PENETAPAN KADAR IBUPROFEN DAN PARASETAMOL DALAM
TABLET NEO RHEUMACYL® MENGGUNAKAN METODE KLT
DENSITOMETRI
SKRIPSI
Oleh:
Florentina Sunaryo
NIM : 08 8114 023
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2011
TABLET NEO RHEUMACYL® MENGGUNAKAN METODE KLT DENSITOMETRI
SKRIPSI
Oleh:
Florentina Sunaryo
NIM : 08 8114 023
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Life is just like farming, You always reap what you sow
Masalah itu sulit,
mengenal masalah lebih sulit,
tetapi menemukan masalah jauh lebih sulit
(Albert Einstein)
Kupersembahkan karyaku ini untuk: Bapak Sunaryo dan Ibu Tina, Mas Eka,
dan almamaterku.
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Apabila di kemudian hari diberlakutentukan indikasi plagiarism dalam
naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Yogyakarta, 31 September 2011
Penulis
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Florentina Sunaryo Nomor mahasiswa : 088114023
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PENETAPAN KADAR IBUPROFEN DAN PARASETAMOL DALAM
TABLET NEO RHEUMACYL® MENGGUNAKAN METODE
KLT-DENSITOMETRI
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama saya tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 30 September 2011 Yang menyatakan
(Florentina Sunaryo)
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
perlindungan dan berkat yang telah diberikan sehingga skripsi berjudul
“Penetapan Kadar Ibuprofen Dan Parasetamol dalam Tablet Neo Rheumacyl®
Menggunakan Metode KLT Densitometri” yang disusun untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi
(S.Farm.) dapat dikerjakan dengan baik dan lancar.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
berbagai pihak. Kesempatan ini penulis pergunakan untuk mengungkapkan rasa
terima kasih kepada:
1. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku dekan Universitas Sanata Dharma
yang telah mengijinkan penulis menjalankan pembelajaran selama masa studi.
2. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah mendampingi dan memberikan saran selama pembuatan tugas akhir ini.
3. Ibu dr. Fenty M. Kes. Sp. PK.. selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis
selama masa studi di Universitas Sanata Dharma.
4. Bapak Jeffry Julianus, M.Si., selaku dosen penguji yang bersedia
memberikan waktu untuk diskusi serta kritik dan saran selama penyusunan
skripsi.
5. Ibu Dra. M. M. Yetty Tjandrawati, M. Si., selaku dosen penguji yang telah
viii
6. Mas Bimo, Mas Parlan, dan Mas Kunto selaku staff laboratorium Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu penulis dalam
pengerjaan penelitian di laboratorium.
7. Segenap dosen dan karyawan atas ilmu yang diberikan.
8. Susi sebagai sahabat dan rekan kerja yang telah menyediakan waktu untuk
memberikan saran dan kritik baik dalam hal penyusunan tugas akhir maupun
hal-hal lainnya serta bekerja bersama di laboratorium.
9. Susan sebagai rekan kerja dan sahabat yang telah menyediakan waktu untuk
berdiskusi maupun bekerja bersama di laboratorium.
10. Lele, Sari, Cure dan Dina sebagai rekan sesama penetapan kadar yang
bersedia selalu berdiskusi.
11. Felice, Sasa, Novi, Citra, Amel, Ayesa, Wiwik dan Tere serta seluruh teman
di bawah bimbingan Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt. yang telah berjuang
bersama penulis dalam menjalankan penelitian di laboratorium Kimia
Analisis Instrumen.
12. Sahabat sekaligus pacar, Adhi Krisnawan yang selalu mendukung penulis
dalam pembuatan tugas akhir ini, terutama di saat penulis sedang kehilangan
semangat.
13. Teman-teman FST 2008 yang selalu menyemangati penulis dalam pembuatan
tugas akhir ini.
14. Aga, Dita, mbak Dju, Nyot, Dimbek, Ipip, Seco, Rio „Curut‟ yang selalu
menyemangati penulis dan selalu ada saat penulis sedang galau.
dukungannya.
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna dan masih
banyak kekurangan sehingga penulis berharap kritik dan saran dari semua pihak.
Akhir kata, penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak terutama di bidang ilmu Farmasi.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN PENULIS ... v
LEMBAR PERNYATAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
INTISARI ... xvii
ABSTRACT... ... xviii
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Permasalahan ... 3
2. Keaslian Penelitian... 3
3. Manfaat Penelitian ... 4
B. Tujuan Penelitian ... 5
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 6
A. Ibuprofen ... 6
B. Parasetamol ... 8
D. Neo Rheumacyl® ... 12
E. Kromatografi Lapis Tipis Densitometri ... 13
1. Kromatografi Lapis Tipis ... 13
2. Fase Diam KLT... 14
3. Fase Gerak KLT ... 15
4. Penotolan sampel ... 16
5. Pengembangan ... 16
6. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif ... 17
7. Densitometri ... 18
F. Landasan Teori ... 19
G. Hipotesis ... 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21
B. Variabel ... 21
1. Variabel bebas ... 21
2. Variabel terkendali ... 21
3. Variabel pengacau terkendali ... 21
C. Definisi Operasional ... 21
D. Bahan Penelitian ... 22
E. Alat Penelitian ... 22
F. Tata Cara Penelitian ... 22
xii
2. Uji keseragaman bobot ... 22
3. Pembuatan fase gerak ... 23
4. Pembuatan larutan baku ibuprofen ... 23
5. Pembuatan larutan baku parasetamol ... 24
6. Penentuan panjang gelombang pengamatan ibuprofen dan para- Setamol ... 24
7. Pembuatan kurva baku ... 24
8. Preparasi sampel ... 25
9. Penetapan kadar ibuprofen dan parasetamol dalam sampel ... 25
G. Analisis hasil ... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27
A. Pengambilan Sampel ... 27
B. Pembuatan Fase Gerak ... 29
C. Pembuatan Larutan Baku ... 30
D. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan Parasetamol dan Ibu- Profen ... 30
E. Pembuatan Kurva Baku Parasetamol dan Ibuprofen ... 32
F. Penetapan Kadar Ibuprofen dan Parasetamol dalam Sampel... 35
1. Analisis Kualitatif ... 35
2. Analisis Kuantitatif ... 39
BAB V KESIMPULAN ... 45
Kesimpulan ... 45
Saran ... 45
LAMPIRAN ... 49
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Persyaratan keseragaman bobot tablet ... 10
Tabel II. Tata nama lempeng KLT ... 15
Tabel III. Kriteria KV yang dapat diterima ... 18
Tabel IV. Keseragaman bobot tablet ... 28
Tabel V. Konsentrasi parasetamol vs AUC ... 33
Tabel VI. Konsentrasi ibuprofen vs AUC ... 34
Tabel VII. Data Rf baku parasetamol, ibuprofen dan sampel ... 36
Tabel VIII. Hasil penetapan kadar parasetamol dan ibuprofen dalam Sampel ... 40
Tabel IX. Data distribusi normal pada analisis statistik antar ka- dar parasetamol pada batch 1, 2, 3, 4, dan 5 ... 42
Tabel X. Data Test of Homogenity of Variance pada analisis statistik antar batch kadar parasetamol ... 42
Tabel XI. Data distribusi normal pada analisis statistik antar kadar ibuprofen pada batch 1, 2, 3, 4, dan 5 ... 43
Tabel XII. Data Test of Homogenity of Variance pada analisis statis- tik antar batch kadar ibuprofen... 44
Gambar 1. Struktur ibuprofen ... 6
Gambar 2. Struktur parasetamol ... 8
Gambar 3. Tablet Neo Rheumacyl® ... 12
Gambar 4. Struktur silika gel ... 14
Gambar 5. Interaksi hidrogen antara gugus silanol dengan air membentuk lapisan air multilayer ... 15
Gambar 6. Instrumentasi densitometer ... 19
Gambar 7. Profil spektra baku analit ... 31
Gambar 8. Kurva hubungan konsentrasi parasetamol dengan AUC ... 33
Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi ibuprofen dengan AUC ... 34
Gambar 10. Kromatogram baku ibuprofen, parasetamol dan sampel ... 35
Gambar 11. Interaksi antara fase diam dan analit dengan ikatan Hidrogen ... 37
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Setifikat analisis parasetamol ... 50
Lampiran 2. Setifikat analisis ibuprofen ... 51
Lampiran 3. Data penimbangan baku ... 52
Lampiran 4. Spektra panjang gelombang pengamatan ... 54
Lampiran 5. Persamaan dan kurva baku parasetamol ... 54
Lampiran 6. Persamaan dan kurva baku ibuprofen ... 56
Lampiran 7. Penimbangan bobot tablet ... 59
Lampiran 8. AUC dan kadar parasetamol dan ibuprofen dalam Sampel ... 60
Lampiran 9. Perhitungan kadar ibuprofen dan parasetamol dalam Sampel ... 61
Lampiran 10. Kromatogram sampel ... 62
Lampiran 11. Uji statistik normalitas dan Anova data parasetamol ... 71
Lampiran 12. Uji statistik normalitas dan Anova data ibuprofen ... 71
Saat ini banyak beredar obat analgesik antipiretik dengan bahan aktif yang merupakan kombinasi dari beberapa zat aktif. Salah satu kombinasi yang ada adalah ibuprofen dan parasetamol. Perlu dilakukan analisis untuk mengetahui jumlah parasetamol dan ibuprofen dalam sampel dan kesesuaian dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia edisi IV yakni tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera di etiket. Salah satu merek dagang yang menggunakan kombinasi tersebut adalah tablet Neo Rheumacyl® yang mengandung 200 mg ibuprofen dan 350 mg parasetamol.
Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimental deskriptif, menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis densitometri dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak heksan:etil asetat:asam asetat glasial (4,4:6,4:0,55)
pada panjang gelombang 222 nm.
Jumlah parasetamol dan ibuprofen dalam sampel adalah 337,68-367,12 mg parasetamol/tablet dan 184,51-224,00 mg ibuprofen/tablet. Hasil yang diperoleh memenuhi persyaratan tablet 90-110% dari yang tertera dalam etiket yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia edisi IV.
xviii
ABSTRACT
Today there are many outstanding antipyretic analgesic drug with the active ingredient which is a combination of several active substances. One of combination that can found is ibuprofen and paracetamol. It is necessary to analysed to determine the amount of paracetamol and ibuprofen in the sample and in accordance with the requirements established by the FI IV that is no less than 90,0% and no more than 110,0% of the amount listed on the label. One of the trademarks that use combinations of these is Neo Rheumacyl® tablets containing 200 mg of ibuprofen and 350 mg of paracetamol.
This study is a non experimental descriptive research, using the method of Thin Layer Chromatography densitometry with GF254 silica gel as the
stationery phase and mobile phase hexane : ethyl acetate : glacial acetic acid (4,4:6,4:0,55) at wavelength of 222 nm.
The amount of paracetamol and ibuprofen in the sample is at a range of 337,68-367,12 mg paracetamol/tablet and 184,51-224,00 mg ibuprofen/tablet. The result obtained meet the requirements set by FI IV, which is that the amount of paracetamol and ibuprofen is at a range of 90-110% from the quatity mentioned on the label.
Keyword: TLC densitometry, ibuprofen, paracetamol, tablet.
PENGANTAR
A.Latar Belakang
Seiring berkembangnya jaman, semakin banyak industri yang
berlomba-lomba memproduksi obat-obatan untuk mengobati penyakit yang kerap terjadi
dalam masyarakat, seperti nyeri. Nyeri ini dapat berupa nyeri akibat sakit kepala,
nyeri haid, nyeri otot ataupun nyeri akibat sakit gigi. Nyeri merupakan suatu
gejala di mana tubuh mengalami peradangan, infeksi ataupun kejang otot
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan, 2006). Rasa sakit yang ditimbulkan oleh
nyeri bersifat subjektif tetapi pada dasarnya disebabkan karena tubuh merasakan
adanya perubahan dengan salah satu bagian tubuh. Pertolongan pertama yang
sering dilakukan adalah dengan pengobatan mandiri menggunakan obat-obatan
yang dijual bebas di pasaran. Banyaknya varian komposisi membuat masyarakat
harus lebih teliti dan selektif dalam pemilihan obat yang akan digunakan. Para
produsen mengkombinasi dua zat aktif atau lebih dimaksudkan untuk
meningkatkan efek terapi. Salah satu kombinasi yang ada dalam obat nyeri adalah
ibuprofen dan parasetamol.
Ibuprofen tergolong dalam kelompok obat antiperadangan non-steroid
yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit akibat artritis. Ibuprofen juga
tergolong dalam kelompok analgesik dan antipiretik (Zulkifli, 2009). Ibuprofen
tidak larut dalam air, sangat mudah larut dengan etanol, metanol, aseton dan kloro
2
Makanan RI, 1995).
Parasetamol atau asetaminofen merupakan antipiretik dan analgesik yang
digunakan untuk melegakan sakit kepala dan demam. Merupakan obat yang aman
jika dikonsumsi sesuai dengan dosis yang dianjurkan dalam etiket tetapi overdosis
baik disengaja maupun tidak disengaja sering terjadi karena mudah didapat
(Zulkifli, 2009). Parasetamol mudah larut dalam etanol, larut dalam air mendidih
dan NaOH 1 N (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995).
Tablet Neo Rheumacyl® merupakan salah satu sediaan yang mengandung
kombinasi parasetamol dan ibuprofen.Neo Rheumacyl® adalah obat pereda nyeri
dengan bentuk sediaan tablet dengan komposisi ibuprofen 200 mg dan
parasetamol 350 mg.
Salah satu syarat penjaminan mutu adalah kadar yang terkandung harus
memenuhi persyaratan kadar yang tercantum dalam Farmakope Indonesia atau
buku resmi lainnya. Syarat yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia edisi IV
untuk sediaan tablet yang mengandung ibuprofen parasetamol adalah
mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari kadar yang
tertera pada etiket. Perlu dilakukan penetapan kadar parasetamol dan ibuprofen
dalam sediaan tablet Neo Rheumacyl® untuk mengetahui jumlah ibuprofen dan
parasetamol tiap tablet dan kesesuaian dengan syarat yang ditetapkan oleh
Farmakope Indonesia edisi IV.
Metode yang digunakan untuk tujuan tersebut adalah Kromatografi Lapis
Tipis densitometri. Metode KLT densitometri dapat digunakan untuk analisis
kualitatif dan kuantitatif secara bersamaan. Metode KLT densitometri dapat
digunakan untuk menganalisis senyawa tunggal maupun senyawa
multi-komponen serta efisien dalam hal waktu.
Penelitian ini merupakan rangkaian terakhir dari penelitian yang telah
dilakukan oleh Agnes Susianti (2011) dengan judul Optimasi Metode
KLT-Densitometri pada Penetapan Kadar Ibuprofen dan Parasetamol dalam Tablet
merek Neo Rheumacyl®. Pada penelitian tersebut pemisahan parasetamol dan
ibuprofen yang optimum diperoleh dengan menggunakan fase gerak heksan:etil
asetat:asam asetat glasial (4,4:5,6:0,55) dan fase diam silika gel GF254. Nilai
resolusi yang diperoleh sebesar 5,89; nilai 5,89 menunjukan bahwa ibuprofen dan
parasetamol dapat terpisah dengan sempurna. Metode KLT densitometri tersebut
juga telah memenuhi parameter-parameter validasi yakni selektivitas, linearitas,
akurasi, presisi, range dan akurasi pengukuran baku dalam sampel matriks
berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Sandra Ruby (2011).
1. Permasalahan
Permasalahan yang dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang tersebut
adalah berapa jumlah ibuprofen dan parasetamol dalam sediaan tablet Neo
Rheumacyl® dan apakah jumlah tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan
oleh Farmakope Indonesia edisi IV yakni tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih
dari 110,0% ?
