• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dilematika Penerapan Qardh-Hasan

Dalam dokumen Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad (Halaman 127-130)

Perbantahan dan alasan-alasan dilematika Qardh-Hasan itu secara umumnya ada dua:

1. Dalam ranah mikro (entitas individu atau rumah tangga dan entitas bisnis), qardh hasan sulit berjalan karena jarang yang akan melakukan atau menyediakan, memberikan pinjaman tanpa imbalan, selain dari pada itu apabila Qardh Hasan dijalankan oleh lembaga keuangan Islam yang ada saat ini (misalnya BMT, koperasi syariah, atau Baitulmal bank syariah), Qardh Hasan memiliki porsir dan ruang yang minim karena lembaga-lembaga keuangan Islam itu lebih berorientasi pada ranah bisnis dan profit (bukan amal atau tabarru‟).

2. Qardh Hasan adalah hutang-piutang, argumennya akan terdengar; di dalam Islam hutang-piutang hendaknya dihindari karena mendapat peringatan-peringatan dalil-dalil syar‟i mengenai keburukan utang.

Dilematika yang pertama jelas saja, Qardh Hasan sulit berlaku dalam mikro ekonomi oleh karena (1) tidak adanya imbalan, (2) tidak ada jaminan akan dana, (3) tidak ada sistem yang mendukung dan lain sebagainya, paling minimal Qardh Hasan itu hanya bisa berlaku antar kerabat yang saling percaya. Dan juga jelas saja, Qardh Hasan memiliki porsir dan ruang yang minim dalam „lembaga keuangan islam‟ yang ada saat ini (Bank Syariah, Koperasi Syariah, BMT, dan lain-lain) oleh karena „lembaga keuangan islam‟ tersebut memang lebih berorientasi pada ranah bisnis dan profit, hal ini tidak bisa dipungkiri dan dihindari oleh lembaga keuangan tersebut dari sifat bisnisnya karena juga lembaga keuangan itu memiliki tuntutan untuk menutupi tanggungan dan biaya operasional institusinya yang pada akhirnya asset keuangan yang dimiliki lembaga keuangan tersebut lebih banyak digunakan untuk alokasi dana yang bersifat profitable dibandingkan untuk memberikan fasilitas pinjaman (Qardh Hasan) yang tidak memiliki imbalan dan keuntungan keuangan.

Berdasarkan ini sebetulnya, apabila ingin menjadikan Qardh Hasan bisa diterapkan dan berlaku secara luas, sebetulnya ia memerlukan; (1) Penutupan ongkos/biaya operasional, (2) Jaminan akan dana (mencegah dari gagal bayar), (3) Harus ada sistem yang baik (yang bisa mengantisipasi celah atau kelemahan sistem; di mana pinjaman Qardh bisa disalah gunakan). (4) dan Qardh Hasan tidak bisa berjalan berdasarkan institusi yang berorientasi profit, ia harus dijalankan oleh institusi keuangan asli (genuine) di dalam Islam (yaitu Baytulmal yang dijalankan oleh otoritas khalifah; atau kepala pemerintahan Islam).

119

Adapun dilematika yang kedua dari penerapan Qardh-Hasan, adalah pendapat bahwa; utang harus dihindari. Untuk hal ini barangkali memerlukan penelitian yang lebih cermat lagi dari studi Al-Quran dan Ahadits, mengenai masalah hutang-piutang di dalam Islam. Adakah berhutang itu dilarang?, bagaimanakan tata cara dan aturan hutang-piutang itu di dalam Islam? dan juga banyak dalil-dalil yang memperingatkan perihal utang piutang.

Adapun bila melihat kenyataan bermuammalat, pada dasarnya hutang-piutang adalah perkara yang sulit dihindari, dalam berniaga, penangguhan sering terjadi dalam bermuamalah, hal ini adalah masalah alami oleh karena jarak distribusi yang berlangsung dan semakin cepatnya alat komunikasi menghubungkan antar klien. Walaupun demikian, adalah panduan moral yang betul, perkara berhutang adalah hal perlu dihindari. Tetapi kiranya, tidak ada salahnya jika infrastruktur keuangan; fasilitas pinjaman tanpa imbalan (Qardh Hasan) disediakan oleh khalifah (amir atau pemerintah), berdasarkan pertimbangan; 1. Untuk mengatasi gap/masalah-masalah utang-piutang yang sering terjadi dan mustahil dihindari di dalam muammalah, 2. Mencegah keuangan ribawi (riba dayn) berlaku sebagai solusi (bak pahlawan) menyusupi dan memanfaatkan celah atau mengeksploitasi celah dari masalah alami muammalah; yaitu fenomena utang-piutang, 3. Pinjaman tanpa imbalan (Qardh Hasan) adalah strategi (perang) ekonomi (sebagai senjata) yang bisa dimanfaatkan oleh orang beriman untuk memusnahkan praktik riba.

