T
eng… teng… teng… teng…. Suara lonceng besar di depan gedung pertemuan bergema sampai jauh. Belum lagi gaungnya padam, semua penjuru sepi senyap, tidak ada orang satu pun. Kami berpandangpandangan dengan kalut. Kalau mengikuti qanun yang dibacakan tadi malam, lonceng kali di jam artinya tanda semua aktifitas harus berhenti dan semua murid sudah harus ada di masjid dengan pakaian rapi dan bersarung.Jangankan duduk manis bersarung di masjid. Kami masih menggotong lemari di tengah lapangan. Artinya kami telah melawan perintah lonceng, alias terlambat. Dari kejauhan, aku lihat asrama kami seperti rumah hantu, kosong, sepi, tak satu jiwa pun.
Kami seperti sekawanan tentara yang terjebak di padang ter
buka, tanpa perlindungan sama sekali. Kami telah dengan telak melanggar qanun di hari pertamanya berlaku. Aku hanya bisa berharap, sebagai murid baru kami bisa dimaafkan terlambat ba
rang menit. Lagi pula, sejauh ini tidak ada petugas keamanan yang mencegat kami.
”Ayo lebih cepat!” seru Said di posisi paling depan. Posisinya seperti pelari sprint yang memimpin paling depan. Ringan, en
teng, cepat.
”Kumaha cepat, ini beratnya minta ampun!” balas Atang sam
bil menggerutu. Dia menyeret lemarinya di tanah. Raja tidak bi
sa menyembunyikan bahasa aslinya, yang terdengar hanya ”bah, bah, bah!” berkalikali.
Aku, Baso dan Dulmajid mendengusdengus dari belakang.
”Tenang akhi, sebentar lagi kita akan selamat. Asrama hanya tinggal 00 meter lagi. Insya Allah tidak akan kena hukum.
Sedikit lagi…,” kata Said dengan optimis memberi kami harap
an.
Harapan yang terlalu indah. Tibatiba... wusss... Sebuah bayangan hitam berkelebat kencang dan berhenti mendadak di depan kami yang sedang ngosngosan. Jejak sepedanya membentuk setengah lingkaran menghalangi jalan kami.
”Qif ya akhi... BERHENTI SEMUA!” suara keras mengguntur membuat kami terpaku kaget. Rasanya darah surut dari wajahku.
Gerimis semakin rapat. Langit senja semakin kelam.
Duduk tegap di sadel sepedanya, kami melihat lakilaki muda, berjas hitam, berkopiah, sebuah sajadah merah tersampir di bahu kirinya. Di dadanya tersemat pin perak bundar berkilat bertuliskan ”Kismul Amni”——Bagian Keamanan. Kalau ini film koboi, dia adalah sherif berwajah keras yang siap mengokang pistolnya. Dengan enteng dia meloncat dari sadel. Sepedanya diberi kaki. Langkahnya cepat menuju kami. Sret… sret… sret, sarungnya tidak mempengaruhi keligatan gerakannya.
Perawakannya pendek gempal. Menyerupai sang juara tinju kelas berat dunia Mike Tyson——tapi dengan ukuran lebih kecil.
Geraknya sigap dan memburu. Matanya tidak lepas menusuk kami. Bagai pemburu ulung, raut mukanya waspada dengan ge
rakan sekecil apa pun.
”Maaza khataukum. Apa kesalahan kalian?” tanyanya dengan suara seperti guruh.
Kami gelagapan. Tidak siap menjawab pertanyaan interogatif di senja bergerimis dalam keadaan kepayahan ini.
”Apa salah kalian!?” berondongnya sekali lagi, tidak sabar.
Gerimis bercampur dengan percikan ludahnya. Mukanya maju.
Napasnya mengerubuti mukaku. Aku katupkan mataku rapat
rapat. Apa yang akan dilakukan Tyson ini padaku.
Melihat aku menutup mata, dia membentak lebih keras, ”Ja
ngan takut dengan manusia, JAWAB!”
Aku tidak punya pilihan lain untuk memberanikan diri men
jawab. Raguragu.
”Maaf… maaf… Kak, kami terlambat. Tapi hanya sedikit Kak, menit saja. Karena harus membawa lemari yang berat ini dari lapangan...”
”Sudah berapa lama kalian resmi jadi murid di PM?” katanya memotong kalimatku.
”Dua... dua... hari Kak,” jawabku terbatabata.
”Baru dua hari sudah melanggar. Bukankah kemarin malam qanun dibacakan dan kalian tahu tidak boleh terlambat.”
Kami membisu, tidak bisa menjawab. Hanya napas kami yang naik turun terdengar berserabutan.
”Kalian sekarang di Madani, tidak ada istilah terlambat sedikit. menit atau jam, terlambat adalah terlambat. Ini pe
langgaran.”
Sambil membaca papan nama kami satusatu, kakak mirip Tyson ini menyalak lagi.
”Ingat, Alif, Said, Atang, Dulmajid, Baso dan Raja, saya akan selalu ingat nama kalian. Jangan diulangi lagi!”
