• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disiplin Ilmu Agama (Ulumuddien):

Dalam dokumen Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad (Halaman 54-62)

Metodologi Ilmiah Islam

1. Disiplin Ilmu Agama (Ulumuddien):

(1) Ilmu Tafsir: Metodologi Studi Teks (Nash); Tafsir dan Takwil; nash Al-Quran dan Ahadits

(2) Ilmu Hadits (penelitian; jalur hadits, derajat-derajat hadits, otentisitas hadits, biografi periwayat dan segala yang berkaitan dengan periwayatan hadits)

(3) Ilmu Fiqh (Filosofi Islam): Seorang ahli fiqh harus memiliki wawasan yang luas dan qualify secara akademis bukan sekedar menggunakan metodologi “anak sekolahan” (metode anak sekolahan yaitu menarik kesimpulan dengan data-data dan dalil-dalil yang tidak lengkap dan tidak relevan), tetapi seorang ahli fiqh bisa dikatakan harus memiliki kualifikasi sekelas doktor (phd) yang sudah terbiasa dengan penelitian berbasis data dan komprehensif (baik data-data qouliyyah maupun data-data kauniyyah, kuantitatif maupun kualitatif), ia harus memahami „ayat-ayat kauniyyah‟ dan „ayat-ayat qouliyyah‟ sekaligus. Bila Al-Quran dan Ahadits adalah “bibit”

46

(sumber ilmu), observasi empiris-positif adalah “hara” ilmu (makanan tanaman dari pohon ilmu), Ilmu Tafsir dan Ilmu Hadits “akar” ilmu, maka Ilmu fiqh adalah “pangkal” tunggal yang melahirkan semua “cabang” ilmu dalam Islam baik ilmu agama maupun ilmu dunia, kedudukan ilmu fiqh sama dengan status kedudukan filosofi kalau dalam bangunan ilmu di Barat-Sekuler, namun dalam Islam, filosofi (upaya berpikir) harus bersandar pada ayat-ayat qouliyyah (Al-Quran dan Ahadits) itulah di dunia Islam dinamakan dengan istilah „fiqh‟ (kefahaman yang mendalam), ilmu fiqh sangat ditentukan oleh metode penarikan kesimpulan untuk memperoleh „makna‟ atau „fatwa‟ dari dalil-dalil (nash/teks), Imam Syafii menyebut metode penarikan kesimpulan (istinbath) tersebut sebagai cabang ilmu yang dinamakan „ushul fiqh‟.

(4) Ilmu Akidah/Keyakinan (Teologi Islam): Arkanul Iman (Rukun Iman), Al-Ihsan/Tasawwuf (spiritual iman kepada Allah); ilmu takwa/tazkiyyatun nafs, Metafisika Islam (iman kepada yang ghaib), Eskatologi Islam (ilmu akhir zaman dan hari akhir; hari kiamat, hari kebangkitan, hari perhitungan), dan lain-lain.

(5) Ilmu Syar‟i [Al-Muhkamat; mahdhoh (ritualis) dan ghairu mahdhoh (non-ritualis)]; Arkanul Islam (Rukun Islam), Halal-Haram, Makruh-Mandub, dan lain-lain.

(6) Ilmu Akhlak: Etika Islam, Etika Praktis (Adab), sistem nilai: nilai-nilai moral islam: (1) manusia kepada Allah, (2) manusia kepada manusia, (3) manusia kepada lingkungan dan makhluk hidup serta kebendaan/alam. 2. Disiplin Ilmu Dunia (disiplin ilmu praktek, ilmu hidup, ilmu

berkehidupan):

(7) Ilmu Matematika dan Ilmu Bahasa

(8) Studi Ilmu Alam: Fisika, Kimia, Biologi, Teknologi, Pertanian, Kedokteran, dan lain-lain.

