• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epistimologi Islam

Dalam dokumen Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad (Halaman 37-47)

llah adalah yang menciptakan segala sesuatu (Allah Al-Khaliq), Allah adalah yang mengetahui segala sesuatu (Al-Alim), Allah sumber ilmu, semua ilmu milik Allah, ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah hendaki/izinkan wujud maka wujud, apa yang Allah hendaki/izinkan tiada maka tiada. Segala sesuatu yang ada yang tercipta tidak luput dari pengetahuan Allah, segala sesuatu yang menghilang yang menjadi tiada tidak luput dari pengetahuan Allah. Allah mengetahui yang nampak (zhahir), Allah mengetahui yang ghaib, yang tidak nampak, yang tersembunyi (bathin). Allah yang Awal, Allah yang Akhir. Alam wujud (segala sesuatu yang ada, yang sejatinya ada; realitas absolut) oleh manusia bisa diketahui, bisa tidak. Ketika alam wujud bisa diketahui manusia maka ia akan berupa pengetahuan, ilmu, gambaran, pandangan, persepsi. Adakalanya pengetahuan (ilmu, persepsi) manusia benar (valid) yaitu; bila yang ada dalam „persepsi‟ sesuai dan sama persis dengan kenyataan alam wujud (realitas absolut). Namun adakalanya pula pengetahuan (ilmu, persepsi) manusia itu tidak benar (valid) yaitu; bila yang ada dalam „persespi‟ tidak sesuai, tidak sama persis dengan kenyataan alam wujud (realitas absolut).

Filosofi (philosophia; „cinta kebijaksanaan‟) adalah kegiatan manusia menggunakan akal (intelect, reason, rasio) sebagai alat (indera) manusia yang canggih, yang distinct, yang cerdas, yang mampu berfungsi untuk mengungkap, untuk menyingkap alam wujud, melalui process of logic berbasis input („pengetahuan sumber‟) untuk memperoleh pengetahuan yang benar atasnya, untuk memperoleh kebenaran atasnya. Tujuan dari kegiatan filosofi itu, tidak lain tujuannya adalah agar manusia memperoleh kebijaksanaan (hikmah atau wisdom); yakni mengetahui apa-apa yang dapat membahayakan dan mencelakakan bagi manusia dan apa-apa yang dapat membawa kepada manfaat atau keselamatan kepada manusia. Sehingga ilmu atau pengetahuan yang benar yang diperoleh manusia bisa dimanfaatkan dalam tindakan, dalam cara berkehidupan.

29

Akal tidak akan menjadi berguna (nihil) tanpa terlebih dahulu memiliki „pengetahuan sumber‟, pengetahuan mentah, pengetahuan input yang menjadi data untuk kegiatan berpikir (process of logic) untuk menghasilkan pengetahuan jadi, pengetahuan output yang disebut „persepsi‟ (ilmu, pengetahuan, gambaran). Pengetahuan sumber, diperoleh manusia melalui penginderaan, penginderaan terhadap Alam Wujud menggunakan indera-indera (indera jasmaniah; pancaindera dan indera bathiniah: indera kalbu/qalbun) yang dimiliki manusia. Alam wujud yang dapat diindera manusia berwujud „fenomena‟ atau ia disebut sebagai ayaat (signs, symbol, sandi). Ayaat menjadi pengetahuan sumber, pengetahuan mentah yang diproses akal (process of logic) untuk menghasilkan atau menyusun „persepsi‟. „Persepsi‟ manusia yang sudah ada kemudian akan kembali menjadi „pengetahuan sumber‟ yang baru bagi input akal (process of logic) yang akan selalu mengalami pertentangan atau pencocokan dengan Alam Wujud (realitas absolut) yang ditangkap indera manusia dalam bentuk fenomena-fenomena yang baru lagi (ayaat); sebagai „pengetahuan sumber‟ tambahan yang dihasilkan oleh penginderaan (pengalaman dan pengamatan), sehingga „persepsi‟ (pengetahuan, ilmu, pandangan) akan mengalami koreksi dan kemapanan validitas untuk menghasilkan „persepsi‟ (pengetahuan, ilmu, pandangan) yang benar, pengetahuan yang semakin mendekati kebenaran, seiring berjalannya waktu kedepan.

