D
i PM, tidak seorang pun murid boleh menonton TV. Menurut guru kami, kualitas siaran TV tidak cocok dengan pendidikan PM dan bisa melenakan murid dari tugas utama menuntut ilmu. Sementara radio hanya bisa didengar kalau disiarkan Bagian Penerangan melalui jaringan pengeras suara yang ada di setiap asrama dan tempat umum.
Suara kresekkresek terdengar dari corong speaker beberapa detik sebelum kemudian berubah menjadi musik singkat dan disambung suara penyiar radio yang dalam dan bersih. ”Selamat pagi saudara pendengar, BBC London kembali dengan berita dunia”. Kami berenam biasa menyimak berita pagi sambil sa
rapan.
Syukurnya, walau tidak boleh punya radio sendiri, kami bisa mendengar berbagai berita radio luar negeri, apalagi kalau itu berbahasa Inggris dan Arab. Stasiunnya pun bergantiganti, bisa BBC, VOA, atau Radio Australia.
Acara radio ”Islam di Amerika”, yang diasuh oleh Pak Abdul Nur Adnan dari VOA adalah salah satu favorit kami. Sambil berkumpul di bawah menara, kami dengan mata berpijarpijar mendengarkan suara empuk Pak Nur mengepung PM, disalur
kan melalui banyak corong pengeras suara yang tersebar di ber
bagai sudut bangunan dan pohon. Dia bercerita tentang acara shalat Jumat di Washington DC yang diikuti muslim berbagai
warna, ras, bahasa dan bangsa. Walau berbeda, shalat jamaah mempersatukan mereka. Kami larut dengan keasyikan memba
yangkan laporan Pak Nur itu. Pemandangan yang masih sulit kami cerna, tapi kami percaya kepada cerita orang bernama Nur Adnan yang bersuara meyakinkan ini. Lalu kami akan ber
tengkar mempersoalkan bagaimana muslim bule dan hitam ini berwudhu dan rukuk, apakah bacaan shalatnya fasih, apakah mereka pakai sarung dan kopiah seperti kami dan perkara remehtemeh lainnnya.
Aku sendiri sangat penasaran dengan negara yang bernama Amerika Serikat itu. Katanya penuh orang Yahudi dan orang tidak beriman, tapi kok bisa ada masjid dan muslim di sana. Sua
tu ketika, kalau Tuhan berkehendak, aku ingin melihatnya lang
sung. Duh, Tuhan Yang Maha Mendengar, aku yakin Engkau mendengar suara hatiku. Bolehkah aku ke sana?
Sudah beberapa hari ini perjuanganku membaca koran lebih berat. Panel koran lebih ramai dari biasa. Para murid dari mulai yang bersarung sampai pada yang berbusana olahraga heboh berdesakdesakkan. Panel bergoyang hebat menahan himpitan massa. Ada apa? Tim Piala Thomas Indonesia sedang bertarung seru di putaran final di Kuala Lumpur. Semua koran dinding memuat berita ini besarbesar.
Judul berita hari ini ”Icuk Memimpin Indonesia Melibas Se
mua Lawan”. Dikomandoi Icuk Sugiarto——idola Dulmajid——
tim Indonesia mencatat hasil mengesankan tanpa pernah kalah di penyisihan Grup B. Tim Merah Putih berhasil menggulung
Korea, Denmark dan Swedia. Heroik sekali membaca bagaimana anggota tim ini berjuang untuk kami, rakyat Indonesia. Dan yang lebih asyik lagi, semifinal dan final akan disiarkan secara nasional oleh TV kebanggaan bangsa, TVRI. Masalahnya satu:
TV haram di PM.
Di bawah bayangbayang menara, kami tidak hentihenti mendiskusikan peluang Indonesia untuk merebut Piala Thomas sekali lagi. Kami juga tidak hentihenti berandaiandai kalau bi
sa menonton siaran langsung itu.
Said yang selalu mengaku paling suka olahraga terbawa emosi. ”Bagaimana mungkin PM bisa membangun pemimpin umat yang sehat jiwa dan raganya kalau tidak menghargai per
tandingan bersejarah seperti ini. Kalau menghargai, kita harus menonton siaran langsung,” katanya bersunggutsungut sambil tegak berdiri. Tangan sebesar gadanya teracungacung seperti se
dang muhadharah.
