Timur dan 7o3’ – 7o5’ Lintang Selatan. Di sebelah Utara berbatasan dengan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik, di Sebelah Timur adalah Selat Madura, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan, sedang di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto.

Kondisi topografis Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah delta yang diapit Kali Surabaya (disebelah utara) dan Kali Porong (disebelah selatan) dengan kemiringan tanah 2% (landai), berada pada ketinggian 0-25 meter dpl, daerah Kabupaten Sidoarjo memiliki dua karakteristik air tanah. Dibagian timur seluas 214,20 km2 (29,99%) berketinggian 0-3 meter dpl berair tawar, banyak dimanfaatkan untuk permukiman, perdagangan dan perkantoran. Dibagian barat 208,56 (29,20%) berair tawar, banyak dimanfaatkan untuk pertanian. Pada umumnya kedalaman air tanah berada pada kedalaman 9rata-rata) antara 0-5 m dari permukaan tanah. Secara administratif, Kabupaten Sidoarjo terbagi atas 18 Kecamatan, 322 desa dan 31 kelurahan. Sementara itu desa-desa di Kabupaten Sidoarjo terbagi menjadi desa pedesaan (rural area) dan desa perkotaan (urban area).

Luas wilayah Kabupaten Sidoarjo adalah 71.424,25 Ha dan berdasarkan karakteristik topografinya terbagi atas tiga kelas, yaitu :

• 0-3 meter merupakan daerah pantai dan pertambakan yang berair asin/payau berada di belahan timur seluas 27.011,25 Ha atau 37,82%

• 3-10 meter merupakan daerah bagian tengah sekitar jalan protokol yang berair tawar seluas 25,889 Ha atau 36,24%

(2)

Sedangkan penggunaan tanah di Kabupaten Sidoarjo, meliputi: persawahan 13.544,07 Ha (18,96%): permukiman 23.669,93 Ha (33,14%); perairan darat 17,464,25 Ha (24,45%); industri 2.769,34 Ha (3,88%); hutan bakau 1.010,67 Ha (1,42%); tanah terbuka/kosong 475,20 Ha (0,67%); pertanian 9.252,62 Ha (12,95%); pertambangan 50 Ha (0,07%); lain-lain/jalan & sungai 3.188,08 Ha (4,46%) (BPN dan Bappeda Kabupaten Sidoarjo, 2009).

Tabel II.1

Letak, Tinggi, dan Luas Wilayah menurut kecamatan – Tahun 2008

No. Kecamatan Tinggi Rata – Rata

(m dpl) luas Wilayah (Km2) 1 Sidoarjo 4 62,56 2 Buduran 4 41,025 3 Candi 4 40,668 4 Porong 4 29,823 5 Krembung 5 29,55 6 Tulangan 7 31,205 7 Tanggulangin 4 32,29 8 Jabon 2 80,998 9 Krian 12 32,5 10 Balongbendo 20 31,4 11 Wonoayu 4 33,92 12 Tarik 16 36,06 13 Prambon 10 34,225 14 Taman 9 31,535 15 Waru 5 30,32 16 Gedangan 4 24,058 17 Sedati 4 79,43 18 Sukodono 7 32,678 Jumlah 714,245 Sumber: Kabupaten Sidoarjo dalam Angka 2009

Disamping itu, wilayah Kabupaten Sidoarjo memiliki kandungan gas bumi yang dibentuk oleh batuan alluvium seluas 686,89 Ha tersebar disemua kecamatan, batuan plistosen fasien sedimen terdapat di 6 kecamatan, tanah alluvial kelabu merata di 18 kecamatan, assosiasi alluvial kelabu dan cokelat kekuningan terdapat di 4 kecamatan (Krembung, Balongbendo, tarik, dan Prambon).

(3)

Tabel II.2

Jenis Lapisan Tanah dan Batuan

No. Kecamatan Plistosen Fasien

Sedimen (Ha) Alluvium (Ha) Jumlah (Ha)

1 Sidoarjo 42 6.214,00 6.256,00 2 Buduran 1.469 2.633,50 4.102,50 3 Candi - 40,67 4.066,75 4 Porong - 29,82 2.982,25 5 Krembung - 29,55 2.955,00 6 Tulangan - 31,21 3.120,50 7 Tanggulangin - 32,29 3.229,00 8 Jabon - 81,00 8.099,75 9 Krian - 32,50 3.250,00 10 Balongbendo - 31,40 3.140,00 11 Wonoayu - 33,92 3.392,00 12 Tarik - 36,06 3.606,00 13 Prambon - 34,23 3.422,50 14 Taman 448 2.705,50 3.153,50 15 Waru 384 2.648,00 3.032,00 16 Gedangan 38 2.367,75 2.405,75 17 Sedati 355 7.588,00 7.943,00 18 Sukodono - 32,68 3.267,75 Jumlah 2.736 24.602,07 71.424,25

Sumber: Kabupaten Sidoarjo dalam Angka 2009

Kondisi air tanah di Kabupaten Sidoarjo antara 0 – 5 meter dibawah permukaan tanah. Daerah banjir terbagi menjadi tiga, banjir karena hujan tersebar di 13 kecamatan, banjir periodik disebagian 5 kecamatan, dan banjir karena air pasang berada di sebagian 4 kecamatan.

(4)

Tabel II.3

Luas Daerah Air Hujan dan banjir (Ha) – 2008

Daerah Banjir No. Kecamatan Daerah Air Asin

Stlh Hujan Periodik Air Pasang Air Tanah 0 - 5 M 1 Sidoarjo 4.063,62 308,14 - - 6.256,00 2 Buduran 1.822,50 17,50 - 701,75 4.102,50 3 Candi 667,23 491,30 - - 4.066,75 4 Porong - 14,26 75,50 - 2.982,25 5 Krembung - 17,00 12,00 - 2.955,00 6 Tulangan - 48,00 - - 3.120,50 7 Tanggulangin 640,75 21,25 - - 3.229,00 8 Jabon 4.080,75 216,05 456,00 456,00 8.099,75 9 Krian - 265,75 - - 3.250,00 10 Balongbendo - 30,00 - - 3.140,00 11 Wonoayu - 71,50 - - 3.392,00 12 Tarik - 8,75 - - 3.606,00 13 Prambon - 64,25 - - 3.422,50 14 Taman - - - 3.153,50 15 Waru 740,50 - 740,50 740,50 3.032,00 16 Gedangan 195,75 - - - 2.405,75 17 Sedati 4.101,57 - 387,90 120,30 7.943,00 18 Sukodono - - - - 3.267,75 Jumlah 16.312,67 1.573,75 1.671,90 2.018,55 71.424,25

Sumber: Kabupaten Sidoarjo dalam Angka 2008

Seperti halnya daerah lain yang berada di sekitar garis khatulistiwa, Kabupaten Sidoarjo beriklim tropis dan mengenal 2 musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau berkisar antara bulan Mei sampai September dan di Bulan Oktober sampai Bulan April adalah musim hujan. Suhu udara berkisar 20-35 derajat Celsius.

(5)

Tabel II.4

Jumlah Curah Hujan (mm) Tahun 2008

No. Kecamatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des

1 Sidoarjo 415 243 315 160 88 - 92 - - 34 233 221 2 Buduran 370 145 187 91 70 - 15 - - 35 198 140 3 Candi 312 390 324 106 138 - 40 - - 5 86 289 4 Porong 241 302 170 53 29 25 74 - - 7 238 275 5 Krembung 289 329 365 101 78 10 - - - 18 159 263 6 Tulangan 312 390 324 106 138 - 40 - - 5 86 289 7 Tanggulangin 248 295 242 21 45 10 25 - - - 153 261 8 Jabon 476 567 531 108 26 - - - 3 300 243 9 Krian 270 96 148 45 3 3 22 - - 18 163 264 10 Balongbendo 307 142 227 101 21 11 7 - - 18 264 293 11 Wonoayu 299 247 325 100 30 - 35 - - 8 202 394 12 Tarik - - - - 164 - 13 Prambon 205 252 333 57 41 - - - - 25 109 222 14 Taman 209 84 168 49 38 - - - - 111 115 96 15 Waru 338 134 163 88 72 - - - - 60 176 138 16 Gedangan 329 157 281 124 50 - 25 - - 73 115 185 17 Sedati 346 124 163 85 75 - - - - 37 314 79 18 Sukodono 194 305 360 53 58 - 78 - - 37 - 315

Sumber: Dinas Pengairan Kabupaten Sidoarjo 2008

II.1.1.2. Potensi Pengembangan Wilayah

Penggunaan lahan adalah informasi yang menggambarkan sebaran pemanfaatan lahan yang ada di Kabupaten Sidoarjo. Pola penggunaan lahan di Kabupaten Sidoarjo dapat diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) jenis penggunaan lahan yaitu permukiman, lahan sawah dan perikanan, pertambangan, industri (gudang, zona industri dan kawasan industri), fasilitas umum, perdagangan dan jasa, serta kawasan khusus militer.

Kabupaten Sidoarjo merupakan kawasan pantai dan pertambakan di sebelah timur dan daerah permukinan dan pertanian di bagian tengah dan barat. Sedangkan potensi pengembangan wilayah diarahkan ke pengembangan kawasan: 1. Kawasan Tanaman Pangan

Tanaman pangan diwilayah desa-desa basis pertanian di Kabupaten Sidoarjo diwilayah barat. Oleh karena itu, program yang dicanangkan adalah menetapkan kawasan tanaman pangan yang merupakan lahan produktif (subur) jangan dialihfungsikan keguna lahan non-tanaman pangan. Termasuk, tanaman holtikultura

(6)

meliputi tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan. Jika dipilah meliputi: tomat, salak, pisang, pepaya, kacang panjang, terong, lombok,s emangka, kubis, melon. Potensi tersebut mempunyai kecenderungan wilayah yang memiliki. Dengan demikian perlu membuat program kawasan sentra-sentra holtikultura.

