• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure pada dewasa berpacaran.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure pada dewasa berpacaran."

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

DISCLOSURE PADA DEWASA BERPACARAN Veronika Hari Purnama

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure. Subjek penelitian adalah 104 subjek dewasa yang sedang berpacaran. Hipotesis dalam penelitian ini ialah ada hubungan yang signifikan antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure pada dewasa berpacaran. Metode sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling. Data dikumpulkan menggunakan Skala Gaya Kelekatan dan Skala Sexual Self-Disclosure menggunakan model Skala Likert. Skala Gaya Kelekatan memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.864 dan Skala Sexual Self-Disclosure

(2)

DISCLOSURE IN ADULT DATING Veronika Hari Purnama

ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between attachment style and sexual self-disclosure among adult dating. The subjects were 104 adult dating. The hypothesis said that there was a significant relationship between attachment style and sexual self-disclosure among adult dating. The sampling method used in this study was Purposive Sampling. The instrument to collect data were Attachment Style Scale and Sexual Self-Disclosure Scale in Likert’s Model. The attachment style scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.864 and the sexual self-disclosure scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.916. The assumption tests that used were the normality and the linearity tests. The result indicate that data from attachment style have a normal distribution, but data from sexual self-disclosure scale not have a normal distribution. Data not have linear relationship between attachment style and sexual self-disclosure among adult dating. Therefore, the hypothesis was tested with Spearman correlation. The result shows the non-significant coefficient of correlation of -0.117. Accordingly, that there is no significant correlation between attachment style and sexual self-disclosure, hence the hypothesis that there is a significant relationship between attachment style and sexual self-disclosure among adult dating is rejected.

(3)

HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DAN SEXUAL SELF-DISCLOSURE PADA DEWASA BERPACARAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Veronika Hari Purnama

NIM : 109114084

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

MOTTO

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya

(Pengkotbah 3:11)

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku

(Filipi 4:13)

(7)

v

SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN KEPADA

Tuhan Yesus Kristus

Kedua orang tuaku, Bapak Andreas Ranti & Ibu Antonia Gamelah

Abangku, Niko Demus & Tutun Ansori R. Napitu

Kak Maria Endang & Kak Rinus Wangge

Keponakanku, Sofia Magdalena Bufu & Alberta Verliani Mbere

Adikku, Hariyanti Paramita Duri

Kekasihku, Adventus Anggriawan Luwuk

Sahabat-sahabatku

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DAN SEXUAL SELF-DISCLOSURE PADA DEWASA BERPACARAN

Veronika Hari Purnama ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure. Subjek penelitian adalah 104 subjek dewasa yang sedang berpacaran. Hipotesis dalam penelitian ini ialah ada hubungan yang signifikan antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure pada dewasa berpacaran. Metode sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling. Data dikumpulkan menggunakan Skala Gaya Kelekatan dan Skala Sexual Self-Disclosure menggunakan model Skala Likert. Skala Gaya Kelekatan memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.864 dan Skala Sexual Self-Disclosure

(10)

viii

RELATIONSHIP OF ATTACHMENT STYLE AND SEXUAL SELF-DISCLOSURE IN ADULT DATING

Veronika Hari Purnama ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between attachment style and sexual self-disclosure among adult dating. The subjects were 104 adult dating. The hypothesis said that there was a significant relationship between attachment style and sexual self-disclosure among adult dating. The sampling method used in this study was Purposive Sampling. The instrument to collect data were Attachment Style Scale and Sexual Self-Disclosure Scale in Likert‟s Model. The attachment style scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.864 and the sexual self-disclosure scale had an Alpha Cronbach coefficient of 0.916. The assumption tests that used were the normality and the linearity tests. The result indicate that data from attachment style have a normal distribution, but data from sexual self-disclosure scale not have a normal distribution. Data not have linear relationship between attachment style and sexual self-disclosure among adult dating. Therefore, the hypothesis was tested with Spearman correlation. The result shows the non-significant coefficient of correlation of -0.117. Accordingly, that there is no significant correlation between attachment style and sexual self-disclosure, hence the hypothesis that there is a significant relationship between attachment style and sexual self-disclosure among adult dating is rejected.

(11)
(12)

x

Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, kasih dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun demikian, dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi banyak pihak yang memberikan bantuan dan dukungan terhadap penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan nasihatnya yang berharga selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membimbing dan menuntun penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih untuk saran, masukan, dan kesabarannya.

3. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Ratri Sunar A., M.Si selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

(13)

xi

6. Kedua orang tua dan keluarga besar, terima kasih untuk dukungannya baik berupa materi maupun kasih sayang, dan kepercayaannya selama ini.

7. Adventus Anggriawan Luwuk, hadiah terindah yang Tuhan berikan. Terima kasih untuk kasih sayang dan dukungannya selama ini.

8. Sahabat-sahabatku: twins Rannie Tupen & Ritha Tupen, Surya Paonganan, Silvi Jusup, Vinda, Kak Rosa, Kak Juni, Kak Jeni, Viera, Elis. Terima kasih buat suka duka & kebersamaannya.

9. Teman-teman Fakultas Psikologi: Akeng, Sandi, Christy, Fiona, Novia, Nani, yang sudah memberikan sharing dan dukungannya selama penulis mengerjakan skripsi.

10. Teman-teman Psikologi 2010 dan semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata, skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan rendah hati untuk perkembangan penelitian selanjutnya. Kiranya kasih Tuhan selalu memberkati dan menyertai pekerjaan dan perjalanan hidup kita semua.

Yogyakarta, 13 April 2015 Penulis,

(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING .……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

HALAMAN MOTTO .......……….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. vi

ABSTRAK ……….. vii

ABSTRACT ……….... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ……… ix

KATA PENGANTAR ………. x

DAFTAR ISI ………... xii

DAFTAR TABEL ……….. xv

DAFTAR BAGAN………..... xvi

DAFTAR LAMPIRAN………..... xvii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Rumusan Masalah ……….. 5

C. Tujuan Penelitian ………... 6

D. Manfaat Penelitian ………. 6

BAB II LANDASAN TEORI ………. 7

(15)

xiii

1. Definisi Gaya Kelekatan ……….. 7

2. Mekanisme Terbentuknya Gaya Kelekatan Pada Dewasa …………. 8

3. Karakteristik dan Peran Gaya kelekatan Pada Dewasa ………. 10

B. Sexual Self-Disclosure………. 12

1. Definisi Sexual Self-Disclosure……….. 12

2. Karakteristik Sexual Self-Disclosure……….. 14

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sexual Self-Disclosure………... 16

C. Dewasa Berpacaran ……….. 20

D. Dinamika Hubungan Gaya kelekatan dan Sexual Self-Disclosure…….. 22

E. Hipotesis ………... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……… 26

A. Jenis Penelitian ………. 26

B. Variabel Penelitian ………... 26

C. Definisi Operasional ………. 26

D. Subjek Penelitian………... 28

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ………... 28

1. Metode ……….. 28

2. Alat Pengumpulan Data ……… 29

F. Uji Coba Alat Ukur ………. 34

1. Subjek ……… 34

2. Pelaksanaan Uji Coba………. 35

3. Seleksi Item ……… 35

(16)

xiv

1. Validitas Skala……… 37

2. Reliabilitas Skala………. 39

H. Metode Analisa Data ………... 41

1. Uji Asumsi ………. 41

2. Uji Hipotesis ……….. 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 43

A. Persiapan Penelitian ………. 43

B. Pelaksanaan Penelitian ...……….. 44

C. Data Demografik Subjek ……….. 44

D. Deskripsi Data Penelitian ………. 45

E. Hasil Penelitian ……… 48

1. Uji Asumsi ………. 48

2. Uji Hipotesis ………... 51

F. Analisis Tambahan ………... 52

G. Pembahasan ……….. 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 59

A. Kesimpulan ……….. 59

B. Keterbatasan Penelitian………. 59

C. Saran ………. 60

DAFTAR PUSTAKA………. 62

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Komponen Sexual Self-Disclosure………... 31

