• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infrastruktur Keuangan

Dalam dokumen Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad (Halaman 168-171)

Infrastruktur keuangan adalah prasarana atau fasilitas atau jasa keuangan yang disediakan untuk mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat seperti; (1) fasilitas pinjaman, (2) fasilitas penitipan/tabungan dan (3) fasilitas transfer. Di dalam sistem ekonomi ribawi, umumnya infrastruktur keuangan diperankan oleh lembaga keuangan komersil, perbankan dan lembaga keuangan lainnya dengan menawarkan jasa-jasa dan fasilitas-fasilitas keuangan tersebut yang bekerja dengan cara riba seperti; pinjaman berbunga.

Jasa-jasa keuangan itu sendiri sejatinya diperlukan untuk mendukung kelancaran aktivitas ekonomi, akan tetapi di dalam Islam konsepnya jasa-jasa keuangan itu harus tidak berlaku dengan cara ribawi. Tetapi, maka dari itu, dengan cara sebaliknya konsepsi keuangan Islam mengenai jasa-jasa keuangan itu justru dibangun dengan konsepsi sedekah (tabarru‟). Misalnya fasilitas pinjaman di dalam Islam tidak dibenarkan berlaku dengan cara menuntut imbalan bunga, pinjaman di dalam Islam hanya sah berlaku sebagai pinjaman tabarru‟ (pertolongan atau sedekah) yakni pinjaman qardhul hasan. Selain itu, fasilitas keuangan lainnya yang termasuk penting dan dibutuhkan seperti; fasilitas tabungan dan fasilitas transfer adakah ia boleh berlaku di dalam Islam?

Apabila ditinjau secara Islam, fasilitas tabungan sejatinya merupakan jasa keuangan yang menyediakan kas/box atau wadah penitipan untuk mengamankan harta, ia adalah usaha pengamanan harta, maka adalah sah-sah saja untuk mengenakan ongkos/tarif/sewa pada kas tabungan ataupun mengenakan ongkos administrasinya. Begitupun fasilitas transfer/wesel, adalah jasa keuangan yang mengenakan ongkos pada biaya transportasinya atau administrasinya. Ongkos-ongkos itu adalah sah-sah saja dituntut dari pengguna jasa. Membebaskan Ongkos-ongkos pun sah-sah saja, ia terhitung sebagai pemberian (sedekah) kepada si pengguna jasa. Namun yang menjadi tidak sah adalah bila perspektifnya diganti; seseorang yang menitipkan hartanya kepada si penjaga titipan, tidak hanya sebagai „titipan‟ tetapi juga sebagai „pinjaman‟ (loan) oleh karena itu si penjaga titipan dituntut dengan imbalan atau kompensasi tertentu (sekalipun imbalan itu berupa pembebasan cost pada kas rekening tabungannya) yang demikian bukanlah termasuk tabarru‟ atau

160

sedekah, melainkan transaksi ribawi; yaitu memperjualbelikan „jasa pinjaman‟ atau „utang‟.

Oleh karena konsepsi keuangan Islam mengenai jasa-jasa keuangan dibangun berdasarkan konsepsi sedekah, dengan cara sedekah, maka bentuk jasa-jasa keuangan itu disediakan terbebas dari ongkos atau tarif atau biaya kepada masyarakat. Hal ini berasaskan dan merupakan nilai-nilai kebijaksanaan Islam untuk membangun jasa-jasa keuangan itu dengan cara sedekah, dengan cara demikan ia akan memiliki kedudukan strategis tersendiri, terutama terhadap riba. Alasan yang paling utama, pembebasan ongkos atas jasa keuangan adalah untuk menghindari tercampurnya jasa-jasa keuangan dengan praktik riba dalam keuangan dan memperbesar daya guna sedekah yang bersifat strategis dalam mengatasi penyakit-penyakit ekonomi yang ditimbulkan oleh riba.

