BAB I PENDAHULUAN
Ilmu Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tata kerja dari berbagai sistem dan peran dari fungsi tubuh keseluruhannya. Fisiologi dari beberapa ternak, dalam hal ini secara khusus yang dipelajari yaitu sapi, ayam, kambing, domba, kelinci, dan jenis burung melalui percobaan status fa’ali, thermoregulasi, saccus pneumaticus, sel darah merah, sistem digesti, pembekuan darah, kadar haemoglobin dalam darah, tekanan darah, dan waktu pendarahan pada manusia.
Praktikum status faali bertujuan untuk mengetahui data-data fisiologi yaitu temperatur rektal, pulsus, dan frekuensi respirasi pada sapi, kambing, domba, kelinci, dan ayam. Praktikum status faali dapat diketahui kondisi kesehatan ternak tersebut. Hal tersebut dapat menguntungkan karena semakin dini diketahui kelainan pada seekor ternak maka penanggulangannya akan semakin mudah untuk diatasi.
Praktikum sel darah merah dapat diketahui kondisi kesehatan ternak selain melalui status faali, yaitu berdasarkan jumlah sel darah merah dengan melihat atau mengamati dan mengukur jumlah sel darah merah dan membandingkannya dengan kisaran normal dari jenis ternak tertentu.
BAB II
ACARA STATUS FAALI
Tinjauan Pustaka
Status faali yang meliputi respirasi, pulsus, dan temperatur rektal merupakan suatu parameter yang digunakan untuk mengetahui kondisi atau keadaan kesehatan suatu ternak yang dapat dilakukan dengan percobaan langsung. Kondisi status faali ternak merupakan indikasi dari kesehatan dan adaptasi ternak terhadap lingkungannya. Ternak akan selalu beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya, apabila lingkungan dengan suhu dan kelembapan yang tinggi dapat menyebabkan stress (cekaman) karena sistem pengaturan panas tubuh dengan lingkungannya menjadi tidak seimbang. Ternak domba termasuk hewan homoitherm yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuhnya agar tetap stabil, sehingga terjadi keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang dikeluarkan kesekelilingnya (Schmidt, 1997).
Respirasi
Respirasi adalah proses kimia dan fisika dalam organisme menyangkut pertukaran gas dengan lingkungannya. Gas yang dikeluarkan prinsipnya antara oksigen dari udara dan karbon dioksida dari tubuh ke udara sekitarnya. Oksigen dari udara dibutuhkan oleh tubuh untuk metabolisme oksidatif, sedangkan karbondioksida merupakan produk akhir yang harus dikeluarkan. Bertahan hidup individu hanya terjadi bila dalam jaringan tubuh konsentrasi kedua gas tersebut ada dalam konsentrasi dan keseimbangan yang tepat (Andriyani et al., 2010).
Kendali persyaratan pada pernapasan ada dua mekanisme yaitu pernapasan volunter dan pernapasan otomatis (Ganong, 2003).
Faktor yang mempengaruhi pernapasan yaitu aktivitas tubuh, emosi, rasa sakit dan takut, impuls aferen dan pengendalian secara sadar (Gabriel, 1996). Kisaran normal respirasi beberapa hewan ternak dapat diamati pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Kisaran respirasi normal pada ternak
Spesies Kisaran Respirasi (kali per menit)
Sapi 24-42
Kambing 26-54
Domba 26-32
Kelinci 25-37
Ayam 18-23
(Frandson, 1996). Pulsus
Sistem sirkulasi atau sistem kardiovaskuler, pada hakikatnya mempelajari bagaimana darah didistribusikan dan organ-organ yang berperan. Sistem sirkulatori atau dikenal dengan sistem kardiovaskuler terdiri atas jantung, arteri, vena, dan pembuluh darah kapiler. Pembuluh darah kapiler ialah arteriol dan venula yang semuanya merupakan sistem pembuluh tertutup (Adriani et al., 2010).
Tabel 2. Kisaran normal pulsus ternak
Spesies Kisaran pulsus (kali per menit)
Kuda 23-70
Kelinci 123-304
Kambing 70-135
Sapi 60-70
Domba 60-120
(Andriani, 2010). Temperatur Rektal
Temperatur rektal merupakan hasil keseimbangan antara produksi panas dan pelepas panas tubuh. Cara mengukur temperatur rektal adalah dengan memasukkan termometer rektal ke dalam rektum. Faktor yang mempengaruhi temperatur rektal adalah bangsa ternak, aktivitas ternak, kondisi kesehatan dan kondisi lingkungan ternak (Frandson, 1996).
Tingginya intensitas matahari diwilayah Indonesia menyebabkan suhu udara meningkat, akubatnya hewan ternak yang dipelihara akan terkena cekaman panas. Cekaman panas ditandai dengan meningkatnya denyut jantung yang akan berpengaruh negatif terhadap proses faali (Utomo, 2009).
Tabel 3. Kisaran normal temperatur rektal ternak
Spesies Kisaran Temperatur rektal (oC)
Kelinci 38-40,1
Kambing 38,5-40
Sapi perah 38-39
Sapi potong 36,7-39,1
Ayam 40,6-43
(Frandson, 1996).
Materi dan Metode Materi
Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum status faaliini adalah thermometer rektal, thermometer batang, stetoskop, counter, dan arloji.
Bahan. bahan yang digunakan dalam praktikum status faali ini adalah ternak sebagai probandus, diantaranya ialah ayam jantan, ayam betina, kelinci jantan, kelinci betina, domba jantan, domba betina, dan sapi jantan.
Metode
Respirasi. Respirasi pada sapi betina, domba betina, dan domba jantan dilakukan dengan cara medekatkan punggung tangan ke hidung ternak, sehingga akan terasa hembusan nafasnya. Ayam betina dan ayam jantan dilakukan dengan cara mengamati kembang kempisnya perut. Kelinci betina dan kelinci jantan dilakukan dengan cara mengamati kembang kempisnya hidung. Semua percobaan dilakukan selama 1 menit sebanyak 3 kali, kemudian dihitung rata-ratanya.
Temperatur rektal. Temperatur rektal dilakukan dengan cara skala termometer dinolkan dengan cara dikibas-kibaskan dengan hati-hati. Termometer dimasukkan kedalam rektum probandus (1/3 bagian). Percobaan dilakukan selama 1 menit sebanyak 3 kali, kemudian dihitung rata-ratanya.
Hasil dan Pembahasan
Praktikum status faali merupakan praktikum untuk mengetahui bagaimana kondisi fisiologis berupa respirasi, temperatur rektal dan pulsus.
Respirasi
Respirasi adalah proses kimia dan fisika dalam organisme menyangkut pertukaran gas dengan lingkungannya. Gas yang dikeluarkan prinsipnya antara oksigen dari udara dan karbon dioksida dari tubuh ke udara sekitarnya. Oksigen dari udara dibutuhkan oleh tubuh untuk metabolisme oksidatif, sedangkan karbondioksida merupakan produk akhir yang harus dikeluarkan. Bertahan hidup individu hanya terjadi bila dalam jaringan tubuh konsentrasi kedua gas tersebut ada dalam konsentrasi dan keseimbangan yang tepat (Andriyani et al., 2010).
Tabel 4.Hasil pengukuran respirasi Probandus Pengukuran (kali per menit)
I II III Rata-rata
Sapi betina 27 22 23 24
Domba jantan 50 90 85 75
Domba betina 81 88 90 86,3
Kelinci jantan 158 220 249 209
Kelinci betina 203 232 234 223
Ayam jantan 50 40 60 50
Ayam betina 76 84 87 82,3
Respirasi ayam betina setelah dirata-rata adalah berkisar pada 82 kali permenit, sedangkan respirasi ayam jantan hanya 50 kali permenit. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak sesuai teori, yang mana menurut Frandson (1996), kisaran normal respirasi pada ayam adalah 18 sampai 23 kali per menit. Perbedaan hasil praktikum dengan literatur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mana Yuwanta (2004) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi respirasi pada unggas yaitu umur ayam, semakin tua maka makin tinggi respirasinya, jenis ayam, ayam tipe berat lebih tinggi respirasinya dibanding ayam tipe ringan dan tipe petelur lebih cepat respirasinya dibanding ayam pedaging, aktivitas, makin tingi aktivitas maka makin tinggi respirasinya, temperatur lingkungan, zona nyaman ayam yaitu 10 sampai 20 oC, sirkulasi udara dan kepadatan kandang. Kemungkinan lain yaitu saat pengambilan data ternak merasa takut dan stress dan merasa tidak nyaman sehingga respirasinya berlnagsung cepat.
Rata-rata respirasi pada sapi betina yaitu 24 kali permenit. Jika dibandingkan dengan literatur maka sapi dalam kondisi normal, menurut Frandson (1996), kisaran normal respirasi pada sapi adalah 24 sampai 42 kali permenit. Respirasi dipengaruhi oleh diantaranya spesies, suhu lingkungan, penggunaan obat-obatan, berat tubuh dan aktivitasnya (Campbell et all., 2002).
menyatakan kisaran normal respirasi pada domba jantan dan betina normal yaitu 26 sampai 32 kali permenit. Data percobaan yang didapatkan tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan Frandson. Campbell et all., (2002) menjelaskan dalam bukunya, respirasi dipengaruhi oleh diantaranya spesies, suhu lingkungan, penggunaan obat-obatan, berat tubuh dan aktivitasnya.
