• Tidak ada hasil yang ditemukan

Shopping Day

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 71-81)

U

sai malam pertama Pekan Perkenalan, kami berbondong kembali ke asrama. Kak Iskandar, rais furaiah, sebutan buat ketua asrama, memberi komando untuk mengikutinya.

”Walau kalian sebelumnya telah ditempatkan di asrama Al­Barq, tapi belum resmi diterima sebagai anggota asrama.

Menyanyikan lagu himne pondok yang dipimpin langsung oleh Kiai Amin Rais adalah penanda bahwa kalian sekarang resmi menjadi bagian dari asrama Al­Barq. Selamat!” ujarnya kepada kami di depan pintu asrama.

”Sebelum tidur, kami akan bacakan qanun, aturan tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran pasti akan di­

ganjar sesuai kesalahannya. Dan ganjaran paling berat adalah dipulangkan dari PM selama­lamanya,” katanya tegas. Kami berpandang­pandangan melihat keseriusannya. Kesalahan apa sih membuat seorang bisa sampai dipulangkan?

Al­Barq adalah bangunan memanjang dengan koridor ber­

bentuk huruf L. Kamar­kamar berjejer di sepanjang koridor.

Bangunan sederhana ini terlihat bersih dengan ubin tua yang masih mengkilat dan lis kayu kokoh bercat hijau. Ukuran ka­

mar kami lebih besar dari setengah lapangan bulutangkis dan aku tempati bersama 30 murid lainnnya.

Seisi kamar sudah berkumpul duduk di tengah ruangan yang kosong. Semua tas dan koper kami singkirkan ke pinggir

dinding. Kami sibuk membicarakan aturan yang nanti akan dibacakan. Suara obrolan langsung hilang ketika Kak Iskandar bergegas masuk dan berdiri di depan kami dengan serius. Dia memegang gulungan kertas.

Terdengar bunyi bel besar berdentang­dentang lima kali. Tan­

da pembacaan qanun dimulai di semua asrama dan kamar.

Kak Is mulai membaca:

”Para siswa PM, bersama ini saya bacakan qanun di depan Anda semua untuk diperhatikan, dipahami dan dipatuhi

. Jadwal bangun pagi jam .30 dan waktu boleh tidur jam :30 malam. Di antara itu jadwal telah diatur de­

ngan ketat oleh lonceng. Disiplin waktu ditegakkan dengan ketat.

. Semua harus mengikuti aturan berpakaian sopan dan pada tempatnya. Ada pakaian olahraga, pakaian sekolah dan pakaian ke masjid.

3. Setiap orang harus memakai papan nama kapan saja di mana saja.

. Tidak dibenarkan memakai bahasa daerah dan bahasa Indonesia.

. Tiga kali seminggu waktu latihan pidato dalam bahasa Arab, Inggris dan Indonesia

. Hari Kamis sore waktu latihan pramuka

7. Pelanggaran berat adalah mencuri, berkelahi dan berhu­

bungan dekat dengan perempuan. Hukumannya adalah dipulangkan.

. Semua murid harus menjaga milik mereka sendiri de­

ngan baik. Lemari dikunci, sandal, buku dan barang lain diberi nama.

. Ketertiban akan diatur oleh bagian keamanan dan baha­

sa diatur oleh bagian penggerak bahasa.

0. Semua perizinan tidak masuk kelas dan tidak ikut ke­

giatan harus melalui rekomendasi dan tasrih atau surat keterangan izin dari wali kelas.

. Aturan harus diikuti dan ada hukuman bagi yang me­

langgar. Semua aturan ini harus diikuti tanpa kecuali.

. Hari sekolah dari Sabtu sampai Kamis dan Jumat libur.

3. Setiap pelanggar aturan akan dipanggil dan disidang di mahkamah disiplin.”

Kak Iskandar menggulung kembali kertas tadi dan meman­

dang kepada kami semua. ”Mulai detik ini, kalian semua sudah resmi berada dalam aturan dan disiplin PM. Aturan akan dite­

gakkan dengan tegas. Kepastian hukum menjadi panglima. Ada pertanyaan?”

Beberapa tangan teracung dan bertanya kenapa tidak diberi­

kan dalam bentuk tertulis.