2. Kawasan Perikanan Darat dan Laut

Kawasan perikanan yang meliputi ikan lele, ikan gurami, dan ikan tambak sebenarnya yang cukup menonjol jika dibandingkan sektor peternakan, sehingga perlu menyediakan lahan untuk kawasan perikanan didaerah-daerah tertentu disetiap wilayah. Sementara potensi ikan laut yang cukup besar juga perlu terus ditingkatkan dan didorong dengan penguatan sarana pendukung dari instansi teknis.

Dengan demikian, program yang perlu dicanangkan adalah penyebarluasan (ekstensifikasi) kawasan perikanan darat, revitalisasi perikanan laut, dan pemanfaatan sumber daya laut sekaligus upaya konservasi pinggiran pantai.

3. Kawasan Pengembangan Industri kecil dan Sedang

Kawasan industri sebarannya merata diseluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Sidoarjo. Hal ini telah diuraikan pada bahasan skenario prioritas pengembangan untuk sektor industri. Oleh karena itu, dalam program perlu dicanangkan adalah menentukan sentra-sentra kawasan industri berdasarkan spesifikasi jenis industri, misalkan:

- Sentra kawasan inddustri hasil-hasil perikanan laut seperti petis, kerupuk ikan, terasi berada disentra-sentra nelayan (pantai) misalkan Jabon, Sidoarjo, dll. - Sentra kawasan industri kecil kulit di Tanggulangin

Dengan pola clustering serta peningkatan program kemitraan menjadi daya dorong dalam memperkuat basis industri kecil yang diusahakan oleh masyarakat serta sebagai upaya meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja. .

II.1.2. Aspek Demografi

Jumlah penduduk dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup tinggi berdasarkan laporan perkembangan penduduk bulan Desember tahun 2009 berjumlah 1.964.759.jiwa sedangkan tahun 2005 sejumlah 1.448.393 jiwa. Pada tahun 2009, Kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Waru yaitu 210.592 jiwa, sedangkan tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain adalah Kecamatan Gedangan (8006 jiwa/km2). Sedangkan Kecamatan Jabon memiliki penduduk paling sedikit

(7)

yaitu 58.274 jiwa dan sekaligus menjadi kecamatan dengan kepadatan terendah 729 jiwa /km2.

Grafik II.1

Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Sidoarjo

Sumber data : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab Sidoarjo, 2009

Dari data diatas, dapat diketahui bahwa rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Sidoarjo tahun 2005-2010 adalah sebesar 7,08%. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan penduduk paling besar terjadi pada tahun 2007-2008 sebesar 13,54%. Sedangkan pada tiga tahun terakhir laju pertumbuhan penduduk mulai menurun, yaitu tahun 2008-2009 sebesar 9,08% dan tahun 2009-2010 sebesar 3,39%.

Sedangkan berdasar struktur umur penduduk dapat diketahui apakah penduduk termasuk dalam struktur “muda atau tua”. Struktur penduduk dikatakan muda apabila proporsi penduduk usia 0 – 14 tahun sekitar 40 persen dan dikatakan tua bila proporsi penduduk usia 65 tahun ke atas mencapai 10 persen atau lebih.

Berdasarkan ketentuan tersebut ternyata struktur umur penduduk Kabupaten Sidoarjo adalah struktur umur peralihan karena tidak dapat digolongkan kedalam kedua kelompok tersebut. Namun mengarah ke struktur penduduk muda karena penduduk umur 65+ tahun kurang dari 5 persen dan penduduk usia produktif (15-64 tahun) mendominasi seluruh penduduk yaitu sekitar 70 persen dari total penduduk.

Pada tahun 2009, jumlah penduduk Kabupaten Sidoarjo apabila dikelompokkan ke dalam jenis usia maka komposisi penduduk dengan kelompok umur 0 – 3 tahun sebanyak 36,128 orang, umur 4 – 6 tahun sebanyak 68,835 orang, umur 7 – 12 tahun sebanyak 201,959 umur 13 – 15 tahun sebanyak 100,741 orang, umur 16 – 18 tahun sebanyak 95,922 orang dan umur 19 tahun keatas sebanyak 1,461,174 orang.

0

500000

1000000

1500000

2000000

2500000

1448393 1480360

1586296

1801157

1964759 2031362

Jumlah

Pemduduk

2005

2006

2007

2008

2009

2010

(8)

Grafik II.2

Komposisi Penduduk Menurut Usia pada Tahun 2009

Usia 0 - 3 2% Usia 4 - 6 4% Usia 7 - 12 10% Usia 13 - 15 5% Usia 16 - 18 5% Usia 19 keatas 74%

Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Sedang komposisi Penduduk Kabupaten Sidoarjo berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada tabel II.5 sedang komposisi penduduk berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada grafik II.2.

Tabel II.5

KK Menurut Mata Pencaharian

Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Tahun Mata Pencaharian 2005 2009 PNS 38.470 34.634 TNI 15.277 19.827 POLRI 4.328 28.968 Swasta 294.219 310.354 Wiraswasta 81.521 84.898 Petani 80.268 71.801 Pertukangan 25.985 26.366 Buruh Tani 73.759 59.231 Pensiunan 15.413 22.004 Nelayan 1.733 1.793 Pemulung 1.412 613 Jasa 10.437 12.677 Jumlah 642.822 673.166

Berdasarkan tabel II.5 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Kabupaten Sidoarjo yang terbesar berdasarkan mata pencaharian adalah bidang swasta, yaitu sebanyak 310,354 jiwa atau 15,8% dari total penduduk, sedang jumlah penduduk Kabupaten Sidoarjo yang terbesar berdasarkan tingkat pendidikan sebagaimana dapat dilihat pada tabel II.5, adalah penduduk dengan tingkat pendidikan SLTA sebanyak 537.358 jiwa atau 32,14%dari total penduduk.

(9)

Tabel II.6

Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Tahun 2005 dan 2009

Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Tahun Pendidikan 2005 2009 TK 71.605 43.856 SD 285.399 519.481 SLTP 199.811 316.626 SLTA 184.527 537.358 D1/D2/D3 48.454 113.023 S1/S2/S3 59.409 141.458

II.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat

II.2.1. Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi

II.2.1.1. Pertumbuhan Produk Domestic Regional Brutto (PDRB)

Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, PDRB (atas dasar harga konstan) Kabupaten Sidoarjo mengalami peningkatan setiap tahunnya (ditunjukkan dalam tabel II.7). Pada tahun 2009, dari sembilan sektor pembangunan, sektor Industri pengolahan memiliki sumbangan PDRB tertinggi, yaitu sebesar 45,18 %; disusul oleh PHR (perdagangan, hotel dan restoran) sebesar 30,03 %; Angkutan dan Komunikasi sebesar 10,09 %; jasa-jasa sebesar 5,30 %; pertanian sebesar 3,52 %; listrik, gas dan air bersih sebesar 2,03 %; konstruksi sebesar 2,01 %; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 1,28 %; dan pertambangan dan penggalian sebesar 0,55 %.

Tabel II.7

PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2005-2009 (juta rupiah)

Sektor 2005 2006 2007 2008 2009

Pertanian 828.351 829.911 831.105 845.624 864.735 Pertambangan dan

Penggalian 315.760 259.362 165.902 152.857 136.239 Industri Pengolahan 10.061.003 10.355.908 10.579.786 10.801.437 11.107.118 Listrik Gas dan Air Bersih 347.669 381.446 418.672 458.506 498.809 Konstruksi 437.684 448.725 456.972 474.085 494.802 PHR 4.831.979 5.398.730 6.082.867 6.787.302 7.382.548 Angkutan dan Komunikasi 2.230.697 2.360.035 2.441.601 2.416.178 2.480.690 Keuangan Persewaan dan

Jasa Perusahaan 267.710 276.812 292.861 303.956 315.780 Jasa-jasa 880.511 976.797 1.079.818 1.190.064 1.302.645

TOTAL PDRB 20.201.364 21.287.727 22.349.584 23.430.009 24.583.365 Sumber: Badan Pusat statistik Kabupaten Sidoarjo, 2009

(10)

II.2.1.2. Laju Inflasi

Tabel II.8

Inflasi dan Laju Inflasi Kabupaten Sidoarjo Tahun Tingkat Inflasi

2005 5,23% 2006 6,32% 2007 7,05% 2008 8,96% 2009 3,79% 2010 5,86%

Sumber: Badan Pusat statistik Kabupaten Sidoarjo

Secara kumulatif, selama tahun 2010 sampai bulan Nopember laju inflasi Kabupaten Sidoarjo mencapai 5,86%, kondisi ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kumulatif inflasi selama tahun 2009 yang mencapai 3,79%. Rata-rata laju inflasi antara tahun 2005-2010 sebesar 6,20%.