2. Keaslian Penelitian
Berbagai penelitian mengenai ibuprofen dan parasetamol telah dilakukan,
4
Rheumacyl® menggunakan metode KLT densitometri ini belumpernah dilakukan.
Penelitian terdahulu terkait penelitian ini yaitu Determination of Ibuprofen and
Paracetamol in Binary Mixture using Chemometrics-Assited Spectrophotometric
Methods yang dilakukan oleh Hassan (2008) serta Development and Validation if
Spectrophotometric Methods for Simultaneous Estimation of Ibuprofen and
Paracetamol in Soft Gelatin capsule by Simulatenous Equation Method yang
dilakukan oleh Gondalia, Mashru dan Savaliya (2010). Penelitian tersebut
dilakukan untuk memvalidasi metode penetapan kadar ibuprofen dan parasetamol
dalam sedian kapsul lunak.
Penelitian berikutnya adalah Penetapan Kadar Campuran Parasetamol
dan Ibuprofen dalam Tablet Merek “x” dengan Metode KCKT Fase Terbalik oleh
Kumalasari A (2010) dan penelitian yang dilakukan oleh Adi S (2010) yang
berjudul Penetapan Kadar Campuran Parasetamol dan Ibuprofen dalam Tablet
Merek “x” secara Spektrofotometri UV dengan Aplikasi Metode Panjang
Gelombang Berganda yang dilakukan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Namun metode Kromatografi Lapis Tipis densitometri menggunakan
fase gerak heksan:etil asetat:asam asetat glasial (4,4:6,4:0,55) belum pernah
dilakukan untuk menetapkan kadar ibuprofen dan parasetamol dalam Tablet
merek Neo Rheumacyl.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis. Memberikan informasi tentang penetapan kadar
ibuprofen dan parasetamol dalam sediaan tablet Neo Rheumacyl® menggunakan
metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) densitometri.
b. Manfaat Praktis. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang
keberadaan dan jumlah ibuprofen dan parasetamol dalam tablet merek Neo
Rheumacyl®, sehingga didapatkan informasi bagi masyarakat mengenai
penjaminan mutu tablet yang mengandung ibuprofen dan parasetamol.
B.Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah
ibuprofen dan parasetamol dalam tablet merek Neo Rheumacyl®, mengetahui
kesesuaian kadar ibuprofen dan parasetamol dalam tablet merek Neo Rheumacyl®
memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV yakni tidak kurang dari
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A.Ibuprofen
Ibuprofen memiliki nama IUPAC (R,S)-2-(p-Isofenil) asam propionat,
memiliki bobot molekul 206,28 g/mol dengan rumus molekul C13H18O6
(Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995).
CH3
Gambar 1. Struktur ibuprofen (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI,1995)
Ibuprofen mengandung tidak kurang dari 97,0% dan tidak lebih dari
103,0% C13H18O6, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian dari ibuprofen berupa
serbuk hablur, memiliki warna putih hingga hampir putih, dan berbau khas lemah.
Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, dalam
metanol, dalam aseton dan dalam kloroform. Ibuprofen sukar larut dalam etil
asetat. Ibuprofen memiliki serapan maksimum pada λ 221 nm (Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995). Nilai log P dari ibuprofen adalah 3,6.
Nilai 𝐸11%𝑐𝑚 dalam metanol untuk ibuprofen adalah 14,5 dan memiliki pKa sebesar
4,4 (DrugLib, 2011).
Ibuprofen adalah obat yang tergolong dalam kelompok antiperadangan
non-steroid yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit akibat artritis. Ibuprofen
juga tergolong dalam kelompok analgesik dan antipiretik. Hanya ibuprofen
dengan bentuk enantiomer S saja yang digunakan sebagai penahan rasa sakit,
aktivitas analgesik bekerja dengan cara menghentikan enzim siklooksigenase yang
mengakibatkan terhambatnya sintesis prostaglandin. Prostaglandin adalah suatu
zat yang bekerja pada ujung-ujung syaraf yang sakit (Tim redaksi Vitahealth,
2008).
Penetapan kadar ibuprofen menurut Farmakope Indonesia edisi IV
ditentukan dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi menggunakan fase
gerak campuran asam kloroasetat : asetonotril : amonium hidroksida dengan laju
alir 2,0 mL per menit menggunakan detektor 254 nm dan kolom 4,6 mm x 25 cm.
Larutan baku internal yang digunakan adalah valerofenon. Nilai resolusi yang
diperoleh tidak kurang dari 2,5 dan simpangan baku relatif pada penyuntikan
ulang tidak lebih dari 2,0 %. Waktu retensi relatif baku internal dan ibuprofen
berturut-turut adalah 1,4 dan 1,0 menit (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan RI, 1995).
Tablet ibuprofen mengandung ibuprofen tidak kurang dari 90,0% dan
tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket. Penetapan kadar
ibuprofen dalam tablet dilakukan dengan menggerus tidak kurang dari 20 tablet
dan menetapkan kadar menggunakan sistem kromatografi yang tertera pada
penetapan kadar untuk ibuprofen bahan baku (Direktorat Jenderal Pengawasan
8
B.Parasetamol
Parasetamol dengan nama IUPAC asetaminofen atau 4‟
-hidroksiasetalnilida dengan bobot molekul 151,16 g/mol (Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995).
N H O
OH
Gambar 2. Struktur parasetamol (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995)
Parasetamol mengandung tidak kurang 98,0% dan tidak lebih dari
101,0% C8H9NO2, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian dari parasetamol
berupa serbuk hablur putih dan tidak berbau tetapi memiliki rasa sedikit pahit.
Parasetamol larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N dan
mudah larut dalam etanol (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI,
1995). Menurut Farmakope Indonesia III, parasetamol larut dalam 70 bagian air,
dan 7 bagian etanol (95%) P, agak sukar larut dalam kloroform dan praktis tidak
larut dalam eter. Panjang gelombang serapan maksimum parasetamol adalah 244
nm dalam akuades (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI,
1995). Nilai log P dari parasetamol adalah 0,28. Nilai 𝐸11%𝑐𝑚 dalam metanol untuk
parasetamol adalah 850 dan memiliki pKa sebesar 9,5 (DrugLib, 2011).
Khasiat dan penggunaan sebagai analgesik dan antipiretik ((Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1979). Parasetamol tidak memiliki
khasiat antiradang sehingga tidak tergolong obat jenis NSAID. Dalam dosis
normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau mengganggu
gumpalan darah, sehingga dapat digunakan sebagai analgesik pada penderita
penggumpalan darah (Zulkifli, 2009).
Penetapan kadar parasetamol menurut Farmakope Indonesia edisi IV
ditentukan dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi menggunakan fase gerak
campuran air : metanol (3:1) dengan detektor 243 nm dan kolom 3,9 mm x 30 cm
dengan laju alir 1,5 mL per menit. Efisiensi kolom tidak kurang dari 1000
lempeng teoritis, dan simpangan baku relatif pada penyuntikan berulang tidak
lebih dari 2.0% (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995).
Tablet parasetamol mengandung parasetamol tidak kurang dari 90,0%
dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket. Penetapan kadar
ibuprofen dalam tablet dilakukan dengan menggerus tidak kurang dari 20 tablet
dan menetapkan kadar dengan menggunakan sistem kromatografi yang tertera
pada penetapan kadar untuk parasetamol bahan baku (Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995).
C.Tablet
Menurut Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI (1995),
tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan
pengisi. Berdasarkan cara pembuatannya, tablet dibagi menjadi dua macam yakni
tablet cetak dan tablet kempa. Kualitas tablet dapat diperhatikan dari evaluasi sifat
fisik tablet (Aulton dan Summer, 1994) meliputi:
1. Penampilan tablet. Dalam penampilan tablet, identitas visual sangat penting
karena dapat memengaruhi penerimaan konsumen mengenai mutu suatu obat.
10
keseragaman ukuran, bentuk, permukaan, warna, ada tidaknya bau, rasa dan
cacat fisik dari tablet (Lachman, 1979).