Akhi. Dengarkan baik­baik. Kita tidak mau membuat peratur­

an tertulis banyak­banyak, lalu kemudian dilupakan dan tidak diterapkan. Qanun ini maksudnya supaya apa yang disebutkan, dilaksanakan bersama. Memang tidak ada pengulangan karena harapannya semua orang mencatat dalam hati masing­masing dan siap melaksanakannya.”

”Mulai besok, silakan membeli kasur lipat kecil dan lemari ke­

cil untuk menyimpan barang kalian. Kasur lipat harus ditumpuk jadi satu di sudut kamar setiap bangun pagi, dan baru boleh di­

ambil ketika jam tidur datang. Bagian tengah kamar harus tetap kosong untuk kita gunakan tempat shalat jamaah setiap kamar,”

tambah Kak Is.

Aku juga mengacung. ”Kak, kenapa kita tidak shalat berja­

maah di masjid saja?”

”Tentu kita berjamaah di masjid, tapi hanya Maghrib saja.

Sisanya kita lakukan di kamar, karena ini juga bagian dari pen­

didikan. Setiap orang akan mendapat giliran menjadi imam.

Setiap kalian harus merasakan menjadi imam yang baik. Semua orang boleh memberi masukan kalau ada yang salah,” jelas Kak Is.

”Oya, satu hal yang penting kalian ingat terus adalah: selalu pasang kuping untuk mendengarkan jaras atau lonceng. Lon­

ceng besar di depan aula itulah pedoman untuk semua perganti­

an kegiatan,” katanya lagi.

”Ingat, kamar ini sekarang milik kalian bersama. Kamar ini tempat kalian tidur, shalat, dan belajar. Maka jagalah seperti menjaga rumah kalian sendiri. Besok kita akan pilih ketua ka­

mar serentak dan membuat jadwal piket kebersihan,” pidato Kak Iskandar sebelum mematikan lampu listrik besar di kamar kami.

Seketika kamar temaram. Hanya tinggal sebuah lampu tidur, sebuah lampu semprong minyak tanah yang kerlap kerlip karena apinya diayun­ayun angin malam di ujung kamar. Jendela kamar dibiarkan terbuka, memerdekakan udara menjelang musim hu­

jan yang sejuk keluar masuk.

Sepotong rembulan pucat mengintip dari jendela. Hari ini aku segera pulas tertidur walau hanya beralas sajadah. Malam ini aku bermimpi terdampar di sebuah pulau yang permai. Pera­

huku bocor dan karam. Aku menemukan ratusan kotak­kotak besi, yang ketika kubuka semua isinya adalah gulungan demi gulungan kertas qanun.

Awal tahun ajaran, PM diserbu kesibukan luar biasa. Semua orang tampak berjalan cepat dan berseliweran mengerjakan berbagai urusan masing­masing. Buat anak baru seperti aku, ke­

sibukan utamanya belanja buku dan keperluan sekolah lain.

Dalam amplop tanda kelulusan ujian yang kami terima be­

berapa hari lalu ada selembar kertas yang bertuliskan keperluan yang wajib kami beli sebagai murid baru. Aku buka lipatan ker­

tas folio ini. Ini lis belanja wajib:

Daftar Belanja Murid Semester Pertama PM Buku

. Kamus Arab­Indonesia oleh Prof. Mahmud Yunus . Kamus Inggris­Indonesia oleh Hassan Shadily­John M.

Echols 3. Al­Quran

. Durusul Lughoh Arabiah dan Muthala’ah . Nahwu Sharaf

. English Lesson 7. English Grammar

. Paket buku pendukung jilid Perlengkapan pakaian

. Sarung . Ikat Pinggang 3. Kopiah . Baju Pramuka

. Baju olahraga (kaos dan training pack)

. Papan nama untuk disematkan di baju. Latar belakang ungu untuk anak kelas . Waktu pembuatan 0 menit.

Perlengkapan lain:

. Shunduk, atau lemari kecil dengan kunci . Firash, kasur lipat

3. Kalam kaligrafi

”Kak, di mana saya bisa beli barang­barang ini?” tanyaku pa­

da Kak Iskandar.

”Semua tersedia lengkap di toko koperasi di sebelah ruang pertemuan. Kalau saya jadi kamu, saya akan berangkat sekarang, karena antrinya panjang,” jawab Kak Is.