II.2.2. Fokus Kesejahteraan Sosial

II.2.2.1. Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan perbandingan antara jumlah anak usia 7 – 12; 13 – 15 dan 16 - 18 tahun yang bersekolah di SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA/SMK dibagi seluruh jumlah anak usia 7 – 12; 13 – 15 dan 16 - 18 tahun untuk jenjang pendidikan tersebut. APM yang dicapai pada tahun 2010 untuk SD/MI sebesar 98,72%, SMP/MTs sebesar 73,31% dan SMA/MA/SMK sebesar 61,04%. Perkembangan Angka Partisipasi Murni (APM) selama lima tahun pada masing-masing jenjang pendidikan terlihat pada grafik berikut ini:

Grafik II.3

Perkembangan Angka Partisipasi Murni (APM)

85,05 71,06 75,91 92,89 72,18 73,17 37,89 37,32 61,71 61,74 52,3 61,04 107,46 107,61 111,82 113,15 101,5 98,72 0 50 100 150 200 250 300 2005 2006 2007 2008 2009 2010 p e rc e n ta g e (% ) SD/ MI SMP/ MTs SMA/ MA/ SMK

(11)

Dari grafik II.3 dapat dilihat bahwa APM untuk jenjang pendidikan SD/MI selama enam tahun berfluktuasi dan menunjukkan tren menurun. APM untuk jenjang pendidikan SD/MI dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 98,72%. APM untuk jenjang pendidikan SMP/MTs selama enam tahun berfluktuasi dan menunjukkan tren menurun. APM untuk jenjang pendidikan SMP/MTs dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 mengalami kenaikam sebesar 73,17%. Sedangkan APM untuk jenjang pendidikan SMA/MA/SMK selama enam tahun berfluktuasi dan menunjukkan tren meningkat. APM untuk jenjang pendidikan SMA/MA/SMK tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 61,04%.

Sedangkan Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan perbandingan antara jumlah seluruh murid sekolah untuk jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah seluruh anak usia sekolah untuk jenjang pendidikan tersebut. APK yang dicapai pada tahun 2010 untuk SD/MI sebesar 109,96%, SMP/MTs sebesar 98,17% dan SMA/MA/SMK sebesar 82,69%. Perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) selama enam tahun pada masing-masing jenjang pendidikan terlihat dalam grafik sebagai berikut :

Grafik II.4

Perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK)

Sumber data: Dinas Pendidikan

Berdasarkan grafik II.4 menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang pendidikian SD/MI tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 9,69%. Penurunan ini menunjukkan bekurangnya anak usia 7-12 tahun dari Kabupaten lain yang bersekolah di Kabupaten dan berkurangnya anak usia di bawah tujuh tahun masuk SD/MI.

(12)

APK untuk jenjang pendidikan SMP/MTs tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 1,50%. Sedangkan APK untuk jenjang pendidikan SMA/MA/SMK tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 juga mengalami peningkatan sebesar 21,74%.

II.2.2.2. Prosentase angka kelulusan sekolah

Untuk menilai kualitas secara umum dalam penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten diukur dengan angka kelulusan. Kemampuan sekolah untuk meluluskan anak didiknya akan berbanding lurus dengan kualitas tersebut.

Perkembangan angka kelulusan tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 untuk jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA/SMK terlihat pada grafik berikut ini:

Grafik II.5

Perkembangan Angka Kelulusan

Sumber Data : Dinas Pendidikan

II.2.2.3. Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita II.2.2.3.1. Angka Kematian Bayi

Untuk menilai hasil dari pelayanan kesehatan terhadap bayi dan balita dilakukan melalui beberapa standar pelayanan kepada bayi dan balita. Target angka kematian bayi tahun 2010 yang ditetapkan adalah sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup. Realisasi angka kematian bayi pada tahun 2010 adalah sebesar 9,60 per 1000 kelahiran hidup. Dengan demikian angka capaian ini telah sesuai

(13)

dengan target yang ditentukan. Perkembangan angka kematian bayi untuk tahun 2005 sampai dengan 2010 terlihat pada grafik berikut ini :

Grafik II.6

Perkembangan Angka Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Hidup

Sumber data : Dinas Kesehatan

Apabila dilihat dari perkembangan selama lima tahun, realisasi angka kematian bayi menurun sebesar 9,60% yaitu dari sebesar 12,5 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2005 menjadi sebesar 9,60 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Dengan semakin menurunnya angka ini menunjukkan bahwa kinerja pelayanan kesehatan khususnya terhadap bayi selama enam tahun telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

II.2.2.3.2. Angka Kematian Balita

Grafik II.7 Angka Kematian Balita

(14)

Perkembangan angka balita selama enam tahun 2001 – 2010 mengalami penurunan hingga pada tahun 2010 yang hanya sebesar 10,18 per 1000 kelahiran hidup. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah bayi yang meninggal setiap tahunnya semakin berkurang.

II.2.2.4. Balita dengan Gizi Buruk

Balita gizi buruk adalah balita dengan status gizi yang diukur menurut berat badan dan tinggi badan dengan Z score < -3 dan atau dengan tanda-tanda klinis (marasmur, kwashiorkor, marasmus kwashiorkor).Target balita dengan gizi buruk setiap tahunnya adalah sebesar <0,1 % dari jumlah yang diperiksa/ditimbang. Perkembangan balita gizi buruk selama lima tahun terlihat pada grafik berikut ini :

Grafik II.8

Perkembangan Balita dengan Gizi Buruk dari Jumlah Balita yang Ditimbang

Sumber data: Dinas Kesehatan

Selama lima tahun jumlah balita gizi buruk semakin menurun. Realisasi jumlah balita gizi buruk tahun 2010 sebanyak 0,04% dari jumlah balita yang ditimbang. Jumlah ini turun dibanding tahun 2005 yang sebanyak 0,17%. Jika dibandingkan dengan target setiap tahunnya yang sebesar 0,1 % maka capaian tahun 2009 yang sebesar 0,04% telah melampaui target yang ditetapkan.

Hambatan yang dihadapi dalam kasus gizi buruk ini antara lain :

1. Pada umumnya kasus gizi buruk bukan murni karena kekurangan asupan gizi, tetapi terdapat penyakit penyerta dan kelainan bawaan yang memperparah kondisi balita sehingga sulit ditangani

2. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi 3. Faktor sosial ekonomi masyarakat yang rendah Untuk itu perlu dilakukan hal-hal antara lain :

1. Memotivasi masyarakat secara terus menerus dengan kerja sama lintas program dan lintas sektor

(15)

2. Membentuk Pos Gizi (kegiatan praktek perilaku pemulihan gizi) melalui pendekatan Positive Deviance (Penyimpangan Positif – perilaku berbeda dari masyarakat kurang mampu tetapi mempunyai balita dengan status gizi yang baik)

3. Dukungan pemerintah melalui intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Pemulihan.

II.2.2.5. Prevelensi Gizi Kurang

Grafik II.9 Prevelensi Gizi Kurang

Sumber: Dinas Kesehatan

Perkembangan prevelensi gizi kurang pada tahun 2010 meningkat sebesar 9,36% jika dibanding pada tahun sebelumnya, 2009 yang hanya sebesar 8,16%. Apabila dibandingkan dengan target sebesar <11% dari jumlah balita yang diperiksa, prevalensi gizi kurang di Kabupaten pada tahun 2005-2010 sudah memenuhi target. Akan tetapi harus tetap diwaspadai karena balita gizi kurang apabila tidak ditangani secara akurat dapat jatuh pada kondisi gizi buruk.

Hambatan yang ada pada penanganan balita gizi kurang antara lain : • Kurang pengetahuan masyarakat tentang gizi

• Faktor sosial ekonomi yang kurang

Untuk itu perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :

• Promosi kesehatan khususnya masalah gizi balita secara terus menerus diantaranya melalui kegiatan Posyandu.

• Meningkatkan peran serta masyarakat terutama pada kegiatan Posyandu sehingga status gizi balita dapat terpantau secara berkala.

• Dukungan Pemerintah untuk pengadaan PMT bagi balita gizi kurang untuk mencegah agar tidak jatuh pada kondisi gizi buruk.

(16)

II.2.2.6. Perkembangan Kecamatan Bebas Rawan Gizi Grafik II.10

Perkembangan Kecamatan Bebas Rawan Gizi

Sumber: Dinas Kesehatan

Perkembangan kecamatan bebas rawan gizi pada tahun 2010 menurun sebesar 88,88% jika dibandingkan pada tahun 2009 sebesar 94,44%. Pada tahun 2005 perkembangan kecamatan bebas rawan gizi belum memenuhi target, yaitu hanya 77,78% dari target yanyang ditetapkan sebesar 90%. Tahun 2006-2010 pencapaian kecamatan bebas rawan gizi sudah memenuhi target, bahkan pada tahun 2008 semua kecamatan di Kabupaten bebas rawan gizi. Untuk itu perlu promosi kesehatan terus menerus terutama tentang pengetahuan gizi masyarakat agar pengetahuan dan pemahaman masyarakat meningkat, sehingga prevalensi balita KEP dapat ditekan.

II.2.2.7. Jumlah keluarga miskin

Perkembangan jumlah keluarga miskin tahun 2008 dan tahun 2009 adalah sebagaimana terlihat pada grafik berikut ini:

Grafik II.11 Jumlah Keluarga Miskin

47877 53053 52495 67459 61971 61971 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(17)

Dari grafik II.11 terlihat bahwa pada tahun 2008 ditemukan jumlah keluarga miskin sebanyak 67.459 jiwa dan tahun 2010 menurun menjadi sebanyak 61.971 jiwa. Pada tahun 2010 target persentase jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk adalah 9,65%. Kondisi diatas tidak dapat dibandingkan secara langsung dari tahun ke tahun. Hal itu karena data tahun 2005 didasarkan pendataan statistik untuk dasar program Bantuan Langsung Tunai (BLT), data tahun 2006 dan 2007 didasarkan pendataan menggunakan 11 indikator, sedangkan data tahun 2008 dan tahun 2009 didasarkan pendataan menggunakan 14 indikator, sehingga tidak bisa dibandingkan. Namun berdasarkan kesepakatan bersama antara Pemkab dan Pemprov Jawa Timur, data tahun 2009 jumlah keluarga miskin sebanyak 61.971 RTS ditetapkan sebagai titik 0 (NOL) kemiskinan Sidoarjo. Pada tahun 2010 jumlah keluarga miskin masih sama dengan kondisi tahun 2009. Hal ini karena BPS tidak mendata jumlajh keluarga miskin tiap tahun.