Respirasi kelinci betina setelah dirata-rata adalah berkisar pada 223 kali permenit, sedangkan respirasi kelinci jantan 209 kali permenit. menurut Frandson (1996), kisaran normal respirasi pada ayam adalah 25 sampai 27 kali per menit. Apabila dibandingkan dengan literatur respirasi pad kelinci jantan dan betina jauh berada diatas kisaran normal. Faktor yang mempengaruhi berbedanya data saat praktikum dengan literatur yaitu faktor stress yang dialami kelinci saat pengukuran, sehingga respirasi berlangsung lebih cepat. Faktor lain yang mempengaruhi respirasi adalah aktivitas, suhu lingkungan, berat badan, ketersediaan oksigen, jenis dan umur hewan (Isnaeni, 2006).
Pulsus
Pulsus merupakan detak jantung yang dikeluarkan oleh jantung dan akibat aliran darah melalui jantung. Detak jantung dapat diketahui dengan jelas menggunakan stetoskop yang berfungsi memberikan informasi penting tentang kondisi jantung. Hasil pengukuran pulsus disajikan pada tabel 5 dibawah ini
Tabel 5.Hasil pengukuran pulsus
Probandus Pengukuran (kali per menit)
I II III Rata-rata
Sapi betina 60 80 85 75
Domba jantan 102 111 98 103.6
Domba betina 146 147 135 142.6
Kelinci jantan 209 209 237 218.3
Kelinci betina 202 236 212 216.7
Ayam jantan 242 249 256 247.3
Pulsus pada ayam betina berdasarkan hasil praktikum adalah 218 permenit, sedangkan pada ayam jantan 247 permenit. Frandson (1996) menjelaskan bahwa pulsus ayam kisaran normal sekitar 200 sampai 350. Hasil yang diperoleh saat praktikum sesuai dengan literatur. Ganong (2003) menjelasan bahwa faktor yang mempengaruhi pulsus adalah aktivitas, pakan dan temperatur.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan diperoleh hasil pengukuran rata-rata pulsus sapi betina adalah 75 kali permenit. Frandson (1996), dalam bukunya menyatakan, Kisaran normal pulsus sapi jantan dan betina adalah 60 sampai 70 kali permenit. Hasil pengamatan tidak sesuai dengan kisaran normal mungkin dikarenakan sapi dalam kondisi yang kurang sehat atau melakukan aktivitas yang lebih berat. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pulsus pada sapi yaitu keadaan temperatur lingkungan, kelembaban, ataupun tinggi tempat yang tidak sesuai dengan keadaan sapi (Frandson, 2006).
Berdasarkan praktikum yang dilakukan diperoleh hasil pengukuran rata-rata pulsus domba betina adalah 142 kali permenit dan pada domba jantan adalah 103 kali permenit. Menurut Frandson (2006), kisaran normal pulsus pada domba adalah 60 sampai 120 kali permenit. Apabila dibandingkan dengan literatur, pulsus pada domba jantan dibawah kisaran normal dan domba betina berada di atas kisaran normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi pulsus adalah perangsangan atau stimulus, temperatur lingkungan dan latihan (Frandson, 1996).
Temperatur Rektal
Temperatur rektal dapat digunakan untuk mengetahui keadaan atau kondisi kesehatan yang dilihat dari suhu tubuh probandus. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil pengukuran temperatur rektal yang dapat dilihat pada tabel 6 dibawah ini.
Tabel 6. Hasil pengukuran temperatur rektal Probandus Pengukuran (kali per menit)
I II III Rata-rata praktikum dengan literatur terdapat perbedaan yang tidak terlalu signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil praktikum hanya sedikit melenceng dari teori. Temperatur ayam dipengaruhi oleh jenis kelamin, ayam jantan memiliki temperatur lebih rendah dibanding ayam betina. Hasil yang diperoleh ayam betina memiliki temperatur lebih tinggi dari jantan. Hal ini kemungkinan disebabkan ayam betina lebih kawatir saat dilakukan uji sehingga mempengaruhi suhu tubuhnya.
Berdasarkan praktikum diperoleh rata-rata temperatur rektal sapi betina adalah 38,4 oC. Menurut Swenson (1997) menjelaskan bahwa kisaran normal temperatur tubuh pada sapi berkisar antara 36,7 sampai 39,1oC. Apabila dibandingkan dengan literatur, temperatur rektal sapi betina berada dalam kisaran normal. Faktor yang mempengaruhi temperatur rektal sapi adalah keadaan lingkungan, aktivitas, pakan, minuman, dan penyakit (Frandson,1996)
Swenson (1997) menjelaskan bahwa kisaran normal temperatur tubuh pada domba berkisar antara 38,3 sampai 39, oC. Apabila dibandingkan dengan literatur, temperatur rektal domba betrina berada dalam kisaran normal, namun temperatur pada domba jantan lebih tinggi sedikit dari teori. Menurut Siregar dalam Ilma (2007), domba termasuk golongan hewan homoitherm, sehingga selalu berusaha untuk memepertahankan temperatur tubuhnya dalam batas-batas yang optimal bagi status faalinya. Frandson (1996) dalam bukunya menyatakan, faktor yang mempengaruhi temperatur rektal domba adalah keadaan lingkungan, aktivitas, pakan, minuman, dan penyakit.
Berdasarkan praktikum diperoleh rata-rata temperatur rektal kelinci jantan adalah 38,5 oC dan pada kelinci betina adalah 39,47 oC. Menurut Swenson (1997) menjelaskan bahwa kisaran normal temperatur tubuh pada kelinci berkisar antara 38,6 sampai 40,1, oC. Apabila dibandingkan dengan literatur, temperatur rektal kelinci betina berada dalam kisaran normal, namun temperatur rektal kelinci jantan mendekati kisaran normal. Faktor yang mempengaruhi temperatur rektal pada kelinci adalah kondisi yang kurang sehat, stres, keadaan lingkungan, aktivitas, pakan, minuman, dan penyakit (Frandson,1996).
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Andriani, L., E. Hernawan, K.A. Kamil, dan A. Mushawwir. 2010. Fisiologi Ternak. Widya Padjadjaran. Bandung.
Campbell, N. A., and J.B Reece. 2002. Biologi Edisi Delapan. Pearson Education, Inc. Benjamin cumming.USA
Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi IV. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Gabriel, J.F. 1996. Fisika Kedokteran. EGC. Jakarta
Ganong, William F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 20. Terjemahan dari : Review of Medical Physiologi. 20th. Oleh : Djauhari Widjajakusumah. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Ilma, Meta Oktarika. Kustono. Widyantoro. 2007. Status Faali dan Profil
Darah Domba Lokal Jantan Yang Diberi Pakan Substitusi Tepung Limbah Udang Fermentasi. Vol 31(4) : 3
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan Kanisius. Yogyakarta
Schmidt, K. and Nielsen. 1997. Animal Physiology 5th edition. Cambridge University Press. Cambridge
Siregar, S. B. 1982. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Penggunaan Makanan , Status Faali dan Pertumbuhan Kambing dan Domba Lokal, Tesis Pascasarjana Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
BAB III
ACARA Saccus pneumaticus
Tinjauan Pustaka
Sistem respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang CO2 dari dalam tubuh, menjaga keseimbangan pH, dan keseimbangan elektrik dalam darah. Sistem pernapasan pada burung dibantu oleh kantong udara yang berperan penting dalam memberikan daya apung pada hewan tersebut. Setiap organ respirasi harus memenuhi syarat yaitu tipis, permeabel terhadap O2 dan CO2, dan memiliki vaskularisasi yang bagus. Difusi gas antara organ respirasindengan lingkungannya belangsung karena adanya perbedaan tekanan gas (Isnaeni, 2006).
Volume pernafasan unggas dan mamalia sangatlah berbeda. Unggas memiliki ukuran sekitar satu setengah dari milik mamalia jika dalam ukuran yang sama (Bicudo et al., 2010). Unggas memiliki paru paru yang tidak berkembang, namun unggas memiliki kantong udara yang berjumlah 9. Kesembilan kantong udara terdiri atas 4 buah kantong udara berpasangan dan 1 buah kantong udara tunggal. Kantong udara tersebut antara lain adalah Abdominalis yang terletak pada bagian perut, Thoracalis anterior pada bagian rongga dada depan, Thoracalis posterior pada rongga dada bagian belakang, Servicalis yang terletak diantara Abdominalis dan Thoracalis posterior (Yuwanta, 2004).