”Tapi sudahlah, kita kan bisa baca beritanya nanti!” jawabnya sendiri lunglai. Kepalanya tertunduk dan mencoba berdamai de
ngan nasib. Tidak ada kerlip di ujung terowongan gelap ini.
Lalatlalat musim buah terbang berdengungdengung di atas rambutnya yang kruwilkruwil kecil. Seperti ikut prihatin.
”Iya, tapi kan tidak bisa melihat Liem Swie King melakukan smes lompatnya,” protesku sambil mencoba memeragakan pu
kulan legendaris idolaku ini sambil melompat. Atang, Raja dan Baso menganggukangguk mengiyakan.
”Siapa bilang kita tidak bisa nonton?” tanya sebuah suara.
Seperti burung hantu, lima kepala serentak memutar menatap Dulmajid yang dari tadi hanya menggigitgigit ujung kopiahnya.
Kami diam menunggu. Mau ke mana arah pembicaraan
Dulmajid yang selalu taat aturan ini? Mau menantang kami untuk menerobos keluar PM dan menonton di balai desa, atau sekalian ke Ponorogo?
”Lalu… usulmu apa?” kata Atang penasaran. Baso yang malasmalasan dengan olahraga memanjangkan lehernya, mulai tertarik.
”Kita dekati siapa yang berkuasa di sini.”
”Maksudmu, ke Kiai Rais?”
”Bukan, kepada yang memegang aturan. Aku kan teman latih bulutangkis para ustad dari Kantor Pengasuhan. Siapa tahu kalau aku nanti bicara, mereka mau mempertimbangkan permintaan kita. Nanti sore kami main,” katanya dengan wajah tenang.
Kami nyaris lupa kalau Dulmajid yang sangat serius dengan dunia perpustakaannya juga adalah anggota klub bulutangkis PM. Siapa menyangka kawan kami berwajah Madura ini berpi
kir tentang lobi tingkat tinggi. Kantor Pengasuhan atau KP ada
lah kantor keamanan teratas di PM dan diawaki ustad senior yang sangat disiplin dan selalu memegang teguh aturan seperti hukum besi. Hitamputihnya aturan PM bermuara di KP yang dikepalai oleh Ustad Torik. Tyson dan kawankawannya saja ha
rus melapor ke KP ini.
”Majnun43 anta, ini seperti punguk merindukan bulan,” sam
butku.
Semua kepala menganggukangguk ragu. Prospek mengusul
kan sebuah ide yang melawan aturan PM ke KP agak mena
kutkan kami. Belum pernah ada aturan dibengkokkan atas persetujuan KP. Tapi Dulmajid tampak tegar dan berkata te
43Gila
nang sambil menerawang jauh, ”Ingat kawan, motto kita: man jadda wajada. Ditambah doa dari kalian dan prasangka baik kepada Tuhan, apa pun bisa terjadi.”
Kami terkesan dengan kekukuhan tekad Dulmajid. Sambil terkekehkekeh Said merangkul bahu Dulmajid yang tetap me
masang muka serius. Raja yang merasa ahli berkomunikasi bahkan menyiapkan teks berisi katakata bujuk rayu, yang disa
durnya dari buku Dale Carnegie, Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain, pinjaman dari perpustakaan. Baso menghadiahinya dengan doa melunakkan hati orang. Kami se
mua mendukung rencana Dulmajid dengan sepenuh jiwa.
Lapangan bulutangkis itu terletak persis di samping Masjid Raya. Kami berlima memanjat ke lantai dua masjid. Dari posisi ini kami tidak bisa mendengar pembicaraan, tapi bisa melihat bahasa tubuh. Sambil merunduk kami mengintai bagaimana lobi Dulmajid berjalan di bawah sana. Aku membatin, maaf Dul, kami tidak tertarik dengan servis, lob, smes keras dan backhand ustadustad itu, apalagi permainan anta. Yang kami tunggu kapan anta akan membuat gerakan pendekatan kepada Ustad Torik. Muka kami harapharap cemas.
