• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Nyata Penerapan Kebijakan Maritim Nasional Indonesia Terkait dengan Penerapan Strategi MCS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Nyata Penerapan Kebijakan Maritim Nasional Indonesia Terkait dengan Penerapan Strategi MCS"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Nyata Penerapan Kebijakan Maritim Nasional Indonesia Terkait dengan Penerapan Strategi MCS

4.1.1 Penerapan sistem monitoring control surveillance (MCS) pada

Departemen Kelautan dan Perikanan

Sistem pengawasan yang diterapkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan adalah monitoring, control dan surveillance dengan ruang lingkup pengawasan meliputi seluruh usaha perikanan, baik bidang penangkapan, pengangkutan dan pembudidayaan ikan. Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia dituntut untuk mempunyai kemampuan dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab. Arti tanggung jawab pengelolaan sangat luas, mencakup tanggung jawab menjaga kelestarian sumberdaya dan ekosistemnya dalam kerangka penegakan hukum di bidang perikanan dan kelautan.

Penerapan sistem MCS oleh DKP pada saat ini belum sepenuhnya efektif, karena banyak kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Ada tiga hal yang merupakan akar kendala dalam penerapan MCS, antara lain penataan perijinan, yang merupakan cikal bakal terjadinya suatu pelanggaran. Kendala yang kedua adalah pengawasan di lapangan. Pengawasan di lapangan memerlukan armada dan sarana yang cukup tangguh. Sedangkan pada kondisi riilnya, terdapat keterbatasan sarana dan prasarana serta fasilitas pengawasan di daerah, belum optimalnya kewenangan pengawasan, belum berkembangnya lembaga pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di daerah, dan kurangnya tenaga pengawas perikanan. Kendala yang ketiga adalah dari sisi penegakan hukum. Penegakan hukum sangat terkait dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Undang-Undang Perikanan No. 9 Tahun 1985 tidak berbicara soal kelembagaan pengawasan maupun kewenangan.

Komponen monitoring, control, and surveillance system (MCS) Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan saat ini adalah : Pengendalian

(2)

(VMS), Pesawat Patroli Udara, Radar Pantai, Sistem Pengawasan Masyarakat (SISWASMAS), Computerized Data Base (CDB), Pengawas Perikanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Log Book Perikanan dan radar satelit. Komponen-komponen tersebut merupakan bagian kebijakan DKP dalam penerapan MCS yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan.

(1) Penerapan komponen MCS Departemen Kelautan dan Perikanan

Penerapan Komponen MCS Departemen Kelautan dan Perikanan adalah sebagai berikut :

1) Pengendalian Perizinan

Izin Usaha Perikanan (IUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sticker barcode dan tanda lunas pembayaran pungutan perikanan (PHP) merupakan suatu kesatuan perizinan usaha perikanan yang melekat di setiap kapal perikanan dan harus selalu berada di atas kapal perikanan. Apabila di atas setiap kapal tidak ditemukan SPI/SIKPI asli, maka dapat dianggap bahwa kapal perikanan tersebut me lakukan kegiatan tanpa izin.

Pemeriksaan keabsahan dan kelengkapan dokumen-dokumen tersebut dilakukan secermat mungkin, meliputi keaslian dokumen (tidak palsu), masa berlaku izin, serta kesesuaian antara IUP dan SPI/SIKPI. Apabila dalam pemeriksaan ditemuk an pelanggaran, maka dianggap melakukan tindak pidana perikanan serta pidana umum (apabila ditemukan izinnya adalah palsu), dan dilakukan proses pemberkasan perkara lebih lanjut.

Bagi perahu/kapal yang menurut peraturan perundang-undangan tidak diwajibkan untuk memiliki izin, perlu juga dibuat sistem pendataanya, yakni dengan dilakukan pencatatan. Bagi perahu/kapal yang sudah tercatat diberikan bukti tertullis yang sekaligus dapat dianggap sebagai dokumen perizinan. Jika perahu/kapal yang kecil tapi jumlahnya cukup banyak, maka akan berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang akan dilakukan.

Hambatan dari komponen pengendalian perizinan ini adalah masih banyak terjadinya pemalsuan dokumen Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang belum terungkap, modusnya adalah beredarnya dokumen palsu dan dijual kepada pemilik kapal serta

(3)

banyaknya izin yang dikeluarkan bukan oleh pejabat berwenang, misalnya kapal ukuran di atas 30 GT dikeluarkan dengan dokumen di bawah 30 GT sehingga SPI cukup oleh Dinas Perikanan di daerah. Hambatan seperti ini harus segera diatasi dengan penertiban dan penyempurnaan perizinan. Hasil usaha DKP dalam operasi terpadu pemberantasan illegal fishing terkait dengan penertiban perizinan adalah pencabutan 155 izin kapal eks asing berbendera Indonesia bermasalah karena tidak dapat melengkapi dokumen kapal, terutama deletion certificate (DC) sebagai bukti bahwa kapal tersebut telah dihapuskan statusnya dari negara asal. Hasil usaha DKP dalam operasi terpadu pemberantasan illegal fishing terkait dengan penyempurnaan perizinan adalah tempat proses perizinan pada satu ruang di Lantai VIII DKP dengan waktu pelayanan 7 hari kerja agar tidak terjadi penerbitan surat izin penangkapan di luar kewenangan DKP.

2) Kapal Patroli/Pengawas

Kapal pengawas merupakan asset pengawasan yang sangat penting sebagai sarana untuk patroli di laut. Kapal pengawas berguna untuk keperluan pengamatan, pemantauan maupun operasi. P2SDKP memprogramkan pengadaan kapal patroli sebanyak 89 unit untuk meliput wilayah pengawasan di seluruh Indonesia. Sampai saat ini telah dibangun 14 unit kapal pengawas dengan ukuran 36 m (2 unit); 28.5 m (8 unit), dan 18 m (2 unit) yang ditempatkan pada pelabuhan seperti pada Tabel 5.

Kapal patroli atau kapal pengawas ini ditempatkan pada posisi yang strategis, di pelabuhan-pelabuhan utama yang menjadi satuan dan stasiun pengawas di seluruh wilayah Indonesia. Dengan kapal pengawas diharapkan pengawasan dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) maupun represif (penindakan).

(4)

Tabel 5 Penempatan kapal pengawas P2SDKP

No. Kapal Pengawas Pangkalan Daerah Operasi

1 KP. Barracuda 01 Ketapang - Kalbar Perairan Ketapang, P. Pelapis 2 KP. Barracuda 02 Tanjung Pandan –

Babel Perairan Bangka Belitung

3 KP. Hiu 001 Bungus - Sumbar

Perairan Padang, Bengkulu, Selat Melawai, Kepulauan Mentawai, Pulau Nias,

Sibolga, Pasaman, Pulau Tello 4 KP. Hiu 002 Bitung-Sulut Laut Maluku, Laut Sulawesi

5 KP. Hiu 003 PPS Jakarta

Kepulauan Seribu, Selat Sunda, Laut Jawa, Bangka-Belitung, Perairan Kalsel, Pontianak, Ketapang

6 KP. Hiu 004 Kupang-NTT

Larantuka, Laut Flores, perairan NTT, Laut Bali, Sumbawa

7 KP. Hiu 005 Merauke-Papua Merauke, laut Arafura

8 KP. Hiu 006 Belawan-Sumut Perairan Selat Malaka, Natuna, Sabang, Selat Karimata

9 KP. Hiu 007 Tarakan-Kaltim

Perairan Tarakan, Nunukan, Bulungan, Laut Sulawesi, Selat Makasar

10 KP. Hiu 008 Sorong-Papua Barat Perairan Indonesia Timur 11 KP. Todak 01 Kendari-Sultra Teluk Kendari, Selat

Sewowoni, Laut Maluku 12 KP. Todak 02 Gorontalo Teluk Tomini

13 Hiu Macan 01 PPS Jakarta

Kepulauan Seribu, Selat Sunda, Laut Jawa, Bangka-Belitung, Perairan Kalsel, Pontianak, Ketapang

14 Hiu Macan 02 PPN Tual Laut Banda, Arafura, Seram, Kepulauan Aru, dan Tanimbar

(5)

Sampai dengan tahun 2003, telah cukup banyak tangkapan yang dilakukan oleh kapal pengawas Hiu, baik kapal asing maupun Indonesia. Penangkapan-penangkapan ini telah juga sampai ke pengadilan. Dari seluruh kapal yang ditangkap, sebagian bebas, namun ada juga yang berhasil dirampas untuk negara.

3) Pemasangan Vessel Monitoring System (VMS)

Vessel monitoring system (VMS) merupakan salah satu sarana MCS milik

DKP yang dilengkapi dengan alat elektronik transmitter (pemancar). Sesuai dengan ketentuan yang ada, sejak tahun 2003 diwajibkan bagi seluruh kapal perikanan dengan izin pusat untuk memasang transmitter (VMS) di kapal tersebut. Fungsi dari pemasangan transmitter VMS adalah untuk memantau pergerakan kapal perikanan yang telah memperoleh izin sehingga dapat diketahui apakah kapal tersebut beroperasi pada daerah penangkapan yang telah diberikan atau tidak.

Program pemasangan vessel monitoring system (VMS) belum seperti yang diharapkan. Kegiatan yang termasuk implementasi dari program penanganan illegal

fishing tersebut belum optimal karena kurang mendapat respon dari para pemilik

kapal penangkap ikan, yang merupakan sasaran utama pemasangan VMS, yang saat ini baru terpasang penambahan transmitter sebanyak 1.339 unit dari kapasitas 3.055 unit sehingga masih tersisa 1.716 unit. Dari jumlah yang terpasang tersebut dapat diperinci sebagai berikut : (1) untuk kapal ikan asing baik penangkap maupun pengangkut sebanyak 594 unit dari kapasitas 841 unit sehingga tersisa 247 unit, (2) kapal pengangkut Indonesia dari 464 unit kapasitas, baru terpasang 142 unit, sementara sisanya masih 322 unit, (3) kapal ikan Indonesia dari kapasitas 559 unit terpasang 182 unit dan 377 unit belum terpasang, sementara kapal ikan Indonesia dengan bobot lebih dari 100 GT baru terpasang 421 unit dari 1.191 unit, sedangkan sisanya 770 unit belum terpasang.