Tabel 2 Blue Print Try Out Skala Sexual Self-Disclosure……… 34

Tabel 3 Distribusi Final Skala Sexual Self-Disclosure………. 36

Tabel 4 Blue Print Skala Sexual Self-Disclosure Setelah Try Out……… 36

Tabel 5 Reliabilitas Skala Gaya Kelekatan (ECR-R) ……… 40

Tabel 6 Kategori Subjek Berdasarkan Usia ……….. 44

Tabel 7 Kategori Subjek Berdasarkan Lama Hubungan Berpacaran …… 45

Tabel 8 Data Skor Gaya Kelekatan ………... 47

Tabel 9 Data Skor Sexual Self-Disclosure……… 47

Tabel 10 Uji Normalitas ……….………. 48

Tabel 11 Uji Linieritas ……… 50

(18)

xvi

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Berpikir Antara Gaya Kelekatan dan Sexual

Self-Disclosure……… 25 Bagan 2 Scatter Plot Hubungan Gaya Kelekatan dan Sexual Self-Disclosure

(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Form Angket Sexual Self-Disclosure ………... 68

Lampiran 2 Hasil Analisis Angket Sexual Self-Disclosure………. 70

Lampiran 3 Skala Try OutSexual Self-Disclosure……….. 72

Lampiran 4 Reliabilitas dan Korelasi Item Total Skala Sexual Self-Disclosure ……….. 80

Lampiran 5 Skala Final Sexual Self-Disclosure……….. 83

Lampiran 6 Skala Gaya Kelekatan (ECR-R) ………... 85

Lampiran 7 Uji Normalitas ……….. 88

Lampiran 8 Uji Linieritas ……… 88

Lampiran 9 Uji Korelasi ………... 89

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berpacaran adalah masa untuk saling mengenal pribadi pasangan, baik kekurangan maupun kelebihannya. Pacaran juga sebagai masa persiapan individu untuk memasuki masa pertunangan atau pernikahan (Dariyo, 2003). Proses ini dilakukan agar tidak ada istilah “memilih kucing dalam karung”,

yakni memilih seseorang sebagai pasangan tanpa mengenal dan memahaminya terlebih dahulu. Tidak terkecuali dalam segi seksualitas pasangan.

(21)

pasangan hidup. Di samping itu, terdapat sebuah konstruk yang disebut dengan istilah sexual self-disclosure yang mulai menarik perhatian peneliti.

Sexual self-disclosure merupakan kesediaan seseorang menyatakan pikiran, perasaan, dan perilaku seksual kepada pasangannya (Tang, Bensman, & Hatfield, 2013) dan sejauh mana individu mengungkapkan diri kepada pasangan tentang hal seksual yang mereka suka dan tidak suka dengan memperhatikan spesifikasi keterlibatan kegiatan seksual mereka (Byers & Demmons, 1999). Melalui sexual self-disclosure seseorang dapat menegoisasi hal-hal terkait seksual dengan pasangan (Byers, 2011). Sexual self-disclosure

penting dalam hubungan berpacaran karena pada periode ini pasangan mulai mengembangkan pemahaman seks dan membangun komunikasi seksual dengan pasangan (Byers & demmon, 1999).

(22)

Katz, & Jackson, 1999; McCarhty & Bodner, 2005; Miller & Byers, 2004; Byers, 2011).

Dengan memberi informasi tentang latar belakang seksual pada pasangan bisa meningkatkan kesehatan secara jasmani karena individu bebas dari perasaan tertekan atau khawatir mengenai seksualitas yang dapat mengganggu kesehatan. Selain itu, keterbukaan tentang seksual pada hubungan memungkinkan mempromosikan pilihan-pilihan yang secara seksual berfungsi melindungi kesehatan, misalnya menggunakan kondom atau kemungkinan menghindari pasangan yang telah banyak terlibat secara seksual (dalam Anderson, Kunkel, & Dennis, 2011).

(23)

Di sisi lain, terdapat gaya kelekatan yang dapat mempengaruhi relasi orang dewasa dalam hubungan berpacaran. Kelekatan pada orang dewasa mengacu kepada usaha individu untuk memelihara dan mencari kedekatan dengan seseorang yang mampu memberikan rasa aman dan terlindungi secara fisik maupun psikis (Potter-Efron, 2005). Selain itu, kelekatan pada orang dewasa merupakan kelekatan romantis yang melibatkan kedekatan dan kelekatan dengan seorang pasangan romantis (McGuirk & Pettijhon, 2008).

Gaya kelekatan merupakan aspek penting dalam diri orang dewasa. Gaya kelekatan memprediksi cara dimana orang merasa, berpikir, dan berperilaku dalam hubungan berpacaran mereka (Brennan & Shaver, 1995; Collins, 1996; Collins & Read 1990; Simpson, 1990; Broemer & Blumle, 2003). Oleh karena itu, gaya kelekatan dapat mempengaruhi emosi dan pola pikir seseorang dalam berelasi sosial termasuk dengan pasangan. Awalnya pola kelekatan terbentuk melalui figur lekat (pengasuh) dan digunakan anak untuk memprediksi perilaku pengasuh dalam berbagai situasi. Selanjutnya ketika orang beranjak dewasa, mereka mengalihkan fungsi kelekatan dari pengasuh ke pasangan dan digunakan sebagai pondasi untuk berelasi dalam hubungan intim (Crowell & Treboux, 1995).

Gaya kelekatan dapat mempengaruhi kehidupan seksual pasangan dalam hubungan. Herold & Way (1988) menemukan bahwa kelekatan secure

(24)

lebih sedikit terlibat dalam physically attractive. Individu yang secure juga terbuka terhadap eksploitasi seksual, yakni biasanya dengan satu pasangan yang telah lama berhubungan dengan adanya kontak fisik dan aktivitas seksual (Davis, Follette, & Vernon, 2001) sedangkan individu yang insecure-avoidant

dilaporkan tidak menyukai aspek afeksi dan keintiman seksual dikarenakan hal tersebut merupakan sumber ketidaknyamanan. Walaupun melakukan aktivitas seksual, mereka cenderung melakukannya tanpa harus adanya ikatan yang jelas (Schahner & Shaver, 2002). Di Indonesia, terdapat penelitian yang menghubungkan kelekatan dengan pasangan dan perilaku seks pada mahasiswa. Akan tetapi, hasil penelitian tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara kelekatan dengan perilaku seks pada mahasiswa (Pitaloka, 2013). Dalam penelitian tersebut belum diketahui hubungan antara gaya kelekatan dan model komunikasi seksual, yakni sexual self-disclosure.

Berdasarkan uraian di atas, gaya kelekatan yang dimiliki seseorang dapat mempengaruhi kualitas, bentuk, dan kehidupan seksual dengan pasangan. Adanya keprihatinan terhadap masalah dalam hubungan berpacaran dewasa di Indonesia, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui apakah gaya kelekatan memiliki hubungan dengan sexual self-disclosure seseorang. B. Rumusan Masalah

(25)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure pada dewasa berpacaran.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dalam ilmu psikologi, yakni dalam Psikologi Perkembangan, Psikologi Sosial, dan Psikologi Klinis Dewasa mengenai gaya kelekatan dan sexual self-disclosure, serta referensi untuk bahan penelitian selanjutnya, khususnya topik sexual self-disclosure yang jarang diteliti di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi bagi dewasa berpacaran tentang perlunya mengembangkan kelekatan yang aman dengan pasangan dan perlunya keterbukaan diri terkait topik seksualitas agar memahami preferensi dan kebutuhan seksual pasangan, karena pada periode ini pasangan mulai membangun bentuk komunikasi seksual dan mengembangkan pemahaman seksual pasangan. Dengan demikian, adanya sexual self-disclosure

(26)

7

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Gaya Kelekatan

1. Definisi Gaya Kelekatan

Hazan & Shaver (1987) mengembangkan tiga kategori umum gaya kelekatan dewasa menurut Ainsworth. Ketiga gaya kelekatan tersebut antara lain: secure, avoidant, dan anxious-ambivalent, dimana avoidant

dan anxious ambivalent merupakan model kelekatan insecure. Individu yang memiliki kelekatan secure mudah dekat dengan orang lain, nyaman tergantung pada orang lain dan orang lain bergantung padanya, tidak khawatir mengenai ditinggalkan atau tentang seseorang yang terlalu dekat dengannya (Hazan & Shaver, 1987; Volling, Notaro & Larsen, 1998). Mereka memiliki kepercayaan pada keintiman, sangat mudah membangun kedekatan dengan orang lain, merasa stabil, dan berkomitmen pada hubungan (Hazan & Shaver, 1987; Levy & Davis, 1988; Simpson & Rholes, 1998; Bogaert & Sadava, 2002), serta rendahnya kecemasan terhadap kehilangan (Hazan & Shavers, 1987; Crowell & Treboux, 1995).