Bagaimana cara manusia memperoleh pengetahuan alam wujud? dan adakah pengetahuan yang diperoleh itu valid (benar) atau tidak? Ini disebut bidang kajian Epistimologi. Epistimologi; yakni suatu cabang ilmu filosofi yang menjelaskan bagaimana pengetahuan (ilmu, persepsi, pandangan) manusia mengenai alam wujud (segala sesuatu yang ada; realitas absolut) itu diperoleh manusia dan apakah pengetahuan (ilmu, persepsi, pandangan) yang diperoleh itu valid (benar) ataukah tidak; yakni sesuai dengan kenyataan alam wujud (realitas absolut) ataukah tidak. Hal ini merupakan subjek penting bagi manusia karena hanya kebenaran (pengetahuan yang benar) yang dapat membawa manusia kepada kebijaksanaan (hikmah atau wisdom); yang dengan sebenar-benarnya dapat membawa manusia kepada keselamatan dan perolehan manfaat (“cahaya”), serta menjauhkan manusia dari marabahaya dan kecelakaan (“kegelapan”); mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Ruang lingkup alam wujud yang dicoba dijangkau menjadi objek berfilsafat itu sendiri melingkupi misteri mengenai; (1) alam semseta, (2) manusia itu sendiri dan (3) metafisika. Awal mulanya akal digunakan untuk memahami alam semesta (material universe atau alam thabi‟i), kemudian akal digunakan untuk memahami diri manusia itu sendiri, kemudian akal digunakan untuk menyingkap segala sesuatu yang ada dibalik semuanya yang nampak (alam ghaib; seven parallel universes; sab‟a

samawaat), termasuk mengenai Tuhan, seperti misalnya pertanyaan; adakah Tuhan

30

Dalam cara biasa (konvensional) „pengetahuan sumber‟ diperoleh manusia dengan cara mengupayakan penginderaan terhadap alam wujud itu sendiri, yang muncul dalam bentuk „fenomena‟ (ayat; simbol atau sandi). „Fenomena‟ yang dihasilkan oleh pancaindera (indera jasmaniah) ia disebut sebagai ayat kauniyyah, kemudian „fenomena‟ diproses oleh akal (process of logic) sehingga menghasilkan „persepsi‟ mengenai alam wujud, begitulah seterusnya „persepsi‟ akan dipertentangkan dan dicocokan kembali dengan alam wujud (realitas absolut) yang ditangkap indera dalam wujud „fenomena-fenomena baru‟, untuk menghasilkan „persepsi‟ baru dan mutakhir.

Kaum rasionalis barat telah meyakini dan bersikukuh, membangun disiplin ilmu berlandaskan filosofi yang berlandaskan standar bahwa; pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya adalah pengetahuan (ilmu, persepsi, pandangan) yang dibangun berdasarkan pengetahuan sumber yang diperoleh dari pengalaman dan pengamatan inderawi (pancaindera); observasi empiris (empirisme) yang diproses akal dengan mengolahnya sebagai makna-makna terukur (kuantitatif dan kualitatif) (positivisme). Kaum rasionalis barat telah meyakini dan bersikukuh hanya dengan bersandar pada akal dan observasi empiris (pengalaman dan pengamatan) sebagai data dengan makna-makna terukur sebagai jaminan validitas pengetahuan (ilmu, persepsi, pandangan) yang benar, selain dari pada itu merupakan pengetahuan (ilmu, persepsi, pandangan) yang tidak dapat dipastikan dan dipertanggungjawabkan kebenarannya atau ia dikatakan sebagai pengetahuan subjektif.

Adapun dalam Islam, sebetulnya „pengetahuan sumber‟ di dalam Islam mengakui dua sumber jalan perolehan; (1) yang pertama ialah pengetahuan yang diupayakan oleh pengalaman dan pengamatan inderawi/pancaindera (observasi empiris) dan mengolah makna-makna terukur (positif), ia adalah sebagaimana yang diupayakan kaum rasionalis Barat, dan ilmu jenis ini di dalam Islam boleh disebut sebagai ilmu

hushuli; ilmu yang diupayakan menggunakan pancaindera dan akal manusia.