Aku masih ingat waktu mengurus perizinan ke Ponorogo tempo hari. Wajah tirusnya yang dingin dan mata dalam yang ta
jam selalu menggelisahkanku. Apalagi menyadari kenyataan bah
wa di tangannyalah semua laporan telik sandi seantero pondok.
Di tangannya pula hukum PM.
Tapi, di lapangan bulutangkis, Ustad Torik adalah pribadi
yang lain. Badannya dibungkus kaos dan celana training bergaris kuning seperti punya Bruce Lee. Mukanya animatik dan bahagia.
Gerakannya lincah dan agresif. Sesekali dia bercanda kalau pu
kulannya masuk atau menyangkut di net.
Sebuah smes dari raket Ustad Torik berdesing menghunjam.
Raket lawan hanya memukul angin. Game. Dia mengangkat ta
ngan puas dan menepuknepuk pundak pasangannya, Dulmajid.
Dengan napas naik turun, Ustad Torik terengah berjalan ke pinggir lapangan sambil menyeka keringatnya. Mukanya berbi
nar karena menang.
”Ayo… ayo…, Dul, ini saatnya, dekati dia,” bisik Said tidak sabar, seakanakan Dul punya pendengaran Six Million Dollar Man.
Tapi Dulmajid seperti benarbenar mendengar. Sambil me
nenggak air putih, dia duduk tertib di samping Ustad Torik.
Kami melihat mereka bercakapcakap. Muka Ustad Torik telah kembali seperti sedia kala, dingin. Sambil bicara, tangan Dul mengambil raket dan mengangkatnya tinggitinggi dan meng
ayunnya kencang, seperti akan memukul kok dari bulu unggas.
Ustad Torik sampai memiringkan tubuhnya takut kena ayunan raket itu. Dia diam saja mendengarkan Dul, lalu mengangguk
angguk kecil.
”Apaapaan sih orang Madura ini, disuruh membujuk kok malah peragaan raket. Tidak ada itu dalam tuntunan Dale Carnegie,” protes Raja.
Kini giliran Ustad Torik bicara. Matanya menatap Dul dalam
dalam, tangannya terangkat menunjuknunjuk aula. Kami ikut merasakan ketegangan Dul. Kasihan dia telah berkorban mela
kukan diplomasi melawan Ustad Torik hanya buat kami para umat penggemar Icuk Sugiarto.
Sejurus kemudian Ustad Torik terdiam. Matanya beralih ke puncak aula, tangannya mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu. Dulmajid memandang diam dengan wajah menunggu. Beberapa jenak ini rasanya lama sekali.
Akhirnya tampak mulut Ustad Torik komatkamit sambil mengangguk dan menepuk pundak Dul. Muka Dul sumringah dan menyalami Ustad Torik sambil membungkuk berkalikali seperti leher ayam sedang mematukmatuk cacing.
Sambil membelakangi kami, Dul mengacungkan jempol di balik punggungnya sebagai isyarat kemenangan. Kami menarik napas lega dan saling berangkulan. Said memproduksi tawanya paling keras dan mengangkat kedua tangannya seperti Arnold Schwarzenegger menang tanding. Diplomasi Dul sukses.
Garagara ide gila Dul, terjadilah hal bersejarah itu. Untuk pertama kalinya seumur hidup PM, murid boleh menonton televisi secara bebas, berjamaah, bahkan di bawah restu petinggi KP.
Malam itu, setelah Maghrib, seperti biasa Kak Sofyan mem
bacakan aneka rupa pengumuman. Cuma malam ini dia tampil lebih semangat. Ketika dia mengabarkan bahwa semifinal Piala Thomas bisa disaksikan di aula pada Jumat sore, kontan masjid seperti dipenuhi jutaan lebah, berdengung heboh menyambut kabar gembira ini.
Setelah shalat Jumat, Dul si penggagas ide, bersama bebe
rapa murid lain terbungkukbungkuk menggotong sebuah te
levisi besar berlayar cembung gemuk dari rumah Kiai Rais ke