(27)

Larsen, 1998). Gaya kelekatan avoidant menekankan pada kurang kepercayaan, kegelisahan pada keintiman dan sulit bergantung pada orang lain (Hazan & Shavers, 1987; Crowell & Treboux, 1995).

Individu yang memiliki kelekatan anxious-ambivalen memiliki karakteristik yang memandang bahwa orang lain segan untuk dekat dengannya, sering cemas bahwa pasangannya tidak sungguh-sungguh mencintainya atau tidak ingin tetap dengannya dan akan meninggalkannya. Individu dengan gaya kelekatan anxious-ambivalen ingin benar-benar bergabung dengan orang lain, dan keinginan ini kadang-kadang membuat orang lain takut (Hazan & Shaver, 1987; Volling, Notaro & Larsen, 1998), mereka memiliki keinginan untuk dekat, namun cemas apabila ditolak, dan kesadaran individu akan keinginan pada keintiman yang lebih tinggi dari kebanyakan orang (Hazan & Shavers, 1987; Crowell & Treboux, 1995).

Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa terdapat dua gaya kelekatan pada dewasa berpacaran yang disebut dengan secure yang menunjukkan seseorang memiliki kelekatan yang aman dengan pasangannya dan kelekatan insecure yang menunjukkan seseorang memiliki kelekatan tidak aman dengan pasangannya.

2. Mekanisme Terbentuknya Gaya Kelekatan Pada Dewasa

(28)

berhubungan dengan pengalaman. Asumsi ini menegaskan bahwa sistem kelekatan pada masa dewasa tergantung pada sistem kepercayaan pada masa infant. Kepercayan ini dihasilkan melalui tingkat sensitivitas yang disediakan pengasuh pada saat anak mengalami stres (Pearce, 2009).

Melalui interaksi yang berulang, maka anak membangun suatu struktur pengetahuan, atau model kerja internal yang mewakili interaksi mereka dan berkontribusi kepada sistem kelekatan. Model kerja insecure

terbentuk ketika significant others bersikap dingin, menolak, tak dapat diramalkan, menakutkan, atau tidak dapat merespon, (Fraley & Shaver, 2000), kurang memperhatikan kebutuhan anak, tidak konsisten atau menolak kasih sayang yang seharusnya dibutuhkan oleh anak (dalam Fraley, 2010) maka anak belajar bahwa orang lain tidak dapat diandalkan untuk mendukung dan merasa nyaman. Sedangkan anak yang secure pada situasi yang strange dikarenakan pengasuh mereka mampu merespon kebutuhannya.

(29)

Rholes, 1998). Representasi ini akan mempengaruhi harapan seseorang, emosi, pertahanan, dan perilakunya dalam semua bentuk hubungan intim.

Hazan & Shaver (1987) menemukan bahwa dewasa yang secure

pada hubungan berpacaran sangat tampak mengulang hubungan masa kecil mereka dengan orang tua yang penuh kasih sayang, peduli, dan menerima mereka (dalam Fraley, 2010). Sebaliknya, dewasa dengan gaya kelekatan insecure dikarenakan telah mengalami kasih sayang yang tidak konsisten dari orang tua mereka selama masa kanak-kanak sehingga cenderung merasa kurang disayangi dan lain sebagainya.

Hazan & shaver (1987) menambahkan bahwa transisi dari perilaku mencari tempat perlindungan kepada perasaan aman terjadi karena pasangan terbukti memberi respon pada waktu individu mengalami stres. Selain itu, kegagalan atau ketidakpuasan hubungan terjadi karena individu tidak hanya membutuhkan perasaan aman, tetapi pasangan juga harus berjuang untuk membangun atau memberikan kasih sayang atau pasangan gagal menjadi figur lekat yang efektif. Jadi, seperti pengaruh relasi awal anak dengan orang tua atau pengasuh mereka, pasangan romantis memiliki peran penting menjadi figur lekat bagi individu dewasa.

3. Karakteristik dan Peran Gaya kelekatan Pada Dewasa

Menurut teori Bowlby, kelekatan ialah menggunakan seseorang sebagai “dasar yang aman” untuk menjelajah dan menguasai lingkungan

(30)

bahwa pengalaman stress, sakit, bahaya, atau perubahan yang ekstrim memprovokasi seseorang untuk mencari yang lain karena kebutuhan bawaan untuk mencari keselamatan (Crowell & Waters, 1994).

Hazan & Shaver (1990) mengobservasi hubungan berpacaran pada dewasa memiliki karakteristik yang dinamis, contohnya ditandai dengan seseorang merasa nyaman dan aman saat pasangan mereka dekat dan responsif, termasuk dalam keadaan tertentu pasangan dapat digunakan sebagai “secure base” untuk mengeksplorasi lingkungan. Pada saat stres

dan terancam, individu membutuhkan pertolongan, respon dan kepedulian atau dukungan dari pasangan. Sama halnya, pasangan dapat menjadi figur lekat bagi yang lainnya dengan saling menolong, berempati, dan menjaga satu sama lain (dalam Fraley & Shaver, 2000).

Dari sudut pandang luar, tujuan dari sistem kelekatan adalah untuk mempertahankan kontak dengan figur lekat, sedangkan dari sudut pandang orang yang bersangkutan, tujuan dari sistem kelekatan adalah mencapai “perasaan aman”. Sama halnya dengan sistem kelekatan pada masa

kanak-kanak, ketika seseorang dewasa, tujuan kelekatan pada pasangan adalah untuk merasa aman dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Perilaku kelekatan ini diakhiri oleh kondisi yang menunjukkan keselamatan, kenyamanan, dan keamanan (Fraley & Shaver, 2000).

(31)

dapat bergerak dari dasar aman yang diberikan oleh pasangan, dengan kepercayaan terlibat dalam kegiatan lainnya. Weiss (1982) menyatakan bahwa figur lekat di kehidupan orang dewasa tidak perlu menjadi figur protektif, tetapi mereka boleh diibaratkan mengembangkan kapasitas kelekatan individu itu sendiri untuk menguasai tantangan (dalam Crowell & Treboux, 1995). Fraley & Shaver (2000) menyatakan fungsi gaya kelekatan antara lain: gaya kelekatan dibangun dengan ditandai oleh tendensi individu untuk menetapkan hubungan yang intim dengan figur lekat, figur lekat digunakan sebagai tempat yang aman pada saat sakit, bahaya, atau keadaan yang mengancam, dan figur lekat digunakan sebagai dasar yang aman untuk bereksplorasi. Selain itu, orang yang sudah dalam hubungan yang lama lebih cenderung mencari kedekatan pada pasangan mereka, menggunakan pasangan mereka sebagai tempat berlindung dan dasar yang aman (Hazan & Shaver, 1994; Heffernan, Fraley, Vicary & Brumbau, 2012).

B. Sexual Self-Disclosure

1. Definisi Sexual Self-Disclosure

(32)

tentang dirinya sebagai bentuk komunikasi dalam relasinya dengan orang lain (Jourard & Lasakow, 1958; Herold & Way, 1988).

Menurut beberapa penelitian, ditemukan sejarah dan konsekuensi

sexual self-disclosure tidak selalu identik dengan self-disclosure pada umumnya. Dalam studi Wheeless dkk (1984) ditemukan ada perbedaan tingkat perkembangan keintiman hubungan antara mahasiswa yang didiskriminasikan oleh kepuasan komunikasi umum dan kepuasan komunikasi seksual, dimana kepuasan komunikasi umum memiliki nilai keintiman yang lebih lemah daripada kepuasan komunikasi seksual.Sexual self-diclosure merupakan salah satu tipe komunikasi seksual. Namun berbeda dengan komunikasi seksual yang merupakan suatu proses interaktif diadik, sexual self-diclosure lebih menegaskan pada seseorang yang menyatakan aspek-aspek seksual yang ada pada dirinya (Tang, Bensman, & Hatfield, 2013).