2. Keseragaman bobot. Salah satu syarat obat adalah memiliki dosis yang sama
tiap takarannya. Oleh karena itu sediaan tablet harus memenuhi uji
keseragaman bobot untuk menggambarkan keseragaman dosis zat aktif yang
terkandung tiap tablet. Menurut Farmakope Indonesia edisi III, untuk tablet
tidak bersalut adalah menimbang 20 tablet dan dihitung bobot rata-ratanya,
kemudian tablet ditimbang satu persatu lalu dbandingkan dengan bobot
rata-rata pertablet. Tablet memenuhi syarat apabila tidak lebih dari dua tablet yang
masing-masing beratnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari
kolom A dan tidak satupun tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot
rata-ratanya lebih besar dari kolom B (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan RI, 1979).
Tabel I. Persyaratan keseragaman bobot tablet (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1979)
Bobot rata-rata Penyimpangan bobot rata-rata dalam %
A B
25 mg atau kurang
26 mg sampai dengan 150 mg 151 mg sampai dengan 300 mg lebih dari 300 mg
Tablet dapat terdiri dari beberapa bahan tambahan yang memiliki
fungsinya masing-masing. Bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam
pembuatan tablet adalah bahan pengisi, bahan pengikat, bahan penghancur, bahan
pelicin, pemberi rasa dan warna. Bahan pengisi diperlukan jika zat aktif tidak
cukup memenuhi massa tablet dan untuk memperbaiki daya kohesi sehingga dapat
memacu aliran saat proses kempa langsung. Bahan pengisi harus memenuhi
persyaratan yaitu : tidak toksik, tersedia dalam jumlah yang cukup, harganya
cukup murah, tidak terkontraindikasi dengan komponen yang lain, harus inert
secara fisiologi, stabil secara fisik dan kimia, baik dalam kombinasi dengan
berbagai obat atau komponen tablet yang lain, bebas dari mikroba, mudah
bercampur dengan warna, tidak boleh mengganggu bioavailabilitas obat. Bahan
pengisi yang biasa digunakan antara lain: sukrosa, laktosa, kalsium karbonat,
dekstrosa, manitol, sorbitol dan lain-lain (Voigt, 1995).
Bahan pengikat berfungsi untuk memberikan daya adhesi pada massa
serbuk pada saat granulasi dan kempa langsung serta menambah daya kohesi yang
telah ada pada bahan pengisi sehingga menghasilkan tablet yang kompak dan
tidak mudah pecah (Voigt, 1995). Bahan pengikat dapat ditambahkan dalam
bentuk kering dan dalam bentuk larutan. Bahan pengikat yang umum digunakan
adalah cairan amilum, gelatin, gom arab, tragakan, dan derivat selulosa (Lachman,
1976).
Bahan penghancur dimaksudkan untuk memudahkan pecah atau
hancurnya tablet dalam medium air atau cairan lambung sehingga menjadi granul
atau partikel penyusunnya dan dapat memberikan efek terapetik yang diharapkan.
Contoh bahan penghancur adalah amilum, avicel (mikrokristalin selulosa), solka
floc, CMC, HPMC (Lachman, 1976).
Bahan pelicin digunakan untuk mengurangi gesekan diantara granul dan
dinding ruang cetak selama proses pembuatan tablet (Ansel, 1995). Beberapa
bahan pelicin yang biasa digunakan antara lain talk, magnesium stearat, asam
12
Bahan pewarna berfungsi untuk menutupi warna obat yang kurang baik,
identifikasi produk dan meningkatkan estetika produk. Syarat bahan pewarna
adalah tidak mempunyai aktifitas terapetik, tidak meningkatkan bioavailabilitas
atau stabilitas produk. Beberapa contoh pewarna yang dbiasa digunakan adalah
tartrazine, fast grees, sunset yellow, indigotine (Voigt, 1995). Bahan pemberi rasa
biasanya hanya untuk tablet kunyah, hisap, bucal, sublingual, effervescent, dan
tablet lain yang dimaksudkan untuk hancur atau larut dimulut. Beberapa contoh
pemanis alami yang sering digunakan adalah mannitol, laktosa, sukrosa, dan
dekstrosa (Voigt, 1995).
D.Neo Rheumacyl®
Gambar 3. Tablet Neo Rheumacyl® (Anonim, 2011)
Neo Rheumacyl® merupakan obat bebas terbatas yang diproduksi oleh
P.T. Tempo Scan Pacific/Bode dengan bentuk sediaan tablet dengan nomor
registrasi DKL7222702410A1. Tiap tablet mengandung 200 mg ibuprofen dan
350 mg parasetamol. Neo Rheumacyl® digunakan sebagai penghilang nyeri yang
berhubungan dengan proses peradangan. Kontraindikasi pasien dengan ulkus
peptikum aktif, gagal jantung kongestif, gangguan hati & ginjal, kehamilan
(khususnya trimester pertama & terakhir) (UBM Medica, 2011).
Indeks keamanan pada wanita hamil tidak menunjukkan adanya resiko
pada janin dan tidak memperlihatkan efek merugikan (kecuali penurunan
kesuburan). Tetapi tidak ada penelitian terkendali yang mengkonfirmasi resiko
pada wanita hamil semester pertama ( dan tidak ada bukti risiko pada trisemester
selanjutnya). Neo Rheumacyl® digunakan tiga sampai empat kali sehari sebanyak
satu tablet (UBM Medica, 2011).
E.Kromatografi Lapis Tipis-Densitometri
1. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan campuran berdasarkan
perbedaan pergerakan antara fase gerak dan fase diam (Sastrohamidjojo, 2005).
Menurut Gandjar dan Rohman (2007) Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
merupakan teknik pemisahan campuran dengan menggunakan suatu plat fase
diam di mana fase diam secara seragam tersebar di atas permukaan plat tersebut
kemudian fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler
pada pengembangan menaik (ascending), atau karena gaya gravitasi pada
pengembangan secara menurun (descending).
Keuntungan KLT jika dibandingkan dengan kromatografi kolom menurut
Sastrohamidjojo (2005). adalah proses pada kromatografi kolom lebih lama,
cuplikan yang digunakan besar sedangkan pada KLT cuplikan yang digunakan
relatif kecil dan prosesnya relatif lebih cepat. Sedangkan jika dibandingkan
dengan kromatografi kertas menurut Sastrohamidjojo (2005) waktu yang
dibutuhkan relatif cepat, pemisahan lebih baik dan dapat dilakukan analisis
14
digunakan senyawa-senyawa yang lebih reaktif seperti asam dengan catatan fase
diam yang digunakan tidak bereaksi dengan senyawa tersebut.
2. Fase Diam KLT
Dua sifat yang harus diperhatikan menurut Sastrohamidjojo (2005)
adalah besar partikel dan homogenitasnya, karena besarnya interaksi tergantung
terhadap fase diam. Partikel dengan butiran yang sangat kasar tidak akan
memberikan hasil yang memuaskan, semakin kecil ukuran partikel yang
digunakan maka aliran pelarut atau pengembang akan lebih cepat. Beberapa
contoh fase diam adalah silika, alumina, bubuk selulosa, pati dan lainnya.
Fase diam yang sering digunakan adalah silika gel. Silika gel yang
digunakan diberi pengikat dengan tujuan memberikan kekuatan pada lapisan.
Biasanya telah ditambahkan oleh industri sehingga tidak perlu ditambahkan
sendiri, diberi nama dengan logo silika gel G (Sastrohamidjojo, 2005). Berikut
adalah struktur silika gel
Gambar 4. Struktur silika gel (Gandjar dan Rohman, 2007)
Sebelum digunakan silika gel perlu dipanaskan, tujuannya untuk
mengaktivasi silika atau dengan kata lain „membuka‟ silika agar dapat menyerap
dengan maksimal. Suhu yang digunakan untuk mengaktivasi lempeng silika gel
adalah 105O C, diharapkan semua air yang menutupi silika dapat menguap
sehingga silika dapat aktif kembali (Gandjar dan Rohman, 2007).