Unggas yang dapat terbang dengan jarak jauh seperti merpati memiliki beberapa perbedaan morfologi tubuh dengan unggas yang dapat terbang dalam jarak pendek seperti ayam atau unggas yang sama sekali tidak dapat terbang seperti kalkun. Perbedaan tersebut diantaranya terdapat pada mekanisme respirasi, morfologi bulu, otot, dan tulang dari unggas tersebut (Nasution et al., 2013).
besar volume dari sistem pernafasan. Kantong kantong udara ini berguna untuk membantu sistem pernafasan pada burung, mengatur suhu tubuh (termoregulasi), serta melindungi organ organ dalam tubuh (Whittow, 1998).
Materi dan Metode Materi
Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum Saccus pneumaticus adalah penjepit, selang, dan spuit.
Bahan. Bahan yang digunakan adalah preparat Columba livia. Metode
Metode pada praktikum Saccus pneumaticus yaitu bagian dari Saccus pneumaticus, kemudian diamati bagian-bagiannya secara langsung, kemudian dipahami sistem kerja Saccus pneumaticus.
Hasil dan Pembahasan
Praktikum Saccus pneumaticus yang telah dilaksanakan menjelaskan bahwa sistem respirasi pada aves terdiri dari Nares anteriores, Nares pasteriores (lubang pada palatum), glottis, larynx, trakhea, pulmo, dan syrinx. Yuwanta (2014) menyatakan bahwa pulmo pada aves dihubungkan dengan kantong-kantong udara atau pundi-pundi udara (Saccus pneumaticus), ada enam bagian kantong udara atau Saccus pneumaticus yang terdiri atas, Saccus cervicalis yang terdapat pada pangkal leher, Saccus interclavicularis yang hanya ada satu dan terletak diantara tulang coracoid, Saccus axilaris yang terletak pada ketiak, Saccus thoracalis anterior yang terdapat pada bagian dada depan, Saccus thoracalis posterior yang terletak pada bagian dada belakang; dan, Saccus abdominalis pada rongga perut.
sedangkan burung yang sedang terbang lebih mengoptimalkan kerja kantung udaranya. Burung yang terbang tinggi akan semakin cepat kepakan sayapnya, karena kadar oksigen pada udara di lapisan atas semakin kecil atau menipis.
Pernafasan pada waktu istirahat terdiri dari fase inspiratio dan expiratio, pada fase inspiratio, costac bergerak ke arah carnio ventral cavum sehingga thoracalis membesar, pulmo mengembang dan udara masuk ke dalam pulmo. Pernafasan pada waktu terbang dipengaruhi oleh fungsi Saccus pneumaticus yang berupa Saccus interclavicularis dan Saccus axillaris. Inspirasi dan ekspirasi dilakukan bergantian oleh kantung udara di antara tulang coracoid (Saccus interclavicularis) dan kantung udara di bawah tulang ketiak (Saccus axillaris), saat mengepakan sayap (sayap diangkat ke atas), kantong udara di antara tulang coracoid terjepit sehingga udara kaya oksigen pada bagian itu masuk ke paru-paru (inspirasi), saat sayap terkepak turun, kantung udara di bawah ketiak terjepit sementara kantung udara di antara tulang coracoid mengembang, sehingga udara masuk ke kantung udara di antara coracoid (ekspirasi) ( Campbell et al., 1999).
Mekanisme respirasi pada aves dibagi menjadi dua, yaitu inhalasi dan ekshalasi. Proses inhalasi dimulai melalui hidung, kemudian masuk ke trakhea, menuju kantong udara posterior dan berakhir di paru-paru. Proses ekshalasi dimulai dari paru-paru menuju kantong udara anterior (Saccus thoracalis anterior) masuk ke trakea menuju lubang hidung (Campbell et al., 2002).
Hasil praktikum yang telah dilaksanakan menjelaskan bahwa proses inhalasi 1 berawal dari oksigen yang masuk akan melewati trakhea lalu ke paru-paru (pulmo) lalu masuk ke Saccus thoracalis posterior dan terjadi proses Ekshalasi 1. Proses ekshalasi 1 yaitu oksigen dari Saccus thoracalis posterior masuk ke pulmo. Difusi O2 dan CO2 terjadi di pulmo. Proses inhalasi kedua yaitu CO2 dari pulmo akan memasuki Saccus thoracalis anterior. Proses ekshalasi kedua, setelah memasuki Saccus thoracalis anterior CO2 akan melewati trakhea dan keluar dari dalam tubuh. Semua saccus terisi oleh udara pada waktu inspirasi. Saccus thoracalis posterior terisi udara yang banyak mengandung oksigen yang datang.
(Campbell et al., 2004) Gambar 2. mekanisme respirasi aves
memiliki peran sangat penting dalam termoregulasi, dalam menurunkan berat badan selama penerbangan dan dalam produksi suara (Onuk et al., 2009)
Respirasi pada burung dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperatur, kadar oksigen, ketinggian terbang, umur dan rangsangan mekanik. Temperatur berpengaruh terhadap frekuensi pernapasan yang terjadi. Kadar oksigen berpengaruh pada mekanisme terjadinya pernapasan. Ketinggian terbang berpengaruh terhadap banyaknya ketersediaan oksigen untuk melakukan respirasi. Umur berpengaruh terhadap kecepatan respirasi yang terjadi, sedangkan rangsangan mekanik akan mempengaruhi jumlah kebutuhan oksigen saat respirasi (Dukes, 1995).
Kesimpulan
Praktikum Saccus pneumaticus dapat disimpulkan bahwa ketika burung terbang Saccus pneumaticus yang berbentuk kantong akan bekerja membantu pernapasan. Macam Saccus pneumaticus ada Saccus cervicalis pada pangkal leher, Saccus interclavicularis, ada diantara tulang coracoid, Saccus axilaris pada ketiak, Saccus thoracalis anterior pada bagian dada depan, Saccus thoracalis posterior pada bagian dada belakang, dan Saccus abdominalis pada rongga perut. Mekanisme kerja saccus untuk proses pernapasan ada proses inhalasi 1, ekshalasi 1, kemudian inhalasi 2, lalu ekshalasi 2.
Daftar Pustaka
Bicudo, J. Eduardo P.W., William A. Buttemer, Mark A. Chappel, James T. Pearson, and Claush Bech. 2010. Ecological and Enviromental Physiology of Birds. Oxford University Press. New York.
Campbell, N.A., J.B. Reece, and L.G. Mitchell. 1999. Biologi Edisi V Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Campbell, N.A., J.B. Reece, and L.G. Mitchell. 2004. Biologi Edisi V Jilid 3. Erlangga. Jakarta.
Dukes, H.N. 1995. Physiology of Domestic Animal. Comstook Publishing. New York.
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan.Kanisius.Yogyakarta.
Nasution, I., Shinta Mutia R.M, dan Hamny. 2013. Rasio ketebalan dinding terhadap diameter tulang humerus ayam kampung (Gallus domesticus) dan burung merpati (Columba domestica). Jurnal Medika Veterinaria. 7(1):1-3.
Onuk, Burcu., R. Merih Haziroglu., and Murat Kabak. 2009. Gross anatomy of the respiratory system in goose (Anser anser domesticus): Bronchi and sacci pneumatic. Ankara Univ Vet Fak Derg. 1(56):165-170.
Whittow, Causey G. 1998. Sturkie’s Avian Physiology. Academic Press. New York.
BAB IV ACARA DARAH
Tinjauan Pustaka
Darah beredar dalam suatu sistem pembuluh yang hakekatnya tertutup. Darah terdiri atas unsur-unsur padat yaitu eritrosit, leukosit, dan trombosit yang tersuspensi dalam media cair yang disebut plasma (Murray et al., 1999). Volume darah total yang beredar dalam keadaan normal sekitar 8% dari berat badan dan 55% dari volume tersebut adalah plasma (Ganong, 2003).
Waktu pendarahan adalah waktu mulai keluarnya tetesan darah pertama sampai tidak ada lagi noda di kertas saring. Faktor yang mempengaruhi waktu pendarahan yaitu kecilnya luka, suhu, status kesehatan, umur, besarnya tubuh, aktifitas, kadar hemoglobin dalam plasma dan kadar globulin dalam darah (Sonjaya, 2013). Kondisi darah pada saat membeku yaitu mengkerut, beberapa protein plasma yang besar terperangkap dalam bekuan darah, cairan yang tertinggal disebut serum darah (Bloom dan Fawcett, 2002).
Tekanan darah adalah tekanan yang timbul pada dinding arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut sistolik.Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60 mmHg sampai 140/90 mmHg. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg (Smeltzer dan Bare, 2001).
tekanan yang terbaca pada manometer sesuai tekanan dalam millimeter air raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis (Smeltzerdan dan Bare, 2001).
Materi dan Metode Materi
Alat. Alat yang digunakan dalam percobaan waktu beku darah adalah kapas, lanset, stopwatch dan kertas filter, manset Spygnomanometer, dan stetoskop, tabung sahli, pipet sahli, aspiorator, dan hemoglobinometer, kapas, lanset, gelas arloji, jarum pentul, dan stopwatch
Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum darah adalah alkohol dan sampel darah, HCl 0.1 N, alkohol, sampel darah, alkohol dan probandus.
