• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

1

ekonsepsi

Ekonomi

Islam

Ahmad Aly Alboub

(2)

ekonsepsi

Ekonomi

Islam

Ahmad Aly Alboub

2017

(3)

ii

Rekonsepsi Ekonomi Islam

Versi e-book, Juni 2017

Author:

Ahmad Aly Alboub, SE.I Email:

(4)

iii

Tulisan ini aku dedikasikan untuk kedua orang tuaku,

Untuk agama Islam yang aku cintai dan ummat Islam,

Terimakasih untuk orang-orang yang terlibat bagi mungkinnya

tulisan buku ini terwujud yang tidak dapat disebut satu persatu, yang

telah berkontribusi baik langsung ataupun tidak langsung, semoga

Allah membalas dengan balasan yang baik

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam.

Tulisan ini adalah hasil refleksi penulis yang memposisikan diri sebagai seorang pelajar atas sampaian, ceramah-ceramah, buku-buku, ide, pemikiran dan gagasan dari seorang Syaikh, Ulama-Cendekia, filsuf dan pemikir Islam kontemporer, Imran Nazar Hosein, seorang syeikh kelahiran Trinidad, West Indies 1942. Beliau adalah murid dari seorang Syaikh Sufi Maulana Dr. Muhammad Fazlur Rahman Anshari (Al-Qaderi) yang mana beliau telah menempuhi kesarjanaan di Aleemiyyah Institute of Islamic Studies, Karachi, dan International Relation di Univerisiti West Indies, Trinidad dan Graduate Institut of International Studies, Geneva, Switzerland. Selepas 1985 beliau telah meletakkan jawatannya yaitu sebagai pegawai hubungan luar negri di Trinidad dan Tobago untuk berdedikasi menumpukan kehidupan untuk tujuan Islam (Islamic Mission), kemudian beliau dilantik menjabat Prinsipal Aleemiyah Institut of Islamic Studies, Pakistan (1988), berhijrah ke Amerika Serikat untuk ditunjuk dan dilantik sebagai Pengarah Institute for Islamic Education and Research di Miami-Florida, bekerja di New York sebagai Pengarah Islamic Studies for Joint Comittee of Muslim Organization of Greater New York dan Pengarah Islamic Community of the United Nation di Badan Persatuan Bangsa-Bangsa (UN) di Manhattan, New York, di mana beliau mengetuai sholat Jumaat sekali dalam sebulan selama enam tahun. Pada Desember 1996 beliau telah dilantik oleh Dr. Israr Ahmad sebagai Pengarah Da‟wah kepada Tanzeem-e-Islami Amerika Utara, dan beliau telah banyak pula menjelajah untuk dakwah Islam, melawat ke Asia Tenggara sebanyak tujuh kali dari tahun 1988. “Islam and Buddhism in the Modern World” (1972) adalah salah satu bukunya dalam studi perbandingan agama. Karya-karya beliau mengenai Islam dan Hubungan Antarbangsa di antaranya yaitu “Diplomacy in Islam – An Analysis of the Treaty of Hudaibiyah”, dan koleksi tulisan-tulisan beliau telah diterbitkan di Singapura pada tahun 1991 dibawah tajuk “Islamic and the Changing World Order”. Beliau juga menulis buku semenjak tahun 1997 yang ditujukan untuk mengenang gurunya Dr. Anshari, yang dituliskan ke dalam buku-buku „Serial Memori Anshari‟, di antaranya: “The Importance of the Prohibition of Riba In Islam”, “The Prohibition of Riba in the Quran and Sunnah”, “The Religion of Abraham and the State of Israel - A View from the Qur‟an”, “The Chaliphate, the Hejaz and the Saudi-Wahhabi Nation-State”, dan “One Jama‟at at One Ameer – The Organization of a Muslim Community in the Age of Fitan”, “Suratul Kahf and the Modern Age”, “An Islamic View of the Return of Jesus”, “Jerusalem in the Qur‟an”, “Iqbal and Pakistan‟s Moment of Truth”, “Explaining Israel‟s Mysterious Imperial Agenda”, “Madina Returns to Center-State in Akhir al-Zaman”, “From

(6)

v

Jesus the True Messiah to Dajjal the False Messiah”, “An Introduction to Methodology for Study of the Quran” dan lain-lainnya.

Dalam pengamatan penulis beliau telah cukup banyak menguasai wawasan keilmuan baik ilmu dien maupun ilmu keduniaan khususnya dalam bidang sosial, politik, ekonomi, religi, hubungan internasional, yang terkenal dalam memberikan analisis mengenai cabang disiplin studi Eskatologi Islam atau Ilmu Akhiruzzaman, yakni merangkai peristiwa kejadian dan kajian politik, sosial, ekonomi, religi, yang terjadi pada hari ini kaitannya dengan petunjuk Qurani dan Ahadits yang merefleksikan kebenaran nubuwwah Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wasalam. Semoga ilmu beliau dan gurunya Maulana Dr. Fazlur Rahman Anshari diberkahi Allah dan rahmat Allah atas mereka berdua.

Berdasarkan apa yang telah dipelajari penulis dari sampaian dan upaya Syaikh Imran Hosein selama satu atau dua dekade terakhir (semoga Allah memberkati upayanya), realiti praktek sosial, politik, ekonomi yang terjadi pada zaman modern ini, rupanya amat-amat miris dan memprihatinkan yang sangat amat jauh dari pada apa yang seharusnya menjadi panduan pegangan muslim yang utama yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad ز, yang terjadi dalam skala besar (makro) maupun skala kecil (mikro). Oleh karena itu tulisan ini hanyalah sedikit upaya yang miskin dari penulis untuk mencari jalan keluar atas persoalan. Bila kiranya ada cacat dalam tulisan ini hendaknya diabaikan atau diberi kritik, namun bila ada kebenarannya maka barangkali boleh menjadi jalan kita bersama untuk mencari jalan keluar secara bersama-sama atas masalah, bila masalah itu telah menimpa kita sebagai manusia secara umumnya dan ummat muslim khususnya pada hari ini. Adapun pada akhirnya kebenaran adalah semata-mata milik Allah, kebenaran datangnya hanya dari Allah. Siapa yang dikehendakiNya sesat maka tiada sesiapapun yang dapat memberi petunjuknya, siapa yang dikehendakiNya petunjuk maka tiada sesiapapun yang dapat menyesatkannya. Semoga Allah selalu memberikan petunjuk hidayahNya. Amiin.

Di Bumi Allah, Syawal 1438/Juni 2017

(7)

vi I PENDAHULUAN II LANDASAN III PASAR IV PERSERIKATAN V PERAN KHALIFAH VI SISTEM KEUANGAN VII

KONSEPSI KEUANGAN PUBLIK ISLAM VIII

BAYTULMAL IX PERMODALAN

X

TABUNGAN DAN INVESTASI XI EKONOMI MAKRO XII IDEOLOGI XIII KOMPETISI XIV KESIMPULAN

(8)

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR IV

DAFTAR ISI

VII

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Ekonomi 1

1.2 Ekonomi Dalam Filosofi Barat-Modern 5 1.3 Ekonomi Dalam Filosofi Islam 10

1.4 Sistem Ekonomi: Barat-Modern vs Islam 21

2 LANDASAN 28

2.1 Epistimologi Islam 28 2.2 Metodologi Ilmiah Islam 38 2.3 Pandangan Alam Wujud Islam 64

2.4 Implikasi Pandangan Alam Wujud Islam Terhadap Kehidupan Dunia dan Kegiatan Ekonomi 72

3 PASAR 74

3.1 Efisiensi Pasar 74 3.2 Mekanisme Pasar 76 3.3 Pasar Di Dalam Islam 78

4 PERSERIKATAN 84

4.1 Efisiensi Perserikatan 84 4.2 Mekanisme Perserikatan 85 4.3 Perserikatan Di Dalam Islam 86

5 PERAN KHALIFAH 89

5.1 Khalifah 89

5.2 Peran Khalifah di Dalam Ekonomi 90 5.3 Peran Khalifah di Luar Ekonomi 91 5.4 Kedaulatan Khalifah 93

6 SISTEM KEUANGAN 95

6.1 Sistem Keuangan Modern 95 6.2 Sistem Keuangan Islam 106

7 KONSEPSI KEUANGAN PUBLIK ISLAM 112

7.1 Dua Syariat Muammalah Terbesar 112

7.2 Lawan Dari Riba Adalah Sedekah 113 7.3 Dilematika Pelarangan Riba 114

7.4 Sifat Strategis Sedekah Terhadap Riba 115 7.5 Dilematika Penerapan Qardh-Hasan 118

(9)

viii

8 BAYTULMAL 125

8.1 Baytulmal 125

8.2 Sistem Perpajakan Islam 125 8.3 Sedekah 126

8.4 Perpajakan dalam Tradisi Islam 127

8.5 Perolehan dan Penyaluran Keuangan Baytulmal 130 8.6 Infrastruktur 131

8.7 Inisiatif (Ijtihadiyyah) Infaq-Wajib 132

8.8 Inisiatif (Ijtihadiyyah) Sistem Hitung dan Pemungutan Zakat 136 8.9 Kategorisasi, Alokasi dan Distribusi Baytulmal 143

9 PERMODALAN 145

9.1 Pasar Modal dan Pasar Keuangan 145 9.2 Bank dan Bank Islam 149

9.3 Baytusysyirkah 156

9.4 Infrastruktur Keuangan 159

10 TABUNGAN DAN INVESTASI 162

10.1 Tabungan dan Investasi 162

10.2 Tabungan Dalam Islam 165 10.3 Investasi Dalam Islam 167 10.4 Pinjaman dalam Islam 168

11 EKONOMI MAKRO: KONTROL

KEBIJAKAN DAN PEMBANGUNAN 169

11.1 Kebijakan dan Kontrol Baytulmal 169

11.2 Kebijakan dan Kontrol Infastruktur Keuangan; Dana Qardh 172 11.3 Tahap-Tahap Lepas Landas Ekonomi 173

12 IDEOLOGI 178

12.1 Ideologi Ekonomi Islam vs Ideologi Ekonomi Sekuler 178

13 KOMPETISI 180

13.1 Kompetisi Ekonomi Dalam Paham Sekuler-Liberalis 180 13.2 Kompetisi Ekonomi Dalam Paham Islam 180

14 KESIMPULAN 182

14.1 Konsepsi Ekonomi Islam 182 14.2 Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam 184 14.3 Rumusan Ekonomi Islam 185