Beberapa alasan penolakan dari pemilik kapal antara lain takut akan adanya pembebanan terhadap pemasangan transmitter di kapalnya, mengharapkan kejelasan manfaat program dalam jangka pendek, pemilik kapal kurang merasakan manfaat VMS, menganggap VMS pada tahap awal hanya bermanfaat pada sisi pemerintah dalam mengawasi kapal perikanan, takut adanya pungutan lagi dalam program VMS

(6)

karena di daerah sudah banyak pungutan dan masih berkeberatan bila kegiatan kapalnya diawasi. Penolakan tidak saja dilakukan oleh pihak pemilik kapal / perusahaan, namun juga dilakukan oleh pihak pelabuhan. Adapun alasan dari pihak pelabuhan karena menyangkut tanggung jawab yang harus dipikul yaitu belum maksimalnya pihak pelabuhan dalam menggunakan kewenangannya untuk melaksanakan Keputusan Menteri nomor 29 tahun 2003, termasuk melaksanakan ancamannya.

Untuk mengatasi penolakan-penolakan di atas, DKP memiliki strategi mulai dari yang lunak dan menguntungkan kedua belah pihak, sampai dengan menggunakan kekuatan hukum atau peraturan perundangan, berikut sanksinya. Strategi yang lunak dan menguntungkan kedua belah pihak antara lain tidak adanya pembebanan bagi Kapal Ikan Indonesia (KII) sementara untuk Kapal Ikan Asing (KIA) akan ada pembebanan. Namun setelah keluarnya Peraturan Pemerintah, tidak ada lagi pungutan biaya oleh pengawas perikanan dalam pemasangan transmitter, dan akan ada website bagi pengusaha. Untuk menjaga keseimbangan, maka akan digunakan juga strategi yang cukup keras dan mengikat yaitu dengan kekuatan hukum/perundang-undangan. Kekuatan hukum yang digunakan yaitu Keputusan Menteri nomor 29 tahun 2003 tanggal 12 Agustus 2003 dan surat penugasan dari Dirjen Perikanan Tangkap dan Dirjen P2SDKP kepada Kepala Pelabuhan/Dinas. Sedangkan ancaman/sanksi yang diberikan jika tidak dilakukan pemasangan transmitter yaitu diberlakukannya penahanan LLO dan proses perijinan.

Evaluasi dari hasil tingkat pemasangan transmitter terhadap jumlah kapal yang berpangkalan menunjukkan bahwa pelabuhan yang dinilai masih rendah tingkat pemasangannya adalah pelabuhan Merauke (0,37%), pelabuhan Muara Baru (1,33%), dan pelabuhan Bitung (6,37%). Sementara itu pelabuhan Kendari, Ambon, Tual, Sorong dan Benoa dinilai baik produktivitas pemasangannya.

Penilaian pemasangan transmitter di perusahaan pemilik armada kapal juga dilakukan dengan memperbandingkan jumlah transmitter yang terpasang dengan jumlah armada kapal yang dimiliki, hasilnya masih sangat memprihatinkan (0,7%).

(7)

4) Penerapan sistem pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS) Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat atau dikenal dengan SISWASMAS adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan secara bertanggung jawab. SISWASMAS bekerja dengan cara sederhana dimana apabila masyarakat menjumpai dugaan adanya tindak pidana perikanan oleh kapal-kapal penangkap ikan asing/Indonesia karena melanggar wilayah, atau penggunaan alat tangkap yang dilarang atau yang melakukan penangkapan ikan dengan cara merusak, maka akan dilaporkan kepada petugas pengawas perikanan atau PPNS atau aparat (TNI-AL dan POLRI) terdekat, yang selanjutnya aparat akan melakukan tindakan seperti pengejaran atau penangkapan.

SISWASMAS dikembangkan melalui perluasan jaringan, pemberdayaan dan penggerakan kepada kelompok-kelompok masyarakat pengawas. Pembentukan kelompok SISWASMAS sangat mendukung dalam pengawasan. Di Nusa Tenggara Timur, kelompok pengawas ini telah banyak membantu dalam mengawal kawasan terhadap kerusakan-kerusakan terumbu karang yang disebabkan potasium. Melalui pelibatan masyarakat diharapkan pengawasan akan menjadi lebih efektif dan dapat menjangkau ke seluruh wilayah Indonesia.

SISWASMAS telah dikembangkan sejak tahun 2001 dan sampai saat ini telah terbentuk 409 kelompok masyarakat pengawas yang tersebar di 26 provinsi seperti dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Penempatan Pokwasmas di seluruh Indonesia No

. Provinsi Jumlah Pokwasmas

1 Jawa Barat 8 2 Jawa Tengah 29 3 Jawa Timur 10 4 DKI Jakarta 1 5 DI Yogyakarta 3 6 Banten 26

(8)

7 Bali 3

8 Nusa Tenggara Barat 38

9 Nusa Tenggara Timur 5

10 Nanggroe Aceh Darussalam 42 11 Sumatera Utara 4 12 Sumatera Barat 106 13 Riau 2 14 Lampung 8 15 Bengkulu 1 16 Bangka Belitung 4 17 Kalimantan Selatan 36 18 Kalimantan Barat 1 19 Sulawesi Utara 6 20 Gorontalo 4 21 Sulawesi Tenggara 39 22 Sulawesi Selatan 6 23 Maluku Utara 6 24 Papua 1 25 Jambi 8 26 Sumatera Selatan 12 Jumlah 409

Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2005) Table 6 Lanjutan

(9)

5) Pengawas perikanan dan PPNS

Sumber Daya Manusia (SDM) pengawasan merupakan motor penggerak sarana pengawasan lainnya. Jumlah Pengawas Perikanan sebagai aparat fungsional pengawasan, seharusnya tersebar di beberapa pelabuhan perikanan dan Dinas Perikanan, serta diharapkan dapat berkoordinasi dengan instansi terkait. Hingga saat ini belum di semua pusat kegiatan perikanan ditempatkan Pengawas Perikanan.

Untuk memberdayakan Pengawas Perikanan dalam menangani tindak pidana perikanan, maka Pengawas Perikanan sebagian telah dididik dan berstatus sebagai PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Perikanan. Jumlah PPNS Perikanan sampai tahun 2003 adalah sebanyak 536 orang dengan rincian di DKP Pusat 45 orang, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten/Kota sebanyak 388 orang, dan di pelabuhan Perikanan sebanyak 103 orang. Jumlah Pengawas Perikanan dan PPNS Perikanan di atas ini masih jauh dari mampu untuk melakukan pengawasan di laut Indonesia. Oleh karenanya perlu penambahan jumlah dengan target sekitar 120 orang PPNS dalam setahun dan ditingkatkan kemampuannya sesuai kebutuhan. Jika target jumlah sumberdaya manusia pengawasan dapat tercapai, maka struktur organisasi yang ingin dibentuk adalah 10 satuan pengawas, 40 stasiun pengawasan dan 500 pos pengawas.

6) Alat komunikasi (Alkom)

Alat komunikasi merupakan sarana komunikasi yang tak kalah pentingnya. Alat komunikasi berfungsi untuk melaporkan kegiatan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan dari Pengawas Perikanan ataupun POKMASWAS kepada aparat terkait di Jakarta, yang segera disampaikan ke TNI Angkatan Laut untuk ditindak lanjuti. Alat komunikasi juga berfungsi sebagai sarana koordinasi antar POKMASWAS yang ada di seluruh Indonesia. Alat ini sangat efektif untuk memberikan informasi dan berkomunikasi, sehingga akan terus dikembangkan ke pelabuhan-pelabuhan perikanan.

Alat komunikasi ini berupa radio komunikasi yang dipasang di tiap pelabuhan, sehingga tiap pelabuhan dapat berkomunikasi langsung dengan pusat pengendalian di Ditjen P2SDKP Jakarta. Alkom ini dilengkapi dengan linier

(10)

cukup luas serta mampu menjangkau pelabuhan-pelabuhan yang cukup jauh sekalipun. Ditjen P2SDKP memprogramkan pemasangan alat komunikasi di setiap pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan. Sampai dengan tahun 2004 telah dibangun 50 unit alat komunikasi yang tersebar di 21 provinsi. Di setiap lokasi yang terpasang alat komunikasi, ditugaskan 2 orang operator alat komunikasi yang sudah diberi pelatihan.

7) CDB (COMPUTERIZED DATA BASE)

CDB merupakan sistem informasi berbasis komputer. Di pelabuhan-pelabuhan utama dipasang CDB yang on line dengan Pusat Pengawasan (Ditjen P2SDKP, Jakarta), sehingga informasi yang terjadi di masing- masing pelabuhan dapat segera dikirim ke pusat melalui jaringan yang sudah on line. Dengan demikian maka akan diperoleh data dan informasi yang cepat, akurat dan terkini. Informasi yang dikirim dapat berupa data-data hasil- hasil penangkapan ikan di pelabuhan-pelabuhan dan informasi lainnya. CDB diprogramkan untuk ditempatkan pada pelabuhan-pelabuhan perikanan tipe A, B, dan C secara selektif. Sampai saat ini telah dibangun CDB pada 15 pelabuhan seperti pada Tabel 7.