(9) Studi Ilmu Sosial: Hukum, Sosial-Kemanusiaan, Budaya, Ekonomi, Politik, Sastra, dan lain-lain

Maka, perbedaan antara bangunan disiplin ilmu Islam dan bangunan disiplin ilmu barat-sekuler adalah sebagaimana yang ditampilkan pada tabel berikut:

Ilmu Islam Ilmu Sekuler Pengetahuan Sumber Al-Quran

Ahadits

Observasi Empiris-Positif

Observasi Empiris-Positif Landasan Ilmu Mutlak Al-Quran Observasi Empiris-Positif Landasan Ilmu Al-Quran dan Ahadits Observasi Empiris-Positif Kelompok Disiplin Ilmu

Landasan

Ilmu Agama (Ulumuddien) Filosofi Pangkal Disiplin Ilmu Fiqh (Filosofi Islam) Filosofi

47 Keselarasan, Kesatuan Ilmu (Unity atau Tawhid)

Ketika ilmu semakin dicari, semakin diteliti, semakin dikejar (on pursuit of

knowledge), semakin dicari tahu, maka ia mengerucut, ilmu semakin spesifik, ilmu

akan menjadi lebih detail, ilmu akan terbelah, maka ilmu terdivisi, ilmu terbagi, ilmu akan membuat bidang-bidangnya sendiri, sehingga pengetahuan yang diperoleh manusia akan semakin kompleks, semakin banyak, pengetahuan manusia meluas, divisi ilmu itu adalah konsekwensi dan akibat yang konstan dari upaya mengejar ilmu (pursuit of knowledge).

Akan tetapi proses pembangunan atau pengembangan ilmu tidak berhenti sampai disini saja, tidak berhenti hanya pada satu arah di mana ia menuju arah pembagian, pembagian, pembagian yang tidak ada habisnya di mana ilmu semakin meruncing dan tajam, maka pengetahuan manusia juga atasnya akan semakin lebih tajam dan lebih canggih pula, lebih mutakhir, upaya manusia untuk mengejar ilmu mestinya tidak berhenti hanya sampai pada tahap terbaginya ilmu menjadi divisi-divisi, disiplin-disiplin ilmu.

Proses pengembangan ilmu juga mestinya harus menuju ke pada arah yang sebaliknya setelah ilmu itu terdivisi, yaitu pengembangan ilmu harus dikaji, dicari tahu, diteliti kepada arah lintas bidang, dimana setelah ilmu terdivisi harus diupayakan pula ilmu yang telah terdivisi itu dibawa kepada arah penyelarasan ilmu, ilmu harus diharmonikan antara satu bidang ke bidang lainnya, dan dalam penyelarasan ilmu harus dapat diketahui dan disesuaikan pula mana ilmu yang tepat menjadi „tolak ukur‟ dan mana yang menjadi „objek ukur‟, mana „ilmu yang harus menyesuaikan dengan‟ mana „ilmu yang harus disesuaikan dengan‟, sehingga sifat ilmu menjadi bersifat intercorrelated (saling berhubungan dan lintas bidang) dan bersifat multidimensional, wujud sebagai ilmu-ilmu campuran. Maka akan diperoleh satu-kesatuan ilmu (unity of knowledge atau tawhid), ilmu-ilmu menjadi harmoni, ilmu-ilmu menjadi tidak berkontradiksi, saling bertentangan antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya. Terutama sekali dalam proses penyelarasan adalah semua ilmu diselaraskan, diharmonikan dengan landasan atau sandaran ilmu itu sendiri yaitu Al-Quran sebagai landasan yang mutlak dan bersama-sama Ahadits, semua ilmu selaras dan harmoni dengan kelompok disiplin ilmu agama (ulumuddien), dan disiplin-disilin ilmu lainnya. Sehingga ilmu di dalam Islam sejatinya adalah lintas bidang, intercorrelated (saling berhubungan) dan multidimensional.