Adapun yang kedua (2) ia adalah „pengetahuan sumber‟ yang diperoleh dari pengalaman indera kalbu (qalbun) atau tangkapan indera hati, indera bathiniah manusia, kaum rasionalis menyinggungnya sebagai pengetahuan yang subjektif, pengetahuan ini di dalam Islam disebut dengan ilmu hudhuri (knowledge by presence atau revealed knowledge), ada kalanya ilmu jenis ini merupakan „ilmu yang datang‟ (datang sendiri – tidak dicari atau diupayakan, atau ia datang karena diupayakan), ilmu jenis ini diterima secara transmisi atau terpancar (transmited) dari alam wujud (ada yang mengirimnya), ilmu hudhuri dapat muncul berupa; intuisi atau ilham, firasat, mimpi dan penglihatan (ru‟yat dan kasyaf), hidayah dan juga wahyu.

Ilmu hudhuri tidak semuanya benar dan memang benar ilmu hudhuri bersifat

31

kebenarannya, adakah ia kebenaran atau kesesatan belaka. Hal ini karena pengetahuan yang diterima secara hudhuri, seperti halnya kasyaf atau mimpi seseorang sejatinya memiliki 3 kemungkinan:

(1) ia prasangka (muncul dari diri manusia sendiri; alam pikiran atau bawah sadar),

(2) ia kesesatan atau palsu (berasal dari tipuan atau bisikan jahat syaithan), (3) ia kebenaran (berasal dari Allah).

Maka dari itu, ilmu yang benar yang diperoleh secara hudhuri, datangnya hanya dari Allah, atau ia disebut dengan „ilm ladunni (pengetahuan yang diperoleh seseorang langsung atau berasal dari Allah secara hudhuri), adapun hudhuri yang muncul oleh karena „perasaan‟ atau prasangka, bisa jadi benar bisa juga tidak dan ia bersifat subjektif.

Sebagaimana ilmu hudhuri tidak dapat dipastikan kebenarannya dan bersifat subjektif, namun ilmu atau pengetahuan hudhuri boleh diketahui dan dipastikan kebenarannya (validitasnya) apabila ada bukti-bukti qath‟i yang mendukungnya atau pengetahuan tersebut datang secara bersamaan dengan membawa bukti, bukti yang dapat diindera oleh manusia (mukjizat hissiyah) dan juga dapat ditimbang dengan akal secara jujur (mukjizat aqliyah/ma‟nawiyah). Apabila ia membawa bukti (mukjizat) yang cukup dan bisa diterima, maka ia adalah pengetahuan yang benar. Seseorang yang memperoleh ilmu hudhuri (ladunni; dari Allah) adalah konsepsi kenabian (nubuwwah; ةوبن); yakni seseorang yang menerima ilmu atau pengetahuan dari Tuhan akan hakikat alam wujud dan juga berita di masa depan, sebagaimana Nabi dari kata naba‟, artinya adalah pembawa berita atau pembawa kabar. Seorang Nabi (ىبن) adalah manusia pilihan Allah yang terus dan selalu memperoleh pengetahuan dari Allah secara hudhuri: baik itu berupa ilham atau intuisi, firasat, mimpi dan penglihatan atau visi (kasyaf dan ru‟yat) dan juga wahyu.

Pengetahuan kenabian yang terbesar dan paling utama disebut sebagai Wahyu. Wahyu datangnya dari Allah, dikirimkan, diturunkan oleh Allah secara langsung kepada manusia yang menerimanya, atau melalui perantara utusanNya (malaikat Jibril a.s). Wahyu merupakan pengetahuan yang diterima manusia secara hudhuri, ia dapat berupa gambaran, intuisi, inspirasi, ilham, gambaran, ru‟yat (penglihatan), mimpi dan adakalanya wahyu berbentuk verbal; kalam-kalimah (kalamullah,

kalimatullah) yang kesemua bentuk Wahyu tersebut dapat datang dan diterima oleh

seorang Nabi. Apabila seorang Nabi diwahyukan kepadanya kitab (buku) atau

shuhuf (lembaran) yang berisikan firman Allah; kalimah Allah atau kalam Allah,

wujud dalam bentuk kitab Allah, yang diturunkan (At-Tanzil) kepada seorang Nabi tersebut, maka Nabi tersebut adalah seorang Rasul. Wahyu kitab atau shuhuf berisikan kebenaran (pengetahuan Allah; pengetahuan yang benar) yang berfungsi