Peneliti berbeda-beda dalam mendefinisikan sexual self-disclosure. Beberapa definisi menyatakan sexual self-disclosure adalah kesediaan untuk mengkomunikasikan pada orang lain tentang berbagai topik seksual. Orang lain yang dimaksud yaitu orang tua, teman, kenalan, terapis, atau bahkan orang yang baru dikenal (Papini, Farmers, Clark, & Snell, 1988; Snell dkk, 1989; Yang, Yang, & Chiou, 2010; Tang, Bensman, & Hatfield, 2013). Byers & Demmons (2010) mendefinisikan sexual self-disclosure sebagai “sejauh mana individu mengungkapkan diri kepada pasangan

(33)

spesifikasi keterlibatan kegiatan seksual mereka (Tang, Bensman, & Hatfield, 2013)”.

Sexual self-disclosure merupakan kesediaan seseorang menyatakan pikiran, perasaan, dan perilaku seksual kepada pasangannya (Tang, Bensman, & Hatfield, 2013).Perilaku seksual yang dimaksud antara lain, berpegangan tangan atau meremas jari-jari tangan, berciuman, berpelukan, memegang payudara, memegang vagina/penis, atau berhubungan seksual (Santrock, 2001).

Kesimpulannya, sexual self-disclosure adalah kesediaan seseorang untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan perilaku seksual dirinya pada pasangannya.

2. Karakteristik Sexual Self-Disclosure

Sexual self-disclosure umumnya dilakukan dengan mengkomunikasikan seksual yang disukai dan tidak disukai yang merupakan proses interaktif dan dinamik yang menuntut perubahan antara dua individu dalam hubungan berpacaran (Rehman dkk, 2011). Perubahan tersebut tampak melalui sikap dan perilaku individu yang memahami pasangannya dalam konteks seksualitas.

(34)

bahwa pada hubungan yang lama maupun rata-rata, pasangan sangat sedikit menyatakan tentang seksual yang mereka suka dan tidak suka. Oleh karena itu, lama atau tidaknya sebuah hubungan berpacaran tidak menjadi pedoman umum kesediaan seseorang untuk melakukan sexual self-disclosure. Miller & Byers (2004) menemukan bahwa individu lebih memilih terbuka pada teman atau pacar tentang topik seksual dibandingkan dengan orang tua. Hal ini dikarenakan mereka merasa nilai-nilai seksual yang mereka miliki berbeda dengan orang tua mereka (Morgan, 1976; Sorenson, 1973; Herold & way, 1988).

Byers & Demons (1999) menyatakan bahwa sexual self-disclosure

(35)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sexual Self-Disclosure

Dalam beberapa penelitian, faktor-faktor yang selama ini diketahui mendorong individu melakukan sexual self-disclosure antara lain:

a. Self-esteem

Herold & Goodwin (1981b) menemukan self-esteem

berhubungan dengan perasaan bersalah terhadap seks, yang mana tingginya self-esteem mempengaruhi individu kurang merasa bersalah terhadap perilaku seksual mereka karena individu tetap memiliki penilaian baik dan memandang positif diri mereka. Bardwick (1973) juga menemukan bahwa perempuan muda yang memiliki self-esteem

yang tinggi kurang memikirkan reaksi negatif orang lain karena ketika seseorang memiliki self-esteem yang tinggi, maka akan mempengaruhi penilaian atas diri mereka maupun orang lain. Pada studi Herold & Way (1988) self-esteem berhubungan dengan sexual self-disclosure

pada perempuan virgin dan nonvirgin. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan diri yang tinggi membutuhkan self-esteem berupa kepercayaan atas diri mereka yang kurang baik dan resiko apabila terbuka pada pasangan, khususnya pada perempuan nonvirgin.

b. Kenyamanan dan sikap yang sama terhadap seksualitas dalam sebuah kelompok

Hal ini dapat mempengaruhi sexual self-disclosure individu.

(36)

menggunakan informasi tersebut untuk melukai orang. Kemudian, individu mencoba menemukan posisi pada orang lain sebelum menyatakan tentang diri mereka. Individu akan terbuka jika mereka melihat orang lain nyaman untuk berbicara mengenai topik seksual dan saling berbagi nilai yang sama (Herold & Way, 1988).

c. Komitmen

Komitmen dalam hubungan memungkinkan keterbukaan karena individu merasa aman tentang pasangan mereka dan kurang khawatir terhadap penolakan. Hal ini juga dikarenakan sexual sellf-disclosure dapat meningkatkan keintiman yang pada akhirnya memungkinkan adanya komitmen yang jelas dalam hubungan mereka (Herold & Way, 1988).

d. Frekuensi pengalaman seksual

(37)

Sebaliknya, faktor-faktor yang diketahui menghambat individu dalam melakukan sexual self-disclosure antara lain:

a. Takut akan akibat-akibat negatif

Individu takut akibat negatif yang akan muncul dalam hubungan seperti takut diekspos, ditelantarkan, takut akan reaksi marah dari orang lain, takut merugikan diri sendiri, merasa terganggu atau cemas apabila orang lain tahu, dan khawatir akan kehilangan seseorang apabila mengetahui tentang kebenaran yang diungkapkan, terutama mengenai topik seksual yang terkesan pribadi, seperti pengalaman seksual di masa lalu (Hatfied 1984; Tang, Bensman, & Hatfield, 2013).

b. Rasa bersalah

Rasa bersalah terhadap perilaku seksual mempengaruhi individu untuk kurang terbuka pada pasangan. Orang yang merasa bersalah memiliki keyakinan bahwa orang lain akan menghukum atas perilaku seksual mereka dan mereka akan sangat merasa bersalah jika menyatakannya pada orang lain (Bardwick, 1973; Herold & Way, 1988).

c. Memiliki banyak pasangan seksual di masa lalu

(38)

karena mereka mempunyai banyak pasangan seksual di masa lalu (dalam Anderson, Kunkel, & Dennis, 2011). Herold & way (1988) juga menyatakan bahwa individu yang memiliki beberapa pasangan seksual dapat dipandang negatif oleh pasangannya saat ini dan mereka tidak bersedia untuk terbuka karena khawatir akhirnya dapat merusak hubungan.

d. Melindungi hubungan

Alasan lainnya individu menghindari membicarakan seks dengan pasangan adalah untuk ''melindungi hubungan'' terhadap hal merugikan yang mungkin menimpa hubungan. Individu tidak ingin diri mereka atau pasangan mereka mendapat pengalaman emosional yang negatif seperti bingung dan penghinaan, penilaian yang jelek, kerusakan hubungan, perasaan takut dan tidak nyaman (Anderson, Kunkel, & Dennis, 2011).

e. Budaya

(39)

akan cenderung merasa malu untuk membicarakan topik seksual karena khawatir akan dipandang sebagai hal yang tidak pantas untuk dilakukan. Dengan demikian, individu yang memiliki banyak norma atau budaya konservatif kemungkinannya kecil dalam membahas seksualitas dengan bebas (Hatfied 1984; Tang, Bensman, & Hatfield, 2013).

f. Gender

Budaya juga mempengaruhi perbedaan gender dalam hal keterbukaan. Sebuah “budaya yang terbuka” dapat mempengaruhi

seberapa banyak perempuan dan laki-laki terbuka pada lawan jenis dalam hubungan berpacaran (Derlega dkk, 1985). Gottlieb & Wagner (1991) menyatakan bahwa laki-laki kurang bersedia dan kurang nyaman terbuka tentang perasaan pribadinya. Perempuan lebih nyaman berdiskusi dengan intim dibandingkan laki-laki, mereka lebih terbuka tentang perasaannya dan lebih menunjukkan minat dan pemahaman dalam merespon keterbukaan orang lain. Laki-laki kurang memiliki minat pada keterbukaan diri karena memiliki keyakinan bahwa laki-laki lebih malu membicarakan topik yang intim (Derlega dkk, 1985). C. Dewasa Berpacaran

(40)

kemampuan individu untuk mulai mendapatkan pekerjaan dan tidak bergantung dengan orang tua. Kemudian, kemandirian membuat keputusan yaitu tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungannya, serta gaya hidup.