Tabel 7 Penyebaran Computerized Data Base di Indonesia

No. 2000 2001 2002

1 Pusat PPP Kupang, NTT PPS Cilacap, Jateng 2 Pusat PPP Tarakan, Kaltim PPN Ternate, Maluku

Utara

3 Pusat PPP Lampulo, NAD PPS Belawan, Sumut 4 Pusat (Server) PPN Pelabuhan Ratu,

Jabar

5 Pusat (Server) PPS Cilacap, Jateng

6 PPP Sorong, IJB

7 PPN Ternate, Maluku

Utara

8 PPN Tg. Pandan, Babel

(11)

10 PPN Belawan, Sumut 11 PPS Kendari, Sultera 12 PPN Pekalongan, Jateng 13 PPN Kejawanan, Jabar 14 PPP Manado, Sulut 15 PPS Nizam Zachman, Jakarta

Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2005) 8) Radar Satelit

Radar satelit merupakan sarana pemantauan yang menggunakan teknologi tinggi. Dalam pengadaan sarana ini, Ditjen P2SDKP bekerjasama dengan Badan Riset Departeme n Kelautan dan Perikanan. Radar satelit ini adalah Satelit Kanada (Canadian Space Agency) yang disewa dengan nilai 800 juta $ per tahun. Satelit ini terbang di perairan Arafuru, 3 kali seminggu guna mendeteksi situasi di perairan tersebut. Dengan radar tersebut dapat terpantau kapal-kapal yang sedang beroperasi di bawahnya. Dengan teknologi ini, didapat suatu informasi yang sangat berharga bagi kepentingan pengawasan. Untuk selanjutnya dapat dilakukan pengecekan langsung ke lapangan dengan menggunakan pesawat terbang ataupun kapal.

9) Penerapan Log Book Perikanan (LBP) dan Lembar Laik Operasional (LLO)

LBP dan LLO sebagai alat kontrol untuk mengetahui hasil penangkapan pada wilayah penangkapan tertentu, sehingga akan dapat diketahui total hasil penangkapan. LBP dan LLO diwajibkan untuk diisi oleh kapal-kapal perikanan di tiap pelabuhan pada saat kapal tersebut berlabuh dan siap berlayar.

Setiap kedatangan kapal perikanan di pelabuhan, sebelum kapal membongkar atau memuat ikan hasil tangkapan atau ikan yang diangkut, nahkoda wajib menyerahkan formulir A Log Book Perikanan dan dokumen perizinan usaha perikanan (IUP, APIA, SPI, SIKPI) kepada Pengawas Perikanan, untuk dilakukan pemeriksaan terhadap jenis, jumlah dan ukuran ikan yang ditangkap/diangkut,

(12)

kelengkapan dan keabsahan dokumen perizinan maupun spesifikasi teknis kapal perikanan, dan alat penangkapan ikan serta alat bantu penangkapan yang digunakan.

Pada saat kapal perikanan akan berangkat untuk melakukan penangkapan atau pengangkutan ikan, harus memperoleh LLO (Lembar Laik Operasional) dan formulir A Log Book perikanan dari Pengawas Perikanan. LLO harus berada di atas kapal, dan tembusannya digunakan sebagai persyaratan memperoleh SIB (Surat Izin Berlayar). Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan ini adalah kapal ditunda keberangkatan dan diberikan sanksi administrasi berupa peringatan/teguran tertulis, yang bisa ditindak lanjuti dengan pencabutan izin usaha.

Log Book sangat penting, karena kita dapat menganalisa lokasi kapal

ditangkap, apa jenisnya, berapa bahan bakar yang habis digunakan, berapa lama berlayar dan sebagainya. Penerapan log book ini belum disadari oleh para nelayan karena belum memahami betul kegunaannya, sehingga belum menerapkannya secara benar. Untuk Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Log Book sangat bermanfaat, khususnya untuk ” stock assessment”.

10) Pesawat Patroli Udara/Maritime Surveillance Aircraft (MSA) dan Radar Pantai

MSA dan Radar Pantai sebagai penunjang fungsional MCS saat ini sedang dikaji dan akan dikembangkan di tahun mendatang. Dengan luas wilayah, jangkauan dan kompleksitas pengawasan maka diperlukan sejumlah 10 MSA dan radar pantai yang dapat meliput seluruh wilayah perairan Indonesia.

(2) Kerjasama pelaksanaan pengawasan antara Departemen Kelautan dan Perikanan dengan instansi terkait.

Aparat dari instansi terkait yang juga diperlukan untuk mendukung operasional pengawasan meliputi : TNI AL, TNI AU, POLAIR, Adpel Pelabuhan, Petugas Bea dan Cukai. TNI AL, TNI AU dan POLAIR adalah aparat penegak hukum yang bertindak menghentikan, memeriksa, mengejar dan menangkap kapal yang melakukan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang untuk selanjutnya dilakukan proses penyidikan dan proses hukum lebih lanjut. Aparat penegak hukum ini mendapat laporan pelanggaran dari pengawas perikanan atau kelompok masyarakat yang berperan dalam pelaksanaan pengawasan.

(13)

Kerjasama operasi Ditjen P2SDKP dengan TNI Angkatan Laut dan pihak Kepolisian tidak hanya melihat kondisi lapangan, namun sekaligus menangkap para pelanggar yang didapat pada saat operasi. Berbeda dengan kerjasama operasi dengan TNI Angkatan Laut, kerjasama operasi dengan TNI Angkatan Udara hanya untuk melihat kondisi lapangan dari atas yang mampu menunjukkan kasus-kasus pelanggaran kapal. Kerjasama Ditjen P2SDKP dengan Petugas Bea dan Cukai adalah dalam inspeksi dan patroli pengawasan kegiatan ekspor impor agar kegiatan tersebut tidak merugikan negara Indonesia, justru harus memberikan keuntungan untuk negara.

4.1.2 Kebijakan pengawasan kelautan oleh TNI Angkatan Laut

Perkembangan situasi nasional, regional maupun global dengan aktivitas dan volume kegiatan di laut atau yang melewati laut semakin meningkat dan cenderung menimbulkan berbagai bentuk tindak pidana, maka kegiatan penyidikan di laut sebagai subsistem upaya penegakan hukum di laut memerlukan kekuatan yang prima, sarana/prasarana yang memadai termasuk sumberdaya manusia yang handal. TNI AL merupakan salah satu badan kelautan yang mempunyai tanggung jawab untuk mengamankan laut dan segenap sumber kekayaan alam di dalamnya.

Dalam rangka mengamankan kepentingan nasional, kepercayaan yang diberikan kepada TNI AL untuk upaya penegakan hukum di laut, dituangkan dalam berbagai bentuk perundang- undangan yang dengan jelas menunjuk TNI AL untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pentaatan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang tersebut serta penyidikan tindak pidana tertentu di laut. Penegakan hukum di laut secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan negara atau aparatnya berdasarkan kedaulatan negara dan atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk menjamin agar supaya peraturan hukum yang berlaku di laut baik aturan hukum nasional maupun internasional, ditaati oleh setiap orang atau badan hukum termasuk negara sebagai subyek hukum, sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum di wilayah laut.

Secara universal TNI AL mengemban tiga peran yaitu peran militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang dilandasai oleh kenyataan bahwa laut merupakan wahana kegiatan TNI Angkatan Laut. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka

(14)

menegakkan hukum di laut, melindungi sumberdaya dan kekayaan laut nasional, memelihara keamanan dan ketertiban di laut (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001).

Legalitas kewenangan Perwira TNI AL untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut diatur dalam berbadai perundang-undangan, mulai dari produk hukum zaman pemerintahan Hindia Belanda, produk hukum nasional hingga konvensi hukum (laut) internasional UNCLOS 1982. Kewenangan sebagai penyidik terdapat dalam pasal perundang-undangan dan masih berlaku sebagai hukum positif dan dilaksanakan serta diterima dalam praktek proses peradilan di Indonesia (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001).

Konvensi Hukum Laut Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui perundang-undangan nasional secara yuridis formal memberikan kewenangan penegakan hukum bagi kapal perang terhadap segala bentuk kejahatan yang dilakukan di dan lewat laut, terutama kejahatan yang bersifat internasional. Di samping itu dala m peraturan perundang- undangan nasional juga memberikan kewenangan kepada perwira TNI AL untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 1995).

Undang-undang tentang kelautan zaman pemerintahan Belanda yang masih berlaku yaitu Pasal 13 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie/TZMKO) 1939 yang menyatakan bahwa untuk memelihara dan mengawasi pentaatan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ditugaskan kepada Komandan Angkatan Laut Surabaya, Komandan-komandan Kapal Perang Negara dan kamp-kamp penerbangan dari Angkatan Laut. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 memberikan kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal perang dan kapal pemerintah untuk melakukan penegakan hukum di laut, dimana hal ini dapat dilihat pada beberapa pasal antara lain pasal 107, 110, pasal 111 dan pasal 224 UNCLOS 1982 (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001).

Menurut Dinas Pembinaan Hukum TNI AL (2001), dengan adanya pengumuman pemerintah tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, maka dikeluarkan/ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi

(15)

Eksklusif Indonesia. Dalam rangka pengawasan dan pentaatan terhadap ketentuan-ketentua n dalam Undang-Undang maka upaya penegakan hukum diatur dalam pasal 14 ayat (1) yang memberikan kewenangan kepada Perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Pangab sebagai aparat penegak hukum di bidang penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983. Aparat yang telah ditunjuk ini juga berwenang dalam melakukan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang dinyatakan pada Pasal 31 ayat (1).

Dalam bidang pembinaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, wewenang penyidik TNI AL tidak berkurang meskipun dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, pada Pasal 39 ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan penyidik dilakukan oleh Kepolisian Negara RI, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Penyidik TNI AL mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana, memeriksa tanda pengenal, melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti, serta membuat dan menangani berita acara (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001).

Kewenangan penyidikan TNI AL dalam bidang pelayaran ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 pasal 99 ayat (1) yang menjelaskan bahwa selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran dan perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut tertentu diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran. Penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan, melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi dan orang yang diduga melakukan tindak pidana pelayaran, melakukan penggeledahan atau penyegelan (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001).