Atang, Dulmajid, Raja, Baso, dan Said ternyata teman seka­

marku. Kami sepakat untuk belanja bersama. Sekitar 00 meter dari asrama ada bangunan koperasi bertingkat dua. Tingkat sa­

tu khusus toko buku dan tingkat dua untuk segala kebutuhan lainnya. Di atas pintu masuknya yang terbuka lebar tertulis ”Stu­

dent Cooperative”, lalu diikuti tulisan Arab yang sangat artistik sehingga aku kesulitan membacanya. Tapi aku yakin artinya kira­kira koperasi pelajar.

Tingkat satu lebih mirip gudang buku dari pada toko buku.

Setiap bagian dinding tertutup gundukan buku yang hampir menyentuh langit­langit. Para petugas yang berambut cepak se­

perti bintara polisi dengan gesit membantu para murid yang membeli buku tahun ajaran ini. Di sebuah sudut, tumpukan ini menjelma seperti pilar­pilar Yunani dengan balok­baloknya berwujud buku­buku setebal 0 sentimeter. Semua buku bertu­

liskan huruf Arab yang tidak bisa aku baca.

”Itu dia kamus dan ensiklopedia Arab yang paling terkenal, na­

manya Munjid. Nanti kalau sudah 3 tahun kita baru boleh mem­

pelajarinya,” Raja dengan bangga berbisik kepadaku. Matanya

nanar menatap buku ini. Dasar si kutu buku. Kalaulah ada uang, mungkin dia langsung membeli dua Munjid sekaligus.

Di sebelah lain ada tumpukan buku yang lebar­lebar dan tebal, uniknya semua halamannya berwarna kuning. Tampak sekilas seperti buku lama. Tapi sampulnya tampak baru sung­

guh indah, berwarna marun dengan kelim­kelim keemasan mengelilingi judulnya yang berbahasa Arab. Kembali tanpa di­

minta Raja menjelaskan panjang lebar.

”Eh, kalian tahu nggak, inilah buku yang melihat hukum Is­

lam dengan sangat luas. Buku Bidayatul Mujtahid yang ditulis il­

muwan terkenal Ibnu Rusyd atau Averrous, cendekiawan berasal dari Spanyol. Isinya adalah fiqh Islam dilihat dari berbagai maz­

hab, tanpa ada paksaan untuk ikut salah satu mazhab. Saya tahu PM membebaskan kita memilih. Sayang, baru tahun lagi kita boleh mempelajarinya.” Wajah Raja tampak kecewa sangat serius. ”Nah kalau yang itu aku sudah punya, kemarin aku bawa ke kelas. Kau ingat, kan? Yang aku angkat di muka kau itu,” de­

ngan logat Medan yang kental, melihat Oxford Advanced Learners Dictionary. Padahal menurut daftar buku wajib, kamus ini baru akan kami pakai tahun depan.

Aku segera mengikuti antrian memesan buku. Kak Herlam­

bang, begitu tulisan di papan namanya, tersenyum kepadaku.

Faslun awwal? Kelas satu, kan? Dari mana asalmu?” tanyanya basa­basi. Tanpa diminta tangannya segera bekerja cepat men­

jangkau buku dari beberapa rak yang berjejer di belakangnya.

Dalam sekejap, sebuah tumpukan buku, berisi judul­judul yang ada dalam daftar belanjaku telah siap.

Thayyib. Baiklah. Ini buku wajib kelas satu. Ada yang lain?”

tanyanya.

Selesai dengan buku, kami naik ke lantai dua untuk membeli kasur lipat dan seragam.

Menurut aturan, kami punya seragam. Sarung dan kopiah untuk waktu shalat, baju pramuka untuk hari pramuka, baju olahraga untuk lari pagi dan acara bebas, serta kemeja dan celana panjang rapi untuk sekolah. Kami sudah membelinya semua.

”Semua beres, kecuali lemari kecil. Apa istilahnya tadi? Su­

luk?” tanya Said pada Raja, yang selalu memamerkan kehebatan kosa kata Arab dan Inggrisnya.

”Bukan suluk, tapi shunduq, pakai shad,” jawab Raja dengan tajwid yang sangat fasih.

”Arti harfiahnya kotak, bukan lemari. Ini tempat pakaian, bu­

ku, dan segala macam yang kita punya. Lemari kayu kecil yang lebih menyerupai kotak,” terang Raja dengan bersemangat. Dia selalu dengan senang hati berbagi informasi apa saja, melebihi dari apa yang kami tanya. Dan sepertinya dia sangat menikmati momen lebih tahu dari kita semua. Bagusnya, dia tidak pelit dengan informasi.