Maka dari itu, bila ilmu dipersatukan ia akan menghasilkan bangunan ilmu yang akan membuahkan manfaat yang solutif bagi kehidupan. Ini adalah kritik bagi bangunan ilmu yang berlaku dalam sistem dunia pendidikan modern dan universitas yang ada pada saat ini adalah bahwa ilmu dibangun dan dikembangkan terhenti hanya pada upaya pengejaran ilmu (pursuit of knowledge) yang terdivisi dan

48

tidak dilanjutkan pada pengembangan ilmu yang bersifat lintas bidang,

intercorrelated dan multidimensional. Pada akhirnya bangunan ilmu yang terbangun

hanya memiliki daya kritis, tetapi tidak memiliki daya kreatif atas persoalan, atau sebaliknya (memiliki daya kreatif tetapi tidak memiliki daya kritis), bangunan ilmu yang tidak harmoni dengan „tatanan moral‟ kemudian pada akhirnya hanya akan menghasilkan solusi-solusi yang menimbulkan masalah baru, ilmu menjadi rusak dan bersifat menghasilkan mafsadat (fasad: bersifat rusak dan merusakkan), alih-alih menjadi mashlahat. Pada akhirnya dunia ilmu yang disiplin-disiplin ilmunya bersifat terpisah-pisah dan terdivisi itu kemudian hanya menjadi alat atau diperalat oleh kuasa jahat, yang menguasai perdaban manusia, yang hanya akan menguntungkan golongan-golongan sepihak dan segelitintir orang disamping menimbulkan kerugian pada yang lainnya, inilah yang terjadi pada bangunan ilmu modern yang sekuler dan terdivisi yang diterapkan kepada dunia-dunia saat ini, di mana para sarjanawan hanya disibukkan pada pengerucutan ilmu yang terus dikembangkan yang tidak memberi arti dan solusi banyak bagi masalah riil kehidupan manusia.

Metodologi Penelitian Dan Pengembangan Ilmu Islam

Di antara hal yang menjadi penting, apabila tujuannya adalah membangun bangunan ilmu islam, tetapi luput dan tanpa memahami dasar-dasarnya, maka bangunan ilmu islam itu tidak mungkin dan nihil, atau ia hanya akan menjadi bangunan ilmu islam, yang “islam”nya hanya menjadi “nama” saja, tinggal “nama” saja. Oleh karena itu agar, yang terwujud itu adalah bangunan ilmu islam dan hirarki ilmu islam bisa berfungsi dengan baik, di antara yang harus diperhatikan adalah kaedah-kaedah dalam Metodologi Studi Teks (Nash): Al-Quran dan Ahadits, sebagaimana yang akan dijelaskan.

Metodologi Studi Teks (Nash):

(1) Kaedah menggunakan Al-Quran (sebagai sandaran, landasan, tolak ukur atau hakim/judge)

1. Tidak boleh ada yang mem-bypass (melangkahi) Authority (wewenang) Al-Quran; Al-Quran harus didudukkan sebagai Al-Furqan; tolak ukur yang mutlak yang paling tinggi (atas segala sesuatu dalam kehidupan manusia termasuk; ilmu pengetahuan dan persoalan manusia)

Al-Quran, ia adalah ilmu Allah yang memuat ilmu-ilmu, hukum-hukum, aturan-aturan (order), hikmah-hikmah (kebijaksanaan) yang memiliki jaminan kebenaran mutlak dan otentik, yang maka ia harus didudukan atau diletkakan harus lebih tinggi dibanding semua yang ada; hukum Allah Adalah hukum tertinggi, ilmu Allah adalah ilmu tertinggi, aturan Allah adalah aturan tertinggi. Oleh karenanya implikasinya ia berfungsi sebagai sumber ilmu, landasan ilmu, tolak ukur yang mutlak yang paling tinggi

49

yakni Al-Furqan yang dapat membedakan; mana kesesatan, mana kebenaran, mana ke-valid-an (benar dan otentik/shahih), mana-mana kenisbian (relatif; kadang benar, kadang tidak) dan kesesatan.