32

sebagai panduan kehidupan, memuat ilmu, hikmah dan hukum yang benar mengenai Alam Wujud (realitas absolut). Seorang Nabi yang kitab atau shuhuf diwahyukan kepadanya adalah juga merupakan risalah khusus dan formal/resmi dari kerajaan Allah Yang Maha Tinggi untuk manusia, yang harus diserukan kepada manusia (atau kaum tertentu) agar manusia berhukum dan berpandukan dengan hukum atau kebenaran yang Allah turunkan dalam berkehidupan dan ini menjadi misi para Nabi dan Rasul. Tidak lain misi para Nabi dan Rasul adalah agar manusia bisa memperoleh benar hikmah (wisdom) yakni; dengan sebenar-benarnya dapat mengeluarkan manusia dari kemarabahayaan atau kerugian atau kecelakaan kepada keamanan, keberuntungan, keselamatan.

Adapun salah satu di antara kitab Allah yang terbesar, yang diturunkan kepada manusia, ialah Al-Quran, ia diwahyukan kepada manusia pilihan Allah, yaitu Nabi Muhammad ز, sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Nabi Muhammad ز sebagai seorang Nabi merupakan manusia yang terus selalu menerima pengetahuan dari Allah secara hudhuri, terus selalu menerima wahyu dari Allah baikkah ia berupa intuisi, gambaran, ru‟yat (penglihatan), mimpi dan pengalaman kenabian dan adakalanya wahyu Allah berbentuk verbal; kalam-kalimah (kalimatullah atau

kalamullah), Nabi Muhammad ز sebagai seorang Rasul maka diantara wahyu kalam tersebut ada yang merupakan buku (Al-Kitab) sebagai wahyu yang terbesar yang diterima oleh Nabi ز. Seluruh pengetahuan kenabian dan seluruh wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad ز, yang kemudian dinukilkan, dibacakan, disampaikan, diceritakan, diajarkan Nabi ز kepada manusia terutama sekali mulanya lewat orang-orang terdekatnya; generasi awal ummat Islam; para shahabatnya, sehingga Nabi ز telah berhasil memberikan pencerahan, pendidikan, pengajaran kepada para shahabatnya, maka para shahabat yang telah berhasil memperoleh pengajaran dan pendidikan dari Nabi ز telah dikenal jujur dan terpercaya, kemudian para shahabat yang terkenal jujur dan terpercaya tersebut mendokumentasikannya dalam bentuk ingatan, catatan, tulisan yang terbagi kepada dua bagian besar; (1) ia wujud dalam bentuk teks (nash) Al-Quran yaitu yang murni kalam Allah, firman Allah, wahyu Allah yang merupakan kitab yang telah diajarkan, disampaikan secara hati-hati dan secara pasti oleh Nabi ز sehingga ia dapat diterima, dijaga, dilestarikan secara ketat oleh para shahabatnya secara otentik., (2) dan teks (nash) Ahadits yaitu ia adalah pengetahuan dan pengalaman kenabian (seluruh wahyu baik wahyu yang berupa kitab ataupun yang bukan kitab yang diterima secara hudhuri) yang termanifestasi, wujud ke dalam bentuk sabda (perkataan; di antarany yaitu hadits Qudsi; yaitu kalam Allah yang bukan merupakan Al-Kitab/Al-Quran) dan teladan (perbuatan, taqriri;

33

Nabi Muhammad ز dalam prikehidupan Islam yang berjalan dalam masa kehidupan para shahabat bersama-sama Rasulullah ز, kesemuanya didokumentasikan, diriwayatkan, dijaga dan dilestarikan dalam ingatan dan tulisan berupa teks (nash) Ahadits oleh generasi ummat Islam mulai dari para shahabat hingga generasi terakhir ummat Islam.

Al-Quran dan Ahadits, keduanya merupakan pengetahuan yang diturunkan

(At-Tanzil; berasal dari Allah) keduanya adalah bagian dari kenabian dan kerasulan

Nabi Muhammad ز, yang saling melengkapi. Kedudukan Ahadits, disamping Al-Quran berfungsi strategis untuk menjelaskan keumuman Al-Al-Quran, berfungsi sebagai penjelas (bayan) dan memperinci keumuman Al-Quran, ia adalah authority (wewenang) Sang penerima Wahyu Al-Quran itu sendiri; baginda Nabi ز dalam menjelaskan maksud keseluruhan Al-Quran, yang dibimbing oleh pengetahuan dari Allah; pengetahuan kenabian (wahyu). Begitupun Al-Quran disamping Ahadits adalah berfungsi membenarkan apa yang disampaikan Muhammad ز kepada kaumnya, kepada manusia, bahwa apa yang dikatakanya adalah benar. Posisi Al-Quran tanpa Ahadits, Al-Al-Quran tidak memiliki penjelas (bayan) dan perinci dari pada makna-makna kalimah Quran yang umum, begitupun Ahadits tanpa Al-Quran bila berdiri sendiri ia tidak akan memiliki sokongan yang kuat, di mana fungsi Al-Quran adalah menguatkan Ahadits itu sendiri dan menjaga Ahadits dari kebengkokan.