(10)

1

Alhamdulillahi rabbil-alamin

Assholatu wassalamu „ala asyrafil anbiya-i wal mursalin A‟udzubillahi minasy-syaithanir-rajim Bismillahirrahmanirrahim

I

PENDAHULUAN

I.I

Ekonomi

ebelum kita memasuki kepada bab-bab yang lainnya untuk mengkaji ilmu atau konsep mengenai ekonomi, terlebih dahulu kita ingin tahu; apa itu ekonomi? Perihal apakah ekonomi itu? Apa pengertian yang paling mudah, paling umum dan mendasar dari ekonomi? Serta gambaran umum dari sesuatu yang disebut sebagai „ekonomi‟? Sebagai jawaban langsung pertanyaan ini, barangkali pengertian yang paling mudah, yang paling umum dan mendasar, bila digambarkan dengan kalimat yang singkat, ekonomi adalah; „kegiatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup‟. Apa yang menjadi inti persoalan dan mendasar dari ekonomi adalah urusan mengenai „kebutuhan hidup manusia‟, itu lah yang paling utama dari subjek kajian ekonomi, bila kebutuhan hidup sudah terpenuhi maka kiranya ekonomi itu sudah tuntas masalahnya, sudah beres, tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan; ekonomi sudah mencapai „tujuan‟-nya. Oleh karena itu, bila tidak ada kebutuhan hidup tidak ada ekonomi, bila ada kebutuhan hidup maka ada ekonomi.

Semenjak manusia pertama hidup di muka bumi – Adam alaihissalam –, manusia memang diciptakan Allah sebagai makhluk yang berkebutuhan hidup, maka keberadaan ekonomi menjadi wajib sebagai konsekuensi dari adanya kebutuhan hidup manusia. Persoalan ekonomi tidak bisa diabaikan dan sudah menyatu dengan diri manusia itu sendiri, agama juga tidak bisa mengabaikan persoalan ini, ekonomi itu sendiri tidak bisa dibiarkan bebas tanpa panduan moral, dibebaskan dari panduan moral, Allah telah menurunkan kitab untuk menerangkan hukumNya kepada manusia, agar manusia mengambil pelajaran dan hikmah dari

S

(11)

2

padanya, menjadikannya panduan moral praktis; untuk berbuat yang benar dan menjauhi kerugian dan kecelakaan (di dunia dan di akhirat).

Kita bisa mengetahui asal-usul adanya ekonomi karena ada „kebutuhan hidup‟ manusia, dengan demikian akar masalah ekonomi itu awal mulanya ada pada manusia. Manusia sebagaimana adanya secara lahiriahnya, adalah makhluk yang tidak bisa hidup kecuali ia diberi dan dipenuhi pemenuh kebutuhannya. Apabila kebutuhan hidup manusia tidak dipenuhi maka (eksistensi) manusia itu menjadi lemah dan akhirnya punah (mati).

Bila Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berkebutuhan hidup, tentu saja Allah tidak bermaksud untuk mem-punah kan manusia karena manusia ada tugas yang perlu ditunaikan, Allah tidak membiarkan penciptaan manusia begitu saja berdiri sendiri tanpa ada sumber pemenuh kebutuhannya. Bumi di sisi lain Allah ciptakan merupakan pelengkap bagi (lahiriah) manusia. Bumi dan manusia ibarat dua kutub yang saling melengkapi, tanpa ada salah satunya tidak berarti apa-apa. Dengan kata lain, masalah (mendasar) yang ada pada diri manusia itu sebetulnya solusinya sudah ada di hadapan mata; di mana bumi sebagai sumber pemenuh kebutuhan manusia.

Setelah kita memperoleh pengertian singkat dan umum dari ekonomi, kita perlu mengetahui gambaran yang lebih besar secara umum dari „kegiatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup‟ itu sendiri. Kira-kira apa saja yang mencakup dari „kegiatan manusia‟ yang dimaksud tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui, bumi adalah sumber pemenuh kebutuhan manusia, segala sesuatu yang dibutuhkan manusia bersumber dari bumi (sandang, pangan, papan, material, mineral dan lain-lainya). Hanya masalahnya bumi yang mentah itu harus diolah untuk mengadakan barang-barang kebutuhan hidup. Untuk meng‟ada‟kan barang-barang kebutuhan hidup itu manusia harus meng-ekstraksi dan mengolah sumber daya-sumber daya yang ada di bumi; tanah, air, laut, udara, sehingga barang-barang (dan jasa-jasa) bisa berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia, kegiatan ini disebut dengan kegiatan „produksi‟. Pada dasarnya kegiatan memenuhi kebutuhan hidup itu bisa dicapai hanya dengan pola yang paling sederhana; produksi-konsumi; manusia memproduksi barang-barang kebutuhan hidupnya kemudian manusia mengkonsumsinya – konsumsi; memanfaatkan harta hingga harta itu berkurang hingga pada akhirnya musnah –. Dalam „kegiatan memenuhi kebutuhan hidup‟ „konsumsi‟ bisa dianggap sebagai kegiatan paling akhir atau final, yang menandakan pencapaian tujuan yang paling mendasar dari ekonomi; yaitu memenuhi kebutuhan hidup.

Akan tetapi, lebih lanjut kegiatan ekonomi itu tidak sesederhana produksi lalu konsumsi. Di tengah-tengah, di antara kegiatan produksi dan konsumsi ada serangkaian kegiatan-kegiatan lainnya. Yang menjadi faktor persoalannya; pertama;

(12)

3

manusia adalah makhluk ijtima‟i (makhluk sosial), kedua; manusia tidak hanya memiliki satu jenis barang (atau jasa) kebutuhan hidup; ada kebutuhan pangan; kebutuhan sandang; kebutuhan material; kebutuhan alat dan perkakas; dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bila satu orang manusia memproduksi seluruh barang-barang (atau jasa-jasa) kebutuhan hidup itu sendirian niscaya tidak akan memiliki waktu yang cukup dalam memenuhi kebutuhan hidup yang selalu bermunculan secara rutin, ini bisa menyebabkan banyak pekerjaan-pekerjaan terbengkalai dan tidak tercapainya beberapa macam kebutuhan hidup, kehidupan seperti ini amat susah dan melarat. Oleh karena itu, manusia bekerja secara jama‟i, dan bila manusia bekerja secara jama‟i; maka perlu ada distribusi dan pembagian jatah yang adil dan sesuai dengan kontribusinya bagi kegiatan ekonomi yang ijtima‟i

tersebut. Kegiatan distribusi ini secara alaminya terjadi lewat aktivitas „pertukaran‟

(dalam pasar dan perserikatan), di sisi lain peran pemerintah juga bisa membantu distribusi yang merata dan adil lewat kuasa keuangan publiknya (lihat Bab 8: Baytulmal).

Pertukaran merupakan kegiatan ekonomi yang fitrah-alami, pertukaran menjadi solusi paling efektif dan efisien untuk mengatasi hambatan-hambatan dan masalah dari beragam kebutuhan yang tak sempat diproduksi oleh masing-masing pelaku ekonomi. Dengan pertukaran, memungkinkan satu orang manusia hanya memproduksi barang khusus dan spesifik berdasarkan kemampuan dan kapasitas produksinya, kemudian dari satu jenis barang yang diproduksinya bisa dipertukarkan di pasar menjadi berbagai macam dari semua jenis barang-barang kebutuhan hidup yang ia perlukan. Oleh karena itu, sekarang kita akan memiliki gambaran bahwa di antara kegiatan produksi dan konsumsi ada berbagai macam ragam bentuk pertukaran atau transaksi-transaksi ekonomi; dari keuangan, barang-barang dan jasa-jasa kebutuhan hidup, dan kegiatan ini lebih besar dan luas di dalam kegiatan ekonomi.

Gambaran lebih lanjut, di antara persoalan „kebutuhan hidup‟ di samping kebutuhan hidup manusia yang beragam, selain itu ialah; pertama; kebutuhan hidup manusia dalam dimensi waktu tidak hanya kebutuhan hidup itu ada di saat sekarang, tetapi kebutuhan hidup juga ada di masa depan, kedua; barang-barang (atau jasa-jasa) itu seringkali tidak ada saat dibutuhkan dan ada saat tidak dibutuhkan. Maka dari itu solusi dari persoalan ini manusia perlu manajemen waktu dan jadwal; baik itu menyegerakan pemanfaatan harta/konsumsi (dengan pinjaman) atau menangguhkan pemanfaatan harta/konsumsi (dengan menabung). Kegiatan menyegerakan pemanfaatan harta/konsumsi biasanya dicapai lewat mencari bantuan pinjaman, sedangkan kegiatan menangguhkan pemanfaatan harta/konsumsi dicapai lewat kegiatan menyimpan harta atau menabung. Oleh karena itu, „pinjam-meminjam‟ dan „tabungan‟ juga termasuk fenomena kegiatan ekonomi. Termasuk dari pada strategi manusia untuk memastikan kebutuhan di

(13)

4

masa depan tetap terpenuhi dan supaya eksistensi kehidupan manusia tetap berkelanjutan, selain itu pemanfaatan harta tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan di masa sekarang (konsumtif), tetapi juga sebagian alokasi harta manusia dimanfaatkan untuk konsumsi produktif, ini disebut kegiatan „investasi‟. Dengan seperti itu maka kegiatan konsumsi akan terus terjamin sepanjang waktu ke depan dan objektif ekonomi yaitu; pemenuhan kebutuhan hidup, bisa terus terpenuhi. Berdasarkan ini maka gambaran umum dari ekonomi itu yaitu; „kegiatan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup‟ itu kurang lebihnya akan mencakup kegiatan-kegiatan; (1) produksi, (2) transaksi/pertukaran, (3) tabungan/simpanan dan pinjaman, (4) investasi, (5) konsumsi. Kesemuanya berangkaian satu sama lainnya sebagai kegiatan ekonomi.