Gambar 5. Interaksi hidrogen antara gugus silanol dengan air membentuk lapisan air multilayer (Wall, 2005)
Tata nama lempeng KLT yang dijual di pasaran terdapat pada tabel di
bawa ini:
Tabel II. Tata nama lempeng KLT (Gandjar dan Rohman, 2007)
Singkatan / simbol Arti
“Sil” Produk mengandung silika gel seperti Anasil G Pengikat (lapisan halus) gipsum (CaSO4.
1 2 H2O) F atau UV Ditambahkan bahan yang berfluoresensi seperti seng silikat
teraktivasi mangan
254 dan 366 Setelah simbol F atau UV, untuk menunjukkan panjang gelombang eksitasi senyawa berfosforisensi yang ditambahkan
3. Fase Gerak KLT
Menurut Stahl (1985) fase gerak dalam KLT ialah pembawa yang terdiri
dari satu atau beberapa bahan pelarut yang bergerak dalam fase diam karena
kapilaritas. Fase gerak dapat dipilih dari pustaka tetapi biasanya dikombinasikan
kembali untuk mendapatkan fase gerak yang sesuai. Fase gerak dapat terdiri dari
satu atau lebih senyawa. Lebih mudah menggunakan dua senyawa dibandingkan
dengan senyawa tunggal karena dapat mengoptimasi kondisi sehingga pemisahan
yang dihasilkan dapat optimal.
Beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk pemilihan fase gerak:
a. Fase gerak memiliki kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan
salah satu teknik yang sensitif
16
c. Polaritas fase gerak perlu diperhatikan untuk menentukan kecepatan migrasi
solut sehingga dapat memengaruhi nilai Rf.
4. Penotolan Sampel
Pemisahan yang optimal diperoleh dengan cara menotolkan sampel
dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Jika sampel yang digunakan
terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Penotolan dapat dilakukan
dengan cara manual maupun otomatis dengan instrumen tertentu (Gandjar dan
Rohman, 2007). Misalnya Camag Linomat 5 (Wall, 2005).
Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan kromatogram
memiliki puncak ganda dan menyebabkan bercak yang menyebar. Jika volume
sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2–10 µL maka penotolkan harus
dilakukan secara bertahap dengan dilakukan secara bertahap dan dilakukan
pengeringan terlebih dahulu sebelum kemudian dicelupkan ke dalam fase gerak
(Gandjar dan Rohman, 2007).
5. Pengembangan
Plat yang telah ditotol oleh sampel kemudian dikembangkan dalam
bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi oleh fase gerak. Tinggi fase
gerak dalam bejana harus di bawah lempeng yang telah ditotol oleh sampel.
Bejana kromatografi harus tertutup dengan rapat saat sedang mengelusi sampel.
Penjenuhan bejana dilapisi dengan kertas saring. ada beberapa macam teknik
melakukan pengembangan yakni menaik (ascending) dan menurun (denscending)
melingkar dan mendatar (Gandjar dan Rohman, 2007).
6. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif
Metode KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi suatu senyawa dalam
campuran (sampel). Parameter yang digunakan adalah nilai Rf. Dua senyawa
dikatakan identik jika memiliki nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT
sama. Analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan dua cara yakni mengukur
bercak secara langsung pada lempeng dengan menggunakan ukuran luas atau
dengan menggunakan teknik densitometri. Cara yang kedua adalah dengan cara
mengerok bercak kemudian menetapkan kadar senyawa dalam sampel dengan
metode analisis lain, misalnya metode spektrofotometri. Tetapi terdapat
kelemahan pada cara kedua yakni dapat terjadi kesalahan dalam pemindaian
bercak sehingga kadar yang diukur bukan merupakan kadar sebenarnya (Gandjar
dan Rohman, 2007).
Nilai Rf adalah jarak tempuh analit dari titik awal penotolan dibagi
dengan jarak tempuh pelarut dari titik awal menuju batas pengembangan (Clark,
2007). Nilai Rf yang baik antara 0,2 – 0,8; sedangkan nilai maksimal Rf adalah 1,
saat solut bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak dan nilai
minimum Rf adalah 0 saat solut tertahan di posisi awal permukaan fase diam
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Nilai reprodusibilitas ditunjukkan dengan nilai KV. Nilai KV yang baik
menurut Harmita (2004) adalah < 2%. Tetapi kriteria ini tidak mutlak melainkan
tergantung dari kondisi analit yang diperiksa dan jumlah sampel dan kondisi
18
Tabel III. Kriteria KV yang dapat diterima (Harmita,2004) Kadar analit KV (%)
Dasar dari densitometri adalah berkas radiasi eletromagnetik dari panjang
gelombang tertentu ( biasanya UV dari 190-800 nm) yang bergerak mendeteksi
bercak analit pada fase diam, di mana fase gerak diletakkan pada suatu wadah
yang digerakan oleh motor. Kromatogram yang terbentuk sangat mirip dengan
yang diperoleh dalam HPLC, biasanya menampilkan serangkaian puncak dengan
baseline (Sastrohamidjojo, 2005).
Densitometri dapat mendeteksi lokasi puncak secara otomatis,
mengoptimasi kondisi pengukuran luas bawah kurva, scanning seluruh totolan
pada plat secara langsung, merekam spektra analit, scanning λ analit, kompensasi
baseline otomatis untuk menghilangkan sinyal palsu yang disebabkan
oleh interfensi pada plat fase diam, kalibrasi, pelaporan data, dan penyimpanan
data untuk perhitungan kembali (Sherma, 1996).
Instrumen awal yang digunakan bukan merupakan suatu kesatuan.
Semakin berkembangnya jaman, mulai digunakan teknik komputerisasi di mana
cara penggunaannya diprogram dengan komputer sehingga proses pendeteksian
bercak analit menjadi lebih mudah (Wall, 2005). Densitometer memiliki sumber
cahaya, monokromator untuk memilih λ yang cocok, serta sistem yang dapat
memfokuskan sinar pada lempeng (Gandjar dan Rohman, 2007).
Gambar 6. Instrumentasi densitometer (Wall, 2005)
Metode densitometri dapat dilakukan dengan cepat dan sederhana.
Metode ini memerlukan adsorben dan fase gerak yang murni. Agar diperoleh hasil
yang baik dipilih adsorben yang siap pakai yang telah melalui proses pra
pencucian (Gritter, 1991).
F. Landasan Teori
Tablet merek Neo Rheumacyl® mengandung 200 mg ibuprofen dan 350
mg parasetamol. Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi IV, baik tablet
parasetamol dan ibuprofen mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih
dari 110,0% dari jumlah yang tertera dalam etiket. Syarat yang ditetapkan oleh
Farmakope Indonesia IV ini didasarkan pada indeks terapi dari masing-masing
analit.
Ibuprofen dan parasetamol merupakan senyawa yang memiliki kelarutan
dalam etanol. Berbentuk serbuk dan berwarna putih. Ibuprofen memiliki bau
yang lemah, parasetamol tidak memiliki bau tetapi memiliki rasa pahit. Nilai log P
dari ibuprofen adalah 3,6 dan nilai 𝐸11%𝑐𝑚 dalam metanol adalah 14,5. Nilai log P
dari parasetamol adalah 0,28 dan nilai 𝐸11%𝑐𝑚 dalam metanol adalah 850. Ibuprofen
dan parasetamol memiliki gugus kromofor sehingga dapat dideteksi dengan
densitometer. Metode KLT densitometri dapat digunakan untuk menetapkan
20
G.Hipotesis
Tablet Neo Rheumacyl® mengandung 200 mg ibuprofen dan 350 mg
parasetamol serta kadar yang diperoleh memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Farmakope Indonesia edisi IV yakni tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari
110,0% dari jumlah yang tertera dalam etiket.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental deskriptif
karena tidak dilakukan perlakuan pada subyek uji.
B.Variabel
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah nomor batch sampel tablet
Neo Rheumacyl®.
2. Variabel tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kadar parasetamol dan
ibuprofen dalam sampel tablet Neo Rheumacyl®.
3. Variabel pengacau terkendali
Variabel pengacau terkendali pada penelitian ini adalah kejenuhan
bejana, kemurnian bahan, kualitas baku ibuprofen dan parasetamol.