Data jumlah keluarga miskin diatas akan menjadi acuan bagi semua SKPD yang melaksanakan kegiatan pengatasan kemiskinan. Disamping jumlah penduduk miskin sebesar 61.971 KK (193.394 jiwa) yang merupakan data acuan JAMKESMAS, juga terdapat masyarakat miskin sejumlah 27.224 orang yang merupakan data acuan JAMKESDA meskipun data ini perlu diverivikasi kehandalannya.

II.2.2.8. Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

Perkembangan jumlah PMKS tahun 2008 dan tahun 2010 adalah sebagaimana terlihat pada grafik berikut ini:

Grafik II.12 Jumlah PMKS

Sumber Data : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja

Dari grafik II.12 terlihat bahwa pada tahun 2008 ditemukan PMKS sebanyak 44.110 jiwa dan tahun 2010 menurun menjadi sebanyak 32.489 jiwa. Apabila

(18)

dibandingkan dengan target tahun 2010 yang sebanyak 34.845 jiwa, capaian kinerja indikator ini sebesar 107,25%. Sedangkan jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2009 terjadi penurunan jumlah PMKS sebanyak 2.356 jiwa atau 6,76%. Menurunnya jumlah PMKS di Kabupaten Sidoarjo karena :

• Menurunnya angka kemiskinan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang berpengaruh pada meningkatnya kualitas hidupyang layak dan bermartabat.

• Meningkatnya sumber daya manusia yang berkualitas dengan terselenggaranya pendidikan ketrampilan baik formal maupun informal yang diselenggarakan baik oleh Pemerintah, swasta maupun stakeholders yang lain.

• Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial (PMKS).

• Meningkatnya kemampuan, kepedulian dan tanggung jawab serta peran aktif dunia usaha dan masyarakat dalam menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan.

• Meningkatnya prakasa dan peran aktif masyarakat termasuk mesyarakat mampu, dunia usaha, perguruan tinggi dan organisasi sosial/LSM dalam menyelenggarakan pembangunan kesejahteraan sosial secara terpadu dan berkelanjutan.

(19)

II.2.2.9. Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteran Sosial (PMKS) yang Dibantu

Grafik II.13

Jumlah PMKS yang Dibantu

Sumber Data : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja

Jumlah PMKS yang dibantu pada tahun 2009 dan 2010 meningkat drastis sebesar 789 PMKS pada tahun 2009 dan sebesar 822 PMKS pada tahun 2010. Apabila dibandingkan dengan jumlah PMKS yang dibantu tahun 2009 terjadi peningkatan sebanyak 33 jiwa, atau meningkat 4,18%. Sedangkan apabila dibandingkan dengan target jumla PMKS yang dibantu tahun 2010 yang sebanyak 789 jiwa, capaian kinerja indikator ini sebesar 104,18%.

II.2.2.10. Jumlah Rumah Tidak Layak Huni yang Direhap

Keberhasilan pembangunan dalam rangka penenggulanagan kemiskinan tidak lepas dari peran serta masyarakat untuk menunjang upaya pemerintah dalam rangka peningkatan pembangunan yang berbasisi sosial dasar masyarakat sesuaidengan yang tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Hal tersebut merupakan bentuk komitmen guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bentuk upaya tersebut antara lain adalah pembangunan rehab rumah tidak layak huni bagi keluarga miskin yang telah dilaksanakan setiap tahun sejak tahun 2005.

Jumlah rumah tidak layak huni hasil pendataan sebanyak 7.019 rumah, jumlah tersebut selama tahun 2006-2009 telah direalisasikan dirahabilitasi melalui bantuan anggaran pemerintah kabupaten sebanyak 5.269 rumah atau 75,07%.

(20)

Grafik II.14

Jumlah Rumah Tidak Layak Huni yang Direhab

0 500 1000 1500 2000 2500 rumah 250 1.019 1.000 2.250 750 1.250 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : BPMPKB, 2010

Pada tahun 2010 terealisasi untuk rehabilitasi rumah yang tidak layak huni senayak 1.250 rumah yang terdiri dari 1.000 rumah menggunakan anggaran Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan 250 rumah menggunakan anggaran Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan partisipasi masyarakat sebesar Rp. 563.771.100,-. Dengan terealisasinya perbaikan pada tahun 2010 maka pada akhir tahun 2010 jumlah rumah tidak layak huni tinggal 500 rumah. Rehabilitasi rumah tidak layak huni ini memang belum seluruhnya selesai pad tahun 2010, hal ini karena menyesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Pada masa yang akan datang akan dipikirkan strategi bantuan rebab rumah tidak layak huni ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi jug asekiranya melibatkan masyarakat maupun perusahaan melalui program community develpoment.

II.2.2.11. Kesempatan Kerja

II.2.2.11.1. Jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja

Jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja pada periode 2006-2010 berfluktuasi dan menunjukkan tren menurun. Tahun 2006 jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja adalah 90.574 orang. Tahun berikutnya, tahun 2007, jumlah angkatan yang tidak bekerja melonjak menjadi 115.408 orang. Sedangkan pada tahun 2008, jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja sedikit menurun menjadi 110.158 orang. Jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja terendah terjadi pada

(21)

tahun 2010 yaitu sebanyak 83.603 orang. Perkembangan jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja dapat dilihat pada grafik II.14 berikut ini.

Grafik II.15

Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja yang Tidak Bekerja

50.000 100.000 150.000 2006 2007 2008 2009 2010 Orang 90.574 115.408 110.158 93.344 83.603

Perkembangan jumlah angkatan kerja yang

tidak bekerja

Sumber data: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja

II.2.2.11.2. Jumlah angkatan kerja

Jumlah angkatan kerja tahun 2006-2010 berfluktuasi, yaitu dari sebanyak 910.851 orang pada tahun 2007 menjadi sebanyak 924.661 orang pada tahun 2008 atau naik sebesar 1,52%.

Grafik II.16

Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja

800.000 850.000 900.000 950.000 1.000.000 1.050.000 2006 2007 2008 2009 2010 Orang 893.573 910.851 924.661 916.206 1.001.22 893.573 910.851 924.661 916.206 1.001.225

Sumber data: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja

II.2.2.11.3. Jumlah tenaga kerja yang ditempatkan

Jumlah tenaga keja yang berhasil ditempatkan selama enam tahun sebanyak 20.984 orang atau rata rata per tahun 3.497 orang, dan berfluktuasi

(22)

di setiap tahunnya. Perkembangan jumlah tenaga kerja yang ditempatkan selama lima tahun dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Grafik II.17

Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja yang Ditempatkan

Sumber data: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja

Jumlah tenaga kerja yang berhasil ditempatkan pada tahun 2010 meningkat sebesar 424,71% dibanding dengan tahun 2009. Sedangkan apabila dibandingkan dengan target tahun 2010 yang ditetapkan sebesar 9.437 orang, terget kinerja tercapai 100%. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang ditempatkan pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2009 karena :

• Penyebaran informasi lowongan kerja melalui PO BOX 1500.

• Kerjasama lembaga penempatan tenaga kerja swasta, bursa kerja khususnya bursa kerja swasta.

• Banyaknya rekruitmen dai perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.

II.2.2.12. Angka Kriminalitas

Selama lima tahun angka kriminalitas berfluktuasi dalam kisaran angka 1.000 - 1.800 kejadian setiap tahunnya. Pada tahun 2005 – 2007 angka kriminalitas cenderung turun dan naik pada tahun 2008 dan 2009. Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 s/d 2009 berpengaruh pada perekonomian baik secara nasional maupun regional khususnya terhadap lonjakan harga sembako. Kondisi tersebut berpengaruh pada pola pikir sebagian masyarakat yang mengambil jalan pintas dalam memenuhi kebutuhannya. Perkembangan angka kriminalitas selama lima tahun dapat dilihat pada grafik berikut ini:

(23)

Grafik II.18

Perkembangan Angka Kriminalitas

-500 1.000 1.500 2.000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1.243 1.224 1.200 1.466 1.741 1.067 Ke ja d ia n

Perkembangan angka Kriminalitas

Sumber Data : Bakesbangpol dan linmas

Upaya yang telah dilakukan selama tahun 2005 - 2010 dalam menekan angka kriminalitas adalah:

1. Menyelenggarakan diklat Pam Swakarsa

2. Menambah frekuensi koordinasi dengan aparat keamanan Kecamatan dan Desa serta pemanfaatan potensi ang ada untuk kelancaran informasi

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat pada keamanan dan ketertiban masyarakat

4. Menyelenggarakan Rakor Kominda

5. Menyelenggarakan Lomba Cipta Kampung Aman

6. Menambah pasukan keamanan pada bank-bank yang dinilai rawan terhadap perampokan nasabah dan meningkatkan keamanan di ATM-ATM dan pusat perbelanjaan

(24)

II.2.2.13. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Grafik II.19

Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Sumber: Dinas Pendidikan

Pada tahun 2008, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 75,35%. Pada tahun 2009 sebesar 75,60%, dan pada tahun 2010 target IPM sebesar 75,89%. Hal ini dapat dilihat bahwa ada peningkatan IPM dari tahun ke tahun. Disusul dengan peningkatan Angka Partisipasi Sekolah dan peningkatan daya beli masyarakat dari tahun 2008 sampai tahun 2009 sebesar 10,23%.

(25)

II.2.2.14. Perkembangan Usia Harapan Hidup

Grafik II.20

Perkembangan Usia Harapan Hidup

Sumber: Dinas Pendidikan

Perkembangan usia harapan hidup pada tahun 2010 mengalami kenaikan menjadi 70,39 dibanding pada tahun 2009 yang hanya sebesar 70,13.