Lebih lanjut lagi, pengertian dan pemaknaan ekonomi pada akhirnya tidak lagi dimaknai sesuai pemaknaan mendasarnya; „kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup‟. „Kebutuhan hidup‟ itu sendiri maknanya menjadi meluas tergantung pada faham/filosofi dan ideologinya. „kebutuhan hidup‟ maknanya berkembang menjadi „tujuan hidup‟ atau „tujuan hidup‟ itu sendiri boleh lah dikatakan juga „kebutuhan hidup‟, maka ekonomi sekarang juga bisa berarti „kegiatan manusia (menggunakan sumber daya yang ada; sda, sdm, sdu) untuk mencapai tujuan kehidupan‟. Dalam pengertian ini maka ekonomi diartikan berdasarkan filosofi dan ideologi. Kenyataannya memang ekonomi tidak lagi digunakan untuk mencapai „pemenuhan kebutuhan hidup‟ semata, tetapi lebih jauh dari pada itu ekonomi digunakan untuk mencapai „tujuan kehidupan‟ sesuai dengan ideologinya masing-masing yang dianut manusia-manusianya.

Tujuan dan cita-cita kehidupan tergambar di dalam konsepsi ideologi – ideologi boleh kita artikan sebagai; ide-ide yang menjadi tujuan kehidupan dan metode/cara/jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut –. Ekonomi menjadi alat praktis untuk tujuan kehidupan – dan kenyataannya ekonomi tidak pernah lepas dari filosofi (cara berpikirnya) dan ideologinya (ide tujuan hidupnya) –, cara berekonomi ditentukan oleh ideologinya, seringkali kita menyebut „sistem ekonomi‟ atau kadang disederhanakan menjadi „ekonomi‟ saja. Misalnya, sistem ekonomi liberalis-kapitalis, sistem ekonomi sosialis-komunis, sistem ekonomi islam.

Lalu apa pula yang dimaksud „sistem ekonomi‟? boleh kita artikan sistem ekonomi adalah cara kerja ekonomi; kegiatan ekonomi itu sendiri serta seperangkat alat/instrumen, mekanisme, institusi yang mendukungnya (menyokong kegiatan ekonomi tersebut). Misalnya; pasar di dalam ekonomi dilihat sebagai institusi yang menjalankan mekanisme pasar; sebagai media atau wadah kegiatan pertukaran/transaksi, pemerintah dan fiskalnya di dalam ekonomi dilihat sebagai institusi yang menjalankan mekanisme alokasi dan distribusi, bank sentral dan

(14)

5

sistem moneternya di dalam ekonomi dilihat sebagai institusi yang berperan untuk menjaga stabilitasi ekonomi berkaitan dengan kenaikan harga-harga (inflasi).

Oleh karena itu, secara gambaran besarnya kata „ekonomi‟ merangkum atau mencakup „kegiatan-kegiatannya‟ (seperti; produksi, pertukaran/transaksi, konsumsi, investasi, tabungan, pinjaman dan lain-lain), juga „ideologinya‟ dan „sistem‟nya. Kesemuanya ditentukan oleh filosofi yang mendasarinya, itulah yang akan membedakan satu ekonomi (sistem ekonomi) dengan ekonomi yang lainnya. Tentu saja ekonomi islam yang dilandasi filosofi (hikamiyyah) iman-islam yang sejati dan ekonomi modern yang dilandasi filosofi rasionalis-empiris-positif-materialis-sekuler ala barat-modern, memiliki pandangan yang berbeda dan konsekuensinya melahirkan sistem ekonomi yang berbeda pula.

I.II

Ekonomi Dalam Filosofi Barat-Modern

Asal usul istilah atau bahasa „ekonomi‟ dilahirkan alam pemikiran peradaban Yunani; dengan bahasa Yunani, berasal dari kata oikonomia yang digunakan pertama kali oleh Xenophone pada abad 5 SM. Oikonomia berasal dari kata oikos

yang berarti rumah tangga (dan perbendaharaannya) dan nomos yang berarti peraturan/aturan/hukum. Aristoteles memberikan pengertian oikonomia adalah „seni mengelola rumah tangga, tata kelola (perbendaharaan) warisan leluhur, kehati-hatian dan kehematan dalam penggunaan sumber daya‟. Dalam filosofi Yunani, „rumah tangga‟ dianggap sebagai unit terkecil suatu masyarakat, suatu bangsa atau negara. Kegiatan ekonomi pada masa ini belum menjadi disiplin ilmu khusus, masih menjadi satu kesatuan dengan kegiatan politik, tata administrasi mengelola negara, dan nilai-nilai yang menonjol pada kegiatan ini tetap memperhatikan, memastikan dan mengutamakan kepentingan kolektif dari pada kepentingan individu, berorientasi pada mashlahat (kepentingan umum).

Dalam perjalanan sejarahnya, walaupun filsafat Yunani memberikan kesan terhadap dunia ilmiah dan filsafat kepada era-era sesudahnya, kemudian datang suatu era spiritual yang berpengaruh kuat kepada dunia di mana peradaban Islam terbit semenjak pengutusan Nabi Muhammad ز (munculnya ummat yang baru) hingga ummat islam membuat kontak dan memberikan dampak pada negeri eropa (lewat kekhalifahan di Andalusia), di Barat nuansa spiritual juga berpengaruh kuat yang diprakarsai gerejani-gerejani kaum kristen terpelajar yang dikenal sebagai era Skolastika. Pada masa ini istilah „oikonomia‟ tetap relevan digunakan masyarakat Barat untuk kegiatan pengelolaan harta-benda individu ataupun kolektif dan tatanan moral kristen berpengaruh kuat tetap memastikan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat Barat selalu berpandukan moral dan juga kepentingan kolektif masih dianggap lebih utama daripada kepentingan individu.

(15)

6

Dalam perjalanannya lebih lanjut, peradaban barat mengalami suatu masa yang amat menakjubkan dan mengherankan di mana terjadi suatu perubahan revolusioner yang tidak pernah terjadi sebelumnya; suatu perubahan revolusioner yang akan membawa peradaban barat menjadi peradaban yang paling unggul di atas dunia. Masa ini dikenali sebagai „era kelahiran kembali‟ (renaissance) sebagai era kelahiran peradaban barat-modern. Era kebangkitan peradaban barat menjadi peradaban yang maju dan modern, dipacu oleh gerakan pemikiran yang membangkitkan kembali semangat filsafat Yunani dengan ciri „penggunaan akal secara bebas dari hambatan-hambatan yang membatasinya/menghalanginya‟. Walaupun filsafat barat-modern ini mengambil cangkokan atau akar landasan ilmiah dan filosofinya dari filsafat Yunani, tetapi apa yang dibawa oleh filosofi barat-modern ini memiliki hal-hal baru yang tidak pernah ada sebelumnya.

Dampak dari pada gerakan ini menuai hasil yang sukses di mana; (1) „tatanan moral‟ yang diprakarsai gerejani dan agama kristen runtuh, (2) pemikiran dan filosofi barat-modern segera diterima masyarakat Barat secara luas dan (dianggap) membawa kemajuan; walaupun kenyataannya juga memang filosofi barat-modern ini (membawa kemajuan dalam alam materinya, tapi tidak dalam hal moral dan spiritual) telah membangun dan memperbaharui bidang-bidang disiplin ilmu terutama dalam bidang-bidang ilmu eksak (bahkan ilmu sosial kadang dikaji dengan pendekatan eksak), hingga membawa peradaban barat-modern gemilang dalam hal saintifik. Pada akhirnya membawa kepada kemajuan alam materi dan ekonomi kaum Barat dan menjadi superior terhadap negara-negara atau bangsa-bangsa manapun di dunia (bahkan dengan kekuatan yang dibangunnya telah digunakan untuk menjajah bangsa-bangsa lain di dunia; dalam misi memperadabkan manusia; civilize the people).

Pengunaan akal secara bebas (rasionalisme) pada era kelahiran kembali, semula dimaksudkan untuk melepaskan masyarakat peradaban Barat dari dogma-dogma dan rantai kekakuan agama (dan mungkin juga katolik di eropa telah kelewat batas;

ghulluw, dengan fenomena misalnya; inquisition yang telah dilakukan gereja dan segala bentuk korupsi agama lainnya di mana ini telah membuat masyarakat barat memendam stigma negatif terhadap religiusitas). Dalam perkembangannya penggunaan akal secara bebas dari hambatan (rasionalisme) ini dipertajam dengan munculnya faham empirisme (kebenaran yang dapat dialami dan diamati) dan faham positivisme (kebenaran yang dapat dialami dan diamati secara terukur/matematis). Walaupun demikian, tetap saja apabila mengabaikan kebenaran yang mungkin bisa diperoleh dari iman, agama dan wahyu Allah dan semata-mata mengandalkan akal, pengalaman dan pengamatan inderawi, maka ia akan melahirkan paham/filosofi (cara berpikir) yang sekuler. Apa yang terjadi di Barat semenjak era kelahiran kembali, filosofi Barat-Modern yang bercirikan rasional-empiris-positif dengan menolak kebenaran yang mungkin dapat diperoleh

(16)

7

dari iman, agama dan wahyu Allah, ia sejatinya telah mengabaikan tatanan moral dan menggantinya dengan tatanan yang rasionalis-empiris-positif-sekuler. Sehingga dalam tatanan sekuler bukan berarti aturan moral tidak ada, tetapi aturan moral harus tunduk dan menyesuaikan dengan aturan rasionalitas, empirisitas dan positifitas, manakala di dalam tatanan moral adalah sebaliknya; aturan rasionalitas, empirisitas dan positifitas harus tunduk dan menyesuaikan dengan aturan moral. Lebih lanjut, faham atau filosofi Barat-Modern yang didominasi dengan ciri rasionalis-empiris-positif pada gilirannya kemudian melahirkan faham materialisme, suatu faham yang meyakini bahwa yang wujud hanyalah materi dan kebendaan. Menurut pandangan materialisme Tuhan tidak ada jika tidak dapat dibuktikan dengan pengalaman dan pengamatan inderawi, Tuhan itu ada hanya karena persepsi (zhon atau prasangka) yang dibangun alam pikiran dan kesadaran manusia yang belum tentu benar atau belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Oleh karena itu, faham atau filosofi Barat-Modern semakin mempertajam jati dirinya yang memiliki faham dengan ciri; rasionalis-empiris-positif-materialis-sekuler. Faham inilah yang membangun bangunan ilmu modern, peradaban modern dan sistem hidup modern yang diterapkan terlebih dahulu di Barat sebagai pionirnya dan seluruh dunia kemudian (di mana peradaban Barat mempromosikannya secara aktif, bahkan lewat penjajahan dalam misi civilize the people).