(16)

Wewenang penyidik TNI AL terutama dalam hal pertahanan negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, komunikasi dan informasi akan sangat mempengaruhi pola dan bentuk ancaman yang bersifat multi dimensial terhadap kedaulatan negara antara lain berupa terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut dan perusakan lingkungan. Untuk menanga ni persoalan tersebut perlu diterapkan hukum internasional dan perangkat hukum nasional. Peranan TNI dalam melaksanakan kebijakan pertahanan negara bertugas mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.

Dalam melakukan pengawasan dan pendeteksian pada daerah – daerah atau sektor–sektor patroli, pelaksanaan operasi dimulai dengan berdasarkan pada informasi awal dan informasi lanjutan yang didapat dari luar maupun dari unsur sendiri. Pengawasan dan deteksi dapat dilakukan oleh satu unsur secara mandiri atau secara gabungan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas operasi. Informasi dapat diperoleh dari Analisa Daerah Operasi (ADO), informasi intelijen dari komando atas, atau instansi lain, laporan dari masyarakat nelayan/pantai, dari kapal-kapal sipil atau dari pengintaian patroli udara. Dalam melakukan deteksi, peralatan yang digunakan antara lain:

(1) Radar, sonar

(2) Electronic Support Measure (ESM), (3) Pengawas visual.

Selain menggunakan peralatan, juga diperlukan data intelijen untuk mendukung proses pengenalan sasaran, yang menyangkut tentang daerah rawan tindak pidana, sasaran yang sedang dicari dan lain- lain. Penilaian sasaran dilaksanakan dengan mengkorelasikan data-data yang didapat dari hasil pengenalan sasaran dengan data/informasi intelijen yang ada untuk mendapatkan konfirmasi dan selanjutnya menentukan tindakan yang akan diambil, antara lain berupa (1) mencatat posisi dan tanggal waktu deteksi sasaran, (2) sasaran diabaikan/ditinggalkan apabila tidak ada kecurigaan, atau (3) diadakan penghentian dan pemeriksaan, dan (4) dalam hal memerlukan informasi tambahan, dapat meminta kepada komando atas. Apabila

(17)

bukti yang diserahkan oleh Komandan KRI dirasa masih belum cukup, maka pangkalan dapat melakukan penyelidikan lebih lanjut. Bila terdapat bukti-bukti yang kuat maka akan diteruskan ke proses penyidikan (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001).

Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti guna menemukan tersangka. Tindakan yang dilakukan antara lain penggeledahan kapal, pemeriksaan saksi, pemeriksaan tersangka dan penahanan. Bila tidak terdapat cukup bukti maka akan dilakukan proses penghentian penyidikan.

Kewenangan Perwira TNI AL sebagai penyidik tindak pidana di laut merupakan bagian dari sistem penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum di laut tidak mungkin diwujudkan dan ditangani oleh satu instansi tanpa keterlibatan instansi yang berwenang lainnya. Oleh karena itu sistem penegakan hukum di laut ke depan seharusnya dibangun dengan prinsip mensinergikan semua potensi kekuatan nasional yang ada.

4.1.3 Direktorat Gamat Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan.

Tugas Direktorat Gamat adalah melaksanakan kebijakan, bimbingan teknis dan evaluasi (UU dalam lingkup Ditjen Hubla, instansi lain dan konvensi internasional) di bidang pengamanan, patroli, penanggulangan musibah, dan pencemaran, tertib perairan dan pelabuhan, serta sarana penjagaan dan penyelamatan (Keputusan Menteri No. 24 tahun 2001).

UU yang dilaksanakan : UU No.21 tahun 1992 tentang Pelayaran, PP No. 7 tahun 2001 tentang Pengawasan, PP No.82 tahun 2000 tentang Angkutan di Perairan, Solas 74 yang diratifikasi dengan Keppres No. 65 tahun 1980, Keputusan Menteri Perhubungan, Keputusan Dirjen Hubla, dan aturan yang lainnya.

Jumlah kapal yang dapat beroperasi untuk operasi di laut sebanyak 3 kapal. Untuk kegiatan Bakorkamla, umumnya 2 kapal yang dipergunakan (DMI, 2006) 4.1.4 Dit. Polairud Mabes Polri.

Tugas Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara adalah membina fungsi kepolisian perairan dan udara dalam lingkungan Polri, menyelenggarakan fungsi

(18)

kepolisian perairan dan udara Polri dalam rangka mendukung tugas pelaksanaan pada tingkat kewilayahan.

Jumlah kapal yang dapat beroperasi untuk operasi di laut sebanyak 273 kapal, dengan norma 1/3 perawatan, 1/3 standby dan 1/3 operasi. Kelas A (50 GT) sebanyak 9 kapal, kelas B (28 – 33 GT) sebanyak 14 kapal dan sisanya kelas C (DMI, 2006). 4.1.5 Ditjen Bea dan Cukai

Tugas yang diemban adalah : (1) Cukai

(2) Kepabeanan :

1) melakukan pengawasan lalu lintas barang ekspor- impor

2) melakukan pengawasan pemasukan barang larangan dan pembatasan 3) memungut bea masuk dalam rangka impor

4) memberikan fasilitas perdagangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan ekspor

Unsur yang dimiliki sebanyak 37 kapal, 29 kapal yang beroperasi di Tanjung Balai Karimun, 3 kapal di Jakarta dan 5 kapal di Pantoloan. Sampai saat ini kapal yang stand by sebanyak 19 kapal, dalam perbaikan12 kapal, dan yang beroperasi di selat Malaka sebanyak 3 kapal, di selat Makassar sebanyak 2 kapal dan di Tanjung Priok tersedia 1 kapal (DMI, 2006)

4.2 Penerapan MCS di Beberapa Negara

4.2.1 Malaysia

Malaysia mempunyai manajemen perikanan yang sangat lengkap dan mempunyai kontrol yang kuat terhadap legislasi, lisensi, identifikasi kapal, mengembangkan prosedur inspeksi di laut dan pelabuhan, termasuk inspeksi peralatan. Malaysia juga menerapkan perjanjian internasional dengan membuat dan memperbaharui peraturan undang-undang perikanan. Sistem MCS dan mekanisme antar lembaga di Malaysia merupakan yang paling maju di wilayah Asia Tenggara dan dapat menjadi model bagi negara lainnya.

(19)

Malaysia membentuk lembaga penjaga pantai yang baru, yang mengambil alih tanggung jawab dan aset dari badan pelaksana yang ada. Lembaga ini menyarankan pengembangan program baru, karena hampir tidak ada armada pelaksana yang tepat untuk berpatroli di luar wilayah ZEE. Kapal patroli yang modern memerlukan biaya yang mahal dalam hal pengadaan dan pengoperasiannya, namun demikian, biaya yang hilang karena pencurian, kerusakan sumberdaya alam, kehilangan pajak, dan kekerasan atau pencurian di laut jauh lebih besar daripada biaya pengadaan (Flewwelling 2001).

4.2.2 Philipina

Philipina memiliki manajemen perikanan yang responsif dan berkelanjutan serta mempunyai sistem MCS dan semua peralatan yang siap untuk dikembangkan dan diakui, serta mempunyai tenaga yang terlatih. Pada dasarnya, manajemen dan sistem MCS Philipina cukup bagus, tetapi implementasi sistemnya tidak jelas, tidak mempunyai perjanjian kerjasama internasional yang diakui dan disetujui oleh pemerintah. Secara politik, manajemen perikanan yang berkelanjutan belum merupakan suatu prioritas bagi pemerintah, begitu juga oleh Departemen Perikanan dan Sumberdaya Air, yang seharusnya aktif membentuk mekanisme kerja sama antar lembaga yang memberi perhatian terhadap perikanan komersil dan perikanan asing yang ilegal. Philipina mempunyai program yang sangat progresif dalam membangun kesadaran publik dengan metode partisipasi untuk pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Philipina mempunyai semua komponen untuk menjadi model di Asia, tetapi kontinuitas dan keinginan politik tidak tampak di dalam sistemnya (Flewwelling 2001).

4.2.3 Maladewa

Menurut Flewwelling (2001), Maladewa mempunyai teknik yang progresif untuk sistem MCS (VMS plus citra satelit), meskipun sistemnya tidak sepenuhnya berfungsi karena dalam implementasinya membutuhkan pendanaan, penempatan operator terlatih, dan memerlukan mekanisme kerjasama antar lembaga (Pabean, Penjaga Pantai, Turisme, Departemen Perdagangan dan Industri, dan Departemen Manajemen Atol). Kelemahan lainnya adalah dalam pelatihan MCS dan inspeksi di laut yang dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan tidak menjadi prioritas utama.

(20)

Instrumen perundang-undangan juga memerlukan pembaharuan, selain itu juga diperlukan peningkatan perhatian terhadap standar keamanan di laut karena semakin banyaknya armada perikanan nasional yang mempunyai kapal besar dengan kemampuan berlayar sampai berhari-hari. Pengembangan peralatan keamanan diperlukan untuk meminimalkan kegiatan pencarian dan penyelamatan (SAR). Maladewa sangat mendukung sepenuhnya kerjasama regional untuk manajemen berkelanjutan dan aktivitas MCS karena beberapa hal yaitu:

(1) Tergantung pada tingginya stok perpindahan ikan

(2) Kurangnya alternatif pilihan kerja selain sektor perikanan dan turisme (3) Adanya tekanan terhadap armada asing di wilayah perbatasan ZEE dan

kapal asing berlisensi yang melakukan penangkapan ikan di dalam wilayah ZEE.

4.2.4. Thailand

Thailand dikenal memiliki nelayan yang cukup dihargai di wilayah sekitarnya, sehingga banyak perusahaan perikanan Malaysia yang lebih suka mempekerjakan nelayan Thailand sebagai awak kapal mereka. Oleh karena itu Thailand berusaha untuk mengimplementasikan konsep kerjasama internasional di bidang perikanan. Thailand juga telah mempertimbangkan untuk mengembangkan infrastruktur MCS perikanannya, karena itu diperlukan perencanaan manajemen perikanan yang lebih pro aktif dan revisi terhadap beberapa peraturan undang-undang.