Al-Quran dan Ahadits merupakan wahyu Allah dan manifestasi dari pada wahyu Allah, yang datangnya secara hudhuri pada diri Nabi ز yang sifatnya bathin menjelma menjadi zahir sebagai ayat (simbol, sandi, tanda) dalam bentuk verbal; yaitu kalam, kalimah yang beresensikan wahyu dari Allah atau ia disebut sebagai ayat

al-qouliyyah, sebagai salah satu jenis dari pada ayat Allah disamping ayat al-kauniyyah

(simbol, tanda, sandi dari pada alam thabi‟i), yang ayat verbal (al-qouliyyah) tersebut dapat diretas maknanya, dapat dipelajari maknanya, bisa ditimbang dengan akal sehingga menjadi dalil, atau disebut dengan dalil naqly (wahyu kenabian yang dinukilkan, dibacakan, dituliskan), ia adalah wahyu yang dituliskan yang mewujud dalam bentuk teks (nash); nash Al-Quran dan nash Ahadits. Oleh karena keduanya; Al-Quran dan Ahadits datangnya dari Allah, ia adalah wahyu, ia datangnya secara

bathin kepada diri Nabi ز kemudian ia dinukilkan, dibacakan, dituliskan sehingga ia mewujud menjadi zhahir, maka ia dapat dipelajari secara hushuli oleh manusia, ia menjadi pengetahuan yang bisa diperoleh secara hushuli; ilm hushuli atau ilm

az-zhahir, maka dari itu ia disebut juga sebagai „pengetahuan yang menampak‟ (revealed knowledge); yang datangnya dari Tuhan secara bathin pada diri Nabi kemudian

34

(wahyu) yang datangnya dari Allah, yang menjadi ayat-ayat verbal (qouliyyah) yang datang menghampiri manusia, yang mendatangi manusia dari Tuhan yang mengirimnya, untuk menjadi bahan pikiran, untuk menantang manusia, mengajak dan mengundang manusia untuk berpikir dan membuktikan kebenarannya secara akal untuk diimani. Ayat-ayat Allah baik berupa ayat-ayat verbal/lingual (qouliyyah) maupun ayat-ayat kauniyyah keduanya adalah merupakan ayat (tanda, simbol, sandi) yang bisa menjadi (input) bahan pikiran manusia (process of logic) agar manusia memikirkannya untuk memperoleh petunjuk dan pengetahuan yang benar yang ada dibalik tanda/simbol/sandi tersebut.

Al-Quran dan Ahadits, merupakan dua sumber „pengetahuan sumber‟ yang utama di dalam Islam yang diketahui dan diimani sebagai sumber-sumber pengetahuan yang benar, pengetahuan yang datang dari Allah yang diturunkan (At-Tanzil), yang mengandung kebenaran mutlak, yang berfungsi untuk (1) menjadi petunjuk kehidupan yang paling utama bagi manusia, (2) sandaran/landasan yang paling utama untuk merujuk persoalan manusia, (3) hakim atau tolak ukur yang paling utama menghakimi persoalan manusia.

Kebenaran dan Keaslian (Otentisitas) Al-Quran

Di antara kaedah (yaitu secara hushuli; penelitian atau studi) yang bisa diterapkan untuk menginvestigasi adakah „ilmu yang datang‟ atau „ilmu yang menampak‟ (revealed knowledge; wahyu) itu kebenaran atau kesesatan belaka yaitu dengan cara:

(1) Pembelajaran atau studi menyeluruh dan lengkap dari „ilmu yang datang‟ tersebut

(2) Bilamana ia mengandung kontradiski atau pertentangan memperlihatkan ia memiliki kecacatan yang mengindikasikan ia nisbi (relatif dan subjektif), ia tidak benar, ia sesat, ia palsu.