Dalam faham atau filosofi modern yang sekuler, posisi agama tidak berarti dihilangkan sama sekali, individu-individu boleh meyakini adanya Tuhan boleh juga tidak meyakini (atheis), tetapi selama agama itu sesuai dengan kerangka rasionalis-empiris-positif-materialistis-sekuler; di mana perkara tentang Tuhan itu biar kembali kepada masing-masing individu, tetapi tatanan agama (tatanan moral yang berlandaskan keimanan) tidak boleh mengambil peran pada ranah-ranah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seandainya pun agama mengambil peran pada ranah-ranah kehidupan bermasyarakat dan bernegara maka ia harus berada di bawah kendali kebenaran yang sudah dapat dibuktikan lewat pengalaman, pengamatan dan pengukuran, yakni ilmu pengetahuan yang positif. Dengan kata lain; agama harus tunduk dan disesuaikan dengan tatanan sekuler. Filosofi yang seperti inilah yang berkembang di dalam peradaban Barat-Modern dan pada gilirannya faham atau filosofi ini juga memegang andil bagi kelahiran disiplin ekonomi modern.

Disiplin ilmu ekonomi modern lahir dari alam pemikiran barat modern yang rasionalis-empiris-positif-materialistis-sekuler. Kelahiran ilmu ekonomi sebagai bidang kajian disiplin ilmu khusus ditandai dengan kemunculan Adam Smith semula dengan karyanya The Theory Of Moral Sentiment (1759) kemudian karya besarnya An Inquiry Into Nature And The Causes Of The Wealth Of The Nation (1776) telah memberikan sumbang asih yang sangat penting pada kelahiran ilmu ekonomi

(17)

8

modern dan setelah ini pun istilah atau bahasa „Ekonomi‟ menjadi populer bagi kaum terpelajar dan bangsawan, ia terpromosikan ke negeri-negeri dunia ke tiga bersamaan dengan kebangkitan kuasa bangsa eropa terhadap dunia lewat aksi kolonialisasinya dan bahkan hegemoni yang masih tersisa setelahnya, membekas kepada negeri-negri jajahannya terutama lewat bahasa inggris sebagai bahasa yang mendunia.

Apa yang disumbangkan oleh Adam Smith kepada disiplin ilmu ekonomi modern adalah di mana ia membawa faham baru yang belum pernah ada sebelumnya, Adam Smith sebagai filsuf berbakat melahirkan faham individualisme dan memberikan persepsi yang logis masuk akal kepada orang-orang; bahwa kepentingan umum tidak perlu diletakkan lebih tinggi dari pada kepentingan individu, justru bila individu itu diperhatikan (diberikan kebebasan) maka kepentingan umum pun dengan sendirinya akan tercapai bahkan dengan cara ini lebih efektif dan efisien untuk mencapai kepentingan umum.

Tetapi faham individualisme ini telah melangkahi faham sebelumnya yang menganggap „rumah tangga‟ sebagai unit terkecil suatu bangsa, dalam faham individualisme kini „individu‟ lah yang merupakan unit terkecil suatu bangsa, menafikkan peran-peran sosial yang khusus pada rumah tangga seperti fungsi ayah, fungsi ibu dan fungsi laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu konsekuensi dari faham ini juga melahirkan konsep persamaan hak antara laki-laki dan perempuan; persamaan gender. Konsepsi Al-Quran mengenai unit terkecil suatu masyarakat adalah pribadi laki-laki dan pribadi perempuan (Quran, Surat Al-Hujurat 49: 13), dan keduanya berbeda oleh karena dengan adanya laki-laki dan perempuan maka „rumah tangga‟ ada, dan „rumah tangga‟ mempunyai peran vital dalam masyarakat Islam, dan semua hal tentunya ada haknya pada tempatnya masing-masing; kepentingan (hak) individu tidak bisa melanggar kepentingan (hak) umum, begitupun kepentingan (hak) umum tidak bisa melanggar kepentingan (hak) individu, hak laki-laki tidak bisa melanggar hak perempuan begitupun hak perempuan tidak bisa melanggar hak laki-laki.

Individu di dalam filosofi barat-modern dipahami sebagai makhluk yang berpikir logis-positif dan menginginkan keuntungan dan kepuasan, dan egois. Faham individualisme berkembang menjadi lebih soft dan mutakhir ia menjelma menjadi faham utilitarianisme; yakni suatu faham individualisme berjamaah sebagai lawan dari egoisme. Maka faham utilitarianisme ini bila diterapkan kepada masyarakat ia akan menciptakan ummat atau masyarakat yang kerekatannya atau kesatuannya dijamin oleh materi dan asas manfaat semata, karena setiap individunya hanya peduli pada dirinya masing-masing; self-interest. Perkataan Adam Smith yang terkenal; “bukan karena keramahan si tukang daging kita bisa makan malam ini, melainkan karena tukang daging itu mencari keuntungan ekonomi untuk dirinya pribadi (sehingga kita dapat membeli daging)”.

(18)

9

Di sisi lain faham materialisme memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap filosofi ekonomi modern. Materialisme mendefinisikan tujuan hidup berpusat pada materi, kepuasan materi (hedonisme). Semakin seseorang memiliki materi yang banyak maka semakin bahagia seseorang. Oleh karenanya tujuan ekonomi tidak lagi sekedar menjaga eksistensi kehidupan manusia – keberlanjutan kehidupan manusia – tetapi lebih dari itu adalah pemuasan kehidupan manusia (peraihan surga di dunia).

Bila faham individualisme menyatu dengan faham materialisme ia akan melahirkan faham kapitalisme; bahwasanya yang menjadi tujuan dalam ekonomi adalah „akumulasi kapital‟; akumulasi materi, di mana semakin banyak seseorang memiliki perbendaharaan materi semakin bahagia seseorang. Karl Marx muncul sebagai anti-thesis dari kapitalisme yang tidak pernah memberikan solusi atas efek samping kompetisi ekonomi yaitu; kaum proletar yang terjebak di dalam kemiskinan abadi, Karl Marx tidak merubah filosofi materialisme-nya, Karl Marx meramu materialisme dengan sosialisme (sebagai lawan dari individualisme atau faham self-interest, sebaliknya sosialisme; social-interest, peduli dan empati terhadap manusia lainnya), lahirlah faham komunisme suatu faham dengan ciri; pemerataan materi (kapital) ekonomi lewat kuasa kepala kelompok sosial yakni; negara. Jika pada faham kapitalis masih memungkinkan seseorang mempercayai adanya Tuhan, pada faham komunis tidak memberikan ruang sama sekali bagi hak kebebasan berkeyakinan individu atau agama untuk mengatur urusan sosial atau negara, Tuhan dianggap tidak ada (atheis). Sekalipun demikian, kedua-duanya berfaham peran Tuhan tidak ada di dunia (faham newtonian), manusia lah yang menentukan sendiri kehidupannya (faham antrophosentris), terlepas Tuhan itu ada atau tidak ada. Kedua-duanya memiliki pohon filosofi yang sama; filosofi sekuler.

Sampai di sini faham atau filosofi modern (yang diprakarsai kaum Barat-Modern) bercirikan; rasionalis, empiris, positif, materialistis, sekuler yang melahirkan disiplin ilmu ekonomi modern, baik teori maupun praktiknya, maka menurut faham ini defenisi ekonomi adalah;

Kegiatan manusia (individu, kolektif, negara) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup – yang tak terbatas yang dihadapkan pada sumber daya yang terbatas –

„Kebutuhan hidup‟ yang diberi tambahan kalimat; „yang tak terbatas yang dihadapkan pada sumber daya yang terbatas‟ adalah implikasi dari faham atau filosofi Barat-Modern yang rasionalis-empiris-positif-materialis-sekuler. „Kebutuhan hidup‟ menurut faham ini juga termasuk „kesenangan dan kepuasan duniawi‟, „kebutuhan hidup‟ tidak hanya hal-hal mendasar yang cukup untuk membuat hidup tetap eksisten semata, maka „kesenangan dan kepuasan duniawi‟ itu juga termasuk „tujuan kehidupan‟ dan juga „kebutuhan hidup‟, ia adalah hal yang pantas untuk di kejar sebagai surga yang paling nyata; surga dunia (sementara tidak yakin

(19)

10

dengan surga di akhirat), sehingga bila setiap manusia mencari kepuasan dan kesenangan, dengan mengumpulkan materi (kapital) menjadi tujuan setiap orang sehingga setiap orang berkompetisi dalam ekonomi, maka tentu saja „kebutuhan hidup‟ menjadi tidak terbatas relatif dibandingkan dengan „sumber daya‟ yang tersedia sebagai sumber pemenuh kebutuhan hidup manusia. Inilah ekonomi menurut filosofi Barat-Modern.

I.III

Ekonomi Dalam Filosofi Islam

Mulai dari awal semenjak lahirnya dunia Islam, jauh sebelum kedatangan dunia modern-sekuler yang diprakarsa barat-modern ke atas dunia, dunia Islam tidak pernah menggunakan bahasa Inggris atau latin atau yunani sebagai bahasa internasional dan bahasa keilmuan. Dunia keilmuan Islam selalu menggunakan bahasa arab, bila istilah asing itu memiliki padanan maknanya dalam bahasa arab, istilah asing itu akan selalu diterjemahkan kedalam bahasa arab yang maknanya sepadan dan bahasa arab selalu bisa melakukannya (bahasa arab sebagai bahasa mutakhir dan canggih yang bahasanya dibangun dari sistem akar kata yang terdiri dari huruf-huruf tetap), ataupun bila suatu istilah asing tidak ada padanan katanya dalam bahasa arab maka ia diadopsi dan akan disesuaikan dengan bahasa arab, maka dunia keilmuan Islam sejatinya selalu menggunakan bahasa arab sebagai bahasa sentral keilmuan Islam, tidak pernah dunia keilmuan Islam menggunakan bahasa asing sebagai sentral keilmuan, kecuali ia adalah bahasa keilmuan lokal yang tetap menjadikan bahasa arab sebagai bahasa sentralnya; seperti urdhu, farsi, melayu jawi dan lain-lain.