Santrock (2002) menjelaskan bahwa tugas orang dewasa adalah untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) tugas perkembangan dewasa adalah menikah atau membangun sebuah keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tangung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan. Mencari pasangan hidup yang tepat sangat penting karena merupakan pilihan untuk membina sebuah keluarga. Santrock (2002) mengatakan pada usia ini orang dewasa mulai mengalami cinta dan menjalin hubungan yang intim yakni berpacaran. Cinta yang romantis inilah yang menjadi alasan utama individu untuk menikah dan menjadi orang tua.

Berpacaran adalah masa pendekatan yang ditandai adanya saling pengenalan pribadi baik kekurangan dan kelebihan masing-masing individu dari kedua lawan jenis. Pacaran dapat dijadikan sebagai masa persiapan individu untuk memasuki masa pertunangan atau pernikahan (Dariyo, 2003). Pacaran juga merupakan proses penyeleksian pasangan untuk pernikahan (Santrock, 2003).

(41)

mengungkapkan bahwa perilaku seksual merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan dari masa dewasa, karena seksualitas memainkan peran penting dalam kehidupan individu dewasa. Dalam berpacaran, tidak jarang orang dewasa melakukan perilaku seksual, bahkan ada pula yang melakukan hubungan seksual pranikah (sexual intercourse pre-marital) (Papalia, Olds, & Fedman, 2001; Santrock, 2001).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa berpacaran adalah adalah individu yang berada pada rentang usia 18-40 tahun yang sedang menjalin relasi intim yakni berpacaran dengan lawan jenis untuk saling mengenal satu sama lain. Pacaran digunakan sebagai proses penyeleksian pasangan untuk pernikahan dan persiapan untuk memasuki masa pertunangan atau pernikahan.

D. Dinamika Hubungan Gaya kelekatan dan Sexual Self-Disclosure

George Levinger (1974) menyatakan dukungan yang “saling

menguntungkan” dalam hubungan berpacaran terjadi saat pasangan saling

berbagi pengetahuan satu sama lain dan saling berbagi informasi pribadi yang terkait dengan hubungan mereka (dalam Santrock, 1985). Dalam hubungan berpacaran, komunikasi yang terbuka terkait seksualitas juga diperlukan untuk membangun dan memelihara hubungan yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya sexual self-disclosure.

Gaya kelekatan pada seseorang diduga mempengaruhi kemampuan

(42)

dapat mempengaruhi perasaan seseorang, cara berpikir, dan berperilaku dalam hubungan berpacaran mereka (Brennan & Shaver, 1995; Collins, 1996; Collins & Read 1990; Simpson, 1990; Broemer & Blumle, 2003).

Individu yang memiliki gaya kelekatan insecure-anxiety diduga dapat mempengaruhi kesulitan ataupun ketidakmampuannya menyatakan pikiran, perasaan, dan perilaku yang terkait dengan seksual pada pasangan karena mereka memiliki ketakutan penolakan interpersonal atau penelantaran dan cemas saat pasangan tidak merespon baik atas dirinya (Fraley & Shaver, 2000). Begitu juga pada individu yang insecure-avoidant akan sulit melakukan sexual self-disclosure karena mereka memiliki ketakutan akan ketergantungan dan keintiman interpersonal dan keseganan untuk membuka diri, tidak nyaman dekat dengan orang lain, gugup ketika orang lain terlalu dekat, sulit untuk benar-benar percaya pada orang lain, dan lebih merasa nyaman memiliki hubungan yang tidak terlalu intim dengan pasangan (Fraley & Shaver, 2000). Selain itu, ditemukan bahwa individu yang insecure-avoidant tidak menyukai aspek afeksi dan keintiman seksual dikarenakan hal tersebut merupakan sumber ketidaknyamanan (Schahner & Shaver, 2002).

(43)

pada hubungan (dalam Bogaert & Sadava, 2002), serta rendahnya kecemasan tentang kehilangan seseorang (Hazan & Shaver, 1987; Crowell & Treboux, 1995). Hal ini juga dikarenakan individu dengan kelekatan secure memiliki kemantapan dalam hubungan, orientasi yang jelas pada pasangan, termasuk dalam hubungan seksual mereka (Herold & Way, 1988) sehingga akan lebih terbuka terkait topik seksual dengan pasangannya (Davis, Follette, & Vernon, 2001).

E. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang diajukan ialah terdapat hubungan antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure pada individu dalam hubungan berpacaran. Dewasa yang memiliki gaya kelekatan

secure diduga memiliki sexual self-disclosure yang tinggi, sebaliknya dewasa yang memiliki gaya kelekatan insecure diduga memiliki sexual self-disclosure

(44)

25 persetujuan dari yang lain, dan mengalami stres ketika pasangan tidak ada atau cemas saat pasangan

tidak responsive.

Avoidant:

Ketakutan akan ketergantungan dan keintiman interpersonal, suatu kebutuhan kemandirian yang tinggi, dan keseganan untuk membuka diri, tidak nyaman dekat dengan orang lain, gugup ketika orang lain terlalu dekat, sulit untuk benar-benar percaya pada orang lain, dan lebih merasa nyaman memiliki hubungan

yang tidak terlalu intim dengan pasangan.

SSD  Tidak mampu menyatakan pikiran, perasaan, dan perilakunya yang terkait dengan seksualitas.

Secure:

Mudah dekat dengan orang lain, nyaman tergantung pada orang lain dan orang lain bergantung padanya, tidak khawatir mengenai ditinggalkan atau tentang

seseorang yang terlalu dekat dengannya, memiliki kepercayaan pada keintiman, sangat mudah membangun kedekatan dengan orang lain, merasa

stabil dan berkomitmen pada hubungan, serta rendahnya kecemasan terhadap kehilangan.

(45)

26

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional karena menghubungkan antara variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen). Peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure pada dewasa dalam hubungan berpacaran. B. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independen)

Variabel bebas merupakan variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel terikat, sehingga dikatakan sebagai variabel yang mempengaruhi. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah gaya kelekatan. 2. Variabel Terikat (Dependen)

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah sexual self-disclosure.

C. Definisi Operasional 1. Gaya kelekatan

(46)

individu yang mendapat skor tinggi diasumsikan memiliki orientasi kelekatan dewasa yang insecure. Sebaliknya, individu yang mendapat skor rendah diasumsikan memiliki orientasi kelekatan dewasa yang secure

(Brennan dkk., 1998; Lopez & Brennan, 2000; Mallinckrodt, 2000; Wei dkk, 2007). Hal ini dikarenakan skala yang digunakan lebih cenderung mengukur dimensi insecure.

Dimensi pertama disebut dengan anxiety, sedangkan dimensi kedua disebut dengan avoidant. Kelekatan Anxiety didefinisikan sebagai suatu ketakutan penolakan interpersonal atau penelantaran, suatu kebutuhan yang membutuhkan banyak persetujuan dari yang lain, dan mengalami stres ketika pasangan tidak ada atau cemas saat pasangan tidak responsif.

Kelekatan avoidant didefinisikan sebagai ketakutan akan ketergantungan dan keintiman interpersonal, suatu kebutuhan kemandirian yang tinggi, dan keseganan untuk membuka diri (Fraley & Shaver, 2000).

2. Sexual Self-Disclosure

(47)

D. Subjek Penelitian

Adapun pemilihan sampel dilakukan dengan cara Non Probability Sampling (Non Random Sample) artinya setiap anggota populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama sebagai sampel (Kerlinger, 2004). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Purposive Sampling yaitu subjek dipilih berdasarkan pertimbangan karakteristik. Subjek yang dianggap cocok dengan karakteristik sampel penelitian yang ditentukan akan dijadikan sampel dalam penelitian. Dengan demikian, diharapkan kriteria sampel yang diperoleh benar-benar sesuai dengan tujuan penelitian.

Dalam penelitian ini, partisipan yang digunakan adalah individu dewasa yang sedang menjalani hubungan berpacaran. Subjek penelitian adalah dewasa laki-laki dan perempuan dengan rentang usia yaitu 18 – 40 tahun (Hurlock, 1990).