Al-Quran diturunkan untuk kaum yang berakal, kalau kaum itu tidak berakal maka Al-Quran tidak perlu dibicarakan. Oleh karena itu akal, sebagai alat yang distinct yang paling berperan, yang paling menentukan yang bisa membedakan mana kebenaran mana kenisbian, apabila Al-Quran telah diterima (diimani dan diketahui) oleh akal sebagai kebenaran dan kebenarannya bersifat mutlak, maka Al-Quran harus diposisikan lebih tinggi atas akal, dan akal harus menggunakan atau memanfaatkan sumber data itu (wahyu) dengan cara yang benar dengan metode yang benar agar “kebenaran mutlak” yang terkandung di dalamnya, di dalam Al-Quran tidak hilang, tidak menjadi nihil atau tidak menjadi nisbi.

Melalui akal pula dapat dibedakan mana Ahadits yang shahih (otentik) mana yang dhaif dan lain-lain; yaitu penelitian dalam Ilmu Hadits. Kemudian disamping itu dalil-dalil Al-Quran juga dapat difungsikan untuk mengklarifikasi kebenaran, kesesuaian, Ahadits tersebut, dan Al-Quran berfungsi membenarkan dan mensuport, menguatkan kebenaran Ahadits; perkataan Nabi ز.

Adapun selain dari pada Al-Quran tidak ada jaminan validitas kebenaran secara mutlak dan otentik (shahih). Hanya Al-Quran saja yang memiliki jaminan validitas kebenaran secara mutlak dan otentik. Oleh karena itu maka, Ahadits, qoul shahabah, qoul tabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia akan diletakkan atau didudukan setelah Al-Quran, dan Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia tidak bisa mem-bypass (melangkahi) Authority (wewenang) Al-Quran, dalam arti bahwa; Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia, tidak bisa berkedudukan lebih tinggi dari pada Al-Quran, di mana; Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia berlaku mengkoreksi Al-Quran, bisa mengkoreksi dan mengkritisi Al-Quran berserta apa yang dikandungnya; ayat-ayatnya. Juga dalam arti bahwa Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul

ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia tidak boleh mengabaikan satu

ayat pun di dalam Al-Quran dalam membuat kesimpulan, perolehan makna (tafsir dan takwil), istinbath fatwa (produk hukum) dan dengannya membuat hukum atau aturan atau teori atau panduan praktek (metodologi/kaidah (Qaidah)/cara/sunnah). Maka apabila Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in,

qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia mengabaikan satu ayat pun

50

maka ia telah mem-bypass authority Al-Quran untuk mendudukan Al-Quran sebagai tolak ukur, landasan yang paling tinggi.

Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia, hanya bisa berfungsi setelah Al-Quran didudukan sebagai authority yang paling tinggi, menghormati Al-Quran sebagai authority yang paling tinggi dengan tidak mengabaikan satu ayat pun di dalam Al-Quran dalam memfungsikan Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia.

Al-Quran dihormati dan didudukan sebagai authority yang paling tinggi dengan cara:

Ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan tanpa terkecuali dikumpulkan dengan seluruh kumpulan Ahadits secara harmoni [boleh pula diikutkan

qoul shahabah, qoul thabiin, qoul ulama tetapi hanya terkait studi tafsir (tidak

termasuk fatwa, ijtihad, pendapat ulama), yaitu studi tafsir yang saling bersesuaian; sinkron dan harmoni secara keseluruhan berdasarkan jumhur ulama, tidak termasuk tafsir ulama yang kontradiktif yang melenceng amat jauh atau tidak bersesuaian, tidak harmoni dan tidak sinkron dengan perolehan makna keseluruhan dari studi tafsir yang mayoritas], untuk kemudian setelah makna tafsir tersebut diperoleh kemudian menggunakannya untuk melihat mana-mana Ahadits yang bertentangan, kontradiktif dengan „makna yang diperoleh dari totaliti dalil-dalil Al-Quran‟ (dari studi tafsir yang melibatkan; qoul Nabi/Ahadits, qoul shahabah, qoul