„Ekonomi‟ atau „oikonomia‟ lahir istilahnya dan konsep awalnya berasal dari Yunani, ia bermakna „manajemen (perbendaharaan) rumah tangga‟ atau „tata kelola (perbendaharaan) rumah tangga‟. Adapun di dunia Islam (sebagai peradaban) yang muncul setelah peradaban Yunani, ada banyak bermunculan berbagai macam istilah yang bersentuhan, berkaitan atau mengacu pada makna „ekonomi‟, misalnya para ulama-ulama (cendekiawan, terpelajar, sarjanawan, agamawan) peradaban Islam jauh sebelum kedatangan era modern-sekuler, telah menggunakan istilah-istilah (dari bahasa arab dan bahasa Al-Quran yang sederhana) sederhana seperti;

Al-Kasbu, Al-Mal atau Al-Amwal, Ma‟isyah atau Ma‟ayisy, dan lain sebagainya, dan hari ini pada akhirnya dapat kita ketahui apa yang dibahas para ulama itu berkaitan erat dengan atau merupakan suatu bahasan subjek disiplin ilmu ekonomi.

Akan tetapi selain dari pada itu, dari semua istilah yang pernah ada di dunia Islam, ada suatu istilah yang diadopsi dan semakna dengan ekonomi atau „oikonomia‟, misalnya yaitu di dunia Islam disebut dengan Tadbir (Tata Kelola) dari kata ربد- ربدٌ

(dabbara - yudabbiru) atau Tadbir Al-Manzil (Tata Kelola Perbendaharaan). Istilah ini memang dimaksudkan untuk disiplin ilmu khusus terkait „tata kelola

(20)

11

perbendaharaan‟ yang sangat sesuai dengan makna istilah ekonomi atau „oikonomia‟ dari Yunani yang berarti „tata kelola (perbendaharaan) rumah tangga‟. Namun „Ilm Tadbir Al-Manzil‟ sebagaimana „Oikonomia‟ di Yunani, barangkali perkembangan disiplin ilmu ini masih sangat sederhana dan tidak berkembang begitu ekstensif dan bersifat parsial, sebagian-sebagian, bila dibandingkan disiplin ilmu ekonomi modern yang ada pada saat ini. Ciri khas disiplin ilmu ekonomi yang ada pada saat sebelum kedatangan zaman modern ialah ia masih sering dianggap atau berkaitan dengan kegiatan tata kelola atau administrasi kenegaraan (pemasukan, pengeluaran, pencadangan, distribusi, dan lain-lain) dan juga disiplin ilmu ekonomi pada zaman sebelum kedatangan era modern-sekuler, nilai-nilai moral atau doktrin-doktrin moral masih dijunjung tinggi atau dengan kata lain „tatanan moral‟ masih merupakan tatanan yang diakui.

Ekonomi dalam faham Yunani „makna‟nya (serta konsep, teori dan prakteknya) dibangun berlandaskan „cara pandang‟ filosofi yang tengah berkembang di dunia Yunani pada saat itu. Ekonomi dalam faham Barat-Modern dibangun „makna‟nya (serta konsep, teori dan prakteknya) juga berlandaskan „cara pandang‟ filosofi barat-modern yang tengah berkembang mulai semenjak kejadian peristiwa „kelahiran kembali‟ (renaissance); lahirnya „cara pandang‟ filosofi modern yang melahirkan faham; rasionalisme, empirisme, positivisme, materialisme, sekulerisme. Maka, adapun, ekonomi dalam faham Islam tentu saja ekonomi dibangun „makna‟nya (serta konsep, teori dan prakteknya) berlandaskan filosofi Islami; filosofi yang dilahirkan oleh visi Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad ز, yang telah diterima oleh suatu kaum dan kemudian kaum itu berpandukan dengannya, sehingga suatu kaum itu lahir menjadi ummat yang baru, masyarakat Islam, peradaban Islam yang berdiri diatas landasan petunjuk Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad ز.

Filosofi apakah yang muncul selepas lahirnya cahaya Islam itu? Filosofi apakah yang melandasi cara bermasyarakat, cara berhukum, cara bermuammalah, cara berkehidupan selepas lahirnya cahaya Islam itu? Ia adalah tentu saja filosofi atau kita bisa menyebutnya „nilai-nilai kebijaksanaan‟ (hikamiyyah) yang berlandaskan tatanan moral Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad ز. Misalnya kaitannya dengan ekonomi (tata kelola perbendaharaan), ia adalah suatu filosofi yang dilahirkan „cara pandang‟ yang memandang bahwa; (1) kepemilikan mutlak seluruh materi benda (dzat) di seluruh alam jagat raya ini baik yang nampak maupun yang

ghaib adalah milik Allah, dan Allah adalah pewaris terakhir dari semuanya; Huwal Awwalu wa Huwal Akhiru, (2) adapun si makhluk memiliki kepemilikan yang nisbi atau relatif; terbatas (limited), berjangka (fali kulli syaiin ajal), dalam batas-batas yang ditentukan sunnatullah, (3) pemerolehan dan penggunaan atau pemanfaatan harta benda (yang dikuasai atau dimiliki atau diwenangi) oleh makhluk (dalam

(21)

12

pandangan moral Islam) harus-lah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah (Sang Pemilik Mutlak, Sang Pembuat Hukum, Yang Maha Berdaulat; Allah Al-Malik). Maka filosofi yang dilahirkan oleh Islam itu, filosofi yang dilahirkan dan berasal dari Al-Quran dan Sunnah yang amat sesuai dengan itu, ia merupakan nilai-nilai kebijaksanaan praktis yang bisa kita dapati berasal di dalam Al-Quran misalnya adalah ia disebut dengan Al-Qashdu, atau lebih khusus lagi „Al-Qashdu fil mal‟ (sikap sederhana/lurus atas harta). Kemudian pada gilirannya dari nilai-nilai kebijaksanaan Al-Qashdu menurunkan istilah Iqtishad dan Iqtashada sebagai kata aktif dari Al-Qashdu, maka istilah kata Iqtishad dan konsepsi nilai-nilai Al-Qashdu

tidak bisa kita pisah-pisahkan sebagai nilai-nilai kebijaksanaan yang melatarinya. Apabila ditelaah merujuk kepada Al-Quran, Al-Qashdu memiliki makna-makna berikut:

 Ia bermakna lurus, adil:

(Quran, Surat An-Nahl 16: 9), qashdus sabil; lurus

(Quran, Surat Al-Luqman 31: 32), fa minhum muqtashidun; adil, lurus  Ia bermakna sederhana:

(Quran, Surat Al-Luqman 31: 19), waaqshid; sederhana  Ia bermakna pertengahan, moderat, seimbang:

(Quran, Surat Al-Fatir 35: 32) fa minhum muqtashid; pertengahan (Quran, Surat Al-Maidah 5: 66) ummatun muqtashidah; moderat  Ia bermakna cepat, dekat atau ringkas,

(Quran, Surat At-Taubah 9: 42), qaashidan; sederhana, dekat, ringkas

Kitapun boleh merujuk dan menganalogikan makna-makna tersebut pada suatu kutipan filosofi dari ilmu phytagoras atau ilmu geometri misalnya; “(lintasan) jalan paling cepat antara dua titik adalah garis lurus” atau “jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus” (Archimedes), ini bukanlah „logika yang kebetulan‟ ia amat-amat bisa bermakna filosofis bila kita kaitkan dengan istilah Al-Qashdu yang bermakna; lurus, sederhana, pertengahan atau moderat, cepat atau ringkas. Al-Qashdu amat sangat tepat sebagai kata yang menggambarkan maksud kutipan tersebut, di dalam Islam maksud kutipan tersebut apabila diucapkan dengan satu kata yang ringkas maka sesederhana mengucapkan kata „Al-Qashdu‟ atau „Iqtishad‟. Ia adalah suatu prinsip atau kaedah bagaimana membawa suatu titik persoalan (kebutuhan hidup misalnya) pada titik suatu penyelesaian (pemenuhan kebutuhan hidup misalnya) dengan cara-cara yang paling lurus/benar, ringkas, cepat, efisien-efektif, sederhana. Ia juga bisa dimaknai bagaimana membawa suatu titik persoalan keduniaan ini menjadi wasilah untuk mencapai atau menuju kepada titik tujuan di akhirat dengan cara-cara yang paling benar, paling lurus, paling ringkas, paling efisien-efektif, paling cepat dan selamat. Maka prinsip dan kaedah itu bisa disebut dengan Al-Qashdu atau Iqtishad.

(22)

13

Iqtishad juga identik dengan mashlahah, apa yang jadi tujuan dari ber-iqtashada

adalah mencapai keselamatan, kemashlahatan, oleh karena itu ada pula kita mengenal istilah „maqoshidu syari‟ah‟, bahwa apa yang menjadi tujuan dari syari‟ah

(al-muhkamat) adalah kemashlahatan (keberesan, kelurusan, ishlah) di dunia dan di akhirat. Adapun lawan dari mashlahah adalah mafsadat, yaitu terciptanya „fasad‟; kerusakan (corrupt) yang bersifat merusakkan, riba adalah salah satu contoh di antara fasad yang bersifat membinasakan, dosa besar yang bersifat membinasakan, yang kerusakannya bersifat menular dan meluas.