Komitmen pemerintah terhadap penerapan MCS dan manajemen perikanan yang berkelanjutan cukup tinggi. The National Development Plan menetapkan prioritas yang tinggi terhadap pelayaran di luar ZEE, dan mengharapkan 1,8 juta ton ikan per tahun yang dihasilkan oleh armada perikanan di luar wilayah ZEE Thailand. Dalam melakukan pengawasan, Thailand menerapkan mekanisme kontrol bendera negara terhadap usaha perikanan Thailand yang menangkap ikan di luar wilayah ZEE (Flewwelling 2001).

4.2.5 India

India mempunyai Penjaga Pantai yang sangat komprehensif dan kompeten untuk mendukung sistem MCS di perairan laut dalam dan kontrol perbatasan terhadap

(21)

usaha perikanan asing. Area pantai dikontrol dan diregulasi oleh pemerintah. Tugas pengawasan ini cukup sulit karena terdapat hampir 9 juta nelayan, sekitar 2,4 juta yang bekerja full time di sekitar wilayah laut India. India belum mempunyai mekanisme undang-undang untuk mengontrol kapal perikanan India di luar laut territorial.

Penerapan MCS India difokuskan terhadap kekerasan yang terjadi di dalam wilayah ZEE dan penyelesaian konflik dengan negara lain. Oleh karena itu sangat dibutuhkan adanya koordinasi antar pemerintah dan antar lembaga, mekanisme kontrol dan perencanaan yang lebih pro aktif. Selain itu juga dibutuhkan suatu pelatihan MCS bagi pegawai pemerintah untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap pentingnya manajemen perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Selain itu juga perlu dilakukan perubahan terhadap izin penangkapan ikan sehingga tidak melakukan usaha penangkapan ikan secara berlebihan, karena dari hasil riset terindikasi bahwa area pantai saat ini telah overfished. Dalam mekanisme antar lembaga pertimbangan ilmiah tidak selalu menjadi bagian dalam pengambilan keputusan, sehingga hal ini menjadi salah satu kelemahan dalam pengembangan manajemen sumberdaya kelautan yang berkelanjutan (Flewwelling 2001).

4.2.6 Bangladesh dan Myanmar

Bangladesh dan Myanmar memiliki manajemen perikanan proaktif yang relatif kecil, tetapi keduanya mempunyai mekanisme pengawasan yang ketat di pelabuhan terhadap kapal yang masuk dan meninggalkan pelabuhan mereka. Kemampuan kelautan keduanya sangat terbatas sehingga pelatihan MCS sangat diperlukan. Kekurangan infrastruktur dari manajemen perikanan dan kurangnya sumberdaya manusia yang terlatih juga merupakan faktor pembatas. Perhatian departemen secara internal terhadap hal ini cukup tinggi, tetapi sektor ini bukan merupakan prioritas utama pemerintah.

Bangladesh mempunyai data dan informasi dari proyek Bay of Bengal yang dapat digunakan dalam menangani perikanan pesisir mereka. Myanmar memerlukan bantuan dalam perencanaan, infrastruktur, pembaharuan undang-undang yang berhubungan dengan perjanjian dan aktivitas internasional, penerapanan manajemen

(22)

perikanan yang berkelanjutan, dan peningkatan prioritas pemerintah dan kesadaran masyarakat terhadap sektor perikanan dan kelautan (Flewwelling 2001).

4.2.7 Kamboja

Kamboja masih dalam tahap perbaikan setelah adanya konflik internal di negaranya. Dalam bidang perikanan, pengelolaannya hampir secara total ditujukan terhadap perikanan darat di Sungai Mekong dan wilayah Tonle Sap. Terdapat kontrol yang sangat ketat terhadap skema manajemen perikanan daratnya, tapi hanya memberikan keuntungan bagi beberapa industri tertentu sedangkan nelayan lainnya secara umum hanya mendapatkan keunt ungan yang kecil. Hal ini terjadi karena pelelangan jatah perikanan dan sistem lisensi yang sangat mahal.

Kamboja mempunyai pantai yang sangat terbatas dan mengabaikan perhatiannya terhadap pengelolaan perikanan lepas pantai dan kemampuan MCS. Perencanaan manajemen proaktif untuk memaksimalkan keuntungan terhadap nelayan, peningkatan manajemen dan pelatihan MCS, peningkatan kesadaran nelayan dan masyarakat, edukasi, dan perbaikan infrastruktur diperlukan untuk membantu pemulihan Kamboja setelah beberapa tahun berada dalam konflik internal (Flewwelling 2001).

4.2.8 Srilangka

Srilangka mempunyai keterbatasan dalam memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap wilayah pantainya karena masih berada di bawah konflik internal dengan Tamil, sehingga pemerintah mempunyai kesulitan mengontrol armadanya dalam wilayah lautnya. Adanya reorganisasi baru dari Departemen Perikanan akan memperkuat organisasi.

Menurut Flewwelling (2001), di Srilangka terdapat suatu pendekatan inovatif melalui suatu komite the Special Area Management (SAMs) dalam membangun mekanisme antar lembaga, yang memusatkan perhatiannya terhadap pantai dan laguna secara umum dan dapat dijadikan contoh bagi negara lainnya. Komite ini melakukan pendekatan yang sangat holistik berdasarkan pada kebutuhan semua sektor, termasuk pengembangan prioritas terhadap perikanan. Srilangka juga membuat peraturan undang- undang baru yang memungkinkan untuk dikaji ulang dan

(23)

memungkinkan kapal internasional melakukan pendaratan ikan- ikan di pelabuhan Srilangka sehingga dapat memberikan sedikit keuntungan untuk Srilangka. Selain itu juga dikembangkan usaha untuk mengimplementasikan VMS terhadap kapal BOI, dan semua kapal yang melakukan pelayaran di laut dalam dan menerapkan mekanisme kontrol bendera negara.

Hal lainnya yang mendapat perhatian dalam pengelolaan perikanan adalah faktor keamanan terhadap kapal-kapal besar yang berlayar di laut dalam. Kerjasama regional untuk pengelolaan perikanan dan MCS juga mendapat perhatian Srilangka karena keberadaan armada kapal mereka yang melakukan interaksi dengan armada perikanan negara lain.

4.2.9 Vietnam

Vietnam merupakan negara dengan sektor perikanan yang besar yang pengaruhnya semakin meningkat. Usaha yang sunguh-sungguh dibuat untuk meningkatkan kemampuan armada perikanannya, tetapi kemampuan manajemen pemerintah dan mekanisme kontrol tidak terlihat pengembangannya pada laju yang sama. Manajemen perikanan Vietnam dan kemampuan MCS difokuskan pada area pantai/pesisir dengan monitor terhadap laut dalam yang jauh dari pantai, terutama terhadap perbatasan wilayah tetapi belum untuk tujuan manajemen berkelanjutan. Oleh karena itu Vietnam harus memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pelatihan teknik MCS dan manajemen berkelanjutan dengan adanya dukungan perundang-undangan (Flewwelling 2001).

4.2.10 Namibia

Menurut Steele (2000), Namibia merupakan salah satu negara penghasil ikan yang produktivitasnya cukup besar di dunia. Hal ini merupakan hasil dari sistem

Benguela yang mutakhir yang dimiliki oleh Departemen Sumberdaya Kelautan dan

Perikanan (the Ministry of Fisheries and Marine Resources /MFMR). Misi departemen ini adalah untuk memperkuat posisi Namibia sebagai negara yang maju di bidang produksi perikanan dan mempunyai tujuan memberikan kontribusi dalam peningkatan ekonomi negara, bidang sosial dan konservasi.

(24)

Tujuan utama dari MFMR adalah :

(1) Mengembangkan dan mengoptimalkan regulasi perundang-undangan sumberdaya kelautan untuk konservasi ekosistem kelautan yang berkelanjutan. (2) Membuat lingkungan yang kondusif bagi industri perikanan sehingga dapat

meningkatkan pendapatan dari sumberdaya kelautan secara lebih optimal. (3) Mengembangkan kepentingan Namibia di sektor perikanan internasional. (4) Memberikan pelayanan secara responsif dan profesional.

(5) Melakukan pelayanan secara efektif dan efisien di sektor keuangan.

(6) Secara kontinyu melakukan investasi dalam pengembangan sumberdaya manusia.

Departemen ini memiliki tiga direktorat yaitu direktorat manajemen sumberdaya yang berhubungan dengan aktivitas penelitian, direktorat operasional yang berhubungan dengan administrasi dan operasional dan direktorat kebijakan, perencanaan dan ekonomi. MFMR dibentuk sejak tahun 1990, dan saat ini dipertimbangkan sebagai suatu model manajemen perikanan yang mendukung sektor industri perikanan sehingga dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam peningkatan perekonomian negara.

Di MFMR, Direktorat Operasional bertanggung jawab untuk pelaksanaan MCS (monitoring, control dan surveillance). Dalam implementasinya, untuk mengontrol setiap kegiatan yang berada dalam wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE), di Namibia terdapat suatu program yang terintegrasi untuk inspeksi dan patroli di laut, di pelabuhan dan di udara secara berkelanjutan ya ng memenuhi hukum perikanan Namibia.

Sejak kemerdekaannya, Namibia telah menetapkan tiga strategi utama dalam kebijakan bidang perikanan, yaitu:

(1) Stock rebuilding (pembangunan kembali cadangan sumberdaya), yakni

membangun kembali cadangan sumberdaya yang telah terkuras oleh usaha penangkapan ikan yang berlebihan sebelum masa kemerdekaan;

(25)

(2) Namibianisasi (nasionalisasi bidang usaha perikanan Namibia) untuk

mengganti dan memperbaiki dominasi asing di bidang perikanan sebelum masa kemerdekaan, melalui usaha integrasi sektor usaha perikanan itu ke dalam perekonomian dan masyarakat Namibia, sehingga peluang kerja dan penghasilan yang dapat diperoleh dari pembangunan kembali cadangan sumberdaya itu dapat dinikmati oleh masyarakat Namibia itu sendiri.