Akan tetapi agar ia bisa berlaku Ummat Islam perlu mememenuhi syarat atau apa-apa yang diperlukan untuk membuatnya bisa berjalan sebagai mana yang telah diterangkan. Adapun dalam membangunkan sistem dan infrastruktur keuangan tersebut perlu memperhatikan ayat yang terkait aturan mengenai utang-piutang dan menjadikannya sebagai landasan dalam membangun sistemnya, Allah berfirman:

(Quran, Surat Al-Baqarah 2: 282)

“Wahai orang-orang yang beriman, (1) jika kalian berhutang dengan utang tertangguh sampai tempo yang ditentukan maka tulislah, (2) hendaklah seseorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar, (3) janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya maka hendaklah dia menuliskan, (4) dan hendaklah seseorang yang berhutan itu men-dikte-kan, (5) dan hendaklah dia (yang berhutang itu) bertakwa kepada Allah Tuhannya (dalam hal mendiktekan jumlah utangnya), (6) dan janganlah dia mengurangi sedikitpun (hutang) dari padanya, (7) jika yang berhutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya) atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar, (8) dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu, (9) jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu redhai dari para saksi (yang ada), (10) agar jika yang seorang-orang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya, (11) dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil, (12) dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas temponya (baik utang itu) kecil maupun besar, yang demikian itu lebih adil disisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, (13) kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu tidak menuliskannya, (14) dan ambillah

120

saksi apabila kamu berjual-beli, (15) dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi, jika kamu lakukan yang demikian maka sungguh hal itu suatu kefasikan pada kamu, dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

(Quran, Surat Al-Baqarah 2: 283)

(16) dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang, (17) tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagaian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya), (18) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, tuhannya, (19) dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya sungguh hatinya kotor (berdosa), Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Adapun bila berangkat kepada Ahadits ada beberapa hal yang dapat disimpulkan; 1. Seorang yang syahid tidak akan diterima selama memiliki hutang, kecuali

hutang itu ada yang menjaminkan untuk melunasi atau si pemilik piutang mengikhlaskan hutang yang dimiliki si syahid.

HR. Tirmizi, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ر : “Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali utang” HR. Ibnu Hibban, dari Jabir ر :

“Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami mengkafaninya dan memberinya wangi-wangian. Kemudian kami datang membawa mayit itu kepada Rasulullah ز. Kami berkata, „shalatkanlah jenazah ini‟. Beliau melangkahkan kakinya lalu bertanya, „apakah dia mempunyai tanggungan utang?‟ kami menjawab, „Dua dinar‟. Lalu beliau pergi. Abu Qatadah kemudian menanggung utangnya, kemudian kami datang kepada beliau lagi, kemudian Abu Qatadah berkata, „dua dinarnya saya tanggung‟. Maka Rasulullah ز bersabda „kamu betul akan menanggung sehingga mayit itu terlepas darinya? Dia menjawab, „ya, maka Rasulullah pun menshalatinya. Kemudian setelah hari itu Rasulullah ز bersabda, „apakah yang telah dilakukan oleh dua dinar tersebut?‟ maka Abu Qatadah berkata, „sesungguhnya ia baru meninggal kemarin‟, Jabir berkata, „maka Rasulullah mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Maka Abu Qatadah berkata, „aku telah melunasinya wahai Rasulullah‟ maka Rasulullah bersabda, „sekarang barulah dingin kulitnya”

2. Meleha-lehakan pembayaran utang padahal ia memiliki kemampuan membayar merupakan salah satu bentuk kezaliman juga.

HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ر :

“Menunda pembayaran utang dalam kondisi mampu adalah suatu kezaliman, dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya”

121

3. Si pemberi pinjaman tidak boleh mensyaratkan imbalan dan si penerima pinjaman tidak boleh melehakan pembayaran dari tempo yang sudah disepakati.

HR. Sunan Baihaqi, dari Fadalah bin Ubayd ر :

“Setiap utang yang (disyaratkan atau dituntut) ada lebihan atau manfaat maka ia adalah riba”

4. Si pemberi pinjaman yang tidak mengambil imbalan, akan mendapat ganti pahala dari Allah (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 280, Quran, Surat Ar-Rum 30: 39, Quran, Surat Al-Baqarah 2: 225, 278-280, Quran, Surat Al-Maidah 5: 12, Quran, Surat Al-Hadid 57: 10-11, 18, Quran, Surat At-Taghabun 64: 16-17, Quran, Surat Al-Muzzammil 73: 20)

5. Penggunaan dana pinjaman tidak boleh digunakan untuk tujuan bermewah-mewah, tabdzir (berboros ria), bermaksiat kepada Allah dan RasulNya, dan sebagai dana untuk kekuatan perang melawan Islam, melawan Allah dan RasulNya dan membela kaum kafir (harbi), dan melanggar „tatanan moral‟ yang ada.

Berdasarkan ini sistem keuangan Islam untuk menyediakan infrastruktur keuangan pinjaman Qardh; perlu menerapkan (1) Pencatatan dalam setiap transaksi adalah wajib (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 282), (2) Apabila seseorang berhutang hendaknya ada jaminannya (fa rihanu maqbudhoh) (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 283) atau ada referensi penjaminnya kalau tidak ada maka penjaminnya tidak lain adalah si pemberi pinjaman tersebut (mengikhlaskannya), (3) Harus ada sistem yang mencegahnya gagal bayar, (4) harus ada sistem yang mencegah penggunaan dananya disalahgunakan.

Oleh karena itu, untuk menyediakan infrastruktur pinjaman kebaikan (Qardh Hasan), ia harus bisa menutupi semua masalah-masalah yang telah disebut kan diatas.

VII.VI

Dalam dokumen Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad (Halaman 127-130)