Metode Waktu Pendarahan
Metode yang digunakan pada percobaan ini adalah Metode Duke. Percobaan diawali dengan jari dibersihkan, jari dibersihkan dengan kapas yang telah dibasahi dengan alkohol. Gunakan lanset steril untuk menusuk jari. Waktu dicatat pada saat darah keluar. Tempelkan kertas filter tiap 30 detik pada darah yang keluar dari pembuluh darah, kertas filter jangan sampai mengenai luka. Catat waktu jika pendarahan telah berhenti. Waktu pendarahan ditentukan dari saat darah keluar samapi darah berhenti. Pembekuan darah (koagulasi darah)
yaitu waktu mulai darah keluar dari pembuluh darah hingga terbentuknya benang fibrin.
Kadar Hemoglobin menurut Metode Sahli
Metode yang digunakan pada percobaan ini adalah Metode Sahli. Percobaan diawali dengan tabung sahli diisi dengan HCl 0,1 N sampai angka 10. Disiapkan sampel dan dihisap darah secara perlahan-lahan dengan pipet sahli dengan aspioratornya sampai batas 0,02 ml. Ujung pipet dibersihkan dan segera dimasukkan di dalam tabung sahli. Tabung sahli diletakkan antara kedua bagian standar warna. Dibiarkan selama 3 menit sampai dibentuk asam hematin. Pipet tetes digunakan untuk menambahkan aquadestilata di dalam tabung tetes demi tetes sambil diaduk hingga warna sama dengan warna standar. Baca tinggi permukaan cairan pada tabung sahli dengan dilihat skala jalur 95% yang berarti banyak hemoglobin dalam gram per 100 ml darah. Jalur skala lainnya pada tabung sahli, kalau ada penunjukkan hemoglobin terhadap nilai hemoglobin normal 15,6% atau nilai normal lainnya yang tertera pada alat Hemoglobinometer.
Pengukuran Tekanan Darah secara Tidak Langsung
akan hilang jika tekanan di dalam manset lebih kecil dari tekanan diastole dengan cara ini maka dapat dibedakan tekanan systole dan diastole.
Hasil dan Pembahasan Waktu Pendarahan
Percobaan yang telah dilakukan menghasilkan hasil sebagai berikut.
Tabel 7. Waktu Pendarahan
Nama probandus Umur Jenis kelamin Waktu pendarahan
Denis 18 Permpuan 34
Sangaji 19 Laki-laki 30
Hasil yang diperoleh pada percobaan waktu pendarahan yaitu probandus perempuan (Denis) 34 detik, sedangkan pada probandus laki-laki (Aji) 30 detik. Waktu normal untuk manusia adalah 15 detik. Pendarahan adalah interval waktu antara timbulnya tetes pertama darah hingga darah berhenti mengalir (Sukandar et al.,2008). Hasil percobaan yang dilakukan dibandingkan dengan literatur menghasilkan kesimpulan bahwa, kedua waktu pendarahan dari probandus berada di atas kisaran normal.Luka terbuka dengan lanset dengan ukuran yang sama sehingga besar kecilnya luka dalam hal ini bukan merupakan faktor waktu pendarahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah status kesehatan, umur, besarnya tubuh dan aktivitas, kadar hemoglobin dalam plasma dan kadar globulin dalam darah (Syafar dan Mansur, 2013).
Pembekuan Darah
Percobaan yang telah dilakukan mendapatkan hasil sebagai berikut.
Tabel 8. Waktu pembekuan darah
Nama probandus Umur Jenis kelamin Waktu beku darah Bella 19 Permpuan 7 menit 30 detik Bakti 19 Laki-laki 5 menit 31 detik
Hasil yang didapatkan pada percobaan yang telah dilakukan yaitu, probandus perempuan didapat hasil waktu pembekuan darah yaitu 7 menit 30 detik, sedangkan pada probandus laki-laki didapat hasil waktu pembekuan darah yaitu 5 menit 31 detik. Faktor yang membantu dalam mencgah terjadinya pembekuan darah meliputi lapisan endotel halus pembuluh darah, aliaran darah cepat melalui suatu area, protein muatan negatif pada permukaan endotel, dan substansi antikoagulan dalam darah (Tambayong, 2000).
Nilai pembekuan darah normal yaitu meliputi massa pembekuan atau koagulasi nilai normal tube kaca 6-7 menit dan nilai tube silokon yaitu 19-69 menit, massa protrombin yaitu 10-14 detik, massa tromboplastin parsial (PTT) 30-45 detik, masa tromboplastin parsial teraktivasi (APPT) yaitu 16-23 detik. Jumbalh trombosit yaitu 150.000-300.000/µL, masa perdarahan yaitu 2,5-9 menit metode Evy sedangkan pada metode Duke yaitu 8 menit, dan retratasi bekuan yaitu mulai 30-60 menit dan selesainya 12-24 jam ( Dawn et al., 2000).
Hasil yang didapatkan pada percobaan yang telah dilakukan yaitu pada probandus perempuan didapat hasil waktu pembekuan darah yaitu 7 menit 30 detik, sedangkan pada probandus laki-laki didapat hasil waktu pembekuan darah yaitu 5 menit 31 detik. Jadi dapat disimpulkan dari hasil yang didapat waktu pembekuan darah pada kedua probandus itu masih dalam kisaran normal sesuai dengan teori.
(Campbell et al., 2011,). Mekanisme pembekuan darah terjadi karna adanya interaksi dari faktor-faktor penyebab pembentukan pembekuan padat, yang menjamin pencegahan kehilanga darah dalam kasus robekan vascular. Reaksi dasar dari proses pembekuan darah yaitu activator protrombin dibentuk oleh cara intrinsik dan ekstrinsik dalam respon perusakan jaringan atau endotel, aktivator protrombin mengkatalis perubahan protrombin menjadi trombin, trombin mengkatalis perubahan fibrinogen yang dapat larut menjadi benang-benang polimer fibrin padat. Benang-benang fibrin ini membentuk jaring-jaring dimna plasma, sel-sel darah, dan trombosit menempel unuik membuat bekuan.Antikoagulan terhadap darah normal dapat menghambat pembekuan dan penting dalam mempertahankan cairan darah.
Antikoagulan yang paling kuat dalam darah adalah yang membuang kelebihan trombin yang di bentuk selam pembekuan. Antikoagulan ini adalah benang-benang fibrin dan antitrombin III. Selama terjadi pembekuan, 85% sampai 90% trombin teradsorpsi menjadi benang-benang fibrin. Adsorpsi ini secara efektif menghentikan kerja trombin pada fibrinogen. Kelebihan trombin yang tidak teradsorpsi dengan protein plasma antitrombin III, yang menghambat efek trombin pada fibrinogen dan menghentikan aktivitas trombin (Tambayong, 2000).
Jalur intrinsik menjadi aktif apabila protein plasma bereaksi dengan subendotel yang terjadi akibat kerusakan pembuluh darah. Trombosit dan protein yang di sebut faktor von Willebrand berikatan denga subendotel yang terjadi, dan trombosit kemudian mengikat fibrinogen. Jalur ektrinsik diaktifkan oleh faktor jaringan (TF atua faktor III) yang merupakan suatu protein terkat-membran yang terjadi pada permukaan sel setelah trauma. Trauma juga juga mengaktifkan perubahan faktor VII menjadi VIIa, dan faktor jaringan serta faktor VIIa membentuk suatu kompleks yang memutuskan faktor X menjadi Xa. Faktor XII, XI, IX, VII, X, dan thrombin adalah protease serin. Trombin menjadi fibrin dan terbentuk bekuan “lunak” awal. Faktor XIIIa adalah suatu transglutaminidase. Faktor VIII dan V adalah kofaktor yang membentuk kompleks dengan permukaan endotel dan faktor IXa dan Xa reaksi yang di beri tanda “PL, Ca” berlangsung melalui kofaktor yang terikat ke fosfolipid (PL) di permukan sel dalam suatu kompleks koordinasi-Ca2+( Dawn et al., 2000).
Hemofilia adalah istilah defisiensi beberapa faktor pembekuan terhadap perbedaan herediter yang di turunkan melalui gen secara sex-linked. Hemofilia muncul pada pria sedangkan pada wanita hanya berupa “carrier”. Ini diebut hemofilia A dan di tandai dengan perdarahan subkutan dan intramuskular, spontan atau karna trauma.(Tambayong, 2000).
Vitamin K penyebabnya pada neonatus karna hati yang kurang sempurna. Tidak ada bakteri usus yang penting untuk membuat vitamin K. Penyebabnya akan timbul penyakit hati obstruktif dan gangguan absorpsi (Tambayong, 2000).
Kadar Hemoglobin dalam Darah (Metode Sahli)
Kadar hemoglobin di dalam darah dapat dilaksanakan dengan metode sahli dan cyanomethemoglobin. Praktikum yang telah dilaksanakan menggunakan metode sahli, karena metode ini dinilai lebih aman. Metode cyanomethemoglobin terdapat kalsium sianida yang bersifat karsinogenik. Metode sahli dapat digunakan untuk skala kecil, dan dinilai lebih murah dari metode cyanomethemoglobin.
