• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasar Modal dan Pasar Keuangan

Dalam dokumen Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad (Halaman 154-158)

alam perspektif Barat Modern, uang dan modal adalah komoditas, yang bisa diperjualbelikan untuk memperoleh untung atau menderita kerugian dari padanya, ini adalah konsepsi yang salah total (bathil) dalam perspektif Islam. Uang atau modal dalam perspektif Islam bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk memperboleh keuntungan atau menderita kerugian dari padanya, tetapi uang atau modal boleh dipertukarkan dengan syarat tunai (jumlahnya sama) tidak ada lebihan, tidak juga kurang, baik tanpa tempo (tunai) atau dengan tempo (kredit), hanya pertukaran semata-mata (di mana fungsi uang semata-mata hanya menjalankan fungsi alat tukar) ini disebut sebagai hawalah (perpindahan tangan).

Pasar modal merupakan wadah atau media di mana sekuritas diperdagangkan. Sekuritas atau efek atau „surat berharga‟ tidak lebih dari sekedar kertas (yang tak berharga), namun ia menjadi berharga karena ada sesuatu dari luar yang dimuat ke dalamnya. Oleh karena itu konsepsi sekuritas ini, ia bernilai secara ekstrinsik, bukan secara intrinsik. Sama halnya dengan uang ekstrinsik yaitu cek, uang kertas menjadi berharga karena uang riil (yaitu uang berbasis komoditi riil; emas ataukah minyak) dimuat ke dalamnya. Lalu apa yang dimuat ke dalam „surat berharga‟ sehingga kertas biasa menjadi berharga (lebih tinggi dari nilai kertas itu sendiri)?. Ada bermacam-macam surat berharga, mereka menyebutnya „obligasi‟, „warrant‟ (hak membeli kembali), „right‟ (hak memesan efek terlebih dahulu; HMETD) dan „saham‟. Surat berharga diterbitkan oleh perusahaan atau institusi permerintah yang disebut sebagai emiten adapun pembeli surat berharga itu disebut sebagai investor (pemberi dana).

„Obligasi‟ ia adalah surat berharga, apa yang membuatnya berharga „utang‟lah yang dimuat ke dalamnya (yaitu utang perusahaan atau utang institusi pemerintah penerbit surat berharga tersebut; emiten), kemudian obligasi tersebut surat berharga jangka panjang dalam periode tahunan yang menjanjikan keuntungan tetap (fix income) berupa bunga utang bagi pemegang surat tersebut. Jelas sekali

146

ketika utang di muat ke dalam kertas, lalu memperdagangkan kertasnya (utang ekstrinsik) tersebut layaknya komoditi (untuk memperoleh keuntungan atau menderita kerugian daripadanya) tidak lain adalah riba, riba berlapis-lapis riba. Ia sejatinya menjual hal yang tidak benar untuk dijual dan memperoleh hal yang tidak benar untuk diperoleh baik bunga utangnya itu sendiri atau keuntungan (capital

gain) perdagangannya.

„Warrant‟, adalah surat yang dimuat ke dalamnya „syarat jual beli‟; yaitu hak membeli kembali (surat berharga). Bila kita tanyakan, adakah memperjualbelikan „syarat jual beli‟ atau „hak membeli kembali‟ layak sebagai komoditi, adakah transaksinya diakui oleh Islam?, jelas sekali „syarat jual beli‟ atau „hak membeli kembali‟ bukan lah komoditas yang dapat diperjualbelikan. Ia hanya uang kuasa untuk memberikannya hak eksklusif dan prioritas dibanding pembeli-pembeli lainnya. Sama juga dengan „right‟ atau HMETD ia memuat „hak memesan efek terlebih dahulu‟ ke dalam surat. Ia memperjualbelikan hal yang tidak benar untuk diperjualbelikan, ini jelas bathil. Dan berbagai bentuk surat berharga turunan lainnya di pasar modal kebanyakan adalah hal-hal yang tidak benar untuk diperjualbelikan, kebanyakan adalah hal-hal yang tidak layak diakui sebagai komoditi atau asset atau harta.