thabi‟in, qoul ulama) maka Ahadits yang bertentangan tersebut tidak akan

menjadi sandaran/hujjah yang mutlak, adapun Ahadits yang bersesuaian, sinkron dan harmoni dengan makna totaliti dalil-dalil ayat Al-Quran tersebut maka ia disatukan bersama-sama dengan dalil-dalil ayat Al-Quran menjadi tolak ukur utama, sebagai kumpulan dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits yang harmoni. Mana-mana qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama yang bersesuaian, sinkron dan harmoni dengan tolak ukur tersebut maka disatukan dengan tolak ukur dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits yang harmoni tersebut dijadikan sebagai satu-kesatuan tolak ukur pokok (inti/core) yang lebih besar, mana-mana qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama yang bertentangan, tidak sinkron dan tidak harmoni, maka dikesampingkan, tidak diikutkan sebagai tolak ukur besar (kumpulan dalil-dalil Al-Quran, Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama yang harmoni). Mana-mana ilmu agama (ilmu akidah, ilmu syariah, ilmu akhlak) dan ilmu dunia yang tidak bersesuaian dengan tolak ukur besar (kumpulan dalil-dalil Al-Quran, Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama yang harmoni, yang

51

bersesuaian), maka ia bukanlah ilmu yang bisa dijadikan sandaran dan ilmu yang digunakan untuk berkehidupan secara Islam.

2. Al-Quran (sebagai Al-Furqan) adalah hakim atas pengetahuan hudhuri lainnya

(1) Al-Quran digunakan untuk menghakimi wahyu: yang pernah datang sebelum Al-Quran atau pengakuan orang yang mendapat wahyu; mengkoreksi mana-mana wahyu yang benar dan mana-mana yang tidak benar atau sudah dibengkokkan (tidak otentik) (tidak ada lagi Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad ز).

(2) Al-Quran bisa digunakan sebagai tolak ukur untuk menghakimi intuisi, ide, ilham, firasat seseorang:

a. Mana-mana yang bersesuaian dengan Al-Quran dan Ahadits maka ia bisa menjadi pengetahuan yang bisa diterima dan dapat dimanfaatkan sebagai pengetahuan yang bermanfaat. b. Mana-mana yang berkontradiksi dengan Al-Quran dan Ahadits

maka ia hanyalah pengetahuan yang nisbi (relatif dan subjektif). (3) Al-Quran bisa juga digunakan untuk menilai atau memberi ciri mimpi yang benar (ru‟yat shadiqa wa ru‟yat shaliha) atau mimpi yang tidak baik (hasutan syaithan)

3. Fungsi Al-Quran (Al-Furqan, Landasan Ilmu, Tolak Ukur Ilmu) akan berfungsi dengan baik dan benar (tepat) apabila dalil-dalilnya digunakan secara lengkap dan relevan.

(1) Tidak boleh mengambil makna (tafsir dan takwil) atau kesimpulan (istinbath fatwa) dari dalil-dalil ayat secara terisolasi, di mana tidak lengkap ayatnya.

Tidak boleh menggunakan dalil-dalil ayat Al-Quran secara berasingan, terisolasi, mengambil makna (tafsir dan takwil) dan kesimpulan (fatwa) dari satu dalil saja atau dua atau tiga dan seterusnya yang tidak lengkap ayatnya, melainkan dalam memperoleh makna (tafsir dan takwil) dan kesimpulan (istinbath atau fatwa; produk hukum) harus menggunakan dalil-dalilnya secara lengkap, mengharmonikan dan mensinkronkan totaliti data dalil-dalil ayatnya untuk memperoleh makna yang utuh dan menyeluruh sehingga ia bekerja dengan sistem makna (system of meaning), menerapkan kaedah yang paling prioriti (paling didahulukan) sebelum kaedah-kaedah lainnya yaitu kaedah Tafsir Quran Bil

Ma‟tsur; Quran dengan Quran, Quran dengan Hadits, dst. Dalam

52

lengkap tersebut boleh pula menambahkan asbabun nuzul, hadits,

qoul shahabah, qoul thabi‟in, qaoul ulama tapi hanya terkait tafsir

bukan terkait fatwa, ijtihad atau pendapat ulama yang sudah merupakan prodak jadi/produk hukum.