(3) Bilamana ia harmoni (tidak terdapat kontradiksi atau pertentangan) memperlihatkan ia memiliki kesempurnaan yang mengindikasikan ia adalah kebenaran.

Salah satu wahyu Allah yang terbesar dalam sejarah manusia yang membawa bukti kebenaran yang bisa diterima manusia adalah kitab Al-Quran yang diturunkan kepada manusia istimewa pilihan Allah sebagai Utusan Allah, Nabi Muhammad ز. Al-Quran itu sendiri merupakan mukjizat (bukti) Nabi Muhammad ز, ia yang merupakan ayat-ayat qouliyyah yang menjadi alat untuk pembuktian kebenarannya itu sendiri (dalil naqly), ia adalah kalam-kalimah (kalimatullah) yang memuat ilmu, ilmu dari ilmu Allah, memuat hikmah-hikmah dan hukum-hukum, yang menerangkan hakikat Alam Wujud (realitas absolut) apakah itu tentang alam ghaib (sab‟a samawat; seven parallel universe), tentang Tuhan, tentang Alam Semesta

35

(material universe), tentang manusia, ia Al-Quran bisa menjelaskan segala sesuatu, „tibyanan likulli syaiin‟ (Quran, Surat An-Nahl 16: 89). Maka dengan pertimbangan akal yang sehat dan jujur Al-Quran memiliki bukti yang cukup bahwa ia adalah kebenaran yang berasal dari Tuhan. Bilamana diupayakan secara hushuli; dikaji, ditelaah, diteliti secara menyeluruh dan lengkap, niscaya tidak akan didapati kontradiksi, melainkan harmoni yang menunjukkan, mengindikasikan bahwa ia adalah kebenaran.

Apabila ia diterima dan diimani sebagai kebenaran maka ia menjadi sumber ilmu bagi manusia yang mengimaninya, termasuk juga hal-hal yang diimani di dalamnya bahwa:

1. Allah pemilik kebenaran mutlak (Allah Al-Haq), kebenaran hanya datang dari Allah; manusia tidak dapat mengupayakan perolehan kebenaran dengan upaya apapun kecuali mencarinya, memintanya dari Allah, kembali kepada Allah.

2. Al-Quran adalah Wahyu Allah yang dijamin kebenarannya, dijaga kebenarannya oleh Allah dengan kekuatanNya dari korupsi atau kerusakan dan upaya pengrusakan atau pembengkokan hingga hari kiamat, termasuk juga dari penambahan atau pengurangan ayat-ayatNya.

3. Al-Quran adalah Al-Furqan; yakni kebenaran mutlak yang berfungsi sebagai tolak ukur yang dapat membedakan, mana kebenaran dan mana-mana kebengkokan atau kesesatan.

Kebenaran dan Keaslian (Otentisitas) Ahadits

Kebenaran dan Otentisitas Al-Quran dan kejujuran Nabi Muhammad ز, Sang penerima Wahyu itu sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa apa yang diterima dan disampaikan baginda Nabi ز adalah kebenaran, maka termasuk juga pengetahuan kenabian (yang dicatat ke dalam nash Ahadits). Akan tetapi, sekalipun para shahabat aslaf (generasi awal) adalah para shahabat yang jujur dan terpercaya, Ahadits; yaitu catatan teks (nash) mengenai; sabda, perbuatan, sunnah (cara hidup) yang merupakan bagian dari kenabian Nabi ز, yang menjadi; sumber hukum, sumber tatanan, sumber ilmu, sumber pengetahuan, sumber hikmah kedua setelah Al-Quran, perlu melewati beberapa generasi untuk sampai kepada generasi ummat Islam yang terakhir, disinilah otentisitas ahadits diuji, karena akan muncul korupsi, akan muncul orang-orang yang berdusta atas nama Nabi ز ataupun oleh karena kealpaan dan kecacatan dalam upaya pengingatan, pencatatan, pelestarian kebenaran dan keaslian (otentistas atau keshahihah) Ahadits.