Sampel darah manusia dengan menggunakan pipet sahli dihisap perlahan sampai batas 0,02 ml kemudian darah dimasukkan ke tabung sahli yang sudah diberi HCl 0,1 N. Tabung sahli diletakkan di antara kedua bagian standar warna dalam Hemoglobinometer, biarkan 3 menit maka akan terbentuk asam hematin sebagai efek dari bercampurnya HCl 0,1 N dan darah. Aquadestilata ditambahkan ke dalam tabung sambil disamakan warnanya. Tinggi permukaan cairan pada tabung sahli dibaca menunjukkan angka 15,9 sehingga dapat dihitung Absolute Hb consentration didapat 15,89 g/dl dan perhitungan kadar Hb 107,4 g/100 ml.
Hemoglobin adalah protein yang mengandung zat besi dalam sel darah merah yang berikatan dengan oksigen secara dapat balik. Sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen (O2) ke dalam jaringan dan mengambil gas (CO2) dari jaringan ke paru-paru. Jika dalam tubuh kekurangan hemoglobin maka dapat berakibat fatal, seperti sesak nafas. Kadar hemoglobin dalam tubuh bisa dinaikkan dengan mengkonsumsi sayuran yang mengandung banyak zat besi. (Campbell etal., 2011)
Konsentrasi normal Hb dalam tubuh wanita dewasa berada di antara 11,7 g/dl sampai 15,7 g/dl. Laki-laki dewasa memiliki konsentrasi normal diantara 13,3 g/dl sampai 17,7 g/dl. Kosentrasi hb pada wanita sebesar 10 g/dl sampai 12 g/dl dan pada laki-laki sebesar 10 g/dl sampai 13 g/dl akan mengalami anemia (Nowrousian, 2002).
dapat disimpulkan Absolute Hb consentration didapat 15,89 g/dl. Perhitungan kadar Hb 107,4 g/100 ml. Konsentrasi Hb termasuk normal.
Kadar hemoglobin dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah umur, spesies, jenis kelamin, serta kualitas dan kuantitas makanan. Semakin berkualitas makanan yang dikonsumsi, nutrisi yang dapat digunakan pun tercukupi sehingga darah mengandung kadar hemoglobin standar. Wanita akan memiliki kadar Hb lebih rendah dari pria, lalu seseorang yang sudah dewasa akan memiliki kadar Hb lebih banyak dari anak-anak. Laki-laki memiliki rata-rata sekitar 20g/L lebih tinggi dariwanita. Perbedaan jenis kelamin terkait tersebut berkurang secara bertahap dengan bertambahnya usia (Gibson, 2005).
Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin yang lebih rendah dari normal. Anemia bisa juga berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran atau jumlah eritrosit atau kandungan hemoglobin. Anemia yang paling umum ditemukan di masyarakat adalah anemia gizi besi. Terjadinya anemia gizi besi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kandungan zat besi dalam makanan sehari-hari atau penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah (Gibson, 2005).
Pengukuran Tekanan Darah Secara Tidak Langsung
Berdasarkan percobaan tekanan darah terhadap 2 probandus, dapat dilihat pada tabel berkut.
Tabel 9. Pengukuran Tekanan Darah
Nama probandus umur Jenis kelamin Systole Diastole (mm/hg) (mm/hg)
Bella 19 Permpuan 100 90
Bakti 19 Laki-laki 130 100
Probandus laki laki memiliki tekanan systole 130 mm/hg dan tekanan diastole 100 mm/hg. Probandus perempuan memiliki tekanan systole 100 mm/hg dan tekanan diastole 90 mm/Hg.
tekanan sistolik.Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80 (Smeltzer & Bare, 2001).
Sistole merupakan hasil tekanan darah yang biasanya digambarkan pada angka pertama .Sistole adalah tekanan darah seseorang yang terjadi pada saat jantung bekerja. Sedangkan angka kedua disebut dengan diastole yang menunjukkan tekanan darah seseorang saat posisi jantung sedang beristirahat. Bila hasil pemeriksaan darah Anda adalah 110/70 mmHg, maka angka 110 merupakan sistole dan angka 70 merupakan diastole.
Berdasar perbandingan hasil dengan literatur dapat diamati bahwa pengukuran tekanan darah secara tidak langsung pada kedua probandus, masih berada dikisaran yang normal, namun hasil pengukuran terhadap kedua probandus menunjukkan hasil yang berbeda-beda, probandus pertama, bella lebih rendah pengukuran tekanan darahnya dibanding probandus kedua, bakti . Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu yang pertama aktivitas fisik yang dilakukan kedua probandus tidaklah sama, aktivitas yang semakin beratakan menaikkan tekanan darah. Lalu factor yang kedua yaitu pola makan, ada beberapa makanan yang dapat menaikkan maupun menurunkan tekanan darah.
Spygnomanometer tersusun atas manset yang dapat dikembangkan dan alat pengukur tekanan yang berhubungan dengan ringga dalam manset. Alat ini dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tekanan yang terbaca pada manometer seseuai dengan tekanan dalam milimeter air raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis (Smeltzer& Bare, 2001). Hasil pengukuran tekanan darah pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, aktivitas, obat-obatan yang diminum, fase diurnal, serta perubahan posisi( Florensa, 2009 ). Terdapat dua macam kelainan tekanan darah darah, antara lain yang dikenal sebagai hipertensi atau tekanan darah tinggi dan hipotensi atau tekanan darah rendah. Hipertensi telah menjadi penyakit yang menjadi perhatian di banyak Negara di dunia, karena hipertensi seringkali menjadi penyakit tidak menular nomor satu di banyak negara (Anggara dan Prayitno , 2013).
Praktikum kali ini menggunakan cara tidak langsung dengan menggunakan alat Spygnomanometer. Hal tersebut dikarenakan dengan menggunakan cara tidak langsung akan lebih mudah dan juga lebih praktis, karena juga hanya digunakan dalam skala yang kecil. Alasan lain yaitu menggunakan Spygnomanometer juga jauh lebih aman untuk kesehatan.
Kesimpulan
tekanan darah secara tidak langsung diperoleh termasuk dalam kisaran normal. Penyebab tekanan darah tinggi ialah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu keturunan, usia, gender, polamakan, kuranggerak,stress, kebiasaan meminum minuman beralkohol.
Daftar Pustaka
Anggara, Febby Haendra Dwi dan Prayitno, Nanang.2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tekanan Darah Di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat Tahun 2012. vol 5 (1)
Anonim.2012.Dokter Indonesia Online. Terdapat pada
http://www.dokterindonesiaonline.com. Diakses pada 4 Maret 2016.
Campbell, N.A., Reece, J.B., Urry, L.A., Cain, M.L., Wasserman, S.A.,Minorsky, P.V., Jackson, R.B. 2011. Biology.Pearson EducationInc.San Francisco.
Dawn, B. Marks. , Allan, D.Marks. , Collen M. 2000. BiokimiaKedokteranDasar. Jakarta. EGC
Florensa, Maria Veronika Ayu. 2009. Hasil Pengukuran Tekanan Darah Dalam Berbagai Posisi dengan Spignomanometer Aneroid pada Mahasiswa Keperawatan.Hal 1-2.
Ganong, William F, 2003. Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari. Widjajakusumah: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC. Hal.49.
Gibson, Rosaline S. 2005. Principles of Nutritional Assessment.Oxford University Press. New York.
Nowrousian, M.R. 2002.Recombinant Human Erythropoietin in Clinical Oncology.Sfinger Wien. New York.
Smeltzer, S.C. and Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Vol.2. Jakarta : EGC
Sukandar, Elin Yulinah., Sigit Josep I., Nurul Fitriyani.2008. Efek antigregasi platelet ekstrak air bulbus bawang putih (Allium sativum L.), ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma domesticaI Val.) dan kombinasinya pada mencit jantan galur Swiss Webster. Majalah Farmasi Indonesia. 19(1):1-11.
BAB V
ACARA SEL DARAH MERAH
Tinjauan Pustaka
Volume total darah mamalia umumnya berkisar antara 7 sampai 8% dari berat badan. Bahan antar sel atau plasma darah, berkisara antara 45 sampai 65% dari seluruh isi darah, sedangkan sisanya 35 sampai 55% diisi sel darah. Sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan kepingan darah (trombosit) Jumlah total sel darah merah yang dinyatakan dalam 1mm3 darah merefleksikan perbedaan ukurannya. Perbedaan bangsa, kondisi, aktivitas fisik, dan umur dapat memberikan perbedaaan dalam jumlah eritrosit (Hartono, 1995). Hartadi et al (2004) menyatakan bahwa darah tersusun dari plasma darah sebanyak 45%, sel darah putih sebanyak 0,2% dan sel darah merah sebanyak 54%. Sel darah merah normal kelihatan bundar dengan diameter 7,5 μm dengan ketebalan tepi 2 μm. Dari samping eritrosit kelihatan berbentuk seperti cakram dengan kedua permukaannya cekung (biconcav disk). Kelainan eritrosit biasanya dinyatakan dengan perubahan ukuran, bentuk, dan warnanya atau derajat hemoglobinnya.