(2) Tidak boleh menggunakan dalil-dalil ayat secara tidak relevan; yaitu dalil-dalil ayat dikaitkan atas persoalan (rumusan masalah) secara tidak relevan dan dipaksakan, melainkan suatu dalil-dalil ayat Al-Quran memang berkaitan dan qualify secara akademis, bukan asal menghubung-hubungkan saja secara tidak relevan.

Hal ini bermaksud untuk memastikan perolehan makna (tafsir dan takwil) dan kesimpulan (istinbath atau fatwa; produk hukum) yang benar. Apabila

rule (kaedah) ini tidak diindahkan maka ini bisa membawa kepada

perolehan makna dan kesimpulan yang error dan fatal. Hal ini merupakan kritik kepada para sarjanawan atau ulama-ulama Islam yang mengambil makna dan kesimpulan dari dalil ayat-ayat Al-Quran secara berasingan, terisolasi, di mana satu ayat dengan ayat lainnya tidak berhubungan, kaedah Tafsir Quran Bil Ma’tsur atau Quran bil Quran tidak diindahkan, sebelum berbicara tafsir-tafsir lainnya, dan juga mengambil makna dan kesimpulan dengan memasukkan (menggunakan) dalil-dalil yang tidak relevan, yang dipaksakan untuk menghakimi persoalan.

Dalam masa Islam Klasik, metode untuk meminimalisir kesalahan dalam memperoleh kesimpulan ini ialah dengan cara mengumpulkan ulama: Ijma‟

Ulama. Mengumpulkan kapasitas Ulama-Ulama atas pemahaman, atas

makna isi kandungan ayat-ayat Al-Quran, mengumpulkannya dalam satu kesatuan dalam suatu sidang, diskusi atau konvensi atau musyawarah untuk menentukan perolehan makna dan kesimpulan yang tepat. Sehingga makna (tafsir dan takwil) dan kesimpulan (istinbath atau fatwa) yang diperoleh itu bisa dijadikan tolak ukur persoalan atau hakim atau pegangan untuk berkehidupan untuk memecahkan persoalan manusia. Akan tetapi kelemahan metode Ijma‟ Ulama terutama di saat kondisi zaman modern seperti saat ini bila Ulama dikumpulkan dengan ia tidak memperhatikan kaedah-kaedah di atas maka hanya akan menghasilkan kontradiksi, dilematika, saling koreksi dan perdebatan yang tidak ada solusinya.

(2) Kaedah menggunakan Ahadits

4. Fungsi Ahadits (yaitu sumber hukum, sumber ilmu, sumber hikmah kedua setelah Al-Quran dan bersama-sama dengan Al-Quran berfungsi sebagai batu landasan dan tolak ukur persoalan kehidupan dan juga untuk dunia

53

keilmuan); Ahadits akan berfungsi dengan baik dan benar (tepat) apabila; dalil-dalilnya digunakan secara (1) lengkap, (2) relevan dan (3) bersesuaian (sinkron/harmoni) dengan Al-Quran di mana dalil-dalil ayatnya juga digunakan secara lengkap dan relevan atas persoalan yang sama (rumusan masalah yang sedang dikaji), sehingga diperoleh pemkanaan yang lebih besar, lengkap dan utuh berdasarkan sistem makna (system of meaning), dari suatu kumpulan dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits secara bersama-sama sebagai tolak ukur dan batu landasan.

5. Apabila Ahadits Bersesuaian (sinkron/harmoni); dengan makna (tafsir dan

Dalam dokumen Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad (Halaman 54-62)