II.2.2.15. Perkembangan Angka Melek Huruf

Grafik II.21

Perkembangan Angka Melek Huruf

(26)

Perkembangan angka melek huruf selama lima tahun 2005 - 2010 mengalami kenaikan. Hanya pada tahun 2009 yang turun sebesar 97,09% dan pada tahun 2010 mengalami kenaikan kembali menjadi sebesar 97,29%.

II.2.2.16. Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah Penduduk

Grafik II.22

Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah Penduduk

Sumber: Dinas Pendidikan

Perkembangan rata-rata lama sekolah penduduk di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2009 sebesar 9,52 dan pada tahun 2010 tidak mengalami kenaikan, tetap sebesar 9,52.

II.2.3. Seni Budaya dan Olahraga

II.2.3.1. Jumlah Kelompok Seni dan Budaya

Untuk menopang pelestarian seni dan budaya maka harus dijaga eksistensi kelompok seni dan budaya yang ada di masyarakat. Berdasarkan perhitungan di tahun 2009, realisasi jumlah kelompok seni dan budaya yang ada sebanyak 199 kelompok. Perkembangan jumlah kelompok seni budaya tahun 2005 – 2009 sebagai berikut:

(27)

Grafik II.23

Perkembangan Jumlah Kelompok Seni Budaya

177

177

179

199

199

379

0 50 100 150 200 250 300 350 400 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Sumber Data : Kantor Parbudpora

Berdasarkan grafik II.22 menunjukkan bahwa jumlah kelompok seni dan budaya cenderung mengalami peningkatan. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2009 meningkat sebanyak 22 kelompok. Meningkatnya jumlah kelompok seni dan budaya ini mengindikasikan adanya peningkatan perhatian masyarakat terhadap seni dan budaya. Peningkatan animo ini perlu didukung oleh pemerintah kabupaten sehingga jumlah kelompok yang banyak tersebut dapat diikuti dengan peningkatan prestasi.

II.3. Aspek Pelayanan Umum II.3.1. Fokus Layanan Urusan Wajib II.3.1.1. Pendidikan

II.3.1.1.1. Perkembangan Angka Putus Sekolah Grafik II.24

Perkembangan Angka Putus Sekolah

(28)

Perkembangan angka putus sekolah pada tahun 2010 untuk SD/MI sebesar 0,02%, SMP/MTs sebesar 0,15%, dan SMA/MA/SMK sebesar 0,47%. Angka ini tidak terlalu berbeda jika dibandingkan dengan angka putus sekolah pada tahun 2009.

II.3.1.1.2. Rasio ideal prasarana & sarana pendidikan terhadap jumlah murid Selain ketersediaan guru berkualitas dan berkeahlian yang cukup, ketersediaan sarana yang layak merupakan modal dasar agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar, sehingga keberadaannya harus senantiasa ditingkatkan. Indikator kinerja yang digunakan adalah:

II.3.1.1.2.1. Rasio jumlah guru terhadap jumlah murid

Rasio ini dapat dihitung dari jumlah murid dibanding dengan jumlah guru. Target nasional berdasarkan standar ideal indikator pemerataan pendidikan yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Statistik Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional adalah SD/MI sebesar 1:40, SMP/MTs sebesar 1:21 dan SMA/MA/SMK sebesar 1:21. Perkembangan rasio jumlah guru dan murid pada masing-masing jenjang pendidikan tahun 2005 – 2010 adalah sebagai berikut:

Tabel II.9

Perkembangan Rasio Jumlah Guru dan Murid Tahun 2005-2010

Tahun No Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 2 3 SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK 1/23 1/16 1/13 1/22 1/13 1/13 1/22 1/16 1/15 1/20 1/10 1/16 1/18 1/16 1/17 1/19 1/14 1/14

Sumber Data : Dinas Pendidikan

Rasio tersebut menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan guru baik pada jenjang SD/MI, SMP/MTs maupun jenjang SMA/MA/SMK telah mencukupi dibandingkan dengan jumlah murid yang ada.

II.3.1.1.2.2. Rasio jumlah kelas terhadap murid

Rasio ini dapat dihitung dari jumlah kelas dibanding dengan jumlah murid. standar nasional berdasarkan standart ideal indikator pemerataan pendidikan yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Statistik Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional adalah SD/MI sebesar 1 : 30, SMP/MTs sebesar 1 : 36 dan SMA/MA/SMK 1 : 33

(29)

Perkembangan jumlah murid dan jumlah kelas pada masing-masing jenjang pendidikan untuk tahun 2005 sampai dengan 2010 terlihat pada tabel berikut ini :

Tabel II.10

Perkembangan rasio jumlah kelas dan murid tahun 2005-2010

Tahun No Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 2 3 SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK 1/24 1/52 1/42 1/15 1/40 1/38 1/29 1/38 1/38 1/22 1/39 1/40 1/17 1/38 1/40 1/30 1/36 1/33

Sumber Data : Dinas Pendidikan

Berdasarkan rasio tersebut terlihat bahwa jumlah murid SD/MI yang ada telah seluruhnya tertampung pada kelas yang tersedia. Sedangkan pada jenjang SMP/MTs dan SMA/MA/SMK daya tampung kelas terhadap jumlah murid yang ada pada tahun 2005-2010 melampaui standar nasional terutama pada jenjang SMP/MTs. Rasio ini pada tahun 2006 sampai dengan 2010 mengalami perbaikan yaitu telah berada pada kisaran rasio standar nasional yang sebesar 1/40.

II.3.1.1.3. Kondisi Sekolah

Perkembangan kondisi sekolah pada masing-masing jenjang pendidikan untuk tahun 2005 sampai dengan 2010 terlihat pada tabel berikut ini :

Tabel II.11

Perkembangan Kondisi Sekolah dengan kondisi Baik

Tahun No Keterangan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Baik SD/MI 60,91 61,2 61,05 69,88 63,65 71,96 SMP/MTs 86,62 89,8 87,05 90,93 88,36 91,02 SMA/MA/SMK 89,81 91,2 87,45 92,31 90,35 94,68 2 Sedang SD/MI 21,04 20,87 21 17,27 17,9 16,08 SMP/MTs 9,85 8,14 10,71 6,76 8,33 6,63 SMA/MA/SMK 8,07 7,22 10,76 5,58 6,01 3,86 3 Rusak SD/MI 18,05 17,93 17,95 12,85 18,45 11,96 SMP/MTs 3,53 2,06 2,24 2,3 3,31 2,36 SMA/MA/SMK 2,12 1,58 1,78 2,11 3,64 1,46

(30)

II.3.1.2. Kesehatan

II.3.1.2.1. Angka Kematian Ibu

Kematian Ibu adalah kematian yang terjadi pada ibu karena peristiwa kehamilan, persalinan dan masa nifas. Target angka kematian ibu setiap tahunnya sebesar 112 per 100.000 kelahiran hidup.Perkembangan angka kematian ibu tahun 2005 sampai dengan 2010 terlihat pada grafik berikut ini:

Grafik II.25

Perkembangan Angka Kematian Ibu per Melahirkan 100.000 Kelahiran Hidup

0 20 40 60 80 100 120 angka kematian 61,61 50,23 91,81 112,6 91,73 79,98 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Sumber data : Dinas Kesehatan

Realisasi angka kematian ibu melahirkan selama lima tahun mangalami fluktuasi, terendah pada tahun 2006 yang tercapai sebesar 50,23 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang sebesar 112,6 per 100.000 kelahiran hidup.

II.3.1.2.2. Angka Morbiditas

Untuk menilai pelayanan terhadap penanggulangan penyakit menular maka perlu diukur angka kesakitan beberapa penyakit yang potensial terjadi di Kabupaten. Penyakit tersebut adalah TB Paru, Demam Berdarah Dengue dan AFP pada anak < 15 tahun.

II.3.1.2.2.1. Angka Kesembuhan TB Paru

Perkembangan angka kesembuhan TB paru tahun 2005 - 2010 terlihat pada grafik berikut ini :

(31)

Grafik II.26

Angka Kesembuhan TB Paru

Sumber data: Dinas Kesehatan

Perkembangan angka kesembuhan TB Paru pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 83,36% setelah pada tahun 2008 yang mengalami penurunan drastis sebesar 81,30%. Realisasi ini sedikit mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2009 yang tercapai 82,30%. Angka kesembuhan dapat disapai apabila penderita yang sudah menyelesaikan pengobatan melaksanakan pemeriksaan dahak/spuntum pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan sebagai dasar evaluasi. Hambatan yang ditemui antara lain :

• Penderita yang tekah menyelesaikan pengobatan tidak melakukan pemeriksaan dahak sebagai dasar evaluasi yang menentukan kesembuhan penderita.

• Penderita DO (drop out) berobat karena faktor pendamping/pengawas minum obat dari keluarga penderita yang kurang berperan.

• Peran lintas sektor khususnya dari komponen masyarakat dan penyelenggara pelayanan kesehatan swasta belum optimal dan belummempunyai pemahaman yang sama untuk pemberantasan TB paru. • Faktor ekonomi dan pendidikan yang mempengaruhi perilaku hidup bersih

dan sehat bagi penderita.

• Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi penderita TB Paru belum mencakup keseluruhan jumlah penderita yang ada, padahal penderita TB

(32)

Paru pada umumnya berasal dari keluarga miskin dan mempunyai kondisi fisik yang kurang, sehingga perlu mendapat PMT.

• Kondisi kesehatan lingkungan pada penderita TB Paru yang pada umumnya kurang memadai.

