• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abu Nawas dan Amak

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 154-166)

A

mak adalah perempuan berbadan mungil tapi punya idealisme raksasa. Dia tidak hanya tepat waktu, tapi awal waktu. Di SD­nya, Amak satu­satunya guru yang selalu datang paling pagi. Kadang­kadang lebih cepat dari Ajo Pian, penjaga sekolah, sehingga dia membuka sendiri pintu pagar dan kelas­

kelas. Sambil menunggu guru lain dan para murid datang, dia sibuk mematangkan buku persiapan mengajar.

Sementara di rumah, beliau adalah ibu dan istri yang perha­

tian. Suatu kali aku pulang bermain bola di sawah yang baru saja dipanen. Mukaku centang perenang, rambut awut­awutan dan badan kotor seperti kerbau dari kubangan. Mataku beng­

kak dan bibir luka karena bacakak——berkelahi setelah main bola. Amak tidak marah­marah.

”Apakah kawan­kawan yang main dan berkelahi tadi orang Islam?” tanya Amak lembut.

Aku mengangguk sambil memajukan bibirku, merengut.

”Apa perintah Nabi kita kepada sesama muslim?”

”Memberi salam.”

”Yang lain?”

”Tersenyum.”

”Yang lain?”

”Bersaudara.”

”Nah, bersaudara itu berteman, tidak berkelahi, saling me­

nyayangi. Itu perintah Nabi kita. Mau ikut Nabi?”

”Mau.”

”Jadi harus bagaimana ke kawan­kawan?” Kali ini Amak ber­

tanya sambil tersenyum damai.

”Bersaudara dan tidak berkelahi,” kataku

”Itu baru anak Amak dan umat Nabi Muhammad,” katanya sambil merengkuh kepalaku dan menyuruh mandi.

Begitulah Amak. Di saat hatiku rusuh dan nyeri, dia selalu datang dengan sepotong senyum yang sanggup merawat hatiku yang buncah. Senyumnya adalah obat yang sejuk.

Ketika aku duduk di kelas satu SD, kebetulan wali kelasku Amak sendiri. Ujian catur wulan pertama tiba dan Amak mengadakan ujian kesenian. Seperti teman sekelas lainnya aku harus maju ke depan untuk menyanyikan sebuah lagu sebagai persyaratan mendapatkan nilai. Sayang sekali aku tidak hapal satu lagu pun karena tidak pernah masuk TK. Selain itu aku memang pemalu dan merasa suaraku sumbang. Jadi aku menolak maju ke depan kelas.

Tiga kali Amak memanggilku dari meja guru. ”Berikutnya Alif Fikri untuk maju ke depan”. Tiga kali pula aku menggeleng dan tidak beringsut. Amak akhirnya menyerah dengan muka kecewa. Dua minggu kemudian, di hari penerimaan rapor, aku baru tahu efeknya. Ayah yang datang untuk mengambil rapor sampai terbelalak. Sebuah angka merah bertengger di raporku, pelajaran kesenianku dapat angka 5. Dan nilai itu dari Amak sendiri!

”Bang, ambo ingin berlaku adil, dan keadilan harus dimulai dari diri sendiri, bahkan dari anak sendiri. Aturannya adalah sia­

pa yang tidak mau praktek menyanyi dapat angka merah,” kata Amak ketika Ayah bertanya, kok tega memberi angka buruk buat anak sendiri.

”Tapi ini kan hanya masalah kecil, cuma pelajaran kesenian,”

bela Ayah.

”Justru karena ini hal kecil. Jangan sampai dia meremehkan suatu hal, sekecil apa pun. Semuanya pilihan hidupnya ada konsekuensi, walau hanya sekadar pelajaran kesenian. Itu juga supaya dia belajar bahwa tidak ada yang diistimewakan. Semua­

nya harus berdasarkan usaha sendiri,” timpal Amak.

”Tapi kan dia baru 6 tahun.”