Sel darah merah membawa haemoglobin dalam sirkulasi. Sel darah merah berbentuk piring yang biconcave. Mamalia sel darah merah tidak bernukleus kecuali pada awal dan pada hewan - hewan tertentu. Sel darah merah pada unggas mempunyai nukleus dan berbentuk elips. Sel darah merah ini terdiri dari air (65%), Hb (33%) dan sisanya terdiri dari sel stroma, lemak, mineral, vitamin,dan bahan organik lainnya dan ion K (Kusumawati, 2004).
Haemoglobin merupakan zat padat dalam eritrosit yang
kolinesterase, dan enzim pada sistem glikolisis (Poedjiadi, 2006). Ali et al (2013) menyatakan bahwa sel darah merah pada hewan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti umur, jenis kelamin, penyakit, temperatur lingkungan, keadaan geografis, dan aktivitas fisik.
Tabel 10. Jumlah eritrosit darah pada hewan dan manusia Jenis species RBC
(sel/mm3x106)
Hb (g/100ml)
Diameter RBC(um) Sapi 5 -10 (7) 8 -15 (11) 4.5 – 8 Kuda 6,5 -12.5 (9.5) 11-19 (15) 5.5 -8 Domba 8 -16 (12) 8 -16 (12) 3.2 – 6 Kambing 8 -18 (13) 8 -14 (11) 2.5 -3.9
Babi 5 -8 (6.5) 10 -16 (13) -
(Ganong, 2003)
Materi dan Metode Materi
Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum sel darah merah antara lain mikroskop, pipet haemocytometer, dan kamar hitung Neubauer.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum sel darah merah adalah darah ternak ayam dan larutan hayem.
Metode
Hasil dan Pembahasan
Praktikum sel darah merah yang telah dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui jumlah sel darah merah tiap mm3 darah ternak dan mengetahui kondisi kesehatan ternak. Sel darah merah adalah salah satu komponen dari unit seluler dalam darah terbagi atas tiga bagian, yaitu trombosit, eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), trombosit (keping darah).
Berdasarkan hasil dan perhitungan yang diperoleh, jumlah sel darah merah pada kambing adalah 2.630.000/mm3. Jumlah sel darah merah tersebut menunjukkan bahwa sel darah merah pada ayam sudah mencapai kisaran normal, yaitu kisaran 2,5 juta sampai 3,2 juta sel/mm3. Widjajakusuma et al (2012) menyatakan bahwa sel darah merah (eritrosit) pada unggas berbentuk lonjong (oval) dan berinti dengan kisaran 2,5 juta sampai 3,2 juta sel/mm3. Hal ini menunjukan bahwa ternak dalam keadaan sehat, pemberian nutrisi pakan pada ayam tersebut sudah mencukupi kebutuhan ternak dan faktor lingkungan yang sangat mendukung ternak tersebut. Jumlah sel darah merah yang terdapat dalam darah ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, keadaan stress, penyakit, parasit, kerja otot, aktivitas hewan, kondisi tubuh, makanan, iklim, spesies hewan, ukuran tubuh, dan ketinggian tempat. Jumlah sel darah merah yang terdapat dalam darah ternak akan mempengaruhi kesehatan ternak. Jumlah sel darah merah jika berada diatas kisaran normal dapat mengakibatkan eritrositosis, sedangkan jika sel darah merah berada dibawah kisaran normal akan mengalami anemia (Brooker, 2005).
merah tidak memiliki nukleus. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah sel darah merah berada di bawah rata-rata normal. Bentuk eritrosit pada unggas mempunyai inti sedangkan mamalia tidak mempunyai inti. Kusumawati (2004) menyatakan bahwa pada mamalia sel darah merah tidak bernukleus kecuali pada awal dan pada hewan hewan tertentu. Yuwanta(2004) menyatakan bahwa sel darah merah ayam mempunyai inti yang mengandung hemoglobin dan pembawa pigmen darah.
Campbell et al (2011) menyatakan bahwa, sel darah merah tersusun oleh protein yaitu hemoglobin, hemoglobin ini memiliki fungsi untuk mentranspor O2 dalam tubuh, sel darah merah memiliki fungsi utama yaitu sebagai transport O2, hal ini karena dalam sel darah merah memiliki protein hemoglobin yang mengandung besi dan mentranspor O2 dalam tubuh. Bloom dan Fawcett (2002) menjelaskan bahwa, sel darah merah adalah korpuskel-korpuskel kecil yang memberi warna merah pada darah. Sel darah merah pada ternak dewasa berkembang dalam sumsum tulang sebagai sel sejati, tetapi sebelum memasuki darah, sel darah merah kehilangan nukleusnya, sehingga tidak dapat lagi mensintesis protein yang memerlukan pengarahan DNA, sedangkan pada janin pembentukan terjadi di hati, limpa, nodula, lymphatica dan thymus. Sel darah merah dikhususkan untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan, dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Sel darah merah pada mamalia tidak mempunyai inti.
Sel darah merah mengandung protein hemoglobin yang mengangkut sebagian besar oksigen dari paru-paru ke sel-sel di seluruh tubuh. Hemoglobin menempati sebagian besar ruang intrasel eritrosit. Sel darah merah diproduksi di dalam sumsum tulang yang berespon terhadap faktor pertumbuhan hemopoietik, terutama eritropoietin dan memerlukan zat besi, asam folat, serta vitamin B12 untuk melakukan sintesis. Saat sel darah merah hampir matang, sel akan dilepaskan keluar dari sumsum dan mencapai fase matang di dalam aliran darah dengan masa hidup sekitar 120 hari. Sel ini, selanjutnya akan mengalami disintegrasi dan mati (dalam sampai darah), persentase darah yang diambil adalah sel darah merah yang disebut hematokrit, yang biasanya memiliki perkiraan rentang dari 36% sampai 52% tergantung usia dan jenis kelamin. Konsentrasi hemoglobin dalam sampel darah (gram per 100 mL) biasanya kira-kira satu per tiga hematokrit (Corwin, 2009).
Sel darah merah terdiri atas haemoglobin dan Fe komplek. Handayani dan Hariwibowo (2008) menyatakan bahwa eritrosit terdiri atas membran eritrosit, enzim G6PD (Glucose 6-phosphatedehydrogenase) dan sekitar 300 molekul haemoglobin. Sel darah merah berfungsi mengangkut serta mengedarkan oksigen dan karbondioksida. Hemoglobin pada eritrosit berfungsi mengikat oksigen dan menyerap karbondioksida serta mengalami pertukaran dan dilepaskan di paru-paru.
dan pelepasan sel darah merah yang matang dari sumsum tulang ke darah tepi sehingga sumsum tulang belakang dapat merespon dengan cepat kebutuhan tubuh. Zat-zat yang berpengaruh dalam mekanisme regulasi yaitu sitokinin, hormon hemapoietik spesifik meliputi eritropoietin, hormon non spesifik meliputi androgen, estrogen, tiroksin, dan growth hormone, dan faktor pertumbuhan hematopoiesis meliputi thrombopoitein, stem cell factor, dan lain-lain (Wiwik, 2008). Berikut gambar mekanisme hematopoiesis.
(Handayani dan Hariwibowo, 2008) Gambar 5. Mekanisme Hematopoiesis
disebabkan karena dehidrasi,sedangkan sel darah merahnya berada di bawah rata-rata, maka dapat mengalami anemia. Corwin (2009) menyatakan bahwa, anemia dapat juga disebabkan karena luka, rusaknya eritrosit, dan polusi udara. Jumlah sel darah merah berada pada rata-rata, maka baru dikatakan, ternak tersebut berada dalam kesehatan yang stabil. Kelebihan ataupun kekurangan sel darah merah berakibat buruk bagi kesehatan ternak, sehingga ternak harus dapat menghasilkan eritrosit yang cukup, agar kesehatan ternak dapat terkendali.
Brooker (2005), menyatakan bahwa terdapat beberapa penyakit yang menyerang sel darah merah, diantaranya adalah talasemia (gangguan pada sel darah merah untuk mengangkut oksigen), anemia (kekurangan sel darah merah), penyakit sel sabit (bentuk eritrosit seperti bulan sabit), hemolisis (penghancuran sel darah merah), dan hemoragi (kehilangan darah dari pembuluh darah).
Kesimpulan
Hasil praktikum perhitungan sel darah merah pada ayam adalah 2.630.000 sel/mm3. Hal ini menunjukan bahwa hasil perhitungan sel darah merah di bawah literatur yang ada. Faktor yang mempengaruhi sel darah merah adalah jenis kelamin, umur, ketinggian tempat dan kondisi probandus. Bentuk sel darah pada mamalia berbentuk biconcave sedangkan pada unggas berbentuk elips.
Daftar Pustaka
Ali, A. S., Ismoyowati, dan Diana I. 2013. Jumlah Eritrosit, Kandungan Hemoglobin, dan Hematokrit pada Berbagai Jenis Itik Lokal terhadap Penambahan Probiotik dalam Ransum. Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (3): 1001-1013.