(3) Empowerment (pemberdayaan) untuk menjamin berlangsungnya peran serta

masyarakat Namibia itu dalam sektor perikanan yang di masa awal kemerdekaan dalam kondisi yang lemah, sehingga tidak berkembang dengan baik. Juga untuk menjamin berlangsungnya partisipasi yang meningkat dan seimbang di sektor ini oleh masyarakat Namibia dengan berbagai latar belakang (keahlian maupun kemampuan).

Institusi atau lembaga pusat untuk mengimplementasikan semua strategi ini adalah Kementerian Perikanan dan Sumberdaya Kelautan. Lembaga ini harus membangun semua aspek dan program penelitian sampai pengawasan, yang kesemuanya itu merupakan unsur-unsur dasar dari administrasi perikanan. Juga menata kerangka kerja legal maupun perangkat peraturan lainnya untuk mengatur sektor perikana n.

Pemerintah Namibia sangat memperhatikan dan memberikan prioritas yang tinggi terhadap kebijakan dan usaha untuk menghentikan kasus over-fishing (penangkapan ikan secara berlebihan). Dalam hal ini telah disusun dan ditetapkan sebuah sistim tentang Total Allowable Catches (TACs, total tangkapan yang diperkenankan) bagi semua cadangan sumberdaya ikan yang utama. Dengan sistim ini dapat dilakukan reduksi/pengurangan tangkapan dibandingkan dengan periode sebelum kemerdekaan yang penangkapan ikan ketika itu relatif tidak terkontrol sama sekali. Dengan demikian, kondisi cadangan sumberdaya dapat mulai dipulihkan kembali dengan cepat. Dengan sistem ini dapat pula ditingkatkan kapasitas TAC itu sendiri dan hasil total tangkapan meningkat secara signifikan dari 408.000 metrik ton pada tahun 1990, menjadi 789.000 metrik ton pada 1993.

Keberhasilan manajemen perikanan didukung oleh adanya riset ilmiah, yang berada di bawah wewenang Direktorat Manajemen Sumberdaya yang melakukan

(26)

penelitian di bidang kelautan dan perikanan. Bagi industri perikanan modern keputusan dibuat berdasarkan pada pengetahuan tentang stok ikan untuk menjamin keberlangsungan usaha. Di Namibia, kemampuan untuk menghasilkan data meningkat cukup besar sejak departemen bersifat independen.

Analisis dan survei yang sistematis dilakukan untuk mendapatkan data yang diperlukan sebagai dasar dalam melakukan pertimbangan dan saran dalam manajemen. Program yang digunakan untuk memonitor lingkungan kelautan adalah dengan menggunakan citra satelit dan laporan di bidang kelautan yang terbaru.

Untuk mengembangkan kemampuan staf departemen dalam melakukan pemantauan dan pengawasan dilakukan berbagai usaha seperti pelatihan, seminar, dan lain sebagainya untuk meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan data yang akan diperlukan sebagai bahan dalam berbagai pertimbangan manajemen di departemen.

(1) Kerangka kerja regulasi dan hukum

Beberapa hal utama dalam pembentukan dan penetapan kerangka kerja hukum dan peraturan ini :

1) Pada tahun 1990 oleh Majelis (Badan Legislatif) Nasional telah diloloskan sebuah “Territorial Sea and Exclusive Economic Act” (Akta Teritorial Laut dan Ekonomi Eksklusif) sebagai ketetapan perundang- undangan yang baru dari Majelis (Badan Legislatif) Nasional Namibia itu, dan memberi hak kedaulatan atas sumberdaya kelautan di perairan Namibia.

2) Penyebar-luasan peraturan tentang Perikanan Laut pada tahun 1993 yang menjelaskan secara rinci tentang ketentuan-ketentuan di dalam Akta Perikanan Laut yang baru itu.

3) Pada tahun 1996, Majelis Nasional Namibia mengadopsi sebuah White Paper lain tentang Kebijakan Perikanan di darat (laut pedalaman), yang menekankan tentang urgensinya keterlibatan masyarakat dalam manajemen perikanan tersebut.

(27)

4) Penyiapan sebuah rancangan Undang-Undang tentang Perikanan Laut Dalam untuk mengimplementasikan White Paper, setelah konsultasi (dengar pendapat) yang luas dengan masyarakat yang terlibat dan terkait.

5) Persiapan sebuah rancangan yang baru tentang Akta Perikanan Laut yang mempertimbangkan penyusunan hukum internasional yang baru, ya ng berkaitan dengan bidang perikanan, terutama tentang tanggung-jawab negara untuk mengontrol usaha perikanan dan kapal ikan yang dipergunakan di laut bebas.

6) Namibia menerima Compliance Agreement (kesepakatan tentang pemenuhan ketentuan) FAO dan Namibia juga melakukan ratifikasi kesepakatan tentang cadangan sumberdaya perikanan PBB; dan dalam kedua kasus itu, Namibia termasuk kelompok negara pertama di dunia yang mengambil langkah-langkah ini.

Keberhasilan manajemen perikanan didukung oleh adanya riset ilmiah, yang berada di bawah wewenang Direktorat Manajemen Sumberdaya yang melakukan penelitian di bidang kelautan dan perikanan. Analisa dan survei yang sistematis dilakukan untuk mendapatkan data yang diperlukan sebagai dasar dalam melakukan pertimbangan dan saran dalam manajemen. Program yang digunakan untuk memonitor lingkungan kelautan adalah dengan menggunakan citra satelit dan laporan di bidang kelautan yang terbaru.

Direktorat Operasi bertanggung-jawab untuk melakukan pemantauan, kontrol dan pengawasan. Pengalaman di dunia, terutama dalam implementasi ZEE telah menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat dikenakan hukum dalam jurisdiksi pemerintah, jika tidak ada kontrol di kawasan ZEE. Dalam hal ini, selama periode tahun 1990-1991, pemerintah Namibia telah bertindak cepat dalam menghadapi para pelanggar hukum dari operasi kapal-kapal asing itu. Meskipun masih terdapat beberapa pelanggaran, namun tindakan hukum yang tegas merupakan hal yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya operasi penangkapan ikan ilegal yang dilakukan secara sistematis.

(28)

(2) Kerjasama Internasional

Secara regional, untuk sektor perikanan Namibia melakukan kerjasama dengan negara tetangga yang bergabung dalam the Southern African Development

Community (SADC) yang terdiri dari enam negara pantai yaitu Angola, Mauritus,

Mozambiq, Namibia, Afrika Selatan dan Tanzania. SADC ini berada di bawah koordinasi Namibia. MFMR membantu dengan membuat suatu unit yang bertugas memberikan pedoman formulasi, evaluasi, manajemen dan implementasi untuk kebijakan spesifik, program dan proyek pengembangan di sektor sumberdaya perikanan dan kelautan. Unit tersebut mengkoordinasikan program pelatihan dan konsultasi berdasarkan perkiraan kebutuhan wilayah, yang berhubungan dengan MCS dan pengembangan sistem informasi (Steele, 2000).

4.2.11 Mozambique

Menurut Kelleher (2002), di Mozambique yang bertanggungjawab terhadap

monitoring, kontrol dan pemberdayaan di bidang perikanan adalah the Ministry of Fisheries (MP). Ada lima sub bagian dari MP yang berperan dalam aktivitas MCS,

seperti dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Peranan sub bagian the Ministry of Fisheries (MP) dalam aktivitas MCS

Entity Peranan Comment

Direktorat administrasi perikanan (DAP/DNAP)

Lisensi perikanan, legislasi, proteksi, monitoring quota dan penangkapan ikan,

observer dan inspeksi.

Lisensi/kontrol industri perikanan. Melakukan hubungan dengan Departemen Hukum

Terdapat di semua propinsi melalui the Provincial Fisheries

Administration Service (SPAPs).

Administrasi bertindak sebagai lembaga di beberapa lokasi, yang menilai pajak dari berbagai izin beroperasi.

Direktorat Ekonomi (DE)

Manajemen ekonomi dan

monitoring

Bertanggung jawab dalam

administrasi dan sistem informasi statistik.

Direktorat

Inspeksi Perikanan (DIP)

Inspeksi kualitas ikan dan laboratorium. Berhubungan dengan ekspor ikan.

Berhubungan dengan direktorat peternakan.

(29)

Lembaga pengembangan perikanan skala kecil (IDPPE)

Mengembangkan aturan yang lebih berpengaruh terhadap proses manajemen kerjasama

Melakukan kerjasama dengan SPAPs

Institut Riset Perikanan

Memberikan saran tentang stok perikanan laut. Menerima dan menginter-prestasikan data penangkap-an ypenangkap-ang diterima dari kapal

Peranannya terbatas dalam MCS.

Perencanaan sektor perikanan (Plano Economico e Social, PES) merupakan bagian dari rencana lima tahunan pemerintah, yang mempunyai tugas merestrukturisasi dan menyusun institusi MP pada tingkat pusat dan daerah sebagai berikut:

(1) Implementasi sistem VMS

(2) Pengembangan perencanaan dan monitoring investasi (3) Peningkatan lisensi perikanan dan biaya lainnya. (4) Mengembangkan komite co-management

(5) Memperkuat dukungan organisasi dan sistem informasi terhadap perikanan skala kecil.

Perencanaan pengembangan untuk MCS meliputi:

(1) Revisi dan pengembangan legislasi (hukum dan regulasi)

(2) Peningkatan modal sumberdaya manusia SPAPs (DPAPs) dan kapasitas operasionalnya.

(3) Memperkenalkan prosedur auditing internal.