II.3.1.2.2.2. Angka Kesakitan DBD

Target angka kesembuhan TB Paru setiap tahunnya adalah sebesar 85%. Angka kesembuhan TB Paru (cure rate) di Kabupaten selama tahun 2005-2010 berfluktuasi dan terdapat dua tahun berturut-turut di bawah target yang ditetapkan yaitu tahun 2006 sebesar 86,8% dan tahun 2007 sebesar 86,2%. Akan tetapi jika dilihat dari angka kesuksesan (Succes rate) TB Paru yaitu persentase penderita TB Paru yang telah selesai pengobatan, sudah mencapai > 85 %. Angka kesembuhan dapat dicapai apabila penderita yang sudah menyelesaikan pengobatan melaksanakan pemeriksaan dahak/sputum pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan sebagai dasar evaluasi.

Target angka kesakitan DBD setiap tahunnya adalah sebesar <55. Perkembangan angka kesakitan DBD tahun 2005 sampai dengan 2010 terlihat pada grafik berikut ini :

Grafik II.27

Angka Kesakitan DBD per 100.000 Penduduk

27,54

82,82

61,8

29,69

29,9

39,59

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

2005

2006

2007

2008

2009

2010

Sumber data: Dinas Kesehatan

Angka kesakitan DBD Kabupaten menunjukkan tren penurunan yang cukup signifikan setelah pernah mencapai puncak siklus empat tahunan (peak

(33)

season) pada tahun 2006 sebesar 82,52 per 100.000 penduduk, dari tahun 2005 yang hanya 27,54 per 100.000 penduduk. Kemudian berangsur-angsur turun menjadi 61,8 (tahun 2007), 29,69 (tahun 2008), 29,90 per 100.000 penduduk (tahun 2009) dan 39,59 (tahun 2010).

Kabupaten merupakan wilayah endemis DBD dimana tingkat penularan DBD sangat tinggi, yang dipengaruhi antara lain mobilitas penduduk dan kebersihan lingkungan. Untuk itu upaya pencegahan DBD harus selalu dilakukan melalui peningkatan peran serta masyarakat dengan Gerakan 3 M Plus (Menguras, menutup dan mengubur serta mencegah gigitan nyamuk), pemantauan Angka Bebas Jentik (ABJ) secara berkala serta upaya penyuluhan kepada masyarakat tentang pengenalan dini gejala DBD dan penanganan secara tepat.

II.3.1.2.2.3. Angka Kesakitan AFP (Acute Flaccid Paralysis = Lumpuh Layuh Mendadak)

Target angka kesakitan AFP setiap tahunnya adalah sebesar >2. Perkembangan angka kesakitan AFP tahun 2005 sampai dengan 2010 terlihat pada grafik berikut ini:

Grafik II.28

Angka Kesakitan AFP per 100.000 Penduduk Usia <15 Tahun

1,98 3,94 4,14 3 2,68 2,57 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Sumber data: Dinas Kesehatan

Angka kesakitan AFP di Kabupaten selama tahun 2005-2010 telah mencapai target sebesar > 2 per 100.000 penduduk usia < 15 tahun kecuali pada tahun 2005. Angka kesakitan AFP tahun 2005 sebesar 1,98 per 100.000

(34)

penduduk usia < 15 tahun, sedikit di bawah target yang ditetapkan. Semakin tinggi pencapaian penemuan AFP semakin baik karena hal ini menunjukkan sistem surveilans berjalan baik.

II.3.1.2.3. Persentase penduduk yang memanfaatkan Puskesmas

Untuk menilai tingkat akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten maka perlu diukur tingkat animo masyarakat untuk berobat ke puskesmas yang ada. Target jumlah penduduk yang memanfaatkan puskesmas ditetapkan sebesar 65 % dari seluruh jumlah penduduk. Persentase penduduk yang memanfaatkan Puskesmas (visit rate) selama tahun 2005 – 2010, sebagaimana yang terlihat pada grafik menunjukkan tren penurunan tetapi masih memenuhi target yang ditetapkan sebesar 65%. Penurunan ini menunjukkan tingkat kesehatan masyarakat yang semakin baik. Sebagai pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama, Puskesmas menitikberatkan pada pelayanan preventif (pencegahan), promotif, kuratif (pengobatan dasar) dan rehabilitasi (pemulihan).

Grafik II.29

Perkembangan Jumlah Penduduk yang Memanfaatkan Puskesmas

Sumber data : Dinas Kesehatan

II.3.1.2.4. Persentase kunjungan rawat jalan

Persentase kunjungan rawat jalan di Puskesmas selama lima tahun berfluktuasi antara 59,52 % - 73,25 % dari target sebesar 15 %.

(35)

Grafik II.30

Perkembangan Kunjungan Rawat Jalan di Puskesmas

59,52 60,11 63,87 73,25 66,57 0 20 40 60 80 2005 2006 2007 2008 2009 Pe rs e n ta se ( % )

Pekembangan Kunjungan Rawat Jalan di Puskesmas

Sumber data : Dinas Kesehatan

II.3.1.2.5. Persentase kunjungan rawat inap

Persentase kunjungan rawat inap di Puskesmas Kabupaten selama tahun 2005-2009 berfluktuasi antara 0,9% - 3% dari target sebesar 1,5 %. Perkembangan prosentase kunjungan rawat inap di Puskesmas selama lima tahun sebagaimana ditunjukkan pada grafik.

Grafik II.31

Perkembangan Kunjungan Rawat Inap di Puskesmas

2,74

2,8

3

1,4

0,9

0 1 2 3 4 2005 2006 2007 2008 2009 Pe rs e n ta se (% )

Perkembangan Kunjungan Rawat Inap di Puskesmas

Sumber data : Dinas Kesehatan

II.3.1.2.6. Persentase penduduk yang memanfaatkan RSUD

Untuk menilai tingkat akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan rujukan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten maka perlu diukur tingkat animo masyarakat untuk berobat ke RSUD yang ada.

Target nasional untuk jumlah kunjungan ke RSUD sebesar 1,5% dari jumlah penduduk. Target ini sesuai dengan target yang ditetapkan dalam indikator indonesia sehat 2010.

(36)

Realisasi kunjungan pasien selama lima tahun berfluktuasi yaitu pada tahun 2005 - 2007 mengalami peningkatan sedangkan pada tahun 2008 - 2010 mengalami penurunan dari 20,02% pada tahun 2007 menjadi 12,42% pada tahun 2010.

Grafik II.32

Perkembangan Kunjungan Rumah Sakit

Sumber data : BLU RSUD Kab.Sidoarjo

Penurunan ini karena pada tahun 2008 data jumlah penduduk Kabupaten mengalami kenaikan yang sangat tinggi antara 160.000 hingga 300.000 jiwa. Namun demikian realisasi persentase jumlah penduduk yang memanfaatkan RSUD jauh melampaui standar nasional yang sebesar 1,5%. Kondisi tersebut tergambar dalam beberapa indikator yang mendukung sebagai berikut :

II.3.1.2.

7.

Jumlah Kunjungan Rawat Inap

Perkembangan jumlah kunjungan rawat inap pada tahun 2005 – 2010 di RSUD Kabupaten terlihat pada grafik II.35 dibawah ini.

Grafik II.33

Perkembangan Kunjungan Rawat Inap

2005 2006 2007 2008 2009 201 Kunjungan 30.15 34.74 36.62 38.53 37.71 37.8 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000

Pekembangan Kunjungan Rawat Inap

(37)

Realisasi kunjungan rawat inap di RSUD Kabupaten tahun 2005 – 2009 dari tahun ke tahun mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2009. Penurunan ini disebabkan karena pada tahun 2009 RSUD Kabupaten melakukan proses pembangunan pada instalasi rawat inap sehingga banyak ruangan yang terlikuidasi dan mengurangi daya tampung pasien rawat inap. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah pasien rawat inap akan meningkat karena proses pembangunan awal untuk instalasi rawat inap telah selesai sehingga ruangan-ruangan yang semula terlikuidasi dapat berfungsi kembali.

II.3.1.2.8. Jumlah Kunjungan Rawat Jalan

Perkembangan jumlah kunjungan rawat jalan pada tahun 2005 – 2009 di RSUD Kabupaten terlihat pada grafik dibawah ini.

Grafik II.34

Perkembangan Kunjungan Rawat Jalan

2005 2006 2007 2008 2009 Kunjungan 239.822 257.956 266.553 274.048 295.866 100.000 200.000 300.000

400.000

Pekembangan Kunjungan Rawat Jalan

Sumber data : BLU RSUD Kab. Sidoarjo

Dari grafik di atas terlihat bahwa jumlah kunjungan rawat jalan di RSUD Kabupaten dari tahun ke tahun selalu meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa RSUD Kabupaten masih dipercaya masyarakat dalam hal pemberian layanan pengobatan diantaranya karena layanannya yang cepat, tepat dan biaya yang terjangkau, kondisi lingkungan yang nyaman, bersih dan sehat, serta pelayanan baik dari tenaga medis dan non medis yang ramah.

II.3.1.2.9. Bed Ocupancy Rate (BOR)

BOR merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat hunian rumah sakit dalam kurun waktu tertentu. Tingkat hunian diukur dari penggunaan tempat tidur yang tersedia. Standar BOR yang ditetapkan untuk setiap rumah sakit sebesar 75% - 85 %. Hal ini untuk menggambarkan ketika tingkat huniannya kurang dari 75 % maka rumah sakit tersebut kurang diminati oleh masyarakat, sedangkan

(38)

bila lebih dari 85 % dikhawatirkan akan mengurangi kualitas pelayanan yang diberikan.

Grafik II.35

Perkembangan BOR RSUD Kab. Sidoarjo

Sumber data : BLU RSUD Kab. Sidoarjo

Realisasi BOR selama tiga tahun terakhir (2007-2010) mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena bertambahnya tempat tidur yang pada tahun 2006 sebanyak 396 buah menjadi 475 buah pada tahun 2007.