Maqashid syariah, sebagai istilah, sebagai konsep, sebagai prinsip atau nilai-nilai yang hendak dicapai dari syariat (al-muhkamat), yang diekstrak dari prinsip ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah) yang direvisi dan dipopulerkan oleh Imam Syatibi, dan istilah Iqtishad, keduanya berasal dari akar kata yang sama yaitu qa-sha-da, maka makna-maknanya akan saling terkait bahwasanya Maqashid Syariah dan Iqtishad

adalah nilai-nilai, suatu prinsip, suatu sikap, perbuatan yang mengupayakan

mashlahat (keberesan, keselamatan, ishlah, kesejahteraan) dan menghindari atau mencegah mafsadat (kerusakan, kezaliman, kecelakaan) baik dalam urusan keduniaaan ataupun urusan akhirat.

Iqtishad merupakan nilai-nilai kebijaksanaan, nilai-nilai moral praktis, suatu prinsip kebaikan yang umum dan universal yang merupakan bagian dari kenabian. Sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam hadits berikut:

Dari Ibnu Abbas ر, Rasulullah ز bersabda:

اءزج نٌرشغو ةسمخ نم ءزج ،داصتقلااو ،حلاصلا يدهلاو ،حٌلاصلا تمسلا ةوبنلا نم

“Perilaku yang baik, bimbingan yang baik dan berlaku lurus (al-iqtishad) adalah bagian dari 25 bagian kenabian”

Al-Qashdu dan iqtishad memang makna dasarnya atau makna permulaannya adalah suatu istilah dan prinsip nilai yang bersifat umum, yang bisa diaplikasikan kepada berbagai macam aspek yang luas. Misalnya dalam salah satu kitab karangan Imam Al-Ghazali “Iqtishad fil Al-I‟tiqad” (bersikap pertengahan/lurus dalam berkeyakinan atau berakidah) adalah suatu contoh Al-Qashdu dalam hal agama (dien), yang menandakan bahwa filosofi atau nilai-nilai kebijaksanaan Al-Qashdu atau Iqtishad sebetulnya merupakan nilai-nilai yang universal yang bisa diterapkan dalam berbagai aspek. Apabila dikaitkan dengan maqashid syariah, maka maqashid syariah dengan filosofi Al-Qashdu adalah:

(1) Hifzud dien: memelihara agama; dengan cara bersikap iqtishada; lurus, adil, sederhana, seimbang dalam agama, tidak ghulluw, dan tidak mengkorupsi atau mereduksi agama.

(23)

14

(2) Hifzun nafs: memelihara diri; dengan cara bersikap iqtashada; lurus, adil, sederhana, seimbang pada hak diri; yaitu hak badan dan hak jiwa, hak jasmani dan hak ruhani.

(3) Hifzul aql: memelihara akal; dengan cara bersikap iqtashada; lurus, adil, sederhana, seimbang pada pendayagunaan akal; mendayagunakan iman dan akal secara seimbang, tidak merusak akal dengan hal-hal yang merusak akal, mendayagunakan akal untuk menciptakan manfaat, mencari ilmu, mengembangkan ilmu dan lain-lain.

(4) Hifzul mal: memelihara harta; dengan cara bersikap iqtashada: lurus, adil, sederhana, seimbang pada pendayagunaan harta benda dan sumber daya, tidak merusak sumber daya (bumi), yaitu berlaku eksploitatif dan menciptakan krisis; krisis pangan, krisis energi, krisis keuangan, dan lain-lain.

(5) Hifzun nasl: memelihara generasi (keturunan); dengan cara bersikap

iqtashada; lurus, adil, sederhana; memelihara generasi yaitu makhluk hidup; a. Manusia

b. Hewan c. Tanaman

d. Dan makhluk-makhluk hidup lainnya yang kesemuanya adalah suatu bangunan ekosistem yang membangun keseimbangan kehidupan dan keberlanjutan kehidupan (sustainability).

Namun Al-Qashdu atau Iqtishad dalam makna yang khusus (makna khos) adalah dalam makna yang lebih menyempit yaitu Al-Qashdu atau Iqtishad yang terkhusus berkaitan dengan harta perbendaharaan (sumber daya), maka ringkasnya; Al-Qashdu

atau Iqtishad maknanya yaitu; Al-Qashdu Fil mal atau Iqtashada fil mal, di antara hal yang menunjukkan makna khususnya yaitu hadits Nabi ز berikut:

HR. Ahmad, dari Ibnu Abbas ر:

ام ع دصتقا نم لا

“Tidak akan miskin/kekurangan orang yang bersikap iqtashada (adil, sederhana, lurus) pada harta” HR. Baihaqi, dari Ibnu Abbas ر:

ةشٌعملا فصن ةقفنلا ًف داصتقلاا

“Berhemat dalam pengeluaran adalah setengah (bagian) dari penghidupan”

Dan juga perkataan di dalam kitab Ulama Ibnu Abid Dunya “Ishlahul Mal” di dalam bab “Al-qashdu fil mal”:

داصتقلاا ةملاسلا باب و ،دشرلا حتافم رٌبدتلا نسح

“Pengelolaan yang baik (husnut tadbir) adalah kunci-kunci untuk keberesan dan pengelolaan yang lurus (iqtishad) adalah pintu keselamatan”

(24)

15

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan diatas maka, makna Iqtishad kaitannya dengan „tata kelola harta benda‟ atau ekonomi yaitu; ia mengandung makna dan prinsip berupa; (1) lurus dan adil dalam perolehan harta; yaitu tidak berlaku zalim, tidak berlaku menindas (eksploitatif), (2) bersikap sederhana atas harta; yaitu bersikap qonaah dan zuhud, dan sesuai keperluan atas harta, (3) ringkas, efisien-efektif dalam penggunaan harta; tidak berlebih-lebihan, sesuai dan tepat dalam alokasi, (4) bersikap pertengahan dan seimbang; yaitu tidak bakhil dan tidak israf, (5) penggunaan harta adalah untuk keberesan (terpenuhinya kebutuhan hidup), untuk kemashlahatan (tercapainya ishlah) dan mencegah dhururat, menjauhi penciptaan mafsadaat atau mencegah penciptaan mafsadaat.

Al-Qashdu yang menurunkan istilah Iqtishad merupakan filosofi yang genuine, yang fitrah yang lahir dari Islam itu sendiri, yang mengandung perangkat positif dan normatif yang mendasari cara bersikap terhadap harta di dalam Islam. Maka dari itu, selain dari semua istilah yang telah disebutkan sebelumnya, dari semua istilah yang ada yang ditujukan untuk makna atau mengacu pada makna „ekonomi‟, ada satu lagi istilah yang lahir di dunia Islam, satu istilah yang sering dikaitkan dengan kegiatan „tata kelola perbendaharaan‟; yang disebut Tadbir (dalam bahasa arab) atau disebut Oikonomia di Yunani. Istilah itu ialah Iqtishad. Iqtishad juga sering dimaknai dan dikaitkan dengan „tata kelola harta benda‟ atau „ekonomi‟ (Oikonomia atau Tadbir), namun ia tidak hanya memuat kegiatan „tata kelola harta benda‟ itu sendiri secara positif tetapi juga memuat perangkat dan kebijaksanaan moral Islam atau nilai-nilai Islam yang bersifat universal.

Kendatipun demikian, namun, belum ada istilah yang tersepakat dalam dunia Islam, istilah yang digunakan untuk (menamai) disiplin ekonomi yang lebih universal dan sekaligus menunjukkan jati diri Islam atau sesuai dengan identiti Islam itu sendiri, para ulama zaman dahulu sendiri hanya menggunakan istilah-istilah yang sangat sederhana dan umum, hanya saja beberapa ulama pernah menyebutnya sebagai Tadbir Manzil, namun sering juga Tadbir (atau Tadbir Al-Manzil) dikaitkan dengan Iqtishad. Istilah Iqtishad sendiri dipromosikan kembali di zaman modern oleh Muhammad Iqbal pada akhir-akhir abad belakangan sebagai respon untuk ekonomi barat-modern sekuler serta hegemoninya ke atas dunia Islam pasca zaman kolonial. Sekarang dunia Islam boleh menggali kembali khazanah/wawasan keilmuan Islam dan boleh berdialek dan bersepakat kembali, istilah apakah yang tepat untuk memaknai tata kelola harta benda atau ekonomi yang sesuai dengan jati diri Islam (berlandaskan tatanan moral Islam sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah)?

Selepas munculnya peradaban Barat-Modern yang kemudian terus berlanjut dengan meluasnya pengaruh peradaban Barat-Modern ke atas dunia juga mempromosikan secara aktif konsepsi-konsepsi ilmu, filosofi dan ideologinya ke seluruh dunia, termasuk disiplin ilmu dan praktek ekonomi modern. Misi

(25)

16

memperadabkan dunia yang disokong kekuatan milter yang telah maju atas bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang militer yang telah mengalami dan melewati perubahan revolusioner, serta perangkat politik dan ideologinya menuai keberhasilan. Barat kemudian menjadi pusat menara ilmu pengetahuan dunia, dunia kemudian menggunakan bahasa latin dan Inggris untuk ilmu pengetahuan dan bahasa internasional, begitu juga untuk disiplin ilmu ekonomi modern. Di saat yang bersamaan dunia Islam sedang merosot peradabannya bersama alam materi ekonominya baik oleh karena serangan peradaban Barat-Modern itu sendiri ataupun oleh karena kelemahan moral dunia Islam. Dunia Islam takluk di bawah tatanan sekuler dan dengan terpaksa mengikuti, mensepakati atau bersedia menerima konsepsi-konsepsi dan sistem hidup tatanan peradaban dunia sekuler yang telah diprakarsai kaum Barat-Modern. Selain itu, semenjak dunia dipersaksikan dengan perseteruan dua faham ekonomi; ekonomi liberalis-kapitalis vs ekonomi sosialis-komunis, dunia Islam mulai merasa perlu mencari konsepsi-konsepsi ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai Islam, dan berupaya kembali kepada Al-Quran dan sunnah, karena melihat konsepsi-konsepsi ekonomi Barat-Modern (baik liberalis-kapitalis maupun sosialis-komunis) tidak pernah menuntaskan atau mengentaskan masalah; baik itu kemiskinan abadi kaum proletar dan eksploitasi terhadapnya ataupun mimpi kaum sosialis-komunis yang utopis. Maka dari itu muncullah istilah „ekonomi islam‟ sebagai respon/reaksi spontan dan natural sebagai reaksi dialek dunia Islam dengan dunia Barat, ia juga adalah reaksi pembahasaan, ia adalah reaksi bahasa sebagai konsekwensi dalam suatu situasi dominasi bahasa inggris yang menjadi bahasa sentral dunia, istilah „ekonomi islam‟ atau „islamic economic‟ menjadi bahasa paling praktis untuk mempromosikan ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam atau bersumber dari nilai-nilai Islam (Al-Quran dan Sunnah) baik untuk dunia secara umumnya atau dunia Islam sendiri, ummat Islam percaya hanya dengan cara kembali kepada Al-Quran dan Sunnah saja lah jalan yang dapat mengeluarkan ummat dari masalah-masalah ekonomi modern.

