• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sahibul Menara

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 109-114)

S

eperti kata orang bijak, penderitaan bersamalah yang men­

jadi semen dari pertemanan yang lekat. Sejak menjadi jasus keamanan pusat, aku, Raja, Said, Dulmajid, Atang, dan Baso lebih sering berkumpul dan belajar bersama. Kalau lelah belajar, kami membahas kemungkinan untuk bebas dari jerat pengawasan keamanan.

Waktu berkumpul yang paling enak itu adalah menjelang sha­

lat Maghrib dan malam sebelum tidur. Awalnya kami suka ber­

kumpul di lorong di depan kamar, yang sebetulnya disediakan sebagai tempat belajar. Tapi ini koridor milik bersama. Setiap orang bisa lewat dan berkumpul sesukanya. Kami merasa perlu mencari tempat sendiri.

Baso adalah anak paling paling rajin di antara kami dan pa­

ling bersegera kalau disuruh ke masjid. Sejak mendeklarasikan niat untuk menghapal lebih dari enam ribu ayat Al­Quran di luar kepala, dia begitu disiplin menyediakan waktu untuk mem­

baca buku favoritnya: Al­Quran butut yang dibawa dari kam­

pung sendiri. Dia memberi usul.

”Supaya aman dan tenang, bagaimana kalau kita berkumpul di masjid saja.”

Kami berpandang­pandangan. Memang enak di masjid, tapi pasti sudah penuh dan berisik.

Kami pelan­pelan menggeleng.

Baso tidak menyerah. ”Kalau di tangganya saja?”

Kami menggeleng lagi. Sama saja, walau tangganya luas, tapi terlalu banyak orang.

Setelah termenung beberapa lama, Said berteriak.

”Aku tahu di mana kita bisa berkumpul tanpa diganggu dan tempatnya di dekat masjid. Yuk!” kata dia langsung jalan cepat dan memaksa kami ikut.

Demi menghormati sang ketua kelas dan ketua kamar yang paling berumur, kami terpaksa mengekor langkahnya. Menuju masjid lurus, tapi kemudian berbelok ke sebelah kanan me­

nyamping dari masjid. Kami sampai di menara masjid yang tinggi menjulang. Kami tidak tahu, jika di dasar menara ada taman kecil berupa gerumbulan tanaman perdu dan rumput.

Di baliknya tampak pelataran menara dengan tangga semen berundak­undak melingkari dasar menara.

”Kemarin waktu dihukum membersihkan masjid, aku ke­

bagian membersihkan menara. Ternyata dasar menara ini tem­

pat yang enak untuk istirahat,” kata Said memperlihatkan temuannya.

Tepat di samping kanan Masjid Jami, menjulang menara yang diilhami arsitektur gaya turki yang kokoh, efisien, tanpa melupakan keindahan. Menara dipucuki oleh sebuah kubah metal yang mengkilat dan lancip ujungnya. Di leher kubah ini menyembul empat corong pengeras suara yang selalu setia mengabarkan panggilan shalat sampai berkilo­kilo meter jauh­

nya.

Kami sepakat, kaki menara ini tempat yang sangat cocok untuk berkumpul. Pertama, dekat dengan masjid, kapan pun lonceng shalat berbunyi, kami tinggal berjalan sedikit langsung

sampai di masjid. Kedua, relatif tidak terpantau para petugas keamanan yang terlalu sibuk menyatroni asrama demi asrama.

Semen berundak ini cukup tersembunyi karena ditutupi taman, sementara kami bisa memantau keadaan PM melalui sela­sela dedaunan. Ketiga, tempat ini teduh, dan memungkinkan kami berlama­lama, untuk belajar, ngobrol, bahkan tidur­tiduran sam­

bil lurus menatap langit ditemani ujung menara yang lancip mengkilat.

Di bawah bayangan menara ini kami lewatkan waktu untuk bercerita tentang impian­impian kami, membahas pelajaran tadi siang, ditemani kacang sukro. Bagaikan menara, cita­cita kami tinggi menjulang. Kami ingin sampai di puncak­puncak mimpi kelak.

Di bawah menara, kami merencanakan amal kebaikan, mempertengkarkan karya Rumi, menyetujui ”makar”, memper­

salahkan para kakak keamanan, mendiskusikan bagaimana ben­

tuk Trafalgar Square, mencoba memahami petuah Plato sampai mengagumi kisah Tariq bin Ziyad. Tidak ketinggalan, ini tempat yang pas mendengarkan kalam Ilahi yang dibaca sangat indah oleh para qari, pembaca Al­Quran, pilihan PM. Ayat­ayat ilahiah ini terbang jauh ke seluruh penjuru PM melalui corong besar di puncak menara. Bulu tangan dan kudukku berdiri setiap men­

dengarnya. Hatiku lintuh.

Saking seringnya kami berkumpul di kaki menara, kawan­ka­

wan lain menggelari kami dengan Sahibul Menara, orang yang punya menara. Dalam bahasa Arab, kata sahibul kerap diguna­

kan untuk menyatakan kepunyaan, misalnya sahibul bait, tuan rumah, atau seperti diriku sering dipanggil sahibul minzdhar, karena memakai kacamata.