Bloom and Fawcett, D. W. 2002. Buku Ajar Histologi Edisi 12. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Campbell, N.A., J.B Reece, L.A. Urry, M.L. Cain, S.A. Wasserman, P.V. Minorsky, R.B. Jackson. 2011. Biology. Pearson Education Inc. San Francisco.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Ganong,WP.2003. Review of Medical Physiology . Long Medical Publishing Los Atos. California.
Handayani, W., Hariwibowo, A.S. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Hematologi. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.
Hartadi, D., Sumardi., dan Rizal I.R. 2004. Simulasi Penghitungan Jumlah Sel Darah Merah. Vol. 8, No. 2.
Hartono, R. 1995. Buku Teks Histologi Veteriner. Universitas Indonesia Press.Jakarta.
Kusumawati,Diah. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba.Yogyakarta: Gadjah. Mada University Press
Poedjiadi, Anna. 2006. Dasar - dasar Biokimia. Indonesia University Press. Jakarta
Sloane, G. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Kedokteran EGC. Jakarta.
Hall, John E.,Tanzil, Antonia, dan Widjajakusuma, M. Djauhari. 2012. Guyton dan Hall buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara.
Wiwik, S. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Salemba Medika. Jakarta.
Lampiran
Setelah sampel darah ayam diamati melalui mikroskop, terlihat sel darah pada setiap bilik, hasil dan pengamatan tersebut adalah sebagai berikut :
Bilik kiri atas : 71 Bilik kanan atas : 50 Bilik Kanan bawah : 39 Bilik kiri bawah : 61 Bilik tengah : 42 Jumlah : 263 Jumlah SDM / mm3 adalah : = x .
1 , 0 200 . 80 400
= 263 . .2000 80 400
= 2.630.000 sel/mm3 Keterangan :
X = Jumlah SDM pada kelima bilik 400 = Jumlah seluruh bilik kecil
80 = Jumlah bilik kecil dari kelima bilik 200 = pengenceran.
BAB VI
ACARA SISTEMA DIGESTI
Tinjauan Pustaka
Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan dan organ-organ aksesoris. Saluran pencernaan yaitu tuba muskular panjang yang merentang dari mulut sampai anus. Organ-organ aksesoris contohnya gigi, lidah, kelenjar saliva, hati, kantong empedu, dan pankreas. Rongga oral adalah jalan masuk menuju sistem pencernaan dan berisi organ aksesori yang berfungsi dalam proses awal pencernaan. Rongga oral didalamnya terdapat gigi, lidah, bibir, dan pipi. Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan rongga oral dengan lambung. Lambung merupakan organ yang berfungsi untuk menyimpan makanan, tempat terjadinya pencernaan kimia dan biologis. Berdasarkan jumlah ruang lambung hewan dibedakan menjadi monogastrik dan poligastrik (Sloane, 1995).
Saluran pencernaan monogastrik merupakan saluran yang hanya mempunyai satu lambung. Saluran pencernaan monogastrik terdiri dari mulut, oesophagus, lambung, small intestinum, coecum , intestinum crassum, rektum, dan anus. Saluran pencernaan poligastrik merupakan sistem pencernaan yang memiliki 4 lambung terdiri dari rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Saluran pencernaan poligastrik terdiri dari mulut, oesophagus, rumen, retikulum, omasum, abomasum, small intestinum, intestinum crassum, coecum, rektum, anus (Kartadisastra, 1997).
Sistem pencernaan unggas terdiri dari mulut, oesophagus, crop (tembolok), proventrikulus, gizzard (empedal), duodenum, jejunum, ileum, sekum (usus buntu), rektum, dan kloaka.Unggas mempunyai organ pencernaan tambahan yaitu hati, getah empedu, pankreas. Proses pencernaan unggas khususnya ayam mempunyai alat pencernaan yang khas yaitu adanya gizzard yang didalamnya terdapat grid (kerikil atau pasir halus) yang membantu proses pencernaan secara mekanik (Yuwanta, 2004).
Sistem pencernaan adalah suatu saluran yang dimulai dari mulut sampai pelepasan. Proses yang terjadi pada pencernaan adalah pemecahan makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana agar dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Sumardjo (2006) menyatakan bahwa, sistem digesti merupakan organisasi organ yang berfungsi untuk mencerna makanan, hubungan kerja ini meliputi mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, dan usus besar.
Frandson et al. (2009) menyatakan bahwa, mulut merupakan tempat dimana makanan ditampung, dipecah, dan mengkombinasikan makanan dengan saliva serta sebagai alat baik untuk menyerang atau bertahan. Secara mayoritas dalam mulut terjadi proses pencernaan makanan secara mekanik oleh gigi. Proses pencernaan enzimatik terjadi dalam organ pencernaan lainnya, contohnya dalam lambung manusia oleh enzim pepsin.
Sistem pencernaan pada unggas sangat sederhana dan merupakan hewan monogastrik (berlambung tunggal). Sistem pencernan unggas terbagi menjadi dua bagian, yaitu saluran cerna utama yang terdiri atas mulut (paruh), esofagus, tembolok (ingluvies), proventrikulus, ventrikulus, usus halus, sekum, usus besar, dan kloaka serta kelenjar pelengkap (asesoris) yaitu hati dan pancreas. Fungsi utama tembolok adalah untuk menerima dan menyimpan makanan sementara sebelum masuk ke proventrikulus, terutama pada saat memakan makanan dalam jumlah yang banyak (Zainuddin, 2015).
Materi dan Metode Materi
Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum sistem digesti adalah pita ukur.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum sistem digesti adalah organ-organ sistem pencernaan kambing dan ayam lengkap.
Metode
Sistem pencernaan pada kambing dan ayam diamati. Setiap organ mulai dari mulut hingga anus diukur dengan menggunakan pita ukur. Bagian yang diukur adalah panjang dan lebar setiap organ. Hasil pengukuran ditulis pada lembar kerja yang telah disediakan.
Hasil dan Pembahasan Sistem Digesti Ruminansia
ruang lambung yang sederhana. Hewan ruminansia adalah hewan yang memiliki lambung kompleks yang terdiri dari 4 ruang.
(Muhammad, 2015) Gambar 6. Sistem pencernaan ruminansia
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil pengukuran saluran pencernaan ruminansia yang dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Sistem pencernaan pada ruminansia (kambing)
Organ Pencernaan Ukuran
Panjang (cm) Lebar (cm)
Oesophagus 34 1
Lambung - -
Rumen 27 12
Retikulum 7 10
Omasum 4 6
Abomasum 10 1,5
Small Intestinum 1472 0,5
Coecum 75 2
Large Intestinum 286 1
Rektum 3 2
Anus - -
pencernaan, dan memudahkan penelanan. Yuwanta (2000) menjelaskan bahwa tedapat tiga pasang kelenjar saliva yang ada didalam mulut yakni kelenjar submaksilaris dan kelenjar submandibularis kelenjar sublingualis dan kelenjar parotis. Saliva berfungsi membantu dalam penelan yan memiliki pH 8,4-8,5 dan memiliki nutrien mikroba (70% urea).
Oesophagus. Berdasarkan hasil pengukuran panjang oesophagus yaitu 34 cm dan lebarnya 1 cm. Girisenta (1998) menyatakan bahwa oesophagus panjangnya sekitar 40 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil pengukuran berada diatas kisaran normal. Swenson (1997) faktor yang mempengaruhi panjang oesophagus yaitu umur, jenis ternak, dan pakan ternak. Saluran esophagus merupakan saluran pencernaan setelah mulut yang berfungsi sebagai tempat lewatnya makanan dari mulut ke stomach yang didalamnya terdapat membran mukosa.
Rumen. Hasil pengukuran panjang rumen 27 cm dan lebar 12 cm. Girisenta (1998) menyatakan bahwa panjang rumen normal adalah 43 cm dan lebarnya 48 cm. Berdasarkan literatur tersebut panjang dan lebar rumen berada dibawah kisaran normal. Swenson (1997) faktor yang mempengaruhi panjang rumen yaitu umur, jenis ternak, dan pakan ternak. Rumen merupakan kantong fermentasi yang didalamnya terdapat mikroorganisme yang berfungsi memecah selulosa, hemiselulosa dan lignin menjadi volatyl fatty acid (VFA). Tillman (1998) menyatakan bahwa fungsi dari organisme rumen adalah sebagai sumber energi, sumber asam amino dan sintesis vitamin B.
lebah yang didalamnya terdapat membran mukosa. Fermentasi terjadi di dalam retikulum karena retikulum mempunyai mikroorganisme.
Omasum. Berdasarkan hasil pengukuran panjang omasum 4 dan lebarnya 6 cm. Swenson (1997) menjelaskan bahwa omasum memiliki panjang 31 cm dan lebar 21 cm. Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Girisenta (1998) faktor yang mempengaruhi panjang omasum yaitu umur, jenis ternak, dan pakan ternak. Omasum adalah bagian saluran pencernaan yang berisi lamina-lamina yang dikelilingi oleh membrana mukosa dan papila pendek dan tumpul yang mengelilingi hijauan atau serat sebelum masuk abomasum. Swenson (1997) menjelaskan bahwa Omasum pada ruminansia berperan sebagi penggiling makanan menjadi bolus.