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Metode

(48)

dahulu melakukan metode survey mengenai sexual self-disclosure pada kriteria subjek penelitian.

2. Alat Pengumpulan Data

a. The Experiences in Close Relationship Revised (ECR-R)

Skala ECR-R disusun oleh Fraley, Waller, dan Brennan pada tahun 2000. Tujuan ECR-R adalah mengukur individu didasarkan pada kelekatan insecure yang terdiri dari dua subskala kelekatan, yaitu

avoidant dan anxiety. Dimana individu avoidant tidak nyaman dengan keintiman dan independen, sedangkan individu anxiety takut ditolak dan ditinggalkan. Tujuan pengukuran ini adalah untuk mengetahui bagaimana perasaan emosional individu dalam hubungan intim. Pada skala ini terdapat 36 item yang terdiri dari item anxiety pada nomor 1-18 sedangkan item avoidant pada nomor 19-36. Pada setiap pernyataan, responden akan memberikan range nilai 1 - 7 per item (1= Sangat Tidak Setuju, sampai dengan 7= Sangat Setuju).

b. Survey Terhadap Sexual Self-Disclosure

(49)

Jenis angket yang diberikan bersifat tak berstruktur karena responden dapat memberikan jawaban secara terbuka. Angket yang diberikan terdiri dari enam pertanyaan terbuka yang disusun berdasarkan bentuk-bentuk komunikasi yang biasanya terjadi dalam hubungan, yakni melalui media, secara verbal maupun nonverbal (bahasa tubuh/ gesture) (Supratiknya, 1995) (lampiran 1). Hal ini sesuai dengan studi yang menemukan bahwa individu dapat mengkomunikasikan seksual yg mereka suka dan tidak suka secara verbal dan nonverbal (Byers & Demmons, 1999). Berdasarkan hasil analisis terhadap angket, peneliti dapat menyusun skala sexual self-disclosure.

Menurut Azwar (1999) validitas angket lebih ditentukan oleh kejelasan tujuan dan lingkup informasi yang hendak diungkap. Sedangkan reliabilitas hasil angket terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Dalam proses validasi angket ini dilakukan melalui beberapa langkah, antara lain:

1) Peneliti melakukan survey komunikasi seksual dengan memberikan angket pada 110 responden dewasa, yakni 52 responden pria dan 58 responden perempuan.

2) Melakukan analisis menggunakan prinsip kualitatif. Hal ini dilakukan untuk menemukan item-item pada sexual self-disclosure

(50)

3) Menyusun skala sexual self-disclosure sesuai dengan hasil dari hasil analisis angket.

Tabel 1. Komponen Sexual Self-Disclosure

No. Tema Umum Komunikasi Seksual Komponen 1. Sentuhan fisik (80 responden) Perilaku seksual

Kode pada perilaku seks (49 responden) Hasrat seksual (45 responden)

Istilah/ gurauan/ pengandaian untuk perilaku seks (22 responden)

Menunjukkan/ menyentuh daerah sensitive (17 responden)

Istilah dan pengandaian tertentu pada fisik pasangan (6 responden)

Menggunakan istilah tertentu pada alat kelamin (6 responden)

Keintiman pasangan lain (1 responden) Hubungan seksual (35 responden) Melakukan phone seks/ Chatting seks (5 responden)

2. Gaya/ teknik berhubungan seks (35 responden)

Merencanakan hal baru dalam hubungan ( 2 responden)

(51)

responden)

Kepuasan dan tidakpuasan seks (30 responden)

Hal-hal seksual yang disukai dan tidak disukai pasangan (18 responden)

Kekurangan & kelebihan fisik pasangan (34 responden) .

Mengungkapkan perasaan cinta dan kasih sayang (21 responden)

Memuji fisik pasangan (17 responden)

3. Kesehatan organ seksual (10 responden) Pandangan/Nilai terhadap

seksualitas Menstruasi pada perempuan (8

responden)

Batasan perilaku seks (7 responden) Membahas hal yang berkaitan dengan pornografi (6 responden)

Kehamilan (5 responden)

Larangan dalam suatu hubungan (3 responden)

Fenomena seksual (3 responden) Seks bebas (2 responden)

Seks menurut pandangan agama (1 responden)

Pendidikan seks (1 responden)

4. Pengalaman seksual (37 responden) Pengalaman seksual Keperawanan (10 responden)

(52)

c. Skala Sexual Self-Disclosure

Tujuan skala Sexual Self-Disclosure adalah untuk mengukur apakah seseorang mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas pada pasangannya. Skala Sexual Self-Disclosure disusun sendiri oleh peneliti yang terdiri dari komponen perilaku seksual, peningkatan kualitas hubungan, pandangan/ nilai seksualitas, dan pengalaman seksual.

Skala Sexual Self-Disclosure diukur menggunakan skala Likert dengan empat pilihan jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Dalam metode penskalaan Likert, isi pernyataan dibedakan menjadi dua kategori: (1) pernyataan favorable, yaitu pernyataan yang mengidentifikasikan perilaku yang diuji; dan (2) pernyataan unfavorable, yaitu pernyataan yang tidak mengidentifikasikan perilaku yang diuji. Sistem penilaian skala Sexual Self-Disclosure yaitu, untuk item yang bersifat favorable

(53)

Tabel 2. Blue Print Try Out Skala Sexual Self-Disclosure

(54)

2. Pelaksanaan Uji Coba

Peneliti melakukan uji coba terhadap skala sexual self-disclosure

untuk mengukur validitas dan reliabilitas item-item pada skala. Uji coba dilakukan pada tanggal 1 - 8 Desember 2014. Subyek diminta mengisi angket secara pribadi dengan memberikan respon dengan merating (1=Sangat Tidak Setuju, sampai dengan 4=Sangat Setuju) pada setiap pernyataan. Hasil uji coba dianalisis menggunakan SPSS.

3. Seleksi Item

Seleksi item dilakukan dengan melihat daya beda atau daya diskriminasi. Berdasarkan hasil perhitungan Rit, terdapat kriteria item yang lolos dan item yang gugur. Item gugur yaitu item yang berada dibawah 0.30. Sedangkan item yang memiliki Rit ≥ 0.30 dinyatakan lolos seleksi.

(55)

komponen dalam sexual self-disclosure yakni pikiran, perasaan, perilaku, dimana komponen perasaan kurang ditemukan dalam skala yang dibuat oleh peneliti. Akan tetapi, keempat komponen tersebut merupakan hasil yang ditemukan melalui hasil survey dan sudah mencakup apa yang ingin diteliti oleh peneliti.

Tabel 3. Distribusi Final Skala Sexual Self-Disclosure

Komponen Item

Perilaku seksual 4,5,9,11,20 = 5 item Peningkatan Kualitas Hubungan 3,6,10,12,15,17 = 6 item Nilai/ Pandangan terhadap seksualitas 1,7,13,16,18,19 = 6 item Pengalaman Seksual 2,8,14 = 3 item

(56)

G. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas Skala

Validitas tes ialah mengukur sifat-sifat psikologis yang diukur dalam sebuah penelitian (Kerlinger, 2004). Selain itu, validitas digunakan untuk mengetahui apakah skala menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya (Azwar, 1999).

a) Skala Gaya Kelekatan (The Experiences in Close Relationship Revised)

Skala ECR-R yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang dikembangkan dari luar negeri, maka untuk memvalidasi isi skala ini diperlukan metode penerjemahan. Melalui metode ini diharapkan responden dapat memahami skala yang diberikan sehingga dapat memberikan respon-respon jawaban serupa dengan skala aslinya.

(57)

pernah tinggal di luar negeri yang berbahasa Inggris minimal 2 tahun. Hasil terjemahan bahasa Inggris didiskusikan dan dibandingkan dengan skala ECR-R asli. Apabila sesuai, maka item-item skala dapat digunakan. Kemudian, melakukan try out terhadap skala ECR-R pada karakteristik subjek yang diinginkan, yaitu individu dewasa. Try out

dilakukan dengan memberikan skala pada subjek untuk melihat apakah subjek memahami item pada skala. Apabila terdapat item yang kurang dipahami, maka akan dilakukan perbaikan sesuai dengan yang dipahami oleh subjek. Proses penerjemahan dengan metode back translation sampai dengan try out skala merupakan validasi isi dari skala yang digunakan dalam penelitian ini.

