• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sarung dan Kurban

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 101-109)

ini, sarung menempel ke badan seperti dilem. Diajak lari dan ditarik­tarik pun, sarung akan tetap utuh dan kokoh.

Seandainya ada lomba memakai sarung, aku yakin pasti men­

jadi juara dunia.

Waktu berangkat ke PM, Amak memuat empat sarung ke tasku. Beliau percaya bahwa anak pondok identik dengan sa­

rung. Tapi ternyata empat sarung yang Amak masukkan ke tas itu tidak terpakai sesering yang aku dan Amak bayangkan.

Pada kenyataannya sarung dipakai selama beberapa jam saja, ketika shalat berjamaah. Sisanya harus bercelana panjang atau bercelana olahraga. Bahkan ada jam larang pakai sarung, yaitu selama jam tidur. Tidur harus bercelana panjang.

Belakangan aku menyadari bahwa sarung sangat multi fung­

si. Di waktu malam, menjadi penambah selimut di atas celana panjang, bisa menjadi karung pakaian kotor dengan mengikat satu ujungnya, dan bahkan bisa menjadi spanduk darurat. Ting­

gal menempelkan huruf­huruf dari karton warna­warni, jadilah spanduk bercorak kotak­kotak.

Setelah sarung, giliran kopiah yang aku songkokkan ke ke­

pala. Di PM, kopiah harus berlapis bahan bludru hitam, tidak boleh warna lain. Sedangkan model bisa saja bermacam­macam.

Ada yang lurus sederhana, bergombak di atasnya, ada yang bisa dilipat dan yang keras seperti helm. Umumnya kopiah keras dan bergombak ini karya pengrajin kopiah terkenal di Sumatera Barat, H. Sjarbaini. Sedangkan buatan Jawa umumnya bisa dili­

pat dan lebih ringkas.

Ada juga desain yang sudah lebih maju, kopiah hitam ini pu­

nya lubang angin di ujung depan dan belakang, sehingga kepala lebih berangin dan kulit kepala tidak bau. Yang membedakan

mahal dan murah adalah ketebalan dan kehalusan beludru dan seberapa tahan terhadap percikan air.

Kopiah ini juga sangat berguna sebagai kipas tangan kalau kepanasan. Aku juga biasa menyelipkan uang ribuan terakhirku di lipitan kopiah. Di masa menyambut ujian, aku menaruh ca­

tatan kecil untuk hapalan juga di lipitan kopiah ini. Tentu tidak bisa untuk contekan, karena kopiah dilarang di ruang ujian.

Kopiah lipat ternyata juga cukup empuk untuk dijadikan bantal darurat.

Aku sampirkan sajadah yang sudah dilipat di bahu kanan. Se­

bagai pengganti sajadah, ada kawan lain yang memakai sorban.

Kelengkapan lain yang harus dibawa ke masjid tentunya Al­

Quran. Kami punya kebebasan luas untuk menggunakan Al­

Quran, mulai dari yang sebesar dompet sampai sebesar map.

Dari terjemahan sampai terbitan Arab, yang sebagian hurufnya pasti gundul. Asal kitab ini kami pegang dengan tangan kanan dan dibawa dengan mendekapkan ke dada.

Dan barang kecil yang tidak boleh lupa, adalah papan nama yang disematkan dengan peniti di dada sebelah kiri atas. Baso

——di tengah kecerdasannya——paling sering lupa memakainya sehingga dia menjadi langganan mahkamah. Warna papan na­

ma berbeda untuk setiap kelas dan harus dipakai kapan saja di mana saja.

Mungkin di balik begitu pentingnya kedudukan papan nama ini untuk memastikan ribuan orang yang ada di PM saling tahu nama masing­masing. Sedangkan keuntungan buat jasus, supaya tidak perlu bertanya nama korbannya. Tinggal lirik sekejap dan catat di karcis jasus. Tidak heran, baju kami di dada kiri pasti berlubang­lubang kehitaman.

Dengan aksesoris lengkap ini, barulah aku melangkah ke masjid. Memakai semua ini cukup lima menit saja. Sret... sret....

sarungku berdesau­desau seiring langkah cepat supaya tidak di­

tangkap Tyson.

Suatu ketika Baso bercerita kepada kami, dia pernah lupa di mana menjemur sarungnya yang hanya ada satu, sementara sebentar lagi bel ke masjid. Mau meminjam, sudah tidak ada lagi orang di kamar. Dia mencoba mencari­cari sarung yang tidak terpakai di sudut­sudut kamar, tapi yang ada cuma selimut tipis batang padi yang bergaris­garis. Merasa tertekan dengan lonceng yang sudah bertalu­talu menandakan waktu ke mas­

jid, Baso langsung merenggut selimut dan dan melilitkan ke pinggangnya, seperti memakai sarung. Di detik­detik terakhir dia akhirnya berangkat ke masjid. Tergesa­gesa lewat di depan Tyson yang keheranan melihat ada orang memakai sarung yang mirip selimut.