Kami bernapas sedikit lega. Gelagatnya, kami akan lolos dari hukuman dan hanya diberi peringatan. Sambil mengucapkan
terima kasih dan merundukrundukkan kepala, kami kembali beringsut membawa lemarilemari sialan ini.
”Hei, nanti dulu, kalian tetap dihukum. Di PM tidak ada kesalahan yang berlangsung tanpa dapat ganjaran!” hardik si Tyson.
Kami terkesiap. Mukaku setegang besi.
”Ambil posisi berbaris bersaf. Tangan kanan kalian di bahu kiri teman. CEPAT!”
Kami patuh. Membuat barisan. Aku berdiri paling ujung dekat Tyson, menyusul Atang dan Said. Sementara itu, tanpa kami sadari, ratusan murid yang sedang membaca AlQuran di masjid lantai dua melihat kami dengan ekor mata. Kami menja
di tontonan gratis menjelang Maghrib.
”Sekarang, pegang kuping teman kalian sebelah kiri. CE
PAT!”
Kami menurut. Aku bergumam dalam hati, kalau cuma je
wer gak apaapa. Kalah menyakitkan dibanding hukuman rotan waktu mengaji di kampung dulu. Yang berat itu rasa malu diton
ton ratusan orang…
Belum selesai gumamanku, kuping kiriku berdenging dan panas. Tangan Tyson dengan keras memelintir kupingku.
”Jewer kuping teman sebelahmu sekuat aku menjewermu!”
Belum dia selesai, aku telah menjewer kuping Atang, semen
tara Atang menjewer kuping Said. Selanjutnya Said memegang kuping Raja yang memegang kuping Dulmajid yang memegang kuping Baso. Semakin kencang jeweran yang kuterima, semakin kencang aku menjewer Atang dan semakin ganas Atang menjewer Said, begitu seterusnya. Sementara itu yang paling ujung, Baso yang malang, tidak punya mitra untuk saling jewer menjewer. Dia
hanya meringisringis tanpa bisa melampiaskan kesumatnya.
Dengan sudut mata aku lihat dia akhirnya menjewer pintu lemarinya yang keras.
Dari lantai dua masjid, beberapa orang tampak cekikikan.
Mereka menutup mulut dengan kopiah, tak kuasa menahan ta
wa. Sementara itu, di bawah tangga masjid aku melihat seorang lakilaki berbaju putih, bersorban Arafat, berdiri diam sejak kami dihentikan Tyson tadi. Bagai elang mengancam ayam kam
pung, matanya tajam mengawasi kami. Siapakah gerangan dia?
Itulah perkenalan pertama kami dengan orang yang aku ge
lari Tyson. Dia murid senior bernama lengkap Rajab Sujai dan menjabat sebagai kepala Keamanan Pusat, pengendali penegakan disiplin di PM. Kerjanya berkeliling pondok, pagi, siang dan ma
lam dengan kereta angin. Dia tahu segala penjuru PM seperti mengenal telapak tangannya. Begitu ada pelanggaran ketertiban di sudut PM mana pun, dia melesat dengan sepedanya ke tem
pat kejadian dan langsung menegakkan hukum di tempat, saat itu juga, seperti layaknya superhero. Dia irit komunikasi verbal, tapi tangannya cepat menjatuhkan hukuman. Keras tapi efisien.
Tidak heran, semua murid menakutinya. Baru melihat sepeda hitam berkelebat, hidup rasanya sudah waswas. Dan bagi kami berenam, Tyson kami nobatkan sebagai horor nomor satu ka
mi.
D
engan kuping masih terasa kembangkempis, kami terbiritbirit berganti pakaian shalat dan berlari ke masjid jami.
Di masjid kami yang gagah ini setiap sore berhimpun 3 ribu pel
ajar untuk menyambut datangnya azan Maghrib. Udara diliputi dengungan yang tidak habishabisnya ketika 3000 mulut sibuk membaca. Memang kegiatan yang boleh kami lakukan di masjid ini hanya dua, yaitu membaca buku pelajaran dan membaca AlQuran.
Setelah lelah beraktifitas sejak jam .30 subuh, memperta
hankan kepala tetap tegak dan mata tetap terbuka sungguh sebuah perjuangan maha berat. Apalagi, masjid kami punya langitlangit tinggi sehingga sirkulasi udaranya sangat baik dan senantiasa berhawa sejuk. Dengungan suara ribuan orang men
daras AlQuran malah menjadi seperti dendang pengantar tidur yang mujarab.
Beberapa kepala mulai terlihat doyong, teranggukangguk, Di sebelahku Said tampak benarbenar dalam kondisi yang sa
ngat nestapa. Dimulai dengan ayunan ringan kepalanya ke arah depan, lalu ayunannya semakin berat sampai lehernya layu dan dagunya menyentuh dada.
Aku menyikutnya beberapa kali. Setiap kali dia terlonjak kaget dan buruburu meneruskan membaca AlQuran yang di
pegangnya. Apa boleh buat, baru dua baris yang terbaca, kepala