Ahadits yang shahih (otentik) bisa diupayakan secara hushuli--aqliyyah (yaitu penelitian atau observasi secara empiris-positif terhadap fakta-fakta dan data

36

biografi dan historis periwayatan Ahadits) bisa diupayakan lewat penelitian periwayatan Ahadits (sanad; rantai periwayatan, lafadz, rowi; periwayat, dan lain-lain) oleh ulama-ulama ahli hadits; yaitu disebut dengan bidang disiplin Ilmu Hadits; sehingga dengan melakukan studi Ilmu Hadits bisa membantu pembedaan dan pembuatan tingkatan-tingkatan, jenis-jenis dan derajat-derajat Ahadits untuk memelihara dan melestarikan kandungan kebenaran yang ada dalam Ahadits; adakah ia shahih, dhaif, mardud, dan lain-lain, hingga ia diwariskan dari satu generasi ke generasi, hingga generasi terakhir ummat Islam oleh para ulama Ahadits

rahimahumullah, sehingga kebenaran dan keaslian Ahadits tetap lestari dan

terpelihara.

Sekalipun demikian, tidak ada dalil di dalam Al-Quran dan Ahadits yang mengatakan Ahadits bebas dari korupsi atau kebengkokan, tidak ada dalil di dalam Al-Quran dan Ahadits yang mengatakan atau menujukkan Ahadits terjamin dari korupsi dan kebengkokan dan memiliki jaminan otentisitas (kesahihan) yang mutlak, dan justru dalil-dalil menunjukkan bahwa barangkali ada orang yang berdusta atas nama Nabi ز, oleh karena itu sejatinya Ahadits tidak memiliki jaminan otentisitas secara mutlak, dijamin oleh Allah dari kebengkokan sebagaimana Al-Quran, sekalipun setelah diupayakan oleh para ulama Ahadits

rahimahumullah.

Oleh karena itu, selain telah diupayakan lewat ilmu hadits, perlu ditempuh pula upaya yang kedua yang termasuk jenis upaya hushuli-qouliyyah (bil manqul atau bil

ma‟tsur); yaitu studi penelitian menggunakan data ayat-ayat qouliyyah yaitu

menggunakan tolak ukur dalil-dalil Al-Quran itu sendiri sebagai alat untuk membedakan (Al-Furqan) mana-mana Ahadits yang bisa dijadikan landasan dan mana-mana yang kurang tepat atau kurang kuat dijadikan landasan, atau juga Ahadits yang menyesatkan. Maka yang perlu dipahami adalah bahwa; pada dasarnya kedudukan Ahadits tanpa Al-Quran ibarat Bible atau Talmud; yang merupakan kumpulan „sabda-sabda‟ atau „perkataan‟ murid Musa a.s, murid-murid Isa a.s, disamping „sabda-sabda‟ Musa a.s dan Isa a.s sendiri, dan juga barangkali bercampur dengan „perkataan‟ sejarawan atau orang yang mengaku murid-murid Musa a.s dan murid-murid Isa a.s, atau orang yang mengaku Nabi atau orang mengaku Rasul atau yang mengaku memperoleh wewenang Musa a.s atau Isa a.s, di mana Ahadits memiliki kemungkinan juga bercampur dengan subjektifitas si penyampai hadits. Oleh karena itu maka, disamping Al-Quran memiliki posisi yang strategis atas Ahadits di mana ia menguatkan, membenarkan dan membela Ahadits itu sendiri (membela kebenaran yang disampaikan Nabi Muhammad ز), tetapi satu lagi fungsinya atas ahadits yaitu; Al-Quran dapat digunakan sebagai tolak ukur (Al-Furqan; yaitu Al-Quran adalah kebenaran mutlak yang dapat berfungsi untuk membedakan mana kesesatan atau kenisbian, mana kebenaran dan kemutlakan); mana-mana Ahadits yang bertentangan dengan totaliti

37

dalil-dalil Al-Quran dan mana-mana Ahadits yang bersesuaian atau dapat diterima (menjadi hujjah dan sandaran) yaitu bila tidak bertentangan dengan totaliti dalil-dalil Al-Quran, adapun seiring bersamaan dengan itu syarat dalam menggunakan Al-Quran sebagai tolak ukur adalah yaitu menggunakan dalil-dalilnya secara lengkap dan relevan (lihat kelanjutannya di Sub-Bab Metodologi Ilmiah Islam; „Metodologi Studi Teks (Nash)‟). Oleh karena itu, berdasarkan ini maka, Ahadits otentisitasnya menjadi jatuh kepada kenisbian (kebenarannya relatif) apabila ia

Dalam dokumen Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad (Halaman 37-47)