C.Definisi Operasional
1. Tablet Neo Rheumacyl® yang mengandung ibuprofen dan parasetamol
masing-masing sebanyak 200 mg dan 350 mg.
2. Sistem KLT densitometri fase normal dengan fase diam silika gel dan fase
22
D.Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah baku ibuprofen
dengan nomor CoA 3308 dan parasetamol dengan nomor CoA 20104145 (PT.
Konimex), metanol p.a. EMSURE® (E. Merck), n-hexane p.a. EMSURE® (E.
Merck), etil asetat EMSURE® (E. Merck), asam asetat glasial p.a. EMSURE® (E.
Merck), lempeng KLT silika gel GF254 20x20 cm (E. Merck) dan sampel tablet
Neo Rheumacyl®.
E.Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autosampler (CAMAG
Linomat 5), densitometer (CAMAG TLC Scanner 3 CAT. No. 027.6485 SER. No.
160602), timbangan analitik (Ohaus Carat Series PAJ 1003 max 60/120 g, min
0,001 g, d=0,01/0,1 mg, e=1 mg), mikropipet (Soccorex) volume 100-1000 µL,
bejana kromatografi dan seperangkat alat gelas.
F. Tata Cara Penelitian
1. Pengambilan sampel
Sampel yang dipilih adalah tablet Neo Rheumacyl® yang berasal dari
beberapa apotek di Yogyakarta. Dalam penelitian ini digunakan lima nomor batch
sampel dan dari setiap batch diambil 100 tablet.
2. Uji Keseragaman bobot
Sebanyak 20 tablet diambil dari masing-masing batch . Masing-masing
tablet ditimbang satu persatu dan tiap 20 tablet dihitung bobot rata-ratanya. Tablet
memenuhi syarat apabila tidak lebih dari dua tablet yang masing-masing beratnya
menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari kolom A dan tidak satupun
tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari kolom
B.
Bobot rata-rata Penyimpangan bobot rata-rata dalam %
A B
25 mg atau kurang
26 mg sampai dengan 150 mg 151 mg sampai dengan 300 mg lebih dari 300 mg
3. Pembuatan fase gerak
Sebanyak 10,50 mL hexana diambil dengan menggunakan buret
kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 25,0 mL. Sebanyak 14,50 mL etil
asetat ditambahkan ke dalam labu takar tersebut selanjutnya asam asetat glasial
ditambahkan sebanyak 10 tetes sehingga diperoleh fase gerak dengan komposisi
heksana : etil asetat : asam asetat glasial (4,4:6,4:0,55) sebanyak 25,0 mL.
4. Pembuatan larutan baku ibuprofen
a. Pembuatan larutan stok ibuprofen 4000 ppm. Baku ibuprofen
ditimbang sebanyak 20,0 mg lebih kurang seksama. Baku tersebut dilarutkan
dengan sedikit metanol di dalam labu takar 5,0 mL lalu ditambahkan metanol
hingga tanda sehingga diperoleh larutan baku ibuprofen dengan konsentrasi 4000
ppm.
b. Pembuatan seri larutan baku ibuprofen kadar 400; 480; 560; 640 dan
720 ppm. Larutan stok ibuprofen 4000 ppm dipipet sebanyak 0,5; 0,6; 0,7; 0,8;
0,9 mL dan masing-masing dimasukkan ke dalam labu takar 5,0 mL. Larutan
24
5. Pembuatan larutan baku parasetamol
a. Pembuatan larutan stok parasetamol 7000 ppm. Baku parasetamol
ditimbang sebanyak 35,0 mg lebih kurang seksama. Baku tersebut dilarutkan
dengan sedikit metanol di dalam labu takar 5,0 mL lalu ditambahkan metanol
hingga tanda sehingga diperoleh larutan baku parasetamol dengan konsentrasi
7000 ppm.
b. Pembuatan seri larutan baku parasetamol kadar 700; 840; 980; 1120
dan 1260 ppm. Larutan stok parasetamol 7000 ppm dipipet sebanyak 0,5; 0,6;
0,7; 0,8; 0,9 mL dan masing-masing dimasukkan ke dalam labu takar 5,0 mL.
Larutan tersebut lalu diencerkan dengan metanol hingga tanda.
6. Penentuan panjang gelombang pengamatan ibuprofen dan parasetamol
Larutan baku ibuprofen kadar 400; 560 dan 720 ppm dan larutan baku
parasetamol kadar 700; 980 dan 1260 ppm masing-masing tiga kali replikasi
ditotolkan sebanyak 3 µL pada plat fase diam silika gel berukuran 20x20 cm.
Hasil penotolan dikembangkan dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhi
fase gerak dengan jarak pengembangan 10 cm. Lempeng hasil pengembangan
dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan. Profil spektra ibuprofen dan parasetamol
direkam pada panjang gelombang 210–255 nm. Profil spektra masing-masing zat
dibandingkan dan ditentukan panjang gelombang di mana ibuprofen dan
parasetamol secara bersamaan memiliki serapan optimum.
7. Pembuatan Kurva Baku
a. Kurva baku parasetamol. Seri larutan baku parasetamol
masing-masing ditotolkan sebanyak 3 µL pada plat fase diam silika gel berukuran 10x13
cm. Hasil penotolan dikembangkan dalam bejana kromatografi yang telah
dijenuhi fase gerak dengan jarak pengembangan 10 cm. Lempeng hasil
pengembangan dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan. Lempeng kemudian
dikeluarkan dan dikeringkan. Plat discanning pada panjang gelombang
pengamatan dari hasil yang diperoleh pada tata cara penelitian nomor 6.
b. Kurva baku ibuprofen. Seri larutan baku ibuprofen masing-masing
ditotolkan sebanyak 3 µL pada plat fase diam silika gel berukuran 10x13 cm.
Hasil penotolan dikembangkan dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhi
fase gerak dengan jarak pengembangan 10 cm. Lempeng hasil pengembangan
dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan. Lempeng kemudian dikeluarkan dan
dikeringkan. Plat discanning pada panjang gelombang pengamatan dari hasil yang
diperoleh pada tata cara penelitian nomor 6.
8. Preparasi sampel
Sebanyak 20 tablet dipilih dari masing-masing batch , kemudian 20 tablet
dari tiap-tiap batch digerus dengan mortir dan ditimbang lebih kurang seksama
dengan bobot setara 20,0 mg ibuprofen dan 35,0 mg parasetamol. Serbuk tersebut
dilarutkan dengan metanol secukupnya dalam labu takar 5,0 mL, lalu disaring
menggunakan kertas saring. Larutan hasil penyaringan dipipet sebanyak 0,7 mL
lalu dimasukkan ke dalam labu takar 5,0 mL dan diencerkan hingga tanda dengan
metanol. Sampel dibuat sebanyak 5 kali replikasi untuk tiap-tiap batch.
9. Penetapan kadar ibuprofen dan parasetamol dalam sampel
Larutan sampel sebanyak 5 replikasi untuk tiap batch ditotolkan
26
penotolan dikembangkan dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhi fase
gerak dengan jarak pengembangan 10 cm. Lempeng hasil pengembangan
dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan. Lempeng kemudian dikeluarkan dan
dikeringkan. Plat discanning pada panjang gelombang pengamatan dari hasil yang
diperoleh pada tata cara penelitian nomor 6.
G.Analisis Hasil
Hasil yang diperoleh berupa nilai AUC sampel untuk masing-masing
analit, kemudian nilai AUC tersebut disubstitusikan pada persamaan kurva baku
yang telah diperoleh. Nilai yang diperoleh tersebut dikonversi, sehingga diperoleh
jumlah ibuprofen dan parasetamol dalam tablet dalam bentuk 𝑥 ± SD.
Jumlah yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan syarat yang
tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi IV untuk tablet yang mengandung
ibuprofen dan parasetamol yakni kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari
kadar yang tertera dalam etiket.
Analisis statistik yang digunakan adalah uji parametrik Shapiro-Wilk yang
bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh normal atau tidak.