Lalu bagaimana dengan saham? Kaum Islam moderenis (yang mempromosikan Islamisasi instrumen pasar modal) memandang saham adalah instrumen keuangan yang paling sesuai dengan cara Islam, ia sama halnya dengan investasi dan di dalam Islam investasi adalah hal yang dihalalkan dan banyak praktik-praktik muammalah dan akad-akad kontrak di dalam Islam yang bisa mengakomodasi kegiatan investasi ini; seperti musyarakah, mudharabah, dan lain-lain sebagainya. Lalu apa salahnya menciptakan saham syariah?

Saham ia dipandang sebagai surat berharga, tetapi apa yang membuat surat yang tidak berharga menjadi berharga? Apa yang dimuat ke dalamnya? Di dalam surat berharga „saham‟, ia memuat asset perusahaan. Sehingga dipandang apabila seseorang membeli share (bagian) surat berharga „saham‟ maka ia memiliki hak atas asset perusahan dalam besaran persen sesuai share yang dicantumkan dalam surat saham tersebut. Oleh karena itu para pemegang saham akan memperoleh share keuntungan setiap periode tertentu. Bukankah ini sesuai syariah, sama seperti investasi yang halal?

Sekarang kita mulai dengan membicarakan „capital gain‟nya dari perdagangan saham itu sendiri, adakah saham ini boleh diperjualbelikan menganggap „surat berharga‟ itu sendiri sebagai komoditas, sebagaimana sejatinya ia bernilai secara ekstrinsik, yaitu asset yang riilnya sebetulnya ada diluar benda „surat berharga‟ itu sendiri. Adakah sama antara surat (ekstrinsik) dengan asset atau harta riil (intrinsik)?.

147

Pertama sekali, ketika menjual saham (ditengah proses regenerasi kekayaan perusahaannya) sama saja me-withdraw modalnya pada perusahaan yang dibelinya (share-nya) di tengah jalan dan menukarkan modal yang ditariknya kepada pemodal baru dengan keuntungan yang diperoleh, hal ini tidak bisa dipandang hanya terjadi

hawalah (perpindahan tangan/kepemilikan) semata tetapi juga hawalah dengan gain

(keuntungan) atau bahkan loss (kerugian). Ia adalah riba, yaitu mempertukarkan modal (uang) yang telah ditariknya ditengah proses investasi dan regenerasi kekayaannya kepada pemodal baru untuk memperoleh keuntungan.

Selain dari pada itu, apa konsekuensi dari memuat nilai asset ke dalam sebuah kertas, lantas memperlakukan kertasnya (yang bernilai ekstrinsik) layaknya komoditi riil (yang bernilai intrinsik), walaupun kertas (ekstrinsik) itu mewakili asset (intrinsik) yang dimuat ke dalamnya, tetapi apabila kertas (yang bernilai ekstrinsik) itu dilepas ke pasar layaknya sebagai komoditi (yang riil atau intrinsik) di mana transaksi kertas (ekstrinsik) tersebut berlaku dalam cara yang sangat-sangat cepat, dinamis dan agressif (karena di antara motif-motif pelaku perdagangan saham adalah „capital gain‟-nya, bukan hasil investasi/dividennya semata-mata). Yang sebetulnya terjadi adalah harga yang terbentuk ke atas kertas ekstrinsik tidak sama dengan harga yang terbentuk ke harta intrinsiknya, bahkan harga yang terbentuk ke atas „kertas ekstrinsik‟ lebih volatile (labil) dibandingkan dengan bila harga terbentuk ke atas harta intrinsiknya, mengapa karena estimasi orang terhadap asset intrinsiknya dibandingkan terhadap kertas ekstrinsiknya tidaklah sama dan juga harga yang terbentuk ke atas „kertas ekstrinsik‟nya terintegrasi dengan sistem informasi, berita dan rumor yang sangat dinamis (yang mungkin bercampur benar salahnya). Konsekuensi dari hal ini, maka „kertas ekstrinsik‟ menciptakan harga ilusi atas asset atau harta intrinsiknya, berlaku layaknya karung penutup yang menutupi asset atau harta intrinsiknya. Perdagangan kertas ekstrinsik saham (yang sejatinya mewakili perdagangan asset intrinsik yang dimuat ke dalamnya) sama seperti perdagangan „kucing dalam karung‟, di mana kertas ekstrinsik-nya itu sendiri berlaku layaknya „karung penutup‟ yang menciptakan harga ilusi, yang bersifat sangat volatile (labil) dan rentan terpengaruh informasi-informasi yang beredar yang sangat dinamis (yang membombardir rasionalitas pelaku transaksi saham), yang mana harga itu tidak mencerminkan harga dari harta atau asset intrinsiknya yang sebenarnya. Ini tidak lain dan tidak bukan merupakan transaksi