Kami senang saja menerima julukan itu. Bahkan Said kemu­

dian punya ide untuk membuat kata sandi untuk setiap orang.

Said kami sebut Menara , Raja Menara , aku Menara 3, Atang Menara , Dulmajid Menara dan Baso Menara .

Aku sendiri sejak kecil sudah takjub dengan menara dan suka menaikinya karena terobsesi merasakan bagaimana rasanya men­

jadi orang yang tinggi. Menara pertama kukenal adalah menara semen milik masjid di kampungku. Puncaknya yang tinggi untuk menumpangkan corong TOA, bagian bawahnya untuk rumah beduk kulit kerbau. Walau sudah dilarang dan dikejar­

kejar gharin——penjaga masjid——kami para anak­anak kampung selalu berhasil mengelabuinya untuk diam­diam naik tangga melingkar ke puncak menara. Begitu di puncak yang berangin­

angin, kami merasa telah menaklukkan dunia. Kami berteriak­

teriak ke semua orang yang kebetulan lewat di bawah sana.

Lalu terpingkal­pingkal melihat orang terlongo­longo bingung mendengar teriakan, tapi tidak tahu dari mana arahnya. Kami juga suka meludah ke kolam ikan mujair di bawah sana dan tertawa­tawa melihat mujair­mujair berserabutan menyambar ludah yang dikira makanan kiriman dari langit. Sering pula kami mengikatkan sarung di leher dan merentangkan tangan ke depan lurus­lurus. Sarung yang berkepak­kepak ditiup angin membuat kami merasa menjadi Superman.

Menara kedua yang aku kagumi adalah Jam Gadang yang berdiri di jantung kota Bukittinggi. Sebuah menara jam besar dengan puncak berbentuk atap bagonjong­atap tradisional Mi­

nang yang berbentuk tanduk kerbau. Waktu libur akhir tahun kelas dua SD, Ayah mengajakku ke ibukota kabupaten Agam ini untuk membeli buku pelajaran di Pasar Ateh. Karena nilai

rapor SD­ku bagus, Ayah memberi aku bonus istimewa, naik ke puncak Jam Gadang yang tingginya hampir 30 meter. Dari puncaknya aku bisa melihat jauh­jauh sampai ke pinggir Kota Bukittinggi dan merasakan kemegahan Gunung Merapi dan Gu­

nung Singgalang. Aku juga bisa melihat mesin jam yang sebesar lemari baju, terdiri dari roda­roda kuning tembaga, rantai dan panel besi. Menurut penjaganya, mesin ini dibuat di Jerman dan hadiah dari Ratu Belanda kepada pemerintah kolonial pa­

da tahun .

Sepulang dari Jam Gadang, aku tidak henti­henti bercerita ke teman­temanku tentang kehebatan menara jam yang menu­

rutku waktu itu sungguh raksasa, termasuk ”salah tulis” angka penunjuk jamnya. Angka empat romawinya tertulis IIII, padahal biasanya IV.

Berkumpul di menara PM adalah lanjutan ketakjubanku kepada menara. Sayang, menara PM sama sekali tidak bisa kami naiki. Sebuah gembok berkarat sebesar telapak tangan memalang pintunya. Konon, kuncinya hanya dipegang oleh se­

orang guru bernama Ustad Torik.

K

upanggil dia Randai, padahal namanya Raymond Jeffry.

Nama yang keren. Orang Minang selalu sangat percaya diri dan punya semangat global memberi nama anaknya. Mulai dari yang kearab­araban seperti Hamid, Zaki, Ahmad, ala eropa timur seperti Weldinov, Martinov, sampai yang terdengar kebarat­baratan seperti Goodwill, Charlie, Wildemer dan Ker­

man. Beberapa nama yang sepertinya serapan luar negeri itu ternyata sangat lokal sekali. Bahkan banyak yang sebetulnya itu merupakan kata sandi. Seringkali, sandi ini hanya orang tua dan anak itu saja yang tahu.

Contohnya, seorang pemuka agama di kampungku tidak memberi nama anak perempuannya Fatimah atau Zainab, tapi malah Suhasti. Ini bukan hanya sekadar nama. Di baliknya tersimpan makna yang dalam dan refleksi nasionalisme yang amat tinggi, sehingga dipatrikan pada nama anaknya. Suhasti kependekan dari Sukarno Hatta Simbol Rakyat Indonesia. Ada juga yang mengawetkan nama orangtua pada anak mereka.

Charlie misalnya. Kependekan dari Chakra dan Nelie, bapak dan emaknya anak ini.

Selain kependekan, ada juga yang terang­terangan mengambil nama­nama yang sudah paten. Misalnya kawan SD­ku bernama John Fitzgerald Kennedy——kami panggil dia si Ned. Guruku selalu patah lidah setiap mengabsen namanya di kelas. Sayang

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 109-114)