Kemudian dilanjutkan dengan uji independent sample one way ANOVA dengan
taraf kepercayaan 95%, yang bertujuan untuk melihat apakat terdapat perbedaan
bermakna antar batch yang diteliti.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tablet Neo
Rheumacyl® yang mengandung parasetamol 350 mg dan ibuprofen 200 mg.
Penelitian ini menggunakan 5 nomor batch berbeda dengan masing-masing nomor
batchnya adalah 030801, 040551, 060021, 030591dan 030681, berasal dari
beberapa apotek di Yogyakarta. Pengambilan sampel dilakukan di apotek
dikarenakan sampel tablet Neo Rheumacyl® merupakan obat bebas terbatas yang
hanya dijual di apotek karena merupakan obat keras tetapi dapat dibeli tanpa resep
dokter tetapi perlu tanda peringatan sehingga apoteker perlu memberikan
informasi kepada pasien berkaitan dengan dosis dan cara penggunaannya. Tujuan
penggunaan nomor batch yang berbeda adalah agar hasil yang diperoleh dapat
representatif dengan populasi tablet Neo Rheumacyl® di wilayah Yogyakarta,
selain itu untuk mengetahui apakah proses produksi yang dilakukan di pabrik
memiliki reprodusibilitas yang baik. Reprodusibilitas diketahui melalui nilai KV.
Semakin kecil nilai KV maka semakin kecil pula variasi kadar antar batch.
Masing-masing batch menggunakan 100 tablet sebagai sampel, jumlah sampel
yang digunakan sudah mencukupi syarat pengambilan sampel. Dari 100 tablet
dipilih 20 tablet secara acak, kemudian dilakukan uji keseragaman bobot dan
penetapan kadar parasetamol dan ibuprofen dalam sampel tablet Neo
Rheumacyl®. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah probability
28
populasi secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada di dalam populasi
tersebut sehingga setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk
dipilih menjadi anggota sampel (Sugiyono, 2008).
Penetapan kadar menggunakan 20 tablet dari masing-masing nomor
batch, dengan replikasi 5 kali untuk tiap batch. Berikut adalah hasil keseragaman
bobot tablet Neo Rheumacyl® dari setiap nomor batch.
Tabel IV. Keseragaman bobot tablet
No. Batch
Berdasarkan penimbangan 20 tablet untuk tiap batch, maka diperoleh
bobot rata-rata untuk replikasi pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima
berturut-turut adalah 0,74937 g; 0,75560 g; 0,75008 g; 0,75234 g; 0,75409 g. Tiap
tablet mengandung parasetamol sebanyak 350 mg dan ibuprofen sebanyak 200 mg
sehingga jumlah zat aktif dalam setiap tablet adalah 550 mg. Oleh karena itu
tablet Neo Rheumacyl® mengandung bahan tambahan kurang lebih sebanyak 200
mg. Bahan tambahan ini berupa bahan penghancur, bahan pelicin, bahan pengisi
dan lainnya yang digunakan saat produksi tablet. Farmakope Indonesia edisi III
memiliki syarat keseragaman bobot untuk tablet yang tidak bersalut dengan berat
> 300 mg yaitu tidak boleh lebih dari dua tablet yang masing-masing bobotnya
menyimpang 5% dari bobot rata-rata dan tidak ada satu pun tablet yang bobotnya
menyimpang 10% dari bobot rata-rata ( Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan RI, 1995). Semua tablet dari masing-masing batch tidak ada yang
menyimpang dari syarat yang ditentukan oleh Farmakope Indonesia edisi III,
sehingga tablet Neo Rheumacyl® memenuhi syarat keseragaman bobot
Farmakope Indonesia edisi III. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam sampel
mengandung ibuprofen dan parasetamol yang dosisnya seragam pula, dengan
demikian penelitian dapat dilanjutkan dengan penetapan kadar ibuprofen dan
parasetamol dalam tablet. Jika keseragaman bobot tidak terpenuhi oleh sampel
maka sampel tidak perlu dilanjutkan dengan penetapan kadar ibuprofen dan
parasetamol karena diperkirakan jumlah kedua analit tersebut tidak sesuai dengan
etiket. Hal ini dapat menyebabkan efek terapetik yang diharapkan tidak timbul
jika jumlah kedua analit kurang tetapi dapat menyebabkan overdosis apabila
jumlah kedua analit dalam sampel melewati batas konsentrasi toksik minimum.
B.Pembuatan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini dibuat berdasarkan hasil
optimasi yaitu dengan perbandingan heksana : etil asetat : asam asetat glasial (4,4
30
pemilihan fase gerak yang telah dilakukan sebelumnya dihasilkan pemisahan
ibuprofen dan parasetamol yang baik dan optimal. Pembuatan fase gerak
menggunakan bahan-bahan pro analisis (p.a) karena memiliki pengotor yang
lebih sedikit dibanding jika menggunakan bahan-bahan teknis. Adanya pengotor
akan menganggu interaksi antara fase gerak dengan analit. Sistem kromatografi
pada penelitian ini merupakan kromatografi fase normal.
C.Pembuatan Larutan Baku
Larutan baku dibuat sebanyak 5 seri konsentrasi untuk masing-masing
analit. Pelarut yang digunakan adalah metanol karena parasetamol dan ibuprofen
larut dengan baik dalam metanol. Lima seri konsentrasi larutan baku ini
digunakan untuk membuat kurva baku masing-masing untuk parasetamol dan
ibuprofen. Konsentrasi larutan baku masing-masing analit adalah 700, 840, 980,
1120, dan 1260 ppm untuk parasetamol dan 400, 480, 560, 640 dan 720 ppm
untuk ibuprofen. Perbandingan konsentrasi larutan baku kedua analit tersebut
dibuat sesuai dengan perbandingan analit dalam sampel tablet Neo Rheumacyl®
yaitu 4 : 7 untuk ibuprofen : parasetamol.
D.Penentuan Panjang Gelombang ( λ ) Pengamatan Parasetamol dan
Ibuprofen
Penetapan panjang gelombang pengamatan bertujuan untuk menentukan
λ optimum sehingga analit yang terdeteksi memberikan respon optimum.
Penentuan pengamatan ibuprofen dan parasetamol sangat dipengaruhi oleh nilai
E 11%𝑐𝑚 yang merupakan nilai serapan suatu zat dalam larutan dengan konsentrasi
1% b/v di dalam kuvet yang tebalnya 1 cm. Nilai E 11%𝑐𝑚 ibuprofen dalam metanol
sebesar 14,5; sedangkan parasetamol memiliki nilai E 11%𝑐𝑚 dalam metanol sebesar
850 (Dibbern et al., 2002). Perbedaan nilai E 11%𝑐𝑚 yang besar antara ibuprofen dan
parasetamol ini membuat ibuprofen memiliki respon yang lebih kecil daripada
parasetamol.
Panjang gelombang pengamatan ibuprofen dan parasetamol ditentukan
dengan merekam pola spektra bersamaan bercak dari 3 tingkat masing-masing
larutan baku ibuprofen dan parasetamol yang telah dikembangkan menggunakan
fase gerak heksan:etil asetat; asam asetat glasial (4,4:6,4:0,55) menggunakan
densitometer pada 210-255.
Gambar 7. Profil spektra baku analit. (a). Ibuprofen; (b). parasetamol
Dari spektra yang ditunjukan pada gambar 10, ketiga konsentrasi
masing-masing analit memiliki pola spektra yang sama. Panjang gelombang maksimum
ibuprofen teoritis pada 221 nm, dan λ maksimum yang diperoleh untuk
konsentrasi rendah, tengah dan tinggi adalah 222 nm. Panjang gelombang
maksimum parasetamol teoritis pada 244 nm dan λ maksimum yang diperoleh
32
adalah 247 nm. Berdasarkan gambar spektra di atas pada λ maksimum ibuprofen
serapan parasetamol masih cukup tinggi sedangkan pada λ maksimum
parasetamol serapan ibuprofen sangat rendah. Hal ini yang mendasari pemilihan λ
pengamatan ibuprofen dan parasetamol pada λ maksimum ibuprofen agar kedua
analit terdeteksi dengan optimum. Tidak digunakan λ pada perpotongan kedua
analit tersebut. Hal ini dikarenakan kecilnya nilai E 11%𝑐𝑚 ibuprofen serta jumlah
ibuprofen dalam sampel yang lebih kecil jika dibandingkan dengan parasetamol.