”O iya, shu­nn­du­uq,” eja Said mencoba mengikuti kefasihan Raja.

Tempat membeli lemari kecil ini di sebuah lapangan di sebe­

lah perpustakaan. Di pinggir lapangan terpancang spanduk ber­

tuliskan: Shunduq lil bai’. For Sale. Di tengah lapangan tampak menggunung lemari bermacam warna yang ditumpuk­tumpuk.

Ukurannya mulai dari dari tinggi setengah meter sampai setinggi badan.

Selain lemari baru, ada juga yang bekas, dan tentunya lebih murah. Tampak beberapa murid lama memikul dan mendo­

rong lemari lamanya dan menjual kepada pengurus koperasi.

Sedangkan beberapa anak lain membopong lemari ke asrama mereka. Bagaikan tumbukan butir­butir gula yang dirubung oleh semut, lemari­lemari ini datang dan pergi.

Melihat uang di kantong terbatas, aku memutuskan untuk membeli lemari bekas saja. Untuk itu aku harus memilih baik­

baik lemari yang masih bisa dipakai. Ada kuncinya yang rusak, engsel, ada yang semuanya bagus, tapi baunya minta ampun, ada yang sempurna, tapi kakinya patah. Ada yang semuanya bagus, tapi warnanya kuning membakar mata. Belum ada yang pas.

Ya akhi, bla bla bla,” kata seorang senior sambil mengetok­

ngetok jam tangannya. Aku bengong tidak mengerti, yang aku tahu jamnya menunjukkan .0 siang. Melihat anak baru terbengong­bengong, dia baru ingat kalau dia masih berbicara bahasa Arab. ”Ya akhi, silakan pilih sebelum kehabisan waktu.

Sebentar lagi lonceng ke masjid!” teriak senior itu melihat aku masih berlama­lama memilih.

Di antara tumpukan lemari tua berwarna hitam, aku mene­

mukan sebuah lemari hijau tua setinggi pinggang yang kokoh dan mulus. Aku segera membayar kepada senior tadi sebanyak ribu rupiah. Sementara Atang, Baso, Dulmajid, Raja dan Said juga telah menemukan pilihan mereka.

Matahari telah tergelincir di ufuk dan gerimis merebak ke­

tika kami beriring­iringan menggotong lemari masing­masing melintasi lapangan besar menuju asrama kami. Said yang tinggi besar dengan gagah dan enteng membopong lemarinya. Atang yang membeli lemari yang lebih besar tampak terengah­engah menahan beratnya, sambil membetulkan kacamatanya yang me­

lorot terus. Raja, Baso dan Dulmajid, walau berbadan tidak besar memperlihatkan kekuatan alami mereka sebagai anak kampung yang tangguh. Walau kepayahan, mereka maju de­

ngan pasti. Aku yang paling kurus berjalan terseok­seok paling belakang, bergulat dengan lemari yang beratnya serasa 3 kali berat badanku.

T

eng… teng… teng… teng…. Suara lonceng besar di depan gedung pertemuan bergema sampai jauh. Belum lagi gaungnya padam, semua penjuru sepi senyap, tidak ada orang satu pun. Kami berpandang­pandangan dengan kalut. Kalau mengikuti qanun yang dibacakan tadi malam, lonceng kali di jam artinya tanda semua aktifitas harus berhenti dan semua murid sudah harus ada di masjid dengan pakaian rapi dan bersarung.

Jangankan duduk manis bersarung di masjid. Kami masih menggotong lemari di tengah lapangan. Artinya kami telah melawan perintah lonceng, alias terlambat. Dari kejauhan, aku lihat asrama kami seperti rumah hantu, kosong, sepi, tak satu jiwa pun.

Kami seperti sekawanan tentara yang terjebak di padang ter­

buka, tanpa perlindungan sama sekali. Kami telah dengan telak melanggar qanun di hari pertamanya berlaku. Aku hanya bisa berharap, sebagai murid baru kami bisa dimaafkan terlambat ba­

rang menit. Lagi pula, sejauh ini tidak ada petugas keamanan yang mencegat kami.

”Ayo lebih cepat!” seru Said di posisi paling depan. Posisinya seperti pelari sprint yang memimpin paling depan. Ringan, en­

teng, cepat.

Kumaha cepat, ini beratnya minta ampun!” balas Atang sam­

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 71-81)