”Justru malah dari usia ini kita didik dia.”

Ayah diam saja. Dia cukup mafhum cara berpikir Amak yang keras hati. Aku menguping pembicaraan mereka dari balik pintu. Amak tidak memandang bulu.

Di lain kesempatan, aku dengar Amak bercerita kepada Ayah tentang rapat majelis guru menyambut Ebtanas. Beberapa guru sepakat untuk melonggarkan pengawasan ujian dan bahkan memberikan bantuan jawaban buat pertanyaan sulit, supaya ranking sekolah kami naik di tingkat kecamatan. Semua yang hadir setuju, atau terpaksa setuju karena takut kepada kepala sekolah.

Hanya Amak sendiri yang berani angkat tangan dan berkata,

”Kita di sini adalah pendidik dan ini tidak mendidik. Ke mana muka kita disembunyikan dari Allah yang Maha Melihat. Ambo tidak mau ikut bersekongkol dalam ketidakjujuran ini”. Frontal dan pas di ulu hati. Sejenak ruang rapat hening. Sebelum kepa­

la sekolah bisa mengatupkan mulutnya yang ternganga, Amak keluar ruang rapat.

Walau resah harus berbeda dengan kawan­kawannya, dia puas karena berhasil menegakkan kebenaran. Amak pun meng­

ulang sebuah hadist yang cukup masyhur, ”Bila kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu, kalau tidak mampu, ubahlah dengan kata­kata, kalau tidak mampu juga, dengan hatimu”. Walhasil, berbulan­bulan Amak tidak disapa, dilihat dengan sudut mata, dan dibicarakan di belakang punggung.

Amak adalah orang idealis dan keras hati. Mungkin aku me­

warisi semua ini dari beliau.

Seperti layaknya anak SD di kampungku dulu, sepulang seko­

lah pagi, sorenya aku masuk madrasah. Guru madrasahku, Ang­

ku Datuak Rajo Basa, punya sebuah hadist favorit yang selalu diulang­ulangnya, seminggu tiga kali kepada kami anak­anak kampung; ”Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu”.

”Janganlah ananda lihat dibawah selop ibu kalian ada surga, yang ada hanya tanah. Yang harus kalian cari adalah ridho ibu, karena dengan ridhonyalah pintu­pintu surga terbuka buat kalian. Surga yang air sungainya adalah madu dan susu, dan buah­buah aneka warna dan rasa bergelantungan setinggi tangan saja,” jelas angku berjenggot panjang meranggas ini.

Sebuah sorban tua bertotol­totol merah dibelitkan di lehernya.

Kopiah hitamnya sebuah Sjarbaini usang, terlihat dari bagian hi­

tam di ujung kopiah yang semakin pirang.

”Apa yang ada di bawah telapak kaki ayah, Angku?” tanyaku polos.

Dia terdiam sejenak. Mungkin agak kaget dengan pertanyaan asal­asalanku. ”Kita disuruh berbakti kepada kedua orangtua, ta­

pi surga memang hanya dekat dengan kaum ibu”. Perihal apa yang ada di bawah telapak kaki ayah tidak dijawab.

Begitulah, aku diajarkan untuk selalu berbakti kepada orang tua, dan yang lebih utama adalah ibu. Amak bagiku adalah jun­

jungan dan bos besar. Beliau juga penguasa pintu masuk surga bagiku.

Aku adalah anak kesayangan yang selalu patuh sepenuh hati pada Amak. Patuh ini berubah jadi kesal ketika aku diharuskan masuk sekolah agama. Memang aku akhirnya tetap bersedia mengikuti perintah Amak, tapi di saat yang sama hatiku jengkel.

Kontakku terakhir dengan Amak terjadi berbulan­bulan lalu, ketika mengabarkan lulus ujian masuk PM melalui telegram.

Setelah itu, aku diam, tidak berkabar berberita. Hatiku selalu berat untuk mulai bicara dan menulis buat beliau.