Sehingga dikhawatirkan pada λ tersebut tidak dapat mendeteksi keseluruhan
ibuprofen dalam sampel.
Bergesernya panjang gelombang maksimum parasetamol disebabkan
oleh adanya efek pelarut. Pada pelarut polar, energi yang dibutuhkan untuk
tereksitasi besar sehingga panjang gelombangnya kecil (244 nm dalam air)
sedangkan pada penelitian digunakan metanol sehingga energi yang dibutuhkan
untuk tereksitasi kecil maka panjang gelombang yang digunakan lebih besar yakni
247 nm.
E.Pembuatan Kurva Baku Parasetamol dan Ibuprofen
Persamaan kurva baku menunjukkan hubungan linear antara konsentrasi
dengan area di bawah kurva (AUC). Persamaan kurva baku menggunakan syarat
nilai koefisien korelasi (r) > 0,990. Koefisien korelasi menyatakan hubungan
korelasi antara konsentrasi dengan AUC. Penentuan kurva baku parasetamol dan
ibuprofen dilakukan dengan menggunakan 5 seri konsentrasi dan replikasi 3 kali,
persamaan yang diperoleh:
Tabel V. Konsentrasi Parasetamol vs AUC Parasetamol
Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3
Konsentrasi
Persamaan kurva baku yang digunakan untuk menetapkan kadar
parasetamol dalam sampel adalah persamaan replikasi ketiga yaitu y = 7,7568 x +
5083,66 karena memiliki nilai r yang paling besar yaitu 0,9980. Nilai linearitas
menyatakan adanya hubungan respon pengukuran konsentrasi larutan dengan
jumlah analit. Kurva hubungan konsentrasi parasetamol dengan AUC dapat dilihat
pada gambar 12.
Gambar 8. Kurva hubungan konsentrasi parasetamol dengan AUC
Korelasi yang baik antara konsentrasi dengan AUC dapat dilihat dari
kurva di mana dengan bertambahnya konsentrasi, nilai AUC juga meningkat dan
membentuk garis yang linier sehingga persamaan kurva baku yang diperoleh
dapat digunakan untuk menghitung kadar parasetamol dalam sampel.
34
Kurva baku ibuprofen yang diperoleh dari tiga replikasi adalah sebagai
berikut:
Tabel VI. Konsentrasi Ibuprofen vs AUC Ibuprofen
Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3
Konsentrasi
Persamaan kurva baku yang digunakan untuk menetapkan kadar
ibuprofen dalam sampel adalah persamaan replikasi ketiga yaitu y = 11,717 x +
1174,87 dengan nilai r = 0,9987. Nilai linearitas menyatakan adanya hubungan
respon pengukuran konsentrasi larutan dengan jumlah analit. Kurva hubungan
konsentrasi ibuprofen dengan AUC dapat dilihat pada gambar 13.
Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi ibuprofen dengan AUC
Korelasi yang baik antara konsentrasi dengan AUC dapat dilihat dari
kurva di mana dengan bertambahnya konsentrasi, nilai AUC juga meningkat dan
membentuk garis yang linier sehingga persamaan kurva baku yang diperoleh
dapat digunakan untuk menghitung kadar ibuprofen dalam sampel.
y = 11,717x + 1174,877
350 450 550 650 750
AUC
Konsentrasi baku ibuprofen (ppm)
F. Penetapan Kadar Parasetamol dan ibuprofen dalam Sampel
Sampel yang digunakan adalah tablet Neo-Rheumacyl mengandung
parasetamol sebanyak 350 mg dan ibuprofen 200 mg (7:4). Sampel yang
digunakan berasal dari 5 nomor batch yang berbeda dan tiap batch direplikasi 5
kali. Preparasi sampel dilakukan untuk memisahkan analit dari komponen matriks
sampel, seperti bahan tambahan yang digunakan saat produksi tablet. Pemisahan
bertujuan agar bahan tambahan tidak menganggu analit saat dielusi. Pelarut yang
digunakan adalah metanol. Pemisahan dilakukan dengan penyaringan larutan
menggunakan kertas saring yang telah dibasahi oleh metanol, jika larutan yang
diperoleh masih keruh maka dilakukan penyaringan berulang.
1. Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan nilai Rf sampel
dengan Rf baku pembanding. Hasil kromatogram yang diperoleh pada penelitian
terdapat pada gambar di bawah ini.
(a) (b)
(b) (c)
36
Berdasarkan kromatogram sampel di atas maka dapat dilihat nilai Rf
masing-masing baku pembanding dibandingkan dengan sampel tablet
Neo-Rheumacyl ditunjukkan oleh tabel berikut:
Tabel VII. Data Rf baku parasetamol, ibuprofen dan sampel Senyawa Rf baku pembanding Rf sampel
Parasetamol 0,17 0,16
Ibuprofen 0,63 0,62
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa nilai Rf baku
parasetamol adalah 0,17 dan baku ibuprofen adalah 0,63. Nilai Rf untuk
masing-masing senyawa dalam sampel adalah 0,16 dan 0,62. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa sampel rablet Neo-Rheumacyl mengandung parasetamol dan ibuprofen.
Perbedaan nilai Rf kedua analit disebabkan oleh adanya perbedaan
interaksi yang terjadi antara analit dengan fase diam dan analit dengan fase gerak
seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut.
Si
Gambar 11 . Interaksi antara fase diam dan analit dengan ikatan hidrogen. (a). Ibuprofen; (b). Parasetamol.
38
(d)
Gambar 12. Interaksi analit dengan fase gerak. (c). Parasetamol; (d). Ibuprofen.
Berdasarkan gambar 15, terjadi perbedaan interaksi antara parasetamol
dan ibuprofen dengan fase diam melalui ikatan hidrogen. Interaksi hidrogen yang
terjadi pada parasetamol lebih banyak dibandingkan dengan interaksi yang terjadi
pada ibuprofen dengan fase diam. Hal ini dikarenakan gugus polar yang dimiliki
oleh parasetamol lebih banyak jika dibandingkan dengan gugus polar yang
dimiliki oleh ibuprofen sehingga parasetamol memiliki nilai Rf yang relatif lebih
kecil jika dibandingkan dengan ibuprofen yang lebih terbawa oleh fase gerak.
Selain interaksi analit dengan fase diam, interaksi yang terjadi antara analit
dengan fase gerak akan memengaruhi elusi dari sampel. Ibuprofen yang memiliki
gugus non polar lebih banyak dibanding parasetamol memiliki interaksi yang
lebih banyak pula dengan fase gerak sehingga saat dielusi nilai Rf ibuprofen
menjadi lebih besar dibanding nilai Rf parasetamol.
2. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menghitung kadar parasetamol dan
ibuprofen yang terdapat dalam sampel tablet Neo-rheumacyl® yang mengandung
350 mg parasetamol dan 200 mg ibuprofen.
Respon analit berupa nilai AUC disubstitusikan ke dalam persamaan
kurva baku yang telah diperoleh yakni y = 11,717 x + 1174,87 untuk penetapan
kadar ibuprofen dalam sampel dan y = 7,7568 x + 5083,66 untuk penetapan kadar
parasetamol dalam sampel, sehingga hasil yang diperoleh terdapat dalam tabel
40
Tabel VIII. Hasil Penetapan Kadar Parasetamol dan Ibuprofen dalam Sampel
Batch Replikasi
Pada tabel VIII diperoleh rentang kadar parasetamol adalah
337,6763-367,1146 mg/tablet dan ibuprofen pada rentang 184,5051-223,9961 mg/tablet.
Kandungan parasetamol dan ibuprofen yang tertera pada etiket adalah 350 mg dan
200 mg. Syarat yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi IV adalah tidak
kurang dari 90 dan tidak lebih dari110% dari jumlah yang tertera pada etiket,