(58)

b) Skala Sexual Self-Disclosure

Untuk skala Sexual Self-Disclosure peneliti menggunakan validitas isi. Validitas isi dilakukan dengan menyesuaikan item-item dalam skala dengan aspek-aspek yang diukur dan kesesuaian dengan

blue print. Penilaian dilakukan secara kualitatif dan judgmental yang dilakukan oleh seorang ahli, yang dalam penelitian ini adalah Dosen Pembimbing Skripsi.

2. Reliabilitas Skala

Menurut Kerlinger (2004) sebuah pengukuran bisa bersifat stabil, relatif, dan dapat diramalkan, atau bisa jadi tidak stabil, tidak relatif, dan tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu sebuah pengukuran dapat dikatakan reliabilitas apabila memiliki stabilitas, mampu dipercaya, mampu diprediksi, dan akurat sebagai instrumen dalam penelitian. Azwar (1999) menyatakan bahwa reliabilitas berfungsi untuk menunjukkan konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur. Pada penelitian ini untuk menentukan reliabilitas skala digunakan koefisien alpha (α) dari Cronbach.

a) Skala Gaya Kelekatan (The Experiences in Close Relationship Revised)

(59)

ukur yang asli berbeda dengan kelompok subjek dalam penelitian ini. Oleh karena itu, perlu diuji reliabilitas skala yang sesuai dengan subjek dalam penelitian. Hasilnya, skor alpha cronbach pada skala gaya kelekatan adalah 0.864. Hal ini menunjukkan bahwa skala yang digunakan memiliki reliabilitas yang tinggi.

Tabel 5. Reliabilitas Skala ECR-R

Cronbach's

Alpha N of Items

.864 36

b) Skala Sexual Self-Disclosure

(60)

H. Metode Analisa Data 1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji Normalitas digunakan untuk melihat apakah data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal. Jika nilai p > 0,05 maka disimpulkan bahwa data memiliki sebaran data yang normal, sedangkan jika data memiliki nilai p < 0,05 maka disimpulkan bahwa data tidak memiliki sebaran data yang normal (Santoso, 2010).

b. Uji Linearitas

Uji linearitas digunakan untuk melihat apakah model yang dibangun mempunyai hubungan linear atau tidak. Asumsi ini menyatakan bahwa hubungan antar variabel yang diukur mengikuti garis lurus. Jadi, peningkatan atau penurunan kuantitas di satu variabel akan diikuti secara linier oleh peningkatan atau penurunan kuantitas di variabel lain. Jika p < 0,05 maka terdapat hubungan yang linear antar variabel. Sebaliknya, apabila p > 0,05 maka terdapat hubungan yang tidak linear atau hubungan antar variabel tersebut lemah (Santoso, 2010).

2. Uji Hipotesis a. Uji Korelasi

(61)

kecenderungan variabel naik juga akan naik. Sebaliknya jika satu variabel memiliki kecenderungan untuk turun maka variabel lain juga akan turun (Santoso, 2010). Pada teknik korelasi, koefisien korelasi bergerak dari -1 sampai +1 untuk menunjukkan hubungan antar variabel memiliki korelasi negatif atau positif. Jika kenaikan kuantitas dari suatu variabel sama besar atau mendekati besarnya kenaikan kuantitas dari suatu variabel dalam satuan SD, maka korelasi kedua variabel akan mendekati 1. Sedangkan jika kenaikan kuantitas dari suatu variabel sama besar atau mendekati besarnya penurunan kuantitas dari suatu variabel dalam satuan SD, maka korelasi kedua variabel akan mendekati -1 (Santoso, 2010).

(62)

43

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mempersiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Pada skala gaya kelekatan, peneliti menggunakan metode back translation. Dalam metode ini, skala ECR-R dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh ahli. Skala ECR-R diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh penerjemah. Penerjemah kedua ialah seseorang yang pernah tinggal di luar negeri minimal 2 tahun dan yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu (America, British, Canada). Kemudian, melakukan try out terhadap skala ECR-R pada karakteristik subjek yang diinginkan, yaitu individu dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Try out dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah subjek memahami item pada skala.

Dalam upaya mempersiapkan skala sexual self-disclosure, peneliti terlebih dahulu melakukan survey mengenai bagaimana komunikasi tentang seksual yang ada pada dewasa berpacaran. Survey dilakukan melalui on line

(63)

responden perempuan. Selanjutnya, peneliti melakukan analisis yang menggunakan prinsip kualitatif untuk mendapatkan indikator dan item pada

sexual self-disclosure. Peneliti menyusun skala sexual self-disclosure

berdasarkan hasil analisis yang menggunakan prinsip kualitatif. Kemudian, peneliti melakukan try out terhadap skala sexual self-disclosure untuk usaha validitas dan reliabilitas skala. Setelah itu, skala dapat digunakan untuk penelitian.

B. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dari tanggal 12 - 30 Desember 2014. Pengambilan data dilakukan dengan cara menyebarkan skala kepada 104 subjek, yakni 52 orang laki-laki dan 52 orang perempuan dewasa yang sedang berpacaran. Untuk menjaga kerahasian data subjek dan memberikan kenyamanan kepada subjek dalam mengisi skala, peneliti memberikan waktu kepada subjek untuk mengisi secara pribadi. Hal ini dilakukan pula untuk mengurangi faking good

maupun faking bad pada subjek. C. Data Demografik Subjek

Tabel 6. Kategori Subjek Berdasarkan Usia

Usia (tahun) Jumlah Persentase

(64)

29 1 0.96 %

30 1 0.96 %

32 1 0.96 %

Total 104 subjek 100 %

Subjek dalam penelitian ini rata-rata adalah dewasa awal dengan rentang usia 18-32 tahun. Subjek terbanyak dalam penelitian ini adalah usia 22 tahun (31.73 % ) sedangkan subjek paling sedikit adalah usia 19 tahun, 29 tahun, 30 tahun, dan 32 tahun dengan masing-masing persentase 0.96 %. Tabel 7. Kategori Subjek Berdasarkan Lama Hubungan Berpacaran

Lama Hubungan

Subjek yang terlibat dalam penelitian ini memiliki status lama hubungan berpacaran ≥ 1 – 7 tahun. Status hubungan berpacaran paling banyak dalam penelitian ini ialah empat tahun (15.39 %) sedangkan status hubungan paling sedikit ialah 7 tahun (1.93 %).

D. Deskripsi Data Penelitian

Berdasarkan rumus rating scale Azwar (2004) dengan menggunakan

(65)

1) Skala Gaya Kelekatan

Skor maksimal subjek : 7 x 36 = 252 Skor minimal subjek : 1 x 32 = 32

Rumus Mean Teoritis

µ = ½ (skor maksimal item+ skor minimal item)K µ = ½ (7+1)36= 144

Rumus Satuan Standar Deviasi

σ = (1/6( skor maksimal subjek – skor minimal subjek) σ = 1/6 (252-32)= 37

Keterangan : K : total item µ : mean teoritis

σ : satuan standar deviasi

Rumus Kategori Skor

Rendah : x < µ -1.0(σ)

Sedang : (µ-1.0(σ)) ≤x < (µ+1.0(σ)) Tinggi : (µ+1.0(σ)) ≥ x

Kategori Skor Gaya Kelekatan Subjek

(66)

Tabel 8. Skor Subjek Pada Skala Gaya Kelekatan

2) Skor Sexual Self-Disclosure

Skor maksimal subjek: 4 x 20 = 80

Kategori Skor Gaya Kelekatan Subjek

Rendah : 50- (1.0x(10))= 40 maka Rendah : 10 - 39 Sedang : 50+(1.0x(10))= 60 maka Sedang : 40 - 59 Tinggi : 80 maka Tinggi : 60 – 80 Tabel 9. Skor Subjek Pada Skala Sexual Self-Disclosure

Sexual Self-Disclosure

Kategori Total

(67)

Berdasarkan data di atas, pada skala gaya kelekatan, skor terbanyak baik subjek laki-laki dan perempuan yakni berada pada skor sedang, yakni 65.38 %. Hal ini menunjukkan bahwa subjek pada penelitian ini cenderung memiliki gaya kelekatan yang kadang merasa aman (secure) dan kadang merasa tidak aman dengan pasangannya (insecure). Menariknya adalah tidak seorang pun subjek yang tergolong memiliki skor tinggi pada kategori gaya kelekatan (insecure). Pada skala sexual self-disclosure, skor terbanyak baik subjek laki-laki dan perempuan berada pada skor sedang yakni 63.46 %. Hal ini menunjukkan bahwa subjek cenderung dapat mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan topik seksual pada pasangan.