II.3.1.2.10. Length of Stay (LOS)

LOS merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur rata–rata lama waktu pasien mendapat perawatan. Standar LOS yang ditentukan di seluruh RSUD sebesar 4 – 6 hari.

Grafik II.36

Perkembangan LOS RSUD Kab. Sidoarjo (hari) 3 3,2 3,4 3,6 3,8 4 ha ri LOS 3,69 3,81 3,5 3,35 3,42 3,55 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(39)

Capaian angka LOS selama lima tahun berfluktuasi dan berada pada kisaran 3,3 – 3,8 hari. Sesuai dengan standar perawatan, angka LOS yang terlalu rendah mengindikasikan kurangnya kepercayaan masyarakat penerima pelayanan, sedangkan terlalu tingginya LOS mengindikasikan lambatnya penanganan oleh tenaga medis.

II.3.1.2.11. Turn Over Interval (TOI)

Turn Over Internal adalah indikator yang digunakan untuk mengukur waktu rata – rata tempat tidur kosong atau waktu antara satu tempat tidur ditinggalkan oleh pasien sampai ditempati lagi oleh pasien lain. Waktu interval ini dimaksudkan agar diperoleh waktu yang cukup untuk mensterilkan bekas tempat tidur pasien lama sebelum digunakan pasien baru. Sterilisasi tersebut antara lain dilakukan dengan cara mengganti sprei dan menjemur kasur. Standar yang ditetapkan untuk TOI sebesar 1 – 3 hari.

Grafik II.37

Perkembangan TOI RSUD Kab. Sidoarjo (hari) 0 0,5 1 1,5 2 hari TOI 1,02 0,46 1,36 1,3 1,33 1,82 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Sumber data : BLU RSUD Kab. Sidoarjo

Capaian angka TOI selama lima tahun talah sesuai dengan standar yang ditetapkan, kecuali tahun 2006 yang hanya 0,46 hari. Kondisi yang berada dibawah standar ideal tentunya kurang baik bagi pelayanan terhadap pasien.

II.3.1.2.12. Net Death Rate (NDR)

Net Death Rate (NDR) merupakan salah satu key performance indicator sebuah rumah sakit. Meningkatnya Nilai NDR pada sebuah rumah sakit merupakan sebuah indikasi telah terjadi penurunan kinerja yang berakibat menurunmya kualitas atau mutu pelayanan di rumah sakit tersebut.

(40)

Grafik II.38

Perkembangan NDR RSUD Kab. Sidoarjo

Sumber data : BLU RSUD Kab. Sidoarjo

NDR pada RSUD Kabupaten berada di bawah standar yang ditetapkan BLUD yaitu <2,5%. Pada tahun 2008 - 2010 angka NDR mengalami kenaikan yang disebabkan oleh faktor pre hospital yaitu banyak pasien datang dalam kondisi terlambat atau parah.

II.3.1.3. Lingkungan Hidup

II.3.1.3.1. Pemenuhan baku mutu air

Pemantauan kualitas air limbah dilakukan terhadap semua kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Potensi dampak yang ditimbulkan berupa limbah cair tersebut dilakukan pengujian kualitasnya setelah dilakukan pengolahan di Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). Indikator Pemenuhan baku mutu air dibedakan menjadi 3, yaitu pemenuhan baku mutu air limbah rumah sakit, air sungai dan air limbah industri besar.

II.3.1.3.1.1. Pemenuhan baku mutu air limbah rumah sakit

Pemenuhan baku mutu air limbah rumah sakit ini diuji pada satu rumah sakit yaitu Rumah Sakit Tulangan dengan TT diatas 50. Pengujian dilakukan terhadap 10 parameter yaitu: pH, BOD, COD, TSS, NH3, PO4, deterjen, Phenol, Cl bebas dan Coli tinja. Pemenuhan baku mutu air limbah rumah sakit ini didasarkan pada SK. Gubernur Jawa Timur No. 61/1999 tentang standar baku mutu limbah cair bagi kegiatan rumah sakit di Provinsi Jawa Timur. Standar baku mutu air untuk pH sebesar 6-9, Cl bebas sebesar 0,5, NH3 sebesar 0,1, BOD sebesar 30mg/lt, COD sebesar 80 mg/lt, deterjen sebesar 0,5, Phenol sebesar 0,01, PO4 sebesar 2, TSS sebesar 30 mg/lt dan coli tinja sebesar 4.000. Realisasi pemenuhan baku mutu air limbah rumah sakit yang dicapai pada tahun 2005-2009 dapat dilihat pada table berikut ini:

(41)

Tabel II.12

Perkembangan Pemenuhan Baku Mutu Air Limbah Rumah Sakit

Sumber data: Badan Lingkungan Hidup

Parameter Satuan Standar 2005 2006 2007 2008 2009

- pH - 6-9 7,2 7 7 7 7 - BOD (mg/lt) mg/lt 30 1905 905 879 657 545 - COD (mg/lt) mg/lt 80 3887 2887 2575 1287 1087 - TSS (mg/lt) mg/lt 30 1730 1540 1230 787 687 - NH3 mg/lt 0,1 0,3 0,1 0,1 0,1 0,1 - PO4 mg/lt 2 1,0662 1,0002 0,9662 0,6420 0,5662 - Detergen mg/lt 0,5 0,3226 0,0226 0,0126 0,0226 0,0326 - Phenol mg/lt 0,01 <0.0029 <0.0029 <0.0029 <0.0029 <0.0029 - Cl bebas mg/lt 0,5 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 - Coli tinja 4000 100000 70000 65000 45000 40000

Berdasarkan tabel II.12 menunjukkan bahwa hampir secara keseluruhan baku mutu air limbah RS selama lima tahun terakhir melebihi standar baku mutu yang telah ditetapkan. Hanya sebagian parameter yang memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan yaitu pH, NH3, PO4, detergen, phenol dan CI bebas. Tidak terpenuhinya standar baku mutu tersebut disebabkan karena masih banyak rumah sakit yang belum memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang memenuhi kaidah teknis yaitu masih mengunakan teknologi septic tank.

II.3.1.3.1.2. Pemenuhan baku mutu air sungai

Standar pemenuhan kualitas air sungai berdasarkan PP No. 82/2001 tentang pengendalian pencemaran air. Dalam peraturan tersebut diatur tentang kualitas air sungai yang dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan peruntukannya. Realisasi pemenuhan baku mutu air sungai yang dicapai pada tahun 2005-2009 tampak pada table 2 berikut:

Tabel II.13

Perkembangan Pemenuhan baku mutu air sungai

Parameter Satuan 2005 2006 2007 2008 2009 - pH - 7,2 7,0 7,0 7 7 - BOD (mg/lt) mg/lt 5,8 6,5 7 6 98 - COD (mg/lt) mg/lt 12 13 5 13 274 - TSS (mg/lt) mg/lt 260 376 454 576 495 - Detergen 112 115 118 110 105

Sumber Data : Badan Lingkungan Hidup

Masih dibutuhkan informasi mengenai kelas sungai yang ada di Kabupaten untuk menyimpulkan mengenai pemenuhan baku mutu air sungai dengan standarnya.

(42)

II.3.1.3.1.3. Pemenuhan baku mutu air limbah industri besar

Sebagai salah satu upaya pelestarian kualitas lingkungan hidup, maka bagi kegiatan industri yang menghasilkan limbah diwajibkan untuk melakukan pengelolaan limbah sebelum dibuang ke perairan umum. Syarat tersebut dicantumkan dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23/1997 Bab V pasal 16. Untuk wilayah Jawa Timur, kualitas air limbah industri harus sesuai dengan baku mutu air limbah industri dan kegiatan lainnya yang ditetapkan dalam SK Gubernur No. 45/2002.

Kualitas air limbah untuk industri besar rata-rata sudah memenuhi baku mutu limbah cair yang dipersyaratkan. Hal ini dikarenakan pada industri besar telah memiliki kesadaran internal yang cukup tinggi.

II.3.1.3.2. Pemenuhan baku mutu udara

Pemantauan kualitas udara di Kabupaten dilakukan pada lokasi padat lalu lintas dan lokasi industri berpotensi pencemaran.

II.3.1.3.2.1.Pemenuhan baku mutu udara di lokasi yang padat lalu lintas

Pemenuhan baku mutu udara dilokasi yang padat lalu lintas ini diuji pada 5 lokasi, masing-masing pengujian terhadap 7 parameter yaitu: CO, NO2, SO2, O3, NH3, debu dan Pb. Target pemenuhan baku mutu udara di lokasi yang padat lalu lintas ini didasarkan pada SK. Gubernur Jawa Timur No. 129/1999.

Target pemenuhan baku mutu udara di lokasi yang padat lalu lintas ditetapkan untuk CO sebesar 2260µm/m³, NO2 sebesar 92,5 µm/m³, SO2 sebesar 220 µm/m³, O3 sebesar 200 µm/m³, NH3 sebesar 1360 µm/m³, debu sebesar 260 µm/m³, dan Pb sebesar 9,26 µm/m³.