syubhat alias gharar (transaksi tidak jelas harganya dan komoditinya, dimana

komoditi intrisniknya „dimuat‟ atau dengan kata lain „tertutup‟ kertas ekstrinsik-nya).

Oleh karena itu juga, pasar saham (atau pasar keuangan lainnya) yang memperdagangkan harta yang bernilai secara ekstrinsik lebih tepat seperti tempat judi. Kenapa? Harga-harga yang terbentuk ke atasnya adalah harga-harga yang sangat labil (volatil) dan bersifat ilusi, manakala sementara ia sejatinya

148

memperjualkan „harta intrinsik‟ yang dimuat ke dalamnya atau bahkan juga sesuatu hal yang tidak layak dianggap sebagai komoditi atau harta dimuat ke dalam kertas ekstrinsik yang diperdagangkan, adapun para pelaku yang beraktivitas, bertransaksi, memperdagangkan kertas-kertas ekstrinsik itu sedang bertaruh dan mencoba memprediksi dan menebak, apapun pendekatan dan metode perhitungannya untuk memprediksi harga saham untuk memperoleh keuntungan atau menerima kerugian dari padanya, tidak lain dan tidak bukan layaknya bermain judi. Kenapa? Karena tidak ada kaitannya hasil keuntungan atau kerugian yang diperolehnya dengan aktifitas riil regenerasi kekayaannya, itulah disebut judi (maysir).

Oleh karena itu sejatinya memperjualbelikan asset perusahaan yang dimuat kedalam sebuah kertas tidak ada kaitannya dengan kegiatan riil aktivitas regeneratif kekayaan asset perusahaan itu sendiri. Sehingga keuntungan yang diperoleh dari memperjualbelikan (share) asset perusahaan yang dimuat ke dalam sebuah kertas, sejatinya adalah perolehan/keuntungan perjudian. Kita tahu apa yang menyebabkan penjudi untung adalah berhasil menebak atau memperdiksi sesuatu, tetapi sesuatu itu tidak ada kaitannya dengan aktivitas riil regeneratif kekayaan, aktivitas bisnis riil, ekonomi riil. Kertas itu tidak ada kaitannya dengan harta riil (yang dimuat ke dalam kertas tersebut). Konsepsi pasar modal atau pasar keuangan tidak lain dan tidak bukan hanya tempat judi, pasar modal sejatinya adalah wadah judi, dengan segala instrumen bermacam-macam yang ada di dalamnya baik instrumen keuangan syariah ataupun bukan. Jadi jangan coba salahkan seseorang berspekulasi di dalam pasar modal atau di pasar keuangan, hal ini karena spekulan tersebut ber-spekulasi berada pada tempat yang tepat, yaitu tempat judi, dan setiap penjudi pasti lah spekulator; penebak dan tukang prediksi.