E. Hasil Penelitian 1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Tabel 10. Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirnova Sig.

Gaya_kelekatan .200*

SSD .025

(68)

Menurut Santoso (2010), sebuah data yang tidak memiliki distribusi normal disebabkan karena adanya Outlier yakni titik yang berada jauh dari keadaan subjek lainnya. Beberapa hal yang dapat menyebabkan munculnya outlier yakni,

(i) Kesalahan entri data.

(ii) Keadaan tertentu yang mengakibatkan error pengukuran yang cukup besar (misalnya subjek yang tidak kooperatif dalam penelitian sehingga mengisi tes tidak dengan sungguh-sungguh). (iii) Keadaan istimewa dari subjek yang menjadi outlier.

(69)

b. Uji Linearitas

Hasil uji Lineritas antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure memiliki signifikansi 0.341. Hal ini menunjukkan bahwa gaya kelekatan dan sexual self-disclosure memiliki hubungan yang tidak linier karena signifikansinya lebih besar dari 0.05. Akan tetapi, apabila dilihat dari baris deviation from linearity yang merupakan bagian yang tidak mengikuti garis linier, antara gaya kelekatan dan

sexual self-disclosure memiliki hubungan yang linier karena signifikansinya lebih besar dari 0.05, yakni 0.363. Hal ini dikarenakan ada sebagian data yang mengikuti pola hubungan yang tidak linier. Sebaliknya, jika deviation from linearity juga signifikan maka hubungan antar variabel sepenuhnya mengikuti pola linier (Santoso, 2010).

Tabel 11. Uji Linieritas

ANOVA Table

Sig. SSD *

Gaya_kelekatan

Between Groups

(Combined) .366

Linearity .341

(70)

Bagan 2. Scatter Plot Hubungan Gaya Kelekatan dan Sexual Self-Disclosure

Berdasarkan grafik pada scatter plot di atas, dapat dilihat bahwa data tampak memiliki jarak yang relatif dekat dengan garis. Namun, terlihat pula beberapa outlier sehingga data menjadi tampak tidak linier. Kesimpulannya, data memiliki hubungan yang linier namun lemah.

2. Uji Hipotesis

Tabel 12. Uji Hipotesis

Correlations

Gaya_kelekatan SSD Spearman'

s rho

Gaya_keleka tan

Correlation

Coefficient -.117

Sig. (1-tailed) .119

SSD Correlation

Coefficient -.117 1.000

(71)

Pada uji hipotesis penelitian ini, teknik yang digunakan adalah teknik korelasi Spearman. Hal ini dikarenakan hasil data tidak normal pada skala sexual self-disclosure dan tidak menunjukkan hubungan yang linier antar variabel. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure memiliki korelasi yang negatif namun sangat lemah, yakni -0.117 dengan sigfikansi sebesar 0.119.

Hasil hipotesis penelitian memiliki arah yang negatif, namun hasil ini hanya berlaku di dalam sampel penelitian. Artinya, tingginya skor gaya kelekatan (bahwa seseorang memiliki kelekatan insecure) diikuti oleh rendahnya skor sexual self-disclosure yakni menunjukkan seseorang tidak mampu mengkomunikasikan hal-hal terkait seksual dengan pasangan, dan sebaliknya. Akan tetapi, hasil ini tidak dapat digeneralisasikan pada populasi karena signifikanasi kedua variabel lebih besar daripada taraf signifikansi dalam populasi (p > 0.05). Kesimpulannya, hipotesis dalam penelitian ini memiliki korelasi negatif, sangat lemah, dan tidak signifikan. Maka, hipotesis penelitian ditolak.

F. Analisis Tambahan

Dalam penelitian ini, peneliti juga menganalisis berdasarkan data demografik subjek, yakni dengan membedakan tingkat gaya kelekatan dan

(72)

Hasil penelitian terhadap variabel gaya kelekatan antara subjek laki-laki dan perempuan menunjukkan signifikansi sebesar 0.007 atau < 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan gaya kelekatan antara subjek laki-laki dan perempuan. Berdasarkan data dalam penelitian ini, ditunjukkan bahwa laki-laki lebih memiliki skor tinggi pada skala gaya kelekatan (76.92 %) dibandingkan perempuan (53.85 %). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Monteoliva dkk (2012) yang menemukan bahwa laki-laki dan perempuan yang sama-sama memiliki kelekatan dismissive, namun memiliki perbedaan dalam mengekpresikan perasaan. Laki-laki memiliki sikap yang negatif dalam mengekpresikan perasaannya pada pasangan, sedangkan perempuan memiliki sikap yang positif dalam mengekpresikan perasaannya pada pasangan. Selain itu, ditemukan bahwa perempuan menunjukkan kenyamanan yang lebih baik dalam hal keterbukaan dan lebih nyaman dengan hubungan yang mereka jalani dibandingkan dengan laki-laki (Hazan & Shaver, 1987).

(73)

sulit menyampaikan pesan terkait seksual pada pasangannya (Brehm dkk, 2002; O‟Sullivan & Gaines, 1998; dalam Matlin, 2012). Di Indonesia sendiri,

dalam sebuah artikel dibahas bahwa adanya faktor budaya dan sosial yang menekan menjadikan perempuan enggan dan tidak leluasa untuk membahas mengenai seksualitas. Selain itu, adanya unsur religi dan norma tradisional yang begitu mengekang seksualitas mempengaruhi kebanyakan perempuan menutupi minatnya terhadap seks.

G. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan data tidak normal pada skala sexual self-disclosure dan tidak memiliki hubungan linier antara gaya kelekatan dan

sexual self-disclosure yang ditunjukkan oleh signifikansi sebesar 0.341 atau < 0.05. Kemudian, antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure juga memiliki korelasi yang negatif dan sangat lemah, yakni sebesar -0.117. Dengan demikian, tidak terjadi korelasi yang signifikan antara gaya kelekatan dan sexual self-disclosure sehingga hipotesis penelitian ini ditolak.

Gambar

Tabel 1. Komponen Sexual Self-Disclosure
Tabel 2. Blue Print Try Out Skala Sexual Self-Disclosure
Tabel 3. Distribusi Final Skala Sexual Self-Disclosure
Tabel 5. Reliabilitas Skala ECR-R
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menentukanapakah ada hubungan antara kelekatan tidak aman dengan kepuasan berelasi pada perempuan yang berpacaran.. Konteks yang dipakai dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan signifikansi antara tipe perfeksionisme dengan gaya manajemen konflik pada dewasa awal yang sedang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan signifikansi antara tipe perfeksionisme dengan gaya manajemen konflik pada dewasa awal yang sedang

Hal ini sesuai dengan Shane (2008) yang menyatakan bahwa komitmen merupakan rasa saling memiliki ikatan psikologis dalam menjalin relasi antara satu orang dengan yang lain

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara daya tarik fisik terhadap kepuasan hubungan pada pasangan usia dewasa awal yang berpacaran.. Penelitian ini

Kontribusi khusus yang ingin diberikan oleh peneliti adalah penelitian ini khusus memprediksi masing- masing gaya kelekatan, yaitu gaya kelekatan aman, gaya kelekatan

Seseorang akan mudah untuk melakukan konformitas ketika kelompok mayoritas adalah orang-orang yang disukai atau pada orang- orang yang dekat dan lekat dengan remaja..

Kelebihan penelitian ini adalah dapat melihat hubungan secure attachment dengan kualitas hubungan berpacaran di masa dewasa awal yang menjalin long distance relationship