Di samping itu pula selepas kedatangan dunia modern-sekuler ke atas dunia Islam, lebih khususnya di abad 19 istilah Iqtishad dipromosikan kembali oleh Muhammad Iqbal dengan buku yang dikarangnya berjudul ilm al-iqtishad (1930). Ia adalah buku yang ditulis oleh Iqbal yang berdialek dengan fenomena dunia modern, berdialek dengan pemikiran ekonomi dunia modern; manakala saat itu disiplin ilmu ekonomi barat-modern sedang trending di barat yang membicarakan pemikiran tokoh-tokohnya; Adam Smith, David Ricardo, Alfred Marshal, dan lain-lain, Iqbal yang berdialek dengan praktek ekonomi barat-modern internasional yang eksploitatif dan kapitalistik terhadap kaum bawah dan anak benua india dan dunia ke tiga dalam masa transisi pasca era kolonialisme. Ilm al-Iqtishad adalah buku yang pertama kali untuk dunia Islam yang berbicara konsepsi ekonomi Islam dan dalam bahasa urdhu dalam masa pasca modern. Ia menjelaskan mengenai

(26)

17

pertumbuhan yang pantas, distribusi harta, pengeluaran, konsumsi dan populasi, yang syarat akan isu sosial yang kritis. Dalam menulis bukunya Iqbal mempromosikan istilah Iqtishad untuk dunia Islam untuk ekonomi, ia menerangkan bahwa Ilmu Iqtishad adalah ilmu akhlak (ekonomi adalah human culture dengan moral/akhlak sebagai tatanannya), Ilmu Iqtishad adalah ilmu strategi mengelola/membangun peradaban “ilm siyasah al-madan” (strategi mengelola sumber daya yang ada untuk membangun sebuah peradaban dan masyarakat yang baik).

Yang selanjutnya terjadi lebih dramatis, di dalam dunia Islam, sementara terdapat berbagai macam upaya yang terjadi; di satu sisi upaya kaum barat-modern yang mempromosikan, menyusupkan atau menularkan, mensepakatkan konsepsi-konsepsi, filosofi, ideologi, cara pandang, praktek sistem hidup yang materialistis dan sekuler (dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik) ke atas dunia (dan dunia Islam khususnya), di satu sisi upaya kaum muslimin yang mencoba kembali kepada Islam yang sejati, upaya kembali kepada petunjuk Al-Quran dan Sunnah. Maka dampaknya juga terjadinya upaya pemaknaan dan konsepsi-konsepsi secara alot atas ekonomi dari istilah-istilah yang muncul tersebut; yaitu istilah „ekonomi islam‟ atau „islamic economic‟ dan bahkan juga istilah Iqtishad yang telah dipromosikan kembali pasca abad ke 19.

Lalu sebetulnya istilah apakah yang tepat untuk digunakan dunia Islam untuk menamai „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟? apakah cukup menggunakan „ekonomi islam‟ ataukah kembali menggunakan „Iqtishad‟ sebagai istilah yang sudah ada bahkan sebagai istilah yang dilahirkan dari Al-Quran di mana ia juga bisa ditelusuri ada dalam Hadits? Dan bagaimana pula cara memaknai istilah-istilah tersebut?

Bila kita menggunakan Iqtishad sebagai istilah atau nama untuk ekonomi islam yang sejati, makna istilahi „am-nya boleh kita fahami sama dengan makna ekonomi atau economy atau oikonomi yaitu dengan makna; „tata kelola harta secara hemat/cermat/tepat‟. Namun, dalam makna intinya yaitu makna istilahi khos-nya (terminologi spesifik) tentu saja Iqtishad dan Ekonomi memiliki perbedaan yang sangat jauh oleh karena makna inti dari masing-masing istilah tersebut, dibangun berdasarkan filosofi, ideologi, cara pandang yang melandasinya. Ekonomi (makna yang dikembangkan oleh filosofi Barat-Modern) defenisinya (makna intinya) adalah; “kegiatan manusia (individu maupun kolektif) dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tak terbatas yang dihadapkan pada sumber daya yang terbatas”, adapun Iqtishad (sebagai makna yang tidak terlepas dari filosofi yang melahirkan istilahnya yaitu Al-Qashdu) defenisinya (makna intinya) adalah; “kegiatan manusia (baik individu maupun kolektif) mengelola harta benda (yakni; sumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan hidup) dengan cara-cara yang benar/lurus sesuai ketentuan (syariat, nilai-nilai Islam, Al-Quran dan Sunnah), seimbang dan adil”

(27)

18

Adapun kemunculan istilah „ekonomi Islam‟ bersamaan juga promosi kembali istilah „Iqtishad‟, membuat dunia Islam kebingungan akan istilah-istilah ini dan juga pemaknaannya. „ekonomi Islam‟ dan „iqtishad‟ pada awalnya memang dimaksudkan memiliki makna istilahi yang sama. Jika „ekonomi Islam‟ yang dimaksud itu adalah; „ekonomi yang sesuai nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟, maka Iqtishad pun juga dimaksudkan bermakna demikian; „ekonomi yang sesuai nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟. Oleh karena itu maka pada awalnya selepas kedatangan era modern (pasca modern), ekonomi Islam dan Iqtishad berangkat dari makna yang sama, makna ini bisa kita sebut atau kategorikan sebagai makna

istilahi „am-nya (terminologi umum).

Istilah „ekonomi Islam‟ sebetulnya hanya sebagai respon spontan saja, respon yang terjadi ketika dunia Islam dihadapkan dengan kemajuan/kegemilangan dunia saintifik Barat-Modern dan penerapannya terkhusus dalam hal ekonomi dan takluknya dunia Islam dengen hegemoni serta dominasi ekonomi Barat-Modern dalam suatu kondisi bahasa dunia diambil alih oleh bahasa barat (inggris, latin, yunani, prancis dan lain-lain). Maka „ekonomi islam‟ adalah bahasa, adalah reaksi spontan untuk mempromosikan ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam atau ekonomi dari Islam, ekonomi versi Islam. Walaupun demikian, istilah iqtishad kekuarangannya walaupun sudah dipromosikan kembali oleh Muhammad Iqbal, dia ibarat suara yang kalah nyaring yang tidak terpromosikan secara maksimal dan seluas promosi istilah „ekonomi islam‟. Namun juga, „ekonomi islam‟ dibandingkan dengan Iqtishad, Istilah Iqtishad memang lebih lugas dan jelas bahwa ia berasal dari khazanah, alam pemikiran, wawasan Islam yang diturunkan dari Al-Quran dan hadits, sedangkan „ekonomi Islam‟ sebagai istilah yang dibangun dengan menggabungkan dua kata „ekonomi‟ dan „islam‟ bisa menimbulkan multitafsir terhadap pemaknaannya.

Setelah ini pun, keadaannya akan lebih alot dan dramatis lagi yaitu, kendatipun istilah „ekonomi islam‟ lebih tenar dari pada „iqtishad‟. Istilah iqtishad sebetulnya telah diterima dunia Islam, dan diakui dunia Islam untuk makna „ekonomi‟, namun yang menjadi titik masalahnya adalah; istilah iqtishad itu sendiri hanya diterima (oleh dunia Islam mayoritasnya) hanya sebatas makna lughowi, yaitu dia hari ini dapat kita ketahui digunakan sebagai terjemahan resmi ke bahasa arab untuk ekonomi, namun Iqtishad, makna istilahi „am-nya (terminologi umum) maupun makna istilahi khos-nya (terminologi khusus atau makna intisari) tidak diterima, tidak lagi ditelaah, bahkan diabaikan begitu saja, sehingga makna-makna ini hilang ditelan penafsiran makna-makna yang lain, terlebih lagi ketika iqtishad hanya difahami secara makna lughowi-nya saja muncul tindakan menambahkan kata „islami‟ padanya, menjadi „iqtishadul islami‟. Maka dari itu istilah „iqtishadul islami‟ tidak ada bedanya dan bisa disepadankan dengan istilah „ekonomi Islam‟ atau „islamic economic‟, bahkan (ketika istilah kata iqtishad hanya difahami secara

(28)

19

lughowi saja) „Iqtishad‟ maknanya dianggap sama atau sepadan dengan „ekonomi‟ atau „oikonomia‟ atau „economy‟. Nah kemudian, apakah konsekwensi dari menanggap atau menerima istilah iqtishad hanya sekedar makna lughowi-nya saja, lantas kemudian menambahkan kata „islami‟ padanya, menjadi „iqtishadul islami‟? maka yang terjadi kemudian adalah, terjadinya penafsiran yang rancu atau multi tafsir, misalnya; seolah menganggap istilah iqtishad itu sendiri belum lah islami, maka dari itu perlu ditambah kata „islami‟, begitupun pula setelah ditambah kata „islami‟ menjadi „iqtishadul islami‟ akan ditafsirkan berdasarkan kerangka makna yang berasal dari „islamic economic‟ atau „ekonomi islam‟ yang sudahpun disalahtafsirkan secara rancu. Maka istilah „iqtishadul islami‟ belum tentu istilah yang islami, tetapi ia hanya sebagai terjemahan resmi ke dalam bahasa arab untuk istilah „islamic economic‟ atau „ekonomi islam‟, di mana ia malah diturunkan, dilahirkan berasal dari istilah kata „islamic economic‟ atau „ekonomi islam‟, „iqtishadul islami‟ bukan istilah yang berdiri indipenden yang melahirkan dirinya sendiri. Penafsiran yang salah dan rancu bagaimanakah yang dimaksud? Yaitu penafsiran istilah „ekonomi islam‟ (atau „islamic economic‟ atau „iqtishadul islami‟) bersama-sama dengan makna sebatas istilahi „am-nya; „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; al-quran dan sunnah‟, dimaknai sebagai „ekonomi “islam” yang disesuaikan dengan konsepsi, teori dan praktek ekonomi yang dibangun berlandaskan filosofi/ideologi materialistik sekuler‟. Maka pantaskah kita menyebut ekonomi yang sejatinya tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah, kemudian menyebutnya sebagai „ekonomi islam‟, menyebutnya sebagai „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟.