Dalam melakukan pengawasan dibutuhkan kemampuan patroli maritim (kapal patroli) di laut dan di udara. Beberapa kapal dibutuhkan dalam hal sebagai berikut:

(1) Pengawasan dan kontrol sumberdaya kelautan (2) Proteksi

(30)

(3) Penelitian dan penyelamatan

(4) Logistik untuk mendukung situasi darurat (5) Memerangi polusi laut dari kapal

(6) Mendukung keimigrasian

Tujuan pengawasan kelautan di Mozambiq ue adalah memproteksi perikanan tuna dan udang, mengontrol perbatasan di Utara dan Selatan, pencarian dan penyelamatan di laut dan memerangi polusi di laut. Pengawasan udara membantu operasional kapal patroli sehingga menjadi lebih efisien. Kontrol pelabuhan juga dilakukan secara terus menerus. Kapal patroli dengan tipe yang berbeda digunakan untuk keperluan yang berbeda di pantai dan di laut dalam sesuai dengan karakteristik geografis perikanan. Penggunaan radar juga dapat ditambahkan sebagai peralatan yang dapat membantu memudahkan pengawasan. Kapal patroli pantai dibutuhkan sehubungan dengan strategi regulasi dan operasional perikanan. Regulasi difokuskan pada kontrol aktivitas perikanan sehingga kebutuhan terhadap kapal patroli di laut merupakan hal yang sangat vital. Karena biaya pengadaan kapal cukup mahal, maka Mozambique berusaha menggunakan sistem sewa sebelum melakukan investasi untuk pengadaan kapal patroli pantai.

Departemen Kelautan Mozambique tidak mempunyai kemampuan mengoperasikan kapal patroli besar dan memerlukan dukungan untuk mengoperasikan kapal patroli kecil dengan bantuan dari angkatan lautnya. Untuk patroli pantai dibutuhkan kapal patroli cepat yang ditempatkan secara strategis di sepanjang pantai khususnya di daerah perbatasan. Untuk melengkapi pengawasan di pesisir laut juga diperlukan patroli udara dengan menggunakan pesawat yang diperoleh dengan sistem sewa.

Kontrol pelabuhan yang dioperasikan secara manual cukup efektif dari segi biaya. Kontrol pra-pelayaran juga membantu untuk kegiatan inspeksi di pelabuhan. Mozambique juga tidak mempunyai radar pantai (kecuali radar pelabuhan), sehingga dibutuhkan pemasangan radar dengan kisaran 50-80 mil laut yang meliputi perbatasan dari utara dan selatan.

(31)

4.2.12 Northwest Africa

Menurut Steele (2000), The Subregional Fisheries of Northwest Africa (SRFC) dibentuk dengan suatu konvensi pada tahun 1985 dan terdiri dari enam negara (Cape Verde, Gambia, Guinea-Bissau, Mauritania, Senegal) ditambah dengan Sierra Leone. Komisi ini bertanggung jawab terhadap sejumlah protokol dan keselarasan dengan legislasi. Selain itu juga memasang peralatan untuk kerjasama dalam aktivitas pengawasan di udara dan di laut di antara negara-negara tersebut, meskipun terdapat kekurangan dari segi pembiayaan, sehingga mengurangi efektivitas kegiatan. FAO, melalui kantornya di Dakar, memiliki fungsi memperkuat SRFC sehingga lebih memiliki otoritas dan dirasakan kehadirannya oleh negara-negara anggota.

Selat benua meliputi 100 mil laut garis pantai di barat daya, yang berkembang ke tempat lain di pantai barat selain Namibia. Garis pantai masing- masing negara mempunyai panjang yang bervariasi dari 70 kilometer (Gambia) sampai 718 kilometer (Senegal). Panjangnya garis pantai dan selat berpengaruh terhadap keperluan pengawasan.

Mekanisme pengawasan dilakukan dengan memberikan lisensi kepada kapal-kapal dengan pembatasan peralatan untuk zona di luar pantai dan zona dengan tipe dan spesies ikan tertentu. Legislasi secara regional merupakan hasil dari proyek bantuan FAO, pra- lisensi inspeksi pelabuhan dilakukan oleh beberapa negara dan penandaan kapal oleh FAO dengan sinyal panggilan. Transhipping juga dimonitor, meskipun kurang efektif karena kurangnya pengawasan di laut. Fokus utama adalah penyediaan dan pembiayaan pengawasan di air dan udara untuk perikanan. Terdapat tiga pesawat yang ditempatkan di Cape Verde, Senegal dan Mauritania. Selain itu juga terdapat beberapa kapal patroli di sub wilayah, yang dioperasikan oleh berbagai negara.

Penilaian pengawasan air dan udara sebagai suatu mekanisme kontrol berhadapan dengan illegal fishing. Untuk masa mendatang perlu dilakukan hal- hal yang meliputi: penguatan SRFC sebagai suatu organisasi; penyelesaian masalah terhadap interaksi dan konflik diantara pekerja dan nelayan di industri perikanan;

(32)

usaha yang serius dan terus menerus mengatasi illegal trawler fishing yang tidak berlisensi.

4.2.13 Afrika Selatan

Menurut Steele (2000), Afrika Selatan mempunyai potensi perikanan tiram yang cukup besar, sehingga pada tahun 1994 terjadi usaha pencarian tiram di sepanjang pantai barat daya Afrika Selatan. Dengan adanya masa transisi demokrasi, nelayan lokal ikut mengklaim produk tersebut karena selama rezim apartheid mereka tidak memiliki akses terhadap produk perikanan terutama tiram, sehingga hal ini menimbulkan konflik di antara nelayan ilegal, usaha perikanan komersial yang berlisensi dan polisi. Hal ini terjadi karena tingginya nilai tiram di pasaran internasional.

Marine and Coastal Management (MCM) yang mempunyai kapasitas di

bidang kelautan tidak memiliki kemampuan dalam menghadapi permasalahan baik terhadap kekuatan lokal maupun jaringan kriminal internasional. Dalam menghadapi peningkatan kerusakan sumberdaya alam dan pelanggaran hukum di wilayah tersebut, dibuat kebijakan usaha kerjasama yang dikenal dengan “operasi Neptuna”. Dalam implementasinya bekerja sama dengan”the South African Police Servive” (SAPS) dan MCM yang dibantu oleh lembaga- lembaga lainnya.

Fokus Operasi Neptuna adalah terhadap perikanan ilegal di sepanjang wilayah barat daya Cape Town. Terdapat dua tujuan utama yaitu:

(1) mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap stock abalon dengan meningkatkan kemampuan penegakan hukum untuk mencegah perikanan ilegal,

(2) mengawasi dengan ketat perikanan ilegal dengan melakukan usaha intelijen, melakukan penahanan dan penyitaan terhadap kapal ilegal yang ditangkap. Operasi ini juga bertujuan untuk mengurangi kejadian kriminal secara umum di wilayah tersebut.

Operasi Neptuna dilakukan oleh personel kepolisian dan perikanan dengan bantuan tambaha n dari Angkatan Laut dan organisasi yang berbasis lokal (seperti tenaga pemberdayaan otoritas lokal dan organisasi berbasis komunitas, Sea Watch). Personel dari area lainnya di Afrika Selatan juga turut membantu untuk mencegah

(33)

efektivitas Operasi Neptuna. Meskipun, sama-sama melihat beberapa hal yang positif dari operasi tersebut, yang meliputi:

(1) Meningkatnya koordinasi dan kerjasama di antara lembaga – lembaga yang berpengaruh (khususnya MCM dan SAPS) dan kerjasama dengan komunitas lainnya seperti Sea Watch dan the Nature Conservation Department sebagai otoritas lokal.

(2) Berkurangnya kriminalitas di wilayah tersebut.

(3) Meningkatnya rasa keamanan bagi komunitas lokal dan berkembangnya rasa saling percaya di antara nelayan dan SAPS.

(4) Memperkuat penangkalan terhadap perikanan ilegal.

Sejumlah aspek negatif juga teridentifikasi dari operasi ini, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

(1) Jangka waktu operasi tidak begitu lama (6 bulan), sehingga diperlukan penambahan waktu dengan Operasi Neptuna II.

(2) Berkurangnya supply produk, sehingga produk terbatas berkembang di pasar gelap.

(3) Pengenaan denda yang tidak cukup oleh pengadilan.

(4) Tidak cukupnya pelatihan bagi personel Operasi Neptuna untuk mengidentifikasi spesies ikan tertentu

(5) Tidak cukupnya biaya

(6) Tidak cukupnya bantuan terhadap masyarakat lokal sehingga mereka dapat mengembangkan koordinasi.

Operasi Neptune cukup berhasil dalam melakukan penegakan hukum di wilayah perairan Afrika Selatan. Operasi ini dapat menjadi lebih optimal dalam melakukan pencegahan terhadap illegal fishing jika:

(1) Diimplementasikan dalam jangka waktu panjang (2) Bekerja sama dengan infrastruktur lokal

(34)

(3) Mempunyai program yang serius untuk mengembangkan akses terhadap hak komunitas lokal dalam pengelolaan sumberdaya kelautan

4.2.14 Argentina

Manajemen perikanan Argentina didasarkan pada pembatasan kuota terhadap spesies tertentu, yaitu spesies hake dan mackarel. Armada nasional memiliki 731 kapal, dengan kapal pekerja perikanan pantai sebanyak 310, 133 ice trawlers, 288 armada kapal pengolahan produk. Sistem monitoring di Argentina masih mengalami kegagalan dalam mengawasi overfishing terhadap spesies tertentu. Hal ini disebabkan karena kurangnya sumberdaya manusia yang terlatih dan peralatannya, tidak tepatnya perhitungan dalam manajemen keuangan, kurangnya transparansi dan konsistensi dalam manajemen dan praktek MCS (lisensi, operasional, pinalti, dan lain lain), kurangnya kredibilitas yang terlihat dalam industri perikanan, dan yang lebih penting lagi adalah kurangnya keinginan politik dan pengetahuan yang merupakan hal yang penting dalam manajemen perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Hal ini sangat disayangkan, karena Argentina menjadi salah satu negara yang dirugikan karena adanya kesalahan dalam strategi negosiasi dengan kekuatan ekonomi yang lebih besar yang tidak mempunyai perhatian yang sama terhadap konservasi, sehingga negara terpaksa mengakomodasi berkembangnya overkapitalisme dalam industri perikanan. Perjanjian ini juga mengizinkan keberadaan kapal asing dan peralatannya di perairan Argentina yang dapat mempercepat kepunahan industri perikanan hake (Flewwelling 2003).