Realisasi pemenuhan baku mutu udara dilokasi padat lalu lintas yang dicapai pada tahun 2005-2009 dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel II.14

Perkembangan Pemenuhan Baku Mutu Udara di Lokasi yang Padat Lalu Lintas

Parameter Satuan Standar 2005 2006 2007 2008 2009

- CO ( g/m3) g/m3 4,3 4,5 5,1 5,3 0,02 - NO2 ( g/m3) g/m3 0,0205 0,021 0,0215 0,0221 0,05 - SO2 ( g/m3) g/m3 0,001 0,0015 0,002 0,004 0,001 - O3 ( g/m3) g/m3 - - - - - - NH3 ( g/m3) g/m3 - - - - - - Debu ( g/m3) g/m3 0,1853 0,1945 0,2153 0,2653 0,08 - Pb ( g/m3) g/m3 - - - - -

(43)

II.3.1.3.2.2. Pemenuhan baku mutu udara di lokasi industri berpotensi pencemaran

Pengujian pemenuhan baku mutu udara di lokasi industri berpotensi pencemaran dilakukan terhadap 5 parameter yaitu: CO, NO2, SO2, debu dan H2S. Realisasi pemenuhan baku mutu udara dilokasi industri berpotensi pencemaran yang dicapai pada tahun 2005-2009 dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel II.15

Perkembangan Pemenuhan Baku Mutu Udara Di Lokasi Industri Berpotensi Pencemaran

Parameter Satuan Standar 2005 2006 2007 2008 2009

- CO ( g/m3) g/m3 1,01 1,015 1,02 1,03 1,05

- NO2 ( g/m3) g/m3 0,005 0,0065 0,0075 0,009 0,0092 - SO2 ( g/m3) g/m3 0,0021 0,00215 0,00218 0,0022 0,00225 - Debu ( g/m3) g/m3 0,31 0,311 0,312 0,3136 0,3135 - H2S ( g/m3) g/m3 0,01 0,011 0,0115 0,0117 0,0119

Sumber Data : Badan Lingkungan Hidup

II.3.1.3.2.3. Tonase sampah yang terangkut ke TPA

Indikator ini menggambarkan jumlah sampah yang berhasil ditangani Pemerintah Kabupaten melalui SKPD terkait. Dengan semakin banyaknya jumlah sampah yang tertangani berarti polusi yang diakibatkan oleh sampah semakin berkurang yaitu sampah yang dibuang ke sembarang tempat oleh masyarakat semakin berkurang sehingga akan mengurangi kemungkinan terjadinya banjir khususnya di wilayah padat penduduk.

Realisasi tonase sampah yang terangkut ke TPA yang dicapai pada tahun 2009 sebesar 827 ton, meningkat 243 ton (41,61%) dibanding tahun 2005 yang sebesar 584 ton. Perkembangan sampah yang tertangani selama tahun 2005 hingga tahun 2009 dapat dilihat dalam grafik berikut ini:

Grafik II.39

Perkembangan Tonase Sampah yang Terangkut ke TPA

0 200 400 600 800 1000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Ton 584 636 788 887 827 802

(44)

Pada grafik II.41 terlihat bahwa pada tahun 2009 tonase sampah yang berhasil diangkut ke TPA mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena adanya beberapa faktor yaitu:

ƒ Pengelolaan sampah mandiri oleh masyarakat ƒ Komposting oleh masyarakat

ƒ Pembakaran sampah di incinerator

ƒ Hambatan kemacetan lalu lintas jalan raya Porong

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah sampah yang terangkut ke TPA adalah dengan menambah jumlah sarana dan prasarana pengelolaan sampah seperti truk, gerobak sampah, TPS dan penambahan TPA. Sedangkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat diadakan program 3R yaitu reduce, reuse dan recycle

Guna mengurangi beban timbunan sampah di TPA Jabon Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi akan membangun lagi tempat pengelolaan sampah mandiri di Desa Prasung Kecamatan Buduran dan Desa Tanggulangin Kecamatan Tanggulangin serta melanjutkan upaya peningkatan pembuatan pupuk kompos oleh masyarakat baik secara kelompok maupun individu rumah tangga.

II.3.1.4. Pekerjaan Umum

II.3.1.4.1. Kondisi Jalan dan Jembatan

Untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana kebinamargaan maka pemerintah kabupaten harus menyediakan jalan dan jembatan bagi masyarakat. Panjang jalan aspal yang ada selama tahun 2006 – 2010 mengalami peningkatan sepanjang 90,13 kilometer. Jalan tersebut merupakan jalan kabupaten yang ada di wilayah kabupaten.

Grafik II.40

Perkembangan Jalan Aspal

750 800 850 900 950 km 826,29 866,54 863,81 898,13 916,42 917,83 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(45)

Dari seluruh jalan yang ada tersebut kondisi yang yang ada sebagai berikut : Tabel II.16

Kondisi Jalan di Wilayah Kab. Sidoarjo

No. Kondisi 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Baik 558,80 636,09 651,36 691,56 692,58 481,29

2 Sedang 61,15 36,50 26,37 71,85 36,89 301,98

3 Rusak 206,34 193,95 186,08 134,72 186,95 134,56

Jumlah 826,29 866,54 863,81 898,13 916,42 917,83

Sumber data : Dinas PU Bina Marga

Panjang jalan yang rusak sejak tahun 2006 cukup tinggi karena adanya bencana lumpur porong dimana terdapat beberapa ruas jalan yang tenggelam lumpur. Sedangkan poros jalan lainnya oleh pengguna jalan arteri dimanfaatkan sebagai jalan alternatif dari Kabupaten Sidoarjo menuju Kabupaten Pasuruan, Malang dan sekitarnya. Dengan dilewatinya jalan kabupaten oleh kendaraan yang sejak awal pembangunannya tidak disiapkan untuk kapasitas kendaraan yang cukup tinggi maka tingkat kerusakan jalan semakin tinggi. Untuk itu pemerintah kabupaten terus berupaya untuk memperbaiki kondisi jalan yang ada sehingga kondisi jalan dapat normal kembali.

Sedangkan jumlah jembatan yang dibangun tahun 2006 – 2009 sebanyak 11 jembatan. Jembatan tersebut dibangun pada daerah yang secara teknis memerlukan pembangunan jembatan.

Grafik II.41

Perkembangan Jumlah Jembatan Kabupaten

345 350 355 360 365 370 buah 353 353 354 362 364 366 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(46)

Dari seluruh jembatan yang ada tersebut kondisi yang yang ada sebagai berikut : Tabel II.17

Kondisi Jembatan di Kab. Sidoarjo Tahun 2005-2009

No Kondisi 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Baik 288 290 289 334 346 351

2 Sedang 24 23 25 15 13 11 3 Rusak 41 40 40 13 5 4

Jumlah 353 353 354 362 364 366

Sumber data : Dinas PU Bina Marga

II.3.1.4.3. Ketersediaan PJU bagi masyarakat

Untuk menyediakan kenyamanan pengguna jalan maka perlu dibangun penerangan jalan umum (PJU). PJU dibangun untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan bagi pengendara kendaraan bermotor. Pembangunan ini dilakukan pada poros jalan provinsi maupun kabupaten.

Kebutuhan PJU yang seharusnya dibangun sebanyak 29.000 titik. Kebutuhan ini dihitung sesuai dengan panjang poros jalan yang ada yang seharusnya dibangun. Selama tahun 2006 – 2010 jumlah PJU yang dibangun sebanyak 16.831 titik. Grafik II.42 Perkembangan PJU 0 5.000 10.000 15.000 20.000 titik 11.670 11.980 12.792 14.244 15.628 16.831 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(47)

II.3.1.4. Luas daerah genangan banjir

Untuk mengendalikan banjir di Kabupaten Sidoarjo yang merupakan daerah delta maka perlu dilakukan koordinasi antar dinas untuk mengendalikan banjir yang semakin sering terjadi.

Luas daerah genangan banjir di Kabupaten Sidoarjo secara umum mengalami penurunan khususnya untuk daerah genangan banjir di areal pertanian. Sedangkan untuk wilayah permukiman, areal banjir mengalami peningkatan.

Grafik II.43

Perkembangan Daerah Genangan Banjir

Sumber data : Dinas PU Pengairan dan Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang

Rincian lebih lanjut lokasi kebanjiran yang terjadi selama tahun 2006 – 2010 adalah sebanagi berikut :

Tabel II.18

Luas Daerah yang terkena banjir menurut lokasi

No Lokasi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Pertanian 2.093,00 1.815,00 1.615,00 1.223,00 1.021,00 820 2 Permukiman 697,28 1.493,90 1.767,17 1.767,77 1.916,68 560

Jumlah 2.790,28 3.308,90 3.382,17 2.990,77 2.937,68 1.380

Sumber data : Dinas PU Pengairan dan Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang Kebanjiran pada areal pertanian mengalami penurnan karena adanya operasional pintu air yang tepat, normalisasi saluran avour, perbaikan pintu air yang tepat, normalisasi saluran avour, perbaikan pintu air di avour dan ketanajemen pengelolaan pintu air.

Referensi

Dokumen terkait

orang atau lebih, Industri Sedang adalah perusahaan dengan tenaga kerja antara 20 s/d 99 orang, Industri Kecil adalah perusahaan dengan tenaga kerja antara 5 s/d

Kontribusi sektor pertanian dalam hal ini tanaman pangan beserta produksi ikutannya terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Mamasa selama kurun waktu lima tahun

pada tahun 2014, selain itu sektor industri juga mengalami kanaikan yang. cukup tinggi sekitar 7,48 persen pada tahun 2014, terjadi

Rata-rata jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor konstruksi pada tahun 2010 sampai 2014 adalah sebesar 4,65 % dari total angkatan kerja di Provinsi Banten. Besar penyerapan

Perkembangan usaha telur asin dari sektor formal maupun non formal di Kabupaten Brebes jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun, hal itu disebabkan karena

Rata-rata jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor konstruksi pada tahun 2010 sampai 2014 adalah sebesar 34,92 % dari total angkatan kerja di Provinsi Jawa Timur. Besar

Pengeluaran konsumsi non pangan penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2004-2007 dapat terlihat pada tabel 43.. Pola konsumsi rumah tangga/masyarakat yang termasuk

Untuk Kabupaten Bengkulu Utara dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2009, jenjang pendidikan dasar sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.40 sebagai berikut.