Abomasum. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan panjang abomasum 10 dan lebarnya 1,5 cm. Swenson (1997) menjelaskan bahwa kisaran normal panjang dan lebar omasum kambing yaitu 10 cm sampai 12,5 cm dan lebarnya 7 cm. Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Girisenta (1998) faktor yang mempengaruhi panjang dan lebar abomasum yaitu jenis kelamin, umur, pakan, dan kesehatan ternak. Swenson (1997) menjelaskan bahwa abamasum merupakan tempat untuk memecah perotein untuk masuk ke usus halus.
Small Intestinum. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan panjang small intestinum yaitu 1472 cm dan lebarnya 0.5 cm. Girisenta (1998) menjelaskan bahwa panjang small intestinum bisa mencapai 4 meter dan lebar 0,7 cm.Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Swenson (1997) faktor yang mempengaruhi panjang dan lebar small intestinum yaitu jenis kelamin, umur, pakan, dan kesehatan ternak. Girisenta (1998) menjelaskan bahwa small intestinum berfunsi mengabsorpsi protein yang ada pada makanan dan juga menghasilkan enzim.
large intestinumyaitu 250 sampai 300 cm dan lebar 1 cm sampai 2,5 cm. Hasil pengukuran sesuai dengan literatur. Tillman (1998) menjelaskan bahwa Large intestinum hewan rumansia berfungsi dalam penyerapan air dan vitamin tertentu yang beberapa diantaranya disekresikan oleh bakteri yang ada di colon. Swenson (1997) faktor yang mempengaruhi panjang large intestinum yaitu umur, jenis ternak, dan pakan ternak.
Rektum. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan panjang rektum yaitu 3 cm dengan lebar 2 cm. Pound (1995) menyatakan bahwa rektum pada ruminansia mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Swenson (1997) faktor yang mempengaruhi panjang dan lebar rektum yaitu jenis kelamin, umur, pakan. Pound (1995) menyatakan bahwa Rektum merupakan ujung dari saluran pencernaan yang paling ujung sebelum anus. Rektum berfungsi sebagai tempat penampungan kotoran dan feses.
Anus. Anus merupakan tempat keluarnya kotoran atau merupakan tempa akhir makanan dari mulut. Pound (1995) menyatakan bahwa anus adalah tempat pembukaan (berupa lubang) yang merupakan bagian akhir rektum, fungsi dari anus ini adalah sebagai tempat keluarnya feses (kotora) ke lingkungan luar tubuh.
Kelenjar tambahan pada ruminansia
Kelenjar tambahan pada ruminansia yaitu saliva glands (kelenjar ludah), pankras, dan hati. Swenson (1997) menjelaskan bahwa Disamping kelenjar-kelenjar kecil yang tersebar di seluruh rongga mulut, terdapat 3 pasang kelenjar saliva yang besar; kelenjar parotis, submandibularis (submaxilaris), dan sublingualis.
Pankreas. Pankreas adalah menghasilkan enzim-enzim pencernaan yang bekerja dalam usus halus dan mengeksresi hormone insulin dan glukagon ke dalam aliran darah (Pound, 1995).
Hati. Hati menghasilkan empedu suatu cairan penting dalam pencernaan lemak memegang peranan penting pada metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein menginaktifkan dan memetabolisme banyak zat-zat tostik (Tillman,1998).
Sistem Digesti Unggas
Yuwanta (2000) mengatakan bahwa sistem digesti unggas terdiri dari mulut, oesophagus, crop, proventrikulus, gizzard, small intestinum, large intestinum, kolon, coecum,rektum dan cloaca. Fungsi saluran pencernaan hewan nonruminansia hampir sama dengan hewan ruminansia. Pencernaan kimia dan mekanikterjadipada mulut.Pencernaan kimia dibantu oleh enzim amilase sedangkan pencernaan mekanik terjadi pada proses penghancuran makanan oleh gigi. Makanan yang sudah menjadi mikronutrien kemudian diabsorsi oleh usus halus dan usus besar.
(Say, 1987cit. Yuwanta, 2000) Gambar 7. Sistem pencernaan ayam
Tabel 12. Sistem pencernaan pada unggas
Mulut. Rongga mulut adalah pintu gerbang proses pencernaan ternak unggas, Pakan dimasukkan kedalam rongga mulut menggunakan paruh (beak). Yuwanta (2000) menjelaskan bahwa di dalam rongga mulut terjadi proses mekanik dan enzimatik, namun pada unggas tidak memiliki gigi sehingga tidak terjadi pencernaan secara mekanik sehingga pakan dal rongga mulut unggas relatif singkat. di dalam rongga mulut tidak banyak terjadi proses pencernaan, meskipun unggas sudah berusaha memecah makanannya dengan paruh. Pelunakan dibantu saliva yang dihasilkan oleh kelenjar di mulut, esophagus, dan tembolok. Makanan yang dipecah didalam mulut dibasahi oleh saliva.
Tembolok. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan panjang tembolok adalah 6,2 cm dan lebar 4,9 cm. Yuwanta (2000) mengatakan bahwa kisaran normal panjang oesophagusyaitu antara 7 cm sampai 10. Hal ini berarti dibawah normal dan tidak sesai dengan literatur. Yuwanta (2000) faktor yang mempengaruhi panjang dan lebar oesophagus yaitu jenis kelamin, umur, pakan, dan kesehatan ternak. Swenson (1997) menjelaskan bahwa Tembolok (crop) merupakan tempat menampung makanan sementara pada unggas, Tembolok berfungsi menampung sementara dan melunakkan makanan yang masuk
Proventrikulus. Berdasarkan hasil praktikum panjang proventrikulus adalah 4 cm dan lebar 2,5 cm. Swenson (1997) menyatakan bahwa proventrikulus mempunyai ukuran normal dengan panjang 7 cm. Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Yuwanta (2000) faktor yang mempengaruhi panjang dan lebar proventikulus yaitu jenis kelamin, umur, pakan, dan kesehatan ternak. Swenson (1997) menyatakan bahwa Proventrikulus mengsekresikan pepsinogen dan HCl untuk mencerna protein dan lemak. Grit di dalam gizzard mampu meningkatkan kecernaan biji-bijian sampai 10%.
Gizzard. Berdasarkan hasil praktikum panjang gizzard adalah 6,5 cm dan lebar 5,5 cm. Yuwanta (2000) menjelaskan bahwa panjang normal gizzard 5 cm sampai 7,5 cm dan berat gizzard adalah 30 gram. Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Yuwanta (2000) faktor yang mempengaruhi panjang dan lebar proventikulusyaitu jenis kelamin, umur, pakan, dan kesehatan ternak. Yuwanta (2000) menjelaskan bahwa fungsi utama gizzard adalah memecah pakan dan mencampurkan dengan air menjadi pasta yang dinamakan Chyme.
kesehatan ternak. Small intestinum dibagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejunum dan illeum. Yuwanta (2000) menjelaskan bahwa pencernaan protein di usus halus dilakukan oleh enzim-enzim yang menghidrolisis protein menjadi peptida sederhana, dengan produk akhir asam-asam amino. Serat kasar dicerna secara fermentasi mikrobiologis pada bagian akhir saluran pencernaan (sekum, rektum, kolon), small intestinum berfungsi sebagai tempat absorpsi nutrien yang terjadi dalam jejenum dan ileum
Coecum. Coecum ayam terdiri dari 2 pasang. Berdasarkan hasil pratikum panjang coecum kiri 16 dan panjang coecum kanan 16. Lebar coecum kanan dan kiri 0,4 cm. Yuwanta (2000) menyatakan bahwa panjang coecum 20 cm. Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Yuwanta (2000) faktor yang mempengaruhi panjang dan lebar coecum yaitu jenis kelamin, umur, pakan, dan kesehatan ternak. Yuwanta (2000) menjelaskan bahwa coecum memiliki ukuran yang relatif panjang yang berisi mikroflora yang membantu proses pencernaan serat. Coecum juga berfungsi menabsorpsi air.
Large Intestinum. Berdasarkan hasil praktikum panjang large Intestinum adalah 5 cm dan lebar 1,3 cm. Yuwanta (2000) menyatakan bahwa large Intestinum mempunyai panjang 7 cm. Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Yuwanta (2000) faktor yang mempengaruhi panjang dan lebar large intestinum yaitu jenis kelamin, umur, pakan, dan kesehatan ternak. Large Instestinum berfungsi mengabsorpsi air dari sisa-sisa makanan.
Rektum. Rektum merupakan tempat yang memiliki pintu ke arah kloaka. Yuwanta (2000) menyatakan bahwa rektum merupakan tempat absorsi air dari sisa-sisa makanan, rektum dapat berkontraksi sehingga menimbulkan terjadinya defekasi yaitu pengeluaran zat sisa makan melalui anus atau kloaka