Oleh karena itu, istilah apapun itu, apakah ekonomi, economy atau iqtishad

sekalipun yang kemudian ditambahkan atau disematkan kata „Islam‟ padanya, namun ternyata ia adalah ekonomi yang tidak sesuai dengan „nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟ maka kata „Islam‟nya hanyalah sekedar nama saja, „Islam‟nya hanya tinggal nama saja. Atau mensematkan kata „syariah‟ padanya maka syariahnya bukanlah syariat Nabi Muhammad, bukan syariat ummat Nabi muhammad, melainkan syariat ummat lain selain ummat Nabi Muhammad ز. Oleh karena itu, bila kita menggunakan istilah „ekonomi islam‟ (atau „islamic economic‟ atau „iqtishadul islami‟); istilah yang menggabungkan dua kata yaitu kata „ekonomi‟ dan „islam‟ dan lain sebagainya, kita menggunakan istilah tersebut sejatinya hanya sekedar fungsi lughowi atau istilahi „am-nya saja untuk „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟, namun istilah yang kita gunakan untuk „identiti asli‟ ekonomi islam atau „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟ yang sejati, istilah yang mengandung makna inti, maka sebetulnya sudah cukup hanya menyebutnya dengan istilah kata „Iqtishad‟ saja (tanpa perlu menambah kata „islami‟ atau menggunakan „gabungan dua kata‟ yang menimbulkan penafsiran yang rancu/multitafsir), yang mana istilah „iqtishad‟

(29)

20

ini pun sudah cukup unggul bila difahami berlandaskan filosofi yang melatarinya (filosofi Al-Qashdu), sehingga Iqtishad bisa diterima dan difahami makna istilahi „am -nya dan makna isitilahi khos-nya. Istilah Iqtishad yang difahami dengan makna yang lengkap lebih tepat menjadi identiti, jati diri prinsip-prinsip atau nilai-nilai Islam dalam ekonomi dan ia mengandung makna yang berlawanan dengan makna istilahi

„ekonomi‟ („oikonomia‟ atau „economy‟) yang pemaknaannya telah dibangunkan oleh filosofi dan ideologi barat-modern yang melandasinya (yaitu materialisme dan sekulerisme).

Oleh karena itu ekonomi Islam mesti kita bangun maknanya sama dengan makna Iqtishad secara sempurna yang memiliki makna istilahi „am sebagai; „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟, dan dengan istilahi khos (makna inti); “kegiatan manusia (baik individu maupun kolektif) mengelola harta benda (yakni; sumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan hidup) dengan cara-cara yang benar/lurus sesuai ketentuan (syariat, nilai-nilai Islam, Al-Quran dan Sunnah), seimbang dan adil”, hanya ini pemaknaan yang bisa kita terima sebagai pemaknaan yang tepat. Oleh karena itu yang disebut dengan „ekonomi Islam‟ yang sejati atau kita bisa menyebutnya „iqtishad‟, itu harus memiliki ciri sebagai berikut (baik konsep, teori maupun prakteknya):

1. Sesuai ketentuan atau lurus (sesuai dengan nilai-nilai Islam, ketentuan Allah dan RasulNya; Al-Quran dan Sunnah), misalnya;

a. Benar dalam cara memperolehnya/pemasukannya (tidak Riba), benar pula dalam cara pemanfaatan/pengeluarannya [sesuai dengan yang digariskan Allah dan RasulNya; untuk kebutuhan hidup – menegakkan hidup (untuk ibadah), untuk fi sabilillah, bukan untuk melanggar „tatanan moral‟ dan melanggar halal-haram, untuk membangun mashlahah (ishlah dan manfaat) bukan membangun

mafsadat (fasad; bersifat rusak dan merusakkan)].

b. Bersikap sederhana, qonaah, zuhud atas harta (tidak cinta harta, tidak berfilosofi materialisme, individualisme, kapitalisme; yang melahirkan sifat tamak atas harta)

c. Bersikap hemat, cermat, ringkas, efisien-efektif atas harta d. Bersikap moderat atas harta; tidak bakhil tidak juga ishraf

2. Seimbang (tidak ada tambahan/keuntungan (ziyadah) yang diperoleh seseorang tanpa haq, seseorang memperoleh sesuatu secara haq, tidak ada yang merusak fithrah ekonomi, tidak ada yang merusak keseimbangan ekonomi)

3. Adil (di dalamnya tidak terdapat kezaliman/ketidakadilan; la tazhlimun wala tuzhlamun)

(30)

21

I.IV

Sistem Ekonomi: Barat-Modern vs Islam

Kehidupan dalam pandangan Barat-Modern adalah sebuah tatanan positif-sekuler; aturan positif-sekuler (akal/logika yang dibebaskan dari panduan moral) sebagai aturan yang paling tinggi, di mana konsekuensinya aturan moral tunduk dibawah otoritas aturan positif-sekuler. Di dalam tatanan positif-sekuler, peran Tuhan tidak wujud didalam kehidupan, tetapi manusia itu sendiri dengan akalnya adalah tuhan, manusia lah yang menentukan arah dan cara berkehidupan. Pandangan ini yang menentukan cara berekonomi dan sistem ekonomi yang dibangunkan oleh Barat untuk kehidupan.

Sekalipun demikian, kaum barat-modern yang telah mendayagunakan akal sedemikian rupa telah berhasil membuat kemajuan dalam hal alam materi (tidak dalam hal spiritual), ketika akal dibebaskan dari hambatan-hambatan (dengan menganggap panduan moral juga sebagai hambatan) akal telah meruntuhkan tatanan moral agama dan menggantinya dengan tatanan sekuler. Di satu sisi, kemaujuan yang dihasilkan alam materinya membawa peradaban Barat menjadi peradaban yang unggul tak tertandingi secara kekuatan dan kekuatannya dimanfaatkan untuk memperbesar pengaruh dan hegemoninya ke seluruh dunia. Peradaban Barat-Modern telah menjadi prakarsa atas misi pewujudan tatanan dunia baru (dunia modern) (tidak terkecuali lewat aksi penjajahannya ke atas dunia).

Bersamaan dengan pengaruh dan kekuasaan Barat ke atas dunia, konsepsi yang dipromosikan dan disepakatkan ke atas dunia oleh Barat juga termasuk dalam hal cara berekonomi dan sistem ekonomi modern sebagai cara berekenomi yang baku yang bisa diterima secara internasional. Sekalipun setelah faham-faham ekonominya mengalami koreksi-koreksi, misalnya dari perseteruan paham sistem ekonomi kapitalis-liberalis vs ekonomi sosialis-komunis, pada akhirnya melahirkan faham-faham baru – neo-isme, neo-isme – yang lebih soft dan mutakhir yang lebih mengukuhkan sistem ekonomi modern. Sistem ekonomi modern yang telah berlaku ke atas dunia sejatinya adalah produk tatanan sekuler, produk dari faham sekuler yang mengkesampingkan panduan moral; bahkan dalam arti aturan moral harus sesuai atau tunduk di bawah aturan positif-sekuler (logika yang bebas dari panduan moral). Satu hal yang paling pasti, apapun faham ekonomi dunia modern (baik itu kapitalis-liberalis, sosialis-komunis, atau pun gabungan atau modifikasi dari faham-faham baru/neo dari isme-isme itu) bahwa ketika ditinjau dalam sudut pandang Islam sistem ekonomi modern yang diwujudkan kaum Barat-Modern adalah sistem ekonomi yang curang (fraud), menindas, tidak adil di mana riba menjadi unsur utama yang tidak pernah menerima koreksi sama sekali dari sistem

Gambar

Tabel 8.2 Tabel Jenis Keuangan Baytulmal
Tabel 8.3 Persamaan dan Perbedaan Zakat dan Infaq-Wajib
Tabel 8.4 Pemasukan Baytulmal  Pemasukan Baytulmal
Tabel 8.6 Infrastruktur Ekonomi dan Keuangan  Infrastruktur Ekonomi dan Keuangan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian Phitri 2013 dengan menggunakan kuesioner dan jenis penelitian yaitu deskriftif kolerasi dengan variabel terikat yaitu kepatuhan penderita dalam menjalankan diet

Ceratothripoides claratris (spesies hama thrips paling umum ditemukan pada tomat di Thailand) pada delapan tanaman pangan yang berbeda yaitu cabai, kacang tunggak,

Warna biru adalah satu-satunya warna primer dalam spektrum warna sejuk, artinya warna lainnya tercipta dari kombinasi biru dengan warna

Penguasaan serta pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan guru lemah khususnya dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).Karena selama ini siswa hanya

Discussion Diberikan data untuk dilakukan analisis sehingga teridentifikasi diagnose keperawatan yang tepat 5 Mahasiswa mampu: menyusun perencanaan keperawatan pada gangguan

Metode pelaksanaan magang yaitu dengan melakukan pengamatan mengenai keadaan lapang, mengumpulkan data primer dan sekunder, serta mengikuti secara langsung seluruh

a) Biaya produksi dikumpulkan perdepartemen produksi perperiode akuntansi. b) Harga pokok produk persatuan dihitung dengan cara membagi total biaya produksi yang

Pengelolaan zakat oleh pemerintah melalui lembaga yang dibentuk, fungsi zakat sebagai salah satu upaya menangani kemiskinan dapat dimaksimalkan. Selain itu fungsi