Bicara tentang sarung, ingatanku melayang ke pengalaman pertama mengenal manfaat sehelai sarung.

Ketika itu aku duduk di bangku SD dan sedang libur catur wulan pertama, Ayah mengajakku pergi ke pasar di Matur, sebuah daerah di puncak bukit nun di atas kampung kami.

Aku dan teman­teman SD selalu senang melihat dari kejauhan sebuah menara pemancar TVRI tinggi menjulang di sebuah ti­

tik di gugusan bukit yang melingkungi Danau Maninjau. Kata Ayah, Matur ada di belakang menara itu.

Ah, alangkah menyenangkan bisa jalan­jalan ke Matur. Se­

lain ke pasar, Ayah berjanji membawa aku melihat menara yang gagah itu dari dekat. Selama seminggu aku tidak sabar menunggu hari bertukar jadi Kamis, satu­satunya hari pasar di Matur. Di malam Kamis aku bergolek­golek resah, menunggu subuh datang. Akhirnya hari yang dijanjikan datang jua. Aku cepat­cepat memakai baju lebaran tahun lalu, yang telah aku lipat di sebelah dipan sejak kemarin. Baju ini menyerupai sera­

gam tentara berwarna hijau. Saku di dada dan perut serta can­

tolan di kedua bahu.

Ayah sendiri tampil dengan kemeja biru pupus polos, me­

nyampirkan sarung bugis merah yang terlipat di bahu kanannya dan sebuah kopiah hitam menyongkok kepalanya. Inilah stan­

dar gaya ninik mamak——pemuka adat. Ayahku bergelar Katik Parpatiah Nan Mudo dari suku Chaniago. Setelah menyantap sarapan goreng pisang raja dan katan jo karambia29 sajian Amak, kami menuju jalan aspal satu­satunya yang melintas di daerah Maninjau. ”Ayo bergegas, pagi ini hanya ada satu bus ke ateh.”

Ateh adalah sebutan untuk semua daerah di atas bukit dan di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Singgalang.

Hari masih terang­terang tanah, ketika kami menumpang bus PO Harmonis yang bermesin diesel, berukuran sedang, ber­

kerangka kayu dan punya jendela yang berumbai­rumbai merah kuning oranye, mirip hiasan pelaminan minang.

Tidak lama kemudian, bus sampai di kaki Kelok Ampek Pu­

luah Ampek, sebuah jalan mendaki tajam dan mengular dengan belokan patah­patah. Terkenal sebagai pengocok perut yang ganas bagi penumpang yang berbakat mabuk darat. Bus berka­

Ketan kukus yang ditaburi parutan kelapa, gula dan garam

pasitas penuh ini menggerung­gerung ketika dipaksa mendaki tanpa henti selama setengah jam lebih. Asap hitam mesin diesel bus berukuran sedang ini meletup­letup dari knalpotnya.

Waktu itu, belum banyak bus yang punya tape untuk memu­

tar kaset Elly Kasim. Pengganti hiburan di perjalanan adalah klakson yang bisa bernyanyi. Di sebelah supir ada tut­tut yang terhubung dengan slang ke badan mesin. Setiap tut mem­

bunyikan nada berbeda mirip campuran suara klakson dan akordeon. Sepanjang jalan, mataku tak lepas memperhatikan tingkah supir kami, seorang laki­laki muda berkaos merah ketat dengan celana cut bray dan berambut sebahu bergombak­

gombak. Sambil meneleng­nelengkan kepalanya berirama, supir kami menghibur penumpang dengan memainkan instrumental lagu­lagu pop minang memakai klakson ini. Stokar, atau kenek, meliuk­liuk mengikuti alunan lagu sambil menggantungkan ba­

dannya di luar badan bus yang berlari kencang. Bus kami penuh sesak, kenek harus di luar. Lagu klakson inilah yang membantu­

ku melupakan mual yang mendesak­desak.

Kami melewati Ambun Pagi, sebuah nagari di puncak kelok . Melihat ke bawah, tampak Danau Maninjau bagai cerukan kawah purba, mirip kuali raksasa, dengan dinding sekelilingnya bukit hijau berbaris­baris. Air biru telaga yang hening memantul­

kan awan pagi yang menggantung di ujung­ujung bukit. Betul­

betul kombinasi yang permai. Air menghampar luas dan bukit menjulang. Biru dan hijau perawan.

Kami sampai di Matur ketika matahari masih belum sepeng­

galahan. Matur yang berada di pucuk bukit, masih dikepung kabut pagi yang tebal dan angin yang datang dan pergi. Pori­

poriku bintil­bintil menahan dingin.