Di suatu Kamis sore, di acara wejangan rutin Kiai Rais di depan seluruh penduduk PM, beliau dengan lemah lembut ber­

bicara kepada kami.

”Tahukah kalian birrul walidain? Artinya berbakti kepada orang tua. Mereka berdua adalah tempat pengabdian penting kalian di dunia. Jangan pernah menyebutkan kata kasar dan menyebabkan mereka berduka. Selama mereka tidak membawa kepada kekafiran, wajib bagi kalian untuk patuh.”

”Seorang pernah bertanya urutan orang yang harus dihormati dan dihargai. Rasulullah menjawab, ”ibumu”. Dia bertanya lagi,

”kemudian siapa?”. Beliau menjawab, ”ibumu”. Dia bertanya lagi, ”Kemudian siapa?”. Beliau menjawab, ”ibumu”, dia berta­

nya lagi, ”kemudian siapa?”. Beliau menjawab, ”ayahmu”.

”Jadi, ibu punya posisi lebih tinggi lagi dari pada ayah. Karena itu, beruntunglah kalian yang masih punya orangtua, karena pintu pengabdian itu terbuka lebar. Bayangkan bagaimana su­

sahnya dulu kalian dikandung dan dibesarkan sampai seperti sekarang. Bagi yang punya orangtua, pergunakan kesempatan sekarang ini untuk membalas budi, gembirakan mereka, beri ka­

bar mereka, surati mereka,” anjur Kiai Rais kepada kami.

Aku tercenung. Kiai Rais seakan­akan bukan berbicara kepa­

da ribuan orang, tapi hanya kepadaku seorang. Sudah berapa bulan aku sengaja tidak menghubungi Amak sebagai protes ti­

dak boleh masuk SMA?

Cerita Kiai Rais terus berputar di kepalaku. Tentang susahnya seorang ibu mengandung selama sembilan bulan, melahirkan, menyusui, menyuapi, dan menepuki setiap langkah pertamaku bagai sebuah kemenangan besar sebuah tim nasional. Kini setelah tegak gagah, tiba­tiba aku menjauh darinya. Apa perasaan beliau?

Punya hak apa aku mendiamkan perempuan yang membesarkan dan menyayangiku dengan seluruh helaan napas dan hidupnya?

Apakah pantas sebuah perintah untuk sekolah agama membuat aku merasa berhak untuk melupakannya? Apalagi sekarang aku mulai merasa perintah Amak itu mungkin yang terbaik buatku?

Kenapa hatiku begitu keras? Aku tidak mau menjadi Malin Kun­

dang yang menjadi batu karena melawan ibunya.

Aku tiba­tiba merasa menjadi seorang egois yang hitam dan sangat berdosa pada Amak. Lebih­lebih lagi aku juga merasa bersalah kepada Allah karena tidak menuruti perintah birrul walidain ini.

Untuk pertama kalinya aku hanyut ketika melagukan syair nakal Abu Nawas bersama sebelum shalat Maghrib. Syair ini

kami lantunkan dengan syahdu, meminta segala ampunan ter­

hadap segala dosa kami yang bertabur seperti butir pasir. Suara ribuan orang bersipongang bagai guruh ke segala arah. Turun naik dengan nada meratap. Efeknya menjalar dalam ke setiap urat hatiku. Aku jiwai dengan sepenuh hati setiap bait­bait­

nya...

Ilahi lastu lilfirdausi ahla, Walaa aqwa ‘ala naaril jahiimi Fahabli taubatan waghfir dzunubi, Fainaka ghafirudz- dzanbil ‘adzimi….