Lalu adakah „surat berharga‟ syariah?

Memuat nilai harta riil (asset) ke dalam kertas apakah itu tradisi Islam?, lantas menganggap atau mengakui kertas (yang memuat harta riil) itu sendiri sebagai komoditi adakah itu dibenarkan?, Konsekuensi yang terjadi bila memuat harta riil ke dalam sebuah/selembaran kertas maka harga yang terbentuk ke atasnya jelas tidak mencerminkan harga yang terbentuk atas harta riilnya, ia adalah harga ilusi, harga yang tidak stabil, ia adalah gharar. Walaupun akad-akad syariah dibentuk, ditransformasi, dikombinasikan, digabung-gabungkan, direkayasa untuk membuatnya terlihat halal dan legal di dalam Islam.

Imam Malik dalam Muwattha, menerangkan:

Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar tanda terima (resi) dibagikan pada penduduk pada masa Marwan bin al-Hakam untuk barang di Pasar al-Jar. Penduduk membeli dan menjual resi di antara mereka sebelum mereka mengambil barangnya. Zaid bin Tsabit bersama seorang sahabat Rasulullah pergi menghadap Marwan bin al-Hakam dan berkata, “Marwan, apakah engkau menghalalkan riba?”. Ia menjawab, “Naudzubillah, apakah itu?”. Ia berkata, “resi-resi ini

149

yang dipergunakan penduduk untuk berjual beli sebelum menerima barangnya”. Marwan kemudian mengirim penjaga untuk mengikuti mereka dan mengambilnya dari penduduk kemudian mengembalikannya kepada pemilik asalnya.

HR. Muslim dan Ahmad, dari Sulaiman bin Yasar ر :

Bahwa Abu Hurairah ر berkata kepada Marwan: “Apakah kamu menghalalkan jual beli riba?”, Marwan menjawab, “saya tidak menghalalkannya”. Abu Hurairah melanjutkan; “kamu menghalalkan jual beli sukuk (surat kertas yang dikeluarkan oleh penguasa, bertuliskan sejumlah makanan atau selainnya yang diberikan kepada orang yang berhak). Sungguh Rasulullah ز telah melarang menjual bahan makanan sampai ia ditimbang terlebih dahulu”. Sulaiman berkata; “lantas Marwan mengumumkan kepada orang-orang dan melarang jual beli seperti itu”. Sulaiman berkata “saya dan para pengawal mengambilnya dari tangan orang ramai”

Segala sesuatu yang ditulis ke atas kertas walaupun ia mewakili harta riil yang bernilai intrinsik adakah itu harta dalam bentuk uang atau komoditi; seperti cek, saham, catatan keuangan, laporan keuangan, nota, kwitansi dan lain-lain. Ia sejatinya di dalam Islam hanya berfungsi sebagai „alat hukum‟ yang hanya berfungsi di depan hukum sebagai alat bukti kepemilikan atau alat wakil atas harta riil tersebut dan segala sesuatu yang ditulis menjadi sebuah catatan adakah itu catatan diatas kertas atau catatan digital di dalam komputer, ia sama sekali bukan komoditas, yang bisa diperdagangkan untuk memperoleh keuntungan atau kerugian. (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 282)

Jelas sekali konsepsi pasar keuangan adakah itu pasar modal dan pasar uang adalah konsepsi pasar yang bathil. Dan tidak layak disebut sebagai pasar, manakala pasar diartikan tempat/wadah/media untuk memperjualbelikan komoditas (barang dan jasa). Adapun yang ditransaksikan di dalam pasar modal dan pasar keuangan sama sekali tidak layak di dalam perspektif Islam sebagai komoditas. Yang diperdagangkan di dalamnya bukanlah komoditas, melainkan „kepalsuan‟ demi „kepalsuan‟ yang dibuat-buat berlapis-lapis.

IX.II

Dalam dokumen Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad (Halaman 154-158)