Pasar yang kami tuju terletak di tanah lapang yang tidak berujung karena kabut yang hilang timbul disapu angin. Hanya tampak bayangan sapi, kerbang, kuda dan kambing serta bayang­

bayang manusia tanpa rupa keluar masuk berlapis­lapis kabut.

Tidak ada los pasar. Kadang­kadang terdengar bisik­bisik manu­

sia, selebihnya embekan dan lenguhan hewan ternak.

Ayah membimbingku mendekat kepada salah satu bayang­

bayang tanpa wajah. Semakin dekat semakin jelas orang itu laki­laki berkelumun sarung sampai leher dan memakai sebo, penahan dingin dari jalinan wol yang menutupi seluruh kepala kecuali mata. Tangan kirinya memegang tali yang ujungnya dicucukkan ke hidung seekor sapi yang melenguh malas. Jari telunjuk dan jempolnya menjepit sebatang rokok yang berpijar­

pijar di tengah kabut. Setelah aku perhatikan lebih saksama, lebih dari setengah orang yang datang ke pasar ini bersarung dan ber­sebo.

Sejenak ayah berbicara dengan lelaki ini dengan suara rendah.

Si Tanpa Wajah menjawab dengan suara parau dan sesekali terbatuk. Tidak lama kemudian Ayah menyodorkan tangan bersalaman. Laki­laki misterius ini menangkap telapak tangan Ayah dan cepat­cepat menariknya ke dalam sarung. Lama sekali mereka bersalaman, tangan keduanya bergoyang­goyang di balik sarung. Muka saling menatap, tapi tidak ada kata yang terucap.

Hanya angguk dan gelengan ringan. Aku mencengkram lengan kiri Ayah, terheran­heran dengan apa yang mereka lakukan.

Aku terus mengekori Ayah berjalan ke arah lain dan mela­

kukan hal yang sama dengan tiga laki­laki lagi. Bersalaman la­

ma, di bawah sarung, saling menatap. Pada orang terakhir, Ayah menyodorkan sebungkus uang, dan gantinya Ayah menarik

seekor sapi gemuk ke luar lapangan. Sapi lalu dinaikkan ke oto prah. Mobil truk. Dikirim langsung ke nagari kami di Maninjau.

Amanat dari jamaah surau kami untuk membeli seekor sapi un­

tuk kurban Idul Adha minggu depan telah ditunaikan Ayah.

Dari balik kabut yang telah menipis, Ayah tersenyum melihat aku bagai si bisu bermimpi. Bingung.

”Budaya marosok. Meraba di bawah sarung. Tawar menawar harga dengan memakai isyarat tangan.”

”Kenapa harus pakai isyarat, Yah?”

”Peninggalan turun temurun nenek moyang kita kalau ber­

jualan ternak. Harga dan tawaran hanya untuk diketahui pem­

beli dan penjual.”

”Yah, boleh ambo minta diajar marosok?”

Ayah tersenyum. Sepanjang perjalanan naik bendi ke menara pemancar TVRI di Puncak Lawang, aku sibuk menghapalkan isyarat jari­jemari yang diajarkan Ayah. Di bawah sarung.

Itulah pertama kali aku insyaf dengan manfaat sarung dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk membeli sapi kurban!

S

eperti kata orang bijak, penderitaan bersamalah yang men­

jadi semen dari pertemanan yang lekat. Sejak menjadi jasus keamanan pusat, aku, Raja, Said, Dulmajid, Atang, dan Baso lebih sering berkumpul dan belajar bersama. Kalau lelah belajar, kami membahas kemungkinan untuk bebas dari jerat pengawasan keamanan.

Waktu berkumpul yang paling enak itu adalah menjelang sha­

lat Maghrib dan malam sebelum tidur. Awalnya kami suka ber­

kumpul di lorong di depan kamar, yang sebetulnya disediakan sebagai tempat belajar. Tapi ini koridor milik bersama. Setiap orang bisa lewat dan berkumpul sesukanya. Kami merasa perlu mencari tempat sendiri.

Baso adalah anak paling paling rajin di antara kami dan pa­

ling bersegera kalau disuruh ke masjid. Sejak mendeklarasikan niat untuk menghapal lebih dari enam ribu ayat Al­Quran di luar kepala, dia begitu disiplin menyediakan waktu untuk mem­

baca buku favoritnya: Al­Quran butut yang dibawa dari kam­

pung sendiri. Dia memberi usul.

”Supaya aman dan tenang, bagaimana kalau kita berkumpul di masjid saja.”

Kami berpandang­pandangan. Memang enak di masjid, tapi pasti sudah penuh dan berisik.

Kami pelan­pelan menggeleng.

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 101-109)