Dzunubi mitslu a’daadir- rimali, Fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,

Wa ‘umri naqishu fi kulli yaumi, Wa dzanbi zaaidun kaifa –htimali

Ilahi ‘abdukal ‘aashi ataak, Muqirran bi dzunubi Wa qad di’aaka

Fain taghfir fa anta lidzaka ahlun, Wain tadrud faman narju siwaaka

wahai Tuhanku... aku sebetulnya tak layak masuk surgaMu, tapi... aku juga tak sanggup menahan amuk nerakaMu,

karena itu mohon terima taubatku ampunkan dosaku, sesungguhnya Engkaulah maha pengampun dosa-dosa besar

Dosa-dosaku bagaikan bilangan butir pasir maka berilah ampunkan oh Tuhanku yang Maha Agung

Setiap hari umurku terus berkurang sedangkan dosaku terus menggunung,

bagaimana aku menanggungkannya wahai Tuhan, hambamu yang pendosa ini

datang bersimpuh kehadapanMu mengakui segala dosaku mengadu dan memohon kepadaMu kalau engkau ampuni itu karena Engkau

sajalah yang bisa mengampun

tapi kalau tolak, kepada siapa lagi kami mohon ampun selain kepada Mu?

Setiap bait aku lantunkan dengan sepenuh hati, mohon am­

pun kepada Tuhan dan mohon ampun kepada Amak. Dadaku te­

rasa luruh dan plong. Rasanya pengaduanku didengar olehNya.

Pengaduan pendosa yang tidak ada tempat lain untuk mengadu selain kepadaNya.

Malam itu, dengan mata berkaca­kaca, aku menulis surat kepada Amak:

Amak, maafkan ananda ini karena sudah lama tidak memberi kabar berita. Ambo telah banyak membuat Amak sedih akhir- akhir ini. Ambo memang sempat kesal karena tidak boleh masuk SMA. Tapi kini ambo sadar kalau Amak benar. PM adalah sebuah sekolah yang baik dan banyak yang ambo bisa dipelajari di sini.

Tadi sore, Kiai Rais memberi nasehat yang membuat ambo sadar kalau selama beberapa bulan ini ambo tidak bersikap

baik kepada Amak. Semoga Amak bersedia memaafkan kesalahan-kesalahan ambo supaya hati ambo tenang.

Sekolah ambo berjalan lancar walau terasa berat. Selain masuk kelas, sangat banyak kegiatan yang harus kami jalani seperti pramuka, latihan pidato, lari pagi dan lainnya. Kata Kiai Rais, apa yang kami lihat, kami dengar, kami rasakan, kami baca, adalah pendidikan.

Kawan-kawan di kelas dan di kamar datang dari berbagai daerah di Indonesia. Sudah diatur supaya tidak ada orang satu daerah tinggal di satu kamar. Juga anggota kamar akan diacak setiap 6 bulan sehingga kami makin banyak teman.

Jadwal harian kami luar biasa ketat dan penuh disiplin.

Hukuman langsung ditegakkan bagi yang melanggar aturan.

Ambo pernah kena, dijewer berantai di depan orang ramai ka- rena terlambat 5 menit. Kalau Amak jadi anak laki-laki, pasti cocok sekolah di PM ini.

Supaya Amak tidak penasaran, ini adalah jadwal harian kami:

04.00-05.30

Kegiatan kami setiap hari dimulai jam 4. Agak susah bangun sepagi ini. Waktu ini diisi untuk shalat Subuh berjamaah di dalam kamar masing-masing. Kami bergantian menjadi imam untuk teman-teman sekamar. Setelah itu ada praktek bahasa dan penambahan kosa kata (Arab dan Inggris), serta membaca Quran.

05.30-07.00

Aktifitas bebas. Digunakan untuk pengembangan minat dan bakat baik di bidang olahraga, kesenian, bahasa dll. Selain itu, ini juga waktu kami untuk mandi, cuci, dan makan pagi. Ka- lau sudah mencuci baju, biasanya tidak sempat sarapan.

07.00-12.30

Masuk kelas pagi. Tidak bisa terlambat sedikit pun. Ada jadwal istirahat setengah jam yang bisa dipakai kalau belum sempat makan pagi.