Lebih lanjut, apabila ditinjau dalam perspektif moral, jasa-jasa keuangan yang sebetulnya merupakan komoditi (barang-jasa) strategis, karena hajat masyarakat terkait jasa-jasa keuangan bersifat komplementif dengan hajat terhadap uang itu sendiri, di mana ia merupakan komoditi yang menjadi hajat orang banyak. Apabila ditinjau dalam perspektif moral, dalam tinjauan moral Islam komoditi strategis yang menyangkut hajat orang banyak harus dikuasai oleh pemerintah (khalifah) atau ia dimiliki seluruh ummat islam secara berserikat tanpa terkecuali (milik umum) dan termasuk komoditi strategis yang dimaksud itu ialah infrastruktur keuangan. Maka dari itu jasa-jasa keuangan sebetulnya dalam tinjauan moral tidak dibenarkan dikuasai oleh entitas bisnis (badan privat), karena komoditi strategis yang tidak dikuasai oleh pemerintah (khalifah) atau dimiliki seluruh ummat islam (sebagai milik umum) berpotensi memberikan entitas bisnis tertentu kekuasaan monopolistik atas pasar, di mana kekuasaan monopolistik akan membuat seseorang (badan privat) menetapkan harga secara sepihak dan zalim terhadap masyarakat umum dan bahkan kekuasaan kekayaan yang diperolehnya lewat kuasa monopolistik bisa mengancam kekuasaan pemerintah (khalifah) atau membuat hukum mandul (memakzulkan hukum) bila hingga pada akhirnya entitas bisnis tersebut lebih kaya dari pada pemerintah (Khalifah).

Di sinilah kaitannya, di mana jasa-jasa keuangan itu sendiri di dalam Islam mesti dibangun bersifat sedekah, bebas dari tarif atau biaya atau ongkos. Jasa-jasa keuangan yang bebas dari ongkos atau biaya atau tarif itu hanya bisa disediakan oleh pemerintah (khalifah), mengapa?. Hal ini karena, karakteristik yang inheren pada badan privat (entitas bisnis) adalah tuntutan profit (orientasi profit), di mana

sustainability badan privat (entitas bisnis) itu berkegantungan terhadap profit agar

institusi tersebut tetap berkelangsungan, berkelanjutan dan akan mustahil atau berat bagi badan privat (entitas bisnis) yang bersifat komersil ini untuk menyediakan jasa-jasa keuangan yang bebas tarif. Berbeda dengan badan pemerintah (khalifah), badan pemerintah memiliki kekuasaan hukum memperoleh

161

pemasukan pasti lewat sistem perpajakan (Baytulmal; sistem perpajakan yang mendistribusikan kekayaan yang hanya memungutnya dari si kaya kepada si miskin), sehingga badan pemerintah tidak semestinya berorientasi profit mencari keuntungan dan tidak selalu sibuk dengan urusan mengatasi sustainability institusi, tetapi sebagai tugas pemerintah, ia hanya fokus kepada pengentasan masalah ummat, orientasi mashlahat dan keselamatan ummat dari marabahaya (dunia dan akhirat), oleh karena itu jasa-jasa keuangan yang bebas tarif hanya bisa disediakan oleh entitas pemerintah (khalifah).

Dengan demikian, bila hal ini diterapkan, yakni pembebasan biaya atas jasa-jasa keuangan (infrastruktur keuangan), hal ini akan memberi dampak dan peran strategis pada infrastruktur keuangan yang bersifat sedekah ini untuk mematikan usaha-usaha jasa keuangan komersil badan privat (entitas bisnis), mencegah badan privat (entitas bisnis) eksis atau survive menjalankan usaha-usaha jasa keuangan, di mana ia sejatinya tidak dibenarkan untuk menjalankan usaha-usaha terkait komoditi yang menjadi hajat orang banyak, sekaligus pembebasan biaya jasa-jasa keuangan juga berperan strategis untuk mematikan usaha-usaha jasa keuangan ribawi. Disamping itu keuntungannya, pembebasan biaya atas jasa-jasa keuangan akan berperan strategis sebagai insentif ekonomi yang sangat baik; yang memacu produktifitas dan kegiatan ekonomi riil.

Maka dari itu „Infrastruktur Keuangan‟ di dalam konsepsi Islam dan praktinya, ia mesti dikuasai dan disediakan oleh entitas pemerintah dan bersifat sedekah (barang gratis), di mana sumber pendanaannya dan penutupan biaya-biaya ongkos operasional dan administrasinya bersumber pada sumber keuangan publik Baytulmal (alokasi penyaluran umum), di mana sistem perpajakan Baytulmal bersifat mendistribusikan kekayaan hanya memungutnya dari golongan menengah atas dan disalurkan ke golongan menengah bawah dan umum dalam cara yang adil. „Infrastruktur Keungan‟ di dalam konsepsi Islam bukan disediakan oleh entitas bisnis (badan privat), lembaga keuangan dan perbankan komersil yang memberikan entitas-entitas bisnis tersebut kuasa monopolistik dari barang publik yang menjadi hajat orang banyak. Begitupun semua barang publik di dalam Islam, hendaknya berlaku bebas tarif, sebagai sedekah pubik, sebagaimana pasar di dalam Islam adalah sedekah (bebas pungutan atau rente).

162

X

Dalam dokumen Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad (Halaman 168-171)