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Argentina menutup industri perikanan hake sampai ada skema manajemen yang tepat, meskipun tindakan ini sangat tidak populer di kalangan nelayan. Keefektifan biaya sistem VMS dikaji ulang. Rencana lainnya adalah mendukung MCS yang meliputi:

(1) Legislasi

(2) Penguatan institusional dan transparansi

(3) Pelatihan untuk penyidik pelabuhan, inspektur dan observer

(4) Pengembangan program observer dan umpan baliknya bagi industri (5) MONPESAT VMS jika biaya mencukupi

(35)

(6) Pengembangan koleksi data dan dihubungkan dengan propinsi (7) Dukungan Angkatan Laut dan Coast Guard.

Pertimbangan lainnya ya ng berhubungan dengan MCS meliputi:

(1) Manajemen ITQ dan keputusan untuk mengimplementasikannya dengan dukungan legal yang tepat, infrastruktur data, peralatan dan personel yang ditujukan untuk ITQ.

(2) Adanya Memorandum of Agreement yang dihubungkan dengan propinsi pantai yang dapat menjamin usaha kerjasama untuk lisensi, informasi dan aktivitas MCS yang mendukung sistem ITQ.

Setelah menilai kondisi geografis, demografis, ekonomi dan politik untuk sistem MCS, maka negara harus mempertimbangkan bagaimana sistem MCS dapat diimplementasikan. Hal ini mempengaruhi desain sistem MCS yang tepat. Pertimbangannya harus meliputi sistem biaya yang efisien dan efektif untuk lembaga; kerangka kerja legal yang diperlukan dan dapat diterima oleh nelayan; koordinasi antara lembaga dan departemen; pelatihan, infrastruktur, mekanisme organisasi yang mendukung; dan sumberdaya keuangan.

4.2.15 Australia

Australia seperti umumnya negara lainnya memiliki kesiagaan dalam menghadapi sejumlah masalah di bidang kelautan yang muncul dari berbagai sumber. Usaha ini dikonsentrasikan pada pencegahan kapal asing yang memasuki zona perikanan Australia (Australian Fishing Zone/AFZ), kapal asing yang melakukan kegiatan perikanan akan dideteksi dan ditahan. Rata-rata setiap tahun dilakukan penangkapan terhadap 100 kapal asing yang melakukan kegiatan ilegal di dalam wilayah AFZ, meskipun jumlahnya tidak cukup signifikan karena luasnya wilayah laut Australia (terbesar ketiga di dunia) yang perlu pemantauan yang lebih efektif dan dengan keterbatasan sumberdaya yang dapat melakukan pemantauan.

Dalam penerapan MCS, di Australia terdapat the Australian Fisheries

Management Authority (AFMA). AFMA mengembangkan penilaian resiko dan

rancangan kepatuhan untuk pengelolaan setiap usaha perikanan dan selanjutnya bertindak sebagai suatu badan koordinasi yang menggunakan penggabungan aset di

(36)

antara semua negara bagian (termasuk bidang pertahanan) untuk melaksanakan MCS (Flewwelling 2003).

Ketentuan MCS yang diterapkan terhadap para nelayan domestik Australia, hanya bertumpu pada penggunaan teknologi dan dengan melakukan auditing (pemeriksaan) silang atas hasil tangkapan dan dokumentasi pendaratan dengan informasi yang diberikan secara elektronik. Dalam usaha perikanan yang dikelola dengan mempergunakan kontrol output, maka para nelayan diminta untuk memberikan “laporan sebelum pendaratan” kepada AFMA melalui telepon, radio ataupun Inmarsat C. Laporan ini juga ditransmisikan kepada pager (penyeranta) yang dimiliki para pejabat berwenang di bidang perikanan atau melalui telepon mobile-nya (dengan mempergunakan layanan SMS) untuk menginformasikan kepada para pejabat AFMA tentang waktu dan tanggal kedatangan kapal di pelabuhan dan waktu bongkar muat maupun hasil tangkapan yang diperkirakan berdasarkan spesies utamanya.

Para nelayan juga diminta untuk melengkapi laporan harian atau keberangkatan kapal dengan logbooks, dengan memperkirakan hasil tangkapan berdasarkan pada spesiesnya. Ketika kembali ke pelabuhan, maka Catch Disposal

Record (CDR, catatan tentang hasil tangkapan yang telah selesai) dilengkapi, sebelum

ikan-ikan dipindahkan ke tempat lain. Petugas penerima ikan yang pertama kemudian melakukan verifikasi bobot hasil tangkapan berdasarkan pada spesiesnya masing-masing. Saat ini AFMA mencoba mempergunakan timbangan elektronik di dok kapal untuk memverifikasi hasil tangkapan yang didaratkan pada saat bongkar muat. Pengembangan teknologi ini dimaksudkan untuk menjamin pemantauan dengan biaya yang efektif secara waktu, dan mendorong adanya integrasi dengan rantai pemasaran. Para pejabat bidang perikanan melakukan pemeriksaan terhadap kapal secara acak di laut dan di pelabuhan untuk menjamin kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan bidang perikanan, juga agar sesuai dengan ketentuan manajemen yang telah ditetapkan. Selain itu pada beberapa bidang perikanan besar di Australia, juga diterapkan Vessel Monitoring System (VMS). Teknologi VMS digunakan dengan tujuan untuk melakukan pengawasan aset melalui udara dan laut

(37)

untuk menjamin dipatuhinya peraturan, VMS bertindak secara signifikan untuk mencegah operasi ilegal yang terjadi di laut (Flewwelling 2003).

4.2.16 Kanada

Menurut Steele (2000), di Kanada the Federal Department of Fisheries and

Ocean (DFO) dipercaya oleh Parlemen Kanada untuk menangani semua hal yang

berhubungan dengan hukum kelautan. Penanganan perikanan, didelegasikan sebagian kepada pemerintah propinsi. DFO tetap bertanggung jawab terhadap pengelolaan perikanan di laut Pasifik, Atlantik, Artik, perairan darat untuk empat propinsi Atlantik dan sungai ikan salmon di British Columbia.

DFO program Conservation and Conservation menjamin penerapan dari rencana perikanan, regulasi dan legislasi. Hal ini memerlukan pendekatan MCS yang terintegrasi dan pengembangan sekitar 600 tenaga perikanan untuk patroli darat, laut dan udara, observer sektor swasta yang mencakup semua kapal industri perikanan,

monitoring dockside dan pengendalian monitoring elektronik terhadap aktivitas kapal

ikan.

DFO mengoperasikan armada patroli kapal pada setiap pantai dan melakukan inspeksi di laut. Penyewaan pesawat udara juga digunakan untuk memonitor armada perikanan. Pengawasan laut dan udara juga dilakukan oleh the Department of

National Defence (DFO). Kanada menyebarkan sektor swasta, observer kontrak, pada

semua kapal perikanan asing dan lokal di perairan Kanada untuk mendapatkan informasi ilmiah dan menyediakan informasi untuk melakukan monitoring. Mereka dilatih untuk mendeteksi dan melaporkan adanya gangguan seperti dumping, perikanan di area tertutup, penangkapan yang tidak dilaporkan, dan penggunaan peralatan ilegal. Cakupan observer bervariasi tergantung pada resiko konservasi dan prioritas manajemen. Mereka memverifikasi jumlah produksi dan spesies ikan untuk

data scientific dan pengawasan kuota. Data ini kemudian di-cross-check dengan

melakukan inspeksi secara acak oleh pegawai perikanan. Biaya observer di laut dibagi antara departemen dan industri perikanan. Biaya monitoring dockside dibayar oleh industri perikanan.

Program konservasi dan proteksi secara signifikan melakukan reorientasi. Sebagai contoh, sejumlah kapal patroli besar dirubah menjadi program kapal kecil

Gambar

Tabel 5  Penempatan kapal pengawas P2SDKP
Table 7   Lanjutan
Table 8   Lanjutan
Tabel 9  Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat prinsip algoritma yang didasarkan pada perilaku koloni semut dalam menemukan jarak perjalanan paling pendek tersebut, ACO sangat tepat digunakan untuk

Laju digesta dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumsi ransum, imbangan energi dan protein, kandungan lemak, serat kasar, kualitas ransum, dan volume makanan

Hasil pemodelan menunjukkan bahwa berubahnya pola penggunaan lahan dari tahun 2016 sampai 2026, dimana berkurangnya lahan hutan dan meningktnya lahan pertanian dan lahan terbangun,

Berdasarkan uraian diatas (poin 1 dan 2) dapat menunjukkan bahwa lulusan Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang yang berjenis kelamin

Pengembangan Sensor Ca (II) dalam Serum Menggunakan Pipa Kapiler, Lutfa Indah Setiyorini, 001810301058, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Data kelulusan mahasiswa tersebut diolah menggunakan metode data mining sehingga diperoleh satu metode yang paling akurat dan dapat digunakan sebagai rules dalam

Sesuai dengan RTRW kota bitung, kawasan pembangunan area industri di arahkan pada area barat kota yaitu terletak di kecamatan matuari. Kecamatan matuari merupakan kecamatan

Berdasarkan analisa beban harian, perubahan beban utama mempengaruhi perubahan tegangan dan frekuensi output dari IMAG, hal ini disebabkan karena pengontrol beban