12.30-14.00

Shalat Zuhur berjamaah di kamar masing-masing dan makan siang di dapur umum. Oya, untuk makan kami bawa piring dan gelas sendiri dan sebuah kupon makan untuk mendapatkan sepotong lauk. Lauknya sering sepotong tempe atau tahu.

14.00-14.45

Masuk kelas sore untuk pelajaran tambahan pagi hari.

14.45-15.30

Shalat Ashar berjamaah dan membaca Al-Quran di kamar.

15.30-17.15

Waktu bebas. Biasanya dipakai untuk olahraga, mandi, cuci, dan kegiatan lainnya. Yang paling enak adalah bersantai sejenak di bawah menara di dekat masjid bersama beberapa teman dekat.

17.15-18.30

Kami sebanyak 3000 orang murid sudah harus berkumpul di masjid Jami untuk membaca Quran, shalat berjamaah dan ke- mudian dilanjutkan membaca Quran di kamar.

18.30-19.30

Makan malam. Antrian makan biasanya agak panjang.

19.30-20.00

Shalat berjamaah Isya di kamar lagi.

20.00-22.000

Belajar malam dibimbing wali kelas di kelas. Kami bebas mem- baca buku pelajaran apa saja.

22.00-04.00 Istirahat dan tidur

Selain jadwal harian, ada juga jadwal mingguan. Misalnya setiap hari Minggu dan Kamis adalah waktu khusus latihan pidato. Selasa dan Jumat ada latihan percakapan bahasa asing dan lari pagi. Sementara Kamis sore adalah latihan pramuka.

Begitulah Amak, kehidupan ambo dan kawan-kawan di sini.

Padat, penuh, capek, tapi banyak yang bisa dipelajari.

Sekali lagi mohon maaf atas kesalahan ambo selama ini. To- long didoakan ambo sehat walafiat dan bisa belajar dengan baik disini.

Sembah sujud ananda Alif

Berbekal dua kepala Pak Harto sebagai prangko di amplopnya, aku kirim surat pertamaku kepada Amak. Semoga dengan surat ini, Amak terhibur dan aku termasuk bagian orang yang ber­

untung mendapat ridha dan doa dari ibu. Seperti kata Angku Datuak Rajo Basa dulu, surga itu dekat, sangat dekat, dia di bawah kaki ibu.

Sejak itulah aku teratur menulis surat ke Amak. Satu sampai dua kali sebulan.

S

eandainya ada yang berdiri di pucuk menara masjid ka­

mi yang sangat tinggi pada setiap malam Jumat, dia pasti mengira telah terjadi demonstrasi, pemberontakan, penyerang­

an, bahkan kudeta politik besar di PM. Bagaimana tidak, malam itu seisi pondok riuh rendah dengan teriakan­teriakan penuh semangat, pukulan­pukulan di meja, teriakan massa, dan tepuk tangan memekakkan telinga. Tiga kali dalam seminggu, semua murid terlibat dalam sebuah ritual gegap gempita: belajar pidato.

Menurutku, bila ingin mendapatkan pelatihan hebat untuk menjadi orator tangguh dan singa podium, maka PM adalah tempat yang tepat. Bagaimana tidak, tiga kali seminggu, selama 2 jam kami diwajibkan mengikuti muhadharah, atau latihan berpidato di depan umum. Setiap orang mempunyai kelompok pidato berisi sekitar 40 anak­anak dari kelas lain. Setiap orang dapat giliran untuk berbicara 5 menit di depan umum. Tidak hanya harus berpidato tanpa teks, bahkan tingkat kesulitannya ditingkatkan dengan kewajiban harus berpidato dalam 3 bahasa, Indonesia, Inggris dan Arab.

Kalau dipukul rata, setiap orang akan dapat giliran menjadi pembicara utama setiap bulan. Minggu ini tiba giliranku, dan kebagian pidato bahasa Inggris. Bulan lalu aku sudah kebagian pidato dalam Bahasa Indonesia. Sebuah pengalaman mende­

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 154-166)